• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Penataan Ruang Berkelanjutan Berbasis Mitigasi Bencana di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Model Penataan Ruang Berkelanjutan Berbasis Mitigasi Bencana di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh"

Copied!
231
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENATAAN RUANG BERKELANJUTAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

DI KAWASAN PESISIR KOTA BANDA ACEH

DISERTASI

Nama : HALIS AGUSSAINI NIM : 148105001

Program : Doktor (S3) Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2022

(2)

MODEL PENATAAN RUANG BERKELANJUTAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

DI KAWASAN PESISIR KOTA BANDA ACEH

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Perencanaan Wilayah Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Dengan Wibawa

Rektor Universitas Sumatera Utara Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si.

Dipertahankan Pada Tanggal Kamis, 11 Maret 2022

Nama : HALIS AGUSSAINI NIM : 148105001

Program : Doktor (S3) Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2022

(3)

Mengetahui,

Dr. Agus Purwo , S.Hut., M.Si Co- Promotor

Dr.~romotor Co- Promotor

,,--- '1n"4 l . . -

Prof.Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam,SE Pro motor

Menyetujui, NIM

Nama : Halis Agussaini

: 148105001

: Doktor

: Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana USU

: Model Penataan Ruang Berkelanjutan Berbasis Mitigasi Bencana Di Kawasan Pesisir Kota Banda Acch

Program Program Studi Judul Disertasi

LEMBAR PENGESAHAN

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 20 Desember 2021 PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE Anggota : 1. Dr. Rujiman, SE., MA

2. Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si

3. Prof. Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si 4. Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec

5. Prof. Dr. Ashfa, ST, MT

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT atas karunia-Nya serta shalawat dan salam atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari masa kebodohan ke masa ilmu pengetahuan. Berkat Iradah Allah, kami telah dapat menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul “Model Penataan Ruang Berkelanjutan Berbasis Mitigasi Bencana Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh.”

Proses penyelesaian disertasi ini jelas bukan mutlak hasil kerja penulis sendiri, melainkan hasil kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si., Rektor Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya atas fasilitas dan dukungannya selama penulis menjalani program pendidikan doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Prof. Ir. T. Sabrina, M.Agr. Sc., Ph.D, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya atas fasilitas dan dukungannya selama penulis menjalani program pendidikan doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis M.Ec., Ketua Program Studi Doktor Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas pengarahan dan dukungannya selama penulis menjalani program pendidikan doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE., selaku promotor yang selalu membimbing dan memberikan motivasi tiada henti kepada penulis untuk dapat menuntaskan penelitian disertasi kami ini.

5. Bapak Dr. Rujiman, SE, MA., selaku Ko-promotor yang selalu membimbing dan memberikan jalan keluar dengan tiada henti dalam penelitian disertasi ini.

(6)

6. Bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si., selaku Ko-promotor yang selalu membimbing dan memberikan motivasi dengan sangat perhatian terhadap segala hal yang terkait dengan penyelesaian penelitian disertasi ini.

7. Komisi penguji (Prof. Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si. dan Dr. Ir.

Satia Negara Lubis, M.Ec.) yang telah banyak memberikan masukan, saran dan perbaikan selama proses penyusunan disertasi.

8. Komisi penguji luar (Prof. Dr. Ashfa, ST, MT) yang telah banyak memberikan masukan, saran dan perbaikan selama proses penyusunan disertasi.

9. Bapak Rahmatsyah Alam, ST. M.Si., Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kota Banda Aceh yang telah meluangkan waktu dan kesempatan sebagai narasumber dalam proses penelitian disertasi ini.

10. Pimpinan, dosen dan segenap staf Program Studi Doktor Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas fasilitasi dan dukungannya secara terus-menerus kepada penulis dalam proses penelitian disertasi ini.

11. Segenap keluarga, istri tercinta, (Fahrina Yulita), anak-anak tersayang (Maisya Nabilah, Syifa Adila dan Naufal Mas Adha), Ibunda (almh) Djunitri binti Djoko Sumadi dan adinda Nurul Fajrianti binti Sofyan yang hilang bersama tsunami, Bapak Nasrun bin Husein, Ibu mertua Fatimah binti Makam atas dukungan dan do’a nya yang terus mengalir sepanjang masa.

12. Adinda Ina Martina, SE., dan keluarga (Bang Edi, Rayyan dan Nadine) atas bantuan dan dukungannya selama menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara, Medan.

13. Segenap rekan/sahabat mahasiswa S3 PW, mahasiswa S2 PWD dan mahasiswa S2/S3 jurusan lain yang telah membantu dan berkontribusi dalam menyelesaikan penelitian disertasi saya ini.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan di atas dengan anugerah yang lebih baik lagi kepada semua pihak yang telah berperan dalam proses penyelesaian studi ini, dan mohon maaf setulus hati kepada semua pihak yang secara disengaja ataupun tidak disengaja dirugikan dan/atau dikecewakan selama penulis menyelesaikan program pendidikan doktor kami.

(7)

Tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan hasil penelitian disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan meskipun penulis telah mengerahkan segenap kemampuan. Oleh karena itu masukan dan saran tentu selalu penulis harapkan dari para dosen dan kolega agar bisa terus berkarya dan menyumbangkan kontribusi yang lebih baik lagi kepada dunia akademik di kemudian hari.

Banda Aceh, Februari 2022

(8)

MODEL PENATAAN RUANG BERKELANJUTAN BERBASIS MITIGASI BENCANA DI KAWASAN PESISIR KOTA BANDA ACEH

RINGKASAN

Nama : Halis Agussaini Nomor Pokok : 148105001

Tujuan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Kemajuan yang telah dicapai dapat terhapus oleh sebuah bencana dan butuh waktu bertahun-tahun membangun kembali.

Sehingga dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana secara intrinsik saling terkait. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model penataan ruang di kawasan pesisir dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek kebencanaan. Model tersebut dibangun melalui empat komponen analisis yaitu: keberlanjutan, kesesuaian lahan, kerawanan genangan rob dan kerawanan genangan tsunami.

Lokasi penelitian adalah kawasan pesisir yang terdiri dari: Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Kuta Raja, Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Syiah Kuala, dan Kecamatan Baiturrahman. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan (development research) yang bertujuan untuk mengembangan suatu konsep atau prosedur dalam penataan ruang kawasan pesisir berkelanjutan berbasis mitigasi bencana. Tahapan penelitian dimulai dengan melakukan analisis status keberlanjutan untuk melihat tingkat keberlanjutan terhadap dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial-budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, dan dimensi hukum dan kelembagaan. Analisis kesesuaian lahan bertujuan untuk menentukan lahan yang sesuai dengan peruntukkannya agar penggunaannya lebih terarah, optimal dan berkelanjutan. Analisis tingkat kerawanan banjir rob dilakukan terhadap tiga skenario yaitu 20 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun untuk memprediksi potensi ancaman genangan rob. Analisis tingkat kerawanan tsunami dilakukan terhadap empat skala magnitudo gempa bawah laut yang memicu tsunami, yaitu:

gempa 7,5 SR, gempa 8,0 SR, 8,5 SR, dan gempa 9,0 SR memprediksi potensi ancaman genangan tsunami.

Analisis keberlanjutan kawasan pesisir Kota Banda Aceh digunakan analisis deskriptif melalui comparative suistainability berdasarkan sejumlah atribut yang diskoring melalui teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak The Rapid Appraisal of the Status of Fishing (RAP-Fish) yang

(9)

dimodifikasi menjadi Rap-Banda_Aceh. Analisis spasial kesesuaian lahan dilakukan dengan pengkelasan kriteria dan parameter/variabelnya melalui model prosedur analisis keruangan dengan memanfaatkan fasilitas Sistem Informasi Geografi (SIG). Analisis prediksi luas genangan banjir rob dilakukan dengan menggunakan digital elevation model (DEM), dilakukan overlay terhadap tutupan lahan dan prediksi kenaikan muka air laut. Analisis prediksi luas genangan tsunami dilakukan dengan menggunakan DEM, dilakukan overlay terhadap terhadap tinggi gelombang dari besarnya megnitudo gempa bawah laut yang dapat memicu terjadi tsunami

Hasil analisis keberlanjutan kawasan pesisir Kota Banda Aceh pada setiap dimensi masing-masing, yaitu dimensi ekologi termasuk dalam status cukup berkelanjutan (59,75%), dimensi ekonomi kurang berkelanjutan (40,79%), dimensi sosial-budaya cukup berkelanjutan (63,19%), dimensi infrastruktur dan teknologi kurang berkelanjutan (30,68%), dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan (50,50%). Berdasarkan hasil analisis terdapat 28 atribut sensitif yang berpengaruh besar untuk meningkatkan status keberlanjutan sehingga perlu dipertahankan dan 20 atribut tidak sensitif yang pengaruhnya rendah sehingga perlu intervensi (perbaikan) terhadap atribut tersebut agar peningkatan status keberlanjutan kawasan pesisir Kota Banda Aceh dapat berjalan maksimal.Secara multidimensi, kawasan pesisir Kota Banda Aceh untuk pengembangan kawasan pesisir termasuk dalam kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 43,80%. Pada taraf kepercayaan 94% pengaruh galat dapat diperkecil, dengan demikian, analisis dengan Rap-Banda_Aceh ini dapat dipakai untuk mengeveluasi tingkat keberlanjutan pengembangan kawasan pesisir Kota Banda Aceh.

Hasil analisis kesesuaian lahan di empat kecamatan kawasan pesisir Kota Banda Aceh terlihat bahwa kesesuaian lahan untuk: (a) kawasan hutan mangrove dengan kategori sangat sesuai (S1) seluas 440,37 ha atau 12,40%, sesuai (S2) seluas 751,46 ha atau 21,15%, sesuai bersyarat (S3) seluas 483,02 ha atau 13,60%, dan tidak sesuai (N) seluas 1.877,75 ha atau 52,86%; (b) kawasan permukiman dengan kategori sangat sesuai (S1) seluas 1.611,56 ha atau 45,36%, sesuai (S2) seluas 1.279,81 ha atau 36,02%, sesuai bersyarat (S3) seluas 149,48 ha atau 4,21%, dan tidak sesuai (N) seluas 511,75 ha atau 14,40%; (c) kawasan budidaya tambak dengan kategori sangat sesuai (S1) seluas 0.00 ha atau 0,00%, sesuai (S2) seluas 1.572,95 ha atau 44,28%, dan tidak sesuai (N) seluas 1.979,65 ha atau 55,72%; (d) kawasan wisata pantai dengan kategori sangat sesuai (S1) seluas 0,00 ha atau 0,00%, sesuai (S2) seluas 204,25 ha atau 5,75%, dan tidak sesuai (N) seluas 3.348,35 ha atau 94,25%.

(10)

Hasil analisis potensi genangan rob yang dihasilkan pada skenario 20 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun di empat kecamatan kawasan pesisir Kota Banda Aceh dengan menggunakan SIG terlihat bahwa pada periode akhir tahun 2039 terjadi genangan seluas 1.692,62 ha, atau 47,64%. Pada takhir ahun 2069 terjadi genangan seluas 1.746,45 ha, atau 49,16%, dan pada akhir tahun 2119 terjadi genangan seluas 1.826,25 ha, atau 51,41%. Peningkatan luas dampak banjir rob dalam kurun 100 tahun meningkat sebesar 30,95% terhadap luas Kota Banda Aceh dan areal terendam mencapai jarak 1,86 km dari garis pantai di pusat kota dan pada jarak 2,20 km dari garis pantai di Kecamatan Syiah Kuala yang merupakan muaranya sungai Krueng Aceh dengan kedalaman rata-rata 3,07 – 3,63 m.

Hasil analisis potensi genangan tsunami Kota Banda Aceh pada yang dihasilkan dari besarnya magnitude gempa dengan menggunakan SIG dari persamaan Berryman terlihat bahwa gempa bermagnitudo 7,5 SR dengan ketinggian gelombang 5,62 m menggenangi daratan dengan tingkat ancaman tinggi (R3) seluas 1.445,65 ha atau 24,50%, tingkat ancaman sedang (R2) seluas 2.342,63 ha. atau 39,70%, dan tingkat ancaman rendah (R1) seluas 2.215,63 ha atau 37,55%. Gempa bermagnitudo 8,0 SR dengan ketinggian gelombang 10,02 m menggenangi daratan dengan tingkat ancaman tinggi (R3) seluas 1.736,06 ha atau 29,42%, tingkat ancaman sedang (R2) seluas 3.068,94 ha atau 52,01%, dan tingkat ancaman rendah (R1) seluas 1.198,48 ha atau 20,31%. Gempa bermagnitudo 8,5 SR dengan ketinggian gelombang 17,82 m menggenangi daratan dengan tingkat ancaman tinggi (R3) seluas 1,792,65 ha atau 30,38%, tingkat ancaman sedang (R2) seluas 3.081,58 ha atau 39,70%, dan tingkat ancaman rendah (R1) seluas 1.129,62 ha atau 19,15%. Gempa bermagnitudo 9,0 SR dengan ketinggian gelombang 31,69 m menggenangi daratan dengan tingkat ancaman tinggi (R3) seluas 1,812,89 atau 30,73%, tingkat ancaman sedang (R2) seluas 3.119,38 ha atau 52,87%, dan tingkat ancaman rendah (R1) seluas 1.090,97 ha atau 18,49%, sebagaimana peristiwa tsunami yang terjadi pada tahun 2004 bahkan lebih buruk akibat hilangnya pelindung pantai alami (hutan mangrove).

Konsep pemanfaaatan kawasan pesisir Kota Banda Aceh untuk pengembangan kawasan pesisir secara berkelanjutan dilakukan dengan mempertimbangkan faktor- faktor kunci yang sensitif berpengaruh pada kinerja sistem hasil analisis keberlanjutan. Mengacu pada Susilo (2003) maka pengambilan kebijakan pada atribut yang sensitif (skor baik) adalah dengan mempertahankan kondisi yang ada atau lebih ditingkatkan mendekati nilai indeks keberlanjutan seratus persen, sedangkan pada atribut yang tidak sensitif (skor buruk) perlu dilakukan perbaikan agar dapat meningkatkan status keberlanjutannya. Berdasarkan hasil analisis terdapat 28 atribut sensitif yang berpengaruh besar untuk meningkatkan status

(11)

keberlanjutan sehingga perlu dipertahankan dan 20 atribut tidak sensitif yang pengaruhnya rendah sehingga perlu intervensi (perbaikan) terhadap atribut tersebut agar peningkatan status keberlanjutan kawasan pesisir Kota Banda Aceh dapat berjalan maksimal. Secara keseluruhan, atribut sensitif dan tidak sensitive hasil analisis laverage dari setiap dimensi disajikan pada Tabel di bawah ini.

Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dan kurang berpengaruh dalam pengembangan kawasan pesisir berdasarkan analisis keberlanjutan

Dimensi Atribut Sensitif Atribut Tidak Sensitif

Ekologi Kondisi sarana jalan usaha pertambakan

Perbaikan tambak oleh pemerintah

Kondisi prasarana jalan desa

Frekuensi kejadian banjir

Intensitas konversi lahan tambak

Status kepemilikan lahan usaha tambak

Frekwensi kejadian kekeringan

Pemanfaatan pariwisata pantai.bahari

Penggunaan pakan/pelet

Produktifitas usaha pertambakan Ekonomi Harga komoditas unggulan

Keuntungan usaha perikanan

Jumlah tenaga kerja

Jenis komoditas unggulan

Kelayakan usaha tambak

Jumlah pasar

Persentase penduduk miskin

Tingkat ketergantungan konsumen

Pasar produk perikanan

Kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB

Sosial- budaya

Pola hubungan masyarakat dalam kegiatan perikanan

Jumlah desa/gampong dengan penduduk bekerja disektor pertanian

Peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan

Tingkat penyerapan tenaga kerja

Jarak permukiman ke usaha pertam-bakan

Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan

pengetahuan tentang lingkungan

tingkat pendidikan formal masyarakat

akses masyarakat dalam kegiatan perikanan

Infrastruktur dan

Teknologi

Standarisasi mutu produk perikanan

Dukungan sarana dan prasarana umum

(12)

Dimensi Atribut Sensitif Atribut Tidak Sensitif

Ketersediaan komoditas bibit unggul

Penerapan sertifikasi produk peri-kanan

Ketersedian industri pengolahan perikanan

Penanganan pascapanen

Ketersediaan teknologi informasi perikanan

Tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan

Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung

Penggunaan pompa air, pemupukan

Hukum dan Kelemba- gaan

Keberadaan lembaga keuangan mikro

Ketersedian perangkat hukum/agama

Keberadaan Balai Penyuluh Perikanan (BPP)

Keberadaan kelompok nelayan

Keberadaan lembaga sosial

Mekanisme lintas sektoral dan pengembangan wilayah pesisir

Ketersediaaan peraturan perundangan

Perjanjian kerjasama antar wilayah

Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah

Penataan ruang sangat erat terkait dengan penggunaan lahan dalam pemanfaatan kawasan pesisir. Secara umum, tahapan dalam penataan ruang adalah diawali dengan proses konsolidasi lahan, kemudian penatagunaan lahan sampai akhirnya pada tahap penataan ruang (Arisaputra, 2015). Oleh karena itu perlu disusun rencana tata ruang yang lebih detail dalam pemanfaatan kawasan pesisir secara terpadu dengan memperhatikan aspek kesesuaian lahan, dan mitigasi bencana serta kondisi lingkungan, ekonomi sosial dan budaya masyarakat pesisir untuk tercapainya pembangunan kawasan pesisir yang berkeberlanjutan. Sistem pertahanan tsunami multilayer yang diterapkan di Kota Sendai pasca Gempa Besar dan Tsunami di Jepang tahun 2011 juga dapat diterapkan di Kota Banda Aceh, dengan beberapa modifikasi agar sesuai dengan kondisi morfologi, lingkungan, sosial, dan keuangannya. Tabel berikut ini memberikan gambaran rinci tentang tingkat strategi mitigasi tsunami dalam penelitian ini.

(13)

Konsep penatanaan ruang kawasan pesisir Kota Banda Aceh

Strategi mitigasi

Deskripsi strategi Kota Sendai

(Kobayashi et al., 2015;

Koshimura et al., 2015;

Pakoksung, et al., 2018)

Kota Banda Aceh (modifikasi penulis)

Level-1 tsunami (proteksi) Layer-1

Layer-2

Layer-3

Layer-4

Memperkuat tanggul laut yang ada dan bangun tanggul laut baru.

Membangun hutan pantai sebagai jalur hijau (hutan lindung pantai).

Membangun taman (bukit buatan).

Membangun jalan layang (elevated road) untuk mengurangi potensi kerugian.

Memperkuat dan memelihara pemecah gelombang dan tanggul laut yang ada.

Menetapkan hutan bakau dan hutan pantai sebagai jalur hijau (hutan lindung pantai).

Mengubah kolam menjadi silvofisheries;

Memungkinkan perumahan bagi nelayan dengan persyaratan khusus (seperti bentuk rumah panggung).

Meninggikan jalan lingkar (elevated outer ring road) untuk mengurangi potensi kerugian.

Level-2 tsunami (evakuasi)

Membangun tempat evakuasi untuk melindungi kehidupan warga.

Memindahkan pemukiman dari daerah berisiko tinggi ke rendah yang terkena dampak tsunami.

Tidak mengizinkan perumahan baru di daerah berisiko tinggi terkena tsunami.

Menetapkan lokasi evakuasi di zona aman.

(14)

ABSTRAK

MODEL PENATAAN RUANG BERKELANJUTAN BERBASIS MITIGASI BENCANA DI KAWASAN PESISIR KOTA BANDA ACEH

Nama : Halis Agussaini Nomor Pokok : 148105001

Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Tujuan akan tercapai apabila potensi ancaman bahaya mampu direduksi, karena berkelanjutan dan mitigasi bencana secara intrinsik saling terkait. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan yang bertujuan untuk membangun model penataan ruang di kawasan pesisir dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek kebencanaan. Model tersebut dibangun melalui empat komponen analisis yaitu:

keberlanjutan, kesesuaian lahan, kerawanan genangan rob dan kerawanan genangan tsunami. Tahapan penelitian dimulai dengan menganalisis status keberlanjutan kawasan pesisir Kota Banda Aceh, membuat klasifikasi kesesuaian lahan, memprediksi tingkat kerawanan genangan rob dan tsunami. Hasil analisis keberlanjutan mengindentifikasi 28 atribut sensitif yang berpengaruh besar untuk meningkatkan status keberlanjutan dan 20 atribut tidak sensitif yang perlu intervensi. Hasil analisis kesesuaian lahan mengindentifikasi tingkat kesesuaian lahan kawasan hutan mangrove dan kawasan budidaya tambak pada kategori sesuai (S2). Hasil analisis kerawanan genangan rob mengindentifikasi pada tahun 2119 (skenario 100 tahun) 30,95% luas wilayah Kota Banda rawan terhadap genangan banjir rob, dan hasil analisis kerawanan genangan tsunami mengindentifikasi pada magnitude gempa 8,0 SR (level-1 tsunami), tingkat ancaman tinggi (R3) seluas 29,42%, tingkat ancaman sedang (R2) seluas 52,01%, dan tingkat ancaman rendah (R1) seluas 20,31% terhadap luas Kota Banda Aceh. Berdasarkan rumusan hasil analisis keempat komponen tersebut, maka diperoleh model penataan ruang berkelanjutan berbasis mitigasi bencana kawasan pesisir Kota Banda Aceh dalam bentuk sistem pertahanan tsunami multi-layer dengan menggabungkan tanggul laut, hutan mangrove, hutan pantai, silvofishery, dan jalan yang ditinggikan.

Kata kunci: penataan ruang, kawasan pesisir, keberlanjutan, mitigasi bencana, Kota Banda Aceh.

(15)

ABSTRACT

A SUSTAINABLE SPATIAL PLANNING MODEL BASED ON DISASTER MITIGATION IN THE COASTAL AREA OF BANDA ACEH CITY

Name : Halis Agussaini

Registration Number : 148105001

Spatial planning aims to create a safe, comfortable, productive, and sustainable regional space. The goal will be achieved if the potential hazards can be reduced because sustainability and disaster mitigation are intrinsically interrelated. This research is a type of development research that aims to build a model of spatial planning in coastal areas within the framework of sustainable regional development by considering disaster aspects. The model is built through four analytical tools, namely: sustainability, land suitability, tidal inundation prone, and tsunami inundation prone. The research stage begins with analyzing the sustainability status of the coastal area of Banda Aceh City, making land suitability classifications, predicting the level of vulnerability to tidal inundation and tsunamis. The results of the sustainability analysis identified 28 sensitive attributes that have a major effect on improving the sustainability status and 20 non-sensitive attributes that need intervention. The results of the land suitability analysis identify the level of land suitability for mangrove forest areas and aquaculture areas in the suitable category (S2). The results of the tidal inundation prone analysis identified that in 2119 (100 years scenario) 30.95% of the area of Banda City was prone to tidal inundation, and the results of the tsunami inundation prone analysis identified an earthquake magnitude of 8.0 SR (level-1 tsunami), the level of tsunami inundation high threat (R3) covering an area of 29.42%, medium threat level (R2) covering 52.01%, and low threat level (R1) covering an area of 20.31% of Banda Aceh City. Based on the formulation of the results of the analysis of the four components, a sustainable spatial planning model based on coastal disaster mitigation of Banda Aceh City is obtained in the form of a multi-layer tsunami defense system by combining sea dike, mangrove forest, coastal forest, silvofishery, and elevated road.

Keywords: spatial planning, coastal areas, sustainability, disaster mitigation, Banda Aceh City.

(16)

DAFTAR ISI

Sampul Depan ... i

Sampul Dalam ... ii

Persyaratan Gelar ... iii

Lembar Pengesahan ... iv

Tim Panitia Penguji ... v

Ucapan Terima Kasih ... vi

Ringkasan ... ix

Abstrak ... xv

Abstract ... xvi

Daftar Isi ... xvii

Daftar Tabel ... xxi

Daftar Gambar ... xxiii

Daftar Lampiran ... xxvii

Daftar Singkatan ... xxviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Perencanaan Wilayah ... 13

2.2 Kawasan Pesisir ... 16

2.3 Pembangunan Berkelanjutan ... 19

2.4 Pengelolaan dan Penataan Kawasan Pesisir ... 22

2.4.1 Pengelolaan kawasan pesisir ... 22

2.4.2 Penataan kawasan pesisir ... 28

2.5 Mitigasi Bencana ... 35

(17)

2.6 Potensi dan Peluang Sumberdaya Pesisir Kota Banda Aceh . 40

2.6.1 Gambaran umum potensi Kota Banda Aceh …... 40

2.6.2 Peluang sumberdaya pesisir Kota Banda Aceh ... 45

2.7 Ancaman Bahaya di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh ….. 46

2.7.1 Kenaikan permukaan laut (banjir rob) ... 47

2.7.2 Tsunami ... 49

2.8 Tata Ruang Kota Banda Aceh Pratsunami dan Pascatsunami 61 2.8.1 Masa pratsunami ………... 61

2.8.2 Masa pascatsunami ... 62

2.9 Pemodelan Penataan Ruang ... 77

2.10 Penggunaan Sistem Informasi Geografi dalam Pemodelan ... 78

2.11 Penelitian Terdahulu ... 79

2.12 Kebaruan (Novelty) ... 82

III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS ... 83

3.1 Kerangka Konseptual ... 83

3.2 Hipotesis ... 86

IV. METODE PENELITIAN ... 88

4.1 Lokasi Penelitian ... 88

4.2 Metode dan Prosedur Penelitian ... 90

4.2.1 Jenis penelitian ... 90

4.2.2 Jenis dan sumber data ... 91

4.2.3 Teknik pengumpulan data ... 93

4.2.4 Populasi dan sampel ... 94

4.3 Teknik Analisis ………... 95

4.3.1 Analisis status keberlanjutan ... 95

4.3.2 Analisis kesesuaian lahan ... 99

4.3.3 Analisis potensi genangan rob dan tsunami ... 105

4.3.3.1 Analisis potensi genangan rob ………... 105

4.3.3.2 Analisis potensi genangan tsunami ……... 109

(18)

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 112

5.1 Hasil Penelitian ... 112

5.1.1 Hasil analisis keberlanjutan ... 112

5.1.1.1 Dimensi ekologi ……… 113

5.1.1.2 Dimensi ekonomi ... 115

5.1.1.3 Dimensi sosial-budaya ... 115

5.1.1.4 Dimensi infrastruktur dan teknologi ... 118

5.1.1.5 Dimensi hukum dan kelembagaan ... 120

5.1.1.6 Keberlanjutan multidimensi ... 122

5.1.1.7 Simulasi Monte Carlo kelima dimensi Rap-Banda_Aceh ... 123

5.1.2 Hasil analisis kesesuaian lahan ... 127

5.1.1.1 Kawasan hutan mangrove ………. 128

5.1.1.2 Kawasan budidaya tambak ... 129

5.1.1.3 Kawasan permukiman ... 130

5.1.1.4 Kawasan wisata pantai ... 132

5.1.3 Hasil analisis kerawanan banjir rob ... 133

5.1.4 Hasil analisis kerawanan tsunami ... 138

5.2 Pembahasan ... 143

5.2.1 Keberlanjutan kawasan pesisir Kota Banda Aceh ... 143

5.2.2 Kesesuaian lahan kawasan pesisir Kota Banda Aceh 144 5.2.2 Ancaman dan dampak banjir rob kawasan pesisir Kota Banda Aceh ... 145

5.2.3 Ancaman dan dampak tsunami kawasan pesisir Kota Banda Aceh ... 147

5.3 Model penatanaan ruang berkelanjutan berbasis mitigasi bencana di kawasan pesisir Kota Banda Aceh ... 147

5.3.1 Konsep pengembangan kawasan pesisir Kota Banda Aceh berkelanjutan ……….. 148 5.3.2 Konsep penatanaan ruang kawasan pesisir

Kota Banda Aceh berkelanjutan berbasis mitigasi

(19)

bencana rob dan tsunami ………. 153

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 160

6.1 Simpulan ... 160

6.2 Saran ... 162

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 166

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 180

(20)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Nilai koefisien kekasaran permukaan Manning ... 54

2.2 Data rujukan dari 5 kejadian tsunami di Indonesia ... 55

2.3 Jumlah dan kepadatan penduduk di kecamatan zona merah ... 76

4.1 Jumlah populasi dan nelayan tiap kecamatan ... 95

4.2 Jumlah populasi dan sampel tiap kecamatan ... 95

4.3 Nilai indeks keberlanjutan pembangunan kawasan pesisir ………... 97

4.4 Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan hutan mangrove ... 102

4.5 Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak ... 102

4.6 Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman ... 103

4.7 Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai ... 103

4.8 Hubungan Besarnya Magnitudo Gempa dan Tinggi Tsunami ... 110

5.1 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Banda_Aceh (MDS) dengan Monte Carlo ……….. 126

5.2 Hasil analisis Rap-Banda_Aceh untuk nilai stress dan koefisien determinasi ………... 126

5.3 Kesesuaian lahan untuk kawasan hutan mangrove ………... 128

5.4 Kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak ………... 130

5.5 Kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman ………... 131

5.6 Kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai ………... 132

5.7 Rekapitulasi ketinggian genangan banjir rob di Kota Banda Aceh .. 134

5.8 Luasan genangan banjir rob kawasan pesisir Kota Banda Aceh skenario 20 tahun, 50 tahun, 100 tahun ………... 135

5.9 Luasan genangan dan tingkat kerawanan banjir rob Kota Banda Aceh periode 100 tahun ………... 136

5.10 Luasan genangan dan tingkat kerawanan tsunami Kota Banda Aceh ………... 140

(21)

5.11 Hasil Analisis Rap-Banda_Aceh untuk keberlanjutan pengelolaan

ruang kawasan pesisir Kota Banda Aceh …………... 144 5.12 Luas kesesuaian lahan kawasan pesisir Kota Banda Aceh ………… 145 5.13 Prosentase kesesuaian lahan kawasan pesisir Kota Banda Aceh ….. 145 5.14 Kerusakan dan kerugian akibat banjir rob pada kawasan pesisir

Kota Banda Aceh pada tahun 2119 ………..…... 147 5.15 Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dan kurang berpengaruh

dalam pengembangan kawasan pesisir Kota Banda Aceh …………. 149 5.16 Deskripsi tingkat strategi mitigasi tsunami ………. 155

(22)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Komponen fisik zona pantai ... 17 2.2 Segitiga pembangunan berkelanjutan ... 20 2.3 Kerangka pembangunan berkelanjutan di daerah pesisir ……... 22 2.4 Hubungan antara kawasan pesisir dengan sistem sumberdaya

pesisir ... 23 2.5 Contoh zonasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah ... 25 2.6 Siklus perencanaan tata ruang ... 29 2.7 Produk dan klasifikasi perencanaan tata ruang ... 30 2.8 Tiga langkah dalam mengurangi risiko bencana ... 37 2.9 Konseptual fasilitas pencegahan tsunami di kota Sendai ... 40 2.10a EB Lambung yang juga berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial .... 45 2.10b EB Ulelheu sebagai pusat riset tsunami TDMRC Unsyiah ... 45 2.11 Kenaikan permukaan laut global tahun 1990-2100, untuk skenario

business-as usual (tidak ada batasan gas rumah kaca) ... 48 2.12 Strategi adaptasi terhadap naiknya permukaan air laut ... 49 2.13 Tinggi dan kedalaman genangan, serta kenaikan gelombang

yang diakibatkan oleh tsunami ... 50 2.14 Perbandingan kecepatan dan panjang gelombang

tsunami pada berbagai pada berbagai kedalaman laut ... 52 2.15 Wilayah pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia ... 56 2.16 Arah terjangan gelombang tsunami ... 57 2.17 Kondisi kerusakan per zona ... 58 2.18 Lokasi tugu peringatan ketinggian tsunami ... 58 2.19 Tugu peringatan ketinggian tsunami ... 59 2.20 Konsidi Kota Banda Aceh6 bulan sebelum tsunami………... 59 2.21 Konsidi Kota Banda Aceh 1 tahun sesudah tsunami ... 60 2.22 Konsidi Kota Banda Aceh 14 tahun sesudah tsunami ... 60 2.23 Sketsa Kota Banda Aceh di Tahun 1584 ……... 61

(23)

2.24 Peta RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2000-2010 ……... 63 2.25 Jangkauan kerusakan akibat gempa dan tsunami ……... 64 2.26 Arahan zonasi fisik Banda Aceh ……... 65 2.27 Peta RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2006-2016 ……... 67 2.28 Peta Struktur Ruang Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029 ……... 71 2.29 Peta Pola Ruang Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029 …... 73 2.30 Peta Rencana Struktur Ruang Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029

Revisi 1 …... 74 2.31 Peta Rencana Pola Ruang Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029

Revisi 1 …... 75 2.32 Peta Bahaya Tsunami Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029

Revisi 1 …... 75 3.1 Kerangka berpikir penelitian ... 87 4.1 Lokasi studi ... 89 4.2 Tahapan penelitian ... 92 4.3 Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan ... 97 4.4 Proses analisis indeks/status keberlanjutan ... 103 4.5 Proses analisis kesesuaian lahan ... 104 4.6 Profil potongan pantai ... 106 4.7 Proses analisis peta kelas kerawanan banjir rob ... 108 4.8 Proses analisis peta kelas kerawanan genangan tsunami ... 111 5.1 Hasil analisis MDS pada dimensi ekologi kawasan pesisir

Kota Banda Aceh ………... 114 5.2 Hasil analisis Leverage pada dimensi ekologi kawasan pesisir

Kota Banda Aceh ………... 114 5.3 Hasil analisis MDS pada dimensi ekonomi kawasan pesisir

Kota Banda Aceh ………... 116 5.4 Hasil analisis Leverage pada dimensi ekonomi kawasan pesisir

Kota Banda Aceh ………... 116 5.5 Hasil analisis MDS pada dimensi sosial-budaya kawasan pesisir

(24)

Kota Banda Aceh ………... 117 5.6 Hasil analisis Leverage pada dimensi sosial-budaya kawasan pesisir

Kota Banda Aceh ………... 118 5.7 Hasil analisis MDS pada dimensi infrastruktur dan teknologi

kawasan pesisir Kota Banda Aceh ... 119 5.8 Hasil analisis Leverage pada dimensi infrastruktur dan teknologi

kawasan pesisir Kota Banda Aceh ... 120 5.9 Hasil analisis MDS pada dimensi hukum dan kelembagaan

kawasan pesisir Kota Banda Aceh ... 121 5.10 Hasil analisis Leverage pada dimensi hukum dan kelembagaan

kawasan pesisir Kota Banda Aceh ... 122 5.11 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan ……….... 122 5.12 Hasil analisis Monte Carlo pada dimensi ekologi …………... ……. 124 5.13 Hasil analisis Monte Carlo pada dimensi ekonomi …………...…… 124 5.14 Hasil analisis Monte Carlo pada dimensi sosial budaya ……… 125 5.15 Hasil analisis Monte Carlo pada dimensi infrastruktur dan

teknologi ……… 125

5.16 Hasil analisis Monte Carlo pada dimensi hukum dan

kelembagaan ……….. 126

5.17 Peta Kesesuaian lahan untuk kawasan hutan mangrove ... 129 5.18 Peta Kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak ... 130 5.19 Peta Kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman ... 131 5.20 Peta Kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai ... 133 5.21 Peta genangan banjir rob skenario 20 tahun ... 136 5.22 Peta genangan banjir rob skenario 50 tahun ... 137 5.23 Peta genangan banjir rob skenario 100 tahun ... 137 5.24 Peta genangan tsunami magnitudo gempa 7,5 SR (tinggi 5,62 m) .... 141 5.25 Peta genangan tsunami magnitudo gempa 8,0 SR (tinggi 10,02 m) .. 141 5.26 Peta genangan tsunami magnitudo gempa 8,5 SR (tinggi 17,82 m) .. 142 5.27 Peta genangan tsunami magnitudo gempa 9,0 SR (tinggi 31,69 m) .. 142 5.28 Ilustrasi konseptual dari pendekatan baru strategi mitigasi tsunami

(25)

untuk mengurangi risiko bencana tsunami dan untuk meng

optimalkan sumber daya melalui sistem pertahanan berlapis …... 158 5.29 Ilustrasi konseptual dari bagian pendekatan baru strategi mitigasi

tsunami untuk mengurangi risiko bencana tsunami dan untuk

mengoptimalkan sumber daya melalui sistem pertahanan berlapis ... 159

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

L.1 Foto hasil survei ... 180 L.2 Hasil wawancara pemangku jabatan ... 185 L.3 Atribut dan Nilai Skor Dimensi Keberlanjuran ... 190 L.4 Borang Survey Keberlanjutan ... 193 L.5 Hasil Survey Keberlanjutan ... 198

(27)

DAFTAR SINGKATAN

ADPC: Asian Disaster Preparedness Centre.

Bappeda: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Bappenas: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

BBPSEKP: Balai Besar Penelitian Sosial dan Ekonomi Kelautan dan Perikanan

BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geosika.

BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

BOD: Biochemical oxygen demand.

BORR: Banda Aceh Outer Ring Road.

BPB: Badan Penanggulangan Bencana.

BPHN: Badan Pembinaan Hukum Nasional.

BPP: Balai Penyuluh Perikanan.

BPS: Badan Pusat Statistik.

BRR: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi.

BT: Bujur Timur.

BUMD: Badan Usaha Milik Daerah.

BWK: Bagian wilayah kota.

oC: derjat Celsius.

COD: Chemical oxygen demand.

CVM: Contingent valuation method.

DDR: Disaster risk reduction.

DEM: Digital elevation model.

DKP: Dinas Perikanan dan Kelautan.

DKP2K: Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Kota.

DP2KP: Dinas Pangan Pertanian kelautan dan Perikanan.

DO: Dissolved oxygen.

dpl: di atas permukaan laut.

DPU: Departemen Pekerjaan Umum.

DPUPR: Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.

(28)

DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

DRM: Disaster risk management.

FAO: Food and Agriculture Organization.

GSP: Garis sempadan pantai.

GPS: Global positioning system.

HHWL: Highest hight water level.

ICM: Integrated coastal management.

ICZM: Integrated coastal zone management.

IPCC: Intergovernmental Panel on Climate Change.

JABODETABEK: Jakarta–Bogor–Depok–Tangerang–Bekasi.

KAPET: Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.

Keppres: Keputusan Presiden.

km: kilometer.

LLWL: Lowest low water level.

LPP: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan.

LU: Lintang Utara.

LSM: Lembaga swadaya masyarakat.

m: meter.

MDS: Multidimensional Scaling.

mg/l: milligram per liter.

MHAL: Masyarakat Hukum Adat Laot.

MSL: Mean sea level

NAD: Nanggroe Aceh Darussalam.

NTHMP: National Tsunami Hazard Mitigation Program.

ORFPoD: Outer Ring Fishing Port Development.

P2SP: Perencanaan pembangunan sarana dan prasarana.

PA: Pemerintah Aceh.

PAD: Pendapatan asli daerah

PDRB: Produk domestik regional bruto.

PBB: Perserikatan Bangsa Bangsa.

PEER: Partnership Enhanced Engagement in Research.

(29)

Pemkot: Pemerintah Kota.

Permen: Peraturan Menteri.

Permen ATR/KaBPN: Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Permen KP: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Perpres: Peraturan Presiden.

pH: potential of hydrogen or power of hydrogen.

PP: Peraturan Pemerintah.

PPS Lampulo: Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo.

PRB: Pengurangan risiko bencana.

PUPR: Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

PWP3K: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Rap-Fish: The Rapid Appraisal of the Status of Fishing.

Rehab-Rekon: Rehabilitasi dan rekonstruksi.

RI: Republik Indonesia.

RMS: Root mean square.

RDTR: Rencana detail tata ruang.

RRTR: Rencana rinci tata ruang.

RTH: Ruang terbuka hijau.

RTR: Rencana tata ruang.

RTRW: Rencana tata ruang wilayah.

RUTR: Rencana umum tata ruang.

RZWP3K: Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

SIG: Sistem informasi geografis.

SNI: Standar Nasional Indonesia.

SR: skala Richter.

TDMRC: Tsunami and Disaster Mitigation Research Center.

TDR: Transfer of development rights.

TEA: Tempat evakuasi akhir.

TES: Tempat evakuasi sementara.

TSS: Total suspended solid.

(30)

UNISDR: United Nations Office for Disaster Risk Reduction.

Unsyiah: Universitas Syiah Kuala.

UNU-IHDP: United Nations-International Human Dimensions Programme.

USAID: United States Agency for International Development.

UU: Undang-undang.

WCED: World Commission on Environment and Development WIIP: Wetlands International Indonesia Programme.

(31)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara historis wilayah pesisir menjadi tempat alami untuk permukiman manusia karena kemudahan akses ke badan air dan tanahnya yang subur (UNU- IHDP, 2015). Wilayah pesisir Indonesia adalah wilayah multiguna dalam kehidupan sehari-hari dan pembangunan sosial-ekonomi bangsa (Dahuri, 2007), kekayaan sumberdaya alam yang terkandung di wilayah ini, baik sumberdaya hayati maupun sumberdaya non hayati memiliki arti strategis dalam membangun bangsa dan mensejahterakan masyarakat, namun belum dimanfaatkan secara optimal (BPHN, 2015). Menipisnya sumberdaya alam yang ada di daratan dan melimpahnya kekayaan sumberdaya pesisir dan laut merupakan salah satu pertimbangan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan dari terestrial (daratan) ke maritim yang terjadi pada pascareformasi. Pembangunan tidak lagi hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi saja namun juga harus dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang merata, kesejahteraan para pelaku pembangunan secara adil, dan terpeliharanya daya dukung dan kualitas lingkungan secara seimbang, sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Yusvianty, 2010). Selain memiliki potensi yang beragam, wilayah pesisir juga rentan terhadap bencana, mulai dari yang tenang dan dapat diprediksi seperti abrasi, sendimentasi, badai tropis, kenaikan permukaan laut, dan banjir rob, sampai yang sangat spektakuler dan tidak dapat diprediksi seperti tsunami (Setyawan, 2007).

(32)

Tsunami yang dipicu oleh gempa bermagnitudo 9,0 SR pada 26 Desember 2004 telah meluluhlantakan wilayah pesisir Aceh dan sejumlah wilayah pesisir negara lainnya di Samudera Hindia. Lebih dari 89 ribu orang tewas, lebih dari 132 ribu dinyatakan hilang, dan lebih dari 340 ribu orang menjadi pengungsi di Aceh dan sebagian Sumatera Utara. Menimbulkan kerusakan terhadap 1,3 juta rumah dan bangunan, 8 pelabuhan dan 4 deportasi bahan bakar, 85% air dan 92% sistem sanitasi, dan 120 km jalan dan 18 jembatan. Diperkirakan kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp.42,7 triliun atau US$4,5 miliar (Bappenas, 2005).

Setelah berakhirnya masa fase tanggap darurat, untuk merehabilitasi dan merekonstruksi wilayah yang terkena bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami, maka pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 untuk merehabilitasi dan merekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, sekaligus mendeklarasikan pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Aceh dan Nias (selanjutnya disebut dengan BRR NAD-Nias) pada April 2005 dengan masa berlaku selama empat tahun. Dalam melaksanakan misinya BRR NAD-Nias mengusung prinsip build back better, yaitu membangun NAD dan Nias lebih baik dari kondisi sebelum terjadinya bencana (Mangkusubroto, 2009).

Prinsip build back better selama rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana berarti meletakkan kerentanan sebagai dasar dalam semua kegiatan, dan menghindari kegiatan rekonstruksi yang bersifat adhoc yang dapat membuat masyarakat terancam bahaya di masa depan dan terjebak dalam siklus bencana.

(33)

Implemtasi prinsip tersebut tergantung pada sifat bahaya dan tingkat kerusakan, masyarakat memiliki pilihan untuk bermukim kembali di lokasi semula (in-situ) atau bermukim kembali (resettle) di lokasi baru. Perencanaan ruang (penggunaan lahan) pada pilihan di lokasi semula harus mempertimbangkan faktor-faktor risiko yang menjadi ancaman untuk menghindari terulangnya peristiwa serupa. Adapun pada pilihan pemukiman kembali, harus dapat mengurangi paparan dan kerentanan terhadap faktor-faktor risiko yang ada di masa depan (ADPC, 2015).

Konsep build back better kemudian diadopsi oleh pemerintah Jepang ketika merehabilitasi dan merekonstruksi Kota Sendai yang hancur akibat gempa bumi dan tsunami pada 11 Maret 2011. Tsunami yang sangat besar menghancurkan hampir semua kota-kota di wilayah pesisir Jepang, total area yang terendam seluas 560 km2, lebih dari 23.000 meninggal atau hilang, dan lebih dari 160.000 rumah dan bangunan hancur. Istilah build back better dalam kegitan rehabilitasi dan rekonstruksi disebut dengan fukkou bukan fukkyu. Arti fukkyu hampir sama dengan recovery (rehabilitasi/pemulihan) yaitu membangun sesuatu kembali menjadi sama seperti sebelumnya. Sedangkan, fukkou berarti sama dengan building back better dan sesuatu yang lebih dari sekedar fukkyu. Kata better itu sendiri bersifat multi- tafsir, namun berdasarkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstrukti yang dilakukan di Aceh, Indonesia dan di Sri Langka pascatsunami 2004, yang dimaksud dengan build back better adalah building back safer (Hirano, 2013).

Empat tahun kemudian, pada tahun 2015 komunitas bencana dunia mengadakan pertemuan di Kota Sendai, Jepang, untuk konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang ketiga tentang Pengurangan Risiko Bencana.

(34)

Dipilihnya Kota Sendai sebagai simbol kota yang pernah menderita akibat gempa bumi dan tsunami di wilayah Jepang Timur, namun mampu pulih kembali dan membangun kembali kotanya dengan lebih berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan muncul dalam salah satu prinsip panduan utama pengurangan risiko bencana dalam Deklarasi Sendai. Pengurangan risiko bencana sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, karena sebuah bencana alam besar - baik itu gempa bumi, badai, tsunami atau tanah longsor - dapat menghapus kemajuan yang telah dicapai dan butuh waktu bertahun-tahun membangun kembali. (Uitto dan Shaw, 2016). Sehingga dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan dan pengu- rangan risiko bencana secara intrinsik saling terkait.

Pembangunan kembali kawasan terdampak tsunami sepatutnya memperhitungkan keterulangan bencana. Kota Onagawa, Provinsi Miyagi, misalnya, seluruh area pesisir tidak dijadikan area hunian lagi. Kawasan itu diuruk hingga setinggi tujuh meter untuk dijadikan taman serta area komersial. Hunian dibangun di atas perbukitan yang aman dari tsunami, dan dengan meninggikan tanah di bekas kota lama, maka kawasan itu diperhitungkan akan aman dari tsunami dengan keberulangan sekitar 100 tahun. Namun, masih belum aman dari tsunami dengan keberulangan 1.000 tahun, seperti tahun 2011. Keputusan menata ulang seluruh kota merupakan hasil persetujuan warga kota, setidaknya ada 80 kali pertemuan dengan warga, sampai mereka yakin dan setuju untuk pindah (Tata Ruang dan Pertanahan, 2015).

Perubahan tata ruang menjadi mutlak. Hal tersebut ditunjukkan dalam rekonstruksi di pantai timur Jepang pascatsunami 11 Maret 2011, tetapi gagal

(35)

dilakukan di Aceh pascatsunami 2004. Di tahap awal, konsep sabuk hijau (green belt) diperkenalkan dalam Rencana Induk Rehabilitasi Dan Rekonstruksi NAD- Nias dalam membangun kembali kota-kota yang rusak karena gempa bumi dan tsunami. Konsep ini sedianya melarang proses pembangunan pemukiman atau fasilitas publik pada area sekitar 500 m dari garis pantai. Proses yang top-down pada awalnya menjadi rujukan penentuan lokasi pembangunan pemukiman para korban tsunami. Namun, dalam prosesnya, metode bottom-up yang lebih bersifat partisipatif lebih dominan mewarnai proses tersebut. Meskipun proses ini berhasil memberikan ruang dan kesempatan bagi para korban tsunami untuk menentukan arah pembangunan pemukiman, namun di banyak lokasi yang terdampak tsunami, para korban mendesak agar rumah mereka dibangun di lokasi yang sama sebelum tsunami terjadi. Pada akhir fase rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut, hanya sebagian kecil saja konsep greenbelt tersebut dapat diterapkan. Mayoritas kawasan pantai sebagaimana di Kota Banda Aceh kembali berubah menjadi kawasan pemukiman penduduk (Syamsidik et al., 2017).

Saat ini satu dekade pasca rehabilitasi dan rekonstruksi, beberapa kawasan pesisir Kota Banda Aceh telah kembali dihuni oleh penduduk dengan jumlah populasi yang cukup tinggi. Jumlah penduduk Kota Banda Aceh pratsunami pada tahun 2004 berjumlah 239.146 jiwa, setahun pascatsunami berjumlah 177.881 jiwa (BPS, 2005). Terjadinya pengurangan jumlah penduduk sebesar 61.265 jiwa menunjukan besarnya jumlah korban penduduk Kota Banda Aceh akibat bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di tahun 2004. Jumlah penduduk Kota Banda Aceh pada tahun 2010 berjumlah 223.446 jiwa (BPS, 2011), terjadi penambahan

(36)

162.181 jiwa selama empat tahun pasca rehabilitasi dan rekonstruksi 2005-2009.

Jumlah penduduk Kota Banda Aceh tahun terakhir yang dicatat oleh BPS Kota Banda Aceh 2019, telah mencapai jumlah 265.111 jiwa, jauh melampaui jumlah penduduk tahun 2004 sebelum terjadinya tsunami. Pesatnya pertumbuhan penduduk Kota Banda Aceh tersebut tidak terlepas dari perannya sebagai ibukota provinsi, kota perdagangan dan jasa, dan kota pendidikan.

Meningkatnya jumlah penduduk sangat berpengaruh terhadap kebutuhan lahan untuk penyediaan perumahan dan infrastruktur perkotaan. Program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintahan Jokowi yang diluncurkan sejak tahun 2015 lalu (Rahman, 2018), ikut mempercepat terjadinya perubahan penggunaan lahan.

Lahan-lahan terbuka dan tambak-tambak masyarakat di sebagaian utara Kota Banda Aceh yang dibatasi pertumbuhannya atau dibangun dengan kepadatan yang rendah (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2018) berubah menjadi perumahan berkepadatan sedang, dan bukan tidak mungkin di masa mendatang akan menjadi kawasan berkepadatan tinggi. Kekuatiran tersebut sejalan dengan penelitian Achmad et al. (2015) yang memprediksi terjadinya pertumbuhan kota ke arah pesisir, dimana faktor sosial ekonomi sebagai pendorong. Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor penentu yang mempengaruhi dampak bencana.

Semakin tinggi jumlah penduduk di kawasan rawan bencana akan meningkat pula jumlah populasi yang berisiko bencana (Rizkiya, 2012).

Pengurukan tambak-tambak menjadi kawasan untuk bertempat tinggal bukan tanpa resiko. Gempa Palu dan Donggala bermaknitudo 7,4 SR telah mengubur habis dua pemukiman yaitu Balaroa dan Petobo beserta ribuan

(37)

penghuninya akibat likuifaksi atau tanah bergerak (mencair). Menurut Fatma (2018), Nazli pakar Geofisika dan Kebumian Universitas Syiah Kuala, mengungkapkan bahwa likuifaksi dapat terjadi ketika tanah jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan. Lebih lanjut Nazli menjelaskan bahwa likuifaksi sangat berkaitan dengan daya ikat tanah, yaitu ketika daya ikat tanah dan air tanah menjadi jenuh, lalu dipicu oleh gempa bumi, dan ditambah lagi dengan berat bangunan, maka likuifaksi dipastikan terjadi. Getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, membuat tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan berat.

Pilihan bertempat tinggal di kawasan pesisir yang rawan bencana sejak masa rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami merupakan pilihan yang dilematis.

Sebagian besar atau 60% penduduk (penyintas) lebih menginginkan bertempat tinggal di luar wilayah yang terkena dampak tsunami dengan alasan khawatiran tentang berulangnya tsunami, sedangkan sisanya memilih kembali bertempat tinggal di lokasi semula karena berprofesi sebagai nelayan dan menyakini peristiwa tersebut tidak akan berulang kembali. Banyaknya jumlah rumah bantuan yang tidak diinginkan pemiliknya, dan harga tanah yang lebih murah dibandingkan dengan di luar daerah yang terkena dampak tsunami, menjadi daya tarik bagi pendatang berpenghasilan rendah untuk tinggal di bagian kota yang terpapar bencana tersebut (McCaughey et al., 2018). Kondisi ini tentu sangat tidak diharapkan dan tidak sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, dimana faktor pengurangan risiko bencana terintegrasi di dalam pelaksanaannya. Penataan ulang pemukiman

(38)

dan kegiatan perkotaan di kawasan pesisir Kota Banda Aceh mutlak harus dilakukan untuk menghindari terulang kembalinya risiko tsunami.

Selain ancaman tsunami, kawasan pesisir Kota Banda Aceh juga dihada- pakan dengan permasalahan saat ini yaitu kenaikan muka air laut (sea level rise) yang dapat memicu terjadinya banjir rob. Peristiwa ini erat kaitannya dengan aktifitas coseismic setelah gempa dan tsunami tahun 2004. Hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, Universitas Syiah Kuala (TDMRC Unsyiah) bersama Bappeda Kota Banda Aceh, dengan dukungan The United States Agency for International Development (USAID) melalui penelitian Partnership Enhanced Engagement in Research (PEER) Siklus ke-5, menunjukkan bahwa sejak 2016 hingga akhir tahun 2019, tiga persen dari total luas Kota Banda Aceh akan terendam pada 50 tahun mendatang, dan akan meningkat 11 persen dalam waktu 100 tahun jika tidak ada pengembangan tepat di kawasan tersebut (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2019).

Membangun suatu kawasan atau kota yang bebas dari bencana alam, menurut Mukaryanti (2008) adalah suatu hal yang mustahil, karena bencana alam berkaitan dengan proses alam yang tidak dapat dihindari. Yang dapat dilakukan adalah meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam melalui upaya- upaya mitigasi (early warning system) dan penataan ruang wilayah kota yang berbasis pada kerentanan terhadap bencana alam. Walaupun dalam Undang- Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Republik Indonesia, 2007b) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Republik Indonesia, 1990), keberadaan kawasan

(39)

rawan bencana alam telah diakomodasikan sebagai kawasan lindung, tetapi bencana alam seperti banjir rob dan tsunami yang berdampak luas sampai ke kawasan budaya sering tidak teridentifikasi dalam peruntukan lahan.

Pengelolaan wilayah pesisir secara khusus diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang tentang PWP3K (Republik Indonesia, 2007c) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 (Republik Indonesia, 2014a) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Republik Indonesia, 2016), mendorong Pemerintah Daerah dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu. Selanjutnya UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Republik Indonesia, 2007a), telah merubah paradigma penanggulangan bencana dari responsif (terpusat pada tanggap darurat dan pemulihan) ke preventif (pengurangan resiko dan kesiapsiagaan), namun peraturan perundangan tersebut belum sepenuhnya menjiwai dalam berbagai penataan ruang dan program-program pengembangan/pengelolaan di wilayah pesisir.

Menurut Nazamuddin (2007), kebijakan belanja publik untuk mitigasi bencana dan pemulihan pascabencana besar berada pada dua pilihan sulit. Alternatif pertama adalah mengeluarkan belanja publik yang besar tanpa manfaat yang dapat dirasakan segera dan adanya ketidakpastian (uncertainty) terjadinya bencana di masa depan, tapi dapat mencegah kerugian yang besar jika bencana terjadi.

Alternatif lain adalah menghemat belanja publik sekarang sehingga dapat dimanfaatkan untuk pelayanan yang dapat dinikmati segera, tapi dengan resiko kerugian yang besar jika bencana terjadi tanpa mitigasi yang memadai.

(40)

Model-model pengelolaan/pemanfaatan ruang kawasan pesisir berkelan- jutan juga telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, namum masih bersifat parsial belum memasukan mitigasi bencana rob dan tsunami dalam kajiannya.

Sebaliknya penelitian-penelitian mitigasi bencana hanya fokus terhadap pengurangan risiko bencana belum terpadu dengan pemanfaatan ruang kawasan pesisir. Untuk itu, penelitian ini diharapkan dapat menemukan model penataan ruang kawasan pesisir yang berkelanjutan berbasis mitigasi bencana dengan mengambil Kota Banda Aceh sebagai studi kasusnya.

1.2 Perumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan pokok yang diharapkan jawabannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah status keberlanjutan di kawasan pesisir Kota Banda Aceh paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi?

2) Bagaimanakah kesesuai lahan di kawasan pesisir Kota Banda Aceh paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi?

3) Bagaimanakah luasan dan tingkat kerawanan banjir rob di kawasan pesisir Kota Banda Aceh pada periode 20, 50, 100 tahun paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi?

4) Bagaimanakah luasan dan tingkat kerawanan tsunami di kawasan pesisir Kota Banda Aceh pada gempa magnitude 7,5, 8,0, 8,5, dan 9,0 SR paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi?

(41)

5) Bagaimanakah model penataan ruang kawasan pesisir Kota Banda Aceh yang berkelanjutan dan berbasis mitigasi bencana paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1) Menganalisis status keberlanjutan di kawasan pesisir Kota Banda Aceh paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi.

2) Menganalisis kesesuai lahan di kawasan pesisir Kota Banda Aceh paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi.

3) Menganalisis luasan dan tingkat tingkat kerawanan genangan rob di kawasan pesisir Kota Banda Aceh pada periode 20, 50, 100 tahun paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi.

4) Menganalisis luasan tingkat tingkat kerawanan genangan tsunami di kawasan pesisir Kota Banda Aceh pada gempa magnitude 7,5, 8,0, 8,5, dan 9,0 SR paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi.

5) Membangun suatu model penataan ruang kawasan pesisir Kota Banda Aceh yang berkelanjutan dan berbasis mitigasi bencana paska satu dekade rehabilitasi dan rekonstruksi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, sebagaimana yang diuraikan sebagai berikut:

(42)

a) Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perkembangan ilmu perencanaan wilayah dan kota, dan secara khusus untuk pengembangan model penataan ruang kawasan pesisir yang berkelanjutan dan berbasis mitigasi bencana.

b) Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan (produktifitas) ruang yang berkelanjutan berbasis mitigasi, memberi rasa aman bagi masyarakat yang bertempat tinggal di pesisir pantai, mendukung pengembangan Kota Banda Aceh sebagai kota tepi air (waterfront city), dan sebagai referensi bagi pengembangan kota atau kawasan pesisir yang berkarakter sejenis.

(43)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Wilayah

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia (Republik Indonesia, 2004). Perencanaan selalu berayun antara kegiatan membatasi/mengontrol fisik atau penggunaan/perubahan lahan, dan serangkaian aktivitas yang lebih luas atau setidaknya sebagai keinginan untuk mengarahkan masa depan suatu ruang atau wilayah (Glasson, 2007).

Pengertian secara spesifik dikemukakan oleh Sirojuzilam (2015) bahwa perencanaan adalah intervensi pada rangkaian kejadian-kejadian sosial kemasyarakatan untuk memperbaiki rangkaian kejadian dan aktivitas yang ada dengan maksud: (1) meningkatkan efesiensi dan rasionalitas; (2) meningkatkan peran kelembagaan dan profesionalitas; dan (3) merubah atau memperluas pilihan- pilihan untuk menuju tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi bagi seluruh warga masyarakat. Selanjutnya menurut Sirojuzilam (2015), ada dua aspek utama dalam perencanaan wilayah yaitu sesuatu yang menyangkut ruang, dan aktivitas di atas ruang tersebut. Aspek yang berkaiatan dengan ruang kemudian berkembang menjadi perencanaan tata ruang, dan aspek yang berkaitan dengan aktivitas berhubungan dengan perencanaan pembangunan baik ekonomi, sosial, kelembagaan dan ekologi. Perencanaan tata ruang (spasial) menjadi sangat penting untuk diterapkan dan dapat dipadukan dengan perencanaan sektoral.

(44)

Pemanfaatan (alokasi) sumberdaya secara spasial menurut Adisasmita (2010) adalah tercapainya manfaat secara optimal dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan hidup melalui prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:

1) Kesesuaian (suitability), yaitu setiap kegiatan haruslah mempertimbangkan keserasian antara kebutuhan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dengan kapasitas spasial (lahan/ruang) dan menghindari terjadinya berbagai konflik kepentingan dalam pemanfataan ruang tersebut. Keserasian tidak saja dari keserasian fisik, tetapi juga dari keserasian sosial-ekonomi penduduk di wilayah/kawasan tersebut.

2) Kesinambungan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (the continuity of natural resources and environment), yaitu fungsi yang telah dialokasikan pada ruang atau kawasan haruslah mengikuti fungsi perlindungan (proteksi) sebagai fungsi dominan.

3) Demokratisasi alokasi ruang (spasial), yaitu pemanfaatan ruang suatu wilayah/

kawasan haruslah menyediakan aksesibilitas secara proposional bagi setiap anggota masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya dalam wilayah/kawasan tersebut yang merupakan pendorong (stimuli) untuk mengembangkan kegiatan pembangunan yang melibatkan peren serta masyarakat lokal (setempat).

4) Sinergi regional (regional synergy), yaitu suatu kondisi dimana kapabilitas suatu wilayah/kawasan mengembangkan kegiatan pembangunan yang diakibatkan oleh interaksi fungsional secara optimal di antara unit-unit wilayah dengan wilayah-wilayah sekitarnya.

(45)

Konsep nomenklatur kewilayahan di Indonesia, seperti wilayah, kawasan, daerah, area, dan istilah sejenis saling dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda.

Ketidakkonsistenan istilah tersebut kadang dapat menyebabkan kerancuan pemahaman dan kebingungan. Menurut Rustiadi et al. (2011) semua penyebutan tersebut secara umum dapat diistilahkan wilayah (region). Untuk menghindari istilah yang tidak sesuai dengan pengertian sebenarnya yang menimbulkan pengertian ganda, beberapa istilah tersebut menurut Adisasmita (2010) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Wilayah dapat bersifat kecil misalnya wilayah desa dan dapat luas sekali apabila merupakan hasil kerja antar negara.

2) Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya merupakan ruang kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri tertentu (spesifik/khusus). Kawasan merupakan daerah yang secara geografis dapat sangat luas misalnya kawasan hutan atau terbatas misalnya kawasan perumahan.

3) Daerah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional, misalnya daerah otonomi, daerah aliran sungai (DAS).

(46)

4) Zona (mintakat) adalah: (1) kawasan dengan peruntukan khusus yang memiliki batasan ukuran atau standar tertentu; dan (2) kesatuan (geografis) pemanfaatan ruang berukuran kecil misalnya zona industri, zona perbelanjaan.

2.2 Kawasan Pesisir

Sebagaimana dijelaskan dalam subbab sebelumnya bahwa nomenklatur kewilayahan saling dipertukarkan pengertiannya, demikian juga dalam kewilayahan pesisir, terdapat beberapa istilah yang berbeda yang dikemukan oleh beberapa pakar namun mengandung pengertian yang identik sebagai berikut:

1) Coast/beach (pantai) adalah tempat daratan dan laut bertemu. Jika garis pertemuan ini tidak bergerak, menentukan pantai akan mudah (hanya garis pada peta), namun proses alami yang membentuk pantai sangat dinamis, bervariasi baik dalam ruang dan waktu. Garis batas antara daratan dan lautan terus bergerak, dengan naik turunnya pasang surut dan berlalunya badai, menciptakan wilayah interaksi antara darat dan laut. (Kay dan Alder, 2005;

Ongkosongo, 2008).

2) Coastal (pesisir) adalah antarmuka darat-laut (atau muara), yang memiliki dua sumbu utama, yaitu satu poros terletak sejajar dengan garis pantai (longshore), dan sumbu lainnya tegak lurus ke pantai (cross shore). Aksis poros pantai merupakan zona pesisir transisi antara lingkungan laut (atau muara) dan lingkungan darat atau darat. Kawasan pesisir (coastal area) mengacu pada ruang geografis yang belum didefinisikan sebagai zona (batas daratan dan lautan belum ditetapkan). Batasan-batasan (pengertian) tersebut barulah

(47)

berlaku bila ada pengakuan nasional atau subnasional (Pomeroy dan Chua, 1993; Cicin-Sain dan Knecht, 1998).

3) Coastal region (wilayah pesisir) adalah kawasan antarmuka dinamik dimana lahan, air, dan atmosfir bertemu dalam keseimbangan yang rapuh yang secara terus menerus berubah oleh alam dan campur tangan manusia. Komponen fisik zona pantai (Gambar 2.1), yang terletak di antara lingkungan laut dan terestrial terdiri atas sisi kering (backshore) dari zona pantai mencakup formasi tanah seperti bukit pasir dan pegunungan, sisi basah zona pantai mencakup zona tepi atau daerah peralihan, yang melibatkan daerah perairan dangkal dan intertidal (foreshore), dan dapat diperluas mencakup perairan laut yang lebih dalam dan sumber dayanya (offshore) (Beatley et al., 2002).

Gambar 2.1. Komponen fisik zona pantai Sumber: Beatley et al. (2006)

Pengertian wilayah pesisir dan kawasan pesisir dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 dan perubahannya (Republik Indonesia, 2014a) mempunyai pengertian yang

(48)

sedikit berbeda. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, sedangkan kawasan pesisir mengandung pengertian bagian wilayah pesisir yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Batas wilayah pesisir (perairan pesisir) ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna sedangkan ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan. Garis pantai diukur pada saat terjadi air laut pasang tertinggi ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Selanjutnya kewenangan daerah dalam mengelola wilayah pesisir diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Republik Indonesia, 2014b) dimana provinsi diberi kewenangan mengelola sumber daya alam di laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Dengan demikian, pengaturan ruang laut daerah dapat dicakup dalam suatu kesatuan penataan ruang pesisir. Sedangkan kewenangan Pemerintah Kota dalam mengelola sumber daya di wilayah laut sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota telah dicabut dan hanya mendapat pembagian hasil adalah 0-4 mil dari 0-12 mil dari kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana tercantum penjelasan pasal 14 ayat (6) dalam undang-undang tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Faktor lingkungan dan prilaku yang berhubungan dengan kejadian malaria di Kecamatan Panyabungan adalah perilaku tidak menggunakan kelambu pada malam hari, tidak

Sebagian besar perempuan di Wilayah Kota Semarang berisiko mengalami IMS berdasarkan ditemukannya karakteristik sebagian besar perempuan mengalami tanda dan gejala IMS

Abstrak.Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen utama bagi manusia yang disebut patogen oportunistik, bakteri ini menjadi problema serius pada pasien rumah sakit yang

Hasil penelitian ini program seleksi tenaga kerja, training kerja dan penghargaan terhadap kinerja karyawan ini didukung peneliti sebelumnya yang sama-sama

Bidang dan Kegiatan Usaha Perdagangan batubara dan pertambangan batubara melalui Anak Perusahaan pemegang 12 (dua belas) Izin Usaha Pertambangan pada Wilayah IUP di Provinsi

Dari permasalahan yang ada, penulis mengusulkan Perancangan Sistem Informasi Simpan Pinjam Koperasi Pada SMK Yuppentek 1 Tangerang berbasis web dengan menggunakan

Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap