• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.4 Pengelolaan dan Penataan Kawasan Pesisir .1 Pengelolaan kawasan pesisir.1Pengelolaan kawasan pesisir

2.4.2 Penataan ruang kawasan pesisir

Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 (Republik Indonesia, 2007b) definisi ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Menurut pendapat Rustiadi et al. (2011) tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Kata kunci di dalam menggambarkan struktur pemanfaatan ruang adalah gambaran mengenai hubungan keterkaitan antara aktivitas-aktivitas pemanfaatan ruang yang wujudnya dideskripsikan dengan aspek struktur hubungan antar komponen-komponen yang ada di dalam wilayah tersebut dan aspek struktur pusat-pusat aktivitas permukiman. Sedangkan pendeskripsian pola ruang berkaitan dengan aspek-aspek distribusi (sebaran) spasial sumberdaya dan aktivitas pemanfaatannya menurut lokasi yang secara formal diekspresikan/ digambarkan dalam berbagi bentuk peta.

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Gambar 2.6). Tata ruang dapat terbentuk secara alamiah dan juga dari hasil proses-proses alam maupun dari hasil proses sosial akibat adanya pembelajaran yang terus-menerus. Perubahan-perubahan tersebut telah terwujud sebelum secara formal dilakukan upaya-upaya mengubah tata ruang yang terstruktur dalam suatu perencanaan tata ruang. Proses pembelajaran yang berkelanjutan tersebut merupakan hasil pengalaman dalam siklus tanpa akhir berupa: pemanfaatan – monitoring – evaluasi – tindakan pengendalian – perencanaan (upaya memperbaiki, mengantisipasi masa depan dan memutuskan tindakan) – pemanfatan – dan seterusnya (Rustiadi et al., 2011).

Gambar 2.6. Siklus perencanaan tata ruang

Sumber: Republik Indonesia (2007b); Rustiadi et al. (2011)

Keluaran atau produk tata ruang sebagaimana yang termaktub dalam UU 11/2020 yang merupakan perubahan atas dari UU 26/2007 berupa dokumen rencana yang bersifat umum berupa kebijakan dan rencana rinci yang fungsional (Republik Indonesia, 2020). Secara hirarkis rencana umum tata ruang (RUTR) terdiri atas: (1) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional berskala 1 : 1.000.000; (2) RTRW Provinsi berskala 1 : 250.000; dan (3) RTRW Kabupaten

Perencanaan Tata Ruang

Pemanfaatan Ruang

Pengendalian Pemanfaatan Ruang

berskala 1 : 50.000, dan RTRW Kota berskala 1 : 25.000. Sedangkan rencana rinci tata ruang (RRTR) secara hirarkis terdiri atas: (1) RTR Pulau/Kepulauan berskala 1 : 500.000; dan (2) RDTR Kabupaten/Kota berskala 1 : 5.000 (Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Produk dan klasifikasi perencanaan tata ruang Sumber: Republik Indonesia, 2020

Menurut Paliawaludin (2004), Amien menyatakan bahwa perencanaan tata ruang wilayah pesisir lebih kompleks bila dibandingkan dengan perencanaan spasial di wilayah daratan (land based/terresterial). Hal ini disebabkan oleh tiga alasan berikut:

1) Perencanaan di wilayah pesisir harus mengikutsertakan semua aspek yang berkaitan baik dengan wilayah daratan maupun wilayah lautan.

2) Aspek daratan dan lautan tersebut tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai. Kedua aspek tersebut saling berinteraksi secara terus menerus dan bersifat dinamis seiring dengan proses-proses fisik dan biogeokimia yang terjadi.

RTRW Propinsi

RDTR Kabupaten/Kota

RTRW Nasional RTR Pulau

RENCANA UMUM RENCANA RINCI

RTRW Kabupaten RTRW Kota

RTR Kaws Stategis Nasional

3) Bentang alam (geomorfologi dan fisiografi) wilayah pesisir berubah secara cepat bila dibandingkan dengan wilayah daratan. Hal ini merupakan hasil interaksi yang dinamis antara daratan dan lautan.

Penataan ruang kawasan pesisir diharapkan dapat mendorong peran serta masyarakat dan swasta dalam pembangunan. Tata ruang yang dimaksud menurut Paliawaludin (2004), dijelaskan oleh Dahuri et al. (1996), mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi menjadi empat mintakat yaitu: (1) zona preservasi;

(2) zona konservasi; (3) zona penyangga; dan (4) zona budidaya atau zona pemanfaatan. Mintakat (1), (2), dan (3) dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 (Republik Indonesia, 2007b) dinamakan sebagai kawasan lindung, sedangkan mintakat (4) sebagai kawasan budidaya. Setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir (industri, pertanian, budidaya perikanan, pemukiman dan lainya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai (kesesuaian lahan), agar pemanfaatannya dapat maksimal dan berkelanjutan.

Istilah perencanaan tata ruang wilayah pesisir dalam Permen KP Nomor 23 Tahun 2016 (Republik Indonesia, 2016) disebut dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) merupakan kewajiban pemerintah daerah provinsi. Penyusun RZWP3K wajib memperhatikan: (1) alokasi ruang untuk akses publik; (2) alokasi ruang untuk kepentingan nasional; (3) keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota; (4) keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam satu bentang alam ekologis (bioekoregion); (5) kawasan, zona, dan/atau alur laut provinsi yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan; (6) kajian lingkungan

hidup strategis; (7) ruang penghidupan dan akses kepada nelayan kecil; (8) nelayan tradisional, pembudidaya ikan kecil, dan petambak garam kecil; (9) wilayah masyarakat hukum adat dan kearifan local; dan (10) peta risiko bencana. Jelaslah di sini, keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam satu bentang alam ekologis (bioekoregion) merupakan salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian, karena karakteristik ekobiologis daratan (terrestrial) sangat berbeda dengan perairan (marine).

Pada kawasan pesisir pola perencanaan sangat dipengaruhi oleh pembagian zona-zona yang sangat ketat hal ini disebabkan karakter wilayah pesisir yang sangat dinamik tapi rentan terhadap perubahan yang terjadi. Secara garis besar kawasan pesisir dipilah menurut Permen KP Nomor 23 Tahun 2016 (Republik Indonesia, 2016):

1) Kawasan pemanfaatan umum merupakan kawasan perairan laut 0-12 mil laut dijabarkan ke dalam zona pariwisata, permukiman, pelabuhan, hutan mangrove, pertambangan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pergaraman, industry, bandar udara, pendaratan pesawat, jasa/perdagangan, energy, fasilitas umum, pemanfaatan air laut selain energi, dan/atau pemanfaatan lainnya sesuai dengan karakteristik. Alokasi ruang untuk wilayah perairan laut sampai dengan 2 mil laut diutamakan untuk kawasan konservasi, ruang penghidupan dan akses kepada nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudidaya, ikan kecil, dan petambak garam kecil, wisata bahari berkelanjutan, dan infrastruktur publik;

2) Kawasan konservasi merupakan kawasan perairan laut 0-12 mil laut dikategorikan atas kawasan konservasi, kawasan konservasi maritim, dan kawasan konservasi perairan dijabarkan zona pemanfaatan terbatas, zona perikanan berkelanjutan dan zona lainnya sesuai dengan peruntukan kawasan, dapat berupa kawasan lindung;

3) Kawasan strategis nasional tertentu merupakan kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional; dan 4) Alur laut yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan

migrasi biota laut.

Menurut Yunandar (2007) agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan di lokasi sesuai kriterian kawasan yang telah ditetapkan dalam peraturan menteri di atas, Sulasdi menyarankan agar kelayakan biofisik (biophysical suitability) di wilayah pesisir harus diidentifikasi lebih dahulu.

Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persya-ratan biofisik (biophysical requirements) setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) kawasan pesisir. Selanjutnya menurut Yunandar (2007), Rayes mengemukakan bahwa kesesuaian lahan adalah terjalinnya antara kebutuhan (demand) dengan kemampuan sumberdaya lingkungan yang tersedia (carrying capacity). Dengan mengacu kepada keseim-bangan antara demand dan supply, maka akan dicapai suatu optimasi pemanfaatan ruang antara kepentingan masa kini, masa datang serta menghindari terjadinya

konflik pemanfaatan ruang. Kesesuaian lahan tidak saja mengacu kepada kriteria biofisik semata, tetapi juga meliputi kesesuaian secara sosial ekonomi.

Penataan ruang kawasan pesisir bertujuan untuk mencapai keserasian dan kesimbangan lingkungan dan sumberdaya alam di masa depan. Visi dan strategi yang saling berhubungan sangat penting melalui pendekatan perencanaan yang tepat. Berikut beberapa pendekatan perencanaan yang relevan untuk kawasan pesisir (Beatley et al., 2006) antara lain:

1) Rencana komprehensif (comprehensive plan) atau rencana induk/umum mengatur penggunaan lahan lebih spesifik, seperti penetapan zonasi dan penga-lihan hak pembangunan (transfer of development rights/TDR). Keseluruhan visi dirumuskan oleh masyarakat, dalam rentang waktu 15 atau 20 tahun, dan direvisi setiap 5 tahun sekali. Cakupan rencana memetakan fitur lingkungan yang sensitif, seperti lahan basah dan area habitat yang penting, serta lokasi dengan kendala pengembangan yang signifikan, seperti dataran banjir. Fitur dan sumber daya masyarakat penting lainnya, seperti bangunan bersejarah dan lokasi dan lahan pertanian produktif, juga dipetakan dan diinventarisasi.

Produk akhirnya berupa diagram rencana atau peta penggunaan lahan;

2) Zonasi konvensional (conventional zoning) penekanan pada pengendalian jenis penggunaan lahan yang diizinkan dikomunitas tertentu (misalnya, perumahan, komersial, industri) beserta intensitasnya (misalnya, rasio jumlah, ketinggian, luas lantai, ketentuan kemunduran). Konsep zonasi ini dapat sangat berguna dalam mencapai berbagai tujuan lokal, seperti melarang atau mengurangi pembangunan di lahan pesisir dilingkungan yang peka (misalnya, lahan basah

pesisir, kifer, sumber air, hutan pantai), dan membatasi pembangunan di zona bahaya berisiko tinggi, sehingga mengurangi resiko kematian dan kerusakan harta benda terhadap angin topan, banjir sungai, dan bahaya pesisir lainnya;

3) Konsep kemunduran pembangunan (setback requirements), merupakan bagian dari zonasi dan elemen pengaturan yang sangat penting pada kawsan pesisir.

Kemunduran pada zonasi rawan bahaya ini untuk mengurangi paparan dari badai, dan membuat garis vegetasi dengan jarak 30 kali tingkat erosi tahunan.

Hanya penggunaan terbatas tertentu yang diizinkan di zonasi ini (misalnya tempat berjemur, teras, gazebo, dan jalan setapak).

Pendekatan-pendekatan penataaan ruang kawasan pesisir tersebut diatas merupakan model pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Model penataan tetap berpedoman pada kebijakan yang telah dirumuskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh. Perbedaannya adalah pada penekanan pada pengendalian jenis penggunaan lahan yang diizinkan serta pengaturan kemunduran pembangunan melalui pengaturan penggunahan lahan untuk mengurangi paparan dari bencana banjir rob dan tsunami.