• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi dan Peluang Sumberdaya Pesisir Kota Banda Aceh .1 Gambaran umum potensi Kota Banda Aceh

BAB I PENDAHULUAN

2.6 Potensi dan Peluang Sumberdaya Pesisir Kota Banda Aceh .1 Gambaran umum potensi Kota Banda Aceh

Gambar 2.9. Konseptual fasilitas pencegahan tsunami di kota Sendai Sumber: Shibayama et al. (2013)

2.6 Potensi dan Peluang Sumberdaya Pesisir Kota Banda Aceh

Kondisi topografi (ketinggian) kota Banda Aceh berkisar antara 0,45 m -1,00 m di atas permukaan laut (dpl), dengan rata-rata ketinggian 0,80 m dpl. Bentuk permukaan lahannya (fisiografi) relatif datar dengan kemiringan (lereng) antara 2%

- 8%. Bentuk permukaan ini menandakan bahwa tingkat erosi relatif rendah, namun sangat rentan terhadap genangan khususnya pada saat terjadinya pasang dan gelombang air laut terutama pada wilayah bagian Utara atau pesisir pantai. Dalam lingkup makro, Kota Banda Aceh dan sekitarnya secara topografi merupakan dataran banjir Krueng Aceh dan 70% wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 5 meter dpl. Ke arah hulu dataran ini menyempit dan bergelombang dengan ketinggian hingga 50 meter dpl. Dataran ini diapit oleh perbukitan terjal di sebelah Barat dan Timur dan ketinggian lebih dari 500 m, sehingga mirip kerucut dengan mulut menghadap ke laut. Kondisi topografi dan fisiografi lahan sangat berpengaruh terhadap sistem drainase. Kondisi drainase di Kota Banda Aceh cukup bervariasi, yaitu jarang tergenang seperti pada wilayah Timur dan Selatan kota, kadang-kadang tergenang dan tergenang terus-menerus seperti pada kawasan rawa-rawa/genangan air asin, tambak dan atau pada lahan dengan ketinggian di bawah permukaan laut baik pada saat pasang maupun surut air laut (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2014).

Berdasarkan data klimatologi untuk wilayah Kota Banda Aceh yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Blang Bintang menunjukkan bahwa dari tahun 1986 sampai dengan 2003, suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,5ºC hingga 31ºC, dengan kirasaran antara 18,0ºC sampai 37,0ºC atau suhu rata-rata udara 26,4ºC, dan tekanan (minibar) antara 1008-1012. Geomorfologi daerah

pesisir Kota Banda Aceh secara garis besar dibagi menjadi pedataran yang terdapat di pesisir pantai utara dari Kecamatan Kuta Alam hingga sebagian Kecamatan Kuta Raja, dan pesisir pantai yang terletak di wilayah barat atau sebagian Kecamatan Meuraxa. Daerah pedataran di pesisir Kota Banda Aceh secara umum terbentuk dari endapan sistim marin yang merupakan satuan unit yang berasal dari bahan endapan (aluvial) marin yang terdiri dari pasir, lumpur dan kerikil. Kelompok ini dijumpai di dataran pantai yang memanjang sejajar dengan garis pantai dan berupa jalur-jalur beting pasir resen dan subresen. Terdapat tujuh sungai yang melalui Kota Banda Aceh yang berfungsi sebagai daerah aliran sungai dan sumber air baku, kegiatan perikanan, dan sebagainya. Air tanah di Kota Banda Aceh bersifat asin, payau dan tawar. Air tanah asin terdapat pada bagian utara dan timur kota sampai ke tengah kota. Air payau berada di bagian tengah kota membujur dari timur ke barat.

Sedangkan air tanah tawar berada di bagian selatan kota membentang dari Kecamatan Baiturrahman sampai Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Lueng Bata, Kecamatan Ulee Kareng, dan Kecamatan Banda Raya (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2014).

Berdasarkan jenis penggunaan lahan, secara umum wilayah Kota Banda Aceh terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Menurut RTRW Kota Banda Aceh tahun 2009-2029, kawasan lindung Banda Aceh direncanakan akan menempati area dengan luas 1.189,65 ha atau 20,15% dari total luas wilayah (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2018). Namun secara aktual, BPS Kota Banda Aceh (2018) mencatat mencatat bahwa pada 2017 Banda Aceh memiliki Ruang terbuka hijau (RTH) yang merupakan bagian dari kawasan lindung kota

seluas 637 ha atau 10,79% dari luas wilayah. Angka ini menurun dari tahun-tahun sebelumnya, misalnya 11,87% pada tahun 2012 dan 13,22% pada tahun 2016.

Meskipun demikian, ditinjau dari sektor pola tata ruang, RTH yang bertujuan sebagai fungsi ekologis, ekonomi, dan estetika ini akan dikembangkan dengan cakupan luasan berkisar 20,59 ha (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2018).

Hutan mangrove direncanakan seluas 111,2 ha yang membujur di sebelah pesisir utara Kota Banda Aceh mulai Ulee Pata Kecamatan Jaya Baru memanjang hingga daerah pesisir Alue Naga Kecamatan Syiah Kuala. Hamparan hutan mangrove ini sebagian besar masih berusia muda hasil rehabilitasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga, terutama oleh Dinas Kehutanan Provinsi Aceh melalui Rehab-Rekon BRR NAD-Nias, WIIP melalui proyek Green coast, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Aceh, serta dibantu oleh pihak pemerintah dan donor nasional maupun internasional, bersama-sama masyarakat. Terdapat beberapa spesies mangrove yang tumbuh di pesisir pantai antara lain Bruguiera sp, Rhizophora sp, Avicennia sp, Sonneratia alba, dan Nypa fruticans. Hasil penelitian Hariati (2015) menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kota Banda Aceh memberi manfaat yang cukup bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.

Manfaat tidak langsung (ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi dan sebagai tempat produksi atau hasil tangkapan nelayan) mempunyai nilai terbesar yaitu Rp147.609.166/bulan atau 35,3%. Pendugaan nilai utility konsumen dari sumberdaya ekosistem mangrove terbesar diperoleh dari pemanfaatan hasil penangkapan kepiting yaitu sebesar Rp23.940.000 dengan surplus konsumen yaitu Rp16.240.000. Nilai tersebut diperoleh dari hasil yang diperoleh lahan mangrove

yang terdapat pada empat kecamatan seluas 111,2 ha dengan rata-rata permintaan konsumen 171/kg/bulan, selanjutnya utility dari udang sebesar Rp4.830.000 dengan surplus konsumen Rp2.880.000 dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 69/kg/bulan, kemudian utility dari ikan sebesar Rp4.560.000 dengan surplus konsumen Rp3.410.000 dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 114/kg/bulan. Utility dari tiram sebesar Rp945.000 dengan surplus konsumen Rp395.000 dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 63/kg/bulan.

Sebagai wilayah pesisir di mana perikanan adalah sektor industri yang penting, Banda Aceh juga memiliki area tambak seluas 423,8 ha yang dikelola oleh 401 petani tambak. Nilai Produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB) Kota Banda Aceh di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar Rp129.768,4 juta di tahun 2017 atau menyumbang sebesar 0,95% dari total PDRB Kota Banda Aceh, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dengan laju pertumbuhan sebesar 0,95%. Total PDRB Kota Banda Aceh di tahun 2017 sebesar Rp13.940.316,5 juta, dengan sektor perdagangan dan adminitrasi pemerintahan masih memegang peranan penting dalam PDRB di Kota Banda Aceh (BPS Kota Banda Aceh, 2018). Sektor perikanan darat (tambak) mempunyai potensi yang strategis bagi pembangunan di kawasan pesisir Kota Banda Aceh untuk dikem-bangkan dengan konsep silvofishery (perpaduan tambak dengan hutan mangrove).

Kota Banda Aceh dalam menghadapi kemungkinan terulangnya peristiwa tsunami sudah memiliki tiga tsunami early warning system (sistem peringatan dini tsunami) dan lima escape building (bangunan penyelamat). Sistem peringatan dini tsunami sudah terpasang di Gampong Blang Oi, Kecamatan Meuraxa, serta

Lam-pulo dan Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam. Tiga bangunan penyelamat yang juga berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat (community building) telah dibangun di Gampong Alue Deah Teungoh, Deah Glumpang, dan Lambung (Gambar 2.10 (a)) atas bantuan Pemerintah Jepang, satu lagi bangunan penyelamat terletak di Uleelheu (Gambar 2.10 (b)) yang juga berfungsi sebagai pusat riset tsunami yang dikelola oleh TDMRC Unsyiah semuanya berlokasi di Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh. Bangunan penyelamat lainnya terletak di Lamjamee, Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2019).

Gambar 2.10a. EB Lambung yang juga berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial (kiri), Gambar 2.10b. EB Ulelheu sebagai pusat riset tsunami TDMRC Unsyiah (kanan)

Sumber: dokumentasi pribadi

2.6.2 Peluang sumberdaya pesisir Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh merupakan kota pesisir yang berada di ujung Barat Pulau Sumatera memiliki daya tarik sendiri untuk mendukung sector pariwisata dan perikanan. Daya tarik ini menjadi potensi alam yang utama kota dalam meningkatkan perekonomian daerahnya dimasa yang akan datang. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggali dan mengembangkan potensi alam yang dimiliki tersebut antara lain:

(a) (b)

1) Pengembangan kawasan pantai sebagai wisata alam. Kawasan ini dibatasi pengembangannya untuk kegiatan fisik perkotaan atau untuk pengembangan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai buffer zone. Kawasan ini dapat dikembangkan untuk kegiatan wisata pantai, wisata air atau bahari, pemancingan, arena perkemahan, kuliner dan tempat penelitian. Lokasi pengembangan wisata ini adalah di daerah Ulee Lheu, Gampong Pande, Gampong Jawa, Deah Raya dan Alue Naga.

2) Pengembangan potensi perikanan. Salah satu bentuk pengembangan potensi perikanan ini adalah berupa penyediaan lahan utuk pengembangan industri perikanan yang diarahkan lokasi di Lampulo. Kegiatan industri perikanan ini berupa pengumpulan dan pengolahan ikan hasil tangkapan secara terpadu dari nelayan Banda Aceh dan daerah sekitarnya yang siap untuk kebutuhan sendiri maupun ekspor ke daerah lain dan luar negeri.