• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.7 Ancaman Bahaya di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

2.7.2 Tsunami

Tsunami adalah gelombang laut yang sangat besar yang dipicu oleh gempa bumi di dasar laut akibat subduksi lempeng, pergerakan patahan, letusan gunung

api di dasar laut, maupun tumbukan benda luar angkasa. Syarat terjadinya tsunami adalah gempa bumi bermagnitudo di atas 6 skala Richter (SR) yang berada pada kedalaman kurang dari 60 km, dan jenis sesar gempa merupakan sesar naik atau sesar turun (Republik Indonesia, 2009; Santius, 2015). Akibat hentakan kuat mereng-gutkan massa besar air laut dalam, kemudian gelombang balik air menerjang dengan kecepatan hingga 800 km/jam, mendekati pantai gelombang melambat ketika mencapai daratan yang landai namun mendesak ke atas, menghempas ke daratan, dan menghancurkan apapun di belakang pantai (Republik Indonesia, 2005b).

Kedahsyatan tsunami digambarkan oleh Armentrout dan Patricia (2007), dan Esteban et al. (2015), cukup menakutkan karena umumnya tsunami sulit terdeteksi hingga tsunami tersebut mencapai perairan dangkal dekat pantai. Gambar 2.13 memperlihatkan sebuah diagrammatik yang merepresentasikan tipikal potongan suatu kawasan yang dilanda tsunami, menunjukan kenaikan gelombang (run-up) dan ketinggian genangan (inundation).

Gambar 2.13. Tinggi dan kedalaman genangan, serta kenaikan gelombang yang diakibatkan oleh tsunami

Sumber: Esteban et al. (2015)

Kecepatan tsunami di lautan dalam (samudera) dengan gelombang cukup panjang dibandingkan dengan kedalaman laut (> 25 kali kedalaman laut), dapat diperkirakan dengan persamaan (Republik Indonesia, 2009):

c =

g x h ……….. (2.1)

dimana:

c: kecepatan rambat (m/s), g: gravitasi (= 9,8 m/s2), dan h: kedalaman laut (m).

Sebagai contoh bila kedalaman laut h = 4 km, maka kecepatan rambat gelombang c =

4000 m x 9,8 m/s2= 197,9 m/s = 712,7 km/jam.

Panjang gelombang yang saat pertama kali dibangkitkan pada perairan dalam dengan gelombang tsunami yang sangat panjang (100 – 200 km) dan amplitudo (tinggi gelombang) yang kecil berkisar 1 m (Gambar 2.14), maka setelah memasuki perairan dangkal, gelombang tsunami akan mengalami perlambatan karena semakin besarnya hambatan berupa topografi dasar laut yang dangkal, gesekan dengan pepohonan, bangunan, dan lain sebagainya. Karena gelombang mengalami perlambatan, maka akan terjadi penumpukan gelombang pada saat memasuki pantai. Kondisi ini menyebabkan bertambahnya tinggi gelombang yang mulanya hanya 1 m pada saat mencapai pantai amplitudo gelombang tsunami dapat mencapai lebih dari 30 m.

Gambar 2.14. Perbandingan kecepatan dan panjang gelombang tsunami pada berbagai pada berbagai kedalaman laut (Tsunami Glossary UNESCO)

Sumber: Hoppe (2010)

Gelombang tsunami terbesar tidak selalu terjadi pada gelombang pertama, tetapi pasti terjadi pada 10 gelombang pertama (Lorca dan Recabarren, 1997).

Kenaikan tinggi gelombang ini, menurut Santius (2015) disebut fenomena shoaling effect dan dapat dijelaskan melalui persamaan Murata et al. (2011), berikut:

=

……….. (2.2)

dimana:

= tinggi gelombang pada kedalaman

Bila gelombang tsunami dibangkitkan pertama kali pada kedalaman laut 4000 m, maka pada saat gelombang tsunami mencapai perairan yang berkedalaman 10 m akan terjadi amplifikasi tinggi gelombang sebesar:

Persamaan diatas tidak menjelaskan besarnya magnitudo (kekuatan) gempa terhadap tinggi (rayapan) gelombang tsunami. Hubungan antara besarnya magnitudo gempa dan tinggi tsunami menurut Republik Indonesia (2009) dapat menggunakan persamaan Abe (1993) berikut:

Log (Hr) = 0,5 Mw – 3,3 + C ……….. (2.3) dimana:

Hr: tinggi tsunami batas (m),

Mw (magnitudo gempa tsunami) = Mt (magnitudo gempa) C: konstanta, C = 0 untuk fore arc dan C = 1 untuk back arc.

dan tinggi rayapan maksimum adalah ukuran tinggi air di pantai terhadap muka air laut rata-rata yang dinyatakan dengan persamaan:

Hm = 2 Hr ……….. (2.4) dimana:

Hm: tinggi rayapan maksimum (m).

Sebagai contoh bila terjadi gempa dengan magnitudo gempa 9 (SR), maka:

Log (Hr) = (0,5 x 9) - 3,3 + 0 = 1,2 Hr = (10)1,2= 15,85 m Hm = 2 x 15,84 = 31,69 m.

Selanjutnya untuk menghitung penurunan tinggi gelombang tsunami (jangkauan genangan) saat masuk ke daratan (hinterland) dapat digunakan persamaan Berryman berikut (Berryman, 2006; Purbani et al., 2013):

dimana:

= koefisien kekasaran permukaan Manning (nilai yang berasal dari konversi jenis tutupan lahan)

Ho = tinggi tsunami pada garis pantai (m)

= slope (kemiringan lereng) dalam derajat

Besarnya nilai koefisien kekasaran (n) Manning berdasarkan beberapa jenis tutupan lahan dapat dilihat dalam Tabel 2.1 (Kalyanapu et al., 2009; Bunya et al., 2010; Kaiser et al., 2011; Liu et al., 2018). Potensi genangan dapat diperoleh dari historis run up dan inundation tsunami yang telah terjadi sebelumnya, namun karena panjangnya frekuensi di antara kejadian tsunami, maka informasi di daerah tentang inundation dan run up menjadi terbatas. Karena itu, data dari lokasi lain juga berguna sebagai data rujukan mengenai kemungkinan kejadian mendatang dan dapat digunakan sebagai masukan selama pelaksanaan pemetaan. Tabel 2.2 di bawah adalah contoh kompilasi data dari berbagai bencana tsunami yang pernah terjadi di Indonesia.

Tabel 2.1. Nilai koefisien kekasaran permukaanManning No. Penggunaan Lahan Koefisien Kekasaran

Permukaan

1 Laut (tubuh air) 0.001

2 Gosong pantai 0.015

3 Sungai 0.07

4 Pelabuhan laut 0.15

5 Hutan mangrove 0.06

6 Lahan terbuka 0.015

7 Semak 0.04

8 Belukar 0.05

9 Kebun campuran 0.035

10 Rawa 0.015

11 Rumput rawa 0.025

12 Tegalan/ladang 0.03

13 Tambak 0.01

14 Permukiman kepadatan rendah 0.04

15 Permukiman kepadatan sedang 0.06 16 Permukiman kepadatan tinggi 0.08

17 Gedung 0.15

18 Jalan kolektor 0.01

19 Jalan lokal dan lainnya 0.013

Sumber : Kalyanapu et al., 2009; Bunya et al., 2010; Kaiser et al., 2011; Liu et al., 2018

Tsunami yang terjadi di Aceh menurut Natawidjaya (2007) adalah akibat tekanan lempengan dari lautan (lempeng Samudera Hindia atau lempeng Indo-Australia) terhadap lempeng benua (lempeng Eurasia) yang bergerak dari selatan ke utara (ke arah Kepulauan Mentawai dan Pulau Sumatera) sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2.15. Tekanan lempeng ini telah berlangsung selama puluhan sampai ratusan tahun dan terus meningkat sampai melampaui kekuatan batuan, sehingga batuan dibawah pulau-pulau akan pecah dan bergesar secara tiba-tiba, dan menimbulkan gempa bumi. Lokasi dan waktu yang tepat terjadinya gempa tektonik hingga kini dengan teknologi yang ada belum dapat diprediksi. Namum dengan mengetahui sistem kegempaan di pantai barat Sumatera dan adanya periode pengu-langan gempa sekitar 200 tahunan, guncangan gempa besar dapat diperkirakan terjadi lagi kurun waktu 50 tahun kedepan.

Tabel 2.2. Data rujukan dari 5 kejadian tsunami di Indonesia

Tanggal Magnitudo (SR)

Kedalaman Pusat Gempa

Run Up Maksimum

(m)

Inundation Maksimum

(m)

Jumlah Korban (Akibat Tsunami)

Area Bencana (Indonesia)

12 Sep

2007 7,9 10 3,6 tidak

tercacat - Bengkulu dan

Sumatera Barat

17 Juli

2006 7,7 8 7,6 500 668

Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta 26 Des

2004 9,3 30 34 5.000 > 210.000

(seluruh lautan)

Aceh dan Sumatera Utara 17 Feb

1996 8,2 32 13,7 tidak

tercacat 107 Biak, Papua

12 Des

1992 7,8 36 28,2 tidak

tercacat < 2.000 Pulau Babi, Flores Sumber: Hoppe (2009)

Gambar 2.15. Wilayah pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia Sumber: Diposaptono (2014)

Arah terjangan tsunami yang terjadi di tahun 2004 terhadap pesisir Kota Banda Aceh menunjukkan arah yang relatif tegak lurus garis pantai, baik yang langsung dari barat seperti pada daerah Lhok Nga, maupun yang dari utara setelah pembelokan dari pulau-pulau di ujung Sumatera dan Kepulauan Andaman. Pola kerusakan akibat terjangan tsunami yang sejajar garis pantai, dengan gradasi kerusakan yang melemah tegak lurus menjauhi pantai, mengindikasikan juga bahwa arah terjangan gelombang tegak lurus garis pantai seperti ditampilkan dalam Gambar 2.16 (Republik Indonesia, 2005a).

Gambar 2.16. Arah terjangan gelombang tsunami Sumber: Republik Indonesia (2005a)

Berdasarkan jangkauan dan tingkat kerusakan tersebut, maka kerusakan akibat gempabumi dan tsunami di Aceh dapat dibedakan atas 4 zona kerusakan seperti terlihat pada Gambar 2.17. Jangkauan dan luasan tsunami yang terjadi pada tahun 2004 juga dipetakan oleh Iemura et al. (2012) dengan membuat tugu peringatan ketinggian tsunami (tsunami height memorial poles) di Kota Banda Aceh (Gambar 2.18, 2.19 (a) dan (b)). Perbandingan kondisi Kota Banda Aceh masa sesebelum, sesudah dan saat ini dapat dilihat pada Gambar 2.20, 2.21, dan 2.22. dengan bantuan citra satelit google.

Gambar 2.17. Kondisi kerusakan per zona Sumber: Republik Indonesia (2005a)

Gambar 2.18. Lokasi tugu peringatan ketinggian tsunami Sumber: Iemura et al. (2012)

Gambar 2.19. Tugu peringatan ketinggian tsunami

(a) Tugu tertinggi No. 69, tinggi 9 m berjarak 0,5 km dari pantai, lokasi Masjid Lam Tengoh, Peukan Bada, Banda Aceh. (b) Tugu terendah No. 28, tinggi 0,9 m berjarak 4,3 km, lokasiDinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Banda Aceh.

Sumber: Iemura et al. (2012)

Gambar 2.20. Konsidi Kota Banda Aceh 6 bulan sebelum tsunami Sumber: Google satellite image.

(b) (a)

Gambar 2.21. Konsidi Kota Banda Aceh 1 tahun sesudah tsunami Sumber: Google satellite image.

Gambar 2.22. Konsidi Kota Banda Aceh 14 tahun sesudah tsunami Sumber: Google satellite image.

2.8 Tata Ruang Kota Banda Aceh Pratsunami dan Pascatsunami