BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklampsia/Eklampsia
2.1.1 Pengertian Preeklampsia/Eklampsia
Preeklampsia adalah terjadinya peningkatan tekanan darah paling sedikit
140/90, proteinuria, dan oedema (Rozikan, 2007). Preeklampsia merupakan penyulit
kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala
klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat
(Sarwono, 2008).
Preeklampsia atau toksemia umumnya terjadi pada trimester ketiga.
Persentasenya adalah 5-10% kehamilan. Kecenderungannya meningkat pada faktor
genetis. Berbeda dengan tekanan darah tinggi menahun, preeklampsia ialah kondisi
peningkatan tekanan darah yang terjadi ketika hamil. Preeklampsia lebih sering
terjadi pada ibu yang mengalami kehamilan yang pertama kali (7%). Wanita yang
hamil berusia 35 tahun, hamil kembar, menderita diabetes, tekanan darah tinggi dan
gangguan ginjal juga mempunyai risiko menderita preeklampsia. Sejauh ini,
penyebab gangguan ini belum diketahui secara pasti. Diduga penyebab preeklampsia
adalah penyempitan pembuluh darah yang unik (Indiarti, 2009).
Komplikasi/penyulit langsung kehamilan yang menyebabkan trias kehamilan
Preeklampsia dan eklampsia merupakan penyakit yang berkelanjutan dengan batas
atau tambahan “kejang atau koma” (Bandiyah, 2009).
Preeklampsia, gejalanya sakit kepala disertai pusing, mual, penglihatan kabur,
mata berkunang-kunang, dan pembengkakan. Risiko preeklampsia meningkat pada
ibu yang hamil pertama kali, hamil kembar, punya darah tinggi atau diabetes, serta
pada mereka yang anggota keluarganya-seperti ibu atau saudara kandung-menderita
preeklampsia juga (Ayahbunda, 2008).
2.1.2 Tanda dan Gejala Preeklampsia
Preeklampsia ringan ditandai dengan gejala meningkatnya tekanan darah yang
mendadak (sebelum hamil tekanan darah normal) ≥ 140/90 mmHg dan adanya
protein urine (diketahui dari pemeriksaan laboratorium kencing) +1/+2 dan terjadi
pada usia kehamilan di atas 20 minggu (Wibisono dan Dewi, 2009).
Preeklampsia ringan adalah kondisi ibu yang disebabkan oleh kehamilan
disebut keracunan kehamilan. Tanda dan gejala preeklampsia ringan dalam
kehamilan antara lain : edema (pembengkakan) terutama tampak pada tungkai, muka
disebabkan ada penumpukan cairan yang berlebihan di sela-sela jaringan tubuh,
tekanan darah tinggi, dan dalam air seni terdapat zat putih telur (pemeriksaan urine
dari laboratorium). Preeklampsia berat terjadi bila ibu dengan preeklampsia ringan
tidak dirawat, ditangani dan diobati dengan benar. Preeklampsia berat bila tidak
ditangani dengan benar akan terjadi kejang-kejang menjadi eklampsia (Bandiyah,
Preeklampsia terjadinya karena adanya mekanisme imunolog yang kompleks
dan aliran darah ke plasenta berkurang. Akibatnya jumlah zat makanan yang
dibutuhkan janin berkurang. Makanya, preeklampsia semakin parah atau berlangsung
lama bisa menghambat pertumbuhan janin. Preeklampsia menyebabkan tubuh ibu
‘teracuni’ dan membahayakan janin. Gejalanya adalah pembengkakan pada beberapa
bagian tubuh, terutama muka dan tangan. Lebih gawat lagi apabila disertai
peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba, serta kadar protein yang tinggi pada urin
(Indiarti, 2009).
Gangguan pada preeklampsia lebih dari sekedar hipertensi dan proteinuria.
Terdapat keterlibatan multiorgan dan sistem akibat fungsi sel endotel maternal, yang
tampak sebagai bagian dari respons radang intravaskular maternal yang lebih
menyeluruh yang berkaitan dengan vasospasme dan kurang perfusi. Pengkajian
tekanan darah dan urinalisis masih merupakan cara pertama karena mudah dan relatif
mudah untuk dikaji walaupun tidak memusatkan patogenesis preeklampsia
(Billington dan Stevenson, 2010).
Menurut Destiana (2010), preeklampsia gejalanya terjadi secara bertahap,
mula-mula terdapat kenaikan tekanan darah yang ringan di atas 140/90 mmHg; di
bawah 160/110 mmHg); sering disertai bengkak pada muka, kelopak mata, punggung
tangan atau pada kaki. Apabila sudah terjadi keadaan preeklampsia berat (tekanan
darah di atas 160/110 mmHg) ibu bisa merasakan sakit kepala, nyeri ulu hati atau
hamil harus selalu diperiksa dan diulangi apabila ada kecurigaan terjadinya
preeklampsia.
Preeklampsia ringan masih dapat berobat jalan dengan pantang garam, kontrol
setiap minggu dapat diberikan obat penenang dan diuretik (meningkatkan
pengeluaran air seni). Di samping itu bila keluhan makin meningkat disertai
gangguan subjektif, disarankan untuk segera kembali memeriksakan diri (Bandiyah,
2010).
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi
disertai proteinuria dan atau edema setelah kehamilan 20 minggu.
Hipertensi : sistolik / diastolik ≥ 140/90 mmHg.
• Proteinuria : ≥ 300 mg/24 jam
• Edema : edema local tidak dimasukan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema
pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.
Diagnosis preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah
sistolik lebih dari ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai
proteinuria lebih 5 gr/24 jam. Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria pre- eklampsia
berat sebagaimana tercantum di bawah ini :
• Sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg
• Proteinuria lebih 5 gr/24 jam
• Oliguria
• Kenaikan kadar kreatinin plasma
• Nyeri epigastrium
• Edema paru-paru dan sianosis
• Hemolisis mikroangiopatik
• Trombositopenia berat
• Gangguan fungsi hepar
2.1.3 Bahaya Preeklampsia/Eklampsia pada Ibu dan Janin
Menurut Bandiyah (2009), bahaya preeklampsia/eklampsia dalam kehamilan
antara lain: preeklampsia berat, timbul serangan kejang-kejang (eklampsia).
Sedangkan bahaya pada janin antara lain: memberikan gangguan pertumbuhan janin
dalam rahim ibu dan bayi lahir lebih kecil, mati dalam kandungan.
Bahaya preeklampsia berat dalam kehamilan antara lain :
1. Bahaya bagi ibu dapat tidak sadar.
2. Bahaya bagi janin, dalam kehamilan ada gangguan pertumbuhan janin dan bayi
lahir kecil, mati dalam kandungan.
Preeklampsia tidak hanya berisiko menjadi eklampsia, melainkan juga
memicu komplikasi yang mengganggu proses kehamilan dan persalinan. Komplikasi
yang terjadi antara lain:
1. Berkurangnya aliran darah menuju plasenta
Jika plasenta tidak mendapat cukup darah, maka janin akan mengalami
kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga pertumbuhan janin melambat atau lahir
2. Lepasnya plasenta
Preeklampsia meningkatkan risiko lepasnya plasenta dari dinding rahim sebelum
lahir, sehingga terjadi perdarahan dan dapat mengancam keselamatan bayi
maupun ibunya.
3. Sindroma HELLP
Sindroma HELLP (Hemolysis Elevated Liver and Low Platelet) yaitu
meningkatnya kadar enzim dalam hati dan berkurangnya jumlah sel darah dalam
keseluruhan darah).
4. Diabetes
Komplikasi diabetes gestasional dapat membuat bayi mengalami preeklampsia
atau keracunan kehamilan.
2.1.4 Upaya-upaya Pencegahan Preeklampsia/Eklampsia
Upaya pencegahan proaktif dibutuhkan sejak awal kehamilan, selama
kehamilan sampai dekat menjelang persalinan, yang dilakukan bersama-sama oleh
tenaga kesehatan bidan di desa dan ibu hamil, suami dan keluarga (Bandiyah, 2009).
Upaya-upaya pencegahan antara lain:
1. Meningkatkan cakupan, kemudian kepada semua ibu hamil diberikan perawatan
dan skrining antenatal untuk deteksi dini secara proaktif yaitu mengenal masalah
yang perlu diwaspadai dan menemukan secara dini adanya tanda bahaya dan
faktor risiko pada kehamilan.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan sesuai kondisi dan faktor risiko yang ada pada
3. Meningkatkan akses rujukan yaitu: pemanfaatan sarana dan fasilitas pelayanan
kesehatan ibu sesuai dengan faktor risikonya melalui rujukan berencana bagi ibu
dan janin.
Pencegahan terbaik preeklampsia/eklampsia adalah dengan memantau
tekanan darah ibu hamil. Padukan pola makan berkadar lemak rendah dan perbanyak
suplai kalsium, vitamin C dan A serta hindari stres. Selain bedrest, ibu hamil juga
perlu banyak minum untuk menurunkan tekanan darah dan kadar proteinuria, sesuai
petunjuk dokter. Lalu, untuk mengurangi pembengkakan, sebaiknya ibu hamil
mengurangi garam dan beristirahat dengan kaki diangkat ke atas (Indiarti, 2009).
Bila sejak awal kehamilan tekanan darah ibu hamil sudah tinggi, berarti ibu
hamil harus berhati-hati dengan pola makanannya. Ibu hamil harus mengurangi
makanan yang asin dan bergaram seperti ikan asin, ebi, makanan kaleng, maupun
makanan olahan lain yang menggunakan garam tinggi. Bila tekanan darah meningkat,
istirahatlah sampai turun kembali. Lakukan relaksasi secukupnya, karena relaksasi
dapat menurunkan tekanan darah tinggi (Indiarti, 2009).
Upaya pencegahan preeklampsia/eklampsia sudah lama dilakukan dan telah
banyak penelitian dilakukan untuk menilai manfaat berbagai kelompok bahan-bahan
non-farmakologi dan bahan farmakologi seperti: diet rendah garam, vitamin C,
toxopheral (vit E), beta caroten, minyak ikan (eicosapen tanoic acid), zink,
magnesium, diuretik, anti hipertensi, aspirin dosis rendah, dan kalsium untuk
Menurut Indiarti (2009), pembengkakan tidak selalu identik dengan gejala
preeklampsia, sebab kondisi yang sering disebut odema ini juga bisa terjadi pada ibu
hamil, terutama di bagian tangan dan kaki. Gejala preeklampsia biasanya disertai
darah tinggi, mual atau muntah. Pencegahan terbaik adalah dengan memantau
tekanan darah. Padukan pola makan berkadar lemak rendah dan perbanyak suplai
kalsium, vitamin C dan A serta hindari stress.
Destiana (2010), menambahkan upaya untuk mencegah preeklampsia/
eklampsia di antaranya rajin memeriksakan kandungan (ANC) secara teratur
sehingga dapat dideteksi sejak dini ada tidaknya preeklampsia/eklampsia pada ibu
hamil. Pemeriksaan pada ibu hamil di antaranya tes urin untuk mendeteksi
kemungkinan adanya preeklampsia/eklampsia dan mengukur tekanan darah untuk
mendeteksi adanya preeklampsia/eklampsia.
2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Preeklampsia 2.2.1 Karakteristik Ibu Hamil
Karakteristik ibu hamil memengaruhi terjadinya preeklampsia antara lain
sebagai berikut :
1. Umur
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan
melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2007). Usia juga
memengaruhi tingkat pengetahuan seseorang karena semakin bertambahnya usia
maka lebih banyak mendapatkan informasi dan pengalaman sehingga secara tidak
langsung tingkat pengetahuan terutama tentang kehamilan lebih tinggi daripada
usia muda (Notoatmodjo, 2005). Faktor usia berpengaruh terhadap terjadinya
preeklampsia/eklampsia. Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu antara umur
20-35 tahun, di bawah atau diatas usia tersebut akan meningkatkan risiko
kehamilan dan persalinannya. Pada wanita usia muda organ-organ reproduksi
belum sempurna secara keseluruhan dan kejiwaannya belum bersedia menjadi ibu,
sehingga kehamilan sering diakhiri dengan komplikasi obstetrik yang salah
satunya preeklampsia (Royston, 1994).
2. Pekerjaan
Menurut Newburn (2003) ibu yang bekerja ketika hamil meningkatkan risiko
terjadinya preeklampsia. Wanita hamil yang bekerja perlu menggurangi stress
akibat kerja yang mereka alami. Kondisi di tempat kerja sangat rawan memicu
stress yang dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi. Preeklampsia terjadi jika
tekanan darah wanita hamil naik sangat tinggi. Akibatnya dapat terjadi komplikasi
seperti terhambatnya aliran darah serta memicu terjadinya eklampsia. Jika itu
3. Paritas
Paritas merupakan jumlah persalinan yang pernah dialami ibu. Banyaknya anak
yang pernah dilahirkan seorang ibu akan mempengaruhi kesehatan ibu. Paritas
dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu :
1. Golongan nullipara adalah golongan ibu yang belum pernah melahirkan anak
hidup.
2. Golongan primipara adalah golongan ibu dengan paritas 1
3. Golongan multipara adalah golongan ibu dengan paritas 2-5
4. Golongan grande adalah golongan ibu dengan paritas diatas 5
Preeklampsia sering terjadi dalam kehamilan anak yang pertama, apalagi berusia
lebih dari 35 tahun dan jarang terjadi pada kehamilan berikutnya, kecuali pada ibu
yang mempunyai kelebihan berat badan, diabetes mellitus dan hipertensi esensial
atau kehamilan kembar. Kasus preeklampsia yang paling banyak terjadi pada ibu
yang melahirkan anak pertama, dimana persalinan yang pertama biasanya
mempunyai risiko relatif tinggi dan akan menurun pada paritas 2 dan 3 (Geoffrey,
1994).
Kejadian preeklampsia delapan puluh persen semua kasus hipertensi pada
kehamilan, 3-8 persen pasien terutama pada primigravida, pada kehamilan
trimester kedua. Catatan statistik menunjukkan dari seluruh insidensi dunia, dari
5%-8% preeklampsia dari semua kehamilan, terdapat 12% lebih dikarenakan oleh
lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda.
(Sarwono, 2001).
Berdasarkan pengertian tersebut maka paritas mempengaruhi kunjungan
ANC. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi risiko kematian maternal. Risiko pada
paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko
pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana.
Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro,
2005). Jadi ibu hamil dengan jumlah anak lebih sedikit cenderung akan lebih baik
dalam memeriksakan kehamilannya daripada ibu hamil dengan jumlah anak lebih
banyak.
3. Usia Kehamilan
Kasus preeklampsia dapat timbul pada usia kehamilan 20 minggu. Tetapi sebagian
besar kasus preeklampsia terjadi pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu dan
makin tua kehamilan, maka makin besar kemungkinan timbulnya preeklampsia
(Mey, 1998).
4. Riwayat Hipertensi
Angka kejadian preeklampsia/eklampsia akan meningkat pada hipertensi kronis,
karena pembuluh darah plasenta sudah mengalami gangguan. Faktor predisposisi
terjadinya preeklampsia adalah hipertensi kronik dan riwayat keluarga dengan
preeklampsia/eklampsia. Bila ibu sebelumnya sudah menderita hipertensi maka
keadaan ini akan memperberat keadaan ibu. Status kesehatan wanita sebelum dan
berkembangnya komplikasi. Riwayat penyakit hipertensi merupakan salah satu
faktor yang dihubungkan dengan pre eklampsia (Wiknjosastro, 1994). Wanita
yang lebih tua, yang memperlihatkan peningkatan insiden hipertensi kronik seiring
dengan pertambahan usia, berisiko lebih besar mengalami preeklampsia pada
hipertensi kronik. Dengan demikian, wanita di kedua ujung usia reproduksi
dianggap lebih rentan (Cuningham, 2006).
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat memengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan
mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang berpendidikan tinggi
biasanya akan bertindak lebih rasional. Oleh karena itu orang yang berpendidikan
akan lebih mudah menerima gagasan baru (Notoatmodjo,2003). Pendidikan yang
rendah merupakan salah satu masalah yang berpengaruh terhadap kunjungan ANC
pada ibu hamil. Demikian halnya dengan ibu yang berpendidikan tinggi akan
memeriksakan kehamilannya secara teratur demi menjaga keadaan kesehatan
dirinya dan anak dalam kandungannya.
2.3 Keberhasilan Penanganan Preeklampsia
Penanganan preeklampsia terdiri atas pengobatan medik dan penanganan
obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang
optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur
Menurut Wiknjosastro (2005) pengobatan pada preeklampsia hanya dapat
dilakukan secara simtomatis karena etiologi preeklampsia, dan faktor-faktor apa
dalam kehamilan yang menyebabkannya, belum diketahui. Tujuan utama penanganan
ialah:
a. Mencegah terjadinya preeklampsia berat dan eklampsia.
b. Melahirkan janin hidup.
c. Melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya.
2.3.1 Penanganan Preeklampsia Ringan (140/90 mmHg)
1. Jika tekanan darah diastolik berkisar 80-90 mmHg atau naik kurang dari 15 mmHg
dan tidak ditemukan proteinuria, wanita tersebut diizinkan untuk tinggal di rumah
dan dianjurkan untuk beristirahat sebanyak mungkin. Pada setiap kunjungan:
a. Memeriksa tekanan darah.
b. Memeriksa urine untuk menemukan adanya protein.
c. Menimbang berat badan pasien.
d. Memeriksa untuk menemukan adanya edema.
e. Meminimalkan gejala-gejala pre-ekalmpsia berat.
f. Memantau pertumbuhan janin, tanyakan pada ibu tentang gerakan janin.
g. Memeriksa denyut jantung janin.
Perawatan dilakukan di rumah sakit bila :
a. Tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih atau meningkat lebih dari 15
pertumbuhan buruk pada janin, wanita tersebut harus masuk ke rumah sakit
untuk diobservasi dan diberikan penatalaksanaan.
b. Di rumah sakit, dilakukan penanganan :
1. Wanita beristirahat di ruang yang tenang.
2. Memeriksa tekanan darah setiap 4 jam (setiap 2 jam bila keadaannya sangat
parah).
3. Melakukan pemeriksaan protein urine dua kali sehari
4. Memantau frekuensi jantung janin dua kali sehari.
5. Menimbang berat badan wanita tersebut dua kai seminggu jika mungkin.
6. Memberikan sedasi (misanya: diazepam- dosis intravena 10 mg diazepam.
Kemudian berikan dosis intravena ulangan 10 mg, setiap 4-6 jam,
maksimum 100 mg per 24 jam)
7. Memerikan obat antihipertensi hanya jika tekanan diastoliknya 110 mmHg
atau lebih dan harus sesuai dengan perintah dokter.
Menurut Widyastuti (2002) penanganan preeklampsia, jika kehamilan < 37 minggu,
dan tidak ada tanda-tanda perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat
jalan:
1. Memantau tekanan darah, proteinuria, refleks, dan kondisi janin.
2. Lebih banyak istirahat.
3. Diet biasa.
5. Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit: diet biasa, memantau
tekanan darah 2x sehari, proteinuria 1 sehari, tidak memerlukan obat-obatan, tidak
memerlukan diuretik, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi kordis atau
gagal ginjal akut. Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan. Melakukan istirahat dan memperhatikan tanda-tanda pre-eklampsia
berat, kontrol 2 kali seminggu, jika tekanan diastolik naik lagi maka rawat
kembali.
2.3.2 Penanganan Preeklampsia Berat
Menurut Saifuddin (2007), penanganan preeklampsia berat dan eklampsia (160/110 mmHg dan preeklampsia disertai kejang). Penatalaksanaan pre-eklampsia
berat sama dengan eklampsia. Dengan tujuan utama menghentikan berulangnya
serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan secepatnnya digunakan cara yang aman
setelah keadaan ibu mengizinkan.
Penanganan kejang:
a) Memberikan obat antikonvulsan.
b) Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan, masker oksigen,
oksigen).
c) Melindungi pasien dari kemungkinan trauma.
d) Aspirasi mulut dan tenggorokan
e) Membaringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk mengurangi risiko
aspirasi.
Menurut Saifuddin (2006) penanganan umum PreEklampsia Berat yaitu:
(1) Jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan
diastolik di antara 90-100 mmHg.
(2) Memasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar (16 gauge atau lebih ).
(3) Mengukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload.
(4) Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria.
(5) Jika jumlah urin < 30ml per jam, infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam,
memantau kemungkinan edema paru, tidak meninggalkan pasien sendirian.
Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
(6) Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam.
(7) Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru. Krepitasi merupakan
tanda edema paru. Jika ada edema paru, menghentikan pemberian cairan, dan
berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg IV.
(8) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika pembekuan tidak
terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati. Antikonvulsan:
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang
pada preeklampsia. Alternatif lain adalah diazepam, dengan terjadinya depresi
neonatal.
2.3.3 Indikator Keberhasilan Penanganan Preeklampsia
Menurut Saifuddin (2007) indikator keberhasilan pada penanganan pre-
1. Preeklampsia ringan
a. Tekanan darah menurun kurang dari 110 mmHg
b. Tidak terdapat proteinuria di dalam pemeriksaan urin (air seni)
c. Tidak terjadi edema (penimbunan cairan) pada betis, perut, punggung, wajah
atau tangan.
d. Mengkonsumsi makanan yang kaya serat dan rendah garam
2. Preeklampsia berat
Keberhasilan dalam penanganan pre eklampsi berat adalah sebagai berikut :
a. Tekanan darah sistolik menurun di bawah 160 mmHg
b.Tekanan darah diastolik menurun di bawah 110 mmHg
c. Penurunan kadar enzim hati dan atau ikterus (kuning)
d.Trombosit di atas 100.000/mm3
e. Menurunya kadar oliguria (jumlah air seni lebih dari 400 ml / 24 jam)
f. Proteinuria (protein dalam air seni dibawah 3 g/L)
g.Tidak terjadi nyeri pada ulu hati
h.Tidak mengalami gangguan penglihatan atau nyeri kepala bagian depan yang
berat
i. Tidak terjadi perdarahan di retina (bagian mata), tidak terjadi edema pada
paru dan koma.
j. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
l. Penderita kembali ke gejala-gejala/tanda-tanda preeklampsia ringan
(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).
2.4 Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penanganan Preeklampsia
Dalam penelitian ini keberhasilan penanganan preeklampsia dianggap sebagai
perilaku. Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan perilaku manusia
hasil dari pada segala macam pengalaman, serta interaksi manusia dengan
lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini
bersifat pasif (tanpa tindakan : pengetahuan dan sikap) maupun aktif (tindakan yang
nyata atau praktek).
Menurut Taufik (2007) perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia adalah
tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri baik yang dapat diamati maupun yang
tidak dapat diamati secara langsung.
Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2007) membagi perilaku dibagi dalam 3
(tiga) domain yaitu kognitif (cognitive domain), afektif (affective domain) dan
psikomotor (psychomotor domain). Sementara Green menjelaskan bahwa perilaku
itu dilator belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi
(predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat
a. Predisposing Factors, yaitu faktor-faktor yang mendahului perilaku yang
memberikan dasar rasional atau motivasi untuk perilaku tersebut antara lain
pengetahuan, keyakinan, sikap, karakteristik tertentu dalam kaitannya dengan
kepatuhan dan persepsi.
b. Enabling Factors, yaitu faktor-faktor yang mendahului perilaku yang
memungkinkan sebuah motivasi untuk di realisasikan. Yang termasuk dalam
faktor ini adalah:
1) Ketersediaan sumberdaya kesehatan (sarana kesehatan, rumah sakit dan
tenaga)
2) Keterjangkauan sumberdaya dapat dijangkau baik secara fisik ataupun dapat
dibayar masyarakat, misalnya jarak sarana kesehatan dengan tempat tinggal,
jalam baik, ada angkutan dan upah jasa dapat dijangkau masyarakat
3) Ketrampilan tenaga kesehatan
c. Reinforcing Factors, yaitu faktor-faktor yang mengikuti sebuah perilaku yang
memberikan pengaruh berkelanjutan terhadap perilaku tersebut, dan berkontribusi
terhadap persistensi atau penanggulangan perilaku tersebut. Segala perilaku dapat
dijelaskan sebagai sebuah fungsi pengaruh kolektif dari ketiga tipe faktor ini.
Istilah hubungan kolektif atau sebab-sebab yang berkontribusi , secara khusus
penting karena perilaku adalah sebuah fenomena multidimensi. Ide ini
menyatakan bahwa tidak ada sebuah perilaku atau aksi tunggal yang disebabkan
oleh hanya satu faktor. Semua rencana untuk mempengaruhi perilaku harus
Pada ibu hamil yang mempunyai keberdayaan atau kemandirian akan
mengambil sikap untuk melakukan pemeriksaan antenatal care, sehingga dapat
diketahui terjadinya masalah kehamilannya preeklampsia dan dapat dengan segera
dilakukan pencegahan pada kondisi yang lebih berat (preeklampsia berat).
Keberdayaan dan kemandirian ibu hamil dapat dilihat dari bagaimana perilaku
kepatuhan terhadap nasehat yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam perawatan
kehamilannya. Nasehat yang diberikan tenaga kesehatan berupa bagaimana menjaga
kesehataanya dengan diet yang ditentukan, kecukupan istirahat, keteraturan minum
obat yang diberikan dan bagaimana menepati jadwal pemerikssaan ANC selanjutnya
(Rejeki dan Hayati, 2008).
2.5 Kepatuhan 2.5.1 Pengertian
Menurut Sarfino (1990) dikutip oleh Smet (1994) mendefinisikan kepatuhan
(ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang
disarankan oleh dokternya atau yang lain. Kepatuhan adalah perilaku positif penderita
dalam mencapai tujuan terapi (Degrest et al, 1998). Menurut Decision theory (1985)
penderita adalah pengambil keputusan dan kepatuhan sebagai hasil pengambilan
keputusan.
Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan.
Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang
dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali et al, 1999).
Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang
pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda,
yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh
yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Biasanya kepatuhan ini
timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut,
sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami
sepenuhnya arti dan manfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses
identifikasi.
2.6 Kepatuhan Ibu Hamil
2.6.1 Defenisi Kepatuhan Ibu Hamil
Kepatuhan atau ketaatan ibu hamil (compliance/adherence) adalah tingkat
pelaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh
orang lain (Smet, 1994). Kepatuhan ibu hamil sebagai sejauh mana perilaku ibu hamil
sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Niven, 2002).
Atau juga dapat didefinisikan kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis
adalah suatu kepatuhan ibu hamil terhadap pengobatan yang telah ditentukan (Gabit,
1999).
Kepatuhan sulit diukur karena tergantung pada banyak faktor, diantaranya
dianjurkan dokter. Untuk itu diperlukan pendekatan yang baik dengan pasien agar
dapat mengetahui kepatuhan mereka dalam melaksanakan pengobatan (Afnita, 2004).
Taylor (1991) seperti yang dikutip Bart (1994) mengatakan ketidakpatuhan
sebagai suatu masalah medis yang berat. Derajat ketidak patuhan bervariasi sesuai
dengan apakah pengobatan tersebut kuratif atau preventif, jangka panjang atau jangka
pendek. Sackeet dan Snow (1976) menemukan bahwa kepatuhan terhadap sepuluh
hari jadwal pengobatan sejumlah 70-80% dengan tujuan pengobatan.
2.6.2 Kepatuhan Ibu Hamil dalam Pencegahan Preeklampsia
Menurut Wiknjosastro (2005) kepatuhan ibu hamil dalam pencegahan pre-
eklampsia meliputi :
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi
pada ibu dan wanita usia produktif terhadap faktor risiko terjadinya keracunan
kehamilan. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan menjaga berat badan ibu hamil
agar tetap ideal, mengatur pola makan sehat dan menghindari stress serta istirahat
yang cukup.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya awal sebelum seseorang menderita penyakit
atau upaya untuk mempertahankan orang sehat agar tetap sehat. Dilakukan
a. Istirahat, diet rendah garam, lemak serta karbohidrat dan tinggi protein, juga
b. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya preeklampsia dan eklampsia bila
ada faktor prediposisi.
c. Pemeriksaan antenatal care secara teratur yaitu minimal 4 kali kunjungan yaitu
masing-masing 1 kali pada trimester I dan II , serta 2 kali pada trimester III.25
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya mencegah orang yang telah sakit agar
tidak menjadi parah, dengan menghambat progresifitas penyakit dan
menghindarkan komplikasi. Dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara
dini serta mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Upaya pencegahan ini
dilakukan dengan :
a. Pemeriksaan antenatal yang teratur, bermutu dan teliti mangenali tanda-tanda
sedini mungkin, lalu diberikan pengobatan yang sesuai agar penyakit tidak
menjadi berat.
b. Terapi preeklampsia ringan di rumah yaitu istirahat ditempat tidur, berbaring
pada sisi kiri dan bergantian ke sisi kanan bila perlu, dengan istirahat biasanya
edema dan hipertensi bisa berkurang.
c. Memberikan suntikan sulfamagnesium 8 gr intramuskuler untuk mencegah
kejang.
d. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya 37 minggu ke atas, apabila setelah
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat atau membatasi kecacatan yang terjadi serta melakukan tindakan rehabilitasi.
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
a. Pemeriksaan tekanan darah setelah melahirkan setiap 4 jam selama 48 jam.
b. Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum.
c. Melakukan pemantauan jumlah urine.
2.7 Landasan Teori
Salah satu faktor predisposisi terjadinya preeklampsia adalah usia dan paritas.
Akibat dari preeklampsia sangat besar pengaruhnya bagi ibu maupun bayinya. Pada
ibu dapat mengakibatkan kegagalan pada organ-organ vital seperti hepar, ginjal,
paru-paru, dan jantung. Pada bayi preeklampsia dapat menghambat plasenta menyalurkan
udara dan makanan untuk janin, sehingga bayi kekurangan oksigen (hypoksia) yang
dapat mengakibatkan prematuritas, Intrauterine Growth Retardation (IUGR), gawat
janin, kematian janin dalam rahim, lahir dengan kondisi gangguan nutrisi dan
gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen (asfiksia) (Bobak, 2004). Menurut Bobak,
Lowdermilk & Jensen (2005), sebaiknya menjelang trimester II-III ibu hamil harus
lebih berhati-hati untuk mencegah komplikasi yang lebih berbahaya lagi, karena
preeklampsia berkontribusi signifikan untuk Intra Uterin Fetal Death (IUFD), dan
Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi.
Menurut Decision theory penderita adalah pengambil keputusan dan kepatuhan
sebagai hasil pengambilan keputusan. Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau
datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman et al,
1999). Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang
pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda,
yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh
yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).
Kepatuhan seorang ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya sangat
diperlukan agar setiap keluhan dapat ditangani sedini mungkin, dan informasi yang
penting bagi ibu hamil dapat tersampaikan sehingga angka kematian ibu dapat
ditekan menjadi seminimal mungkin. Perawatan kehamilan merupakan salah satu
faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan
kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan
kesehatan janin.
Pemeriksaan antenatal care secara rutin berguna mencari tanda-tanda
preeklampsia untuk dapat dideteksi, sehingga penanganan dapat diberikan secara
efisien, disamping mengendalikan faktor-faktor predisposisi lain. Kunjungan
antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan, yaitu :1) Satu
kali pada triwulan pertama, 2) Satu kali pada triwulan kedua dan 3) Dua kali pada
care, keberhasilan penanganan preeklampsia juga tergantung pada kepatuhan dalam
pola makan dan istirahat.
2.8 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Keberhasilan Penanganan Preeklampsia - Tidak Berhasil - Berhasil Kepatuhan dalam melakukan
kunjungan Antenatal Care
Kepatuhan dalam pola makan