• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara

berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum.

Demokrasi dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan melalui

proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana seluruh kelompok

yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang harus

dihormati dan dihargai oleh semua pihak.

Kata demokrasi berangkat dari dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani,

yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan.

Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah

kekuasaan yang berada di tangan rakyat.1 Demokrasi sendiri merupakan sistem

kenegaraan yang sangat populer di dunia, banyak Negara menerapkan prinsip

demokrasi sebagai landasan dalam menjalankan roda pemerintahannya,

demokrasipun dianggap sebagai bentuk kehidupan bernegara yang ideal, populer dan

menjadi idaman bagi masyarakat di seluruh dunia, sekalipun Negara itu monarki

absolute seperti Arab Saudi, Thailand, Jepang dan Inggris. 2

1

Prof.Dr.Hafied Cangara.2009. Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta: Rajawali Pers. hal.63.

2Ibid.

Hal.66.

Demikian pula dengan

Indonesiayang sejak tahun 1945 telah banyak melakukan praktik-praktik kenegaraan

(2)

demokrasi liberal, demokrasi terpimpin sampai demokrasi pancasila, meskipun dalam

pelaksanaannya cenderung masih otoriter dan liberalisme.

Bentuk demokrasi itupun dapat tercermin dalam pelaksanaan pemilihan

umum di suatu Negara tertentu untuk memilih pejabat Negara sebagai pemimpin,

pemilihan umum yang demokratis menjadi arena pertarungan para anggota

masyarakat untuk dipilih dan memilih calon yang akan menduduki jabatan Negara

mulai dari presiden dan wakil presiden, anggota parlemen, utusan daerah, gubernur

dan wakil gubernur sampai kepada bupati/walikota dan wakil bupati/walikota. Proses

pencalonan juga harus terbuka sehingga setiap warga Negara memiliki akses dan

berhak untuk mencalonkan diri sesuai syarat-syarat yang diterapkan oleh

undang-undang yang berlaku.3

Tujuan lain dari pelaksanaan desentralisasi yakni memberi kesempatan agar

daerah memiliki kepercayaan diri untuk menumbuhkan kemampuannya agar bisa

mengelola sumber daya yang dimiliki, guna memberi kesejahteraan kepada warganya Salah satu tujuan dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri adalah untuk

mensejahterakan rakyat. Dalam hal ini untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah

harus berupaya untuk melakukan pembangunan di berbagai aspek baik itu dibidang

ekonomi, politik, sosial dan budaya secara merata mulai dari pemerintah pusat sampai

ditingkat daerah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terjadinya

ketidakmerataan sistem pembangunan pada masa orde baru menyebabkan banyaknya

pemekaran daerah yang tercipta pasca orde reformasi sebagai wujud dari pelaksanaan

sistem demokrasi, untuk itulah pemerintah pusat memberikan wewenang pada

pemerintah daerah dengan mewujudkan sistem desentralisasi yakni penyerahan

kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi

urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya,

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

3

(3)

dengan pemberian pelayanan publik yang lebih dekat dan cepat tanpa bergantung

kepada pusat.4

Karena pada dasarnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik

gubernur dan wakil gubernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota

secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar

rakyat dalam memilih pemimpin daerah. Dengan kata lain, rakyat memiliki

kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung,

bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi.

Maka diperlukanlah pemimpin daerah yang kita sebut sebagai

gubernur (ditingkat provinsi), serta bupati/walikota (ditingkat kabupaten/kota).

Pemilihan kepala daerah seperti gubernur/wakil gubernur maupun bupati/walikota

tentu dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sebuah sistem Pemilihan Umum

Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung sendiri merupakan

fenomena kenegaraan baru yang terjadi di Indonesia, artinya pemilihan kepala daerah

dipilih langsung oleh rakyat. Awalnya, pemilihan pemimpin daerah ini dipilih oleh

DPRD, akan tetapi karena adanya perubahan yang terjadi pada masa reformasi tahun

1998 maka pemilihan umum kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Pilkada secara langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Undang-undang ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta

masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan

keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien

dan bertanggung jawab.

Joko J.Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, SIstem dan Problema Penerapan di Indonesia. Pustaka Belajar. Hal.98.

Untuk itulah, pelaksanaan pilkada

(4)

adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan

demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.

Sehingga muncullah konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai

transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna

sebagai tidak lagi bekerja dengan ide dan konsep yang lama, melainkan telah bekerja

dengan ide dan konsep yang baru.6

Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat

akan berubah menjadi lebih baik lagi, pembaruan kabupaten juga berarti perombakan

secara menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau

mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan massa

rakyat.7 Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang

kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda

pemerintahan dan dijadikan tempat perlindungan, pelayanan publik serta

pembangunan.8

6

Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten.Yogyakarta : Pembaruan. 2004. Hal. ix-x. 7

Joko J. Prihatmoko, Op.Cit. Hal.13. 8

Ibid. Hal.203.

Karena itulah, untuk merealisasikan serta mengaplikasikan prinsip

demokrasi ditingkat lokal dan implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

ini, maka diperlukan adanya pembaruan daerah dalam hal ini adalah pemekaran

daerah Kabupaten Aceh Tamiang.

Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi

Aceh. Sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Aceh Timur yang beribukotakan

Langsa. Kabupaten ini merupakan hasil dari pemekaran daerah Aceh Timur yang

terletak di perbatasan Aceh-Sumatera, dimana penduduk asli di daerah tersebut

merupakan kawasan yang banyak bermukim masyarakat Tamiang yang serupa

dengan etnis Melayu, selain itu di daerah ini juga terdapat minoritas masyarakat etnis

(5)

Sebagai daerah pemekaran tentu banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah

daerah tersebut dengan melakukan pembangunan di berbagai kecamatan yang

terdapat di kabupaten Aceh Tamiang, tentu sudah menjadi tanggungjawab pemimpin

daerah (dalam hal ini Bupati) yang bertugas membangun dan mensejahterakan

masyarakatnya. Pada awal berdirinya Aceh Tamiang yakni pada 2 Juli 2002, daerah

ini dipimpin oleh Bupati Ishak Djuned yang notabene merupakan bupati Aceh Timur,

lalu Ishak Djuned menunjuk Abdul Latief yang merupakan karyawan PDAM kota

Langsa sebagai pejabat sementara Bupati Aceh Tamiang.

Aceh Tamiang sendiri telah melewati 2 kali pelaksanaan pilkada langsung,

yakni pada tahun 2007 dan 2012. Pada pilkada tahun 2007 Abdul Latief yang

merupakan bupati Aceh Tamiang ikut berkompetisi dalam proses pemilihan umum

kepala daerah dan berhasil terpilih bersama wakilnya Awaluddin untuk memimpin

Aceh Tamiang periode 2007-2012. Sehabis masa bakti Abdul Latief, Aceh Tamiang

kembali menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung tahun

lalu yakni pada 9 April 2012. Penyelenggaran pilkada tersebut dilakukan dalam 2

putaran dikarenakan dari 11 pasangan calon tidak ada suara yang meraih kuota 30%.

Kandidat yang masuk ke putaran kedua yakni pasangan nomor urut 4

(Agussalim-Abdussamad) serta pasangan nomor urut 10 (Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain).

Pilkada putaran kedua yang dilaksanakan 12 September 2012 lalu, dimenangkan oleh

pasangan nomor urut 10 yakni Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain.

Kemenangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain merupakan fenomena

kontroversial bagi masyarakat Aceh Tamiang saat pesta demokrasi berlangsung,

dimana pasangan calon yang terpilih adalah pasangan yang diusung dari koalisi partai

yakni PAN, PBR, PBA, dan PKS. Sementara yang semula diprediksi akan

memenangkan pilkada adalah pasangan yang diusung dari PA. Partai Aceh sendiri

merupakan partai lokal yang terbentuk di Aceh pasca perdamaian Memorandum of

(6)

NKRI, dimana salah satu persyaratan yang diajukan petinggi GAM pada saat itu

adalah dengan meminta untuk mendirikan partai lokal sebagai wujud partisipasi

politik mereka dalam mensejahterakan masyarakat Aceh, melalui proses kegiatan

politik guna memperoleh kedudukan dalam pemerintahan Aceh. Sebagaimana point

1.2.1 Mou Helsinki yaitu : “Sesegera mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak

penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan

memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang

memenuhi persyaratan nasional.”9

Partai Aceh yang sebelumnya bernamakan Partai Gerakan Aceh Merdeka,

kemudian pernah berubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri ini sendiri memiliki

basis yang cukup besar dalam menarik massa, bahkan petinggi PA juga

menginginkan agar seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh dapat dipimpin oleh

calon yang diusung dari partai mereka. Terlepas dari apakah mereka melakukan

intimidasi terhadap masyarakat atau tidak namun terbukti dalam pemilihan

bupati/walikota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh ada 8 kabupaten/kota yang

dimenangkan oleh PA. Seperti Kabupaten Aceh Besar dimenangkan oleh Mukhlis

Basyah-Samsulrizal, Kabupaten Pidie yang dimenangkan oleh pasangan Sarjani

Abdullah-M.Iriawan, Kabupaten Aceh Timur oleh Hasballah-Syahrul bin Syamaun,

Kabupaten Aceh Utara dimenangkan oleh Muhammad M Thaib-Muhammad Djamil,

Kabupaten Aceh Jaya dimenangkan oleh Azhar Abdurrahman-Tgk.Maulidi, Kota

Bireun oleh pasangan Ruslan H Daud-Mukhtar Abda, 10

9

http://www.partaiaceh.com/2012/02/sejarah-partai-aceh.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib. 10

http://www.acehtraffic.com/2012/04/pasangan-lusruskan-mou-menangkan-6.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib.

Kota Lokhseumawe oleh

Suaidi Yahya/Nazaruddin, serta Kota Sabang oleh Zulkifli H.Adam-Nazaruddin,

begitu pula pada pemilihan Gubernur Aceh yang juga dimenangkan oleh pasangan

(7)

Proses pemilihan bupati Aceh Tamiang 2012 sejatinya memanglah tidak

berjalan mulus, dikarenakan perseteruan kepentingan oleh kedua kubu (kubu Hamdan

Sati-Iskandar Zulkarnain dan Agussalim-Abdussamad) yang sama-sama kuat, dalam

rangka merebut posisi nomor satu di daerah ini. Berbagai ancaman kekerasan dan

teror muncul, diantaranya teror yang berdatangan dari kubu pendukung PA yang

mengancam masyarakat pedalaman agar memilih calon yang mereka usung, belum

lagi berkembangnya isu yang datang dari kubu Hamdan Sati mengenai keterlibatan

aparat keamanan (dalam hal ini TNI dan Polri) dalam proses pilkada Aceh Tamiang

yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati.

Hamdan diduga melakukan blockade disejumlah daerah dengan

mengandalkan kekuatan aparatur Negara dan memaksa masyarakat untuk memilihnya,

isu semakin berkembang saat seluruh kader dari PA menggelar aksi demonstrasi dan

meminta pada Mahkamah Konstitusi untuk mengulang kembali pelaksanaan pilkada

Aceh Tamiang, mereka juga menuntut pihak Hamdan Sati karena diduga telah

melakukan praktik money politic dalam proses pilkada. Namun yang menjadi

persoalan dalam hal ini adalah jika memang benar bupati terpilih melakukan

kecurangan dan sebagainya, lantas apa yang membuat masyarakat masih mau

memilihnya? Apakah masyarakat Tamiang mulai terbuai dengan berbagai suap yang

diberikan calon terpilih? Atau sebaliknya karena takut akan ancaman yang datang

pada mereka? Lalu seperti apa sebenarnya preferensi pemilih masyarakat Tamiang

pada pilkada langsung tersebut. Apakah nilai-nilai demokrasi pilkada langsung di

Aceh Tamiang sudah mulai luntur? Ataukah malah isu mengenai proses pelaksanaan

pemilu yang sarat akan kekerasan dan intimidasi tersebut, hanyalah kabar burung

yang sengaja dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab?

Melihat fenomena tersebut tentu membuat penulis begitu tertarik untuk

membahas, serta mendeskripsikan lebih dalam tentang bagaimana kualitas demokrasi

(8)

penelitian ini untuk diangkat, guna mengetahui bagaimana kualitas demokrasi Aceh

Tamiang saat penyelenggaraan pilkada berlangsung. Karena pada dasarnya pemilihan

umum kepala daerah merupakan laboratorium demokrasi di Indonesia, dari situlah

kita dapat melihat sudah sejauh mana demokrasi ditingkat lokal berjalan dan ditahap

apa sebenarnya kita berada. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada akan selalu

hangat untuk dikaji dan diperbincangkan.

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya,

dan rumusan masalah dapat menghasilkan jawaban daripada topik penelitian atau

judul penelitian. Menurut Nazir, perumusan masalah biasanya dirumuskan dalam

bentuk pertanyaan yang jelas dan padat, berisi implikasi adanya data untuk

memecahkan masalah, serta merupakan dasar dalam membuat hipotesis dan judul

penelitian.11

1.3Batasan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis ingin

mendeskripsikan suatu fenomena pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang

2012. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimana Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh

Tamiang 2012 ?”

Dalam sebuah penelitian, penulis memerlukan batasan masalah agar masalah

yang diangkat tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Adapun batasan

masalahnya, yakni :

11

(9)

1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pemilukada.

2. Kebebasan Sipil dalam proses pemilukada.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan keinginan yang ingin dilakukan dan dicapai

dalam melakukan suatu penelitian, untuk itu tujuan penelitian perlu kiranya disusun

secara spesifik sesuai dengan kepentingan penelitian.12

1.5Manfaat Penelitian

Oleh karena itu, tujuan

penelitian penulis adalah untuk menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam

proses pilkada Aceh Tamiang 2012, dan menganalisis kebebasan sipil dalam proses

pilkada Aceh Tamiang 2012.

a. Bagi Penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan

kemampuan dalam membuat karya ilmiah dan menganalisis kondisi sosial

masyarakat.

b. Khususnya bagi pembaca akan memahami bagaimana kualitas demokrasi

ditingkat lokal, khususnya pada pemilihan umum kepala daerah Aceh

Tamiang tahun 2012.

c. Memperluas khasanah dan pengetahuan di bidang politik dan menjadi

bahan rujukan bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik.

12

(10)

1.6Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan penjelasan titik tolak ataupun landasan

pemikirannya dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu

disusun kerangka teori yang membuat pokok-pokok pemikiran yang menggambarkan

sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti.13

1.6.1 Demokrasi

Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori

dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian.

Teori ini adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proporsi untuk

menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara menerangkan dan

merumuskan hubungan antara konsep pemikiran.

1.6.1.1Konsep dan Teori Demokrasi

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara

berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum.

Demokrasi sendiri dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan

melalui proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana semua

kelompok yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang

harus dihormati dan dihargai oleh semua pihak.

Kata “demokrasi” terdiri atas dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani,

yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan.

13

(11)

Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah

kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Secara terminologi demokrasi adalah

sebagai berikut: 14

- Joseph A. Schumpeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencaan

instutisional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu

memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas

suara rakyat.

- Philippe C. Schmitter, demokrasi merupakan sebagai suatu sistem

pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas

tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara

tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka

yang telah terpilih.

Sementara definisi demokrasi lainnya seperti dikemukakan oleh Ebenstein

bercirikan empirisme rasional, individu-oriented, negara sebagai alat, kesukarelaan,

hukum di atas hukum, cara, persetujuan dan persamaan. Sedangkan Robert Dahl,

seperti dikutip oleh Samuel Huntington mengungkapkan bahwa demokrasi tidak

boleh melibatkan unsur emosi akan tetapi menggunakan akal sehat. Pemikiran Dahl

terhadap demokrasi menandai bergulirnya babak baru pemikiran tentang demokrasi.15

Demokrasi dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM

tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung,

dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas Adapun beberapa teori-teori demokrasi yaitu :

1. Demokrasi Klasik

14

Prof.Dr.Hafied, Op Cit. Hal. 63.

(12)

pelbagai permasalahan kenegaraan. Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari

pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang

membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara

kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan

Thomas Aquino.

Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi,

kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat)

lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan

tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya

sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau,

yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai

penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan

umum.

Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat.

Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan

konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai

bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri

sendiri. Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati persamaan

politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.

2. Kontrak Sosial

Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman

Pencerahan yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang

menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah

sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk

(13)

kesejarahan, zaman pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya,

yaitu aman pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di

zaman pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah dijelaskan di atas, teori

kontrak sosial yang berkembang pada zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar

telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu

dan Aquinas. yang jelas adalah bahwa pada zaman pencerahan ini unsur-unsur

pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.

Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas

tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama

mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah

sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan

itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu

dari yang lain, perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di

dalam konsep maupun di dalam fraksinya. Dalam membangun teori kontrak sosial,

hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian

konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah. Hobbes

menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya.

Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang

menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan

kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan

aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati.

Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk

memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh

karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan

menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power

(14)

Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power

dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia

menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena

kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari

kondisi perang satu dengan lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan).

Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah

memasuki kondisi sipil.16

Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut

Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal

murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang

dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan

pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua,

pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu

dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri

manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia

lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar

prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar

dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut

Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam

kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur

karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang

salah dalam pergaulan antara sesama.

16

(15)

hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup

untuk memaksakan sanksi.

Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya

memiliki power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes,

Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman

penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial

(buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat

tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja.

Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan

kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).

Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan

kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara

manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada

kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu

disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas.

Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu

mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang

memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam. Walaupun pada prinsipnya manusia

itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak

istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya,

lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang

punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain.

Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.

Untuk menghindar dari kondisi yang memiliki hak-hak istimewa menekan

orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan dan tidak stabil, maka masyarakat

(16)

memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian

Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum untuk dibedakan dari

hanya kehendak semua. Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah

orang yang berkehendak, akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya.

3. Trias Politica

Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, dilatarbelakangi

pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat

tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua

atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh

pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat

lebih terjamin.

Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis, Montesquieu membagi

kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat

pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut:

a. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang

b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang

c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang

(mengadili)

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk

memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat

keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang

atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan

masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia

(17)

kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan

lainnya.

1.6.1.2 Prinsip Demokrasi

Menurut Masykuri Abdillah,prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan

(Equality), kebebasan (freedom), dan kemajemukan (pluralisme). 17 Prinsip

Persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negara baik rakyat biasa

ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan di

hadapan hukum dan pemerintahan. Prinsip Kebebasan menegaskan bahwa setiap

individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan

membentuk perserikatan. Sedangkan Prinsip Pluralisme memberikan penegasan dan

pengakuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya

merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan). 18

17

U. Ubaidillah. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. IAIN Jakarta Press, Jakarta. Hal. 165.

18Ibid. Hal.166.

Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena

jika prinsip-prinsip ini berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yang lainnya maka

demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Misalnya adalah demokrasi tidak

akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh

adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai

politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak

(18)

Dengan kata lain, demokrasi mengarah pada suatu sistem politik yang

dijalankan oleh suatu pemerintahan, seperti Henry B. Mayo dalam buku Introduction

to Democratic Theory memberi defenisi sebagai berikut :19

Teori Demokrasi Lokal menurut Timothy D. Sisk mengkonsepsikan

Demokrasi dalam pemerintahan lokal adalah tatanan demokrasi yang paling mendasar

yang dengannya segenap warga memiliki peluang yang paling aktif dan langsung

berperan serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup

segenap anggota masyarakat.

Sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan

atas dasar mayoritas atas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat

dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan

politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

1.6.1.3 Demokrasi Tingkat Lokal

20

19

Mirriam Budiarjdo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 117.

20http://iesdepedia.com/blog/2013/01/14/demokrasi-lokal-teori/

diakses 22 Oktober 2013 pukul 20.00 wib.

Selain itu, secara terminologi demokrasi menurut

Sidney Hook adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah

yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan

mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa, sedangkan arti kata Lokal

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu ruang yang luas atau terjadi

disuatu tempat. Jadi, demokrasi lokal jika di simpulkan dari pengertian tersebut

adalah bentuk pemerintahan yang mana rakyatlah yang menentukan

keputusan-keputusan didalam sebuah pemerintahan yang berlangsung di sebuah ruang lingkup

(19)

Konsep yang di sebutkan oleh Timothy D. Sisk dalam teori demokrasi lokal

ini adalah kewarganegaraan dan masyarakat, musyawarah, pendidikan politik,

pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. Berikut adalah sedikit gambaran

mengenai konsep yang dikemukakan Timothy D. Sisk :

- Kewarganegaraan dan Masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya

adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab

lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan

keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih

langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.4

- Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya

terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna,

yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam

masyarakat5. musyawarah adalah konsep yang biasanya dilakukan dalam

Demokrasi diranah lokal mengingat bahwa musyawarah adalah konsepsi

demokrasi yang lebih dekat dengan dialektika masyarakat.6

- Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses

“pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan

setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di

masyarakat7. adanya pendidikan politik memungkinkan masyarakat awam

sekalipun untuk bisa berkontribusi di dalam segala urusan pemerintahan ,

maksudnya berkontribusi yaitu dengan jalan penyampaian aspirasi. Pendidikan

politik membuat masyarakat punya pegangan yang kuat dan tidak buta dalam

keikutsertaan segala proses politik.

- Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para

pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal juga berpendapat

(20)

mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya

kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan

yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki

semangat sosial.

Selain Timothy D. Sisk, teori demokrasi lokal juga berangkat dari pemikiran

Dove yang menyatakan bahwa budaya tradisional selalu terkait dengan proses

perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakatnya pada tempat mana budaya

tradisional tersebut melekat. Jadi, segala urusan yang terkait dengan perubahan

politik dan sosial tidak terlepas dari pengaruh budaya yang telah melekat dan

berkembang dimasyarakat. Budaya ternyata mampu memberi paradigma yang kuat

terhadap masyarakat hingga mempengaruhi tindakan sosial dan politik masyarakat

tersebut.

Pada dasarnya, demokrasi ditingkat lokal merupakan implikasi dari

desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses

demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan

untuk rakyat. Hal paling mendasar dalam demokrasi adalah keikutsertaan rakyat,

serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan

bersama. Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan

hanya di tingkat regional tetapi di tingkat lokal.

Adanya demokrasi ditingkat lokal sebagai akibat dari proses demokrasi

regional yang dituntut oleh perkembangan desentralisasi. Demokrasi lokal memuat

hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk

mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya

dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan

(21)

Selain itu pada tingkat lokal, adakalanya demokrasi hanya difokuskan pada

institusi pemerintahan saja. Ted Robert Gurr misalnya sangat menekankan

keberadaan institusi eksekutif, Menurut Gurr, demokrasi mengandung empat unsur:

1) persaingan partisipasi politik, 2) persaingan rekruitmen politik, 3) keterbukaan

rekruitmen eksekutif, dan 4) tantangan yang dihadapi eksekutif. Pendapat ini

semestinya juga memasukkan dimensi lain, karena keberadaan eksekutif di daerah

tidak bisa dilepaskan dari proses dan hasil pemilu yang melibatkan sejumlah actor

politik.21

Banyak pendekatan bisa digunakan untuk melihat model mana yang berlaku

pada suatu Negara dunia ketiga, walaupun tidak mencakup semua ciri pada suatu Sebagai mekanisme sistem politik, sebagaimana dikemukakan Mitchell dan

Simmons, demokrasi terdiri dari empat kelompok pembuat keputusan: pemilih,

parlemen, birokrat, dan kelompok kepentingan. Kelompok-kelompok ini bersaing

memperebutkan posisi dan kekuasaan, baik pada level nasional maupun lokal.

Demokrasi harus dilihat sebagai proses politik yang membuka peluang bagi

partisipasi politik rakyat untuk secara efektif melakukan pengawasan terhadap agenda

dan keputusan politik.

Pendapat serupa juga dikemukakan Holden, di dalam demokrasi rakyat

diberikan hak membuat keputusan (dalam bentuk kebijakan publik) menyangkut

masalah-masalah penting. Pendapat Dahl dan Holden sangat relevan dalam konteks

demokratisasi di Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal, yang

memberikan peluang peranan atau partisipasi politik rakyat untuk mengawal agenda

reformasi, karena seperti dikemukakan Almond dan Nelson, partisipasi politik rakyat

merupakan salah satu tolok ukur penting untuk menilai apakah suatu sistem politik itu

demokratis, otoriter, atau bentuk sistem politik lainnya.

21

(22)

model. Chai Anand, misalnya, menggambarkan tiga model sistem politik di dunia

ketiga. Model ini sangat mempengaruhi sistem politik lokal.

Tabel 1

Ciri Utama Negara dalam Tiga Dimensi

Ciri

Militer dan Polisi Institusi pollitik

parpol, kelompok

Sumber : TB. Massa Djafar,Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal,

Jurnal Politik Vol.1.2008. hal.3.

Berdasarkan model di atas, negara-negara dapat digolongkan ke dalam tiga

dimensi, bergantung pada usaha pembangunan demokrasi ditingkat lokal disetiap

negara, apakah lebih memfokuskan atau mengutamakan keamanan (Security),

(23)

Secara teoritis, pendemokrasian di Indonesia bersumber pada krisis legitimasi,

kelas menengah, (pertumbuhan) ekonomi, budaya (agama), dan campur tangan

negara luar (kebijakan AS dan sekutunya). Faktor-faktor tersebut menjadi pendukung

sekaligus penghalang tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Tentu saja generalisasi

ini harus dilihat secara kritis, dan dikaitkan dengan fenomena yang berkembang di

daerah (sekarang dan masa datang). Kelas menengah, ekonomi, agama atau budaya

adalah faktor-faktor yang banyak mempengaruhi demokratisasi di Indonesia terutama

ditingkat lokal.

Faktor penting lain yang patut dipertimbangkan adalah peranan elit politik,

dalam hal kemampuan secara tepat mengambil keputusan politik yang menjangkau

masa depan dan mendisain kebijakan-kebijakan pendukung dari keputusan politik

yang diambil tersebut. Seperti dikemukakan Linz dan Stepan, peranan elit politik

merupakan variabel penting, terutama terhadap keberhasilan demokratisasi dan

demokrasi di suatu Negara, karena demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak

rakyat dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama. Oleh

karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat

itu.22

1.6.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung

1.6.2.1 Pemilukada Langsung

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah sebuah mekanisme

demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat secara

menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang

didukungnya dan calon-calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan

main yang sama. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung tertuang

22

(24)

dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pertama

kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005 dan penyelenggaraan Pemilihan Daerah

dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing

dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan

kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang

dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik Gubernur/wakil

gubernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota, secara langsung oleh

rakyat merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih

pemimpin di daerah. Dengan itu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk

menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya

intervensi (otonom).23

Dipilihnya sistem pemilukada langsung mendatangkan optimisme dan

pesimisme tersendiri di kalangan masyarakat. Pemilukada dinilai optimisme sebagai

perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan

kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga kehidupan

demokrasi di tingkat lokal dapat berkembang. Sementara pesimisme masyarakat

terhadap sistem pilkada langsung dinilai dapat memberi peluang besar bagi pemimpin Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung dianggap sebagai

sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam

sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang

menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.

23

(25)

daerah atas berkembangnya gejala KKN akibat wewenang yang luas dalam

pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah, serta tumbuhnya “money politic” di

kalangan pejabat daerah yang terjadi setiap penyelenggaraan pemilihan umum kepala

daerah.

Namun terlepas dari hal tersebut, keberhasilan pilkada langsung untuk

melahirkan kepemimpinan daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan

rakyat sangat tergantung pada kritisme dan rasionalisme rakyat sendiri, pada titik

itulah pesimisme terhadap pilkada langsung menemukan relevansinya. Tentu saja,

dengan adanya perubahan dalam pemilihan umum kepala daerah ini maka telah

menunjukkan bahwa ada kedewasaan demokrasi pada masyarakat Indonesia itu

sendiri.

1.6.2.2 Sistem Pemilukada Langsung

Untuk mengetahui penerapan sistem pilkada langsung di Indonesia, perlu

ditinjau berbagai jenis sistem pilkada langsung yang selama ini pernah diterapkan di

daerah-daerah di beberapa Negara dengan sistem presidensial.24

a. First Past the Post System, sistem ini dikenal sebagai sistem sederhana dan

efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis

memenangkan pilkada dan menduduki kursi kepala daerah, karenanya sistem

ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana. Konsekuensinya, calon

kepala daerah dapat memenangkan pilkada walaupun hanya meraih kurang

dari separuh suara jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan.

b. Preferential Voting System atau Aprroval Voting System, cara kerja sistem ini

adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya

24

(26)

terhadap calon-calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang

calon akan otomatis memenangkan pilkada langsung dan terpilih menjadi

kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama yang

terbesar. Sistem ini dikenal sebagai mengakomodasi sistem mayoritas

sederhana namun dapat membingungkan proses perhitungan suara di setiap

tempat pemungutan suara (TPS) sehingga perhitungan suara mungkin harus

dilakukan secara terpusat.

c. Two Round System atau Run-off System, sesuai namanya cara kerja sistem ini

pemilihan dilakukan dengan dua putaran dengan catatan jika tidak ada calon

yang memperoleh mayoritas absolute (lebih dari 50 persen) dari keseluruhan

suara dalam pemilihan putaran pertama. Dua pasangan calon kepala daerah

dengan perolehan suara terbanyak harus melalui pemilihan putaran kedua

beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. Lazimnya, jumlah suara

minimum yang harus diperoleh para calon pada pemilihan putaran pertama

agar dapat mengikuti putaran kedua bervariasi, dari 20 persen sampai 30

persen, sistem ini paling populer di Negara-negara demokrasi presidensial.

d. Sistem Electoral College, cara kerja sistem ini adalah setiap daerah pemilihan

diberi alokasi atau bobot suatu dewan pemilih sesuai dengan jumlah penduduk.

Setelah pilkada, keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap

daerah pemilihan tersebut dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan

berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di daerah pemilihan

yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara dewan pemilih terbesar

akan memenangkan pilkada langsung. Umumnya, calon yang berhasil

memenangkan suara di daerah-daerah pemilihan dengan jumlah penduduk

(27)

1.6.2.3 Pemilukada sebagai Praktik Demokrasi

Axel Hadenius mengatakan bahwa suatu pemlihan umum termasuk

pemilukada secara langsung disebut demokratis jika memiliki “makna”. Istilah

bermakna merujuk pada 3 kriteria, yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3)

keefektifan pemilu.25

1. Keterbukaan

Keterbukaan disini mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus

terbuka dan bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa ada

pilihan dari antara alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi).

Selain itu, pilkada langsung dapat disebut kompetitif apabila secara hukum dan

kenyataan tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan calon-calon

atau kelompok-kelompok tertentu atas dasar alasan-alasan politik. Pembatasan disini

dimaksudkan sebagai diskriminasi dan bertentangan prinsip keadilan demokrasi dan

kesamaan didepan hukum.

Lebih jauh lagi, dalam kompetisi pilkada langsung pemilih harus memiliki

pilihan diantara berbagai alternatif politik yang bermakna, syarat berkompetisi harus

berlaku sama bagi seluruh calon dalam pengertian satu medan permainan yang sama.

Dengan kata lain kriteria ini diarahkan pada makna kebebasan sipil, yakni analisis

terhadap kebebasan warga dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas

menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak

manapun.26

2. Ketepatan

25Ibid.

Hal.112. 26

(28)

Kriteria ini bertujuan pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye

dan prosedur pemilu dalam pengertian lebih ketat yaitu semua calon harus memiliki

akses yang sama kepada media Negara dan swasta berdasarkan standar-standar

hukum yang sama.

3. Keefektifan Pemilu

Pada kriteria ini dimaksudkan bahwa sistem pilkada langsung harus mampu

untuk menerjemahkan preferensi pemilih menjadi kursi, hal itu juga mengukur

tingkat disproporsionalitas sistem pilkada langsung.27 Dengan kata lain, keefektifan

pemilukada dapat ditandai dengan pengawasan keamanan, merupakan analisis

terhadap interaksi antara sistem pelaksanaan demokrasi dan kehidupan demokrasi.

Artinya bahwa kinerja sistem dalam mencapai tujuan demokrasi, mekanisme dan

aturan partisipasi politik warga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi, serta sarana

dan prasarana mendukung kebebasan sipil.28

Partisipasi politik itu sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang atau

kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain

dengan jalan memilih pimpinan Negara, wakil rakyat maupun pemimpin kepala

daerah baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat memengaruhi

kebijakan pemerintah. Mery G. Tan membedakan partisispasi politik dalam dua aspek,

yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam

politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas berupa Selain itu analisis terhadap individu

dengan alasan bahwa tindakan partisipasi politik individu dalam pemilukada menjadi

faktor kunci dalam kehidupan berdemokrasi, yang ditandai dengan keikutsertaan

masyarakat dalam proses pemilihan umum kepala daerah.

27Ibid

. Hal. 114-115.

(29)

keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada

masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan dan kekuasaan dalam

pengambilan keputusan yang mendasar pada sesuatu yang menyangkut kehidupan

orang banyak.29

Sementara Hebert McClosky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah

kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakatnya dimana mereka mengambil

bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung

dalam pembentukan pemilihan umum.30 Sedangkan menurut Robert Dahl partisipasi

politik adalah kegiatan yang dilakukan warga Negara untuk terlibat dalam proses

pengambilan keputusan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan

pemerintah.31

1. Partisipasi Aktif / Autonom, yakni kegiatan yang berorientasi pada output dan

input politik. Partisipasi aktif adalah kegiatan yang mengajukan usul

mengenai suatu kebijakan di pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan

untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin di

pemerintahan.

Partisipasi sebagai suatu bentuk kegitan dibedakan menjadi dua, yaitu:

2. Partisipasi Pasif / Mobilisasi, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi pada

output politik. Pada masyarakat yang termasuk dalam jenis partisipasi ini

hanya mengikuti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.

29

Iclashul Amal, 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Hal. 18. 30

Mirriam Budiarjo, Op.Cit. Hal.367. 31

(30)

1.7Metodologi Penelitian

1.7.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode ini

dimaksudkan untuk menjelaskan atau penggambaran secara mendalam tentang situasi

atau proses yang diteliti. Penelitian deskriptif merupakan sebuah proses pemecahan

suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keadaan

sebuah objek maupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat pada

saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.32

1.7.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Pada umumnya, penelitian kualitatif ini tidak mempergunakan angka atau

nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari

kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan

menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga

mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual

dan kategoris dari data itu sendiri.33

32

Hadari Nawawi, 1995. Op Cit. Hal. 63. 33

Bruce A. Chodwick. 1991. “Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk),” Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press. Hal: 234-243.

Selain itu, penelitian deskriptif ini meliputi pengumpulan data melalui

pertanyaan maupun kuisioner. Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah

penilaian sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang

(31)

1.7.3 Lokasi Penelitian

Lokasi pada penelitian ini adalah Komisi Independen Pemilihan Aceh

Tamiang.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Bagong Suyanto, dkk. Dalam suatu penelitian kualitatif terdapat tiga

macam atau teknik dalam mengumpulkan data, yaitu :34

1. Wawancara secara mendalam dan terbuka, data yang diperoleh merupakan

kutipan tentang pengalaman, perasaan, dan pengetahuannya.

2. Observasi langsung/terlibat, proses pengumpulan data dengan turun langsung

ke lapangan serta ikut terlibat dalam proses yang tengah dialami subjek

penelitian.

3. Penelaahan terhadap dokumen tertulis (kepustakaan), pencarian data dan

buku-buku, jurnal, Koran, catatan organisasi dan lainnya.

Dalam hal ini, terkait dengan penelitian data yang diperlukan oleh peniliti

adalah :

1. Data Primer

Data primer, yakni melalui wawancara dengan pedoman daftar pertanyaan

terstruktur yang ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai hak politik pada

pemilihan kepala daerah langsung. Salah satunya adalah Ketua Komisi Independen

Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang. Selanjutnya observasi, dimaksudkan adalah aktivitas

34

(32)

penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah

penelitian melalui proses pengamatan langsung di lapangan.

Dalam hal ini observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi pengamatan

terlibat (observasi partisipasi), artinya observasi yang dilakukan pengamat dengan

cara melibatkan diri dalam lingkungan objek pengamatan, seperti meneliti mengenai

kualitas demokrasi pada pamilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012, maka

untuk mengetahui hal tersebut peneliti melakukan observasi partisipasi yaitu hidup

bersama dengan masyarakat tersebut atau turun langsung ke lapangan serta ikut

terlibat dalam proses yang dialami sehingga peneliti dapat lebih mendalami fenomena

yang terjadi selama pilkada berlangsung.

2. Data Sekunder

Dengan menggunakan data sekunder yakni melakukan studi pustaka atau

dokumen dari perpustakaan daerah kabupaten Aceh Tamiang, serta data yang

diperoleh dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang.

1.7.5 Teknik Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan memberi gambaran

mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif.

Data-data yang telah dikumpul, baik data sekunder maupun data yang diperoleh dari

lapangan yang akan dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan

(33)

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang dilakukan penulis dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG

Bab ini akan membahas mengenai profil sejarah dan deskripsi lokal

Kabupaten Aceh Tamiang serta hasil pemilukada Aceh Tamiang 2012

putaran pertama dan kedua.

BAB III KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA

DAERAH ACEH TAMIANG 2012

Pada bab ini memuat penyajian dan analisis data yang diperoleh dari

hasil wawancara yang telah diberikan kepada responden terpilih, data

tersebut disajikan dan dianalisis sesuai dengan karakteristik responden

mengenai kualitas demokrasi pada pemilihan umum kepala daerah

Aceh Tamiang 2012.

BAB IV PENUTUP

Bab terakhir, berisi kesimpulan atas kritik dan saran yang terkait

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

“Menurut Depsos RI, Panti Asuhan Sosial anak adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial

mengujinya dan mengetahui efek Ekstrak Etanol Kedelai Detam 1 (EEKD) dan Ekstrak Etanol Daun Jati Belanda (EEJB) tunggal beserta kombinasinya yang lebih baik

Penelitian kasus kontrol oleh Sidenvall R, dkk di Swedia tahun 1985 - 1987 tentang faktor risiko prenatal dan perinatal terhadap kejadian epilepsi pada anak yang tidak

Analisis pengaruh size perusahaan, Tipe Industri, Basis Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, dan Likuiditas Terhadap Tingkat Pengungkapan Sosial Pada perusahaan Yang

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh current ratio, debt to equity, return on assets, dan earning per share terhadap dividend

Hasil Analisa dengan chi-square terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil belajar diketahui kesehatan tidak berhubungan dengan hasil belajar asuhan bersalinan

Tingkat keragaman fenotipe (TKF) yang diduga berdasarkan persentase fenotipe rekombinan (PFR) pada karakter warna daun pucuk, warna permukaan atas dan bawah tangkai daun

Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa setelah diberikan intervensi ADL training yaitu pada kelompok eksperimen