BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara
berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum.
Demokrasi dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan melalui
proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana seluruh kelompok
yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang harus
dihormati dan dihargai oleh semua pihak.
Kata demokrasi berangkat dari dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani,
yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan.
Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah
kekuasaan yang berada di tangan rakyat.1 Demokrasi sendiri merupakan sistem
kenegaraan yang sangat populer di dunia, banyak Negara menerapkan prinsip
demokrasi sebagai landasan dalam menjalankan roda pemerintahannya,
demokrasipun dianggap sebagai bentuk kehidupan bernegara yang ideal, populer dan
menjadi idaman bagi masyarakat di seluruh dunia, sekalipun Negara itu monarki
absolute seperti Arab Saudi, Thailand, Jepang dan Inggris. 2
1
Prof.Dr.Hafied Cangara.2009. Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta: Rajawali Pers. hal.63.
2Ibid.
Hal.66.
Demikian pula dengan
Indonesiayang sejak tahun 1945 telah banyak melakukan praktik-praktik kenegaraan
demokrasi liberal, demokrasi terpimpin sampai demokrasi pancasila, meskipun dalam
pelaksanaannya cenderung masih otoriter dan liberalisme.
Bentuk demokrasi itupun dapat tercermin dalam pelaksanaan pemilihan
umum di suatu Negara tertentu untuk memilih pejabat Negara sebagai pemimpin,
pemilihan umum yang demokratis menjadi arena pertarungan para anggota
masyarakat untuk dipilih dan memilih calon yang akan menduduki jabatan Negara
mulai dari presiden dan wakil presiden, anggota parlemen, utusan daerah, gubernur
dan wakil gubernur sampai kepada bupati/walikota dan wakil bupati/walikota. Proses
pencalonan juga harus terbuka sehingga setiap warga Negara memiliki akses dan
berhak untuk mencalonkan diri sesuai syarat-syarat yang diterapkan oleh
undang-undang yang berlaku.3
Tujuan lain dari pelaksanaan desentralisasi yakni memberi kesempatan agar
daerah memiliki kepercayaan diri untuk menumbuhkan kemampuannya agar bisa
mengelola sumber daya yang dimiliki, guna memberi kesejahteraan kepada warganya Salah satu tujuan dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri adalah untuk
mensejahterakan rakyat. Dalam hal ini untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah
harus berupaya untuk melakukan pembangunan di berbagai aspek baik itu dibidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya secara merata mulai dari pemerintah pusat sampai
ditingkat daerah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terjadinya
ketidakmerataan sistem pembangunan pada masa orde baru menyebabkan banyaknya
pemekaran daerah yang tercipta pasca orde reformasi sebagai wujud dari pelaksanaan
sistem demokrasi, untuk itulah pemerintah pusat memberikan wewenang pada
pemerintah daerah dengan mewujudkan sistem desentralisasi yakni penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi
urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya,
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3
dengan pemberian pelayanan publik yang lebih dekat dan cepat tanpa bergantung
kepada pusat.4
Karena pada dasarnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik
gubernur dan wakil gubernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota
secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar
rakyat dalam memilih pemimpin daerah. Dengan kata lain, rakyat memiliki
kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung,
bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi.
Maka diperlukanlah pemimpin daerah yang kita sebut sebagai
gubernur (ditingkat provinsi), serta bupati/walikota (ditingkat kabupaten/kota).
Pemilihan kepala daerah seperti gubernur/wakil gubernur maupun bupati/walikota
tentu dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sebuah sistem Pemilihan Umum
Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung sendiri merupakan
fenomena kenegaraan baru yang terjadi di Indonesia, artinya pemilihan kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyat. Awalnya, pemilihan pemimpin daerah ini dipilih oleh
DPRD, akan tetapi karena adanya perubahan yang terjadi pada masa reformasi tahun
1998 maka pemilihan umum kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pilkada secara langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Undang-undang ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien
dan bertanggung jawab.
Joko J.Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, SIstem dan Problema Penerapan di Indonesia. Pustaka Belajar. Hal.98.
Untuk itulah, pelaksanaan pilkada
adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan
demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.
Sehingga muncullah konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai
transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna
sebagai tidak lagi bekerja dengan ide dan konsep yang lama, melainkan telah bekerja
dengan ide dan konsep yang baru.6
Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat
akan berubah menjadi lebih baik lagi, pembaruan kabupaten juga berarti perombakan
secara menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau
mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan massa
rakyat.7 Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang
kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda
pemerintahan dan dijadikan tempat perlindungan, pelayanan publik serta
pembangunan.8
6
Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten.Yogyakarta : Pembaruan. 2004. Hal. ix-x. 7
Joko J. Prihatmoko, Op.Cit. Hal.13. 8
Ibid. Hal.203.
Karena itulah, untuk merealisasikan serta mengaplikasikan prinsip
demokrasi ditingkat lokal dan implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
ini, maka diperlukan adanya pembaruan daerah dalam hal ini adalah pemekaran
daerah Kabupaten Aceh Tamiang.
Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi
Aceh. Sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Aceh Timur yang beribukotakan
Langsa. Kabupaten ini merupakan hasil dari pemekaran daerah Aceh Timur yang
terletak di perbatasan Aceh-Sumatera, dimana penduduk asli di daerah tersebut
merupakan kawasan yang banyak bermukim masyarakat Tamiang yang serupa
dengan etnis Melayu, selain itu di daerah ini juga terdapat minoritas masyarakat etnis
Sebagai daerah pemekaran tentu banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah
daerah tersebut dengan melakukan pembangunan di berbagai kecamatan yang
terdapat di kabupaten Aceh Tamiang, tentu sudah menjadi tanggungjawab pemimpin
daerah (dalam hal ini Bupati) yang bertugas membangun dan mensejahterakan
masyarakatnya. Pada awal berdirinya Aceh Tamiang yakni pada 2 Juli 2002, daerah
ini dipimpin oleh Bupati Ishak Djuned yang notabene merupakan bupati Aceh Timur,
lalu Ishak Djuned menunjuk Abdul Latief yang merupakan karyawan PDAM kota
Langsa sebagai pejabat sementara Bupati Aceh Tamiang.
Aceh Tamiang sendiri telah melewati 2 kali pelaksanaan pilkada langsung,
yakni pada tahun 2007 dan 2012. Pada pilkada tahun 2007 Abdul Latief yang
merupakan bupati Aceh Tamiang ikut berkompetisi dalam proses pemilihan umum
kepala daerah dan berhasil terpilih bersama wakilnya Awaluddin untuk memimpin
Aceh Tamiang periode 2007-2012. Sehabis masa bakti Abdul Latief, Aceh Tamiang
kembali menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung tahun
lalu yakni pada 9 April 2012. Penyelenggaran pilkada tersebut dilakukan dalam 2
putaran dikarenakan dari 11 pasangan calon tidak ada suara yang meraih kuota 30%.
Kandidat yang masuk ke putaran kedua yakni pasangan nomor urut 4
(Agussalim-Abdussamad) serta pasangan nomor urut 10 (Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain).
Pilkada putaran kedua yang dilaksanakan 12 September 2012 lalu, dimenangkan oleh
pasangan nomor urut 10 yakni Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain.
Kemenangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain merupakan fenomena
kontroversial bagi masyarakat Aceh Tamiang saat pesta demokrasi berlangsung,
dimana pasangan calon yang terpilih adalah pasangan yang diusung dari koalisi partai
yakni PAN, PBR, PBA, dan PKS. Sementara yang semula diprediksi akan
memenangkan pilkada adalah pasangan yang diusung dari PA. Partai Aceh sendiri
merupakan partai lokal yang terbentuk di Aceh pasca perdamaian Memorandum of
NKRI, dimana salah satu persyaratan yang diajukan petinggi GAM pada saat itu
adalah dengan meminta untuk mendirikan partai lokal sebagai wujud partisipasi
politik mereka dalam mensejahterakan masyarakat Aceh, melalui proses kegiatan
politik guna memperoleh kedudukan dalam pemerintahan Aceh. Sebagaimana point
1.2.1 Mou Helsinki yaitu : “Sesegera mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak
penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan
memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang
memenuhi persyaratan nasional.”9
Partai Aceh yang sebelumnya bernamakan Partai Gerakan Aceh Merdeka,
kemudian pernah berubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri ini sendiri memiliki
basis yang cukup besar dalam menarik massa, bahkan petinggi PA juga
menginginkan agar seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh dapat dipimpin oleh
calon yang diusung dari partai mereka. Terlepas dari apakah mereka melakukan
intimidasi terhadap masyarakat atau tidak namun terbukti dalam pemilihan
bupati/walikota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh ada 8 kabupaten/kota yang
dimenangkan oleh PA. Seperti Kabupaten Aceh Besar dimenangkan oleh Mukhlis
Basyah-Samsulrizal, Kabupaten Pidie yang dimenangkan oleh pasangan Sarjani
Abdullah-M.Iriawan, Kabupaten Aceh Timur oleh Hasballah-Syahrul bin Syamaun,
Kabupaten Aceh Utara dimenangkan oleh Muhammad M Thaib-Muhammad Djamil,
Kabupaten Aceh Jaya dimenangkan oleh Azhar Abdurrahman-Tgk.Maulidi, Kota
Bireun oleh pasangan Ruslan H Daud-Mukhtar Abda, 10
9
http://www.partaiaceh.com/2012/02/sejarah-partai-aceh.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib. 10
http://www.acehtraffic.com/2012/04/pasangan-lusruskan-mou-menangkan-6.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib.
Kota Lokhseumawe oleh
Suaidi Yahya/Nazaruddin, serta Kota Sabang oleh Zulkifli H.Adam-Nazaruddin,
begitu pula pada pemilihan Gubernur Aceh yang juga dimenangkan oleh pasangan
Proses pemilihan bupati Aceh Tamiang 2012 sejatinya memanglah tidak
berjalan mulus, dikarenakan perseteruan kepentingan oleh kedua kubu (kubu Hamdan
Sati-Iskandar Zulkarnain dan Agussalim-Abdussamad) yang sama-sama kuat, dalam
rangka merebut posisi nomor satu di daerah ini. Berbagai ancaman kekerasan dan
teror muncul, diantaranya teror yang berdatangan dari kubu pendukung PA yang
mengancam masyarakat pedalaman agar memilih calon yang mereka usung, belum
lagi berkembangnya isu yang datang dari kubu Hamdan Sati mengenai keterlibatan
aparat keamanan (dalam hal ini TNI dan Polri) dalam proses pilkada Aceh Tamiang
yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati.
Hamdan diduga melakukan blockade disejumlah daerah dengan
mengandalkan kekuatan aparatur Negara dan memaksa masyarakat untuk memilihnya,
isu semakin berkembang saat seluruh kader dari PA menggelar aksi demonstrasi dan
meminta pada Mahkamah Konstitusi untuk mengulang kembali pelaksanaan pilkada
Aceh Tamiang, mereka juga menuntut pihak Hamdan Sati karena diduga telah
melakukan praktik money politic dalam proses pilkada. Namun yang menjadi
persoalan dalam hal ini adalah jika memang benar bupati terpilih melakukan
kecurangan dan sebagainya, lantas apa yang membuat masyarakat masih mau
memilihnya? Apakah masyarakat Tamiang mulai terbuai dengan berbagai suap yang
diberikan calon terpilih? Atau sebaliknya karena takut akan ancaman yang datang
pada mereka? Lalu seperti apa sebenarnya preferensi pemilih masyarakat Tamiang
pada pilkada langsung tersebut. Apakah nilai-nilai demokrasi pilkada langsung di
Aceh Tamiang sudah mulai luntur? Ataukah malah isu mengenai proses pelaksanaan
pemilu yang sarat akan kekerasan dan intimidasi tersebut, hanyalah kabar burung
yang sengaja dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab?
Melihat fenomena tersebut tentu membuat penulis begitu tertarik untuk
membahas, serta mendeskripsikan lebih dalam tentang bagaimana kualitas demokrasi
penelitian ini untuk diangkat, guna mengetahui bagaimana kualitas demokrasi Aceh
Tamiang saat penyelenggaraan pilkada berlangsung. Karena pada dasarnya pemilihan
umum kepala daerah merupakan laboratorium demokrasi di Indonesia, dari situlah
kita dapat melihat sudah sejauh mana demokrasi ditingkat lokal berjalan dan ditahap
apa sebenarnya kita berada. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada akan selalu
hangat untuk dikaji dan diperbincangkan.
1.2Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya,
dan rumusan masalah dapat menghasilkan jawaban daripada topik penelitian atau
judul penelitian. Menurut Nazir, perumusan masalah biasanya dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan yang jelas dan padat, berisi implikasi adanya data untuk
memecahkan masalah, serta merupakan dasar dalam membuat hipotesis dan judul
penelitian.11
1.3Batasan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis ingin
mendeskripsikan suatu fenomena pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang
2012. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimana Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh
Tamiang 2012 ?”
Dalam sebuah penelitian, penulis memerlukan batasan masalah agar masalah
yang diangkat tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Adapun batasan
masalahnya, yakni :
11
1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pemilukada.
2. Kebebasan Sipil dalam proses pemilukada.
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan keinginan yang ingin dilakukan dan dicapai
dalam melakukan suatu penelitian, untuk itu tujuan penelitian perlu kiranya disusun
secara spesifik sesuai dengan kepentingan penelitian.12
1.5Manfaat Penelitian
Oleh karena itu, tujuan
penelitian penulis adalah untuk menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam
proses pilkada Aceh Tamiang 2012, dan menganalisis kebebasan sipil dalam proses
pilkada Aceh Tamiang 2012.
a. Bagi Penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan
kemampuan dalam membuat karya ilmiah dan menganalisis kondisi sosial
masyarakat.
b. Khususnya bagi pembaca akan memahami bagaimana kualitas demokrasi
ditingkat lokal, khususnya pada pemilihan umum kepala daerah Aceh
Tamiang tahun 2012.
c. Memperluas khasanah dan pengetahuan di bidang politik dan menjadi
bahan rujukan bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Politik.
12
1.6Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan penjelasan titik tolak ataupun landasan
pemikirannya dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu
disusun kerangka teori yang membuat pokok-pokok pemikiran yang menggambarkan
sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti.13
1.6.1 Demokrasi
Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori
dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian.
Teori ini adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proporsi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara menerangkan dan
merumuskan hubungan antara konsep pemikiran.
1.6.1.1Konsep dan Teori Demokrasi
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara
berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum.
Demokrasi sendiri dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan
melalui proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana semua
kelompok yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang
harus dihormati dan dihargai oleh semua pihak.
Kata “demokrasi” terdiri atas dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani,
yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan.
13
Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah
kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Secara terminologi demokrasi adalah
sebagai berikut: 14
- Joseph A. Schumpeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencaan
instutisional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas
suara rakyat.
- Philippe C. Schmitter, demokrasi merupakan sebagai suatu sistem
pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas
tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara
tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka
yang telah terpilih.
Sementara definisi demokrasi lainnya seperti dikemukakan oleh Ebenstein
bercirikan empirisme rasional, individu-oriented, negara sebagai alat, kesukarelaan,
hukum di atas hukum, cara, persetujuan dan persamaan. Sedangkan Robert Dahl,
seperti dikutip oleh Samuel Huntington mengungkapkan bahwa demokrasi tidak
boleh melibatkan unsur emosi akan tetapi menggunakan akal sehat. Pemikiran Dahl
terhadap demokrasi menandai bergulirnya babak baru pemikiran tentang demokrasi.15
Demokrasi dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM
tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung,
dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas Adapun beberapa teori-teori demokrasi yaitu :
1. Demokrasi Klasik
14
Prof.Dr.Hafied, Op Cit. Hal. 63.
pelbagai permasalahan kenegaraan. Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari
pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang
membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara
kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan
Thomas Aquino.
Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi,
kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat)
lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan
tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya
sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau,
yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai
penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan
umum.
Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat.
Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan
konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri
sendiri. Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati persamaan
politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.
2. Kontrak Sosial
Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman
Pencerahan yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang
menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah
sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk
kesejarahan, zaman pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya,
yaitu aman pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di
zaman pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah dijelaskan di atas, teori
kontrak sosial yang berkembang pada zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar
telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu
dan Aquinas. yang jelas adalah bahwa pada zaman pencerahan ini unsur-unsur
pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas
tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama
mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah
sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan
itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu
dari yang lain, perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di
dalam konsep maupun di dalam fraksinya. Dalam membangun teori kontrak sosial,
hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian
konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah. Hobbes
menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya.
Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang
menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan
kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan
aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati.
Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk
memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh
karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan
menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power
Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power
dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia
menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena
kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari
kondisi perang satu dengan lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan).
Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah
memasuki kondisi sipil.16
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut
Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal
murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang
dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan
pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua,
pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu
dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri
manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia
lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar
prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar
dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut
Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam
kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur
karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang
salah dalam pergaulan antara sesama.
16
hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup
untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya
memiliki power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes,
Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman
penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial
(buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat
tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja.
Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan
kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan
kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada
kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu
disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas.
Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu
mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang
memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam. Walaupun pada prinsipnya manusia
itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak
istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya,
lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang
punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain.
Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang memiliki hak-hak istimewa menekan
orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan dan tidak stabil, maka masyarakat
memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian
Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum untuk dibedakan dari
hanya kehendak semua. Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah
orang yang berkehendak, akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya.
3. Trias Politica
Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, dilatarbelakangi
pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat
tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua
atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh
pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat
lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis, Montesquieu membagi
kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat
pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut:
a. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang
b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang
c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang
(mengadili)
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk
memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat
keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang
atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan
masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia
kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan
lainnya.
1.6.1.2 Prinsip Demokrasi
Menurut Masykuri Abdillah,prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan
(Equality), kebebasan (freedom), dan kemajemukan (pluralisme). 17 Prinsip
Persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negara baik rakyat biasa
ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan di
hadapan hukum dan pemerintahan. Prinsip Kebebasan menegaskan bahwa setiap
individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan
membentuk perserikatan. Sedangkan Prinsip Pluralisme memberikan penegasan dan
pengakuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya
merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan). 18
17
U. Ubaidillah. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. IAIN Jakarta Press, Jakarta. Hal. 165.
18Ibid. Hal.166.
Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena
jika prinsip-prinsip ini berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yang lainnya maka
demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Misalnya adalah demokrasi tidak
akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh
adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai
politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak
Dengan kata lain, demokrasi mengarah pada suatu sistem politik yang
dijalankan oleh suatu pemerintahan, seperti Henry B. Mayo dalam buku Introduction
to Democratic Theory memberi defenisi sebagai berikut :19
Teori Demokrasi Lokal menurut Timothy D. Sisk mengkonsepsikan
Demokrasi dalam pemerintahan lokal adalah tatanan demokrasi yang paling mendasar
yang dengannya segenap warga memiliki peluang yang paling aktif dan langsung
berperan serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup
segenap anggota masyarakat.
Sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan
atas dasar mayoritas atas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
1.6.1.3 Demokrasi Tingkat Lokal
20
19
Mirriam Budiarjdo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 117.
20http://iesdepedia.com/blog/2013/01/14/demokrasi-lokal-teori/
diakses 22 Oktober 2013 pukul 20.00 wib.
Selain itu, secara terminologi demokrasi menurut
Sidney Hook adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah
yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan
mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa, sedangkan arti kata Lokal
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu ruang yang luas atau terjadi
disuatu tempat. Jadi, demokrasi lokal jika di simpulkan dari pengertian tersebut
adalah bentuk pemerintahan yang mana rakyatlah yang menentukan
keputusan-keputusan didalam sebuah pemerintahan yang berlangsung di sebuah ruang lingkup
Konsep yang di sebutkan oleh Timothy D. Sisk dalam teori demokrasi lokal
ini adalah kewarganegaraan dan masyarakat, musyawarah, pendidikan politik,
pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. Berikut adalah sedikit gambaran
mengenai konsep yang dikemukakan Timothy D. Sisk :
- Kewarganegaraan dan Masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya
adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab
lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan
keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih
langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.4
- Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya
terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna,
yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam
masyarakat5. musyawarah adalah konsep yang biasanya dilakukan dalam
Demokrasi diranah lokal mengingat bahwa musyawarah adalah konsepsi
demokrasi yang lebih dekat dengan dialektika masyarakat.6
- Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses
“pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan
setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di
masyarakat7. adanya pendidikan politik memungkinkan masyarakat awam
sekalipun untuk bisa berkontribusi di dalam segala urusan pemerintahan ,
maksudnya berkontribusi yaitu dengan jalan penyampaian aspirasi. Pendidikan
politik membuat masyarakat punya pegangan yang kuat dan tidak buta dalam
keikutsertaan segala proses politik.
- Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para
pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal juga berpendapat
mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya
kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan
yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki
semangat sosial.
Selain Timothy D. Sisk, teori demokrasi lokal juga berangkat dari pemikiran
Dove yang menyatakan bahwa budaya tradisional selalu terkait dengan proses
perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakatnya pada tempat mana budaya
tradisional tersebut melekat. Jadi, segala urusan yang terkait dengan perubahan
politik dan sosial tidak terlepas dari pengaruh budaya yang telah melekat dan
berkembang dimasyarakat. Budaya ternyata mampu memberi paradigma yang kuat
terhadap masyarakat hingga mempengaruhi tindakan sosial dan politik masyarakat
tersebut.
Pada dasarnya, demokrasi ditingkat lokal merupakan implikasi dari
desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses
demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan
untuk rakyat. Hal paling mendasar dalam demokrasi adalah keikutsertaan rakyat,
serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan
bersama. Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan
hanya di tingkat regional tetapi di tingkat lokal.
Adanya demokrasi ditingkat lokal sebagai akibat dari proses demokrasi
regional yang dituntut oleh perkembangan desentralisasi. Demokrasi lokal memuat
hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk
mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya
dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan
Selain itu pada tingkat lokal, adakalanya demokrasi hanya difokuskan pada
institusi pemerintahan saja. Ted Robert Gurr misalnya sangat menekankan
keberadaan institusi eksekutif, Menurut Gurr, demokrasi mengandung empat unsur:
1) persaingan partisipasi politik, 2) persaingan rekruitmen politik, 3) keterbukaan
rekruitmen eksekutif, dan 4) tantangan yang dihadapi eksekutif. Pendapat ini
semestinya juga memasukkan dimensi lain, karena keberadaan eksekutif di daerah
tidak bisa dilepaskan dari proses dan hasil pemilu yang melibatkan sejumlah actor
politik.21
Banyak pendekatan bisa digunakan untuk melihat model mana yang berlaku
pada suatu Negara dunia ketiga, walaupun tidak mencakup semua ciri pada suatu Sebagai mekanisme sistem politik, sebagaimana dikemukakan Mitchell dan
Simmons, demokrasi terdiri dari empat kelompok pembuat keputusan: pemilih,
parlemen, birokrat, dan kelompok kepentingan. Kelompok-kelompok ini bersaing
memperebutkan posisi dan kekuasaan, baik pada level nasional maupun lokal.
Demokrasi harus dilihat sebagai proses politik yang membuka peluang bagi
partisipasi politik rakyat untuk secara efektif melakukan pengawasan terhadap agenda
dan keputusan politik.
Pendapat serupa juga dikemukakan Holden, di dalam demokrasi rakyat
diberikan hak membuat keputusan (dalam bentuk kebijakan publik) menyangkut
masalah-masalah penting. Pendapat Dahl dan Holden sangat relevan dalam konteks
demokratisasi di Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal, yang
memberikan peluang peranan atau partisipasi politik rakyat untuk mengawal agenda
reformasi, karena seperti dikemukakan Almond dan Nelson, partisipasi politik rakyat
merupakan salah satu tolok ukur penting untuk menilai apakah suatu sistem politik itu
demokratis, otoriter, atau bentuk sistem politik lainnya.
21
model. Chai Anand, misalnya, menggambarkan tiga model sistem politik di dunia
ketiga. Model ini sangat mempengaruhi sistem politik lokal.
Tabel 1
Ciri Utama Negara dalam Tiga Dimensi
Ciri
Militer dan Polisi Institusi pollitik
parpol, kelompok
Sumber : TB. Massa Djafar,Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal,
Jurnal Politik Vol.1.2008. hal.3.
Berdasarkan model di atas, negara-negara dapat digolongkan ke dalam tiga
dimensi, bergantung pada usaha pembangunan demokrasi ditingkat lokal disetiap
negara, apakah lebih memfokuskan atau mengutamakan keamanan (Security),
Secara teoritis, pendemokrasian di Indonesia bersumber pada krisis legitimasi,
kelas menengah, (pertumbuhan) ekonomi, budaya (agama), dan campur tangan
negara luar (kebijakan AS dan sekutunya). Faktor-faktor tersebut menjadi pendukung
sekaligus penghalang tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Tentu saja generalisasi
ini harus dilihat secara kritis, dan dikaitkan dengan fenomena yang berkembang di
daerah (sekarang dan masa datang). Kelas menengah, ekonomi, agama atau budaya
adalah faktor-faktor yang banyak mempengaruhi demokratisasi di Indonesia terutama
ditingkat lokal.
Faktor penting lain yang patut dipertimbangkan adalah peranan elit politik,
dalam hal kemampuan secara tepat mengambil keputusan politik yang menjangkau
masa depan dan mendisain kebijakan-kebijakan pendukung dari keputusan politik
yang diambil tersebut. Seperti dikemukakan Linz dan Stepan, peranan elit politik
merupakan variabel penting, terutama terhadap keberhasilan demokratisasi dan
demokrasi di suatu Negara, karena demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak
rakyat dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama. Oleh
karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat
itu.22
1.6.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung
1.6.2.1 Pemilukada Langsung
Pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah sebuah mekanisme
demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat secara
menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang
didukungnya dan calon-calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan
main yang sama. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung tertuang
22
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pertama
kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005 dan penyelenggaraan Pemilihan Daerah
dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang
dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik Gubernur/wakil
gubernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota, secara langsung oleh
rakyat merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih
pemimpin di daerah. Dengan itu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk
menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya
intervensi (otonom).23
Dipilihnya sistem pemilukada langsung mendatangkan optimisme dan
pesimisme tersendiri di kalangan masyarakat. Pemilukada dinilai optimisme sebagai
perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan
kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga kehidupan
demokrasi di tingkat lokal dapat berkembang. Sementara pesimisme masyarakat
terhadap sistem pilkada langsung dinilai dapat memberi peluang besar bagi pemimpin Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung dianggap sebagai
sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam
sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang
menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.
23
daerah atas berkembangnya gejala KKN akibat wewenang yang luas dalam
pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah, serta tumbuhnya “money politic” di
kalangan pejabat daerah yang terjadi setiap penyelenggaraan pemilihan umum kepala
daerah.
Namun terlepas dari hal tersebut, keberhasilan pilkada langsung untuk
melahirkan kepemimpinan daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan
rakyat sangat tergantung pada kritisme dan rasionalisme rakyat sendiri, pada titik
itulah pesimisme terhadap pilkada langsung menemukan relevansinya. Tentu saja,
dengan adanya perubahan dalam pemilihan umum kepala daerah ini maka telah
menunjukkan bahwa ada kedewasaan demokrasi pada masyarakat Indonesia itu
sendiri.
1.6.2.2 Sistem Pemilukada Langsung
Untuk mengetahui penerapan sistem pilkada langsung di Indonesia, perlu
ditinjau berbagai jenis sistem pilkada langsung yang selama ini pernah diterapkan di
daerah-daerah di beberapa Negara dengan sistem presidensial.24
a. First Past the Post System, sistem ini dikenal sebagai sistem sederhana dan
efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis
memenangkan pilkada dan menduduki kursi kepala daerah, karenanya sistem
ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana. Konsekuensinya, calon
kepala daerah dapat memenangkan pilkada walaupun hanya meraih kurang
dari separuh suara jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan.
b. Preferential Voting System atau Aprroval Voting System, cara kerja sistem ini
adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya
24
terhadap calon-calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang
calon akan otomatis memenangkan pilkada langsung dan terpilih menjadi
kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama yang
terbesar. Sistem ini dikenal sebagai mengakomodasi sistem mayoritas
sederhana namun dapat membingungkan proses perhitungan suara di setiap
tempat pemungutan suara (TPS) sehingga perhitungan suara mungkin harus
dilakukan secara terpusat.
c. Two Round System atau Run-off System, sesuai namanya cara kerja sistem ini
pemilihan dilakukan dengan dua putaran dengan catatan jika tidak ada calon
yang memperoleh mayoritas absolute (lebih dari 50 persen) dari keseluruhan
suara dalam pemilihan putaran pertama. Dua pasangan calon kepala daerah
dengan perolehan suara terbanyak harus melalui pemilihan putaran kedua
beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. Lazimnya, jumlah suara
minimum yang harus diperoleh para calon pada pemilihan putaran pertama
agar dapat mengikuti putaran kedua bervariasi, dari 20 persen sampai 30
persen, sistem ini paling populer di Negara-negara demokrasi presidensial.
d. Sistem Electoral College, cara kerja sistem ini adalah setiap daerah pemilihan
diberi alokasi atau bobot suatu dewan pemilih sesuai dengan jumlah penduduk.
Setelah pilkada, keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap
daerah pemilihan tersebut dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan
berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di daerah pemilihan
yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara dewan pemilih terbesar
akan memenangkan pilkada langsung. Umumnya, calon yang berhasil
memenangkan suara di daerah-daerah pemilihan dengan jumlah penduduk
1.6.2.3 Pemilukada sebagai Praktik Demokrasi
Axel Hadenius mengatakan bahwa suatu pemlihan umum termasuk
pemilukada secara langsung disebut demokratis jika memiliki “makna”. Istilah
bermakna merujuk pada 3 kriteria, yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3)
keefektifan pemilu.25
1. Keterbukaan
Keterbukaan disini mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus
terbuka dan bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa ada
pilihan dari antara alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi).
Selain itu, pilkada langsung dapat disebut kompetitif apabila secara hukum dan
kenyataan tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan calon-calon
atau kelompok-kelompok tertentu atas dasar alasan-alasan politik. Pembatasan disini
dimaksudkan sebagai diskriminasi dan bertentangan prinsip keadilan demokrasi dan
kesamaan didepan hukum.
Lebih jauh lagi, dalam kompetisi pilkada langsung pemilih harus memiliki
pilihan diantara berbagai alternatif politik yang bermakna, syarat berkompetisi harus
berlaku sama bagi seluruh calon dalam pengertian satu medan permainan yang sama.
Dengan kata lain kriteria ini diarahkan pada makna kebebasan sipil, yakni analisis
terhadap kebebasan warga dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas
menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak
manapun.26
2. Ketepatan
25Ibid.
Hal.112. 26
Kriteria ini bertujuan pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye
dan prosedur pemilu dalam pengertian lebih ketat yaitu semua calon harus memiliki
akses yang sama kepada media Negara dan swasta berdasarkan standar-standar
hukum yang sama.
3. Keefektifan Pemilu
Pada kriteria ini dimaksudkan bahwa sistem pilkada langsung harus mampu
untuk menerjemahkan preferensi pemilih menjadi kursi, hal itu juga mengukur
tingkat disproporsionalitas sistem pilkada langsung.27 Dengan kata lain, keefektifan
pemilukada dapat ditandai dengan pengawasan keamanan, merupakan analisis
terhadap interaksi antara sistem pelaksanaan demokrasi dan kehidupan demokrasi.
Artinya bahwa kinerja sistem dalam mencapai tujuan demokrasi, mekanisme dan
aturan partisipasi politik warga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi, serta sarana
dan prasarana mendukung kebebasan sipil.28
Partisipasi politik itu sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain
dengan jalan memilih pimpinan Negara, wakil rakyat maupun pemimpin kepala
daerah baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat memengaruhi
kebijakan pemerintah. Mery G. Tan membedakan partisispasi politik dalam dua aspek,
yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam
politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas berupa Selain itu analisis terhadap individu
dengan alasan bahwa tindakan partisipasi politik individu dalam pemilukada menjadi
faktor kunci dalam kehidupan berdemokrasi, yang ditandai dengan keikutsertaan
masyarakat dalam proses pemilihan umum kepala daerah.
27Ibid
. Hal. 114-115.
keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada
masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan dan kekuasaan dalam
pengambilan keputusan yang mendasar pada sesuatu yang menyangkut kehidupan
orang banyak.29
Sementara Hebert McClosky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakatnya dimana mereka mengambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung
dalam pembentukan pemilihan umum.30 Sedangkan menurut Robert Dahl partisipasi
politik adalah kegiatan yang dilakukan warga Negara untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan
pemerintah.31
1. Partisipasi Aktif / Autonom, yakni kegiatan yang berorientasi pada output dan
input politik. Partisipasi aktif adalah kegiatan yang mengajukan usul
mengenai suatu kebijakan di pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan
untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin di
pemerintahan.
Partisipasi sebagai suatu bentuk kegitan dibedakan menjadi dua, yaitu:
2. Partisipasi Pasif / Mobilisasi, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi pada
output politik. Pada masyarakat yang termasuk dalam jenis partisipasi ini
hanya mengikuti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.
29
Iclashul Amal, 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Hal. 18. 30
Mirriam Budiarjo, Op.Cit. Hal.367. 31
1.7Metodologi Penelitian
1.7.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode ini
dimaksudkan untuk menjelaskan atau penggambaran secara mendalam tentang situasi
atau proses yang diteliti. Penelitian deskriptif merupakan sebuah proses pemecahan
suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keadaan
sebuah objek maupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat pada
saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.32
1.7.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Pada umumnya, penelitian kualitatif ini tidak mempergunakan angka atau
nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari
kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan
menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga
mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual
dan kategoris dari data itu sendiri.33
32
Hadari Nawawi, 1995. Op Cit. Hal. 63. 33
Bruce A. Chodwick. 1991. “Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk),” Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press. Hal: 234-243.
Selain itu, penelitian deskriptif ini meliputi pengumpulan data melalui
pertanyaan maupun kuisioner. Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah
penilaian sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang
1.7.3 Lokasi Penelitian
Lokasi pada penelitian ini adalah Komisi Independen Pemilihan Aceh
Tamiang.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data
Menurut Bagong Suyanto, dkk. Dalam suatu penelitian kualitatif terdapat tiga
macam atau teknik dalam mengumpulkan data, yaitu :34
1. Wawancara secara mendalam dan terbuka, data yang diperoleh merupakan
kutipan tentang pengalaman, perasaan, dan pengetahuannya.
2. Observasi langsung/terlibat, proses pengumpulan data dengan turun langsung
ke lapangan serta ikut terlibat dalam proses yang tengah dialami subjek
penelitian.
3. Penelaahan terhadap dokumen tertulis (kepustakaan), pencarian data dan
buku-buku, jurnal, Koran, catatan organisasi dan lainnya.
Dalam hal ini, terkait dengan penelitian data yang diperlukan oleh peniliti
adalah :
1. Data Primer
Data primer, yakni melalui wawancara dengan pedoman daftar pertanyaan
terstruktur yang ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai hak politik pada
pemilihan kepala daerah langsung. Salah satunya adalah Ketua Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang. Selanjutnya observasi, dimaksudkan adalah aktivitas
34
penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah
penelitian melalui proses pengamatan langsung di lapangan.
Dalam hal ini observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi pengamatan
terlibat (observasi partisipasi), artinya observasi yang dilakukan pengamat dengan
cara melibatkan diri dalam lingkungan objek pengamatan, seperti meneliti mengenai
kualitas demokrasi pada pamilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012, maka
untuk mengetahui hal tersebut peneliti melakukan observasi partisipasi yaitu hidup
bersama dengan masyarakat tersebut atau turun langsung ke lapangan serta ikut
terlibat dalam proses yang dialami sehingga peneliti dapat lebih mendalami fenomena
yang terjadi selama pilkada berlangsung.
2. Data Sekunder
Dengan menggunakan data sekunder yakni melakukan studi pustaka atau
dokumen dari perpustakaan daerah kabupaten Aceh Tamiang, serta data yang
diperoleh dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang.
1.7.5 Teknik Analisis Data
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan memberi gambaran
mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif.
Data-data yang telah dikumpul, baik data sekunder maupun data yang diperoleh dari
lapangan yang akan dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan
1.8 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang dilakukan penulis dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG
Bab ini akan membahas mengenai profil sejarah dan deskripsi lokal
Kabupaten Aceh Tamiang serta hasil pemilukada Aceh Tamiang 2012
putaran pertama dan kedua.
BAB III KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA
DAERAH ACEH TAMIANG 2012
Pada bab ini memuat penyajian dan analisis data yang diperoleh dari
hasil wawancara yang telah diberikan kepada responden terpilih, data
tersebut disajikan dan dianalisis sesuai dengan karakteristik responden
mengenai kualitas demokrasi pada pemilihan umum kepala daerah
Aceh Tamiang 2012.
BAB IV PENUTUP
Bab terakhir, berisi kesimpulan atas kritik dan saran yang terkait