• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN KEMBALI TENTANG DEMOKRASI DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMIKIRAN KEMBALI TENTANG DEMOKRASI DAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN KEMBALI TENTANG

DEMOKRASI DAN NOMOKRASI

DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS

Bagi suatu bangsa yang baru lahir kembali, milik yang paling berharga adalah "kemerdekaan" dan

"kedaulatan".

(Soekarno, 30 September 1960)

Bagian Ke-I :

IDE KEDAULATAN, DEMOKRASI DAN NOMOKRASI

A. IDE KEDAULATAN YANG MEMPENGARUHI GAGASAN DEMOKRASI DAN

NOMOKRASI

Pada pembahasan mengenai demokrasi dan nomokrasi ini, pada awalnya kita membahas

(2)

demokrasi dan nomokrasi. Kedaulatan merupakan konsep yang biasa dijadikan objek dalam

filsafat politik dan hukum kenegaraan. Didalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan

konsepsi ide kekuasaan tertinggi yang di kaitkan dengan negara. Pengertian kata kedaulatan

dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi baik di

bidang ekonomi maupun terutama di lapangan politik. Akan tetapi dalam kaitannya dengan

makna kekuasaan yang bersifat tertinggi itu, terkandung pula dimensi waktu dan proses

peralihannya sebagai proses fenomena yang bersifat alamiah.

Pandangan seperti ini terkandung juga dalam pemikiran Ibnu Khaldun ; mengenai naik tenggelamnya kekuasaan manusia dalam sejarah umat manusia. Sebagaimana ditulis dalam

Mukadimah, muncul dan tenggelamnya negara (kerajaan-kerajaan) dimasa lalu atau disebut oleh Ibnu Khaldun dengan Al-daulah itu merupakan tututan alamiah yang sangat rasional. Pandangan

Ibnu Khaldun inilah yang sebenarnya mempengaruhi Niccolo Maciavelli ketika menulis karya menumentalnya l’Prince. Buku l’Prince ini, seperti Mukadimah, juga mengemukakan teori sangat mirip mengenai naik-tenggelamnya negara dalam sejarah umat manusia. Hal ini

menunjukkan bahwa gagasan kedaulatan yang berkembang di Timur sebelumnya pernah turut

terbawa serta ke Eropa bersamaan dengan pengaruh pemikiran-pemikiran kaum muslimin ke

Eropa pada abad pertengahan, sebelum munculnya gerakan Renaissance. Namun demikian, dalam perkembangan lebih lanjut, gagasan kedaulatan itu sendiri di dunia Barat mengalami

perubahan dan perkembangannya sendiri.

Ide kedaulatan dikembangkan atas dasar pemikiran berkenaan dengan konsep-konsep

kekuasaan yang bersumber kepada pemikiran Yunani dan Romawi. Berikut beberapa konsep

kedaulatan menurut para ahli :[1]

Menurut Jean Bodin, ada tiga unsur konsep kedaulatan :

1. Kekuasaan itu bersifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi, dan asli dalam arti tidak

berasal dari atau bersumber dari kekuasaan lain yang lebih tinggi

(3)

3. Tidak terpecah dan terbagi-bagi

Menurut J.J. Rousseau, konsep kedaulatan itu bersifat kerakyatan dan didasarkan pada

kemauan umum rakyat yang menjelam menjadi perundang-undangan. Selain itu, menurutnya

Hukum kodrati hanya menganugrahi kedaulatan yang tidak dapat dicabut kepada warga

masyarakat sebagai satu kesatuan. Oleh sebab itu, menurutnya, konsep kedaulatan mempunyai

sifat-sifat, yaitu :

1. Kesatuan (unite), bersifat monotis,

2. Bulat dan tidak terbagi (indivisibilite),

3. Tidak dapat dialihkan (inalienabilite),

4. Tidak dapat berubah (imprescriptibilite)

Sebagai salah satu alat analisis yang penting, dapat pula dikemukakan bahwa pemahaman

terhadap konsep kedaulatan itu dapat dibagi kedalam dua aspek. Keduanya saling berkaitan satu

sama lain, yaitu soal lingkup kekuasaan (scope of power) dan soal jangkauan kekuasaan itu (domain of power). Lingkup kedaulatan berkenaan dengan soal aktivitas yang tercakup dalam fungsi kedaulatan, sedangkan jangkauan kedaulatan berkaitan dengan siapa yang menjadi subjek

dan pemegang kedaulatan sebagai konsep mengenai kedaulatan tertinggi (the sovereign). Dalam khazanah pemikiran tentang negara dan praktik kenegaraan sepanjang peradaban manusia,

dikenal lima teori tentang kedaulatan negara, kelima teori ini adalah :[2]

1. Teori kedaulatan Tuhan

Rakyatlah yang pada hakikatnya memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Pemerintahan

dalam suatu negara dilakukan dari, oleh dan untuk rakyat.

B. GAGASAN DEMOKRASI (Democracy) YANG MENJADI AWAL LAHIRNYA

(4)

Menurut etimologi/bahasa, demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu dari demos adalah

“rakyat” dan cratos atau cratein adalah “pemerintahan” atau

“kekuasaan”. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Oleh karena itu

dalam sistem demokrasi rakyat mendapat kedudukan penting didasarkan adanya rakyat

memegang kedaulatan. Dari uraian ini dapat kita ketahui bahwa dalam sebuah negara yang

menganut paham demokrasi tentunya mendasari dirinya pada kedaulatan rakyat layaknya

pengertian demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan

bahan retorika belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan gagasan luhur

tentang kehidupan bernegara yang ideal, melainkan juga mengenai persoalan tradisi dan budaya

politik yang egaliter dalam realitas pergaulan hidup yang berkeragaman atau plural, dengan

saling menghargai perbedaan satu sama lain. Oleh karena itu, perwujudan demokrasi haruslah

bedasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrument hukum, evektivitas

dan keteladanan kepemimpinan, dukungan pendidikan masyarakat, serta basis kesejahteraan

sosial ekonomi yang berkembang makin meratadan berkeadilan [3].

Demokrasi dibedakan dalam dua bentuk pada tahapan praktiknya, yaitu demokrasi

langsung dan demokrasi tidak langsung. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul

“Konstitusi dan Konstitusionalisme” menjabarkan kedua demokrasi ini dengan mencontohkan

praktik demokrasi yang diselenggarakan di Indonesia, namun beliau dalam istilah demokrasi

tidak langsung menggunakan istilah demokrasi perwakilan. Kedaulatan rakyat (democratie) Indonesia diselenggarakan secara langsung. Secara langsung, kedaulatan rakyat diwujudkan

dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang

terdiri atas Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pemegang

(5)

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Dalam

menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa

Undang-Undang Dasar dan Undang-undang (fungsi legislatif), serta dalam menjalankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol) terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah provinsi kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat

juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [4]. Dari uraian pendapat ini, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Demokrasi langsung

ialah keterlibatan rakyat secara langsung dalam menjalankan roda pemerintahan dalam sebuah

negara, namun perlu juga dipahami bahwa tidak semua rakyat ikut terlibat secara langsung dalam

menjalankan roda pemerintahan, melainkan sebagian dari rakyat yang menjadi wakil atau

legitimasi dari rakyat secara keseluruhan, hal ini disebut dengan demokrasi tidak langsung atau

sistem perwakilan.

Keterlibatan rakyat secara langsung melalui sistem perwakilan dalam negara yang

demokratis, Prof. Jimly juga menambahkan bahwa penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung

(Direct Democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas

pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Disamping itu, kedaulatan rakyat dapat pula

disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan Hak atas kebebasan berpendapat, hak atas

kebebasan Pers, Hak atas kebebasan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat

serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar [5]. Namun demikian, prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat langsung hendaklah dilakukan melalui saluran-saluran

(6)

bahwa demokrasi itu baik, namun terdapat juga kelemahannya. Sebagaimana pendapat dari

Janedjri M. Gaffar menyatakan bahwa Kelemahan lain dari demokrasi adalah sulitnya mencapai

kesepakatan umum tentang penyelenggaraan negara. Akibatnya, dalam mekanisme demokrasi,

aturan hukum dan kebijakan lebih merupakan kehendak mayoritas [6]. Hal ini juga merupakan konsekuensi dari demokrasi yang melihat suara rakyat dari sisi kuantitas.

C. NOMOKRASI (Nomocracy) SEBAGAI PENGAWAL DEMOKRASI DALAM SEBUAH

NEGARA

Nomokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada norma atau hukum, nomokrasi

berkaitan erat dengan kedaulatan hukum, sehingga memiliki kedudukan yang tertinggi. Dalam

konsep nomokrasi, maka terdapat supremasi hukum, persamaan dalam bidang hukum dan

pemerintahan, dan berlaku asas legalitas dalam seluruh aspek kehidupan.[7] Dalam hal ini, hukum lebih dilihat secara formal, yaitu dari sisi bentuknya sebagi produk yang mengikat

segenap warga negara. dengan demikian hukum dapat saja ditentukan oleh penguasa untuk

kepentingan kekuasaannya, namun belum tentu sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat. Ide

utama nomokrasi ini menghasilkan suatu unsur yang utama yaitu supremasi konstitusi.

Konstitusi menjadi supreme karena diasumsikan sebagai wujud kesepakatan seluruh rakyat bukan hanya kesepakatan minoritas rakyat.

Salah satu wujud dari nomokrasi yaitu dengan adanya kekuasaan kehakiman, yang salah

satu kewenangannya adalah melakukan pengujian terhadap undang-undang (Judicial Review) yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. Kewenangan tersebut dapat dilaksanakan oleh

Mahkamah Agung suatu negara ataupun oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tersendiri.

Judicial Review adalah mekanisme untuk menjamin sifat konstitusi yang supreme, sehingga peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya harus sesuai dan tidak boleh

(7)

pelaksanaannya. Konsep nomokrasi berdasar pada keadilan normatif, sebab nomokrasi bermula

dari ide kaidah normatif. Kelemahan nomokasi dapat menimbulkan suatu titik penyelewengan

hukum, yaitu hanya dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan dan sama sekali tidak memberikan

batasan. Menurut Wheare, dengan menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tertinggi

(supreme) ada semacam jaminan bahwa [8] :

“konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini dapat dilaksanankan dengan baik maka perubahannya pada umumnya mensyaratkan adanya proses dan prosedur yang khusus atau istimewa”.

Dewasa ini, banyak muncul pendapat bahwa hukum perlu pembaharuan atau reformasi

dibidang hukum (Law reforms). Selama ini hukum lebih dominan diterapkan kepada kaum-kaum yang lemah (hukum dalam arti sanksinya). Jika demikian, hukum hadir dalam kehidupan

masyarakat hanya sebagai pembeda. Istilah pembeda yang digunakan penulis disini adalah

bahwa dengan penerapan hukum seperti ini, secara tidak langsung hukum (sanksi) itu hadir

hanya mampan kepada kaum lemah sedangkan bagi mereka para penguasa yang dapat dikatakan

sebagai kaum yang kuat, hukum (sanksi) tidak mampan bagi mereka. Dahulu hukum dikenal

dengan jargon “Pisau yang tajam bermata dua”. Dimana pisau tersebut memiliki mata yang

menusuk ke bagian bawah dan bagian atas, artinya hukum dalam penegakkannya berlaku bagi

kaum lemah dan berlaku juga bagi kaum yang kuat dan tidak ada perbedaan, penerapan sanksi

hukum semua sama bagi masyarakat, baik itu masyarakat (kaum) lemah maupun masyarakat

(kaum) yang kuat. Tetapi, pada masa sekarang ini, amat disayangkan bahwa “Pisau yang tajam

bermata dua” ini salah satunya sudah tumpul dan tidak tajam lagi. Pisau yang menusuk untuk

bagian atas sudah tidak tajam lagi atau telah tumpul, sekarang hanya pisau yang menusuk ke

bawah yang semakin tajam. Artinya, penegakkan hukum dewasa ini telah berubah, yaitu

(8)

kuat, penerapan hukum tidaklah mampan. Dengan ini, secara tidak langusng keberpihakkan

hukum terjadi, hukum hanya berpihak bagi mereka yang berkuasa. Hukum dan masyarakat

memang suatu hal yang tidak dapat di pisahkan. Oleh sebab itu hukum juga harus memberi

dampak yang baik dalam keberlakuannya di masyarakat.

Bertolak dari pemikiran mengenai nomokrasi, maka sudah seharusnya hukum sebagai

supreme harus memenuhi hal-hal yang berdampak postif terhadap keberlakuannya dalam masyarakat. Kedaulatan hukum tidak terlepas dukungannya dari masyarakat yang memiliki

peran yang sangat penting dalam penegakkan hukum. Kalau kita berbicara tentang hukum pada

umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah

dalam suatu kehidupan bersama : keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam

suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[9]. Sebuah konsekuensi logis dalam kedaulatan hukum bahwa hak dan kewajiban haruslah

diformulasikan dalam suatu aturan hukum. Paham kedaulatan hukum memang memberi

kedudukan hukum dalam peringkat teratas, tetapi apabila paham kedaulatan hukum ini tidak

diselingi dengan ke munculan hak dan kewajiban, maka akan memunculkan kekuasaan tak

terbatas dari hukum sendiri yang memicu timbulnya kesewenang-wenangan. Hukum harus

dibedakan dari hak dan kewajiban, yang timbul kalau peristiwa yang konkrit. Tetapi

kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[10]

Pembahasan mengenai nomokrasi tidak terlepas dari sebuah kekuasaan. Membahas

kekuasaan tentunya identik dengan Penguasa karena tanpa penguasa atau orang yang berkuasa

ide tentang kekuasaan tidak akan ada. Dalam paham nomokrasi yang berkuasa adalah hukum.

Dalam hal ini hukum berada dibawah kekuasaan penguasa, sebab logikanya hukum tidak akan

berjalan tanpa ada yang menjalankannya. Jika ditarik dalam sebuah negara maka paham

(9)

hukum-hukum yang berlaku. Dalam sebuah negara tentunya terdapat sebuah pemerintahan yang

dijalankan oleh para pemerintah. Peran kedaulatan hukum dalam hal ini sebagai pondasi bagi

para pemerintah untuk menjalankan sebuah pemerintahan.

Apabila pemerintah bertindak tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, maka negara

tersebut tidak mencerminkan paham nomokrasi atau kedaulatan hukum. penyelewengan

kekuasaan kerap kali terjadi, hal ini bukan lagi perbincangan yang baru. Kita dapat mengambil

contoh para pemerintah . Dalam konstitusi (UUD’45) telah memuat suatu ketentuan bahwa

“Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3)”. Sebagai negara hukum, tentunya Indonesia

juga menganut paham nomokrasi. Suatu konsekuensi logis bahwa negara Indonesia harus

menjunjung tinggi hukum. Namun, jika kita bandingkan dengan kenyataan yang terjadi sangatlah

berbeda. Hukum tidak lah lebih sebagai huruf mati tanpa makna dalam penerapanya, para

pemerintah dan jajaran penegak hukum lainnya justru menempatkan hukum di posisi yang paling

terakhir, yang di utamakan oleh mereka adalah kepentingan pribadi, politik dan lain sebagainya.

Dengan melihat kejadian ini, muncul pertanyaan apakah negara ini masih layak disebut sebagai negara hukum yang konsekuensinya juga berkedaulatan hukum?. Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan

(peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaannya sesuai dengan

hukum harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan

ideologi bangsa skaligus pengayom rakyat.[11]

Bagian Ke – II :

PEMIKIRAN TENTANG

NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS

Pemikiran atau konsepsi negara hukum lahir dan berkembang dari situasi kesejarahan.

Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal, tetapi

(10)

perkembangan negara hukum, dikenal dua bentuk Konsep negara hukum, yaitu negara hukum

Rechtsstaat dan konsep Negara Hukum Rule Of Law. Negara Hukum dengan konsep Rechtsstaat

ini juga dianut oleh negara-negara Eropa-Kontinental. Ide Negara Hukum Rechtsstaat

dikembangkan oleh seorang ahli hukum yang bernama Friederich Julius Sthal yang mengilhami

pemikiran Immanuel Kant. Menurut Sthal, unsur-unsur yang terdapat dalam Negara Hukum

(Rechtsstaat) adalah sebagai berikut :[12]

a. Perlindungan Hak Asasi Manusia

b. Pemisahan Kekuasaan atau Pembagaian Kekuasaan untuk menjamin Hak-hak itu

c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

d. Peradilan administrasi dalam Perselisihan

Adapun A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam Negara Hukum yang disebut

dengan Istilah Rule Of Law, yaitu :[13]

a. Supremacy of law

b. Equality before the law

c. Due Process of law

Sementara itu, Konsep Rechtsstaat bertumpu kepada sistem hukum continental yang disebut Civil law, sedangkan Konsep The rule of law berdasarkan sistem hukum Common law.

Karakteristik Civil law adalah Adminsitratif, sedangkan Common law adalah Judicial. Perbedaan karakteristik ini terjadi karena latar belakang kerajaan. Dengan demikian, kalau di Eropa daratan

bertambah besar peran administrasi negara, sedangkan di negara-negara Anglo Saxon peran

peradilan dan para hakimlah yang semakin menonjol. Berdasarkan latar belakang tersebut, kalau

di Eropa Kontinental dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan kekuasaan

Administrasi Negara, sedangkan di negara-negara Anglo Saxon dipikirkan langkah-langkah

untuk mewujudkan peradilan yang adil dan penahanan yang tidak sewenang-wenang [14]. Selain hal yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam Konsep Rechtsstaat terdapat pula asas-asas demokratis yang melandasinya, sebagaimana dikembangkan oleh Couwenberg, meliputi :[15]

- Asas hak-hak Politik

(11)

- Asas Pertanggungjawaban

- Asas Perwakilan

- Asas Publik

Keempat prinsip Negara Hukum, baik itu Rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Sthal diatas, kemudian prinsip Negara Hukum Rule of law, yang dikembangkan oleh A.V. Dicey digabungkan untuk menandai ciri Negara Hukum modern dijaman sekarang. Bahkan oleh The International Commission of Jurists, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan Prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (Independence and Impartiality of Judiciary) yang pada jaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.

Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The International Commission of Jurists itu adalah sebagai berikut :[16]

1. Negara harus tunduk pada hukum

2. Pemerintahan menghormati hak-hak individu

3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak

Menurut Jimly Asshiddiqie, merumuskan dua belas pokok negara hukum yang berlaku

dijaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok negara hukum merupakan pilar-pilar utama yang

menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum

(12)

10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Walfare Rechtsstaat)

12. Transparansi Kontrol Sosial

13. Berketuhanan Yang Maha Esa

Setiap Negara Hukum, baik dalam konsep Rechtsstaat maupun Rule of law, pada prinsipnya sama dan kedua konsep negara Hukum ini juga menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia. Sebuah negara tanpa rakyat bukanlah Negara dan Negara tanpa Hukum juga bukanlah

Negara. dari ungkapan ini, tentunya memunculkan suatu pertanyaan mendasar yaitu manakah yang menjadi prioritas? Rakyat atau Hukum?. Pertanyaan ini mengingatkan kita dengan perdebatan yang telah muncul seiring perkembangan Negara. perdebatan dalam sejarah

perkembangan hukum dalam sebuah Negara telah melalui sejarah yang sangat panjang.

Kemunculan perdebatan-perdebatan ini di ilhami oleh sudut pandang yang berbeda dalam

menilai kegunaan atau keberlakuan hukum dalam Negara. Dari sudut pandang yang bebeda

tersebut, kemudian melahirkan beberapa Paham yang kemudian dianut dan juga saling

mempertentangkan paham antar satu sama lain. Positivisme merupakan salah satu paham yang

mempengaruhi perkembangan Hukum dari masa lampau sampai saat ini. aliran ini

mengidentikan hukum dengan Undang-Undang. Tidak ada hukum diluar undang-undang,

satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Perkembangan positivisme hukum ini di ilhami

oleh pemikiran John Austin. Pandangan Austin terhadap hukum ialah bahwa hukum merupakan

perintah dari penguasa, dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan

tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan.

Selanjutnya Austin berkata bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk

mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan

(13)

bahwa ia memandang hukum itu dari sudut aturan yang telah disusun dalam suatu produk hukum

berupa undang-undang (Hukum positif). Selain pemikiran Positivisme, terdapat pula pemikiran

lain yang mengilhami perkembangan hukum, yaitu Pemahaman terhadap Sejarah atau Aliran

Sejarah. Pemikiran ini di ilhami oleh Von Savigny, pandangannya berpangkal kepada bahwa

didunia ini terdapat bermacam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa mempunyai suatu

Volgeist (Jiwa rakyat).[19]

Pemikiran Von Savigny ini merupakan reaksi atas Pemikiran Thibaut yang menyatakan

perlunya Kodifikasi. Menurut Von Savigny, kodifikasi hukum selalu membawa serta efek

negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Sejarah berkembang terus tetapi Hukum

sudah ditetapkan [20]. Hukum menurut pendapat Savigny, berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya Nampak dalam tingkah laku semua individu kepada

masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu Nampak pada apa

yang diucapkan oleh para akhli hukumnya.[21]

A. Peran Lembaga Negara Untuk Mencapai suatu Negara Hukum yang Demokratis

Uraian perkembangan pemikiran yang pada akhirnya melahirkan suatu pemikiran

mengenai gagasan negara hukum yang demokratis. Pada dasarnya seperti yang diajarkan oleh

Rousseau, manusia itu dilahirkan sebagai makhluk yang baik, walaupun didalam pergaulan

hidupnya mengalami pertentangan kepentingan satu sama lain. Akibat pertentangan kepentingan

itu, pelanggaran-pelanggaran hak setiap individu, termasuk yang mereka bawa sejak lahir, sering

terjadi. Untuk mengatasinya, perlu diadakan suatu perjanjian masyarakat, mendirikan negara dan

menunjukan siapa yang memegang kekuasaan untuk mengatur tata tertib diatara anggota

masyarakat itu. Ajaran Rousseau ini menghasilkan teori kedaulatan rakyat yang merupakan

(14)

bahwa manusia itu pada hakikatnya egois, sehingga didalam masyarakatnya mereka itu menjadi

binatang buas terhadap manusia lainnya. Untuk menyelamatkan hidup dan kepentingannya,

mereka berlindung pada serigala besar yang disebut leviathan.

Berdasarkan ajaran Thomas Hobbes, timbullah pemerintahan yang Absolut. Adapun

pendapat John Locke yang menitikberatkan ajarannya pada anggapan bahwa manusia itu

merupakan makhluk yang berakal, Homo sapiens. Untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka, manusia itu membentuk suatu Body politc, dimana setiap individu menyerahkan kekuasaannya kepada kolektivitas yang pada gilirannya melindungi dan menjujung tinggi

peraturan-peraturan yang dibuat. Ajaran Locke membawa kita kepada pemerintahan yang

Konstitusional [22]. Gagasan Hobbes dan Locke menandai transisi dari dukungan terhadap negara Absolut kepada perjuangan Liberalisme melawan Tirani. Gagasan kedua tokoh inilah

yang kemudian dilanjutkan dan menjadi acuan bagi pemikir-pemikir berikutnya. Selanjutnya,

teori tentang pemisahan dan pembatasan kekuasaan (Separation of power) dari Locke dan Montesquieu, banyak mewarnai konsepsi negara hukum modern.

Sebelumnya, Jhon Locke membagi tiga kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda

isinya. Menurut Jhon Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi :[23]

1) Fungsi Legislatif

2) Fungsi Eksekutif

3) Fungsi Federatif

Dalam bidang legislatif dan eksekutif pendapat Locke dan Montesquieu sama, namun dalam

bidang yang ketiga pendapat kedua ahli ini berbeda. Sebab dalam rumusan Montesquieu fungsi

ketiga adalah fungsi Yudisial. Menurutnya, dalam sebuah negara fungsi Yudisial yang merupakan

kekuasaan kehakimanlah yang harus dikuatkan. Sedangkan menurut Locke, dengan adanya

fungsi federatif ini merupakan penjelmaan dari fungsi defincie baru timbul apabila diplomacie

(15)

Eksekutif, yaitu terkait dengan fungsi Pelaksanaan Hukum. Dari uraian diatas, terlihat jelas

bahwa dalam suatu Negara Hukum yang Demokratis, peran serta lembaga negara dan bentuk

lembaga negara sangat berpengaruh dalam mewujudkan esensi dari sebuah negara hukum

demokratis.

B. Pengaruh Konstitusi dalam Mewujudkan Negara Hukum Demokratis

Konstitusi merupakan suatu naskah dasar suatu negara yang menjadi hukum tertinggi. Pada

masa peralihan feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa hingga akhirnya

ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat

dengan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat

dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.

Perkembangan Negara sangat mempengaruhi keberadaan Konstitusi sebagai Nasakah dasar

atau Aturan dasar tertinggi dalam sebuah negara. Dalam sejarah perkembangan negara-negara di

wilayah Barat, Konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin

hak rakyat, dan mengatur jalannya pemerintahan. Kemudian, dengan kebangkitan paham

kebangasaan sebagai kekuatan Pemersatu, serta dengan kelahiran Demokrasi sebagai paham

politik yang progresif dan militant, konstitusi menjamin alat rakyat untuk mengatur kehidupan

bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. berkaitan dengan itu, konstitusi

dijaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau

menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan kebijaksanaan, yang

kesemuanya mengikat penguasa.[24]

Keberadaan konstitusi dalam negara, juga melambangkan bahwa negara tersebut menganut

paham Nomokrasi. Sebagaimana diketahui bahwa Nomokrasi merupakan paham kedaulatan

(16)

mengisyaratkan hal demikian. Selain hal itu, perlu juga diketahui bahwa negara yang

mendeklarasikan dirinya sebagai negara yang berpaham demokrasi (kedaulatan rakyat) pada

prinsipnya dalam konstutusinya juga harus mencerminkan ide demokrasi.

Janedjri M. Gaffar mengemukakan bahwa apabila demokrasi dan nomokrasi dianut

bersama-sama dalam suatu negara, keduanya akan melahirkan konsep negara hukum yang

demokratis. Dari sisi pemahaman kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara

berada ditangan rakyat. Kekuasaan tertinggi ditangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang

mereka tentukan sendiri secara bersama-sama, yang dituangkan dalam aturan hukum, yang

berpuncak pada rumusan Konstitusi, sebagai produk kesepakatan tertinggi dari seluruh rakyat.

[25] Sebagai produk kesepakatan, maka Konstitusi juga dapat diubah.

Menurut Mahfud MD, ini wajar saja sebab konstitusi adalah kesepakatan politik yang

harus ditetapkan dari berbagai pilihan yang berdasar perspektifnya sendiri sama-sama baik dan

rasional [26]. Harus diingat bahwa tidak ada di dunia ini Konstitusi yang sempurna dan dapat

disetujui selruh isinya oleh semua orang. Di dalam negara demokrasi, perbedaan dan kontroversi

adalah keniscayaan, sekurang-kurangnya hampir dapat dipastikan adanya pandangan yang

berbeda, namun memang dari perbedaan-perbedaan itulah Demokrasi menjadi penyaring untuk

mencapai resultante mealui prosedur hukum yang sah.[27]

Sebuah negara yang menganut Paham demokrasi, maka konsekuensi yang harus lahir

dalam konstitusinya pun harus menuangkan atau mencirikan paham demokrasi tersebut.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya konstitusi merupakan Resultante

(Kesepakatan) antara rakyat dengan para penguasa di dalam negara, dengan demikian telah jelas

bahwa kesepakatan yang dari rakyat kepada pemerintah haruslah memuat aspirasi dari rakyat itu

(17)

rakyat dengan pemerintah tersebut, maka dituangkanlah suara kesepakatan itu didalam suatu

naskah yang menjadi dasar dan tonggak berdirinya Hukum dalam sebuah Negara. Selain itu, jika

dikaji dari ajaran Hans Kelsen maka Konstitusi merupakan Norma dasar Negara

(Staatfundamental noorm).

Bagian Ke – III :

NEGARA HUKUM DEMOKRATIS & HAK ASASI MANUSIA

Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan

salah satu prinsip fundamental dalam negara hukum. paham atau konsepsi negara hukum yang

dikemukakan oleh para ahli selalu menempatkan posisi kepada Hak Asasi Manusia sebagai salah

satu prinsip utama dalam Negara Hukum. Eksistensi negara hukum berkaitan erat dengan

perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Ketika suatu negara

mengklaim dirinya sebagai negara hukum, maka pada saat yang sama, negara tersebut harus

memprakarsai demokrasi dengan pilar-pilar penyanggahnya, termasuk perlindungan HAM. Hal

ini yang kemudian melahirkan istilah “Negara Hukum Demokratis”.[28]

Negara merupakan tempat berdiamnya warganya serta tumbuh dan berkembang di dalam

negara tersebut. Sudah semestinya negara yang dapat di ibaratkan sebagai sebuah rumah harus

melindungi penghuninya dari segala ancaman yang dapat membahayakan para penghuninya.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia berdasarkan martabatnya

sebagai manusia dan bukan karena pemberian masyarakat atau negara. HAM ada dan melekat

pada setiap diri manusia sejak ia di lahirkan di dunia ini dan harus di lindungi oleh Negara. Mengingat sejarah perkembangan HAM dalam sebuah Negara, membawa kita dalam

sebuah perjanjian antara rakyat dengan penguasa Negara yang dikenal dengan istilah Teori

(18)

berargumen bahwa untuk menghindari ketidak pastian hidup dalam alam ini, maka warga

masyarakat menyepakati suatu kontrak sosial dengan penguasa negara. Melalui kontrak sosial

tersebut, warga masyarakat “menyerahkan” hak-hak mereka yang tidak dapat dicabut kepada

penguasa Negara [29].

Namun perlu juga diketahui bahwa Hak asasi manusia (Human Rights) berbeda dengan Hak warga negara (Citizen’s Rights). Dalam Hal ini Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa :[30]

“….Namun, tidak semua constitutional rights itu identik dengan human rights, karena ada juga hak-hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk dalam pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya, hak setiap warga negara dalam menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah the citizen’s constitutional rights, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena itu, tidak semua the citizen’s rights adalah the human rights, tetapi dapat dikatakan bahwa semua the human rights adalah the citizen’s rights.”

Jimly Asshiddiqie juga mengklasifikasi Hak warga negara dalam dua pengertian, yang

Pertama dalam pengertian Hak Konstitusional (Legal Rights) yakni Hak yang dijamin dalam dan oleh UUD’45 (Konstitusi), dan yang Kedua dalam pengertian Hak Hukum (Legal Rights), ialah timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya

(Subordinate Legislations) [31]. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa HAM dalam pengertian Hak konstitusional (Constitutional Rights) adalah hak warga negara yang tetuang dalam sebuah konstitusi negara sebagai naskah dasar negara tersebut, sedangkan dalam

pengertian Hak Hukum (Legal Rights) adalah hak warga yang telah diperinci dalam undang-undang yang berada dibawah Undang-undang-undang dasar (Konstitusi) atau dalam peraturan

perundang-undangan.

Suatu konsekuensi logis bahwa negara harus menjamin hak asasi manusia sebagai prakarsa

demokrasi (Kedaulatan rakyat), sebab negara berdiri karena manusia yang tergolong dalam satu

(19)

karena itu, kekuasaan negara diperoleh bukan dari status sosial kebangsawanan ataupun dari

tuhan, melainkan dari manusia yang membentuk negara.

Agar negara betul-betul bertujuan untuk melindungi HAM, pemerintahan negara harus

dibentuk oleh rakyat. Sehingga pemegang kekuasaan negara pafa hakikatnya hanyalah wakil

rakyat, yang melaksanakan kekuasaan semata-mata untuk menjalankan amanat rakyat. Dalam

negara demokratis, HAM menjadi tujuan yang utama. Sebab, demokrasi pada hakikatnya adalah

dari, oleh dan untuk rakyat, maupun sebagai mekanisme pembentukan pemerintahan hanya dapat

terwujud jika ada jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM. Untuk menjalankan demokrasi,

sudah pasti harus ada jaminan kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan

berserikat. Jaminan atas hak dan kebebasan semakin berkembang seiring dengan perkembangan

demokrasi itu sendiri.[32]

KESIMPULAN :

Dari semua penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang berslogan dari,

oleh dan untuk rakyat yang diaplikasikan dalam sebuah negara baik itu melalui pemerintahan

yang secara langsung melibatkan rakyat maupun dalam penyelenggaraan hak asasi manusia

dalam bentuk apapun misalnya kebebasan bergerak, berpendapat dan lain sebagainya, harus pula

dibarengi dengan ketentuan hukum. Sebab, demokrasi dan nomokrasi harus berjalan

bersama-sama dalam sebuah negara untuk mewujudkan cita negara hukum yang demokratis sesuai

harapan dari rakyat itu sendiri. Kemudian, sebagai negara hukum yang demokratis, negara

tersebut melalui konstitusinya harus juga memuat ketentuan mengenai Hak asasi manusia, karena

jika negara tersebut mengatakan bahwa ia adalah negara hukum yang demokratis, maka dapat

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan Thalib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, cetakan ke-9.

Jakarta : RajaGrafindo Persada, maret 2011.

Jadnedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional, praktik ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945,cetakan I. Jakarta : Konpress, Oktober 2012

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta Timur : Sinar Grafika Offset, Mei

2010.

______________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010.

______________, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, dari Proklamasi Hingga Reformasi. Jakarta : PT. Grafitri Budi Utami, 2007.

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Alumni, 2013.

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung : Alumni, 1985

Mahfud MD, Konstiusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2009.

(21)

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Rajawali Pers, 2011.

Walter Wanggur, Hak Asasi Manusia, Bahan Materi Perkuliahan Hak Asasi Manusia semester VI. Bandung : Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2011.

JURNAL/Website Internet :

Lasiyo, Jurnal : demokrasi versus nomokrasi dalam kehidupan nasional. Google:

www.kemdikbud.go.id. (Tanpa tahun).

[1] Walter Wanggur, Bahan Materi Perkuliahan Hak Asasi Manusia semester VI. Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2011. Hlm, 6.

[2]Jadnedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional, praktik ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945, cetakan I. Jakarta : Konpress, Oktober 2012. Hlm 4-5.

[3] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta Timur : Sinar Grafika Offset, Mei 2010. Hlm 58.

[4]Ibid. Hlm, 59.

[5]Ibid.

[6]Janedjri M. Gaffar, Loc.Cit.,Hlm, 5.

[7] Lasiyo, Jurnal : demokrasi versus nomokrasi dalam kehidupan nasional. Google: www.kemdikbud.go.id. (Tanpa tahun). Hlm, 8.

[8] Dahlan Thalib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, cetakan ke-9. Jakarta : RajaGrafindo Persada, maret 2011. Hlm., 62.

[9] Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Edisi Ketiga,Yogyakarta : Liberty, 1991. Hlm, 38.

[10]Ibid,. Hlm, 39

[11] Dahlan Thalib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, Op.Cit., Hlm., 72.

Tulisan dibuku ini mengutip pendapat dari A. Gunawan Setiardja dalam bukunya berjudul Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masayakat Indonesia. diterbitkan oleh : Kanisius, di Yogyakarta pada tahun 1990. Hlm 113.

[12] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Rajawali Pers, 2011. Hlm, 3.

[13] Jimly Asshiddiqie…, Op. Cit., Hlm, 126.

[14] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, dari Proklamasi Hingga Reformasi. Jakarta : PT. Grafitri Budi Utami, 2007. Hlm, 22.

[15]Ibid… Hlm, 24.

[16] Jimly Asshiddiqie,…., Loc.Cit. [17]Ibid., Hlm, 127-134.

[18] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung : Alumni, 1985. Hlm, 40.

[19]Ibid, Hlm 46.

[20] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Alumni, 2013. Hlm, 13.

[21] Lili Rassjidi, Loc.Cit.

[22] Krisna Harahap,….., Op.Cit. Hlm 25.

[23] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010. Hlm, 283.

[24] Dahlan Thalib, …………., Op.Cit. Hlm, 17.

[25] Janedjri M. Gaffar,…… Op.Cit. Hlm, 6.

[26] Mahfud MD, Konstiusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2009. Hlm, 114.

[27]Ibid.., Hlm, 115.

Catatan : Istilah Resultante di kutip oleh Mahfud MD dalam bukunya K.C. Wheare yang berjudul The Modern Constitution

(London- New York- Toronto : Oxford University Press, 3rd Impression, 1975), Hlm 67.

[28] Walter Wanggur, …Op.Cit. Hlm, 9.

(22)

[30] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. Hlm, 616.

[31]Ibid… Hlm, 617.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji hipotesis kedua menolak hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan sikap spiritual antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan

Literasi ekonomi Islam dengan demikian dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memahami ekonomi Islam sehingga memiliki kepekaan dan daya kritis yang membuatnya

Pemanfaatan (pengambilan) koral/karang dari alam untuk bahan bangunan/kapur/kalsium, akuarium, dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati dari alam.

Memahami konsep- konsep, hukum-hukum, dan teori-teori kimia meliputi struktur, dinamika, energetika dan kinetika serta penerapannya secara fleksibel. Memahami

Public offering period 16th - 20th August 2013. Allotment 22nd

Berikut ini adalah tampilan dari halaman kelompok dari sistem klasifikasi dokumen , pada halaman ini dapat dilihat data kelompok yang telah disimpan dalam database

Hal yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut, faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor adalah faktor gaya hidup

Laporan kerja tugas akhir kepenarian ini merupakan wujud pertanggung jawaban penyaji secara diskriptif terhadap proses kekaryaannya tahap kerja tugas akhir sebagai