• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Ke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Ke"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI SPASIAL SUHU PERMUKAAN

DAN KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU

DI KOTA SEMARANG

PUJI WALUYO

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

DI KOTA SEMARANG

PUJI WALUYO

SKRIPSI

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Istitut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

SUMMARY

PUJI WALUYO(E34104054). The Spatial Distribution of Surface Thermal and Green Space Capacity in Semarang. Under Supervision of LILIK BUDI PRASETYOandENDES N. DAHLAN.

Semarang is one of cities that become center of public activity which is always developing in many aspects such as settlement, , roads, industries and other infrastructures. Unfortunately, The development seems to ignore environmental sustainability, in which large of green open space are converted into other land uses. The conversion will lead micro climate changes resulted in Urban Heat Island and green house effect. Those phenomenon can be observed by utilizing Geographic Information System and remote sensing. The objectives of the research are as follows : (1) land cover type identification and surface thermal of spatial distribution, , (2) the relationship between surface thermal with Green Space capacity, open land and built areas. (3) the relationship between surface thermal with Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), through interpretation and landsat Imaginery 7 ETM.

The research area situated at in Semarang City and data used were Landsat Imaginery 7ETM path/row 120/065 acquiring on April 2001 and June 2006. Landsat imagery were analyzed using an Arc View 3.2 and ERDAS Imagine 8.5 software. Surface temperature were estimated using band 6. Those analysis were aimed to identify relationship between surface thermal with Green Space, the open land, built area and NDVI.

Semarang city with 38.721.70 Ha are dominated by land cover, such as built area 27.52% on year 2001 and 35,58% in 2006. The biggest land cover changes happened on built area and with advancing is 8.06%. Thermal Surface distribution were found ranges from <20 oC - ≥34 oC. The area which have thermal surface value of ≥34oC was expanded from 16.80 % in 2001 to 25.68% in 2006. However, green space capacity areal are still covering 30%, inline with proportion based on UU. No.26 on 2007 about areal governance.

The relationship between surface thermal with Green Space and other land uses were identified. It showed that surface temperature of open space area is lower than other landuses such as bare land and settlement. Moreover, It analysis result showed that surface temperature will infllence by NDVI, in which the surface temperature will increase by the lowering NDVI and vice versa.

(4)

PUJI WALUYO (E34104054). Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO

danENDES N. DAHLAN.

Kota Semarang merupakan pusat aktivitas manusia yang selalu mengalami perkembangan dari berbagai segi, salah satunya segi fisik dengan ditandai pembangunan infrastruktur kota berupa pembangunan gedung, pemukiman, jalan dan industri. Dalam pembangunan kota, kenyataan yang dilihat selalu mengesampingkan kelestarian lingkungan yang baik dengan terjadinya alih fungsi lahan seperti lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi lahan pemukiman atau industri. Perubahan lahan tersebut akan mengancam keberadaan RTH (green space) dan menyebabkan perubahan iklim mikro yaitu suhu udara semakin meningkat dan terjadi fenomena alam seperti Urban Heat Island (UHI) dan green house effect. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu sistem yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui (1) tipe penutupan lahan, distribusi spasial suhu permukaan, kecukupan RTH, dan perubahan luasannya, (2) hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka dan area terbangun, dan (3) hubungan antara suhu permukaan dengan Normalized Difference Vegetation Index(NDVI), melalui interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM.

Penelitian ini dilakukan dengan pemilihan lokasi Kota Semarang dan pengolahan data citra satelit Landsat 7ETMpath/row120/065acquiringbulan April 2001 dan bulan Juni 2006. Pengolahan data citra satelit Landsat 7ETM dengan menggunakan software ArcView 3.2 dan ERDAS Imagine 8.5 yang meliputi image restoration, subset image, image classification, dan estimasi nilai suhu permukaan pada band 6 dengan pembangunan model. Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka, area terbangun dan NDVI.

Kota Semarang dengan luas 38.721,70 Ha didominasi oleh penutupan lahan berupa area terbangun 27,52% tahun 2001 dan 35,58% tahun 2006. Perubahan penutupan lahan terbesar terjadi pada area terbangun dengan peningkatan luas wilayah sebesar 8,06%. Distribusi spasial suhu permukaan dengan nilai selang <20 oC - ≥34 oC. Nilai suhu permukaan tertinggi yaitu ≥34oC mendominasi dengan luas distribusi paling besar, tahun 2001 seluas 16,80% menjadi 25,68% pada tahun 2006. RTH di Kota Semarang tahun 2001 seluas 55,18% dari luas wilayah kota terjadi penurunan menjadi 45,81% tahun 2006. Luas RTH yang ada masih memenuhi proporsi sebesar 30% berdasarkan UU. No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka dan area terbangun diketahui untuk nilai suhu permukaan pada RTH lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan pada lahan terbuka dan area terbangun masing-masing sebesar 31oC – 34oC, dan ≥34oC. Sedangkan hubungan antara suhu permukaan dengan NDVI

berdasarkan hasil korelasi regresi linear sederhana menunjukkan hubungan berkebalikan, yaitu kenaikan suhu permukaan disertai penurunan NDVI atau sebaliknya.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 24 Februari 2009

(6)

NIM : E 34104054

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua,

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. NIP. 131760841

Anggota,

Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS. NIP. 130875594

Tanggal Lulus :

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta dapat menyusun skripsi tersebut dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada junjungan Nabi Muhammmad SAW beserta para keluarga, sahabat serta para pengikut beliau yang senantiasa menjaga sunah beliau hingga akhir zaman.

Skripsi ini berjudul “Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang” diharapkan memberi manfaat bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada program studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar menjadi lebih baik. Semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis sendiri namun juga bagi para pembaca.

Bogor, 24 Februari 2009

(8)

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan serta bimbingan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta, Mas Jatmiko dan keluarga, Mbak Pipin dan keluarga, Mas Bhakti dan keluarga, yang senantiasa memberikan do’a, kasih sayang, dukungan, perhatian, kesabaran dan pengorbanannya, semoga Allah SWT membalas dengan surga-Nya.

2. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku dosen pembimbing atas segala pengarahan, bimbingan, nasihat, kesabaran, serta perhatian yang begitu berarti bagi penulis sampai skripsi ini diselesaikan, semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik.

3. Prof.Dr.Ir. I Ketut Nuridja Pandit, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop. selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan atas koreksi, saran, nasehat, untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. sebagai Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata beserta seluruh dosen, staf pengajar dan KPAP di DKSHE serta seluruh dosen dan staf di Fakultas Kehutanan dan di IPB, atas ilmu

6. Keluarga besar KSHE’41 atas persahabatan dan kerjasamanya dan rekan-rekan seperjuangan penelitian (Sukma, Nira, Ajid, Puteri, Afin, Katheryn, Rini, Ariyanto, dan LILIK’ers lainnya), PKLP (Husein, Febia, Sulfan, Lala, dan Puteri), serta yang ada di NK dan IC camp, tetap semangat dan jangan lupakan kenangan yang telah kita ukir bersama.

7. Seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Rimbawan angkatan 41 baik Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Teknologi Hasil Hutan, Manajemen Hutan, serta Silvikultur, serta mahasiswa IPB atas persahabatan dan kerjasamanya.

8. PPLH IPB Divisi Eko-Manajemen, Mas Tri Permadi, dan Mas Syarif Indra atas kerja sama, pengalaman, ilmu, tawa, canda, nasihat dan motivasi yang telah diberikan.

9. Keluarga besar Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial DKSHE atas perjuangan dan kerjasamanya, khusus Mas Nanang dan Mas Bhilal atas ilmu dan nasehatnya.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Puji Waluyo, lahir di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 14 Desember 1985 dan merupakan anak ke-empat dari keluarga pasangan Udiroso dan Sutrimah.

Pendidikan penulis berawal dari TK. Pertiwi Jambu dan selesai pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SD. Negeri Jambu I dan lulus pada tahun 1998. Penulis melanjutkan ke SLTP Negeri I Jambu dan lulus tahun 2001, dan melanjutkan ke SMU Negeri I Ambarawa lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di program studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen Kewirausahaan DKM Ibaadurrahmaan tahun 2006, anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) tahun 2005-2007 pada Kelompok Pemerhati Flora dan Herpetofauna, pengurus Asrama Mahasiswa IPB Sylvasari pada Departemen Hubungan Masyarakat tahun 2006, Departemen Rumah Tangga tahun 2007, dan menjadi Ketua Asrama Mahasiswa IPB Sylvasari tahun 2008. Kegiatan praktek yang pernah diikuti penulis adalah Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Baturaden-Cilacap dan KPH Ngawi pada tahun 2007. Penulis juga pernah mengikuti Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) tahun 2007 di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Makasar, Sulawesi Selatan. Pada bulan Februari–April 2008 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

(10)

DAFTAR ISI ... i

2.2 Ruang Terbuka Hijau (RTH) ... 6

2.2.1 Pengertian Ruang Terbuka Hijau ... 6

2.2.2 Paradigma pembangunan Ruang Terbuka Hijau ... 7

2.2.3 Komponen Ruang Terbuka Hijau ... 8

2.2.4 Fungsi Ruang Terbuka Hijau ... 9

2.2.5 Prinsip penataan Ruang Terbuka Hijau ... 9

2.2.6 Dasar hukum Ruang Terbuka Hijau ... 10

2.3 Penginderaan Jauh ... 12

2.3.1 Pengertian penginderaan jauh ... 12

2.3.2 Proses penginderaan jauh ... 13

2.3.3 Aplikasi penginderaan jauh satelit Landsat TM (Thematic Mapper) ... 14

2.3.4 Analisis digital data Landsat 7 ETM ... 15

2.3.5 Uji ketelitian ... 16

2.4 Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 17

2.4.1 Pengertian Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 17

2.4.2 Komponen Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 18

2.4.3 Cara kerja Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 20

3.2 Alat dan Bahan ... 20

3.3 Survey Lapangan ... 20

3.4 Pengolahan Citra Satelit Landsat ... 21

3.4.1 Perbaikan citra (Image Restoration) ... 21

3.4.2 Pemotongan citra (Subset Image) ... 22

3.4.3 Klasifikasi citra (Image Classification) ... 22

3.4.4 Pengolahan citra Landsat band 6 untuk estimasi suhu permukaan ... 23

(11)

ii

BAB IV KONDISI UMUM

4.1 Letak dan Batas Administrasi ... 27

4.2 Kondisi Topografi dan Kelerengan Tanah ... 28

4.3 Kondisi Geologi dan Jenis Tanah ... 28

4.4 Kondisi Klimatologi ... 29

4.4.1 Iklim ... 29

4.4.2 Curah hujan dan hari hujan ... 29

4.4.3 Temperatur udara, kelembaban udara dan arah angin ... 29

4.4.4 Radiasi matahari ... 29 5.1 Penutupan Lahan Kota Semarang ... 32

5.2 Penutupan Lahan Kota Semarang Tahun 2001-2006... 39

5.2.1 Penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 ... 39

5.2.2 Penutupan lahan Kota Semarang tahun 2006 ... 46

5.3 Perubahan Penutupan Lahan Kota Semarang ... 52

5.4 Distribusi Spasial Suhu Permukaan ... 56

5.4.1 Distribusi spasial suhu permukaan Kota Semarang ... 56

5.4.2 Perubahan luasan distribusi spasial suhu permukaan Kota Semarang... 60

5.4.3 Distribusi spasial suhu permukaan perwilayah kecamatan di Kota Semarang ... 64

5.4.3.1 Distribusi spasial suhu permukaan perwilayah kecamatan tahun 2001 ... 64

5.4.3.2 Distribusi spasial suhu permukaan perwilayah kecamatan tahun 2006 ... 68

5.4.4 Distribusi spasial suhu permukaan berdasarkan topografi ... ... 72

5.5 Ruang Terbuka Hijau ... 74

5.5.1 Tipe Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang ... 74

5.5.2 Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang ... 75

5.5.3 Ruang Terbuka Hijau perwilayah kecamatan ... 76

5.5.4 Pendekatan penentuan kerapatan ruang terbuka hijau di Kota Semarang ... 82

5.5.5 Pendekatan pengembangan tata ruang untuk peningkatan kuantitas Ruang Terbuka Hijau ... 83

5.5.6 Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang ... 84

5.6 Hubungan suhu permukaan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), lahan terbuka dan area terbangun ... 86

(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 90

6.2 Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(13)

iv

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Aplikasi dan saluran spektral (band)thematic mapper(Lo,1995) ... 14

2. Nilai konstanta kalibrasi dari bandthermal... 24

3. Luas penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001... 40

4. Luas dan persentase penutupan lahan wilayah Kota Semarang ... 46

5. Perubahan penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001-2006 ... 52

6. Luasan konversi penutupan lahan menjadi area terbangun Kota Semarang periode 2001-2006 ... 53

7. Perubahan luasan suhu permukaan di Kota Semarang periode 2001-2006 ... ... 56

8. Nilai rata-rata suhu permukaan pada ruang wilayah dan ketinggian ... 73

9. Perubahan luasan Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang tahun 2001-2006 .... ... 75

10. Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang ... 77

11. Perubahan luas Ruang Terbuka Hijau perwilayah kecamatan di Kota Semarang Periode 2001-2006... 79

12. Arahan besaran persentase luasan Ruang Terbuka Hijau perwilayah kecamatan di Kota Semarang. ... 82

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Diagram alir metode penelitian ... 25

2. Citra Landsat 7 ETM Kota Semarang tahun 2001 dan 2006 ... 26

3. Peta lokasi penelitian (Kota Semarang) ... 27

4. Area terbangun (pemukiman) di Kecamatan Semarang Tengah ... 35

5. (a) Tambak tepi pantai di Kecamatan Tugu ... 35

(b) Sungai banjir kanal barat ... 35

6. (a) Ladang di Kecamatan Gunungpati ... 36

(b) Ladang di Kecamatan Genuk ... 36

7. (a) Area proyek pembangunan perumahan Kec. Tembalang ... 37

(b) Lahan pertanian sebelum ditanami (tanah gundul) Kec. Ngaliyan ... 37

8. Sawah (a) Gunungpati (b) Tugu ... 37

9. (a) Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang ... 38

(b) Taman lele Kecamatan Ngaliyan ... 38

10. (a) Hutan tanaman jati di Kecamatan Mijen ... 39

(b) Hutan tanaman mahoni di Kecamatan Ngaliyan ... 39

11. Peta penutupan lahan KotaSemarang tahun 2001 ... 45

12. Peta penutupan lahan KotaSemarang tahun 2006 ... 51

13. Peta penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 Dan2006 ... 55

14. Peta distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang tahun 2001 ... 58

15. Peta distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang tahun 2006 ... 59

16. Perubahan luasan (%) suhu permukaan Kota Semarang periode 2001-2006 ... 61

17. Peta distribusi suhu permukaan Kota Semarang tahun 2001 dan 2006 ... 63

18. Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang tahun 2001 dan 2006 ... 81

19. Korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Semarang tahun 2001... 89

(15)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Perubahan luas wilayah (%) penutupan lahan perwilayah kecamatan

di Kota Semarang periode 2001-2006 ... 96 2. Perubahan luas wilayah distribusi (%) suhu permukaan perwilayah

(16)

1.1 Latar Belakang

Perkembangan kota akibat pembangunan infrastruktur yang berupa pembangunan fisik harus tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kualitas lingkungan yang baik. Tapi dalam kenyataannya hal demikian tidak pernah dijumpai dalam kegiatan pembangunan infrastruktur kota. Perkembangan kota seperti ini telah mengubah iklim mikro dalam kota. Hal ini dapat terjadi di kota-kota besar seperti di Kota Semarang.

Peningkatan jumlah penduduk secara cepat setiap tahunnya akan menyebabkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan berubah menjadi kawasan pemukiman dan industri. Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan peningkatan suhu udara kota. Menurut Tursilowati (2006) bahan bangunan seperti aspal, semen, dan beton menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Ditambah lagi dengan penggunaan alat pemanas, pendingin udara, dan pembangkit listrik yang menghasilkan buangan panas. Kenaikan suhu udara juga diakibatkan oleh kegiatan industri, transportasi, dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil. Proses pembakaran yang terjadi menghasilkan gas CO2, NOx, SOx, dan HC; yang menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse

effect).

(17)

2

yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu sekitar. Umumnya suhu udara tertinggi terdapat di pusat kota atau kawasan industri dan akan menurun secara bertahap ke arah daerah pinggir kota. Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa heat island berkembang cepat di musim kemarau dan sering terjadi di pusat kota dan kawasan industri. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya heat island effect adalah dengan pembangunan Ruang Terbuka Hijau.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu bagian penting dari suatu kota. Keberadaan RTH seperti hutan kota, taman kota, jalur hijau dan lapangan sangat penting bagi masyarakat kota. Adanya RTH dalam suatu kota, dapat menjadi salah satu faktor untuk mempengaruhi suhu sekitar kota (ameliorasi iklim). Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Luas RTH yang ditetapkan sebesar 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota.

Untuk mengetahui luasan distribusi suhu permukaan dan Ruang Terbuka Hijau suatu kota harus didukung dengan perolehan data-data yang ada dan berkesinambungan untuk perumusan program dan kebijakan pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan dari data yang diperoleh berupa citra satelit. Citra satelit merupakan data yang diperoleh secara cepat, tepat dan berkesinambungan yang mampu merekam kondisi permukaan bumi setiap periode waktu tertentu sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di muka bumi dapat dideteksi dan dipantau setiap saat. Data yang tersedia dapat berupa piktoral maupun digital kemudian diolah untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Informasi yang diperoleh dapat digabungkan dengan data-data yang mendukung ke dalam satu Sistem Informasi Geografi (SIG)

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

(18)

2.Hubungan suhu permukaan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), lahan terbuka dan area terbangun

3.Hubungan suhu permukaan dengan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index ) di Kota Semarang dengan persamaan regresi linear sederhana.

melalui analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006.

1.3 Manfaat

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suhu Permukaan

Heat island adalah suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara terbuka di sekitarnya baik di desa maupun di pinggir kota (Adiningsih et al, 2001 dalam Wardhana, 2003). Pada umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai desa. Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 30 K dibandingkan dengan pinggir kota. Heat island terjadi karena adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan, dan pertukaran panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan (Landsberg, 1981 dalam Wardhana, 2003).

Menurut Lowry dalam Griffith (1976); Wardhana (2003) terjadinya perbedaan suhu udara antara daerah perkotaan dengan pedesaan disebabkan oleh lima sifat fisik permukaan bumi:

1. Bahan Penutup Permukaan

Permukaan daerah perkotaan terdiri dari beton dan semen yang memiliki konduktivitas kalor sekitar tiga kali lebih tinggi dari pada tanah berpasir yang basah. Keadaan ini akan menyebabkan permukaan kota menerima dan menyimpan energi yang lebih banyak daripada pedesaan.

2. Bentuk dan Orientasi Permukaan

Bentuk dan orientasi permukaan kota lebih bervariasi daripada daerah pinggir kota atau pedesaan, sehingga energi matahari yang datang akan dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa kali penyerapan serta disimpan dalam bentuk panas (heat). Sebaliknya di daerah pinggir kota atau pedesaan yang menerima pancaran adalah lapisan vegetasi bagian atas. Selain itu, padatnya bangunan di perkotaan juga dapat mengubah pola aliran udara yang bertindak sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi.

3. Sumber Kelembaban

(20)

Di daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga tersedia cadangan air untuk penguapan yang dapat menyejukkan udara. Selain itu, air menyerap panas lebih banyak sebelum suhu menjadi naik 10C, dan memerlukan waktu yang lama untuk melepaskannya. Hal ini berarti bahwa pohon-pohon yang banyak di pedesaan akan menyerap air dalam jumlah yang banyak dan melepaskannya ke atmosfer sehingga menjaga suhu udara tetap sejuk, serta menyerap lebih banyak panas, dan melepaskannya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

4. Sumber Kalor

Kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktivitas dan panas metabolisme penduduk.

5. Kualitas Udara

Udara perkotaan banyak mengandung bahan-bahan pencemaran yang berasal dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor, sehingga mengakibatkan kualitas udaranya menjadi lebih buruk bila dibandingkan dengan kualitas udara di pedesaan.

Sementara itu, Givoni; Adiningsih et al. (2001) dalam Wardhana (2003) mengemukakan lima faktor berbeda yang tidak terikat satu sama lain yang menyebabkan berkembangnyaheat island:

1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi antara daerah perkotaan dengan daerah terbuka disekitarnya.

2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari.

3. Konsentrasi panas yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang tahun di perkotaan (transportasi, industri dan sebagainya)

4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah pedesaan

(21)

6

Teori tersebut sesuai dengan pendapat Owen (1971) dalam Wardhana (2003) yang menyebutkan beberapa faktor yang mendorong terciptanyaheat island:

1. Adanya lebih banyak sumber yang menghasilkan panas diperkotaan daripada di lingkungan luar kota.

2. Adanya beberapa bangunan yang meradiasikan panas lebih cepat daripada lapangan hijau atau danau.

3. Jumlah permukaan air persatuan luas di dalam perkotaan lebih kecil dari pada di pedesaan, sehingga di kota lebih banyak panas yang tersedia untuk memanaskan atmosfer dibandingkan dengan di luar kota.

Selain itu, keadaan di kota dengan bangunan-bangunan bertingkat dan tingkat pencemaran udara yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya suatu kubah debu (dust dome), yaitu semacam selubung polutan (debu dan asap) yang menyelimuti kota. Hal ini disebabkan pola sirkulasi atmosfir di atas kota yang unik dan mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu yang tajam antara perkotaan dengan daerah sekitarnya, sehingga udara panas akan berada di atas perkotaan dan udara dingin akan berada di sekitar perkotaan terseebut.

2.2 Ruang Terbuka Hijau (RTH) 2.2.1 Pengertian ruang terbuka hijau

Berdasarkan INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988, ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau tumbuhan secara alamiah ataupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya.

(22)

Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Oleh karena itu perencanaan ruang terbuka harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simon, 1983dalamRoslita, 1997).

Menurut INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 tujuan dibentuk atau disediakannnya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan adalah:

1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan.

2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat.

2.2.2 Paradigma pembangunan ruang terbuka hijau a. Paradigma Lama

 Ruang Terbuka Hijau sebagai pendukung Fungsi Ekologi & Ekosistem

 Lebih mengedepankan Nilai Estetis & Visual secara Fisik

 Keberadaan Ruang Hijau lebih berkesan sebagai suatu Simbol b. Paradigma Baru

 Ruang Terbuka Hijau direncanakan untuk :

- Mengembalikan fungsi ekologi dan ekosistem ruang kota - Mengoptimalkan fungsi estetis dan lansekap

- Menciptakan aktivitas sosial masyarakat di tingkat lingkungan - Membuka peluang ekonomi produktif bagi masyarakat kecil

 Ruang Terbuka Hijau dapat menciptakan aktivitas dan menjadi bagian dari fungsi aktivitas ruang publik

 Harus terjadi interaksi antara lokasi, fungsi dan bentuk Ruang Terbuka Hijau denganActivity Supportdi ruang kota / kawasan

(23)

8

2.2.3 Komponen ruang terbuka hijau

Rencana Umum Tata Ruang Jakarta Tahun 1985-2005 dalam Nurcahyono (2003) menetapkan komponen-komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemannya dikategorikan dalam:

1. Taman

Fungsi utamanya adalah menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi.

2. Jalur Hijau

Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya.

3. Kebun dan pekarangan

Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan hendaknya ditanam dengan jenis-jenis yang mendukung kenyamanan lingkungan perkotaan.

4. Hutan

Merupakan suatu penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi, dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan. Berbagai potensi dan peluang hutan kota akan mengatasi, mencegah dan mengendalikan krisis lingkungan.

5. Tempat-tempat rekreasi

2.2.4 Fungsi ruang terbuka hijau

Menurut Simonds (1983) dalam Wijayanti (2003) fungsi RTH di perkotaan yaitu: (1) sebagai penjaga kualitas lingkungan, (2) sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar dan keindahan visual, (3) sebagai paru-paru kota (4) sebagai penyangga sumber air dalam tanah, (5) untuk mencegah erosi, (6) sebagai unsur dan sarana pendidikan.

(24)

1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan;

2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan;

3. Sebagai sarana rekreasi;

4. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara;

5. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan;

6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah;

7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro; 8. Sebagai pengatur tata air.

2.2.5 Prinsip penataan ruang terbuka hijau Aspek Fungsional

a. Pelestarian ruang terbuka kawasan b. Aksesibilitas publik

c. Keragaman fungsi dan aktivitas

d. Skala dan proporsi ruang yang manusiawi dan berorientasi bagi pejalan kaki

e. Sebagai pengikat lingkungan/bangunan

f. Sebagai pelindung, pengaman & pembatas lingkungan/bangunan bagi pejalan kaki

Aspek Fisik dan Nonfisik

a. Peningkatan estetika, karakter dan citra kawasan b. Kualitas fisik

c. Kelengkapan fasilitas penunjang lingkungan Aspek Lingkungan dan Berkelanjutan

a. Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar b. Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan c. Kelestarian ekologis kawasan

(25)

10

2.2.6 Dasar hukum ruang terbuka hijau

1. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988, tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah Perkotaan

 Merencanakan, melaksanakan & mengendalikan penyelenggaraan penataan RTH di wilayah Perkotaan sebagai bagian dari RUTRK

 Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan Ruang Kota yang berfungsi sebagai Kawasan permukiman, Industri, Perdagangan & Jasa, Perkantoran, Pendidikan, OR & Rekreasi, Pesisir, Pertanian & Perkebunan, Pusat Kota, Hinterland/Periferi, Daerah Aliran Sungai, hutan Kota, Permakaman, Prasarana & Sarana Perhubungan, Jaringan Utilitas Kota, Koridor Jalan

2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 63 Tahun 2002, tentang Hutan Kota

 Lokasi hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan

 Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat .

 Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar

 Penunjukan Lokasi & Luas Ruang Hijau, didasarkan pada : a. Luas Wilayah c. Tingkat Pencemaran

b. Jumlah Penduduk d. Kondisi Fisik Kota

 Penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota / Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan

3. Permendagri No. 1 Tahun 2007 Tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan / RTHKP

 Pembentukan RTHKP disesuaikan dgn bentang alam berdasar aspek biogeografis, Struktur Ruang Kota & Estetika

 Luas Ideal RTHKP minimal 20% dari luas kawasan perkotaan, mencakup RTHKP Publik & Privat

4. UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (pasal 29 ayat 1 & 3)

(26)

 Proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.

 Distribusi RTH publik disesuaikan dengan sebaran penduduk & hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur & pola ruang.

5. UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dan PP No. 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung (pasal 25 ayat 1)

 Keseimbangan, keserasian & keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung & RTH yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya 6. Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum 2005-2009

 Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu kegiatan yang perlu ditangani Bidang Cipta Karya

7. KTT Bumi Rio De Janeiro, Brasil (1992) dan KTT Johannesburg, Afrika (2002)

 Disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30% dari total luas kota

2.3 Penginderaan Jauh

2.3.1 Pengertian penginderaan jauh

Penginderaan jauh dalam arti luas adalah pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji(Manual of Remote Sensing, 1983 dalam Howard. 1996). Lo (1995) mendefinisikan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya tehnik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasikan guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya.

(27)

12

informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik. Penginderaan jauh biasanya dibatasi hanya pada penginderaan yang menggunakan spektrum elektromagnetik. Penginderaan jauh tersebut menggunakan energi yang berfungsi sama dengan sifat cahaya dan tidak hanya meliputi spektrum tampak, tetapi juga meliputi spektrum ultraviolet, inframerah dekat, inframerah tengah, inframerah jauh dan gelombang radio (Howard, 1996). Secara umum penginderaan jauh pada saat ini diterima tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemrosesan data mentah secara manual dan terotomasi, dan analisis citra serta penyajian hasil informasi yang diperoleh.

2.3.2 Proses penginderaan jauh.

Dalam penginderaan jauh, karakteristik suatu objek dapat dibedakan dengan melihat radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh objek kisaran radiasi gelombang elektromagnetik yang umum digunakan dalam penginderaan jauh adalah ultraviolet dekat (0,3-0,4 μm), sinar tampak (0,4-0,7 μm), gelombang pendek dan inframerah thermal (14 μm) serta gelombang mikro (1mm-1m) (Japan Association on Remote Sensing(1999) dalam Triasary (2004).

Paine (1993) dalam Triasary (2004) menjelaskan batasan penegrtian yang lebih tepat tentang penginderaan jauh yang meliputi teknik-teknik yang digunakan untuk perekaman dan evaluasi deteksi energi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan sebuah objek pada suatu jarak yang jauh tanpa sentuhan fisik. Tiga sistem sensor yang digunkan dalam penginderaan jauh untuk dapat menghasilkan suatu citra antara lain adalah kamera, scannergaris dan radar.

(28)

terbang dan/ atau satelit, dan e) hasil pembentukan data dalam bentuk piktoral dan/ atau bentuk numerik. Berarti proses penginderaan jauh menggunakan sensor untuk merekam berbagai variasi pancaran dan pantulan energi elektromagnetik oleh kenampakan di muka bumi. Proses analisis data meliputi pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktoral, dan/ atau komputer untuk menganalisis data sensor numerik. Data rujukan tetang sumberdaya yang dipelajari (seperti peta tanah, data statistik tanaman, atau data uji medan) digunakan dimana dan kapan saja bila tersedia untuk membantu di dalam analisi data. Dengan bantuan data rujukan analisis mengambil informasi tentang jenis, bentangan lokasi, dan kondisi berbagai sumberdaya yang dikumpulkan oleh sensor. Informasi ini kemudian disajikan, biasanya dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis atau laporan. Akhirnya, informasi tersebut diperuntukkan bagi para pengguna yang memanfaatkannya untuk proses pengambilan keputusan.

2.3.3 Aplikasi penginderaan jauh satelit Landsat TM (Thematic Mapper) Sistem Landsat dimanfaatkan untuk penelitian bagi para pakar lingkungan. Landsat merupakan suatu hasil program sumberdaya bumi yang dikembangkan oleh NASA Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an sebagai ERT-I (Eart Resource Technology Satelite) yang kemudian diganti namanya dengan menjadi Landsat I. Pada satelit Landsat dipasang tiga alat sensor, yaitu : kamera Return Beam Vidicom (RBV), Multi Spectral Scanner (MSS), dan Thematic Mapper (TM).

(29)

14

meter.Thematic Mapper (TM) merupakan suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada saluran tampak dan inframerah bahkan saluran spektral. Sensor ini bekerja dengan prinsip dasar yang sama dengan MSS, namun menghasilkan resolusi radiometrikdanspasialyang lebih baik (Lo, 1995).

Tabel 1.Aplikasi dan saluran spektral (band)thematic mapper(Lo,1995) Saluran

(Band)

Panjang

Gelombang (μm) Potensi Pemanfaatan

1 0,45-0,52

Dirancang untuk membuahkan peningkatan penetrasi kedalam tubuh air, dan juga untuk mendukung amalisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi.

2 0,52-0,60

Dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi. Saluran ini berada pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Tanggapan pada saluran ini dimaksudkan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan.

3 0,63-0,69

Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi

4 0,76-0,90

Tanggap terhadap sejumlah biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian. Hal ini akan membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah, dan lahan-air

5 1,55-1,75 Saluran yang dikenal penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah.

6 2,08-2,35

Saluran inframerah thermal yang penggunaanya untuk perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan thermal. Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan

7 10,40-12,50

Saluran inframerah thermal yang dikenal bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

2.3.4 Analisis digital data Landsat 7 ETM

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), penganalisisan data Landsat dengan menggunakan komputer dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pemulihan Citra (Image Restoration)

Tujuan dari pemulihan citra ini adalah untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan gambar aslinya. Kegiatannya meliputi pengkoreksian berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada data citra asli.

(30)

Proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras antar objek pada sebuah citra. Pada berbagai terapan, langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual dari data citra.

3. Klasifikasi Citra

Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data citra digital. Tiap pengamatan pixel (picture element) dievaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi. Jadi mengganti arsip data citra dengan suatu matriks jenis kategori.

Upaya klasifikasi terdiri dari serangkaian keputusan untuk mengubah data citra menjadi kelas tertentu yang khas dan memberikan informasi. Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1997), dibagi kedalam dua pendekatan dasar yaitu klasifikasi terselia/terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing/tak terselia (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Apabila kelas yang dipilih oleh analisis dapat dipisahkan spektral dan bila daerah yang dipilih benar-benar mewakili seluruh rangkaian data, proses klasifikasi yang dilakukan biasanya akan berhasil, sedangkan klasifikasi tak terbimbing merupakan proses pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi ke dalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut.

2.3.5 Uji ketelitian

(31)

16

analisisnya. Uji ketelitian interpretasi yang disarankan oleh Short (1982) dalam Purwadhi (1996) dapat dilakukan dalam empat cara, yaitu:

1. Melakukan pengecekan lapangan serta pengukuran beberapa titik (sampel area) yang dipilih dari setiap bentuk penggunaan lahan yang homogen. 2. Menilai kecocokan hasil interpretasi setiap citra dengan peta referensi atau

foto udara pada daerah yang sama dan waktu yang sama.

3. Analisis statistik dilakukan pada data dasar dan citra hasil klasifikasi. Analisis dilakukan terutama terhadap kesalahan setiap penggunaan lahan yang disebabkan oleh keterbatasan resolusi citra (khususnya resolusi spasial karena merupakan demenensi keruangan).

4. Membuat matriks dari perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada setiap bentuk penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh.

2.4 Sistem Informasi Geografis

2.4.1 Pengertian Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi (georeference) dalam hal pemasukan, manajemen data, memanipulasi dan menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan (Aronoff, 1989). Sedangkan Bern (1992) dalam Prahasta (2001) mengemukakan bahwa sistem informasi geografis merupakan sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer untuk 1. Akusisi dan verifikasi data, 2. Kompilasi data, 3. Penyimpanan data, 4. Perubahan dan updating data, 6. Manajemen dan pertukaran data, 7. Manipulasi data, 8. Pemanggilan dan presentasi data, 9. Analisa data

(32)

meng-update, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk data yang bereferensi geografis.

SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Gistut, 1994dalamPrahasta, 2001) :

1. Perangkat keras 2. Perangkat lunak

3. Data dan informasi geografi 4. Manajemen

Sistem informasi geografi telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga teknologi dan informasinya dapat diaplikasikan pada berbagai bidang kehidupan. Contoh aplikasi SIG pada berbagai bidang diantaranya bidang sumberdaya alam, perencanaan, kependudukan, lingkungan, utility, pariwisata, ekonomi, bisnis dan marketing, biologi, telekomunikasi, kesehatan dan militer.

2.4.2 Komponen Sistem Informasi Geografi (SIG)

Menurut Lo (1995) Sistem Informasi Geografi (SIG) paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.

Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada 3 kategori data secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu : Alfanumerik, Piktorial atau grafik dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo, 1995).

(33)

18

1. Perangkat keras

SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter,danscanner.

2. Perangkat Lunak

SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basisdata memegang peranaan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.

3. Data dan Informasi Geografi

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-Import-nya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakankeyboard.

4. Manajemen

Suatu proyek SIG akan berhasil jika dimanage dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan.

2.4.3 Cara kerja Sistem Informasi Geografi (SIG)

(34)

garis dan poligon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk membantu mengidentifikasi unsur-unsur berikut deskripsinya.

SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut basisdata. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpannya dalam table-tabel. Setelah itu SIG menghubungkan unsur-unsur di atas dengan tabel-tabel bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat diakses melalui lokasi-lokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui atributnya. Karena itu, unsur itu bisa dicari dan dapat ditemukan berdasarkan atribut-atributnya.

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2008, dengan pemilihan lokasi Kota Semarang. Untuk pengolahan data dilakukan di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis (seperangkat keras dan lunak) termasuk software Arc ViewGIS versi 3.2 dan software ERDAS Imagine versi 8.5 sedangkan peralatan yang digunakan di lapangan adalah alat tulis, kamera digital,Global Positioning System(GPS).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat 7 ETM path/row 120/065 Kotamadya Semarang dengan waktu penyiaman April 2001 dan Juni 2006, peta digital batas administrasi Kotamadya Semarang sebagai bahan data primer, sedangkan untuk data sekunder berupa Laporan Penyusunan Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang dari BAPPEDA Tahun 2007, Data Statistik Kota Semarang Dalam Angka Tahun 2006 dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Semarang, dan Data Klimatologi bulan April 2001 dan Juni 2006 dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Semarang.

3.3 Survey Lapangan

(36)

tegalan dan perkebunan. Setiasp lokasi survey yang mewakili masing-masing kelas penutupan lahan diambil titik koordinatnya dengan menggunakan GPS (Global Positioning System)untuk diverifikasikan dengan data citra.

Survey lapangan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan pada setiap penelitian sebagai penunjang dalam interpretasi citra satelit suatu daerah observasi. Hal ini bertujuan untuk verifikasi data citra dengan kenampakan sebenarnya di bumi. Hasil pengecekan lapangan akan dijadikan acuan untuk membuat klasifikasi citra yang lebih tepat.

3.4 Pengolahan Citra Satelit Landsat 3.4.1 Perbaikan citra (Image Restoration)

Perbaikan citra perlu dilakukan terhadap data citra satelit, yang dimaksudkan untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan radiometrik dan geometrik yang terdapat pada data citra satelit tersebut. Tujuan dilakukannya koreksi radiometrik adalah untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh gangguan atmosfer ataupun kesalahan sensor. Sedangkan koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometrik.

Hal pertama yang perlu dilakukan dalam koreksi geometrik adalah penentuan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman data-data kedalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah dalam proses pengintegrasian data-data selama penelitian. Proyeksi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografik yang menggunakan garis latitude (garis Barat-Timur) dan garis longitude (garis Utara-Selatan).

(37)

22

matriks keluaran dapat digeser secara spasial hingga setengah piksel dan dapat menyebabkan adanya kenampakan yang tidak bersambungan pada hasil citra keluarannya.

3.4.2 Pemotongan citra (Subset Image)

Hal pertama sebelum melakukan pemotongan citra adalah dengan melakukan penentuan lokasi penelitian (clipping) yang berdasarkan batas administrasi wilayah Kota Semarang. Selanjutnya setelah didapatkan batasan areal lokasi penelitian kemudian proses pemotongan citra dapat dilakukan. Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi obyek penelitian, dimana peta rupa bumi hasil digitasi (peta digital) dapat dijadikan acuan pemotongan citra. Batas wilayah yang akan dipotong dibuat denganarea of interest(aoi), yaitu pada wilayah yang termasuk ke dalam kota Semarang.

3.4.3 Klasifikasi citra (Image Classification)

Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pengklasifikasian adalah menetapkan kelas-kelas spektral yang terliput oleh citra satelit, kemudian membuat aturan penetapan klasifikasi setiap piksel kedalam kelas-kelas yang telah ditentukan. Pemilihan kelompok-kelompok piksel kedalam kelas klasifikasi merupakan proses pemilihan obyek (feature selection). Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan sebenarnya dilapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Kelas klasifikasi tersebut meliputi hutan alam, hutan tanaman, perkebunan, kebun campuran, semak belukar, rumput, lahan pertanian, lahan terbuka, pemukiman (area terbangun), dan badan air. Tahapan klasifikasi dilakukan dengan dua pendekatan dasar klasifikasi, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) (Lillesand dan Kiefer, 1997).

(38)



Tahapan yang dilakukan dalam klasifikasi terbimbing menggunakan sofware ERDAS Imagine 8. 5:

1. Pengenalan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman titik kontrol yang diambil pada lokasi penelitian menggunakan GPS.

2. Pemilihan daerah (area of interest) yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan berdasarkan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra.

3. Proses klasifikasi citra yang dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan pola-pola spektral yang telah ditetapkan pada saat proses pemilihan daerah.

4. Menggabungkan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama (recode).

5. Pengkoreksian citra hasil klasifikasi dengan membandingkannya dengan citra sebelum diklasifikasi.

3.4.4 Pengolahan citra Landsat Band 6 untuk estimasi suhu permukaan Untuk estimasi nilai suhu permukaan digunakan sofware ERDAS Imagine 8.5, kemudian dibangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 7ETM band 6. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah nilai DN (Digital Number) untuk dilakukan konversi menjadi nilai radiansi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilaidigitalmenjadi nilairadiansi (USGS, 2002):

Radiansi = gain x DN (digital number) + offset

Dengan nilai gain sebesar 0.05518, digital number adalah dengan band 6, dan nilai offset sebesar 1.2378.

Kemudian dilakukankonversi band 6 pada Landsat 7ETM untuk mengetahui nilai suhu permukaan (USGS, 2002) :

(39)

24

Konstanta K1 dan K2 untuk Landsat 5/TM dan Landsat 7/ETM dapat ditunjukkan dalam Tabel 2 dibawah ini

Tabel 2.Nilai Konstanta Kalibrasi dari Band Thermal

Satelit K1 (W/(m2*ster*μm)) K2 (Kelvin)

Landsat 5 /TM 607.76 1260.56

Landsat 7/ETM 666.09 1282.71

Sumber :HandbookLandsat

3.5 Korelasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu Permukaan

NDVI adalah salah satu cara yang efektif dan sederhana untuk mengidentifikasi kondisi vegetasi di suatu wilayah, dan metode ini cukup berguna dan sudah sering digunakan dalam menghitung indeks kanopi tanaman hijau pada data multispectral penginderaan jauh. Secara definisi matematis, dengan menggunakan NDVI maka suatu wilayah dengan kondisi vegetasi yang rapat akan memiliki nilai NDVI yang positif. Sedangkan nilai NDVI perairan bebas akan cenderung bernilai negatif.

NDVI digunakan untuk mengetahui kondisi vegetasi yang ada pada suatu wilayah. NDVI pada dasarnya menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Tumbuhan hijau menyerap radiasi matahari pada bagian photosynthetically active radiation (PAR). Nilai NDVI berkisar antara - 1 sampai dengan + 1. Berikut merupakan persamaan yang digunakan dalam menghitung NDVI adalah NDVI = NIR – RED / NIR + RED, dengan NIR : spektrum near-infrared dan RED : spektrum infrared

(40)
(41)

26

(42)

4.1 Letak dan Batas Administrasi

Kota Semarang merupakan salah satu wilayah yang secara administratif termasuk dalam bagian dari Wilayah Propinsi Jawa Tengah. Secara sepintas tampak bahwa, wilayah Kota Semarang terletak di bagian Utara Propinsi Jawa Tengah, dan Secara fisik administrasi Kota Semarang mempunyai luas wilayah 38.721,70 Ha, dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Laut Jawa (letak lintang 6o50’ LS)

2. Sebelah Selatan : Kabupaten Semarang (letak lintang 7o10’ LS) 3. Sebelah Barat : Kabupaten Kendal (letak lintang 109o50’ BT) 4. Sebelah Timur : Kabupaten Demak (letak lintang 110o35’ LS)

Sumber : BAPPEDA Kota Semarang

(43)

28

4.2 Kondisi Topografi dan Kelerengan Tanah

Berdasarkan kondisi topogradfinya, Kota Semarang dibagi menjadi 3 wilayah ketinggian yaitu

1. Dataran rendah di bagian Utara yang dikenal dengan Kawasan Pesisir / Pantai dengan ketinggian antara 0-0,75 meter

2. Dataran di bagian Tengah yang dikenal dengan Semarang Bawah, dengan ketinggian wilayah antara 0,75-5 meter

3. Dataran tinggi dan perbukitan di bagian Selatan yang dikenal dengan Samarang Atas, dengan ketinggian wilayah antara 5-348 meter.

Berdasarkan kondisi kelerengan tanahnya, Kota Semarang dibagi menjadi 4 jenis kelerengan yaitu :

1. Lereng I (0-2 %) meliputi kecamatan Genuk Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara dan Tugu serta sebagian wilayah Kecamatan tembalang Banyumanik dan Mijen.

2. Lereng II (2-15 %) meliputi kecamatan Semarang Barat, Semarang Selatan, candisari, Gajahmungkur, Gunungpati dan ngaliyan.

3. Lereng III (15-40 %) meliputi wilayah disekitar kaligarang dan kali Kreo (kecamatan Gunungpati), sebagian wilayah kecamatan Mijen (daerah Wonoplumbon), sebagian wilayah kecamatan Banyumanik dan kecamatan Candisari.

4. Lereng IV (> 40 %) meliputi sebagian wilayah Banyumanik (sebelah tenggara), dan sebagian wilayah kecamatan Gunungpati, terutama disekitar kali Garang dan kali Kripik.

4.3 Kondisi Geologi Dan Jenis Tanah

Berdasarkan kondisi geologinya, Kota Semarang terbagi menjadi :

1. Bagian utara sebagian besar ditutupi oleh endapan permukaan yang

merupakan alluvium hasil pembentukan delta Kaligarang. Terdiri dari lapisan pasir, lempung, kerikil.

2. Bagian selatan memiliki lapisan litologi breksi dan lava andesit, termasuk ke

(44)

3. Daerah perbukitan (Srondol Wetan, Banyumanik, dan sekitarnya terdiri dari

lapisan batuan breksi vulkanik dengan sisipan lava batu pasir tufa dan tanah berwarna merah dengan ketebalan 50-200meter.

4.4 Kondisi Klimatologi 4.4.1 Iklim

Kota Semarang memiliki iklim tropis dengan dua jenis musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan yang memiliki siklus bergantian selam lebih kurang enam bulan.

4.4.2 Curah hujan dan hari hujan

Menurut data dinas meterologi dan geofisika pada umumnya hujan di Kota Semarang turun pada bulan Desember sampai Mei, sedangkan antara bulan juni sampai November merupakan musim kemarau. Kota Semarang memiliki curah hujan antara 1500 mm per tahun sampai 3000 mm per tahun. Antara tahun 1963 sampai dengan 1995 curah hujan efektif konstan, yaitu rata-rata 2398,76 mm per tahun. Pada tahun 1995 curah hujan tertinggi pada bulan November yaitu sebesar 474 mm / bulan dengan hari hujan sebanyak 22 hari sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 0 mm per tahun dengan hari hujan 0 hari.

4.4.3 Temperatur udara, kelembaban udara dan arah angin

Temperatur udara berkisar antara 25.800C sampai dengan 29.300C, kelembaban udara rata-rata berkisar dari 62% sampai dengan 84%. Arah angin sebagian besar bergerak dari arah tenggara menuju barat laut, dengan kecepatan rata-rata berkisar antara 5.7 km/jam.

4.4.4 Radiasi Matahari

(45)

30

4.5 Kondisi Hidrologi 4.5.1 Air permukaan

Kondisi air permukaan di Kota Semarang memilki pola aliran air secara keseluruhan hampir sama, yaitu paralel mengarah ke laut (Laut Jawa). Pola aliran sungai-sungai di kota Semarang membentuk Tulang Daun (Dendritik) dan umumnya mengalir secara musiman (intermitten) yang mengalir ke arah tara sesuai dengan kemiringan atau arah kelerengannya. Beberapa sungai besar yang melintasi Kota Semarang, antara lainSungai Kaligarang, Sungai Banjir Kanal Barat, Sungai Banjir Kanal Timur, Sungai Babon.

4.5.2 Air tanah

Ketersediaan air tanah di Semarang terdiri dari air tanah dangkal (0,2-3 meter) dan air tanah dalam (60-90 meter), dimana semakin ke arah Utara dan Timur, kedalaman air tanah mencapai lebih dari 90 meter.

4.5.3 Mata air

Sumber mata air di Kota Semarang terbesar diambil dari sumber mata air Gunung Ungaran. Sumber mata air lain adalah : sumber air Lawang (17 liter/detik), sumber air Mudal (13 liter/detik), sumber air Kali Doh (138 liter/detik) dan sumber air Ancar (49 liter/detik).

4.6 Kondisi Penduduk

4.6.1 Potensi jumlah penduduk

Pada tahun 2004 penduduk Kota Semarang berjumlah 1.389.421 jiwa dengan perbandingan persentase penduduk berjenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 49,75 % dan 50,25 % atau tepatnya 691.275 jiwa laki-laki dan 698.146 jiwa perempuan. Jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Semarang Barat yaitu 152.957 jiwa atau 11,01 % dari total jumlah penduduk Kota Semarang, sedangkan yang paling sedikit adalah Kecamatan Mijen 41.675 jiwa atau 3,00 %.

4.6.2 Pertumbuhan penduduk

(46)

sebesar -2,41%. Sedangkan Pertumbuhan Penduduk terbesar terdapat di wilayah Kecamatan Tembalang, sebesar 3,15%.

4.6.3 Kepadatan penduduk

a. Kepadatan penduduk bruto / kotor

Kepadatan Penduduk Bruto / Kotor dalam suatu wilayah adalah Perbandingan antara Jumlah Penduduk dengan Luas Wilayah. Kepadatan Penduduk Bruto di wilayah Kota Semarang rata-rata adalah 67 jiwa/Ha. Kepadatan Penduduk Bruto terbesar di wilayah Kota Semarang terdapat di Kecamatan Candisari, sebesar 146 jiwa/Ha. Kepadatan Penduduk Bruto terkecil di wilayah Kota Semarang terdapat di Kecamatan Mijen, sebesar 7 jiwa/Ha.

b. Kepadatan penduduk bersih / netto

(47)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penutupan Lahan Kota Semarang

Lahan atau land didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau siklis yang berada di bawah wilayah tersebut., termasuk atmosfer, tanah, bahan induk, relief, hidrologi, flora, dan fauna, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia dimasa lalu dan sekarang yang kesemuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat ini dan masa mendatang (Vink, 1975 dalam Nurcahyono, 2003).

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, contoh jenis penutup lahan adalah bangunan perkotaan, danau, vegetasi dan lain-lain. Sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Menurut Lo (1995) bahwa penutupan lahan menggambarkan kontruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Kontruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh.

Secara umum terdapat tiga kelas data yang mencakup dalam penutupan lahan adalah :

1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.

2. Fenomena biotik vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang.

3. Tipe-tipe pembangunan

(48)

Badan Survey Geologi Amerika Serikat telah menyusun sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan untuk digunakan dalam data penginderaan jauh (Lillesand dan Kiefer, 1997). Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan menurut USGS disusun berdasarkan kriteria berikut : (1) tingkat ketelitian interprestasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tida kurang dari 85 %, (2) ketelitian interpretasi untuk beberpa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5)kategori harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus dapat dimungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutup lahan pada masa akan datang dan (10) lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin.

Kota Semarang mempunyai luas wilayah 38.721,70 Ha berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM pada dua tahun yang berbeda yaitu tahun 2001 dan 2006 dengan waktu penyiaman masing- masing bulan April 2001 dan bulan Juni 2006 dengan kombinasi band 5, band 4 dan band 3 melalui klasifikasi terbimbing (supervised classification), penutupan lahan di wilayah Kota Semarang diklasifikasikan menjadi :

1. Area Terbangun (pemukiman, area industri, pertokoan/perdagangan, dan perkantoran)

2. Badan Air (sungai, lautan, dan tambak) 3. Ladang (area tanaman semusim)

4. Lahan Terbuka/Kosong (areal proyek pembangunan ) 5. Sawah

6. Vegetasi Rapat (hutan tanaman, dan perkebunan)

(49)

34

8. Tidak Ada Data (awan dan bayangan awan)

Klasifikasi penutupan lahan di Kota Semarang tersebut juga dilakukan uji akurasi berdasarkan overall clasification accuracy dan overall kappa statistics. Dalam penelitian ini tingkat akurasi dari proses klasifikasi yang dilakukan pada citra Landsat 7 ETM tahun penyiaman 2001 adalah sebesar 88,89% dan 87,02% sedangkan untuk tahun 2006 sebesar 89.29% dan 87,50%.

Akurasi atau ketelitian dalam klasifikasi merupakan suatu kriteria penting dalam menilai hasil dari pemrosesan citra penginderaan jauh bagi suatu sistem klasifikasi penutupan penggunaan lahan yang disusun berdasarkan data penginderaan jauh. Kriteria yang ditetapkan oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) yang berkaitan dengan tingkat akurasi atau ketelitian adalah tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tidak kurang dari 85 % dan ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama.

Apabila nilai akurasi dari klasifikasi yang berada dibawah kriteria USGS dapat disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah karena pengambilan titik di lapangan yang tidak terlalu banyak sehingga kurang mewakili dari area atau kelas-kelas klasifikasi yang dibuat, dan yang kedua adalah karena perbedaan waktu atau jeda antara tanggal penyiaman citra dengan pengambilan data lapangan dengan GPS. Hal ini diakibatkan karena perubahan kondisi penutupan dan penggunaan lahan yang bersifat sangat dinamis sekali, apalagi yang berada di daerah perkotaan seperti di daerah Semarang. Citra landsat yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra dengan tahun penyiaman berbeda yaitu tahun 2001 pada bulan April dan tahun 2006 pada bulan Juni, sedangkan pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Agustus 2008.

Penjelasan pada masing-masing tipe penutupan lahan di Kota Semarang adalah sebagai berikut:

1. Area Terbangun

(50)

terbangun yang memiliki kenampakan dengan ukuran yang cukup luas dapat diindikasikan sebagai daerah perkotaan. Untuk pemukiman merupakan daerah yang digunakan secara intensif dan banyak lahan yang tertutup oleh struktur bangunan. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 untuk tipe penutupan lahan yang merupakan area terbangun dicirikan dengan warna merah.

2. Badan Air

Kategori penutupan lahan yang termasuk dalam tipe penutupan lahan kelas badan air antara lain sungai, waduk, kanal, teluk, muara, dan tambak. Untuk badan air pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 pada wilayah Kota Semarang dicirikan dengan warna biru muda dan biru tua. Warna biru secara umum juga digunakan sebagai ciri pada pengkelasan tipe penutupan lahan badan air dengan tujuan untuk mudah dipahami.

Gambar 4. Area terbangun (pemukiman) di Kecamatan Semarang Tengah

Gambar 5. (a) Tambak tepi pantai di Kecamatan Tugu, (b) Sungai banjir Kanal Barat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan Kota Manado, Puskesmas Tuminting, Puskesmas Paniki Bawah dan Puskesmas Wenang belum sesuai dengan pedoman pengelolaan

Informasi yang dicari dalam penelitian ini adalah gambaran umum tentang kompetensi profesional guru, etos kerja guru sekolah, dan kecerdasan emosional guru

Tujuan dari perbandingan ini adalah untuk mengetahui besarnya perbedaan biaya overhead pabrik dan harga pokok produksi per unit tiap jenis produk yang terjadi di antara kedua

Dalam penelitian ini, keputusan seorang perempuan yang berstatus menikah untuk bekerja (curahan waktu jam kerja) sebagai variabel dependen, sedangkan variabel

Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hasil terjemahan dialog film Le Fabuleux Destin d'Amélie Poulain yang akan

Hasil observasi diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer yang dilakukan oleh rekan guru peneliti dengan mengisi lembar observasi aktivitas

Hasil observasi diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer yang dilakukan oleh rekan guru peneliti dengan mengisi lembar observasi aktivitas anak

Sehingga, berdasarkan hasil angket tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik kelas XI MIA 2 dan XI MIA 3 di SMA Negeri 7 Kota Jambi belum sepenuhnya namun ada juga yang