• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seni Rupa Bali Sebagai Aset Pustaka Buda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Seni Rupa Bali Sebagai Aset Pustaka Buda"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

SENI RUPA BALI

SEBAGAI ASET PUSAKA BUDAYA

Editor

I Wayan Seriyoga Parta

Penulis

I Ketut Budiana

I Wayan Seriyoga Parta

Asisten Penulis

Made Susanta Dwitanaya

Penyelaras Bahasa I Wayan Nuriarta

Desain & Tata Letak D’ANSWER Production

Fotografi

Dewa Gede Purwita

Diterbitkan oleh:

2015 PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR & DINAS KEBUDAYAAN KABUPATEN GIANYAR

Halaman 1

(4)

Sambutan Bupati Gianyar 4 Pengantar Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar 6

Hidden Knowledge Dan Local Wisdom 8

I. SENI RUPA BALI SEBAGAI ASET PUSAKA BUDAYA

1. Seni Rupa Bali: Alur Perkembangan yang Memiliki Keunikan Tersendiri 10 2. Jejak-jejak Seni Rupa dari Masa Lampau Keterkaitannya

dengan Daerah Gianyar 14

Ekspansi Majapahit dan Kehadiran Seni Lukis Wayang 17 3. Pita Maha Ubud-Gianyar: Tonggak Perkembangan Seni Rupa Bali Modern 22 Pasca Pita Maha: Geliat Kreativitas Tiada Batas 31 Desa Mas Sebagai Basis Perkembangan Seni Patung Modern 32 Ubud-Gianyar Sebagai Basis Kepranataan Seni Rupa Bali 37 4. Pertumbuhan Generasi Akademis Seni Rupa Modern dan

Kontemporer Bali 38

II. MEGA EKSPOSISI & KESADARAN MODAL KULTURAL 45 1. Nukilan Seni Lukis Bali Dalam Karya Kolektif 1000 Meter

Kabupaten Gianyar 45

Tema-Tema Lukisan 50

2. Basis-basis Perkembangan Seni Rupa Gianyar

Dalam Karya Kolektif 1000 Meter 51

Dokumentasi Proses 52

III. SENI RUPA GIANYAR APRESIASI, HARAPAN & TANTANGAN 64

Daftar Pustaka 71

Panitia Pelaksanaan Demo Melukis 1000 M

Dalam Rangka Hut Kota Gianyar 244 Tahun 2015 73 Daftar Nama - Nama Peserta Melukis 1000 M

(5)

Sambutan Bupati Gianyar

Om Swastyastu

Kabupaten Gianyar terkenal sebagai pusatnya kesenian, terlebih lagi seni rupa. Gianyar juga kaya dengan artefak sejarah sebagai warisan ragawi (tangible) dari masa Bali kuno, berupa peninggalan di pura-pura tua sepanjang Das Pakerisan; dari Tampaksiring, Pejeng, Bedulu, Blahbatuh, Keramas hingga Sukawati.

Kelahiran tonggak modern perkembangan seni rupa Bali pun lahir di kota ini, dan perkembangan seni lukis Bali terjadi di awal abad ke 20 di Ubud dan Batuan. Lahir dari interaksi antara kearifan lokal dari para sangging dan undagi Bali dengan seniman dan peneliti dari Barat, berujung pada kehadiran Pita Maha tahun 1936 yang melahirkan sosok maestro Gusti Nyoman Lempad. Pendulum awal ini melahirkan gelombang kreativitas baru dari seniman alam yang tak ada hentinya terus tumbuh hingga saat ini.

Kemudian disusul dengan lahirnya seniman akademis yang mengenyam pendidikan formal dari Yogyakarta seperti Wayan Kaya, Ketut Budiana, Wayan Sika, Made Subrata “Kedol”, Nyoman Erawan, Made Djirna, Nyoman Masriadi dan sederetan nama-nama lainnya yang kini menjadi motor perkembangan seni rupa modern dan kontemporer di Bali.

(6)

Kabupaten Gianyar yang ke 244. Kegiatan ini diharapkan mampu memacu dinamika seni lukis khususnya di Gianyar, sehingga dapat melahirkan lebih banyak lagi maestro yang akan mengharumkan kabupaten ini. Selain sebagai upaya fasilitasi, acara ini juga menjadi semacam pemetaan potensi seni rupa yang berada di daerah Gianyar dengan menggalang kebersamaan melalui seni lukis.

Dengan mengangkat kembali basis-basis perkembangan daerah mulai dari Ubud yang terbagi menjadi beberapa wilayah yang melahirkan langgam seni lukis khas, seperti: Br. Taman, Kutuh, Padang Tegal, Keliki, dan Tegallalang. Young Artists dari Penestanan, langgam Pengosekan, hingga gaya Batuan yang begitu khas. Melalui ekspresi seni lukis ini juga kekayaan potensi cagar budaya pura-pura kuno di sepanjang Das Pakerisan akan diangkat oleh para seniman Tampaksiring. Seniman modern akademis juga mengelaborasi kekayaan kebudayaan yang dimiliki Gianyar, dengan interpretasi subjektif dan kritis mereka melalui ekspresi dan langgam lukisannya masing-masing.

Tidak hanya terkonsentrasi pada pemetaan Gianyar sebagai basis perkembangan seni rupa, mega even ini juga mencoba memetakan potensi infrastruktur seni yaitu lembaga seni rupa sebagai penopang secara akademik segenap potensi yang ada. Untuk itu kami juga mengundang lembaga seni rupa ikut terlibat mulai dari sekolah menengah seni rupa SMKN 1 Sukawati (SMSR), kampus seni mulai dari ISI Denpasar, UHNI dan IKIP PGRI.

Akhir kata, semoga dengan even kolosal ini, diharapkan generasi muda Gianyar dan dunia dapat melihat perkembangan seni lukis dan kekayaan khasanah kebudayaan Bali. Inilah pusaka yang sangat bernilai dan tiada taranya yang dimiliki kabupaten Gianyar.

Om Santih, Santih, Santih Om

Bupati Gianyar,

(7)

Pengantar Kepala Dinas Kebudayaan

Kabupaten Gianyar

Om Swastyastu

Gianyar adalah gudangnya seniman demikian sering disampaikan hal ini tentunya bukan hanya pomeo semata, namun memang benar adanya seperti itu. Sebagaimana halnya dalam perayaan hari ulang tahun Kabupaten Gianyar yang ke 244 ini, segenap aspek kesenian yang ada di Gianyar tampil serempak. Tak terkecuali seni rupa yang tampil secara kolosal dan gigantik dalam pameran dan acara melukis bersama 1000 meter di sepanjang jalan bypass Darma Giri Gianyar. Acara ini menampilkan potensi-potensi seni lukis Gianyar yang tersebar dimasing-masing kecamatan sekabupaten Gianyar. Dengan semangat kebersamaan mereka menumpahkan kreativitasnya dalam kanvas, mengangkat segenap potensi seni dan budaya Bali khususnya di daerah Gianyar.

Melalui seni lukis gigantik ini, ditampilkan potensi kesenian secara menyeluruh dalam tema-tema lukisan. Mulai dari kearifan pengetahuan lokal yang berasal dari rerajahan, sastra seperti modre, seni klasik wayang. Tema dari seni tari, kekayaan peninggalan sejarah Bali kuno seperti pura-pura tua di sepanjang Tampaksiring, Pejeng dan Bedulu. Peninggalan percandian dan petirtaan yang ada disepanjang Das Pakerisan yang bermula dari Tirta Empul. Tidak hanya mengangkat warisan kebudayaan, para seniman yang terlibat juga menghadirkan tema perkembangan kebudayaan Bali di masa kini yang dihadirkan dalam interpretasi visual.

(8)

hal dapat ditampilkan melalui kepiawaian pelukis berolah rupa. Seni lukis adalah potensi yang dimiliki Gianyar dan telah berkembang pesat sejak tahun 1930an dengan berdirinya Pita Maha di Ubud, dan telah melahirkan sosok-sosok maestro seperti Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Nyana dan Nyoman Cokot yang namanya tersohor ke dunia internasional. Perkembangannya pun semakin dinamis setelah hadirnya seniman Bali yang mengenyam pendidikan seni dari dunia akademis. Sehingga lahirlah puluhan dan bahkan ratusan pelukis yang hidup layak dari kreativitasnya, sebuah profesi yang penuh idealisme namun juga sangat menjanjikan. Termasuk juga para artisan di desa-desa yang hidup dari seni rupa kerajinan yang juga pernah mengalami booming di tahun 1990an.

Namun pernah dalam suatu masa dinamika kemudian surut para pelukis dan pengerajin mulai beralih profesi, melalui kegiatan ini pemerintah kabupaten Gianyar melalui Dinas Kebudayaan mencoba mengangkat kembali potensi besar dalam seni rupa khususnya seni lukis. Acara ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kreativitas yang dimiliki seniman-seniman yang sempat terpendam agar bangkit kembali. Hadir bersama dalam lukisan sepanjang 1000 meter, agar khalayak luas baik daerah, nasional, maupun dunia internasional kembali melihat kebesaran daya kreativitas dalam seni lukis yang dimiliki Gianyar.

Akhir kata, kami mengucapkan selamat kepada para seniman karena telah menampilkan karya-karyanya yang sangat berkualitas, dan kami haturkan terima kasih untuk kebersamaan yang luar biasa dalam mengikuti acara ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada segenap pihak yang telah berperan dalam mensukseskan acara ini. Sebagai wujud nyata keseriusan kami pada acara ini, dalam kesempatan yang baik ini juga terbit sebuah buku yang memetakan segenap potensi seni rupa Bali khsusnya yang ada di Gianyar.

Om Santih, Santih, Santih Om

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar

(9)

HIDDEN KNOWLEDGE DAN LOCAL WISDOM

Pencapaian reputasi artistik karya tak mungkin lepas dari mata rantai sejarah yang melingkupi. Dalam sejarah Bali, kesenian mengalami masa keemasan (golden age) di bawah dinasti Warmadewa. Krida seni dipandang sederajat dengan undagi, pujangga dan profesi seni lainnya. Diantara prasasti-prasasti yang dikeluarkan Raja Anak Wungsu terdapat prasasti-prasasti yang memuat goresan bermotif Bhatara Siwa menunjukan bahwa keahlian seni lukis hadir di masa itu. Seperti juga dalam prasasti Batuan abad ke-10 yang menyebut Citrakara sebagai Paguyuban seni lukis dan Amahat untuk sebutan komunitas seni pahat sesuai dengan garis profesi yang istimewa. Otoritas kesenian sebagai penerjemah, media komunikasi sastragama yang sakral menjadi bahasa gambar yang maha penting yang dimiliki Citrakara Bali mendapat porsi bermartabat.

Bukti warisan masa lalu sekaligus sebagai pengenalan sumber inspirasi seni budaya dengan kandungan harta kerohanian yang senantiasa “hidup”, tersebar di tebing sungai Petanu dan Pakerisan di Bedulu, Pejeng. Beberapa sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat.

Sarkopogus Bali merupakan hasil seni pahat yang tertua, cikal bakal seni pahat Bali. Kedok muka dengan wajah yang memperlihatkan mata melotot, telinga lebar, mulut terbuka dengan lidah menjulur keluar atau dengan gigi mencuat. Kedok muka adalah lambang nenek moyang atau pemimpin yang mempunyai kekuasaan magis yang besar, yang dapat menjadi pelindung bagi kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup dan yang memberikan kesuburan atau kesejahteraan bagi masyarakat, dengan demikian karya seni pahat pada sarkopogus, berfungsi estetik–dekoratif, juga simbolis magis. Sumber pengenalan dan perkembangan awal kriya topeng klasik Bali yang mengukuhkan ciri magis. Karya Cokot sang maestro patung primitif mengingatkan kesan kedok animisme yang telah berumur ribuan tahun.

(10)

hiasan mirip tradisi Khmer/Kamboja. Hiasan yang dikenakan oleh sosok prempuan menandakan bahwa dia berasal dari keluarga ningrat. Cerita yang dinarasikan menyangkut Krisna ketika mengangkat Gunung Govardhana untuk memayungi rekan-rakannya dari hujan bikinan Indra. Prajurit berkuda apakah ini menunjukan lambang kekuatan dan kepahlawanan. Kuda sering dihubungkan dengan Matahari/Surya menurut kepercayaan Hindu, dalam mitologi Eropa kuno dewa Apollo atau dewa Matahari digambarkan mengendarai kuda.

Menyarankan adanya penyebaran budaya Eropa, India, Kamboja, Jawa yang kemudian terserap dalam “local wisdom” Bali. Pemahat kuno memiliki teknis kerja dan proses kerja yang matang dan cermat dari bentuk figur manusia mirip sebenarnya, anatomis dengan sikap manusiawi dan sangat realistis. Pengolahan bentuk dan komposisi dalam pendekatan narasi mengungkap kesusastraan dan peristiwa sezaman melalui kiasan. Menginspirasi identitas, gaya, bentuk dan makna pada karya Lempad, seniman perintis.

Seni Arca perwujudan: raja, leluhur, dewa, berkembang di zaman Erlangga dan sampai zaman Singasari-Pura Kebo Edan dengan Arca Bairawa. Arca Kesari Warmadewa yang kini dikeramatkan di salah satu parahyangan di sekitar Pejeng, menunjukan pertanda nyata pengaruh sekterian di Bali. Ikonografi yang menghasilkan jenis ekspresi Arca Dewa-Dewa dengan wajah serta busana yang khas lebih menampakkan kesan magis monumental dengan komposisi statis frontal dalam suasana serba gaib-pengaruh Majapahit.

Tampilan aura sebagai lambang kesaktian atau sifat kedewataan adalah salah satu petunjuk dari ikonografi baru dalam seni patung Majapahit yang kemudian tampil kembali pada lukisan tradisional Bali, Lukisan Wayang Kamasan. Ragam hias dekoratif seperti patra Sae, patra Punggel, patra Cina, patra Olanda, patra Mesir, patra Wangge dalam perbendaharaan ragam hias Bali, membuktikan adanya hubungan bangsa-bangsa Asia, Afrika, Eropa di masa lalu yang berlangsung khas, terbuka dan kondusif untuk proses berkesenian.

Kebudayaan Bali sangat dinamis, merupakan evolusi yang tiada henti selama ribuan tahun yang lalu dan bahkan hingga hari ini. Di dalamnya menyimpan pengetahuan yang terpendam, bak sumber air anakan yang tak akan pernah habis digali. Inilah potensi yang dimiliki Bali, sebuah kekuatan dengan daya tahan yang luar biasa.

Ketua Umum LISTIBIYA

Kabupaten Gianyar

(11)

I

SENI RUPA BALI

SEBAGAI ASET PUSAKA BUDAYA

1. Seni Rupa Bali: Alur Perkembangan yang Memiliki Keunikan Tersendiri

Bali telah dikenal luas dengan kekayaan khasanah budayanya yang dilandasi nilai-nilai agama, di dalamnya kesenian sangat terkait dengan entitas religi. Kebudayaan Bali yang sejak lama dikatakan memiliki akar tradisi yang kuat dan terus tumbuh seiring dengan perkembangan zaman. Kesinambungan nilai-nilai tradisi itu juga tercermin dalam perkembangan seni rupa Bali. Berbagai kilasan sejarah mencatat bahwa seni rupa Bali menunjukkan sebuah perkembangan seni rupa yang berjalan dalam garis perkembangan tersendiri. Perkembangan itu menunjukkan pertalian seni rupa dengan nilai-nilai tradisi dan budaya.

(12)

Karya Nyoman Ngendon (Batuan)

(13)

12

(14)

Indonesian Art, Kerjasama Indonesia dengan Amerika Serikat (KIAS) tahun 1990-1991 juga menyinggung perihal perkembangan seni rupa Bali sebagai “suatu perkembangan yang penting tetapi agak terpisah terjadi di Bali sekitar tahun 1930, yang terutama menggunakan sumber-sumber tradisional, ditujukan untuk kolektor-kolektor dan turis, serta dengan jelas berkembang menjadi pergerakan kesenian modern sendiri”. ( Astri Wright, 1990-1991)

Selanjutnya Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang

Budaya 1996, menguraikan perkembangan seni lukis baru Indonesia

menyatakan; “seni lukis Bali,…mampu mempertahankan beberapa unsur teknik nenek-moyang” (Lombard, 1996). Dalam buku Indonesian

Heritage 1998, pembahasan tentang seni rupa Bali kembali mendapat

ruang tersendiri. Penulis seni rupa yang juga keramikus Hilda Soemantri menjelaskan; “Bali’s unique position, with a strong indigenous tradition of painting and a broad exposure internationally, gives its modern painter a prominent place in Indonesia” (Soemantri, 1998).

Kurator terkemuka Indonesia Jim Supangkat pun menyatakan bahwa ”karya-karya seni rupa Bali memang memperlihatkan ikatan yang kuat dengan karya tradisi’. Kemudian ia menegaskan bahwa “karya-karya ini berkaitan pula dengan modernisasi dan dalam perkembangannya menampilkan pula modernitas Indonesia” (Jim Supangkat, 1999). Kekhasan yang dimaksud menyangkut perkembangan seni rupa Bali yang memiliki keterkaitan dengan arus modernis yang dibawa langsung oleh seniman-seniman Barat seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Covarrubiaz dan sederetan nama-nama seniman Barat lainnya. Pertemuan itu membawa arus perkembangan seni rupa yang sangat dinamik, terutama ketika berdiri Pita Maha tahun 1936 atas inisiatif Tjokorda Raka Sukawati bersama Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Sejak itu lahir puluhan seniman yang tumbuh dari pedesaan daerah Gianyar khususnya di kawasan Ubud dan Batuan.

(15)

menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar setelah bergabung dengan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar tahun 2004.

Seniman-seniman generasi akademis ini menyerap kaidah-kaidah modern, seperti; kesadaran sebagai individual, tradisi fine art (seni untuk seni) dan spirit untuk selalu mencari kebaruan dalam seni. Menyerapan aspek-aspek dalam seni modern kemudian memberi pengaruh pada sikap dan cara berkesenian mereka sebagai seniman dan cara berkesenian. Walaupun dalam perkembangannya kemudian, pada tataran tematika dan bahkan konsep kekaryaan para seniman akademis juga menggali dari kasanah tradisi budaya Bali yang mereka ekspresikan dalam bahasa rupa modern dan kontemporer.

2. Jejak-jejak Seni Rupa dari Masa Lampau Keterkaitannya dengan Daerah Gianyar

Melajak jejak kehadiran seni rupa dari masa lalu di Bali, dapat ditelisik dari peninggalan-peninggalan kerajaan Bali Kuno atau kerajaan Bali pra Majapahit. Berdasarkan dari lokasi, jejak kerajaan Bali pra Majapahit sebagian besar memilih dataran tinggi. Lokasi tersebut adalah perbukitan Bali tengah sebagai lokasi yang disucikan, seperti di Kintamani Pura Puncak Penulisan, dan di sepanjang daerah Das (pinggiran) sungai Pakerisan serta sungai Petanu di sisi Barat. Meliputi daerah Tampaksiring, Pejeng hingga Bedulu. Di daerah itu banyak sekali ditemukan bangunan suci berupa pura, candi dan petirtaan, seperti pura dan taman air suci Tirta Empul, Candi Gunung Kawi di daerah Tampaksiring. Serta gugusan pura-pura besar, seperti pura Penataran Sasih yang menyimpan nekara terbesar di Asia Tenggara. Pura Kebo Edan (Siwa Bhairawa), hingga pesraman Goa Gajah daerah Bedulu. Serta situs unik relief Yeh Pulu di sebelah Selatannya. Hingga situs Pura Durga Kutri di Belahbatuh, peninggalan patung-patung klasik dengan gaya kaku di pura-pura daerah Keramas hingga Candi Sakah.

(16)

relief dan patung (arca). Hadirnya kesenian yang berkualitas tak lepas dari adanya keprofesian tertentu yang bertugas melahirkan karya seni untuk kepentingan kerajaan dan kepentingan religi. Keprofesian tersebut dikenal dengan istilah undagi, dapat dipadankan dengan arsitek-tradisional, pande pembuat peralatan dari logam. Berikutnya juga dikenal istilah sangging untuk kegiatan menggambar atau melukis wayang, mengukir dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan upacara.

Berdasarkan data dari prasasti, istilah undagi sudah ada sejak tahun 800an M. Terdapat dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun isaka 818 (tahun 896 Masehi) dicatat R. Goris, 1954 dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan; kuta, tathapi tani kasidan dudukyan anak ditu dipakaya, undagi lancang, undagi batu, undagi pengarung, me anada

tu anak musirang ya marumah pande mas, pande besi Terjemahannya

sebagai berikut : “kota tidak boleh diambil oleh penduduk yang ada di sana seperti tukang perahu, tukang batu, tukang terowongan, dan kalau ada orang mengungsi tinggal berumah di sana seperti pande mas, pande besi”. Berdasarkan angka tahunnya Prasasti tersebut diterbitkan pada masa pemerintahan raja Udayana.

Kemudian dalam Prasasti Batuan tahun Saka 994 (1022 masehi) yang diterbitkan pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Wardhana Marakata (1022-1025 masehi) yang merupakan anak dari Karya Anak Agung Gede Raka Turas

(17)

raja Udayana juga memuat istilah undagi, beserta istilah lain yaitu

citrakara yang dapat disejajarkan dengan pelukis (juru gambar), serta istilah sulvika untuk pemahat (pematung). Berikutnya pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (1045-1077) yang merupakan saudara Marakata dan Airlangga mengeluarkan sebuah prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Pandak Gede yang di dalamnya menyebutkan istilah aringit yang merujuk pada wayang. Prasasti ini pun berlapiskan hiasan berbentuk wayang yang ditatahkan pada relief logam yang menggambarkan Samara Ratih berangka tahun 1071 masehi. Selanjutnya juga ada sebuah prasasti yang terdapat di Pura Kehen Bangli berangka tahun 1204 masehi berbahan logam yang berisikan pahatan mirip wayang (ibid). Ditemukan juga sebuah pahatan wayang pada sangku Sudamala di pura Pusering Jagat Pejeng yang diduga dari masa Bali Kuno.

(18)

yang berhubungan dengan seni rupa di Bali. Namun sangat sulit untuk membuktikan karya-karya seni lukis atau seni gambar yang lahir dari sosok citrakara seperti yang telah disebutkan. Hal ini dapat dipahami karena material untuk menggambar umumnya lebih ringkih dari material seni pahat yaitu batu padas. Karya-karya ukiran para undagi

dari batu padas yang tersimpan di pura-pura tua di Bali pun masih belum jelas pembuktiannya apakah material tersebut benar-benar berasal dari berabad-abad yang lalu. Kajian terhadap relief dan patung (Arca) umumnya mengkaji pada aspek ikonografinya, seperti yang diawali oleh Stutterheim atau pun N.J. Krom.

Ada sebuah kajian menarik dari Ni Ketut Puji Astiti Laksmi ketika mengkaji Kehidupan Ekonomi pada Masa Udayana dalam serangkaian pembahasan Raja Udayana Warmadewa yang diterbitkan Pemerintah

Kabupaten Gianyar bersama Pusat Kajian Bali Unud 2014. Didalam pembahasan Puji Astiti mengetengahkan ilustrasi yang diambil dari adegan-adegan Relief Yeh Pulu. Seperti fragmen seseorang yang dengan memanggul barang sebagai ilustrasi pembahasan perdagangan pada masa Udayana. Fragmen orang yang tengah memanggul cangkul dalam ilustrasi pembahasan tentang pertanian, serta fragmen dua orang tengah menggendong Babi pada pembahasan tentang peternakan. Walaupun fragmen relief Yeh Pulu hanya dipakai sebatas ilustrasi tanpa ada pembahasan mengenai keterkaitannya dengan artefak visual tersebut. Penempatan tersebut dapat membantu memberikan titik terang perihal apa dan untuk apa relief Yeh Pulu itu dibuat di masa lampau, dan dari zaman apa dibuatnya.

Ekspansi Majapahit dan Kehadiran Seni Lukis Wayang

Kemudian ketika Majapahit menundukkan Bali dan mendirikan pusat pemerintahan baru di Samprangan, kemudian pindah ke Gelgel dan terakhir dipindahkan lagi ke Klungkung. Dikenal istilah sangging,

(19)
(20)

Klungkung mencapai masa keemasan pada saat pemerintahan Dalem Waturenggong (abad 14-15 masehi) dengan pusat kerajaan berada di Keraton Gelgel.

Meskipun belum ada sumber yang secara jelas menyatakan, konon masa inilah seni lukis (gambar) wayang Kamasan mulai mendapat perhatian, sebagai penghias kebesaran Puri. Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai keberadaan seni lukis wayang Kamasan ini, menurut Ida Bagus Kautra “berdasarkan tema dan bentuk, lukisan wayang diperkirakan merupakan perkembangan dari seni gambar Prasi”. Sementara Wayan Putra (Kamasan) “seni lukis ini berasal dari perkembangan wayang kulit. Berdasarkan ciri-ciri teknik pembuatan, aturan-aturan bentuk, penampilan wajah (wanda) tak jauh berbeda dari wayang kulit”. Hal ini dapat dikaitkan dengan cerita pada Babad Dalem diceritakan bahwa di Gelgel Sri Dalam Semara Kepakisan pernah pergi ke Majapahit dan pulangnya membawa beberapa pusaka termasuk sekeropak wayang kulit (Suartha, 1993).

Kemungkinan besar wayang kulit itulah yang menjadi dasar pengembangan seni lukis wayang Kamasan. Fakta lain yang dapat menguatkan hal ini justru dapat dilihat dari sosok sangging dan undagi

yang kemudian sebagai maestro seni lukis modern asal Ubud yaitu Gusti Nyoman Lempad. Berdasarkan penelitian terhadap proses berkarya Lempad, ditemukan ada sketsanya yang menjiplak wayang kulit pada kertas, wayang jiplakan tersebut kemudian berisi garis kotak-kotak. Masih dalam satu kertas, tepat di sampingnya terdapat bentuk wayang yang sama, namun dalam ukuran lebih kecil yang juga berisikan garis kotak-kotak. Dari fakta tersebut, dapat ditafsir Lempad belajar menggambarkan bentuk wayang dari wayang kulit, dan kemudian diolah lebih kecil untuk kepentingan lukisan di kertas dengan memakai skala.

(21)

(Meduras), konon nama aslinya adalah Gede Mersada (1771-1800an masehi) berasal dari desa Kamasan. Menurut cerita, Ia dipanggil oleh raja Dewa Agung Jambe dan diberi mandat untuk menghias Puri. Dari tangannya kemudian lahir lukisan wayang yang dilukis pada kain ( ider-ider, langse, wastra) serta di parba berbahan kayu, dengan memakai warna-warna dari alam. (ibid)

Terlepas dari ketepatan narasi sejarah verbal tersebut, yang jelas dalam kenyataannya seni lukis wayang memang jejaknya dapat dilihat di Kamasan dan terutama Balai Kertagosa sebagai bagian dari peninggalan puri Klungkung. Dan keberadaan seni lukis wayang juga memperlihatkan jejak yang meluas diberbagai wilayah di Bali seperti Tabanan, Ubud (Gianyar), Karangasem, Bulelang dan Badung. Perluasan tersebut dapat ditengarai mengingat daerah-daerah tersebut terdapat kerajaan-kerajaan yang menjadi bagian dari kerajaan Klungkung, sebagai pusat kekuasaan tertinggi di Bali. Sehingga seni lukis wayang yang kemungkinan telah menghiasi kemegahan kerajaan Klungkung sejak masa Dalem Waturenggong, kemudian menyebar ke kerajaan-kerajaan lainnya di Bali melalui para sangging.

Kehadiran seni lukis wayang di Gianyar khususnya di Ubud dapat dilihat dari koleksi-koleksi museum seperti Puri Lukisan, di sana tersimpan beberapa lukisan lama yang diperkiran berangka tahun 1600an, konon dibuat oleh Nang Ngales memakai kertas ulantaga dan warna alami. Serta karya oleh Nang Ramis tentang Bima bertapa memakai material yang sama.

Istilah sangging sendiri belum begitu banyak diungkap, juga belum ada prasasti yang menyebutkan istilah ini. Di Jawa memang dikenal istilah sungging atau juru sungging wayang yang merujuk pada aktivitas menggambar/melukis wayang. Memang tidak dapat dipungkiri kehadiran seni wayang telah berkembang sebelumnya di Jawa Timur, penundukkan dan migrasi besar-besaran Majapahit antara abad 14-16 tentunya juga telah membawa kesenian itu ke Bali khsusnya Klungkung.

(22)

mewarnai wayang saja tetapi juga kegiatan menatah (mengukir) wayang. Menimbang dalam perkembangannya istilah sangging di Bali tidak hanya mengkhusus pada profesi gambar wayang saja, orang yang juga ahli mengukir bahkan bagi juru yang mengemban tugas mengasah gigi dalam upacara potong gigi di Bali juga disebut sangging.

Sampai di sini, kehadiran profesi seniman seperti undagi dan

sangging di Bali telah diwarisi sejak berabad-abad, sehingga muncul pertanyaan bagaimana sistim pembelajaran yang berlangsung pada keprofesian tersebut? Jika di Jawa dikenal ada kitab Silvasastra berasal dari India yang memuat tuntunan dan pedoman mendirikan dan menghias Candi, sementara di Bali tidak terdapat pedoman yang jelas perihal tuntunan melukis/menggambar wayang dan memahat.

(23)

Sehingga jamak dipahami bahwa seniman Bali jaman dulu belajar secara otodidak mengembangkan seni rupa Bali yang sepenuhnya berbasis pada praktik, dengan ketekunan dan keuletan dalam berkarya sehingga memiliki penguasaan teknik yang matang. Kehidupan religi yang takpernah lepas dari aktivitas seni menjadikan mereka mempunyai ruang dan waktu untuk terus mengasah penguasaan skill. Seperti diungkap oleh Claire Holt, ruang-ruang yang berbasis religi itulah kemudian mereka secara samar menyisipkan sistim pembelajaran yang terselubung pada generasi penerus mereka. Sehingga kelak dikemudian hari dapat melanjutkan dan mengembangkan penguasaan dan kreativitas mereka lebih jauh dan lebih imajinatif lagi.

3. Pita Maha Ubud-Gianyar: Tonggak Perkembangan Seni Rupa Bali Modern

Kehadiran Pita Maha tahun 1936 sebagai sebuah organisasi yang mewadahi aktivitas pelukis dan pematung Bali pada waktu itu memberikan kontribusi pada bidang pemasaran karya seni. Pita Maha bukan sanggar namun lebih mirip sebagai lembaga manajemen seperti yang kita kenal sekarang. Lembaga ini bertugas mengumpulkan karya-karya seniman Ubud dan memfasilitasi dalam pameran dan juga mencari pemasaran bagi karya-karya tersebut. Hilda Soemantri dalam buku

Indonesian Heritage, menjelaskan; “the role of Pita Maha was paramount in the opening marketing outlets for Balinese painting and woodcarving. The association succeded in the organizing important exhibitons in the East Indies, Japan and Europe”(Soemantri,1998).

(24)

Karya Ida Bagus Made Kembeng (Tebesaya)

(25)

Belanda pada pameran Kolonial se-Dunia di Bois de Vinncennes Paris pada tahun 1931. Saat itulah Ida Bagus Made Kembeng dari Tebesaya (1897-1952) mendapat Deploma de Medailed Argent, kemungkinan karena medali itu berbahan perak sehingga sering disebut mendapat medali perak.

Menyusul kemudian, dengan kehadiran Arie Smit pada tahun 1961 muncullah kelompok pelukis muda ”Young Artist” di Penestanan yang rata-rata berumur belasan tahun. Dibawah asuhan Arie Smit, anak-anak Penestanan dengan piawai memainkan warna-warna yang cerah sesuai ekspresi mereka anak-anak yang penuh dengan keriangan dan keceriaan.

(26)

menjadi tujuh kelompok.

1. Kelompok Padang Tegal diketahui oleh A.A. Gede Sobrat. 2. Kelompok Pengosekan, diketuai oleh I Gusti Ketut Kobot. 3. Kelompok Mas diketuai oleh I Ketut Roja.

4. Kelompok Batuan diketuai oleh I Made Jata. 5. Kelompok Celuk diketuai oleh I Riyok.

6. Kelompok Denpasar diketuai oleh I Gusti Made Deblog. 7. Kelompok Klungkung diketuai oleh Pan (Nang) Seken.

Selain Gusti Nyoman Lempad, dan Ida Bagus Nyana dari Griya Mas. Sosok Cokorda Oka Gambir (1893-1952) adalah pelukis dari Puri Peliatan yang juga berperan besar dalam pendirian Pita Maha, menimbang kedekatannya dengan Rudolf Bonnet. Cokorda Gambir juga merupakan sosok guru bagi kreativitas awal Gusti Ketut Kobot (Anak Agung Gede Rai).

Dalam pengantar yang ditulis oleh J. Kats tercatat nama Gusti Nyoman Lempad terlibat dalam membentuk organisasi Pita Maha yang diprakarsai oleh Cokorda Gede Raka Sukawati bersama Rodelf Bonnet dan Walter Spies. Selanjutnya pameran Pita Maha rutin di gelar di Bataviasche dan Bandungsche Kunstkring setiap tahun, 1937, 1938, 1939, 1941, 1946. Pun disela-sela serangan agresi Belanda kembali ingin menguasai Indonesia setelah kemerdekaan RI. Tahun 1948-1949 Belanda kembali membuat serangkaian pameran yang mempromosikan seni rupa Indonesia termasuk Bali ke Amerika, dalam pameran bertajuk

“Indonesian Art: a loan exhibiton from the Rroyal Indies Institute, Amsterdam, the Netherlands” di New York: Asia Intitute 31 Okt.-31 Dec. 1948, Chicago: The Art Institute of Chicago, 16 Feb.-31 Mar. 1949.

Tidak hanya dalam bentuk pameran, tahun 1939 pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan lomba seni lukis di Denpasar yang mengetengahkan I Gusti Made Deblog dari Banjar Tainsiap Denpasar, berhadapan dengan I Made Rai Regug dari Banjar Tektek, Desa Peguyangan. Kemudian perlombaan ini berlanjut pada masa pendudukan Jepang tahun 1943, dengan bertemakan “Pertoenjoekan II dari Keboedajaan Pembangoenan Negara” yang diselenggarakan berkat

(27)

Program-program reguler tersebut, telah memicu kreativitas para seniman Bali untuk berkarya. Mereka terpacu mengembangkan kreativitasnya masing-masing dalam lingkup basis-basis daerah. Dalam perkembangannya kemudian memicu lahirnya gaya-gaya khas dari masing-masing daerah, seperti; lukisan alam daerah Kutuh-Keliki yang detail dengan ukuran kanvas kecil. Taman, Kutuh, Padang Tegal, Keliki, hingga Tegallang. Young Artists asuhan pelukis Arie Smit dari Penestanan. Peliatan dengan langgam Pengosekan. Pengambaran karakter figur realis pada gaya seni lukis Batuan.

Seniman Bali yang pada awalnya tidak terlalu tertarik dengan karakter bentuk realistik, dan memilih pada pakem wayang yang ikonik. Bentuk ikonik wayang menjadi begitu kuat dianut oleh seniman Bali sebelum kehadiran seniman Barat, bukan karena mereka tidak bisa melukis secara realistik dan hanya bisa membuat bentuk figuratif wayang. Tidak hanya menyangkut soal teknis penggambaran saja, seniman Bali dan Jawa meyakini karakter bentuk wayang memiliki nilai Karya Gusti Made Deblog (Denpasar)

(28)

filosofis. Wujud yang digambarkan bukanlah manusia biasa, mereka adalah manusia-manusia luar biasa, menggambarkan Dewa-Dewa yang menghuni alam atas dan raksasa (Bhuta) dari alam bawah. Tokoh-tokoh wayang bukan berasal dari dunia nyata, tetapi mereka berada pada dunia ideil manusia. Wujud fisiknya hanya wahana pengejewantahan nilai-nilai yang absolut. Karena itu tidak digambarkan dalam wujud realis manusia.

Pertumbuhan seni rupa Pita Maha memberikan kontribusi besar bagi pekembangan seni rupa Bali selanjutnya, dan kelahiran seniman individual. Seniman Bali mulai terinspirasi oleh visi realis dari karya-karya seniman Barat seperti Walter Spies dan Bonnet, yang kemudian mereka tranfigurasikan dengan ideom tradisi pewayangan hingga melahirkan seni lukis mazab Pita Maha. Hadirlah karya-karya yang lebih realistik dengan tema-tema kehidupan sehari-hari dengan komposisi yang padat, semua terisi, penuh dan sesak, sangat sedikit ruang kosong. Terkecuali dalam karya-karya Gusti Nyoman Lempad yang hitam putih dengan figur realistik dengan satu garis yang tegas. Lempad terkenal dengan keberaniannya membuat obyek atau figur dalam satu komposisi cerita. Menghadirkan komposisi ruang yang tidak padat seperti halnya seniman Bali lainnya

Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bali tradisional memiliki bakat seni yang luar biasa, hanya saja umumnya belum memiliki kesadaran akan profesi sebagai seniman individual (dalam pengertian modern). Sebelumnya, aktivitas melukis yang dijalani merupakan aktivitas ngayah untuk membuat gambar pewayangan langit-langit, mengukir relief pada bangunan pura, membuat patung perwujudan dewa-dewa. Spirit ngayah mendasari aktivitas seni masyarakat Bali sehingga terjadi sinergi antara akivitas seni sebagai aktivitas budaya dan spiritual, luruh dalam semangat ngayah tersebut.

(29)

Melalui keprofesian tersebut, ternyata kemudian seniman Bali tetap tidak melupakan aktivitas seni sebagai sebentuk ganyah, untuk kepentingan religi yang pada umumnya bersifat sakral--transendental yang dimulai dan diakhiri dengan prosesi ritual.

Melalui Pita Maha inilah nilai-nilai identitas estetik seni lukis Bali dan kesadaran senimannya dibangun (dikonstruksi), sehingga hadir seniman-seniman yang kemudian mulai dikukuhkan posisinya sebagai seniman individual. Perkembangan selanjutnya secara perlahan mulai muncul kesadaran akan profesi seniman individual modern, hal ini dipengaruhi oleh persentuhan mereka dengan seniman modern Barat. I Gusti Nyoman Lempad adalah salah satu seniman dari generasi Pita Maha, karya-karyanya menampilkan transformasi estetik seni rupa Bali pasca Hindu ke seni lukis Bali yang lebih modern.

Kemodern seni lukis Bali Pita Maha yang ditandai dengan merebaknya bentuk-bentuk realis, sebetulnya tetap memiliki keterkaitan dengan konsepsi dasar dalam kesenian Bali yang bersumber dari spirit Hindu Bali. Dalam konsepsi seni tradisional Bali sesungguhnya ada spirit “menampakkan” (merealisasikan) sesuatu yang abstrak, imajiner, ke dalam wujud nyata. Dapat dilihat pada wujud representatif dalam kaitannya dengan agama Hindu di Bali seperti, patung Dewa-Dewa, Barong dan Rangda. Wujud-wujud yang disakralkan oleh masyarakat Bali tersebut adalah sebentuk usaha merealisasikan sesuatu yang abstrak dalam agama Hindu Bali. Wujud-wujud tersebut bersifat representatif dan mengandung makna simbolik. Karena itu kecenderungan realistik dalam seni rupa (tradisi) Bali, namun realisme tradisional itu tidak berdasarkan pada kaidah mimesisme Barat (Plato dan Aristoteles) yang menjadi dasar pada perkembangan realisme di Barat.

Wujud-wujud realistik dalam seni rupa Bali berperan hanya sebagai jalan atau perantara bagi pemahaman tentang konsep-konsep (dalam Hindu Bali). Dalam konteks ini realitas tidak mengandung konsep tentang material, namun realisasi konsep yang bersifat abstrak, imajiner. Konsep inilah yang mendasari perkembangan seni realistik di Bali pada seniman Pita Maha dan turunannya. Ini dapat dilihat dari konsentrasi karya-karya mereka umumnya bukan pada kesadaran formal dan bahasa rupa, namun pada narasi yang dikandung di dalamnya.

(30)
(31)
(32)

gerakan estetik yang besar ini telah memberikan kontribusi bagi perkembangan seni rupa Bali. Menandai hadirnya kesadaran profesi seniman individual, gelombang kreativitas yang terus berlanjut dari masa ke masa hingga saat ini. Pita Maha sebagai institusi seni rupa memberikan kontribusi besar dalam perkembangan seni rupa Bali. Masuknya arus modernisasi yang dibawa oleh kolonial Belanda bersama kaum orientalis yang meliputi para antropolog dan juga seniman-seniman Barat serta kesadaran Raja Ubud untuk melakukan perubahan dengan mengadopsi modernisasi, menegaskan arus perubahan tersebut. Setelah ditinggal Bonnet dan Spies tahun 1942 pameran bertajuk Pita Maha terhenti, namun kreativitas para senimannya tetap berjalan. Setelah kedatangan kembali Bonnet ke Bali pada tahun 1946, bersama Cokorda Gede Agung Sukawati sepakat membangun sebuah museum seni lukis dan patung. Untuk mendokumentasikan karya-karya maestro seniman Bali. Tahun 1953 dimulailah proyek pembangunan museum Bonnet bersama Gusti Nyoman Lempad merancang bangunannya. Pembangunannya diselesaikan secara bertahap, tahun 1956 bagunan utama museum Puri Lukisan selesai dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan Repubik Indonesia Muhammad Yamin (Jean Couteau, 1999).

Pasca Pita Maha: Geliat Kreativitas Tiada Batas

Setelah berdiri museum Puri Lukisan, kreativitas pelukis di seputaran Ubud semakin dimanis. Tahun 1960an para seniman berinisiatif mendirikan sebuah kelompok bernama ”Golongan Pelukis Ubud”. Beberapa anggota kelompok ini diantaranya: A.A. Sobrat, Dewa Nyoman Leper, Ida Bagus Made, Wayan Turun, I Regig, Nyoman Madya, A.A. Raka Puja, A.A. Raka Turas, Dewa Putu Bedil, A.A. Gede Meregeg, Made Sukada, dan puluhan pelukis lainnya.

Perkembangan berikutnya kelahiran seniman (pelukis dan pematung) semakin massif, sehingga melahirkan masab dan sub-sub mazab di masing-masing daerah seperti Kutuh, Tebasaya, Padangtegal. Lahir juga gaya Keliki dengan lukisan khas ukuran kecil, penggambaran alam di Pengosekan. Batuan pun mengalami perkembangan yang semakin dinamis dengan pemakaian warna-warna khas.

(33)

1961 muncullah kelompok pelukis muda ”Young Artist” di Penestanan yang rata-rata berumur belasan tahun. Dibawah asuhan Arie Smit, anak-anak Penestanan dengan piawai memainkan warna-warna yang cerah sesuai ekspresi mereka anak-anak yang penuh dengan keriangan dan keceriaan.

Desa Mas Sebagai Basis Perkembangan Seni Patung Modern

Pita Maha sejatinya tidak hanya memamerkan karya-karya seni lukis saja, tetapi juga seni patung yang sama-sama digolongkan dalam kategori seni plastis yang tengah berubah. Selain itu juga seni gambar Prasi, Perak dan Emas, Keris dan juga Kain. Perkembangan seni patung saat itu juga tengah melahirkan terobosan dari pakem-pakem tradisi Bali. Tokoh yang dikenal mengawalinya adalah Ida Bagus Nyana dari Griya Mas dan sosok I Nyoman Tjokot (Tegallalang, 1886-1971) sebagai figur yang cukup unik.

Tahun 1928 atas anjuran dari Walter Spies Ida Bagus Nyana (Mas, 1912-1985) mulai penyederhanakan kayunya dengan amplas, beliau untuk pertama kalinya terkesan oleh serat kayu yang makin lama diperhatikan makin indah kelihatannya. Terdorong oleh hal itu beliau mulai mencoba membuat patung tanpa busana sama sekali berupa raksasa yang duduk terlingkup yang memperlihatkan serat-serat kayunya dengan gemilang. Penemuan tersebut sangat dikagumi Spies dan lahirlah jenis patung baru yang kemdian dinamakan “pepulungan” disebabkan oleh kepolosannya. IB. Nyana yang juga merupakan anggota Pita Haha memiliki kedekatan dengan W. Spies, sehingga tidak dapat dipungkiri W. Spies juga berperan dalam mendorong proses kreatif Nyana.

(34)
(35)
(36)

Lapisan generasi berikutnya dapat dilihat pada sosok anak dari Ida Bagus Nyana yaitu Ida Bagus Tilem (Mas, 1936-1993) yang mewarisi dasar dan teknik mematung dari ayahnya Tilem yang mengembangkan kreativitas yang membawa seni patung Bali bergerak jauh dari narasi tentang mitologi Hindu menjadi narasi kehidupan sehari-hari. Tidak saja dalam narasi, tapi Tilem juga mengembangkan kreativitas eksplorasi bentuk yang untuk selanjutnya menjadi acuan bagi seniman-seniman di daerah Mas khususnya yang sebagian besar pernah menjadi tenaga kerja (artisan) di studionya. Menurut Jean Coeteau, “ dalam karya Tilem ada perenungan, atau pemikiran, ada tema-tema yang abstrak tidak lagi pada narasi”. Mode pemiuhan dari IB. Nyana (pemanjangan atau pemendekan) kemudian diteruskan dan diperkaya oleh murid-murinya dan terutama anaknya sendiri yaitu Ida bagus Tilem.

Geliat kreativitas para pematung asal Gianyar semakin banyak, mulai dari Desa Mas Ubud dan sekitarnya. Beberapa diantaranya seperti: I Wayan Mudana, I Ketut Geledih, I Made Gara, I Ketut Widia, I Wayan Darlun, I Wayan Balik Kumara, I Rema. Jejak-jejak ekspresif dengan merespon akar, batang, atau fosil kayu yang telah lapuk dapat dilihat dalam karya-karya I Made Sama dan Wayan Modern dari Belahbatuh dan juga I Nyoman Jedeg. Hingga kini desa Mas, Sakah, Sumampan hingga desa Buruan Belahbatuh dikenal sebagai pusat lahirnya pematung-pematung kayu yang inovatif dengan kreativitas tinggi.

Sedangkan gaya Tjokot selain diteruskan oleh anak-anaknya ada Ketut Nogos bersama saudaranya. Juga dikembangkan oleh Wayan Cemul dari Ubud dalam material Batu Padas. Serta pada sosok I Made Sukanta Wahyu dari Banjarangkan Klungkung dengan karya patung berpahatan kasar memiliki kacenderungan seperti gaya I Nyoman Tjokot.

(37)

Selain itu Singapadu juga terkenal dengan seniman pembuat Barong yang berpusat di Puri Singapadu, dan Topeng I Ketut Tangguh.

(38)

Ubud-Gianyar Sebagai Basis Kepranataan Seni Rupa Bali

Seni rupa Bali berkembang dan berevolusi didukung oleh hadirnya infrastruktur pendukung seperti arsthop, galeri, pasar seni dan museum serta jaringan pemasaran dan promosi hingga keluar negeri. Daerah Sanur telah lama menjadi basis pemasaran bagi karya seni rupa di Bali, sebelum perang dunia I telah ada artshop yang dibuat oleh Hans dan Roft Neuhaus bersaudara asal Jerman yang dikenal oleh masyarakat Sanur sebagai Tuan Be (Ikan) karena ia memiliki aquarium besar di dalam tokonya. Tahun 1932 berdiri Museum Bali yang digagas oleh W.F.J. Kroon yang saat itu menjadi Asisten Residen Bali Selatan, berdasarkan keputusan komite Walter Spies didaulat menjadi kurator (John Stowel, 2011).

Kemudian disusul dengan hadirnya organisasi Pita Maha tahun 1936, saat itu Sanur dan Denpasar khususnya di dekat Bali Hotel adalah pusat pemasaran seni rupa. Semua ini memberi ruang pada tumbuhnya eksistensi seniman Bali, yang sebelumnya hanya berkarya untuk kepentingan persembahan kehidupan religi Hindu. Hadirnya ruang eksistensi ini menyebabkan lahirnya kesadaran berkarya untuk kepentingan ekspresi dan kepentingan ekonomi dari menjual karya. Dibarengi pula dengan kesadaran eksistensial jatidiri sebagai seniman yang memiliki idealisme berkesenian.

Telah disebutkan, sejak menguasai Bali di awal abad ke 20 pemerintah kolonial Belanda telah membuat serangkaian program yang intensif untuk pengembangan dan mempromosikan seni budaya Bali khusunya seni rupa dalam serangkaian pameran (Balische Kunst). Berikutnya dalam waktu yang relatif pendek, saat Jepang menguasai Indonesia secara militer. Pemerintah Dai Nippon juga membuat kebijakan dalam mendukung seni budaya Indonesia dengan mendirikan Keimin Bunka Sidoso.

(39)

yang dilaksanakan oleh pemerintah Jepang melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dalam bukunya “The Darkside of Paradise” Robinson hanya mencatat kegiatan Jepang dalam mengangkat seni drama sebagai media propaganda untuk mendukung kepentingan Jepang.

Tahun 1950an G. Koopman dan Jimmy Pandy mendirikan Sindhu Art Gallery bersama Rudolf Bonnet dan dibantu oleh IB. Tilem dalam mengontrol kualitas estetik karya-karya yang dipasarkan. Selanjutnya kepranataan seni rupa Bali semakin tumbuh subur dari tahun 1980-an mengiringi boming pariwisata. Ditandai dengan kehadiran galeri yang dikelola oleh putra Bali seperti; Neka Galeri, Barwa Geleri, Rudana, Agung Rai dan berikutnya Tama Galeri Komaneka Gallery, Sika Gallery, Tonyraka Art Gallery, dan telah tumbuh lebih banyak lagi. Galeri-galeri itulah yang selama ini memamerkan karya-karya seniman Bali, bahkan seniman Nasional dan Mancanegara. Mereka menjadi tulang punggung pergerakan dan perkembangan seni rupa melalui jalur eksposisi dan juga apresiasi yang berimplikasi besar pada penjualan karya. Karena tanpa apresiasi dan penjualan karya seni, seniman sebagai insan kreatif tak mungkin bisa sepenuhnya hidup dengan kreativitas dan terus-menerus berinovasi.

Serta lahirnya inisiatif membangun museum pribadi seperti Neka Art Museum, Agung Rai Museum (ARMA), Rudana Museum, Museum Klasik Nyoman Gunarsa di Klungkung, Museum Sidik Jari Gusti Ngurah Gede Pemecutan di Denpasar dan lainnya. Museum-museum ini merupakan inisiatif yang luar biasa dalam mendokumentasikan dan merekam secara nyata karya-karya seniman, dan tonggak-tonggak perkembangan sejarah seni rupa Bali.

4. Pertumbuhan Generasi Akademis Seni Rupa Modern dan Kontemporer Bali

(40)

Karya I Nyoman Tusan (Singaraja)

(41)

Karya I Wayan Kaya (Gianyar)

(42)

Awal perkembangan generasi akademis ini dapat dilihat dalam sosok dan karya-karya almarhum I Nyoman Tusan yang menempuh pendidikan seni rupa di ITB Bandung 1954-1960. Jurusan Seni rupa Institut Teknologi Bandung I Nyoman Tusan menyerap kaidah-kaidah formal, dan digabungkan dengan simbol-simbol budaya Bali yaitu; lamak (tamiang), cili. Karya-karyanya menampilkan komposisi garis, bidang-geometris, warna dan tekstur. Generasi berikutnya dari ada A.A. Rai Kalam dan Wayan Cidera.

Kemudian berlanjut dengan kehadiran lebih banyak lagi seniman Bali yang mengenyam pendidikan seni rupa di ASRI atau Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, seperti diantaranya adalah; Wayan Kaya, Ni Made Kajeng, kemudian I Nyoman Gunarsa, Pande Supada dan lainnya. Seniman Bali akademis yang tumbuh antara tahun 1970-1990-an ini, dengan sadar melakukan pencarian pada unsur-unsur rupa dalam budaya tradisi yang berlandaskan pada religi Hindu Bali. Mereka tumbuh dari dunia akademis dimana mereka diperkenalkan dengan kaidah-kaidah formal dan estetika seni rupa modern. Abstraksi I Nyoman Tusan tumbuh dari lembaga ITB yang terkenal sangat kuat menanamkan nilai-nilai formal, namun seperti generasi dari ASRI/ISI Yogyakarta, seniman Bali modern dari akademis tetap menampilkan pencarian pada konteks tradisi dan identitas kelokalan.

(43)

Singaraja juga hadir SMSR dan SMIK yang kini telah menjadi SMK Negeri 1 Sukasada. Selain itu juga sekolah menengah seni rupa dan kriya swasta di daerah Mengwi Badung, yaitu ST. Ukir dan SMSR Tangeb di tahun 1980-an, lahir juga ST. Ukir di Penarungan.

Pendidikan tinggi seni pun berdiri, mulai dari ASTI/STSI dan PSSRD Unud yang tahun 2004 kemudian bergabung menjadi FSRD ISI Denpasar. Kehadiran jurusan Seni Rupa IKIP Singaraja (sekarang Jurusan Pendidian Seni Rupa-Universitas Pendidikan Ganesha), IKIP PGRI hingga kini juga hadir jurusan Pendidikan Seni dan Ornamen di UNHI.

Melalui pendidikan akademik inilah anak-anak muda Bali yang sedari kehidupan sosialnya sudah akrab dengan seni dan juga seni rupa dididik lebih khusus lagi pemahaman dan wawasan seninya secara terstruktur. Sehingga diharapkan melalui merekalah lahir kesadaran tentang pentingnya warisan masa lalu, untuk kehidupan masa kini dan terlebih lagi di masa yang akan datang. Kesadaran akademik dapat menempatkan praksis yang awalnya bersifat natural menjadi lebih bermakna lagi, terutama menyadarkan masyarakat luas akan pentingnya potensi kesenian dan kebudayaan bagi kehidupan.

(44)
(45)
(46)

II

MEGA EKSPOSISI & KESADARAN MODAL KULTURAL

1. Nukilan Seni Lukis Bali Dalam Karya Kolektif 1000 Meter Kabupaten Gianyar

Tahun 2015 ini bertepatan dengan ulang tahun ke 244 kabupaten Gianyar, digelarlah acara melukis bersama sepanjang 1000 meter. Sebuah pameran akbar yang menampilkan segenap potensi kebudayaan di daerah Gianyar melalui kreativitas seni rupa. Acara ini tidak dimaksudkan hanya menghadirkan sensasi semata, namun sebuah acara eksposisi (presentasi) yang dilatarbelakangi pemikiran untuk memperkenalkan kembali potensi kesenian dan kebudayaan Bali melalui medium seni lukis. Di dalam karya-karya juga menampilkan nukilan seni rupa Bali berdasarkan basis konsep kesejarahan yang tak biasa, berdasarkan pembacaan estetika rupa yang digali dari khasanah pemikiran Bali sendiri.

(47)

karena dibutuhkan cara pandang berbeda melihat perkembangan seni rupa Bali. Yaitu sebuah pandangan dari dalam, yang menempatkan seniman Bali sebagai subjek bukan semata-mata objek yang tak berkehendak.

Sebagai subjek, seniman Bali sejatinya menyadari alur pergerakan artistik yang mereka lahirkan. Walaupun seolah-olah mengalir, mereka dituntun oleh konsep estetik yang berasal dari genetika (meme) kebudayaan Bali. Gen-estetik yang lahir dari evolusi dan transmutasi yang sebetulnya eklektik, tetapi berhasil diejawantahkan dalam rasa seni yang khas. Rasa inilah yang menjadikan kesenian dan seni rupa Bali unik dan khas. Ambil contoh dalam seni lukis karya maestro Lempad, jika ditelisik pada alur kreativitasnya sangat jelas menunjukkan sebuah evolusi estetika yang berasal dari seni tradisi wayang dan ornamen. Walaupun secara bentuk, kehadiran wujud realistik sering kali dikaitkan dengan pengaruh dari seniman Barat seperti Walter Spies.

Sekali lagi stigma tersebut terjadi karena orang-orang membaca seni rupa khususnya seni lukis Bali hanya dari turunan seni lukis wayang. Wayang tidaklah realis dan dalam konsep wayang memang sengaja tidak dilatarbelakangi oleh pemikiran realis. Tapi bukan berarti seniman Bali atau seniman Nusantara lama tidak mengenal realisme. Dan perlu dipahami kehadiran seni lukis dalam konteks lokal bukanlah seni yang berdiri sendiri. Namun berkaitan dengan aspek seni lainnya seperti seni patung (arca) seni bangunan, seni hias (ornamen) karena itu profesi kemasteran dalam seni rupa disebut undagi. Seniman Bali sejatinya tidak terspesialisasi dalam disiplin yang tunggal, artinya pelukis hanya tahu dan bisa melukis saja. Dalam kenyataannya dari dahulu dan sampai sekarang, seorang pelukis di Bali bisa membuat patung, mengukir, membuat Bade, Lembu dan bahkan juga kerap menari (menjadi pregina).

(48)

dengan waktu singkat dapat mendemonstrasikan kepiawaiannya membuat bentuk realis kepada seniman Barat seperti Spies. Membuat orang Barat terkaget-kaget karena seniman yang seolah-olah dimata mereka hanya bisa membuat seni ikonik-wayang, tiba-tiba membuat representasi baru yang dekat dengan persepsi bentuk yang mereka jalani. Itulah salah satu keunikan dan kekhasan seni rupa Bali, yang oleh Covarrubias dikatakan bahwa setiap orang di Bali adalah seniman.

Even akbar kali ini akan menunjukkan kenyataan tersebut, segenap seniman Bali khususnya di Gianyar dikerahkan untuk berkarya bersama. Kebersamaan ini juga yang membedakan persepsi bahwa seniman modern-kontemporer adalah seorang individualis. Seni rupa Bali ingin menunjukkan fakta lain, bahwa menjadi modern yang melahirkan kekhasan dan ekspresi pribadi bukan berarti kemudian harus mencerabut diri dari kesadaran kolektif. Menjadi individu yang seutuhnya bukan harus kemudian menjauhkan dan membuat jarak sosial dengan yang lain, dan kolektivitas tidak serta merta membunuh karakter personal. Intinya menjadi manusia modern dan masa kini bukan berarti harus melupakan masa lalu. Spirit inilah yang diusung dalam kebersamaan melukis bersama 1000 meter, yaitu spirit aku dan kita yang dinaungi kosmologi Bali.

Berdasarkan konsep kosmologi, seni rupa Bali telah memiliki alur perkembangan yang evolutif yang jejak-jejak genetika estetiknya dapat dilacak berasal dari tradisi Rerajahan, Sastra Modre, ikonik-Wayang dan Ornamen (ukiran). Tradisi rerajahan membawa kesadaran garis yang kuat, seniman Bali terbiasa dengan garis, gurat, sejak lahir bahkan masih dalam kandungan manusia Bali telah dirajah. Rajah

(49)
(50)

Rarajahan dan sastra seperti modre sejatinya juga adalah sarana untuk mengejawantahkan energi alam. Modre seperti hanya kaligrafi Jepang dan Cina, yang pada dasarnya adalah mengekspresikan kesadaran diri dalam merasakan alam, merasakan energi-energi kosmis. Rasa itulah yang kemudian diwujudkan melalui goresan. Garis adalah satu-satunya elemen dasariah yang menjadi penyebab lahirnya wujud. Tanpa garis niscaya tidak akan ada wujud, karena itulah garis dalam tradisi Bali menjadi elemen penting. Bukankah perumusan seni rupa secara modern akademis juga kemudian meletakkan garis menjadi elemen utama dasariah eksplorasi dan inovasi perwujudan seni rupa. Hal ini terbukti dengan diajarkannya Nirmana dan Drawing sebagai bagian dari kurikulum internasional pembelajaran seni rupa di pendidikan seni di seluruh dunia. Dalam pelajaran nirmana, siswa atau mahasiswa diajarkan memperkuat kesadaran garis dengan mengulang-ulang hingga menjadi otomatis.

Sementara wayang mendasari kesadaran naratif, atau pola bertutur pada seni rupa Bali. Sehingga seabstrak apapun karya seni lukis seniman modern Bali, kecenderungan naratif tidak pernah bisa ditanggalkan. Dalam tataran minimalis, narasi hadir dalam tatanan simbol dan ikon. Jadi menimbang posisi wayang sebagai dasar, seharusnya jangan dilihat dari ketradisionalan wujudnya semata, tetapi konsepsi dasar yang ada pada seni wayang seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

(51)

hiasan dari yang terkecil sampai yang gigantik. Begitu juga bangunan arsitektural penuh dengan ornamen, bangunan dan patung yang sudah penuh dengan hiasan misalnya pada hari-hari piodalan malah dihias lagi diisikan wastra dari kain. Kecenderungan menghias sudah mendarah daging di Bali, tapi bukankah itu adalah potensi, karena di sanalah kreativitas selalu bergulir tiada henti seperti lingkaran samsara.

Aspek-aspek itulah potensi seni rupa Bali, mendasari kreativitas namun karena begitu terbiasanya dan telah mendarah daging seniman Bali sering taksadar. Tidak menyadari dengan baik kekuatan dasarnya, dan terbawa arus yang tak menentu. Bagaikan terbawa arus gelombang air, sering kali baru sadar saat membentur sesuatu atau saat hampir tenggelam. Bukankah potensi dasar itulah yang menjadikan Bali unik dan menjadi stigma, namun stigma seringkali menghanyutkan membuat lupa. Sebagai insan kreatif, seniman adalah motor penggerak kebudayaan. Dengan kekhusukannya pada waktu, seniman harusnya dapat melihat kenyataan secara lebih jernih. Potensi kebudayaan Bali terutama dalam keseniannya inilah yang menjadi spirit dalam acara akbar ini, mengajak segenap insan kreatif menggali dan mengetengahkannya kehadapan masyarakat umum. Menyadarkan bahwa inilah kekayaan kebudayaan yang kita miliki bersama, dengan kekuatan inilah kita dapat membangun kesadaran dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Tema-Tema Lukisan

Seni rupa Bali telah dikenal memiliki alur perkembangan yang berbeda dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Seni rupa Bali berkembang dalam alurnya yang bersifat evolutif berdasarkan kearifan lokal. Estetika seni rupa Bali memiliki genetika-estetika yang berasal dari rerajahan, sastra-modre, ornamen (ukiran) dan wayang, serta nilai-nilai filosofi ajaran Hindu-Bali. Aspek-aspek tersebut sangat lekat dalam perkembangan seni rupa Pita Maha dan turunannya.

(52)

menampilkan pengaruh gaya-gaya modern. Namun pada tataran tema dan konsepsi karya-karya tersebut tak lepas dari khasanah ikonografi yang berasal dari empat aspek tadi, juga menggali nilai-nilai filosofi Hindu-Bali. Bahkan pada perkembangan yang paling kontemporer sejak satu dekade belakangan, karya-karya seni rupa kontemporer Bali tetap memperlihatkan keterkaitan dengan basis estetika seni rupa Bali.

Berdasarkan latar belakang tersebut, even akbar ini memberikan alternatif tema yang bersumber dari khasanah: Rerajahan, Sastra-Modre, Ornamen dan Wayang. Juga tema-tema yang bersumber dari khasanah kebudayaan Bali masa lampau, seperti cerita Babad, Legenda. Situs-situs peninggalan sejarah khususnya di daerah Gianyar, berupa pura yang terbentang dari Tampaksiring, Pejeng, Bedulu, Belahbatuh, Keramas, Sukawati hingga Batubulan. Serta tak menutup kemungkinan tema-tema sosial budaya yang dikemas secara kritis.

2. Basis-basis Perkembangan Seni Rupa Gianyar Dalam Karya Kolektif 1000 Meter

Pemetaan potensi seni rupa yang berada di daerah Gianyar diwujudkan dengan menggalang kebersamaan melalui melukis bersama ini. Acara ini dimaksudkan untuk menggugah kembali semangat kreativitas pada basis-basis perkembangan daerah, yang dibeberapa daerah kini mulai tidak dinamis lagi. Seniman yang dulunya aktif berkarya banyak “yang gantung kuas” (menyimpan kuas dan warnanya), beralih kepekerjaan lain. Melalui acara ini potensi-potensi kreatif yang terpendam, dicoba untuk dibangkitkan kembali melalui rasa kebersamaan.

(53)

Peliatan dengan langgam naturalis Pengosekan, serta mazab Batuan khas dan terus berkembang dinamis hingga kini. Hingga kekayaan potensi cagar budaya Pura-pura Kuno di sepanjang Das Pakerisan yang akan diangkat oleh para seniman Tampaksiring.

Perkembangan berikutnya di Gianyar juga telah lahir seniman-seniman modern akademis, dalam even ini mereka akan mengelaborasi dengan interpretasi subjektif dan kritis, segenap potensi budaya tersebut melalui ekspresi dan langgam lukisannya masing-masing.

Tidak hanya terkonsentrasi pada pemetaan Gianyar sebagai basis perkembangan seni rupa, mega even ini juga mencoba memetakan potensi intrastruktur seni yaitu lembaga seni rupa sebagai penopang secara akademik segenap potensi yang ada. Untuk itu even ini mengundang lembaga seni rupa ikut terlibat mulai dari sekolah menengah seni rupa SMKN 1 Sukawati (SMSR), kampus seni mulai dari ISI Denpasar, UHNI dan IKIP PGRI.

Dokumentasi Proses

(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)

III

SENI RUPA GIANYAR

APRESIASI, HARAPAN & TANTANGAN

Warih Wisatsana

(Budayawan & Sastrawan tinggal di Denpasar)

Dunia seni rupa Gianyar sesungguhnya memiliki segalanya, para maestro lampau yang mewarisi tradisi penciptaan yang gemilang juga seniman-seniman modern kini yang cemerlang. Sejarah panjang seni-seni tradisi, termasuk seni-seni lukis berikut seni-seni visual lainnya, bukan hanya bersanding secara selaras dan dinamis dengan seni modern yang datang belakangan, melainkan saling memberi arti serta melahirkan aneka kemungkinan penciptaan.

(66)

AYO BANGKIT BELAJAR DARI TRADISI DAN ALAM SEMESTA

Melani Setiawan

(Seorang Dokter yang Mencintai Seni Rupa tinggal di Jakarta)

Bali menyimpan kekayaan budaya yang tiada dua, di antaranya seni lukis mazab Ubud dan Batuan yang menyimpan rahasia ulung tradisi dan semesta alamnya yang cantik. Lukisannya detail dan berlapis, memiliki nilai filosofi kehidupan bersahaja, seirama dengan ketekunan, setangguh akan keyakinan, indah dan puitis. Pokoknya unik dan menjadikan Bali kian romantik.

Hal ini tentu menjadikan Bali sebagai salah satu pilar seni rupa Indonesia. Warisan kekayaan budaya yang tidak akan mampu terkalahkan oleh seni-seni terbaru. Tidak hanya seni rupa tetapi juga seni tari, seni musik dan nilai-nilai apapun yang menjadikan kita nyaman dan rindu akan anugerah keindahan.

Namun sayang sungguh disayang di era mutahir ini generasi muda kerap melenceng dari kearifan tradisi dan budaya. Tidak sedikit dari mereka ikut-ikutan dalam menyederhanakan tradisi menggantikannya seperti memencet tombol mesin-mesin otomatis. Selera instant nampaknya menjadi pilihan pintas untuk sebuah industri dari kekuatan moderenitas. Barangkali mereka memang belum sadar kalau akar tradisi merupakan inspirasi terbesar dari proses perjalanan kehidupan.

Dalam kondisi dan perilaku yang berlarut seperti ini, bisa saja generasi muda terkini akan kehilangan makna dari kesejatian cinta dan hidup bersahaja, karena ada hawa nafsu dari perilaku mesin yang perlahan akan menggerus mental dan rasa asih, asah, dan asuh.

Maka mari tingkatkan kesadaraan menumbuh kembangkan seni lukis tradisi sebagai upacara hati untuk kembali menempatkan talenta rasa dan jiwa bersama kemuliaan alam. Menarik garis satu persatu lalu mewarnainya dengan pewarna alam, menoreh kisah demi kisah sehingga terbingkai estetika cerita adalah suatu peradaban yang mahal dan peristiwa ini kelak akan memberi kekuatan rasa dan jiwa.

(67)

Made Muliana “Bayak”

(Perupa Kontemporer menetap Guwang & Aktivis Lingkungan)

Gianyar telah lama terkenal sebagai gudangnya seni dan seniman, tapi demikian banyaknya karya seni dan seniman, masih sedikit yang menjadikan praktek seni dan kesenian itu sebagai sebuah pelayanan terhadap lingkungan dan masyarakat dalam beberapa hal. Untuk sebuah gerakan sosial dan budaya, seni menjadi sangat penting ketika semua larut dalam pragmatisme hidup. Di Gianyar Belum banyak karya seni dan seniman yang menyuarakan kesadaran kolektif atas apa yg terjadi di masalalu, kini dan nanti. Padahal dalam masyarakat yang berkembang, kesenian selain memberi keuntungan materi semestinya memberikan sumbangan yang besar pada sistem pendidikan, lingkungan, politik, sosial dan budaya, sehingga bisa menjadi cermin kesadaran bagi kemjuan generasi masa depan.

I Wayan Santrayana, S.Pd., M.Pd. (Pelukis & Pengajar SMKN 1 Sukawati)

Menurut saya pribadi program melukis 1000 meter ini sangat bagus sebagai media komunikasi, baik antara seniman pemula maupun senior dalam rangka menyatukan persepsi memposisikan diri dalam perkembangan seni rupa di Bali dan Gianyar khususnya. Kedepannya saya harapkan perhatian pemerintah Gianyar tetap berlanjut dan berkala dalam memfasilitasi dan berkontribusi dalam acara seperti ini karena kesenian adalah nafas dari kabupaten Gianyar. Hal ini tentu membutuhkan management yang baik dan profesional untuk menuju pelaksanaan yang lebih baik kedepannya.

(68)

Putu Fajar Arcana

(Sastrawan asal Bali, tinggal di Jakarta,Wartawan senior Kompas)

Secara keseluruhan para pelukis Bali sejak Pita Maha sampai generasi terkini, tetap setia dengan tahapan-tahapan melukis yang begitu rumit. Mereka terbiasa membuat sket dari pensil, kemudian dengan media yang sama pada bidang-bidang sket diberi sentuhan terang-gelap, sebelum akhirnya ditimpa dengan tinta. Sampai tahap ini lukisan sudah jadi dalam bentuk hitam putih. Tinggalah kemudian tahap paling akhir memberi warna-warna transparan, sehingga arsiran terang-gelap membentuk kontur yang sangat detail. Dalam melukis daun misalnya, para pelukis Bali akan mengerjakannya satu persatu, sehingga penggambaran daun benar-benar detail. Pada lukisan Bali masa ini tidak pernah ditemukan para pelukis bekerja langsung dengan cat, sebagaimana kemudian kita temui pada generasi pelukis Bali lulusan sekolahan.

Dipetik dari Lukisan Bali, Pengabdian dan Penghambaan dalam Buku Perjalanan Seni Lukis Indonesia; Koleksi Bentara Budaya terbit 2004

Wayan Karja, MFA

(Pelukis dan Dosen FSRD ISI Denpasar)

(69)

Dewa Ola

(Pelukis Muda Pengosekan, Ubud)

Even ini dapat dikatakan sebagai sebuah karya besar, bayangkan saja bahwa lukisan memiliki panjnag 1000 meter dengan gaya yang beragam. Kebanyakan teman-teman pelukis ikut berpartisipasi karena even ini dalam program pemerintahan daerah merupakan hal yang baru. Sehingga rasa ingin tahu teman-teman perupa yang besar walaupun dalam hal timbal balik terhadap seniman masih belum jelas, apalagi dihadapkan dengan waktu yang relatif cukup singkat. Even ini juga dipandang sebagai sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya namun dimasa mendatang tentunya harus dipersiapkan dengan lebih matang lagi. Akan lebih baik jika pada tahun-tahun mendatang dana dialokasikan untuk membuat pameran besar semacam Bienale, even yang nantinya dapat menjadi barometer perkembangan seni rupa Bali. Dan bergaung secara nasional dan internasional, karena Bali punya potensi untuk itu, tinggal keseriusan pemerintah untuk mendukungnya.

Dewa Rai Sutrisna

(Kepala Desa Tegalalang)

Even ini luar biasa. Mudah-mudahan menjadi hal yang positif bagi para seniman lukis dan peserta lukis 1000 meter di Tegalalang menyambut sangat antusias. Harapannya kedepan adalah Gianyar sebagai Kota Seni di Bali dalam ajang ulang tahunnya sudah tentu harus memperhatikan seniman, terlebih seni rupa. Di Gianyar, jumlah museum seni cukup banyak namun milik Swasta (pribadi), alangkah baiknya jika di Kota Seni ini, pemerintah daerah mempunyai museum seni rupa sebagai media antara pelukis Gianyar dan masyarakat, selain itu adanya galeri yang mewadahi karya seniman dan juga even seperti

workshop seni. Pada intinya agar karya-karya yang berkualitas dari

(70)

Wayan Sujendra

(Ketua Batur Ulangun (Himpunan Pelukis Batuan)

Sebenarnya seluruh peserta yang ikut dalam even ini menyambut positif, sebab dari awal perkumpulan ini misinya ingin melestarikan seni lukis Batuan. Lebih dari pada itu, para pelukis juga ingin memperkenalkan seni lukis Batuan di Gianyar, walaupun bertaruh dalam hal menyelesaikan karya. Karena dari sekian peserta dari Batuan ada yang melukis secara tradisi dengan tata cara tradisi yang memerlukan waktu lebih lama, tentu saja hal itu merupakan sebuah pertaruhan nama besar jika tidak terselesasikan tepat waktu. Karena Batuan mempunyai karakteristik tradisinya tersendiri, jadi ini seperti identitas kedaerahan yang kami bawa sebagai duta ke Kota Gianyar. Harapannya, pemerintah dapat lebih memperhatikan seniman dengan cara membangun fasilitas pameran yang memenuhi standar, promosi even berupa pameran reguler bertaraf nasional dan internasional, yang terpublikasi dengan baik.

Made Suwisma

(Koordinator pelukis Tampaksiring)

(71)

Nyoman Erawan

(Perupa dari Sukawati)

Dalam sejarahnya seni rupa Bali tumbuh dari bawah, Pita Maha lahir dari pedesaan Ubud, Batuan dari seniman-seniman alam para sangging

dan undagi. Mereka sebetulnya adalah para master dengan keahlian tinggi serta memiliki pengetahuan yang berasal dari kearifan lokal. Kalaupun kemudian mereka mengalami evolusi perkembangan menjadi lebih modern, dengan karya yang menampilkan ekspresi individu namun bukan berarti meninggalkan akar. Justru sebaliknya, mereka mengembangkan ekspresi baru dari dasar pijakan yang jelas dan kuat, sehingga karya-karya yang lahir sangat inovatif sekaligus juga mengakar.

Kemudian ketika zaman berkembang, pendidikan modern pun hadir, lahirlah seniman akademis. Namun lagi-lagi mereka tak pernah merelakan diri terbenam dengan gaya dan estetika universal (Barat), laju kreativitas mereka tak dapat lepas sepenuhnya dari ikatan nilai-nilai dari kearifan lokal Bali khususnya. Sehingga lahirlah sebentuk interpretasi baru terhadap nilai-nilai lokal tersebut, artinya Bali tidak serta-merta ditinggalkan dan ketika Barat dirangkul. Justru sebaliknya representasi alam Barat dipakai untuk memperkaya nilai lokal. Sehingga terjadi pengayaan yang luar biasa pada khasanah seni rupa Bali modern dan kontemporer.

Selama ini seniman, dan seni rupa Bali bergerak dengan jalannya sendiri dan mandiri, tanpa menunggu kepedulian pemerintah. Kini ketika pemerintah menyadari bahwa ada potensi luar biasa telah tumbuh secara mandiri, haruslah memperhatikan dengan seksama spirit dan daya kreativitas yang menyebabkan perkembangan itu terjadi. Sehingga pemerintah dapat menempatkan diri secara signifikan pada arus perkembangan itu, dan dapat memfasilitasi kreativitas yang luar biasa dari masyarakat seni rupa Bali. Khsusnya yang ada di Gianyar dengan program-program yang terstruktur. Medan seni rupa Bali kini membutuhkan wahana yang tertata, dengan perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang, karena kreativitas dalam berseni rupa dalam kenyataannya adalah entitas kehidupan yang membutuhkan energi dan nafas yang panjang.

(72)

DAFTAR PUSTAKA

A.A.M. Djelantik, Pengantar untuk Pameran Seni Patung I Ketut Muja Manunggal Dengan Alam, 23 Desember 1996, Art Center Denpasar Bali

Anak Agung Rai, Seni Lukis Bali Dalam Peralihan, Makalah Seminar Nasional Seni Rupa Dalam Khazanah Budaya dan Pijakan Tradisi, program Bali Act 2013 ISI Denpasar 18 Oktober 2013 Astri Wright, 1991-1992, Katalog Pameran Modern Indonesian Art,

Kerjasama Indonesia dengan Amerika Serikat (KIAS) Bernet Kempers,1991, Monumental Bali, Periplus Edition, Berkley Singapore

Claire Holt, 2000, Art in Indonesia: Continuities and Change (Melacak Jejak Perkembangan Kesenian di Indonesia (terjemahan RM. Soedarsono), Penerbit MSPI Bandung Nyoman Wijaya, 2012, Menerobos Badai, Biografi Intelektual

Prof. DR. I Gusti Ngurah Bagus, Pustaka Larasan & TSP Art and Science Writing the Hindu Centre Denpasar

Geoffrey Robinson, 2006, Sisi Gelap Pulau Dewata, (terjemahan Arif B. Prasetyo) LKiS Yogyakarta

I Gusti Gede Ardana, I Wayan Ardika dan I Ketut Setiawan, 2012, Raja Udayana di Bali (989-1011) Udayana University Press, Denpasar, hal.22-23

Jean Coeteau, 2003, Seni Rupa Bali Modern, dalam Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti Jogjakarta

John Stowel, 2011, Walter Spies a life in Art, Afterhours Books Jakarta Lombard, Denys,1996,Nusa Jawa: Silang Budaya, Penerbit Gramedia Jakarta

Jim Supangkat, 1999, Katalog Pameran Modernitas Indonesia Dalam Representasi Seni Rupa, Galeri Nasional Indonesia Jakarta Suamba, IB. Putu, 2003, Estetika Hindu dan Banguna Bali, Program

Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma, Denpasar Bali, Penyunting Ida Bagus Yudha Triguna

Kusnadi, 1991-1992, Katalog Pameran Modern Indonesian Art, Kerjasama Indonesia dengan Amerika Serikat (KIAS)

I Ketut Adhimastra, Arsitektur Bali Purba, Konsep & Perwujudannya Jurnal Anala Volume 1 No.6 Des 2010, Program Studi Arsitektur

Fakultas Teknik Universitas Dwijendra

Referensi

Dokumen terkait