• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Perjanjian Internasional Ratifik (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Perjanjian Internasional Ratifik (1)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I RATIFIKASI 1.1 Pengantar Ratifikasi

Pada dasarnya kata ratifikasi tidak sesederhana mengartikannya sebagai sekedar pengesahan atau penandatanganan oleh kepala negara setelah persetujuan parlemen. Secara umum pengertian perjanjian internasional yang diterjemahkan secara berbeda-beda maka ratifikasipun mengalami hal yang berbeda dan berbagai versi. Titik berat dari pengertian ratifikasi yang dikemukakan di atas adalah pengesahan akhir dari amar perjanjian yang diberikan oleh masing- masing pihak pada draf perjanjian yang telah mereka sepakati dibabak- babak kesimpulan bersama beberapa catatan komentar yang diperlukan termasuk didalamnya pertukaran dokumen dari draf yang telah disahkan. Dalam rumusan Oppenheim Lauterpacht ini hanya menyangkut tiga poin penting yaitu; pengesahan terakhir, komentar yang diperlukan serta pergantian dokumen. Pada hal ratifikasi tidak hanya menyangkut hal-hal tersebut, tetapi lebih jauh dari itu adalah pengaruh dari perjanjian itu sendiri.1

1.2 Ratifikasi dalam konteks Hukum Nasional

Ratifikasi ialah pengesahan suatu perjanjian internasional oleh negara yang menandatangani perjanjian tersebut, sesuai menurut ketentuan –ketentuan konstitusi negara yang bersangkutan2 sehingga seringkali konteks ratifikasi di berbagai negara

mempunyai mekanisme yang berbeda-beda, di Inggris misalnya ratifikasi dilakukan dengan perbuatan pengesahan oleh Takhta Inggris (Ratu, Raja) sedangkan menurut konstitusi Amerika Serikat Ratifikasi dilakukan oleh presiden.3 Dengan demikian

jelas terlihat bahwa proses ratifikasi adalah sepenuhnya dari hukum nasional masing-masing negara menurut ketentuan-ketentuan konstitusi masing-masing-masing-masing. Untuk negara yang memerlukan ratifikasi guna pengesahan suatu perjanjian internasional dapatlah dikatakan bahwa ratifikasi diperlukan untuk mempertimbangkan lebih jauh apakah perjanjian internasional tersebut benar-benar diperlukankah, sebelum negara bersangkutan terikat kepada perjanjian tersebut.4

1 F.O. Wilcox, Harvard Law School, AJIL- Annual Journal of International Law, Vol. 29, 1935 2 Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, “Vienna Convention on the Law of Treaties: A

Commentary”, (Jerman:Springer,2012) Hlm 197

3Ibid. hlm 187.

4 Chairul Anwah, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, (Jakarta:Penerbiit

(2)

Mengenai ratifikasi ini suatu hal yang dapat dipersoalkan ialah, apakah terdapat suatu kewajiban hukum antara ratifikasi setelah suatu perjanjian internasional disepakati dan ditanda tangani.5 Ada pendapat yang mengemukakan bahwa walaupun

perjanjian internasional telah ditanda tangani, tidak terdapat kewajiban hukum untuk melakukan ratifikasi dari perjanjian tersebut, sedangkan yang ada hanya suatu kewajinan moral.

Pada umumnya suatu perjanjian internasional mulai berlaku pada tanggal perjanjian tersebut memperoleh ratifikasi. Tetapi terdapat perjanjian –perjanjian internasional sudah mulai berlaku pada tanggal perjanjian ditandatangani, tanpa memperoleh ratifikasi misalnya Anglo Japanese Treaty 1905 dan European Peace Treaties tahun 1947, dimana Finlandia, Bulgaria dan Italia melakukan ratifikasi, sedangkan Hongaria dan Rumania tidak melakukan ratifikasi. Hal lain yang dapat dipertanyakan ialah dalam berapa lama, ratifikasi harus dilakukan. Dalam hal ini jawabannya harus dicari dalam Pasal-pasal dari perjanjian itu sendiri, yang biasanya memuat ketentuan bahwa perjanjian akan diratifisir oleh pihak-pihak bersangkutan dalam waktu sesingkat mungkin. Seperti yang dinyatakan dala Pasal 14 Konvensi Wina, bahwa keinginan dari suatu negara untuk menandatangani suatu perjanjian internasional dengan syarat ratifikasi dapat terlihat dari kuasa penuh (full powers) dari wakil wakil resmi negara tersebutatau hal tersebut dinyatakan selama waktu perundingan.

Seperti telah dikemukakan pada berbagai teori bahwa selain proses ratifikasi itu rancu (bias) juga yang banyak mengalami benturan adalah kepentingan nasional (national interst) masing-masing negara. Sekalipun dalam perjanjian antara negara ada kerelaan melepaskan sedikit kedaulatan untuk kepentingan bersama, tetapi kepentingan nasional tetap berada diatas segalanya. Bahkan mengikat perjanjian adalah dalam rangka mengejar target kepentingan nasional. Dalam perjanjian internasional manakah yang lebih utama, kepentingan nasional (National interest) ataukah kepentingan bersama (cooperational interest)6

Jika dilihat dari perspektif konstitusi maka Sejarah perkembangan ratifikasi dalam konstitusi di Indonesia cukup unik dan menarik. Arti harfiah ratifikasi dalam

5 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, (Jakarta: Refika Aditama, 2014), hlm 48.

(3)

konstitusi Indonesia hanya diatur dalam Pasal 11 Undang -Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Itupun tidak disertai dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya selama perjalanan panjang berlakunya UUD tersebut. Memang dengan keluarnya UURI No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional telah ada pegangan yang lebih lengkap, namun sebelum itu ratifikasi justru menjadi senjata politik penguasa, baik di bawah rezim orde lama (Presiden Soekarno) maupun di bawah orde baru (Presiden Soeharto).7

Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 Tentang Perjanjian lnternasional, ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara

2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia 3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara

4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup 5. Pembentukan kaidah hukum baru

6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri

Secara umum proses penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang dalam pelaksanaannya terbagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu tahap Pra-Legislasi, tahap Pra-Legislasi, dan tahap Pasca Legislasi8 Pada tahap Pra- Legislasi dilalui

proses : (i) Perencariaan Pembentukan UU (RUU), (ii) Persiapan penyusunan RUU yang terdiri dari pengkajian, penelitian dan penyusunan naskah akademik, (iii) teknik dan mekanisme penyusunan RUU, (iv) Penyusunan RUU. Tahap Legislasi akan melalui proses (i) Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah, (ii) Pengesahan, penetapan serta pengundangannya. Sedangkan Tahap Pasca Legislasi akan melalui proses (i) Pendokumentasian UU, (ii) Penyebarluasan UU, (iii) Penyuluhan, (iv) Penerapan UU.

Paling tidak ada 2 konsekuensi penting yang harus dicermati sebelum

7Ibid,

(4)

mengesahkan suatu perjanjian internasional. Pertama, Indonesia harus menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Ini berarti berbagai produk nasional yang bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian internasional wajib untuk diamendemen.9

Transformasi ini adalah untuk memastikan agar tidak ada ketentuan yang berbenturan

(conflicting) antara hukum nasional dengan perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Kedua, konsekuensi yang harus diperhatikan adalah kewajiban Indonesia memberikan laporan ke suatu lembaga yang ditentukan dalam perjanjian internasional. Dalam sejumlah perjanjian internasional yang bersifat multilateral terdapat kewajiban negara peserta untuk melaporkan kemajuan (progress) yang telah dilakukan. Sebelum meratifikasi perjanjian internasional perlu untuk diketahui kapasitas aparat penegak hukum.Hal ini karena bila perjanjian internasional telah diterjemahkan ke dalam um nasional tetapi tidak mampu ditegakkan oleh aparat, sama saja dengan Indonesia tidak menepati komitmennya.

Masalah implementasi perjanjian internasional juga terkait dengan apakah setelah suatu negara meratifikasi perjanjian internasional harus dibuat peraturan pelaksana (implementing legislation) untuk melaksanakan kewajiban internasional yang melekat dalam perjanjian internasional tersebut, atau proses ratifikasi sudah memiliki akibat hukum bahwa kewajiban internasional harus sudah dapat dilaksanakan tanpa atau adanya peraturan pelaksana (implementing legislation).

1.3 Ratifikasi dalam Vienna Convention on the Law of Treaties Dalam pasal 2 ayat (1) b ratifikasi diartikan sebagai:

“the international act so named 9 whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound bya treaty”10

Ratifikasi adalah suatu pernyataan unilateral dari suatu negara untuk menyatakan diri ia teritat pada suatu perjanjian internasinal, yang dilakukan dengan menggunakan instrumen ratifikasi suatu negara. Mahkamah Internasional atau International Court of Justice dalam kasus Ambatielos secara tidak langsung menjelaskan konsep ratifikasi sebagai berikut:

The ratification of a treaty which provides for ratification, as does the Treaty

9 Damos Dumoli Agusman. Op Cit. hlm. 48

(5)

of 1926, is an indispensable condition for bringing it into operation. It is not, therefore, a mere formal act, but an act of vital importance.”11

Pada dasarnya Pasal 14 dari Konvensi Vienna tidak mengatur secara khusus mengenai bentuk instrumen dari suatu ratifikasi. Hal tersebut diserahkan sepenuhnya pada hukum nasional masing masing negara.12 Secara tradisional instrumen ratifikasi

ditanda tangani oleh seorang kepala negara atau kepala pemerintahan. Selain itu ada juga dimana ratifikasi disetujui bersama oleh kepala negara dan pemerintah negara terkait.13

Dalam praktiknya di berbagai negara, terdapat dua praktik besar mengenai ratifikasi oleh berbagai negara, praktik pertama sering dikenal sebagai “Westminister Practice” (Inggris, Australia, Kanada, Israel) dimana proses ratifikasi menjadi prerogratif dari pihak kerajaan dan parlemen tidak terlalu berperan dalam proses ratifikasi. Dalam praktik ini eksekutif mempunyai peran dalam konsultasi dan pengambilan keputusan.14 Sedangkan praktik yang kedua berakar pada golongan

Eropa Kontinental dan Amerika Serikat dimana persetujuan dari parlemen sangatlah berperan dalam proses ratifikasi suatu perjanian internasional. Selain itu di beberapa negara di Eropa bahkan menggunakan sistem referendum untuk beberapa perjanjian internasional yang akan diratifikasi.15

Ratifikasi yang dalam konvensi dijelaskan sebagai tindakan internasional dari suatu negara untuk menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional.16

Walaupun sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, masih sering terjadi adanya miskonsepsi terhadap proses ratifikasi dan proses konstitusional dari masing-masing negara. Anthony Aust dalam bukunya menjelaskan bahwa pada dasarnya ratifikasi terdiri dari dua elemen:

“Ratification consists of (1) the execution of an instrument of ratification by the executive and (2) either its exchange for the instrument of ratification of the other state (bilateral treaty) or its lodging with the depositary

11 Putusan Mahkamah Internasional terkait Ambatielos Case (Greece v United Kingdom)

(Preliminay Objections)[1952] ICJ Rep 28, 43.

12 Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, Op Cit. hlm 197 13Ibid,

14 Ibid, hlm. 187.

15 Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (Cambrifge: Cambridge University Press,

2000)

(6)

(multilateral treaty).”17

Berdasarkan penjelasan Aust tersebut maka Ratifikasi tidak hanya dapat dilihat sebagi satu tindakan saja melainkan terdiri atas eksekusi instrumen ratifikasi dari eksekutif, dalam hal ini adalah berupa persetujuan untuk mengikat pada suatu perjanjian internasional, dalam pembahasan sebelumnya mekanisme ratifikasi internal telah dijelaskan dapat disetujui oleh raja ataupun parlemen, tergantung dari Hukum Tata Negara di masing masing negara. Sedangkan elemen yang kedua adalah degan bertukar instrumen ratifikasi antar kedua negara apabila perjanjian internasional tersebut adalah perjanjian bilateral, atau memasukan instrumen ratifikasi ke

depositary apabila perjanjian internasional tersebut adalah perjanjian dimana pihaknya adalah multilateral. Alasn utama dari disyaratkannya ratifikasi setelah dilakukanya adopsi dan penanda tanganan dalam proses pembuatan perjanjian internasional sebelum perjanjian internasional tersebut mengikat suatu negara. Ada beberapa alasan, yang pertama adalah suatu perjanjian internasional mungkin membutuhkan legislasi nasional dimana hal ini harus dilakukan sebelum perjanian internasional tersebut mengikat negara, karena jika tidak maka hal tersebut memungkinkan untuk terjadinay pelanggaran terhadap perjanjian internasional.

1.4 Persyaratan Ratifikasi

Pasal 14 ayat (1) b , menjelaskan situasi dimana suatu perjanjian internasional harus meratifikasi suatu perjanjian (atau aaseptasi atau approval) atau dapat diatur lain. Selain itu intensi untuk diperlukannya suatu ratifikasi dalam sebuah perjanjian internasional juga bisa dikemukakan oleh pihak negara dalam proses negosiasi.18

Dalam praktik konstitusional suatu negarapihak dalam suatu perjanjian internasional.

(a) the treaty so provides. This is the norm when ratification is required, and usually follows signature, though an express provision for signature is not always included;19

(b) it is otherwise established that the negotiating states were agreed that ratification should be required. This may be evidenced by a collateral agree- ment or in the travaux. Today that would be unusual: if a treaty is silent on the question of ratification it is presumed that it is not needed;20

17Ibid.

18 Ibid, hlm. 190

(7)

(c) the representative of the state has signed the treaty 'subject to ratification'. This is a unilateral act, and occasionally is expressly provided for in the treaty. Where the treaty provides that it will enter into force on signature or at a specified time, a signature expressed to be subject to ratification amounts to a conditional signature. However, unlike a signature ad referenduttP the consent of the state to be bound will operate only as from the date of ratification. But in the interim the signature will have various legal effects;or 21

(d) the intention of the state to sign subject to ratification appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiations22

Apabila dalam perjanjian dinyatakan secara jelas bahwa penandatanganan harus disusul dengan adanya suatu ratifikasi, maka delegasi dalam perjanjian tidak perlu menjelaskan lebih lanjut mengenai perjanjian tersebut adalah subjek dari ratifikasi.23 Selain itu hal yang sering membuat terjadinya suatu miskonsepsi adalah

ketika suatu perjanjian internasional telah diratifikasi maka perjanjian tersebut langsung serta merta mengikat negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut.24 25Situasi ini berbeda dengan ketika dimana suatu perjanjian internasional mengikat

negara. Dengan suatu negara menyatakan akan terikat kepada suatu perjanjian internasional tidak serta merta membuat perjanjian internasional tersebut mengikat suatu negara. Suatu perjanjian internasional akan berlaku mengikat suatu negara apabila negara tersebut telah menjadi pihak dalam perjanjian tersbut.26 Apakah kapan

ratifikasi akan mengakibatkan negara terikat pada suatu perjanjian internasional tergantung dari klausla pengaturan pada setiap perjanjian.

Pada dasarnya penanda tanganan suatu perjanjian internasional tidak memberikan kewajiban suatu negara untuk meratifikasi, namun sebisa mungkin negara yang telah menanda tangani suatu perjanjian internasional untuk meratifikasinya sebagai pertanggung jawaban dari perbuatan yang sudah dilakukan.

1.5 Periode Ratifikasi

Dalam kebanyakan perjanjian internasional umumnya tidak mencantumkan batas akhir waktu untuk meratifikasi. Bahkan dalam beberapa perjanjian multilateral

21 Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 14 (1) c 22 Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 14 (1) d 23 Anthony Aust, Op Cit. hlm. 82.

24 Damos Dumoli Agusman, Op Cit. hlm. 48. 25Ibid, hlm. 83

(8)

dapat diratifikasi atau diaksesi beberapa dekade setelah perjanjian itu mengikat para pihak. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat tidak meratifikasi Konvensi Genosida 1948 higga empat puluh tahun sejak perjanjian tersebut entry into force.27 Disusul dengan pecahnya Uni Soviet, maka negara negara pecahan tersebut banyak meratifikasi perjanjian yang telah berlaku selama lima puluh tahun.28 Libya dan

Inggris baru mengaksesi The Hague Convention on the Pacific Settlement of Disputes 1907 enam puluh lima tahun dan delapan puluh tahun setelah perjanjian tersebut berlaku.29 Beberapa contoh tersebut menunjukan bahwa untuk dapat meratifikasi

perjanjian internasional tidak ada jangka waktunya.

1.6 Instrumen Ratifikasi

Instrumen ratifikasi haruslah dinanda tangani oleh perwakilan resmi dari suatu negara peserta, dal praktik internasional hal ini dilakukan dengan adanya pemberian Full powers (surat kuasa) yang diberikan oleh kepala pemerintah, kepala negara atau mentri luar negari tergantung dari kondisi masing masing negara.30 Apabila piagam

ratifikasi ditanda tangani oleh salain dari kepala negara,, kepala pemerintahan atau mentri luar negeri tersebut, maka harus ada surat kuasa untuk emnunjukan bahwa orang tersebut memang diberi kewenangan yang sah untuk melakukan ratifikasi. Ratifikasi yang dilakukan oleh wakil mwntri luar negeri atau organ negara lainnya tidak dapat diterima apabila tidak disertai dengan adanya full powers. Sama halnya dengan apabila perjanjian tersebut ditanda tangani oleh mentri lainnya, tidak dapat diterima walaupun perjanjian internasional terseut berada dalam ruang lingkum kewenangannya namun tidak dapat diberikan izin tanpa ia mempunyai full power.31

1.7 Bentuk dan Konten dari Instrumen Ratifikasi

Pada dasarnya bentuk dan konten dari suatu instrumen ratifikasi tidak diatur oleh Konvensi ini. Dalam Pasal 2 (1) (2)menjelaskan bahwa ratifikasi merupakan tindakan internasional yang masing masing neara menentukan sendiri cara bagaimana untuk emnunjukan bahwa negara tersebut tunduk pada perjanian internaional. Instrumen tersebut harus dengan jelas dan tidak ambigu bahwa negara tersebut

27 Oliver Dörr, Op Cit, hlm 223. 28 Ibid,

29 Anthony Aust, Op Cit. hlm. 83.

(9)

menyatakan terikat kepada suatu perjanjian internasional. Tidaklah cukup hanya dengan mengatakan bahwa ratifikasi telah diilakukan. Instrumen ratifikasi haruslah:

(1) identify the treaty by its title and the date when and place where it was concluded; (2) give the name and title of the person signing the instrument of ratification; and (3) state when and where the instrument was issued.

Instrumen ratifikasi dapat berbentuk surat, dan harus telah ditanda tangani, apa bila instrumen tersebut belum ditadna tangani maka tidak dapat diterima, namun dalam praktiknya terdapat pengecualian yaitu Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menerima surat dari perwakilan teteap suatu negara untuk PBB yang disertai oleh fax instrumen ratifikasi yang telah ditanda tangani yang menyatakan bahwa instrumen yang asli sedang dalam proses pengiriman.32 Namun instrumen

ratifikasi asli yang telah ditanda tangani tidak diterima oleh Sekjen PBB beberapa hari setelah diterimanya fax instrumen ratifikas, maka sekjen PBB dapat tidak menganggap negara tersebut terikat dalam suatu perjanjian internasional.

Pada dasarnya tidak terdapat persyaratan mengenai bahasa khusus yang diunakan untuk suatu instrumen ratifikasi, namun dalam praktiknya untuk mempermudah maka bahasa yang digunakan adalah bahasa resmi yang digunakan dalam depositary, namun tetap apabila instrumen ratifikasi tersebut tidak dalam bahasa resmi yang digunakan dalam depositary instrumen ratifikasi tersebut tetaplah dapat diterima. Namun depositary tidak dapat mengeluarkan bukti penerimaan sampai piagam ratifikasi tersebut diterjemahkan, hal tersebut untuk mengetahui apa yang ada dalam isi piagam ratifikasi.

1.8 Penyimpanan Instrumen Ratifikasi

(10)

dengan hal yang sangat penting, maka pengiriman dapat dilakukan secara langsung oleh mentri luar negeri.

Setelah instrumen ratifikasi tersebut diterima oleh baik itu negara depository ataupun bagian penyimpanan di suatu Organisasi internasional, maka negara yang memberikan instrumen ratifikasi tersebut harus di notifikasi dan diberitau bahwa negara tersebut sudah terikat dengan suatu perjanjian internasional ia telah diratifikasi.

BAB II AKSESI

2.1 Fungsi dan Tujuan Aksesi

(11)

telah terlampaui.33 Dalam kondisi ini suatu perjanjian internasinal telah berlaku dan

mengikat negara anggota yang terlebih dahulu mengikatkan diri kepada suatu perjanjian Internasional, kemudian baru ada negara yang inigin menjadi pihak dalm perjanjian, negara yang ingin menjadi pihak setelah berlakunya suatu perjanjian tidak dapat masuk melalui prosedur ratifikasi melainkan harus melalui prosedur Aksesi.34

Walaupun pada dasarnya untuk mengaksesi suatu perjanjian internasional bukanlah merupakan hak yang diberikan dalam hukum internasional, melainkan tergantung pada para phak dalam suatu perjanjian internasional apakah memungkinkan untuk membuat perjanjian yang tertutup ataukan terbuka.35

Pada dasarnya pengikutsertaan (accession), seperti juga penandatanganan, ratifikasi –kasasi, penerimaan dan permufakataan, merupakan pernyataan sepakat untuk mengikatkan dri pada perjanjian.36 Perbedaannya adalah bahwa pengikutsertaan

diberikan oleh suatu negara yang tidak ikut serta dalam perundingan untuk membentuk perjanjian. Keistimewaan dari pengikutsertaan ialah bahwa hal itu hanya dapat dilakukan pada perjanjian-perjanjian multilateral.37 Pengikutsertaan tidak selalu

memerlukan ratifikasi, kecuali apabila ditentukan demikian di dalam perjanjian. Pasal 15 menentukan bahwa pengikutsertaan hanya dapat terjadi bilamana negara negara perundning telah sepakat untuk menerima suatu pengikutsertaan,.38 Ratifikasi tidak

sama dengan aksesi, namun setara dengan tanda tangan untuk ratifikasi. Aturan tentang penyerahan instrumen ratifikasi (atau penerimaan atau persetujuan) berlaku juga untuk instrumen aksesi, dan, kecuali perjanjian menyediakan sebaliknya, aksesi memiliki efek yang sama seperti ratifikasi.Seperti hak untuk menandatangani, hak untuk mengaksesi dapat dibatasi pada kategori tertentu atau kategori negara tertentu, dan dapat dibuat sesuai dengan kondisi atau persetujuan.39

2.2 Pengaturan Pasal 15 Vienna Convention

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) b, aksesi dijelaskan sebagai berikut:

33 Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, Op Cit. hlm 197 34 Ibid..

35Ibid, hlm 198.

36 Budiman Kusumohamidjojjo, “Suatu Studi terhadap Aspek Oprasional: Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung: 1985. Hlm 8.

37 Vide R.C. Hingorani, “Commencement of Treaty”, dalam S.K. Agrawala, ed “Essays on

the Law of Treaties”, Madras, 1972. Hlm 15

38 Budiman Kusumohamidjojjo, Op Cit, hlm 9.

(12)

“Accession” means the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty. It hereby resembles ratification, acceptance or approval, as it is a unilateral act under international law”40

Berdasarkan penjelasan pasal tersebut maka Aksesi merupakan suatu tindakan unilateral dari suatu negara untuk mengikatkan dari pada suatu perjanjian Internasional. Dalam praktiknya instrumen aksesi dapat dalam bentuk yang berbeda-beda.41 Instrumen yang umum digunakan adalah dokumen yang di tanda tangani dari

perwakilan tinggi negara, atau dengan penggunaan emblem negara.42 Aksesi dapat

dikatakan telah terjadi apabila instrumen aksesi telah ditukar diantara negara yang ingin melakukan aksesi, di depositkan atau atau dinotifikasi oleh negara peserta apabila telah disetujui bersama.43 Pada dasarnya tidak ada negara yang dapat

melakukan Aksesi apabila negara laind alam perjanjian internasional tersebut tidak menyetujuinya atau perjanjian internasional tersebut memungkinkan untuk dilakukannya aksesi.44 Dalam perkembangannya saat ini hampir semua perjanjian

multilateral mencantumkan pasal bahwa perjanjian tersebut dapat dilakukan aksesi. Hal ini biasanya dijelaskan dengan kondisi berlakunya suatu perjanjian internasinal seperti yang dijelaskan dalam Pasal 83:

…Shall enter into force on the thirtieth day following the date of deposit of the thiry-fifth instrument of ratification or accession…45

Berdasarkan penjelasan tersebut maka menunjukan bahwa aksesi dapat menjadi salah satu cara negara dapat mengikatkan diri dengan suatu perjanjia internasional.

2.3 Pemberlakuan Aksesi

Dalam suatu perjanjian internasioal aksesi dapat dilarang apabila diatur dalam klausula suatu perjanjian internasional, seperti contohnya adalah pada Pasal 22 dari Envoironmental Protocol to the Antarctic Treaty, mengatur bahwa setelah batas akhir dari penandatanganan, protokol ini hanya terbuka untuk negara yang telah menjadi pihakn dalam Antartic Treaty. Suatu perjanjian blilateral dapat juga menjadi

40 Pasal 2 ayat (1)b, Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969 41 Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, Op Cit. hlm 200

42Ibid, hlm. 203

43 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16, Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969 44 Anthony Aust, “Modern Treaty Law and Practice”, Op Cit. hlm 89

(13)

perjanjian multilateral dengan memungkinkan adanya negara ketiga untuk mengaksesi perjanjian ter sebut apabila diatur dalam ketentuan pasalnya deminian, contohnya adalah dalam perjanjian Franco –German Convention on the Construction and Operation of a Very High Flux Reactor 1967 yang menjeelaskan:

..The present Convention shall be open to accession by third States, Any Accession shall require the consent of the signatory Governments. The conditions of accession shall be the subject of an agreement between the signatory Governments and the Governments of the acceding States…

Pada dasarnya aksesi sama atau setingkat dengan penandatanganan suatu instrumen ratifikasi, saat ini banyak terjadi miskonsepsi dari aksesi itu sendiri. Pengaturan mengenai penyimnpanan piagam ratifikasi (atau akseptasi atau approval) berlaku juga untuk penyimpanan piagam aksesi, kecuali apabila secara spesifik suatu perjanjian internasional mengatur lain, secara kedudukan aksesi memiliki dampak yang sama dengan ratifikasi, dimana apabila suatu negara mengikatkan melalui aksesi, setelah iya dinyatakan terikan pada suatu perjanjian internasional, baik itu melalui aksesi ataupun ratifikasi keduanya mempunnyai hak dan kewajiban yang sama sebagai negara peserta dalam suatu perjanjian internasional. Dan seluruh ketentuan yang ada dalam perjanjiann internasional tersebut mulai dari substansi ketentuan pasal hingga pengakhiran keterikatan pada suatu perjanjian internasional.

2.4 Aksesi Terhadap Organsasi Internasional

(14)

BAB III RESERVASI

3.1 PENDAHULUAN

Gagasan mengenai Reservasi didefinisikan dalam Pasal 2 ayat 1 huruf d dalam

(15)

"reservasi" berarti, "sebuah pernyataan sepihak, yang dibuat oleh Negara, ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksesi perjanjian, dimana memiliki tujuan untuk mengecualikan atau untuk memodifikasi efek hukum ketentuan tertentu perjanjian dalam aplikasinya kepada Negara tersebut.” Sebelum pengadopsian Konvensi, beberapa definisi lain telah digunakan dalam praktek dan dibahas dalam literatur. Definisi ini, bagaimanapun, sebagian besar mirip dengan definisi yang diberikan dalam Konvensi Wina ini.46

Tujuan dari Reservasi adalah untuk menciptakan fleksibilitas dalam hal kewajiban dalam sistem perjanjian internasional, dalam rangka untuk memungkinkan masuknya negara, yang tidak mampu atau tidak ingin menerima semua kewajiban yang terkandung dalam perjanjian. Reservasi dalam hal ini, dimaksudkan untuk memecahkan dilema tertentu banyak perjanjian multilateral. Di satu sisi, cukup sering, adanya keinginan untuk memasukkan sebanyak mungkin negara dalam perjanjian internasional. Di sisi lain, pendekatan semacam itu cenderung mempermudah kewajiban, yang dapat dimasukkan dalam perjanjian internasional, konsekuensi dimana hal tersebut tidak diinginkan dalam kasus rezim objektif, paling jelas dilihat pada saat membuat kewajiban hak asasi manusia. Dilema tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai suatu perbenturan antara universalitas (dari pihak) dan integritas (kewajiban yang harus dipenuhi).47

Reservasi harus dibedakan “interpretative declarations” dimana negara dapat membuat hal tersebut pada saat menandatangani atau meratifikasi perjanjian internasional. “Interpretative Declarations” ini tidak dengan sendirinya mengikat, tetapi dapat dipergunakan ketika menafsirkan sebuah perjanjian internasional.48

Kriteria khas reservasi dibandingkan tindakan negara secara unilateral (satu pihak) lainnya, yang negara tersebut adopsi saat menandatangani atau meratifikasi perjanjian internasional adalah adanya pengaruh hukum dan secara formal memodifikasi kewajiban perjanjian internasional tersebut.

Dalam perjanjian internasional yang bersifat bilateral, apabila terdapat salah satu pihak mengajukan suatu pensyaratan, yang mana pensyaratan tersebut ditolak

46 Untuk referensi, lihat RK€uhner Vorbehalte zu multilateralen v€olkerrechtlichen Vertr€agen (1986)

9 et

seq;  Pasal 2 huruf (d)

47 Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, op.cit., Hal. 240.

48 Ch Tomuschat Admissibility and Legal Effects of Reservations to Multilateral Treaties (1967) 27

(16)

oleh pihak yang lain, atau pihak lain menyatakan keberatan terhadap pensyaratan yang diajukan, maka perjanjian tersebut akan batal. Oleh karena itu pensyaratan atau reservasi dalam perjanjian bilateral sama sekali tidak mempunyai makna. Berbeda halnya dengan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, yaitu apabila suatu negara mengajukan pensyaratan, dimana pensyaratan tersebut tidak disetujui atau ditolak oleh satu atau beberapa negara peserta yang lain, maka akan timbul beberapa masalah, antara lain sejauh manakah akibat hukum dari suatu pensyaratan atau reservasi dalam hubungannya antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan negara yang menerima pensyaratan itu, dan dalam hubungannya antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan negara yang menolak pensyaratan tersebut.49

3.2 LATAR BELAKANG HISTORIS

a. Abad Sembilan Belas sampai Perang Dunia I

Reservasi pertama yang diketahui adalah Reservasi yang dilakukan oleh Kerajaan Swedia danKerajaan Norwegia ke Final Act of the Vienna Congress tahun 1815.50 Selama abad kesembilan belas, praktek reservasi lebih bersifat sporadis;

Namun, beberapa contoh menjadi cukup terkenal.

Sementara pada tahun 1899, selama The First Hague Conference, reservasi masih suatu hal yang tidak biasa atau merupakan pengecualian, Konferensi Kedua pada tahun 1907 menghasilkan sekitar 65 reservasi berkaitan dengan setidaknya 11 dari 14 konvensi. Pada masa ini, dikenal unanimity doctrine yang memperlihatkan bahwa reservasi harus disetujui oleh semua pihak yang membuat perjanjian internasional tersebut, atau jika tidak disetujui, pihak yang mengajukan reservasi tersebut menarik diri dari perjanjian internasional yang sedang dibuat.

49 Setyo Widagdo, Akibat Hukum Sutau Persyaratan (Reservation) Dalam Perjanjian Internasional,

dalam e-journal ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/274/287 , (UMM: Malang, 2010), Hal. 1.

50 The 1815 General Treaty of the Final Act of the Congress of Vienna, 64 CTS 454; F Horn

(17)

b. Inter-war Period

Pendekatan pada periode ini dalam hal reservasi adalah bahwa suatu perjanjian internasional mulai berlaku secara keseluruhan antar negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian internasional tanpa adanya reservasi. Pendekatan ini hampir sama dengan periode sebelumnya, dimana kita dapat melihat contohnya pada Konvensi Internasional tentang Opium, dimana Inggris Raya melontarkan pendapat hukumnya bahwa Reservasi yang ingin diajukan oleh suatu negara harus disetujui oleh semua negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional. Jika tidak, reservasi tersebut akan menjadi null and void.51 Pendekatan sedikit berbeda pada periode yang sama pada Pan-American Union yang terdapat pada Pasal 6 Havana Convention yang menyebutkan reservasi menjadi efektif berlaku jika pihak lain menerima reservasi yang mereka ajukan atau pihak lain tersebut gagal untuk menolak reservasi tersebut secara formal.52

c. Praktek PBB sebelum Advisory Opinion dari ICJ

Praktek reservasi pada masa ini ditandai dengan pandangan-pandangan yang beragam dari berbagai pihak. Pandangan-pandangan ini mencerminkan perbedaan-perbedaan yang mendasar dari phak-pihak tersebut dalam pandangannya terkait hukum internasional. Untuk beberapa hal, hal-hal tersebut masih terlihat hari ini.53

Sekretaris Jenderal PBB meneruskan posisi yang telah dikembangkan dalam Liga Bangsa-Bangsa, sementara pada saat yang sama memperkenalkan beberapa

fleksibilitas ke dalam sistem yang agak kaku, dimana reservasi harus disetujui oleh seluruh pihak yang membuat perjanjian.54 Amerika Serikat bertahan dalam posisi

yang berkembang pada konteks Uni Pan-Amerika. Uni Soviet mengikuti hal tersebut dengan pendekatan yang memerlukan hubungan ketat dengan prinsip kedaulatan,

(18)

yang merupakan sebuah kontradiksi dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Amerika Serikat.

Mengingat semakin pentingnya perjanjian multilateral, isu mengenai reservasi menjadi lebih dan lebih penting. The Genocide Convention mengahasilkan sejumlah reservasi dan keberatan dengan hal tersebut yang menyebabkan Sekretaris Jenderal untuk mengirimkan laporan tentang masalah ini kepada Komite Keenam Majelis Umum PBB. Di sana, posisi-posisi yang berbeda terkait reservasi secara resmi terlihat dan tersajikan. Perdebatan dan diskusi ini menghasilkan Resolusi UNGA 478 (V),55

yang menangani masalah ini dalam tiga langkah: ICJ diminta untuk membuat suatu

Advisory opinion pada the Legality of Reservations to the Genocide Convention.

d. Advisory Opinion yang dikeluarkan oleh ICJ terkait Reservasi pada Konvensi Genosida

Dengan perbandingan suara 7:5 Mahkamah mengeluarkan Advisory Opinion nya sebagai berikut:56

a. Suatu negara yang telah mengajukan pensyaratan dan ditolak oleh negara peserta lain, sedangkan negara itu tetap mempertahankan pensyaratannya, maka negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) dapat dianggap sebagai peserta konvensi apabila pensyaratan yang diajukan itu sesuai dengan tujuan dan maksud dari konvensi, demikian juga sebaliknya.

b. Apabila salah satu pihak peserta konvensi menolak pensyaratan yang diajukan oleh pihak peserta lain, karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi, maka negara yang menolak (the objecting state) dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) bukan sebagai pihak peserta konvensi. Sebaliknya apabila pihak peserta yang lain menerima pensyaratan tersebut, karena dipandang sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi, maka pihak yang menerima pensyaratan itu dapat 55 16 November 1950, UN Doc A/517.

(19)

menganggap bahwa pihak yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta konvensi.

c. Penolakan terhadap pensyaratan yang dilakukan oleh negara penandatangan (signatory state), yang belum meratifisir konvensi, dapat mempunyai akibat hukum, seperti pada huruf (a) diatas, hanya apabila negara itu mengadakan ratifikasi. (Sri Suwardi, 1979 : 360) Disamping itu, penolakan terhadap pensyaratan yang dilakukan oleh negara yang berhak menandatangani atau menyatakan ikut serta tetapi belum melakukannya, tidak mempunyai akibat hukum.

Jika kita letakan dalam konteks perjanjian internasional hak asasi manusia, reservasi pertama-tama mengandung makna sebagai pengecualian terhadap norma-norma hak asasi manusia universal. Hal ini karena banyak negara pihak melakukan reservasi sedemikian rupa sehingga makna atau tujuan dari konvensi itu sendiri menjadi kabur. Di Negara-negara demikian bisa saja jumlah konvensi yang diratifikasi besar jumlahnya, akan tetapi tanpa kekuatan hukum. Maka, reservasi dengan mudah dapat menjadi bentuk lain dari penolakan negara atas konvensi yang bersangkutan. Persoalan lain yang sedikit minor akan tetapi juga dapat menyulitkan penerapan HAM secara internasional adalah, melalui reservasi negara pihak tidak mengakui wewenang lembaga-lembaga yang ditentukan oleh konvensi untuk melakukan fungsi pemantauan atau penafsiran atas isi konvensi.

(20)

ukuran untuk menentukan sesuai atau tidaknya reservasi itu dengan maksud perjanjian itu sendiri - apalagi jika sejumlah negara pihak menolak reservasi yang dilakukan oleh negara lain. Persoalan berikutnya bekenaan dengan pihak yang menentukan keabsahan reservasi. Ketiga, adalah persoalan terkikisnya tujuan dan sasaran perjanjian internasional itu sendiri akibat reservasi negara pihak terhadap norma-norma HAM yang diatur dalam konvensi bersangkutan.57

Jika pemerintah Indonesia merencanakan untuk melakukan reservasi terhadap pasal 9 konvensi Genosida, yaitu dengan mensyaratkan bahwa hanya akan menerima yurisdiksi ICJ setelah mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang bertikai, maka pendapat hukum ICJ ketika menanggapi permintaan Majelis atas reservasi yang dilakukan oleh AS baik untuk dipetimbangkan.

Ditegaskan oleh ICJ bahwa konvensi genosida memiliki ciri khusus dan bertujuan untuk berlaku secara universal. Dalam konvensi ini, negara pihak tidak lagi memiliki kepentingan mereka masing-masing, akan tetapi hanya satu kepentingan untuk semua; yaitu kepentingan bersama. Pandangan demikian sama saja mengatakan bahwa perjanjian hak asasi manusia, yang dimaksudkan untuk kepentingan universal, tidak tunduk pada aturan resiprositas. Jika ciri ini diterima sebagai dasar dari seluruh sistem perlindungan hak asasi manusia perjanjian internasional, besar kemungkinan persoalan-persoalan reservasi tidak mengganggu penerapan konvensi-konvensi hak asasi manusia. Melihat besarnya jumlah negara yang menandatangani atau meratifikasi dan praktik- praktik hukum internasional maupun nasional yang melarang tindak kejahatan genosida, ciri khusus Konvensi Genosida sebagaimana diungkapkan oleh ICJ setengah abad yang lalu mendapat afirmasi. Artinya meskipun konvensi ini memungkinkan untuk reservasi, reservasi hendaknya tidak dilakukan terhadap aturan yang sangat substansial. Memutuskan untuk menerima yurisdiksi ICJ hanya atas dasar kesepakatan dengan negara yang bertikai memang bisa menjadi jalan keluar, semata-mata untuk kepentingan hubungan antar negara.

e. Perkembangan Lebih Lanjut dalam Majelis Umum PBB

Isu mengenai reservasi ini tetap dalam agenda Majelis Umum dimana terdapat hasil yang sengit (23 mendukung, 18 menentang dan 7 abstain) dalam mengadopsi resolusi 598 (VI) pada 12 Januari 1952. Resolusi ini, yang telah dianggap sebagai

57 Lihat laporan Sub Komisi HAM PBB mengenai reservasi terhadap perjanjian internasional hak

(21)

"salah dokumen paling mendasar dalam sejarah hukum perjanjian internasional",58

adalah adanya urgensitas khusus untuk perkembangan selanjutnya karena - setelah diskusi panjang di mana semuaposisi yang diambil sebelumnya telah disajikan kembali - Majelis Umum meminta Sekretaris Jenderal untuk terus bertindak sebagai kustodian sehubungan dengan reservasi dan keberatan, namun, tanpa menyebutkan dirinya pada efek hokum dokumen tersebut dan menyerahkan kepada masing-masing Negara untuk menarik konsekuensi masing-masing.

Solusi ini mengikuti garis advisory opinion tentang Konvensi Genosida dan mengurangi peran Sekretaris Jenderal, Namun, itu juga menciptakan ketidakpastian hukum sehubungan dengan perjanjian internasional membutuhkan jumlah tertentu dalam hal negara yang sudah meratifikasi perjanjian internasional tersebut untuk perjanjian tersebut mulai berlaku.59 Jika reservasi telah dibuat untuk perjanjian

tersebut, dengan tidak adanya reaksi dari negara, Sekretaris Jenderal adalah tidak dapat memutuskan apakah jumlah tersebut telah dipenuhi atau tidak.

Sistem yang disarankan oleh resolusi 598 (VI) tetap terbatas pada konvensi multilateral dan mulai berlaku setelah ditetapkan pada bulan Januari 1952. Untuk konvensi sebelum tanggal tersebut ,aturan suara bulat tradisional tetap berlaku. Hal ini mengakibatkan dalam dua rezim hukum terpisah tergantung pada tanggal berlakunya, solusiyang hampir tidak memuaskan dalam pandangan hukum yang umum terhadap reservasi. 60

3.3 PENYUSUNAN SUATU RESERVASI

Penyusunan suatu reservasi diatur pada Pasal 19 Vienna Convention on the Law of Treaties tahun 1969, yang berbunyi:

Article 19. FORMULATION OF RESERVATIONS

A State may, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, formulate a reservation unless:

58 Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, op.cit., Hal. 247 59Ibid.

(22)

(a) The reservation is prohibited by the treaty;

(b) The treaty provides that only specified reservations, which do not include the reservation in question, may be made; or

(c) In cases not falling under sub-paragraphs (a) and (b), the reservation is incompatible with the object and purpose of the treaty.

Dengan adanya ketentuan mengenai pensyaratan dalam Konvensi Wina 1969 mi, maka dapat dikatakan bahwa Konvensi Wina 1969 ini dinilai mengandung unsur-unsur "progressive development" seperti dikatakan oleh Mieke Komar : " Masalah lain yang dinilai mengandung unsur progressive development adalah mengenai

reservation to treaty".61Penilaian atas adanya unsur "progressive development"

tersebut karena Konvensi Wina 1969 memakai "Pan American Doctrine" dalam kaitannya dengan penerimaan dan penolakan terhadap pensyaratan, dan bukan memakai prinsip lama yaitu prinsip kebulatan persetujuan (unanimity principe) yang pernah dipakai oleh Liga Bangsa-Bangsa.

Menurut prinsip atau doktrin "Pan American" tersebut tidak diperlukan persetujuan (consent) yang bulat daripada para peserta konvensi atas pensyaratan yang diadakan oleh negara yang hendak turut serta dalam konvensi, melainkan konvensi itu dianggap berlaku dengan pensyaratan yang diajukan antara yang mengajukan pensyaratan dengan yang menerima pensyaratan. Sedangkan diantara negara-negara yang menolak pensyaratan dengan negara yang mengajukan pensyaratan, konvensi itu dianggap tidak berlaku.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa pada sistem "Pan American" ini suatu perjanjian multilateral mungkin merupakan kumpulan dari perjanjian-perjanjian multilateral yang masing-masing kecil jumlahnya negara pesertanya atau sekumpulan perjanjian bilateral.62

Oleh karena itu, setelah adanya Advisory Opinion dari Mahkamah Internasional mengenai "Reservation to the Genocide Convention" ini suatu pendekatan yang lebih praktis dan flexibel telah diterima dalam praktek negara-negara 61 Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 Tentang Perjanjian

Internasional, (Bandung: diktat kuliah pada Fakultas Hukum UNPAD, 1981), Hal. 35

(23)

karena fakta jika 100 negara yang berbeda kultur, sistem ekonomi tetap mempertahankan prinsip "kebulatan persetujuan", maka hal ini akan mengakibatkan keseganan banyak negara untuk turut serta dalam perjanjian multilateral yang umum.63

Dengan demikian, prinsip atau sistem "Pan American" ini merupakan suatu sistem yang fleksibel karena memperkenankan atau memungkinkan negara yang mengajukan pensyaratan itu menjadi pihak peserta perjanjian berhadapan dengan negara yang menerima pensyaratan yang bersangkutan, sebagaimana dikatakan oleh Brownlie:64

"in contrast the members of the Pan American Union, later the Organization of American States, adopted a flexible system which permitted a reserving state to become a party vis-a-vis non objecting state "

3.4 PENERIMAAN DAN PENOLAKAN RESERVASI

Article 20. ACCEPTANCE OF AND OBJECTION TO RESERVATIONS

1. A reservation expressly authorized by a treaty does not require any subsequent acceptance by the other contracting States unless the treaty so provides.

2. When it appears from the limited number of the negotiating States and the object and purpose of a treaty that the application of the treaty in its entirety between all the parties is an essential condition of the consent of each one to be bound by the treaty, a reservation requires acceptance by all the parties.

3. When a treaty is a constituent instrument of an international organization and unless it otherwise provides, a reservation requires the acceptance of the competent organ of that organization.

63 Mieke Komar, op.cit.

64 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (London: 3rd ed, Oxford University Press,

(24)

4. In cases not falling under the preceding paragraphs and unless the treaty otherwise provides:

(a) Acceptance by another contracting State of a reservation constitutes the reserving State a party to the treaty in relation to that other State if or when the treaty is in force for those States;

(b) An objection by another contracting State to a reservation does not preclude the entry into force of the treaty as between the objecting and reserving States unless a contrary intention is definitely expressed by the objecting State;

(c) An act expressing a State's consent to be bound by the treaty and containing a reservation is effective as soon as at least one other contracting State has accepted the reservation.

5. For the purposes of paragraphs 2 and 4 and unless the treaty otherwise provides, a reservation is considered to have been accepted by a State if it shall have raised no objection to the reservation by the end of a period of twelve months after it was notified of the reservation or by the date on which it expressed its consent to be bound by the treaty, whichever is later.

Pasal 20 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa bila reservasi diijinkan oleh perjanjian, maka tidak perlu meminta suatu pernyataan diterima oleh negara lain, kecuali jika hal demikian itu disebutkan dalam perjanjian itu. Sedangkan pasal 20 ayat 2 menghendaki bahwa dalam keadaan khusus, yakni jika perjanjian tersebut harus berlaku secara keseluruhan (seutuhnya), maka persetujuan dari setiap negara peserta perjanjian disyaratkan. Kemudian pasal 20 ayat 3 menjanjikan bahwa jika perjanjian dimaksud merupakan suatu Anggaran Dasar suatu organisasi internasional, misalnya PBB, kecuali ditentukan lain, maka pensyaratan memerlukan persetujuan dari lembaga yang berwenang dari organisasi internasional itu.

Selanjutnya pasal 20 ayat 4 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum dari pensyaratan, yakni sebagai berikut:

a. Suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima oleh negara peserta lain, maka antara negara yang menyatakan pensyaratan dan negara yang menerimanya, perjanjian itu akan berlaku di antara mereka; b. Suatu keberatan oleh negara peserta lain terhadap suatu pensyaratan tidak

(25)

maksud yang bertentangan secara tegas dinyatakan oleh negara yang berkeberatan tersebut;

c. Suatu tindakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk diikat dalam suatu perjanjian dan berisikan suatu persyaratan,mulai berlaku sejak setidak-tidaknya satu peserta lain menerima persyaratan tersebut.

Sedangkan pasal 20 ayat 5 Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa kecuali dinyatakan lain, suatu pensyaratan dianggap diterima oleh suatu negara, jika tidak menimbulkan suatu keberatan terhadap pensyaratan tersebut dan pada akhir 12 bulan setelah pensyaratan itu diajukan, atau pada saat dijelaskan keinginannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian.65

3.5 AKIBAT HUKUM DARI PENERIMAAN DAN PENOLAKAN RESERVASI

Article 21. LEGAL EFFECTS OF RESERVATIONS AND OF OBJECTIONS TO RESERVATIONS

1. A reservation established with regard to another party in accordance with articles 19, 20 and 23:

{a) Modifies for the reserving State in its relations with that other party the provisions of the treaty to which the reservation relates to the extent of the reservation; and

(b) Modifies those provisions to the same extent for that other party in its relations with the reserving State.

2. The reservation does not modify the provisions of the treaty for the other parties to the treaty inter se.

(26)

3. When a State objecting to a reservation has not opposed the entry into force of the treaty between itself and the reserving State, the provisions to which the reservation relates do not apply as between the two States to the extent of the reservation.

Pada pasal 21 ayat (1) memperlihatkan bahwa akibat hukum dari suatu reservasi adalah mengubah hubungan antara negara yang mengajukan reservasi dengan pihak lain yang berhubungan dengan aturan yang diajukan reservasi tersebut dan juga sebaliknya. Hal tersebut juga terlihat dalam pasal 21 ayat (2) yang menyebutkan bahwa reservasi tersebut tidak mengubah aturan perjanjian antara pihak lain yang tidak mengajukan reservasi. Dalam hal ini, sebenarnya kita tidak melihat hal yang istimewa dalam hubungan antara pihak; hanya saja kita melihat sifat atau ciri dari suatu hubungan para pihak – yaitu masing-masing terikat dengan apa yang sudah disepakati – jadi jika satu pihak sudah membuat suatu reservasi yang efektif, maka hal tersebut akan saling berlaku di antara pihak tersebut.66

Dalam hal penolakan atas suatu reservasi oleh satu atau beberapa peserta konvensi, tidak secara otomatis mengakibatkan status negara yang mengajukan reservasi sebagai pihak peserta perjanjian menjadi hilang, melainkan ia akan tetap dianggap sebagai pihak peserta oleh yang menerima pensyaratan tersebut. Hal ini berdampak dalam bentuk hubungan antara negara yang menolak reservasi dengan negara yang mengajukan reservasi yang berhubungan dengan objek atau aturan yang direservasikan, tidak berlaku di antara kedua belah pihak. Dengan kata lain, antara pihak yang mengajukan reservasi dengan pihak yang menolak, maka perjanjian akan tetap mengikat bagi kedua belah pihak. Apabila suatu reservasi dianggap "tidak sesuai" dengan tujuan dan maksud perjanjian, maka akan berakibat bahwa reservasi itu akan ditolak oleh seluruh peserta konvensi, dengan demikian pihak yang mengajukan reservasi tidak dapat menjadi peserta perjanjian dan sebaliknya.67

3.6 PENARIKAN KEMBALI DARI RESERVASI DAM DARI PENOLAKAN RESERVASI

(27)

Article 22. WITHDRAWAL OF RESERVATIONS AND OF OBJECTIONS TO RESERVATIONS

1. Unless the treaty otherwise provides, a reservation may be withdrawn at anytime and the consent of a State which has accepted the reservation is not required fo its withdrawal.

2. Unless the treaty otherwise provides, an objection to a reservation may be withdrawn at any time.

3. Unless the treaty otherwise provides, or it is otherwise agreed:

(a) The withdrawal of a reservation becomes operative in relation to another contracting State only when notice of it has been received by that State;

(b) The withdrawal of an objection to a reservation becomes operative only when notice of it has been received by the State which formulated the reservation.

Tentang penarikan (withdrawal) terhadap suatu reservasi, dapat dilakukan setiap waktu dan dalam hal ini persetujuan suatu negara yang telah menerima reservasi itu tidak diwajibkan. (Lihat pasal 22 ayat 1 Konvensi Wina 1969) Ketentuan yang demikian itu berlaku pula bagi penolakan terhadap reservasi. (Lihat pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1969)

Penarikan diri terhadap reservasi mulai berlaku dalam hubungannya dengan negara peserta yang lain apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara yang bersangkutan, sedangkan penarikan keberatan atau penolakan terhadap reservasi mulai berlaku apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara yang mengajukan reservasi. (Lihat pasal 22 ayat 3 Konvensi Wina 1969)68

3.7 PROSEDUR MENGENAI RESERVASI

Article 23. PROCEDURE REGARDING RESERVATIONS

(28)

1. A reservation, an express acceptance of a reservation and an objection to areservation must be formulated in writing and communicated to the contracting States and other States entitled to become parties to the treaty.

2. If formulated when signing the treaty subject to ratification, acceptance or approval, a reservation must be formally confirmed by the reserving State when expressing its consent to be bound by the treaty. In such a case the reservation shall be considered as having been made on the date of its confirmation.

3. An express acceptance of, or an objection to, a reservation made previously to confirmation of the reservation does not itself require confirmation.

4. The withdrawal of a reservation or of an objection to a reservation must be formulated in writing.

Prosedur mengenai reservasi diatur dalam pasal 23 Konvensi Wina 1969, yang antara lain disebutkan bahwa pernyataan menerima atau menolak suatu reservasi haruslah diformulasikan secara tertulis dan harus diberitahukan kepada negara peserta (contracting state) dan negara-negara lain yang berhak menjadi pihak perjanjian. Demikian pula penarikan terhadap reservasi dan penarikan terhadap reservasi (objecting) suatu reservasi juga harus dinyatakan secara tertulis. Namun dalam praktek seringkali pernyataan menerima atau menolak suatu reservasi tidak dilakukan secara tertulis.69

Apabila reservasi dirumuskan pada waktu menandatangani perjanjian, berkenaan dengan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka haruslah dikuatkan secara formal oleh negara yang mengajukan reservasi (reserving state) pada waktu menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Dengan demikian pensyaratan dianggap telah dibuat pada saat penguatannya. (Lihat pasal 23 ayat 2 Konvensi Wina 1969). Kemudian suatu pernyataan menerima atau menolak pensyaratan yang dilakukan sebelum penguatan (confirmation), maka reservasi tersebut tidak memerlukan penguatan lagi.

3.8 CONTOH RESERVASI

(29)

Pada tahun 1961 Indonesia telah ikut menandatangani Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan dengan UU No 8 tahun 1976 telah pula meratifikasinya. Pada waktu menandatangani konvensi tersebut, Indonesia mengajukan reservasi terhadap pasal 48 ayat (2) tentang keharusan penyelesaian sengketa pada Mahkamah Internasional. Pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

"Any such dispute which cannot be settled in the manner precribed shall be referred to the International Court of Justice for decision ".

Pada intinya reservasi yang diajukan Indonesia terhadap pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika itu adalah bahwa Indonesia tidak mengakui adanya jurisdiksi mengikat (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Alasan yang diajukan oleh Indonesia adalah bahwa sengketa yang hendak diajukan ke depan Mahkamah Internasional harus ada persetujuan para pihak dan harus dilihat secara kasuistis. Disamping itu, reservasi yang diajukan Indonesia tersebut berdasarkan prinsip untuk menerima suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan-perselisihan internasional, dimana Indonesia tersangkut kepada Mahkamah, terutama apabila perselisihan demikian itu mempunyai segi politis.70

Pensyaratan terhadap pasal 48 ayat (2) tersebut juga dilakukan oleh Bulgaria, yang isinya sama dengan reservasi yang diajukan Indonesia, yakni tidak diakuinya jurisdiksi mengikat dari Mahkamah Internasional, dengan mengatakan :

"The people's Republic of Bulgaria does not consider herself bound to implement the provisions of article 48, paragraph 2, concerning the obligatory jurisdiction of International Court".71

Reservasi yang diajukan, baik oleh Indonesia maupun oleh Bulgaria tersebut tidak banyak menimbulkan masalah, karena dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 itu sendiri diperkenankan adanya reservasi demikian. Bahkan dalam pasal 50 ayat (2)

70 Lihat penjelasan UU No 8 Tahun 1976

71 John King Gamble. Jr., Reservation to Multilateral Treaties,A Macroscopic View of State Practice,

(30)

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 disebutkan secara tegas pasal-pasal mana saja yang boleh mendapatkan reservasi. Pasal 50 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut berbunyi:

"Any State may at the time of signature, ratification, or accession make reservations in respect of the following provisions of this Convention : article 12, paragraphs 2 and 3; article 13 paragraph 2; arty id e 14 paragraphs 1 and 2; article 31 paragraphs 1 (b); and article 48"

Dengan demikian, melihat ketentuan diatas, tidak ada persoalan mengenai sah tidaknya pensyaratan yang diajukan Indonesia maupun Bulgaria. Sedangkan akibat hukum atas pensyaratan dalam hubungannya dengan negara yang menerima maupun yang menolak pensyaratan itu, akan berlaku ketentuan seperti yang terdapat dalam

"advisory opinion" Mahkamah Internasional mengenai pensyaratan pada tahun 1951 sebagaimana sudah diuraikan diatas. Apabila dikaitkan dengan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Peijanjian, maka akan berlaku ketentuan pasal 20 ayat (4).

Daftar Pustaka

Buku:

Agusman, Damos Dumoli (2004). Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia. Jakarta: Peneribit Rafika Aditama.

________, Damos Dumoli (2014). Treaties Uner Indonesian Law: A Comparative Study. Jakarta: PT. Remaja Rosda Karya.

Anwar, Chairul (1988). Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa.Jakarta: Penerbit Djambatan.

Aust, Anthony (2000). Modern Treaty Law and Practices. Cambridge: Cambridge University Press.

Brownlie, Ian. (1979). Principles of Public International Law. London: Oxford University Press.

Dörr, Oliver dan Kirsten Schmalenbach, Vienna Convention on the Law of Treaties: A Commentary. London: Springer Heidelberg Dordrecht.

(31)

Kusumaatmadja, Mochtar. (1978). Hukum Laut Internasional. Bandung: Binacipta. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agors (2003). Pengantar Hukum

Internasional .Bandung: Penerbit Alumni.

Kusumohamidjojo, Budiono.(1986). Suatu Studi terhadap Aspek Oprasional Konvensi Wina Taun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Penerbit Binacipta.

Starke, J.G.Pengantar Hukum Internasional Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika.

Tunggal, Hadi Setja (2005), Himpunan Undang-Undang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang Hubugan Luar negeri beserta peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Harvarindo.

Artikel dan Jurnal Ilmiah:

Agusman, Damos Dumoli, Rosida, Book Review: Treaties Under Indonesian Law. Jurrnal Juris, Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. Jurnal Yudisial, Vol 6. No. 2 Agustus 2013

Bakar, Dian Utami Mas. Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional. Jurnal Fakultas Hukum universitas Hasanudin Makasar.

Dewanto, Wisnu Aryo. Problematika Keberlakuan dan Satus Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 Gamble. Jr., John King. (1980). Reservation to Multilateral Treaties, A Macroscopic

View Of Stae Practice. AJIL, Vol. 74, No.2.

Komar, Mieke. (1981). Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Perjanjian Internasional. Diktat Kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Noor, S.M, Politik Hukum dalam Praktek Ratifikasi di Indonesia, Laporan hasil Penelitian Disertasi Program Doktoral Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanudin Makasar. 2006

(32)

Sadikin, Ratifikasi Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Program Legislasi Nasional.

Tomuschat, Ch. Admissibillity and Legal Effects of Reservations to Multilateral Treaties. 1967.

Widagdo, Setyo. Akibat Hukum Suatu Persyaratan (Reservation) Dalam Perjanjian

Internasional. E-journal UMM Malang,

Referensi

Dokumen terkait

Hal inilah yang mungkin terjadi pada penelitian ini, dimana seluruh subyek dengan asupan rendah namun kadar hemoglobin darah normal, sehingga tidak terdapat hubungan antara

Penularan penyakit malaria dapat terjadi secara alamiah dan tidak alamiah Parasit sporozoa plasmodium yang menyebabkan malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles

independen terhadap tingkat pengungkapan Islamic Social Reporting (ISR) pada perusahaan yang terdaftar dalam Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) Tahun 2012-2013.. Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis secara finansial usaha ikan lele dan ikan mas, (2) mengetahui usaha ikan yang lebih menguntungkan secara finansial antara ikan

Penelitian kualitatif adalah Penelitian yang dilakukan oleh Afni dan metode penelitian yang digunakan untuk Indrijati pada tahun 2011 menjelaskan bahwa dua menjelaskan

Pengaruh Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Berbeda Terhadap Sintasan Serta Laju Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima

Basis genetik yang luas perlu tetap dipertahankan bahkan dikembangkan, sebab bukan saja untuk mempertahankan sifat yang telah ada te tapi untuk memperoleh sifat baru yang

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kondisi optimum parameter-parameter yang mempengaruhi proses ekstraksi oleoresin jahe