• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH: PERJANJIAN ATAU KONTRAK DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

N/A
N/A
Jalak Medan

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH: PERJANJIAN ATAU KONTRAK DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PERJANJIAN ATAU KONTRAK DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Kelompok Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional

Dosen Pengampu : Qorry Ulfah Lasia, SH., M.Kn

Disusun Oleh Kelompo 4 :

1.Rizki Fitri Julianti ( 2106200402 ) 2.Deli ( 2106200437 )

3.Arfi Hidayah ( 2106200438 ) 4.Wahyu Sunarlis ( 2106200405 ) 5.M. Nur Hasan

6.Ayu Asnawati ( 2206200360 )

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN

2023

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah tentang " Perjanjian atau Kontrak Dalam Hukum Perdata”. Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan Makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat kontribusi dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam Makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki Makalah ini.

Kami berharap semoga Makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga pengetahuan untuk pembaca.

Medan, 1 Desember 2023

Kelompok 4

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 2

1.2 Rumusan Masalah ... 3

BAB II PEMBAHASAN... 4

2.1 Syarat – Syarat Kontrak ... 5

2.2 Hukum Kontrak Perdata Internasional ... 6

2.3 Teori Perjanjian Dalam Hukum Perdata Internasional ... 7

BAB III PENUTUP ... 8

3.1 Kesimpulan ... 9

Daftar Pustaka ... iii

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bermula dari pemikiran hukum perdata internasional tradisional yang membedakan hukum yang berlaku untuk orang, barang dan perbuatan hukum, senagai salah satu wujud pierbuatan hukum, maka perlu di tentukan pula hukum yang berlaku pada kontrak. Pilihan hukum berakar pada asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk menepakati kontrak antara mereka.Kebebasan ini termasuk pula kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku bagi kontrak mereka, tentunya dalam batasan – batasan tertentu.

Kontrak perdata internasional merupakan salah satu hubungan hukum yang digunakan untuk mempermudah kerja sama, bisnis atau perdagangan di antara mereka. Kontrak perdata internasional merupakan sebuah perjanjian atau kontrak yang terdapat unsur asing. Unsur asing tersebut bisa terkait dengan subjek, objek maupun lokasi pembuatan atau pelaksanaan perjanjian. Terkait dengan subjeknya yaitu mereka berbeda kewarganegaraan atau domisilinya, terkait dengan objeknya yaitu objek dari perjanjian tersebut berada di luar negeri, terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan perjanjiansalah satunya dilakukan di luar negeri.

Menurut hukum perdata Indonesia dengan berdasarkan asas kebebasan berkontrak para pihak yang terlibat dalam perjanjian dapat menentukan secara bebas klasula dari perjanjiannya dengan pembatasan tidak bertentangan dengan undang – undang, ketertiban umum dan kesusilaan, termasuk dalam menentukan klausula dalam penyelesaian sengketa.

Dalam sebuah perjanjian dapat di buat klasula penyelesaian sengketa, para pihak dapat melakukan pilihan forum dan pilihan hukumnya yang akan di gunakan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul. Pilihan hukum dan pilihan forum juga lazim di gunakan dalam klasula penyelesaian sengketa dari kontrak internasional dengan pembatasan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak boleh menjelma menjadi penyeludupan hukum.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja syarat – syarat kontrak dalam hukum perdata internasional ? 2. Bagaimana hukum dalam sebuah kontrak perdata internasional ?

3. Teori yang mengatur perjanjian atau kontrak hukum perdata internasional ?

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Syarat – Syarat Kontrak Dalam Hukum Perdata Internasional

Pasal 1320 KUHPeradata menentukan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: Pertama, Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, Kedua, Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, Ketiga, Suatu hal tertentu, dan Keempat, Suatu sebab (causa) yang halal.

Persyaratan tersebut diatas berkenan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian.

Persyaratan yang pertama dan kedua berkenan dengan subjek perjanjian atau syarat subjektif.

Persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek perjanjian atau syarat objektif.

Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu perjanjian. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.

1. Kata Sepakat

Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu:

a). Paksaan (dwang)

Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihaklain memberikan hak. Kewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.

(6)

b). Penipuan (bedrog)

Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain.

c). Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling)

Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau sebjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan.

Pertama, error in person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Kedua, error in subtantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan kerakteristik suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang di belinya tadi adalah lukisan tiruan dari Basuki Abdullah. Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas dasar kekeliruan dalam hal mengindentifikasi subjek atau orangnya.

d). Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden)

Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen.

Penekanan tersebut dapat dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence).

Van Dunne menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena keunggulan ekonomi maupun karena kejiwaan.

2. Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan

Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan). Di sini terjadi percampuradukan penggunaan istilah perikatan dan perjanjian. Dari kata “membuat”

perikatan dan perjanjian dapat disimpulkan adanya unsur “niat” (sengaja). Hal yang demikian itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang merupakan tindakan hukum. Apalagi

(7)

karena unsur tersebut dicantumkan sebagai ubsur sahnya perjanjian, maka tidak mungkin tertuju kepada perikatan yang timbul karena undang-undang.

Pasal 1329 KUHperdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: Pertama, orang yang belum dewasa; Kedua, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan Ketiga, orang-orang perempuan dalam pernikahan, (setelah diundangkannya Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 2 maka perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum).

Seseorang di katakan belum dewasa menurut pasal 330 KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun.

3. Suatu Hal Tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.

Istilah barang dimaksud di sini apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak.

Zaak dalam bahasa belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.

4. Kausa Hukum yang Halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjajian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.

(8)

Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan ini sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila bertentangan ketertiban umum, keamanan Negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dikatakan mengenai masalah ketatanegaraan. Didalam konteks Hukum Perdata International (HPI), ketertiban umum dapat dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas hukum suatu negara. Kuasa hukum yang halal ini di dalam sistim common law dikenal dengan istilah legaliti yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak sah (illegal) jika bertentangan dengan public policy. Walaupun sampai sekarang belum ada definisi public policy jika berdampak negatif pada masyarakat atau menggangu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety and welfare).1

2.2 Hukum Kontrak Perdata Internasional

Dalam menyusun suatu kontrak atau perjanjian baik perjanjian itu bersifat bilateral dan multilateral maupun perjanjian dalam lingkup nasional, regional dan internasional harus di dasari dari prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam hukum perdata di kenal beberapa prinsip dasar yang harus di terapkan dalam penyusunan kontrak bisnis internasional.

Ada beberapa alasan mengapa klausula pelihan hukum banyak dibuat dan penting dalam kontrak internasional, antara lain :

1. Asas Kebebasan berkontrak

Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa saja yang tidak ingin mereka sepakati, tetapi bukan berarti tanpa batas. Dalam KUH-Perdata, asas kebebasan berkontrak di atur dalam pasal 1338.

1 Badrulzaman, Mariam Darus. 1980. Perjanjian Baku (Standar), perkembangannya diIndonesia.

Bandung: Alumni.

(9)

2. Asas Konsensualitas

Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensus atau persesuain kehendak antara para pihak, atau dengan kata lain apabila perjanjian yang di buat belum mencapai kata sepakat maka perjanjian tersebut tidak mengikat para pihak.

3. Asas Kebiasaan

Suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal – hal yang di atur secara tegas saja dalam peraturan perundang – undangan, yurisprudensi, dan sebagainya tetapi juga hal – hal yang menjadi kebiasaan yang di ikuti masyarakat umum. Jadi sesuatu yang menurut sifat persetujuan di haruskan oleh kepatutan. Dengan kata lain, hal yang menurut kebiasaan selamanya di perjanjikan di anggap secara diam – diam dimasukan dalam persetujuan, meskipun tidak tegas dinyatakan.

4. Asas Kepatutan ( Equality Principle )

Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang di perjanjikan harus memperhatikan prinsip kepatutan, sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang di timbulkan oleh suatu persetujuan itu di tentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

5. Klausal Pilihan Hukum ( Choice of law )

Dalam praktik biasanya kontrak yang di buat secara internasional sering memilih hukum tertentu. Pilihan hukum ini di adakan untuk menghindarkan ketentuan – ketentuan dari suatu Negara yang di anggap kurang menguntungkan mereka. 2

2.3 Teori yang mengatur perjanjian atau kontrak hukum perdata internasional

Dalam melakukan perjanjian atau hubungan keperdataan dengan warga Negara asing, perusahaan asing, atau dengan negara lain baik yang menyangkut penanaman modal, kerja sama dan sebagainya maka hubungan keperdataan antara pihak ini di atur dalam hukum perdata internasional. Van brakel mengatakan, hukum perdata internasional adalah hukum nasional yang di tulis ( diadakan ) untuk hubungan – hubungan hukum internasioal.

Prof. Sudargo Gautama mengatakan bahwa hukum perdata internasional bukanlah hukum internasional, tetapi hukum nasional. Jadi hukum perdata internasional bukan sumber hukumnya internasional melainkan materinya yaitu hubungan – hubungan atau peristiwa – peristiwa yang merupakan objeknya lah yang internasional.

2https://id.scribd.com/document/513921147/PERJANJIAN-ATAU-KONTRAK-DALAM-HUKUM-PERDATA- INTERNASIONAL

(10)

Hukum perdata internasional adalah hukum yang mengatur hubungan privat ( antar perorangan ) yang mengandung unsur asing atau melintasi batas wilayah negara. Unsur asing atau melintasi batas wilayah negara tersebut bisa terkait dengan subjek, objek maupun lokasi pembuatan atau pelaksanaan perbuatan hukum. Terkait dengan subjeknya misalnya hubungan hukum yang dilakukan oleh mereka yang berbeda kearganegaraannya atau domisilinya, terkait dengan objeknya yaitu misalnya objek dari perjanjian tersebut berada di luar negeri terkait dengan pembuatan atau pelaksanaan perbuatan hukum misalnya perbuatan hukum tersebut di buat atau di laksanakan di luar negeri.

Ada beberapa teori dalam hukum perdata internasional yang dapat di gunakan untuk menemukan hukum yang seharusnya berlaku ( lex cause ) bagi suatu hubungan pihak yang tidak ada pilihan hukumnya.

1. Teori lex loci contractus

Menurut teori lex loci contractus, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak itu di buat. Teori ini merupak teori klasik yang tidak mudah di terapkan dalam praktek pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak – pihak yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di suatu tempat ( contract between absent person ). Dapat saja mereka berkontrak melalui telepon atau sarana – sarana komunikasilainnya.

Alternative yang tersedia bagi kelemahan teori ini adalah, pertama, teori post box, dan kedua, teori penerimaan. Menurut teori post box hukum yang berlaku adalah hukum tempat post box si penerima tawaran mengirimkan pesanan tawarannya, menurut teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana si pengirim penawaran menerima kiriman penerimaan tawarannya.

2. Teori lex loci soluntionis

Menurut teori lex loci soluntionis hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana perjanjian dilaksanakan, bukan tempat dimana kontraknya di tanda tangani. Kesulitan utama kontrak ini adalah, jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di suatu tempat, seperti kasus jual beli yang melibatkan pihak – pihak ( penjual dan pembeli ) yang berada di Negara yang berbeda dan dengan sistim hukum yang berbeda pula.

3. Teori the proper law of contract

Menurut teori the proper law of contract hukum yang berlaku adalah hukum Negara yang paling wajar bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat ( center og gravity ) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.

(11)

4. Teori the most characteristic connection

Menurut teori the most characteristic connection, hukum yang berlaku adalah dari pihak yang melakukan pestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori terakhir ini adalah bahwa dari teori ini dapat di hindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan kalsifikasi lex loci contractusatau lex loci soluncionis, di samping juga di janjikannya kepastian hukum secara lebih awal oleh teori ini.

(12)

BAB III PENUTUP 3.1Kesimpulan

1. Syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: Pertama, Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, Kedua, Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, Ketiga, Suatu hal tertentu, dan Keempat, Suatu sebab (causa) yang halal. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada.

Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.

2. Dalam menyusun suatu kontrak atau perjanjian baik perjanjian itu bersifat bilateral dan multilateral maupun perjanjian dalam lingkup nasional, regional dan internasional harus di dasari dari prinsip hukum dan klausul tertentu. Ada beberapa alasan mengapa klausula pelihan hukum banyak dibuat dan penting dalam kontrak internasional, antara lain : Asas Kebebasan berkontrak, Asas Konsensualitas, Asas Kebiasaan, Asas Kepatutan ( Equality Principle ), Klausal Pilihan Hukum ( Choice of law ).

3. Hukum perdata internasional adalah hukum yang mengatur hubungan privat ( antar perorangan ) yang mengandung unsur asing atau melintasi batas wilayah negara. Unsur asing atau melintasi batas wilayah negara tersebut bisa terkait dengan subjek, objek maupun lokasi pembuatan atau pelaksanaan perbuatan hukum.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus. 1980. Perjanjian Baku (Standar), perkembangannya diIndonesia. Bandung: Alumni.

file:///C:/USER/AppData/Local/Temp/6540-19939-1-PB.pdf

https://id.scribd.com/document/513921147/PERJANJIAN-ATAU-KONTRAK-DALAM- HUKUM-PERDATA-INTERNASIONAL

https://law.ui.ac.id/v3/berlakukah-hukum-asing-untuk-sengketa-kontrak https://nasihathukum.com/hukum-kontrak/

internasional-di-indonesia-oleh-priskila-p-penasthika

Referensi

Dokumen terkait

Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional,

UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat

Perdata (seperti Hukum Perkawinan, HUkum Waris, Hukum Dagang) => sebagai akibat dari interaksi sosial masyarakat internasional yang melewati batas-batas teritorial negara

Hukum Kontrak Internasional merupakan bagian dari Hukum Perdata Internasional yang mengatur ketentuan-ketentuan dalam transaksi bisnis antara pelaku bisnis yang

Maksudnya jika hukum pidana mengatur hubungan antara masyarakat dengan negara atau yang berkaitan dengan hukum publik, justru pengertian hukum perdata adalah sebaliknya

Implikasi Yuridis Terhadap Status Kepemilikan Tanah Warga Negara Asing Melalui Perjanjian Nominee Berdasarkan Konsep Kepastian Hukum Kitab Udang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata

Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian adalah perjanjian internasional yang menetapkan aturan-aturan hukum yang mengatur perjanjian antara

Perbedaan hukum nasional dan ketentuan hukum kontrak masing- masing negara membuka peluang terjadinya konflik dan sengketa, sehingga pilihan hukum menjadi kebebasan para pihak dalam suatu kontrak untuk memilih hukum mana yang akan digunakan dan berlaku bagi para pihak dalam suatu perjanjian