Terbit
pada
Mata
Garuda
Institute
Bulletin
edisi
Juli
2015,
halaman
21
‐
22.
BAGAIMANA MENANGANI DAMPAK PSIKOLOGIS PADA PENYINTAS BENCANA?
Bencana pada dasarnya adalah sesuatau yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Pengertian lain dari bencana adalah peristiwa atau peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Bencana seringkali hanya dikaitkan dengan kejadian alam seperti gempa bumi, angin besar, atau banjir. Hal tersebut tidak salah karena peristiwa tersebut memang termasuk dalam bencana alam. Akan tetapi hal yang terlewat adalah adanya jenis bencana lain seperti bencana nonalam dan bencana sosial seperti yang tertulis di UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana nonalam dapat berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial timbul dalam bentuk konflik sosial antarkelompok atau komunitas, kerusuhan, dan teror.
Apapun jenis bencana yang dialami akan menyebabkan dampak negatif bagi mereka yang terkena musibah tersebut. Dalam artikel ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah dampak psikologis yang umumnya dialami dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk menanganinya. Kata “penyintas” sengaja digunakan karena merupakan padanan dari kata “survivor” (a person who is able to continue living their life successfully despite experiencing difficulties. Sumber: Cambridge Dictionaries Online). Sedangkan kata “korban” kurang tepat digunakan karena terkesan pasif dan tidak berdaya (victim:
someone or something that has been hurt, damaged, or killed or has suffered, either because of the actions of someone or something else, or because of illness or chance. Sumber: Cambridge Dictionaries Online).
Beberapa risiko gangguan psikologis setelah trauma
(Risiko gangguan psikologis dan gejala yang ditampilkan dalam tabel hanya gambaran umum dan perlu ahli atau profesi terkait dalam penegakan diagnosisnya)
Minggu ke‐ setelah peristiwa traumatik
1 2 3 4 5 6 7 8 … 24 …
Reaksi stres akut: kebingungan, sangat reaktif, menarik diri, berkeringat berlebih, jantung
berdebar cepat, disorientasi, amnesia.
Berkabung
Depresi: suasana hati sedih, kehilangan minat dan kesenangan, tidur terganggu rasa bersalah dan kehilangan percaya diri, perlambatan gerak atau bicara (atau sebaliknya, yaitu agitasi), gangguan nafsu makan, sulit berkonsentrasi, adanya pikiran bunuh diri
Gangguan panik/kecemasan: nyeri dada, rasa seperti tercekik, perut seperti terbakar, pusing,
kehilangan kontrol,rasa akan mati, rasa seperti terkena serangan jantung
Gangguan stres pascatrauma (PTSD): bayangan / mimpi / kilas balik peristiwa traumatik, menghindari hal‐hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik, muncul kecemasan dan kesiagaan berlebih jika terpapar pada hal‐hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik, suasana hati yang depresif, menarik diri, sulit berkonsentrasi, tidur terganggu.
Gangguan Penyesuaian
Psikosis, Skizofrenia, gangguan bipolar
Penyalahgunaan zat, gangguan makan, gangguan tidur
Menurut Spokane dkk. (2011) dalam artikelnya yang berjudul “Ecologically Based, Culturally Concordant Responding Following Disasters: The Counselling Psychologist’s Role” hal utama dalam penanganan dampak psikologis penyintas bencana adalah komunikasi dengan rekan sejawat dan memerhatikan norma serta budaya yang dimiliki para penyintas. Dalam panduan yang dikeluarkan oleh WHO “Psychological First Aid: Guide for Field Workers” (2011) dijelaskan kelompok yang mungkin membutuhkan perhatian khusus. Kelompok tersebut adalah anak dan remaja, orang dengan masalah kesehatan (fisik dan mental), serta orang yang berisiko mengalami diskriminasi atau kekerasan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk menangangi permasalahan psikologis yang timbul dapat dilihat pada gambar berikut:
Sementara itu ada beberapa hal yang perlu dihindari ketika bersama para penyintas, yaitu:
Dalam pidato pengukuhan guru besar Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S. menyebutkan bahwa jumlah psikolog klinis di Indonesia baru sekitar 365 orang pada tahun 2011. Jumlah tersebut tentu tidak dapat melayani para penyintas bencana secara maksimal. Oleh karena itu perlu jejaring dan kerjasama dengan profesi kesehatan mental lainnya. Upaya lain yang perlu ditingkatkan adalah tersedianya poli psikologi dan psikolog di Puskesmas sehingga layanan kesehatan jiwa menjadi bagian dari pelayanan primer di Indonesia dan penanganan dampak psikologis pada penyintas bencana dapat dilakukan dengan lebih terkoordinasi dengan hashil yang maksimal.