• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinahan dalam RUU KUHP 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinahan dalam RUU KUHP 2012"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI

TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

SEPTIA MAULID BR. REGAR 090200003

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI

TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

SEPTIA MAULID BR REGAR 090200003

Mengetahui:

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 19570326198601001 Dr. M.Hamdan, S.H., M.H.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH, M.Hum

NIP. 195102061980021001 NIP. 197503072002122002 Dr. Marlina, SH,M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan syafa’atnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah “ Kajian Kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik

Perzinahan dalam RUU KUHP 2012 ”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materil. Kepada Yang Terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr.Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

5. Dr. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Liza Erwina, S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulisan skripsi ini.

8. Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.

9. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam membantu penyusunan skripsi ini. 10.Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu terkhususnya ilmu di bidang hukum.

Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna di satu sisi karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif Apresiatif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di negara Indonesia.

Medan, 21 September 2013 Hormat Saya

(5)

ABSTRAKSI

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum.*1 Dr. Marlina, S.H., M.Hum.**2

Septia Maulid Br. Regar ***3

Tim Perumus RUU KUHP melakukan upaya pembaharuan terhadap delik perzinaan, yakni mengenai pelaku perzinaan yang semula adalah laki-laki menikah dan perempuan menikah seperti yang diatur dalam hukum positif dalam Rancangan KUHP 2012 pasal 483 meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra diantara banyak pihak, oleh karenanya patut dibahas lebih jauh bagaimana pengaturannya di dalam rancangan KUHP 2012, hal-hal apa yang melandasi kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan ini, serta bagaimana peluang berlakunya di masa mendatang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif guna memperoleh data primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengaturan tentang kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah telah ada sejak Rancangan KUHP edisi Desember 1992, disempurnakan lagi dalam Rancangan KUHP 2004 dan tetap dipertahankan dengan rumusan yang sama sampai Rancangan KUHP terbaru tahun 2012. Kebijakan Kriminalisasi ini memenuhi kriteria kriminalisasi ditinjau dari aspek pendekatan nilai (value oriented approach) dan aspek pendekatan kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan baik secara preventif maupun represif dan oleh karenanya memiliki peluang untuk ditetapkan sebagai pasal perzinaan dalam KUHP di masa mendatang. Sosialisasi terhadap kebijakan kriminalisasi ini patut diperhatikan untuk dibenahi kembali agar dapat memberikan pemahaman yang utuh kepada semua pihak atas berbagai kritik terhadap kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini, disamping itu perlu juga dibenahi rumusan delik dalam konsep RUU KUHP tersebut agar nantinya pengaturan, dan penerapan terhadap aturan pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) dapat dilaksanakan dengan baik.

∗* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

2

** Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

3

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

1. Pengertian Kebijakan Kriminalisasi ... 11

2. Pengertian Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah 26

3. Pengertian Rancangan Undang-Undang KUHP ... 30

F. Metode Penelitian ... 33

G. Sistematika Penulisan ... 34

BAB II KONSEP PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 ... 37

A. Delik Perzinaan ... 37

(7)

C. Delik Perzinaan menurut RUU KUHP 2012 ... 61 D. Kebijakan Penuntutan Tindak Pidana Persetubuhan di Luar

Perkawinan yang Sah ... 63 BAB III LANDASAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI

TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 ... 74

A. Kebijakan Kriminalisasi ... 74 B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan

Kriminalisasi ... . 78 C. Permasalahan dan Akibat adanya Perbuatan Persetubuhan

di Luar Perkawinan yang Sah di Masyarakat ... 83 D. Urgensi dan Tujuan Kebijakan Kriminalisasi terhadap

Perbuatan Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan

yang Sah dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia ... 97 BAB IV KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP

PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI PEMBAHARUAN DELIK PERZINAAN

DI INDONESIA ... 112 A. Kelemahan dan Keuntungan adanya Pengaturan

tentang Tindak Pidana Persetubuhan di Luar Perkawinan

yang Sah dalam RUU KUHP 2012 ... 112 B. Peluang Berlakunya Aturan Tindak Pidana Melakukan

Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU

(8)
(9)

ABSTRAKSI

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum.*1 Dr. Marlina, S.H., M.Hum.**2

Septia Maulid Br. Regar ***3

Tim Perumus RUU KUHP melakukan upaya pembaharuan terhadap delik perzinaan, yakni mengenai pelaku perzinaan yang semula adalah laki-laki menikah dan perempuan menikah seperti yang diatur dalam hukum positif dalam Rancangan KUHP 2012 pasal 483 meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra diantara banyak pihak, oleh karenanya patut dibahas lebih jauh bagaimana pengaturannya di dalam rancangan KUHP 2012, hal-hal apa yang melandasi kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan ini, serta bagaimana peluang berlakunya di masa mendatang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif guna memperoleh data primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengaturan tentang kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah telah ada sejak Rancangan KUHP edisi Desember 1992, disempurnakan lagi dalam Rancangan KUHP 2004 dan tetap dipertahankan dengan rumusan yang sama sampai Rancangan KUHP terbaru tahun 2012. Kebijakan Kriminalisasi ini memenuhi kriteria kriminalisasi ditinjau dari aspek pendekatan nilai (value oriented approach) dan aspek pendekatan kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan baik secara preventif maupun represif dan oleh karenanya memiliki peluang untuk ditetapkan sebagai pasal perzinaan dalam KUHP di masa mendatang. Sosialisasi terhadap kebijakan kriminalisasi ini patut diperhatikan untuk dibenahi kembali agar dapat memberikan pemahaman yang utuh kepada semua pihak atas berbagai kritik terhadap kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini, disamping itu perlu juga dibenahi rumusan delik dalam konsep RUU KUHP tersebut agar nantinya pengaturan, dan penerapan terhadap aturan pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) dapat dilaksanakan dengan baik.

∗* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

2

** Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

3

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara heterogen yang memiliki beragam suku bangsa, bahasa, dan agama. Nilai- nilai moral dan agama sangat melekat dan menaungi kehidupan bangsa Indonesia dan menjadi dasar pijakan setiap langkah dan perbuatan bangsa Indonesia selain hukum positif negara yang berlaku. Masyarakat Indonesia dalam berperilaku sehari- hari tidak dibenarkan melanggar rambu- rambu norma agama, susila, kesopanan dan norma hukum yang hidup di masyarakat, oleh karena adanya keterikatan dengan nilai- nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

Kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai- nilai sosial dan agama semakin harus dipertanyakan kepada bangsa Indonesia dalam perilaku sehari-hari, seiring dinamika masyarakat dan globalisasi yang semakin pesat. Perbuatan kriminal seperti pencurian, pembunuhan, korupsi yang semakin membudaya, kasus amoral /asusila seperti perkosaan, pencabulan, cukup banyak terjadi di masyarakat, terlebih kasus perzinaan. Perzinaan yang terjadi di masyarakat meliputi perbuatan hubungan seksual/persetubuhan antara laki-laki dan perempuan baik yang terikat dalam perkawinan yang sah, maupun yang tidak sama sekali diantaranya terikat dalam hubungan perkawinan yang sah.

(11)

hubungan perkawinan dengan orang lain, tetap saja hal tersebut dianggap tabu dan terlarang, dan tentunya menimbulkan dampak yang negatif di lingkungan masyarakat dan juga bagi diri pelaku.

Perbuatan zina berpotensi menyebabkan remaja hamil di luar nikah. Fakta dimasyarakat menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab remaja melakukan aborsi dikarenakan hamil di luar nikah, oleh karenanya terdorong rasa malu dan akhirnya menggugurkan kandungan. Remaja yang hamil di luar nikah yang apabila tidak menggugurkan kandungannya, dan kemudian menikah, sering terjadi rumah tangga pelaku “MBA” ( Married by Accident ) ini tidak bertahan lama/tidak harmonis yang kemudian berujung dengan perceraian, dan akhirnya tumbuh pola keluarga dengan orang tua tunggal (Single Parenthood) yang tidak jarang ditemui di masyarakat saat ini. Alasan lain yaitu bahwa salah satu penyebab utama penyebaran HIV dan AIDS adalah hubungan seks di luar nikah. Perbuatan itu jugalah yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang merasa perasaan susila dan agamanya telah tercederai, yang akhirnya main hakim sendiri.

(12)

yang disebut “Qanun” yang membawa unsur agama Islam dalam butir- butir peraturannya.4

Satu-satunya ketentuan hukum positif yang mengatur tentang perzinaan di Indonesia kita secara menyeluruh adalah Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 284 ayat (1) KUHP menentukan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan terhadap seorang laki-laki yang telah menikah yang melakukan perzinaan, dengan perempuan baik itu telah terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain, maupun tidak, ataupun sebaliknya5

Laki-laki dan perempuan yang apabila kedua-duanya belum menikah dan melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka tidak dapat dikategorikan sebagai perzinaan dan tidak dapat dijerat oleh hukum. Ketentuan Pasal 284 KUHP selama ini baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan peluang kepada pihak- pihak yang melakukan persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain untuk leluasa melakukan perbuatan tersebut tanpa aturan hukum positif yang membatasinya, padahal oleh sebagian masyarakat

, yang pasti, delik perzinaan (Overspel) yang dimaksud KUHP saat ini pengertiannya hanya sebatas terhadap perbuatan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dan perempuan (bukan pasangan suami istri) yang minimal salah satunya terikat dalam ikatan perkawinan dengan orang lain (pasal 27 Burgerlijke Wetboek).

Luqman, Qanun- Qanun yang Menjerat Wanita Aceh, 15 April 2013, diakses pada tanggal 1 Mei 2013, pukul 16.00 WIB

5

(13)

perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kesusilaan.

Berdasarkan konsep KUHP baru tahun 2012, pemerintah melakukan pembaharuan terhadap Rancangan KUHP mengenai perzinaan yaitu dalam Pasal 483 Rancangan KUHP 2012, menambahkan beberapa hal dalam delik perzinaan yang baru yakni pertama, revisi terhadap sanksi pidana penjara yaitu yang semula paling lama 9 (sembilan) bulan menjadi paling lama 5 (lima) tahun. Kedua, revisi terhadap pelaku perzinaan yaitu yang semula pelaku perzinaan adalah hanya laki-laki menikah dan perempuan menikah yang melakukan hubungan seks bukan dengan istri atau suaminya maka dalam Rancangan KUHP baru ini juga meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain6

Pembaharuan terhadap pasal perzinaan, bagi masyarakat yang pro akan kebijakan kriminalisasi ini, ibarat angin segar yang menghembuskan perubahan dan pembaharuan dalam hukum pidana di Indonesia, akan tetapi itu hanya bagi sebagian pihak yang pro saja terhadap aturan tersebut, sebab ada pula pihak yang kontra terhadap kriminalisasi perbuatan melakukan hubungan seksual (persetubuhan) di luar perkawinan yang sah yang menilai bahwa adanya kriminalisasi terhadap pelaku perzinaan terlalu mencampuri dan memasung kehidupan pribadi seseorang, dalam hal ini negara telah melakukan intervensi kehidupan wilayah pribadi warga negaranya.

.

6

(14)

Menurut pihak yang kontra terhadap kriminalisasi hubungan seksual di luar perkawinan yang sah, hal ini dinilai sebagai ketentuan yang melanggar hak asasi manusia, dan cenderung Islamisme dan karena itu mengancam demokrasi. Mereka juga berpandangan bahwa Rancangan KUHP harus mengedepankan prinsip unifikasi, Rancangan KUHP merupakan kodifikasi hukum yang harus bisa diterima seluruh elemen masyarakat. Pasal yang tidak bisa dilaksanakan di suatu daerah, tetapi dilaksanakan di daerah lain dikarenakan adat dan budaya di setiap daerah berbeda-beda akan menimbulkan ketidakpastian hukum.7

Pihak yang pro kembali menilai bahwa masalah perzinaan muncul dari

public demand bukan pribadi atau keluarga, karena public demand, maka diatur dalam UU. Menurut negara liberal, lazim terdapat hukum yang mengatur kegiatan pribadi., warga tidak boleh melakukan hubungan seks sedarah (incest), warga tidak boleh mengumpulkan foto-foto yang masuk dalam kategori ‘’pornografi anak’’, warga tidak diizinkan berpoligami, dalam aktivitas seks atau kalau menggunakan contoh yang lebih ekstrem warga tidak boleh melakukan bunuh diri dan warga tidak boleh menjadi pecandu narkotika, kendati pun kedua kegiatan itu bisa dilihat sebagai ‘’kegiatan sadar yang dilakukan orang dewasa dengan akibat yang harus ditanggung oleh orang dewasa itu sendiri’’. Intervensi negara terhadap wilayah pribadi dengan demikian tidak pernah diharamkan, bahkan dalam masyarakat liberal yang menjadi kunci adalah alasan, sebuah kegiatan pribadi yang dipercaya berpotensi menimbulkan efek negatif atau dipandang sebagai

7

Tunda Dulu Revisi

(15)

sebuah tindakan tidak bermoral, lazim dinyatakan terlarang. Perzinaan meskipun tampak sebagai kegiatan yang bersifat sangat pribadi, namun pada dasarnya adalah kegiatan pribadi yang memiliki dimensi sosial luas8

Revisi terhadap pasal perzinaan dalam Rancangan KUHP masih menimbulkan perdebatan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap revisi tersebut, dengan kata lain masyarakat Indonesia dalam hal ini belum sepenuhnya mencapai kata mufakat untuk menyepakati konsep kebijakan ini, padahal salah satu alasan kriminalisasi pada umumnya harus adanya kesepakatan sosial ( Public Support)

, oleh karena itu, intervensi negara mempunyai landasan yang kokoh dalam kebijakan kriminalisasi ini.

9

Masalah kriminalisasi haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Revisi terhadap ketentuan mengenai perzinaan oleh karena itu pun patut untuk dikaji dengan prinsip kehati-hatian. Bagaimana akibatnya jika suatu perbuatan dijadikan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) sedangkan masyarakat menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang patut atau tidak tercela.

yang dalam hal ini masih dipertanyakan kejelasannya.

10

8

Soal Zina dan KUHP, Sabtu, 11 Oktober 2003,

diakses 02 Maret 2013, pukul 09.00 WIB. 9

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011, hal.45

10

(16)
(17)

B. Perumusan Masalah

Masalah yang penulis angkat sehubungan dengan topik ataupun judul penelitian ini, adalah :

1. Bagaimana konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012 ?

2. Apa landasan kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012 ?

3. Bagaimana peluang berlakunya aturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah bertolak dari perumusan masalah di atas, yaitu :

a). Untuk mengetahui konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012.

b). Untuk mengetahui landasan kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012. c). Untuk mengetahui seberapa besar peluang berlakunya aturan tindak pidana

(18)

2. Manfaat Penulisan

Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari penelitian ini, adalah :

1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012, perkembangannya dalam RUU KUHP lainnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, serta kebijakan penuntutan dalam penegakan hukum terhadap konsep kriminalisasi perbuatan tersebut.

2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya landasan dari kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012, serta mengenai kelemahan, kelebihan dan peluang berlakunya aturan tindak pidana tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk berlakunya konsep aturan tersebut pada masa yang akan datang.

D. Keaslian Penulisan

Tulisan tentang Delik Perzinaan dan Pembaharuannya dalam RUU KUHP terlebih dahulu telah banyak dibuat, namun mengenai Kajian tentang Kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinaan dalam RUU KUHP 2012 yang penulis buat ini memang asli dibuat oleh penulis sendiri.

(19)
(20)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kebijakan Kriminalisasi

“Kebijakan” secara terminologis berasal dari istilah policy (Inggris) atau

politiek (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan- urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).11

1. Criminology

Kebijakan kriminalisasi tidak terlepas dari pembahasan kebijakan kriminal (Criminal Policy) atau politik kriminal, serta kebijakan hukum pidana (Penal Policy) atau politik hukum pidana dalam pembaharuan hukum pidana, oleh karenanya maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai hal-hal tersebut.

Marc Ancel mengemukakan, Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen, yaitu :

2. Criminal Law, dan 3. Penal Policy 12

Kriminologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan. Pada dasarnya, kriminologi ini sangat bergantung pada disiplin ilmu-ilmu lainnya yang

11

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cet. 2, Djambatan, Jakarta, 2007, hal.26

12

(21)

mempelajari kejahatan, bahkan dapat dikatakan bahwa keberadaan kriminologi itu merupakan hasil dari berbagai disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan tersebut. Kriminologi dengan demikian bersifat “Interdisipliner”, suatu disiplin ilmu yang tak berdiri sendiri, atau dengan kata lain hasil kajian dari ilmu lainnya terhadap kejahatan Oleh karena itulah Thorsten Sellin menyebutnya sebagai “ a king without a country “.

Kriminologi pada fungsinya yang klasik, berkaitan dengan hukum pidana, dimana dua disiplin ilmu ini saling berhubungan dan saling bergantung antara satu dengan yang lainnya, bahkan sebelumnya kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Perkembangan selanjutnya kriminologi dijadikan sebagai ilmu yang membantu hukum pidana ( ilmu pembantu) dan sekarang hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, karena perkembangan kriminologi sudah menjadi disiplin yang berdiri sendiri. Fungsi kriminologi yang klasik dalam masalah hukum pidana, yaitu :

1. Dalam perumusan atau pembuatan hukum pidana ; 2. Dalam penerapan hukum pidana ; dan

3. Dalam pembaharuan hukum pidana, yakni dalam hal : 1) Kriminalisasi ;

2) Deskriminalisasi ; dan 3) Depenalisasi.13

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal/politik kriminal (criminal policy) dalam hal ini, yaitu :

13

(22)

a) Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana ; b) Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara bekerja dari pengadilan dan polisi.

c) Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang- undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma- norma sentral dari masyarakat.

Beliau juga mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik kriminal merupakan “Suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Defenisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang dirumuskan sebagai berikut “ the rational organization of the control of crime by society ”.

Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa ruang lingkup politik criminal (criminal policy) sangat luas, karena merupakan keseluruhan upaya untuk penanggulangan kejahatan yang dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu :

a) Penerapan hukum pidana ( criminal law application ) ; b) Pencegahan tanpa pidana ( prevention without punishment ) ;

c) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media ( influencing views of society on crime and punishment/mass media )

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana) dalam pembagian tersebut diatas, upaya- upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”.

(23)

terjadi. Tindakan represif dikatakan sebagai perbedaan yang kasar karena pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14

a) Usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” atau (penal policy) ini disebut pula dengan istilah “ kebijakan hukum pidana” atau dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana “. Istilah “penal policy” ialah istilah yang dilihat dari kepustakaan asing, sama juga seperti “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah :

b) Kebijakan dari Negara melalui badan- badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan.

Politik hukum pidana yang merupakan bagian dari politik hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang- undangan pidana yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Pengertian demikian dapat dilihat dalam defenisi “penal policy” dari Marc Ancel, yakni “ suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik “. Menurut defenisi Marc Ancel “peraturan hukum positif “ ( the positive rules ) tersebut yakni peraturan perundang- uundangan hukum pidana.,

14

(24)

Istilah “penal policy” dengan demikian adalah sama dengan istilah “ Kebijakan atau politik hukum pidana “.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, upaya penegakan hukum, dan usaha perlindungan masyarakat oleh karena itu politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal ( criminal policy ), kebijakan penegakan hukum ( law enforcement policy ), dan politik social (social policy).

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.15

Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari Pembahasan kebijakan/ politik hukum pidana ini, akan mengerucut pada pembahasan pembaharuan hukum pidana (penal reform) yang seyogyanya merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) dan merupakan bagian dari fungsi kriminologi secara klasik yang mencakup tiga hal/permasalahan dalam pembaharuan hukum pidana, hal menambahkan aturan dalam hukum pidana, menghapuskan aturan positif yang tidak cocok lagi dengan keadaan yang ada, serta mempertahankan aturan positif yang ada.

15

(25)

aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya itu, dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai- nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy oriented approach )

dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ( value oriented approach).16

16

Barda Nawawi, Op.Cit., hal. 25

Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/ penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Kebijakan (policy) di dalamnya harus terkandung pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaruan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.

(26)

a) Dilihat dari sudut Pendekatan Kebijakan :

1) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah- masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan massyarakat dan sebagainya);

2) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat ( khususnya upaya penanggulangan kejahatan) ;

3) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

b) Dilihat dari sudut pendekatan nilai :

(27)

WVS).17

Subjek pembaharuan adalah Lembaga Legislatif (DPR), suprastruktur adalah pemerintah (partner dalam mekanisme pembuatan Undang- Undang), Infrastruktur yakni aspirasi masyarakat, aspirasi kepakaran dan aspirasi Internasional.

Pembaharuan hukum pidana ini (KUHP) dirasakan sudah hal yang mendesak karena baik itu ditinjau dari segi sosiologis, filosofis, dan politis, maupun praktis, KUHP yang berlaku tidak memadai lagi. Upaya pendekatan dalam pembaharuan hukum pidana untuk membentuk atau mewujudkan KUHP baru adalah menempatkan KUHP sebagai pokok atau bahan yang diperbaharui, dengan melihat kepada doktrin dasar nasional (Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara), melihat pula aspek Internasional (global dan Regional).

18

Objek yang diperbaharui adalah secara makro dan mikro hukum pidana. Makro yakni pembaharuan pada struktur atau lembaga- lembaga sistem peradilan pidana, substansinya yang menyangkut harmonisasi atau sinkronisasi hukum pidana, dan pembaharuan aspek budaya masyarakat dan nilai-nilai filosofis kehidupan, sedangkan secara mikro pembaharuan itu menyangkut tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu, “perbuatan pidana”, “pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana”. Objek pembaharuan hukum pidana tersebut baik yang makro maupun yang mikro, tentunya akan terjadi kalau ada perubahan perkembangan dalam studi terhadap apa yang dinamakan kejahatan.19

17

Ibid., hal. 26 18

Teguh Prasetyo, Op. Cit, hal. 30-31 19

(28)

Metode yang dipakai adalah metode komprehensif integrative, baik secara deduktif (menurut doktrin), maupun secara induktif (empirik).

Pembaharuan hukum pidana dengan demikian berdasarkan pendekatan sistemik ini adalah pembaharuan yang menyeluruh dari segala aspek terkait dengan hukum pidana (umum), oleh karenanya perlu dicatat secara total, selain melakukan penyempurnaan dalam artian yang baik tetap dipertahankan, aturan yang tidak cocok lagi dalam KUHP dihilangkan dan yang kurang ditambah. Oleh karenanya pembaharuan hukum pidana selalu saja berkisar kepada masalah kriminalisasi, diskriminalisasi, dan penalisasi.

Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan pidana yang semula bukan tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karena perkembangan masyarakat kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat ke dalam hukum pidana, artinya tahap akhir proses kriminalisasi adalah pembentukan hukum pidana.

Kriminologi (dengan penelitiannya memberikan masukan tentang perbuatan- perbuatan apa saja yang “layak” dimasukkan ke dalam hukum pidana, di samping itu tentunya para ahli hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk memasukkan perbuatan menjadi perbuatan pidana, melainkan perlu bantuan dari para ahli ilmu sosial lainnya, termasuk kriminologi, seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kesumaatmadja, pada Seminar Hukum Nasional ke-III di Surabaya tahun 1974 :

(29)

di bidang ilmu sosial lainnya serta di bidang- bidang ilmu lain yang perlu diikutsertakan apabila masalah yang ditangani menghendaki.’20

Sudarto memberikan defenisi tentang kriminalisasi sebagai berikut “Suatu proses dimana perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam dengan pidana dalam undang- undang“

Soetandyo Wignyosoebroto mengartikan kriminalisasi yaitu :

‘Suatu pernyataan bahwa suatu perbuatan tertentu itu harus dibilang sebagai perbuatan pidana. Judgements dan Decisions demikian itu, selalu dikonsepkan sebagai hasil proses- proses formal yang berlangsung dalam atau lewat lembaga-lembaga politik dan/atau pemerintahan (khususnya lembaga legislatif) dengan hasil akhirnya yang berupa produk perundang- undangan khususnya perundang- undangan hukum pidana’.

21

Pengertian dekriminalisasi yang merupakan kebalikan dari kriminalisasi yaitu suatu proses dimana dihilangkan sama sekali sifat pidananya suatu perbuatan. Dekriminalisasi ini harus dibedakan dengan depenalisasi. Depenalisasi mengandung arti suatu perbuatan yang semula diancam pidana, ancaman

, dengan kriminalisasi dimaksudkan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya Undang- Undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (eksekutif), dibawah pimpinan Menteri Kehakiman.

20

Ibid, hal. 32 21

(30)

pidananya dihilangkan, tapi masih dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain, melalui hukum perdata atau hukum administrasi.22

a) Jangan hukum pidana digunakan semata- mata untuk tujuan pembalasan ;

Nigel Walker mengingatkan adanya “ prinsip- prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian dalam menggunakan ketiga sarana penal (kriminalisasi, dekriminalisasi, dan penalisasi), antara lain :

b) Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan ;

c) Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana- sarana lain yang lebih ringan ;

d) Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri ;

e) Larangan- larangan hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah ;

f) Hukum pidana jangan memuat larangan- larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.23

Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, terkait kebijakan “penal” beliau memaparkan khusus untuk masalah kriminalisasi, bahwa dalam proses kriminalisasi harus memperhatikan berbagai aspek pertimbangan sebagai berikut :

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila ;

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat ;

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principles) juga sosial cost atau biaya sosial

22

Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi

Kejahatan-Kejahatan Baru yang Berkembang dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.3.

23

(31)

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan- badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).24

Bassioni berpendapat, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor- faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor sebagai berikut :

a) Keseimbangan sarana- sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang ingin dicapai.

b) Analisa biaya terhadap hasil- hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan- tujuan yang dicari.

c) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas- prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber daya manusia.

d) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh- pengaruhnya yang sekunder. Laporan simposium khususnya mengenai kriteria kriminalisasi itu antara lain menyatakan : untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut :

1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.

2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan

24

(32)

penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.

3. Apakah akan semakin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.

4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat. Alasan kriminalisasi dari beberapa pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut diatas pada umumnya meliputi :

5. Adanya korban ;

6. Kriminalisasi bukan semata- mata ditujukan untuk pembalasan ; 7. Harus berdasarkan asas ratio principle ; dan

8. Adanya kesepakatan sosial (public support).

Alasan yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan kerugian. Salah satu kesimpulan dari seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defences25

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang dipaparkan oleh Bassiouni disamping itu menimbulkan problem yakni kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk

.

25

(33)

masuknya faktor-faktor yang subjektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut Bassioni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan pertimbangan nilai yang bersifat emosional ( the emosionally laden value judgement approach ) oleh badan legislatif, dikemukakan pula bahwa perkembangan dari a policy oriented ini lamban datangnya karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian.

Kelambanan yang dimaksud antara lain terletak pada sumber- sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah. Kelambanan yang demikian ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa didasarkan pada penilaian- penilaian yang terpuji dan tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruh terhadap keseluruhan sistem dapat mengakibatkan timbulnya : (a) krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of overcriminalization), dan (b) krisis pelampauan batas dari hukum pidana ( the crisis of overreach of the criminal law). Akibat yang pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan- perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana yang lebih efektif.26

Kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah- langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menaggulangi kejahatan harus benar- benar

26

(34)

telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung fungsi hukum pidana itu dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan fungsional, yang bersifat melekat (inheren) pada setiap kebijakan yang rasional.

Pendekatan lain yang diperhatikan juga tentang sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu dengan melakukan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, yang berhubungan dengan kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan harus sesuai dengan politik kriminal yag dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai- nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.27

Di Indonesia proses kriminalisasi dilakukan sejak proklamasi kemerdekaan dan berlangsung terus-menerus sampai sekarang seiring perkembangan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula halnya dengan dekriminalisasi, meskipun dalam pembaharuan hukum pidana proses kriminalisasi lebih sering dipergunakan dibanding dengan proses diskriminalisasi.28

27

Ibid., hal. 138-139 28

(35)

2. Pengertian Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah

Persetubuhan merupakan perbuatan melakukan hubungan persenggamaan antara laki-laki dan perempuan (hubungan persetubuhan antara lawan jenis ) yang dalam hal ini keduanya melakukan perbuatan tersebut atas dasar suka sama suka, kerelaan, sadar dan sengaja.

Menurut Hoge Raad dalam pertimbangan hukum suatu arrestnya menyatakan bahwa “Persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan yang kemudian mengeluarkan air mani”

Pengertian bersetubuh seperti itu sampai saat ini tetap dipertahankan dan dalam praktik hukum digunakan sebagai dasar pembuktian dalam konteks delik perzinaan. Alat kelamin penis apabila tidak sampai masuk ke dalam vagina walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah terjadi persetubuhan, namun telah terjadi percobaan persetubuhan, dan jika dikaitkan dalam konteks hukum pidana, maka ketentuan pasal 53 telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan zina, yang tentunya diikuti dengan unsur- unsur lain agar dapat digolongkan ke dalam delik perzinaan.29

Perkawinan yang sah menurut pasal 1 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yakni ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga )

29

(36)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang- Undang ini menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.30 Perkawinan yang sah juga diatur dalam surat edaran Menteri Agama 3 Maret 1960 No. F/II/312331

30

Undang Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974 31

Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 21, PT. Bumi Aksara, 2001, hal 104-105

, Jadi dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwasanya yang dimaksud dengan persetubuhan di luar perkawinan yang sah ialah hubungan seksual (persenggamaan) yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, maupun masing-masing diantara keduanya, tidak dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain ( lajang ), dalam artian yang tergolong melakukan hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang dimaksud ialah apabila masing-masing antara laki-laki dan perempuan masih dalam status lajang.

(37)

Kata zina secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang artinya persetubuhan di luar pernikahan32. Menurut kosa kata Inggris, zina disebut sebagai fornication yang artinya persetubuhan di antara orang dewasa yang belum kawin dan adultery yang artinya persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan suami istri dan salah satu atau keduanya sudah terikat dalam perkawinan dengan suami/istri lain.33

Kamus Besar Bahasa Indonesia secara terminologis mendefenisikan perzinaan ke dalam dua pengertian, pertama adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan), dan kedua adalah perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.34

Hukum Islam membagi perzinaan dalam dua pengertian sama seperti pengertian dalam Bahasa Inggris, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni

pertama zina yang dilakukan oleh pelaku yang belum menikah ( ghairu muhsan )

atau dalam bahasa Inggrisnya yang telah disebutkan tadi yakni fornication dan

kedua, zina yang dilakukan oleh pelaku yang sudah menikah (muhsan)

35

32

Fadhel Ilahi, Zina (terjemah), Qisthi Press, Jakarta, 2004, hal. 7 33

Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi_Haryadi, Op. Cit., hal. 60-61 34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991, hal. 1136.

35

Digilib uin-suka.ac.id, Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Perzinaan (Studi Komparasi antara Hukum Pidana Islam dan Pasal 284 KUHP ), Yogyakarta, 29 Mei 2009, hal. 21, diakses pada tanggal tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.

atau

(38)

dengan kata lain ialah perbuatan melakukan hubungan seksual (persenggamaan) antara laki- laki dengan perempuan atas dasar kerelaan dan sadar, baik keduanya dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, ataupun salah satunya, maupun keduanya tidak dalam ikatan perkawinan (remaja).

Pengertian perzinaan sebagaimana rumusan pasal 284 KUHP menurut beberapa sumber tersebut yaitu pengertian dalam istilah adultery ataupun muhsan,

jadi persetubuhan yang dilakukan oleh laki- laki dengan perempuan yang sama- sama masih lajang bukanlah termasuk perzinaan menurut hukum positif.

RUU KUHP dalam perkembangannya dari rancangan tahun 2004 sampai dengan 2012, memuat pengertian zina yang tidak lagi sebagaimana yang tercantum dalam hukum positif (pasal 284 KUHP), melainkan telah diformulasikan secara lebih luas yakni mencakup pengertian zina sebagaimana yang diatur dalam Hukum Islam dan menurut bahasa Inggris yaitu disebut dengan istilah ghoiru muhsan dan fornication.

Lingkup zina yang diatur dalam hukum Islam dengan zina yang diatur dalam RUU KUHP terdapat sedikit perbedaan, dalam hukum Islam mengenai aturan pidana dalam Fiqih Jinayah, antara delik zina dan kumpul kebo tidak dibedakan, sebab pengertiannya sama dan delik kumpul kebo dapat dibuktikan apabila terdapat unsur persetubuhan/persenggamaan yang dilakukan oleh pelaku36

36

Digilib uin-suka.ac.id, Zina dan Kumpul Kebo dalam Perspektif Hukum Islam ( Studi atas delik zina dan Kumpul Kebo dalam RUU KUHP 2005), Yogyakarta, 2008, hal. 88, tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.

(39)

sebagai delik kesusilaan dan ditempatkan dalam bagian yang sama dalam RUU KUHP dalam bagian delik Zina dan Perbuatan Cabul. Perbedaanya yakni dalam delik zina, harus memenuhi adanya unsur persenggamaan/persetubuhan, sementara untuk delik kumpul kebo tidak harus dengan adanya persetubuhan/persenggamaan, sebab unsur yang terpenting ialah apabila dapat dibuktikan bahwasanya terdapat orang-orang yang hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah, ini sudah dapat dikatakan sebagai delik kumpul kebo.37

Undang-undang

Permasalahan kriminalisasi terhadap persetubuhan diluar perkawinan yang sah dalam konteks RUU KUHP yang dibahas dalam konteks permasalahan ini oleh karena itu tidak termasuk membahas delik kumpul kebo.

3. Pengertian Rancangan Undang-Undang KUHP

Legislation - dari bahasa Latin lex, legis

yang berarti hukum) berarti sumber hukum, semua dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti prosedur tertulis. Undang-undang merupakan karya legislatif, sering diwujudkan dalam parlemen yang mewakili rakyat. Undang-undang yang dibuat terlebih dahulu harus dipersiapkan dalam bentuk konsep/rancangan Undang-Undang.38

37

News.detik.com, RUU KUHP (Pasangan Kumpul Kebo Dipidana, Tak Perlu

Pembuktian adanya Hubungan Seks),Rabu, 20/03/2013, 15.15 WIB, diakses pada tanggal tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.

Rancangan Undang-Undang berisi format Undang- Undang yang dibuat secara normatif yang berisi materi rumusan pasal undang-undang yang akan dibuat.

38

Defenisi Undang-Undang, diakses pada tanggal 2 Juli

(40)

RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan ole diajukan dengan surat Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima.

RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR diterima. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi, melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.

DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu.

(41)

RUU tersebut disahkan ole jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden, jika dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.39

Proses pembuatan RUU KUHP ini telah memakan waktu yang cukup lama, yakni selama 49 tahun.

Rancangan KUHP dalam bahasan ini merupakan rancangan/konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia yang secara garis besar sudah dipandang tidak relevan lagi jika ditinjau dari segi sosiologis, filosofis dan yuridisnya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub bab pengertian kebijakan kriminalisasi.

Isi dari Rancangan KUHP bisa berupa penambahan isi pasal/delik (kriminalisasi), meniadakan/menghapuskan pasal yang semula ada, dan bisa juga mempertahankan rumusan pasal/delik yang sudah ada sejak semula (penalisasi).

Proses pembuatan Rancangan KUHP selama ini disadari sangatlah tidak mudah, begitu banyak dinamika yang terus menerus dialami Tim Perumus naskah RUU KUHP dari masa ke masa, sebab untuk dapat membuat rancangan Undang-Undang KUHP yang matang, banyak hal krusial yang patut dipertimbangan dalam merumuskannya.

40

RUU KUHP yang terbaru sampai pada periode 2013 yakni RUU KUHP tahun 2012.

39

Ibid.

40

(42)

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian mengadakan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut.

1. Jenis penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi, persetubuhan di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan “hubungan seksual di luar nikah”, delik perzinaan dan pembaharuannya.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Bahan hukum primer, yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang.

(43)

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah :

a)Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.

4. Analisis Data

Analisa data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang dalam hal ini berhubungan dengan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika, organisasi penelitian dan penulisan skripsi ini, dirumuskan sebagai berikut :

Bab I, PENDAHULUAN, terdiri atas sub-sub bab yang datangnya dari penulis, terhadap topik dan atau pokok persoalan yang akan diteliti dan dibahas. Sub-sub bab yang dimaksud adalah : Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keasliaan Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan terakhir Sistematika Penulisan.

Bab II, KONSEP PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA

(44)

permasalahan yang diteliti dan dibahas, yang terdiri atas sub-sub bab : Delik Perzinaan, Delik Perzinaan menurut KUHP dan Perkembangannya di dalam RUU KUHP, Delik Perzinaan menurut RUU KUHP 2012, Kebijakan Penuntutan Tindak Pidana Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah.

Bab III, LANDASAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012, yang berisikan uraian-uaraian mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yang menitikberatkan kepada kajian terhadap judul skripsi ini. Terdiri dari sub-sub bab : Kriminalisasi, Kriteria-Kriteria Penentuan Kebijakan Kriminalisasi, Permasalahan dan Akibat adanya Perbuatan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah di Masyarakat, Urgensi dan Tujuan Kebijakan Kriminalisasi terhadap Perbuatan Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia.

(45)

penerapan aturan tersebut dimasa yang akan datang, yang terdiri dari sub- sub bab Kelemahan dan Keuntungan adanya Pengaturan tentang Tindak Pidana Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU KUHP 2012 serta Peluang Berlakunya Aturan Tindak Pidana Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU KUHP 2012.

(46)

BAB II

KONSEP PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI

DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012

A.Delik Perzinaan

Ketentuan hukum pidana Indonesia (KUHP) mengenai delik perzinaan memiliki pengertian yang berbeda dengan konsepsi yang diberikan masyarakat. Menurut KUHP, zina diidentikkan dengan overspel yang pengertiannya jauh lebih sempit dari pada zina itu sendiri. Overspel hanya dapat terjadi jika salah satu pelaku atau kedua pelaku telah terikat tali perkawinan. Overspel dapat ditindak dengan hukum pidana jika ada pengaduan dari istri atau suami pelaku, tanpa adanya pengaduan, atau tanpa diadukan oleh istri/suami maka tindak pidana perzinaan bukan sebagai hal yang terlarang. Hal ini berbeda dengan konsepsi masyarakat/bangsa Indonesia yang komunal dan religious, setiap bentuk perzinaan, baik telah terikat tali perkawinan maupun belum merupakan perbuatan tabu yang melanggar nilai-nilai kesusilaan.41

Perzinaan dalam tinjauan hukum pidana Islam lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan dalam KUHP. Hukum pidana Islam tidak mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Persetubuhan tersebut

Konsep yang dianut masyarakat tersebut tertuang dalam aturan hukum pidana adat, dan hukum Islam, yang menjadi bagian yang terpisah dari KUHP.

41

(47)

apabila dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut pelaku

muhsan, dan apabila persetubuhan dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gairu muhsan.42

Hukum Pidana Adat disamping itu juga mengatur tentang perzinaan hampir sama halnya dengan apa yang diatur dalam hukum Islam, mengenai pelaku perzinaan, yakni tidak hanya dilakukan oleh orang yang sudah kawin. Melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah baik sudah menikah maupun belum menikah tetap dianggap sebagai perbuatan yang terlarang dan disebut juga sebagai zina. Hukum Islam dalam praktiknya hanya dapat dilaksanakan di daerah tertentu saja di Indonesia yang diatur dalam bentuk PERDA.

Sanksi dalam delik perzinaan hukum pidana Islam yakni Hukuman (had). Hukuman ini dapat dijatuhkan apabila ada pengakuan dari pelaku bahwa dia telah melakukan zina atau dari keterangan saksi, karena menyangkut hidup dan matinya seseorang.

43

42

Ibid, hal. 2 43

http://id.wikipedia.org, Daftar Peraturan Daerah di Indonesia Berlandaskan Hukum Agama, diakses pada tanggal 20 Juni 2013, pukul 00.00 WIB.

Berat atau ringannya pidana dalam hukum pidana adat tergantung dari hukum adat yang berlaku di lingkungan adat masing-masing. Tindakan reaksi atau koreksi terhadap kejahatan dalam lingkungan masyarakat adat Indonesia dikenal dengan tindakan-tindakan sebagai berikut :

(48)

2. pembayaran uang adat kepada yang terkena, berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian rohani;

3. selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib;

4. penutup malu atau permintaan maaf;

5. pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum; 6. hukuman badan hingga hukuman mati.

Hukum pidana Indonesia (KUHP) menganut asas legalitas formal sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUHP, yaitu tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Tafsiran analogi oleh karenanya tidak boleh dipergunakan dalam menentukan adanya tindak pidana dengan dianutnya asas legalitas formal.

(49)

melainkan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan, waktu dan tempat.44

44

Ibid, hal. 4-6

Penegakan hukum adat pada praktiknya akan sulit, sebab jika dikaji lebih jauh tidak semua kalangan masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat hukum adat, lantas jika terjadi perbuatan zina fornication dikalangan masyarakat yang bukan merupakan masyarakat hukum adat, padahal diketahui bahwa masyarakat tersebut sangat menjunjung nilai-nilai moral dan agama, tidak akan ada delik yang dapat menghukum pelaku perbuatan zina. Hal Ini menjadi persoalan besar sebab zina fornication ini sebenarnya memberikan efek yang merugikan bagi diri sendiri dan masyarakat luas.

Keputusan-keputusan Pengadilan yang mengakui perzinaan fornication

sebagai salah satu delik selama ini memang telah ada, namun kembali lagi dengan mendasarkan pada hukum yang hidup (adat) yakni sebagai berikut :

a. Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1977 No. K/Kr/1976. ‘Delik adat zinah merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut itu dilakukan seperti disyaratkan oleh pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP’.

b. Putusan Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984.

(50)

c. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.79/Tol.Pid/1983/PN Denpasar, putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.104/PN/Dps/Pid/1980, putusan No. 2/Pid/B/1985/PN Denpasar, putusan No.25/Pid/B/1986/PN Denpasar dan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.22/Pid./S/1988/PT Dps untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27 Januari No.1/Pid./S/1988/PN Klk. Semua putusan Pengadilan Bali ini menyangkut delik adat lokika sanggraha. Unsur-unsur yang menonjol adalah persetubuhan dilakukan oleh dua orang yang berada di luar perkawinan dengan janji akan dinikahi, atas dasar suka sama suka, namun ternyata pihak pria mengingkarinya. Dasar pemidanaannya adalah pasal ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal 359 Kitab Adigama.45

45

Muladi., Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Indonesia di Masa Mendatang, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 16

Hukum positif penting untuk mempertegas adanya aturan mengenai delik perzinaan bukan sekedar adultery dan merupakan hal yang mendesak, melihat adanya putusan-putusan Peradilan tersebut. Pasal 284 KUHP yang selama ini mengatur tentang delik zina terbukti dalam kenyataannya tidak mampu mengakomodir perbuatan zina yang ada dimasyarakat. Aturan adat yang berlaku bagi masing-masing daerah, ataupun aturan masing-masing agama untuk penegakan hukum terhadap perbuatan zina fornication kurang dapat diandalkan, sebabhal itu tidak bisa berlaku secara menyeluruh di tiap daerah, oleh karenanya penegakan hukumnya tidak akan efektif.

(51)

Tiap negara memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai kedudukan delik perzinaan itu sendiri dalam hukum pidananya, ada yang sama sekali tidak mempersoalkan mengenai perbuatan zina, yang artinya memandang mutlak perbuatan persetubuhan itu merupakan privasi setiap orang, ada yang memiliki kesamaan dengan hukum positif Indonesia, yakni memidana perbuatan zina

adultery saja, ataupun memidana kedua-duanya baik adultery maupun fornication

(52)

TABEL 1

PERBANDINGAN FORMULASI DELIK PERZINAAN DALAM KUHP BEBERAPA NEGARA46

NO KUHP NEGARA HUBUNGAN SEKSUAL YANG

DIFORMULASIKAN SEBAGAI DELIK

SIFAT DELIK PIDANA

1. Indonesia Zina Adultry Absolut Klacht Delict Penjara max 9 bulan

2. Prancis 1. Zina Adultry

2. Kumpul Kebo (pergundikan)

Absolute Klacht Delict

Absolut Klacht delict

Tutupan minimum 3 bulan max. 2 tahun untuk pelaku. Adapun untuk pelaku peserta sama dengan di atas ditambah denda 36.000 sampai 720.000

Franc

Denda 36.000 sampai 720.000

3.

Belanda Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan paksaan terhadap orang yang lemah pikiran, anak di bawah umur dan yang tidak berdaya

- -

4. Inggris Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan paksaan dan lain-lain. Hanya memidana Incest dan Buggery

- -

5. Thailand Zina bukan sebagai delik kecuali dlilakukan - -

46

(53)

dengan paksaan dan sejenisnya terhadap gadis di bawah 13 tahun dan sebagai mata pencaharian (pelacuran)

6. Jepang Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan kekerasan da sejenisnya terhadap gadis di bawah 13 tahun

- -

7. Argentina 1. Zina adultery

2. Pergundikan baik dalam rumah tangga/di luar rumah tangga

Tuntutan pribadi

Tuntutan pribadi

Tutupan min. 1 bln max. 1 thn

Tutupan min. 1 bln max. 1 thn

8. Austria Zina adultry Absulut klacht delict Kurungan min. 1 bl. Max 6

bln

9. Korea Zina adultry Absolute klacht delict Perampasan kemerdekaan

max. 2 tahun 10. Greenland Zina bukan sebagai delik kecuali dengan

perkosaan, terhadap perempuan yang berada di bawah kekuasaannya, terhadap anak-anak di bawah 15 tahun dengan memperdaya

- -

11. Malaysia Zina adultery dan Fornication Gewone Delichten Penjara seumur hidup atau 10 tahun dan denda atau dera. 12. Kelantan 1. Zina Adultery (Muhson)

2. Zina Fornication (Ghoiru muhson)

3. Sodomi (liwath)

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Rajam sampai mati Cambuk 100x dan 1 tahun

penjara

Sama dengan zina baik

(54)

4. Ittiyan al-mayit (zina dengan orang mati )

5. Musahaqah (lesbian)

6. Ittiyan al-bahimah (zina dengan hewan )

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Penjara max. 5 tahun Ta’zir

Penjara max. 5 tahun 13. Nigeria 1. Zina Adultry (muhson)

2. Zina Fornication (ghairo muhson)

3. Sodomi (liwath)

4. Incest

5. Lesbian

6. Bestiality (zina dengan hewan)

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Gewone Delichten

Dirajam sampai mati Cambuk 100x dan 1 tahun

penjara

Sama dengan zina baik

Adultry/Fornication

Sama dengan zina baik

Adultry/Fornication

Cambuk 50x dan penjara max 6 bulan

(55)

Kebijakan formulasi delik perzinaan di berbagai negara melalui KUHPnya masing-masing dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yang dapat dilihat dari tabel 1 di atas, dengan penjelasan sebagai berikut :

Kelompok I : Negara yang sama sekali tidak memandang perzinaan sebagai sebuah delik, kecuali bila hubungan seksual itu dilakukan dengan paksaan atau yang sejenisnya, memperdaya, dengan orang yang lemah pikiran dan lemah posisi, anak di bawah umur dan di negara-negara tertentu incest dan buggery. Negara-negara yang masuk pada kelompok pertama ini meliputi negara Belanda, Inggris, Thailand, Jepang, dan Greenland.

(56)

Prancis, Argentina, Austria, Korea, termasuk di dalamnya adalah Indonesia.

Kelompok III : Negara-negara yang merumuskan perzinaan dalam segala bentuknya baik Adultery (muhson) maupun Fornication (ghairu mhson) sebagai tindak pidana. Negara yang masuk pada kelompok ketiga ini meliputi negara yang telah disebutkan sebelumnya tadi, yakni Malaysia, Kelantan dan Nigeria.47

Negara-negara pada kelompok ketiga ini adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam sehingga formulasi delik perzinaan mendapat pengaruh yang kuat dari nilai-nilai hukum Islam, bahkan negara bagian Kelantan dan Nigeria memang mendasarkan hukum pidananya pada hukum Islam (Jinayah). Negara-negara pada kelompok ketiga ini menganggap moralitas dan agama tidak saja memiliki pengaruh dan hubungan yang sangat kuat terhadap hukum, tetapi bahkan menjadikannya sebagai sumber dalam perumusan hukum pidana. Perzinaan dijadikan sebagai delik bukan semata-mata karena merugikan orang

Negara-negara kelompok ketiga ini menetapkan bahwa perzinaan termasuk delik biasa (gewone delichten) dan dipandang sebagai kejahatan yang memiliki bobot sangat berat/serius, sehingga ancaman pidananya maksimal hukuman mati bagi Adultery. Negara bagian Kelantan dan Nigeria bahkan memidana juga perbuatan zina dengan segala variasinya seperti sodomi, incest, lesbian, bestiality, dengan ancaman hukuman yang sama atau hampir seimbang dengan perzinaan.

47

(57)

lain, tetapi karena perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah agama dan bahkan merupakan kejahatan yang keji, berat dan berbahaya, yang karenanya dikualifikasi sebagai kejahatan yang berbobot delik berat/serius.

Kelompok pertama tidak memidana perzinaan dan kelompok kedua memidana hanya pada adultery dengan sanksi pidana yang ringan karena memang nilai-nilai budaya, moral dan agama yang dianut oleh mereka memandang perzinaan itu adalah persoalan privacy, tetapi di negara yang menganggap bahwa perzinaan adalah masalah sosial dan berdampak sangat buruk dan didukung oleh budaya masyarakatnya yang masih memegang teguh nilai-nilai moral dan agama, delik adultery maupun fornication dipertahankan sebagai aturan terhadap perbuatan zina di masyarakat.

(58)
(59)

B.Delik Perzinaan menurut KUHP dan Perkembangannya di dalam RUU KUHP

Delik perzinaan dalam KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia diatur dalam b

Referensi

Dokumen terkait

Melihat hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan menerapkan metode Algoritma Interative Dichotomiser 3(ID3) untuk melakukan penentuan

Sampel yang digunakan adalah Quota sampling yaitu sampel dikumpulkan sampai mencapai jumlah yang diinginkan, jumlah sampel yang diinginkan adalah 50 responden persalinan

Beta-HCG (Beta-human chorionic gonadotropin) —A tumor marker associated with testicular cancer and tumors, such as choriocarci- noma and molar pregnancies, that begin in placen-

gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2 persen dibayar oleh peserta?. Tapi iuran tidak dipotong sebesar demikian

Berdasarkan perhitungan validitas terlihat bahwa semua item pertanyaan pada ketiga jenis data (tingkat kepuasan responden, tingkat kepuasan responden situs lazada, dan

Pengelolaan perikanan dapat diterapkan melalui penyediaan zona terbatas, zona pemanfaatan, izin perikanan, implementasi perlindungan spe- sies kunci, implementasi pengawasan

Pengaruh Model Project Citizen Dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Penanaman Nilai-nilai Anti Korupsi Siswa SMA Pada Konsep Sistem Hukum Dan

Perangkat peralatan fermentasi yang dilengkapi dengan sistem inkubator secara anaerobik; inokulum (mikroba rumen) dari cairan rumen domba (berfistula) yang diberi pakan rumput Raja