• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Karakteristik Muara Sungai Belawan Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Karakteristik Muara Sungai Belawan Sumatera Utara"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KARAKTERISTIK MUARA SUNGAI BELAWAN

SUMATERA UTARA

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan melengkapi syarat untuk menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh :

050404072 FAIZ ISMA

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Muara sungai (estuari) merupakan proses tempat terjadinya percampuran dua masa air antara air laut dan air sungai. Masuknya air laut ke arah hulu sungai (intrusi air asin) dari hasil pengamatan lapangan pada muara Sungai Belawan diperoleh sekitar 18 km dari mulut estuari menuju arah hulu sungai hingga diperolehnya kandungan parameter badan air yang tidak terpengaruh salinitas akibat pasut, muara Sungai Belawan memiliki tipe sudut asin (well-mixed estuary).

Dalam pengamatan karakteristik fisik estuari dilakukan penentuan titik lokasi yang dimulai dari mulut estuari yang diberi simbol J hingga kearah hulu sungai dengan simbol A. jarak tiap titik lokasi dari J-A sejauh 18 km dibagi tiap 2 km, kemudian dilakukan pemodelan dengan bantuan program Microsoft Office Excel menggunakan rumus – rumus teoritis dari fisik estuari.

(3)

KATA PENGANTAR

Tiada yang pantas diucapkan selain rasa syukur penulis kehadirat Allah SWT,

Tuhan Yang Maha Pengasih yang kasih-Nya tiada terpilih, Tuhan Yang Maha

Penyayang yang sayang-Nya tiada terbilang, yang telah memberikan kemampuan

kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Studi Karakteristik Fisik Muara

Sungai Belawan Sumatera Utara”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat

untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas

Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari

bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan

terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis

dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas

Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Ahmad Mulia Perwira Tarigan, M.Sc, selaku Dosen

Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran

untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya

tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik

(4)

3. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc, Bapak Faizal Ezeddin, MS, Bapak Ir.

Sufrizal, M.Eng, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan

masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera

Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan

hingga selesainya tugas akhir ini.

6. Ayahanda Drs. Ismail Manurung, M.Ag. dan Ibunda Dra. Deswita, yang

telah mendukung baik moril dan materil, serta memotivasi penulis dalam

menyelesaikan tugas akhir ini

7. Teman-teman seperjuangan angkatan ’05 “CIV05” khususnya Muhammad

Iqbal, Edo Febrian, Andri Rivaldi dan Hidrolika Community, terima kasih

atas bantuan dan dukungan dalam bentuk apapun selama mengerjakan tugas

akhir ini maupun selama masa perkuliahan. Terima kasih yang tak terhingga

atas persaudaraan, persahabatan dan kebersamaannya. Masa-masa itu layak

untuk dikenang dan dipertahankan akhir hayat nanti.

8. Abang-abang & Kakak-kakak angkatan ’02 ’03 ’04 dan Adik-adik

angkatan ’06 ’07 ’08 ’09, terima kasih atas bantuan dan dukungannya baik

secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini,

sehingga tugas akhir ini dapat selesai dengan baik dan tanpa menemui

hambatan serta rintangan yang berarti.

Penulis menyadari Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,

(5)

dengan tangan terbuka demi perbaikan tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap

semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, September 2010

Hormat Saya,

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

1.4.4 Suhu dan kadar garam (Temperature and Salinity) ... 7

1.4.5 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) ... 8

1.5 Ruang Lingkup dan Metodologi ... 9

1.6 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN LITERATUR... 12

2.1 Batimetri ... 12

2.1.1 Pengukuran kedalaman muara sungai ... 12

2.1.1.a Cara mekanis ... 13

2.1.1.b Perum Gema ... 14

2.1.2 Penentuan Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Jarak ... 15

2.1.3 Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Eksponensial Jarak ... 16

2.2 Pasang Surut ... 17

2.2.1 Pembangkit pasang surut ... 18

(7)

2.2.3 Komponen Pasang Surut ... 27

2.2.4 Ramalan Kenaikan Muka Air Akibat Pasut (Spring Tide and Neap Tide) ... 29

2.2.5 Pasang Surut Muara Sungai ... 30

2.3 Arus Pasang Surut (Tidal Current) Muara Sungai ... 33

2.3.1 Hubungan Debit dan Pasang Surut ... 35

2.4 Suhu dan Salinitas Estuari ... 37

2.4.1 Suhu (Temperature) ... 37

2.4.2 Kadar Garam (Salinity) ... 38

2.4.2.1 Pencampuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut) ... 39

2.4.3 Distribusi Gaussian ... 42

2.5.1.2 Partikel sedimen melayang (Suspended load)... 47

2.5.1.3 Saltation Load... 48

2.5.2 Karakteristik Sedimen ... 48

2.5.3 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) ... 51

2.5.3.1 Erosi partikulat (erosion of particulate) ... 53

2.5.3.2 Endapan Partikulat (Deposition of particulate) ... 56

2.5.3.3 Keseimbangan Konsentrasi (Equilibrium Concentrations) ... 57

BAB III KONDISI FISIK LOKASI KAJIAN... 60

3.1. Kondisi Umum Wilayah Muara Sungai Belawan ... 60

3.1.1 Lokasi Muara Sungai Belawan ... 60

3.1.2 Kondisi Fisik Kecamatan Medan Belawan di Kotamadya Medan 61 3.1.2.1 Batas Administratif ... 61

3.1.2.2 Luas Wilayah ... 62

3.1.2.3 Jumlah Penduduk ... 63

(8)

3.1.3 Fasilitas Muara Sungai Belawan ... 66

3.2. Kondisi Klimatologi... 69

3.3 Kondisi Bathimetri Muara Sungai Belawan ... 70

3.4 Kondisi Hidro – Oseanografi... 72

3.5 Kondisi Lapangan ... 78

3.5.1 Penentuan Titik Lokasi di Muara Sungai ... 79

3.5.2 Pengukuran Kedalaman Estuari ... 81

3.5.3 Pengukuran Lebar Estuari ... 81

3.5.4 Pengukuran Salinitas Estuari ... 82

3.5.5 Pengukuran Suhu Estuari ... 83

3.5.6 Pengukuran Kandungan Total Suspended Solid (TSS) Estuari .... 83

3.5.7 Analisa Saringan (Sieve Analysis) ... 87

3.5.8 Peralatan ... 88

3.5.9 Metode Pelaksanaan ... 88

3.6 Hidrologi ... 89

3.7 DAS Belawan ... 90

3.8 Pengerukan ... 92

BAB IV ANALISA PEMODELAN FISIK MUARA SUNGAI BELAWAN .... 97

4.1 Gambaran Umum Pemodelan Fisik Muara Sungai ... 97

4.1.1 Gambaran Lokasi Pemodelan ... 98

4.2 Batimetri Estuari Belawan... 99

4.2.1 Kondisi Penampang Muara Sungai Belawan ... 100

4.2.2 Distribusi Gaussian dan Reverse Gaussian ... 101

4.3 Kedudukan Pasut Estuari Belawan (Spring – Neap Tide) ... 106

4.4 Model Utama Fisik Estuari Belawan ... 111

4.4.1 Seperempat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter- Diurnal ... 111

4.4.2 Perubahan Kedalaman Estuari akibat Pasut (Water Depth Estuary) ………..113

4.4.3 Kecepatan Arus Pasut Estuari (tidal current estuary) ... 115

(9)

4.5 Pemodelan Zat Padat Tersuspensi (TSS) ... 121

4.5.1 Bilangan Estuari... 123

4.6 Gambaran Pemodelan dengan Program Microsoft Office Excel .. 128

4.7 Penentuan Kedalaman dan Lebar Menurut Wright dkk ... 149

4.8 Perhitungan Debit Banjir ... 160

4.8.1 Pengaruh Banjir Terhadap Model Fisik Muara Sungai Belawan . 163

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 165

5.1 Kesimpulan ... 165

5.2 Saran... 166

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Daerah Sungai Belawan Kecamatan Medan Belawan

Kotamadya Medan, Sumatera Utara ... 2

Gambar 2.1. Pengukuran Kedalaman Cara Mekanis ... 15

Gambar 2.2. Alat Perum Gema ... 16

Gambar 2.3. Gaya Tarik Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985) ... 20

Gambar 2.4. Sistem Bumi – Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985) ... 21

Gambar 2.5. Distribusi tractive Force (Thabet,1980) ... 23

Gambar 2.6a. Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Perbani (Neap Tide) ... 24

Gambar 2.6b. Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Purnama (Spring Tide) ... .. 25

Gambar 2.7. Persebaran Tipe Pasang Surut di Indonesia (Teknik Pantai, 1999) ... 26

Gambar 2.8. Tipe Pasang Surut (Teknik Pantai, 1999) ... 27

Gambar 2.9. Pola bolak balik arus pasang surut ... 38

Gambar 2.10. Penampang Pipa ... 44

Gambar 2.11. Proses Percampuran Air Tawar dan Air Asin ... 47

Gambar 2.12. Penyebaran Gaussian untuk Parameter Badan Air .……… 50

Gambar 2.13. Variasi Penyebaran Parameter Suhu Estuari ... 51

Gambar 2.14. Variasi PenyebaranSalinitas Estuari ... 53

Gambar 2.15. Grafik Kecepatan Kritis Terhadap Diameter Butir Sedimen ... 62

Gambar 2.16. Keseimbangan gaya-gaya yang bekerja pada partikel sedimen . 63 Gambar 3.1. Peta Kotamadya Medan ... 68

Gambar 3.2. Peta Kecamatan Medan Belawan ... 70

Gambar 3.3. Fasilitas Muara Sungai Belawan ... 76

Gambar 3.4. Bathimetri Muara Sungai Belawan ... 79

Gambar 3.5. Sket Lokasi Pengamatan Pasut (sumber: Pelindo I) ... 80

Gambar 3.6. Grafik pengamatan pasut selama 15 hari di Muara Sungai Belawan ... 82

(11)

Gambar 3.8. Pengayakan Saringan ... 96

Gambar 3.9. Sebaran Kelerengan Lahan DAS Belawan ... 99

Gambar 3.10. Profil Memanjang As Alur Pelayaran Pelabuhan Belawan berdasarkan

Pre Dredge Sounding Tahun 1993 -1996, dan final Sounding Tahun

1993 – 1996 (dalam meter, sumbu y adalah kedalaman dari LWS, sumbu

x adalah alur dari station 0.. ... 103

Gambar 4.1. Sket Model Fisik Muara Sungai Belawan ... 105

Gambar 4.2. Persiapan Sampel Sedimen ... 122

Gambar 4.4 Kondisi batimetri estuari Belawan dengan MS. Office Excel…….. 131

Gambar 4.5 Hasil perhitungan pasut dengan MS. Office Excel ... 134

Gambar 4.6 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi I ………. 135

Gambar 4.7 Grafik Arus Pasut Lokasi Titik I ……….. 138

Gambar 4.8 Grafik Kedalaman Estuari Akibat Pasut Lokasi Titik I………139

Gambar 4.9 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi J………. 140

Gambar 4.10 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi H……….. 140

Gambar 4.11 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi G……….. 141

Gambar 4.12 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi F……….. 141

Gambar 4.13 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi E……….. 142

Gambar 4.14 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi D……….. 142

Gambar 4.15 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi C……….. 143

Gambar 4.16 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi B……….. 143

Gambar 4.17 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

(12)

Gambar 4.18 Grafik Perbandingan Kedalaman Lapangan dan Kedalaman

Pemodelan Muara Sungai Belawan………... 148

Gambar 4.19 Grafik Perbandingan Lebar Lapangan dan Lebar Pemodelan Muara

Sungai Belawan………... 149

Gambar 4.20 Grafik Perbandingan Lebar Lapangan dan Lebar Pemodelan Muara

Sungai Belawan………... 150

Gambar 4.21 Kondisi batimetri estuari Belawan dengan MS. Office Excel

menggunakan persamaan Wright dkk……… 151 Gambar 4.22 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi I ………152

Gambar 4.23 Grafik perbandingan arus dari data lapangan dengan data penampang

menurut Wright dkk ……… 152

Gambar 4.24 Grafik perbandingan arus dari data lapangan dengan data Penampang

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Koefisien estuari, prandle (1986) ... 18

Tabel 2.2. Pengelompokan Tipe Pasut ... 28

Tabel 2.3. Komponen Pasang Surut ... 29

Tabel 2.4. Skala Wenworth dari klasifikasi ukuran sedimen ... 57

Tabel 2.5. Koefisien hambatan (Drag coefficients) berdasarkan partikel dasar saluran saluran muara (Dyer, 1986) ... 61

Tabel 3.9. Pengukuran Salinitas Estuari Belawan ... 88

Tabel 3.10. Pengukuran Suhu Estuari ... 89

Tabel 3.11. Titik Pengambilan Sampel Air ... 90

Tabel 3.12. Hasil Pengukuran Total suspended Solid (TSS) ... 93

Tabel 3.13. Anak-Anak Sungai DAS Belawan ... 97

Tabel 3.14. Volume Pengerukan Alur Pelayaran dan Kolam Pelabuhan Priode Tahun 1979 – 1990 ... 100

Tabel 3.15. Volume pengerukan alur dan kolam pelabuhan periode tahun 1997-2002 ... 101

(14)

bantuan MS Office Excel ……… 135

Tabel 4.8 Kode pemerograman pemodelan fisik estuari dengan bantuan MS Office

Excel untuk model utama………. 136 Tabel 4.9 Perubahan kedalaman estuari tiap jam akibat pasut selama 12 jam…... 137

Tabel 4.10 Perubahan kedalaman estuari dan arus pasut selama 24 jam ……… 138

Tabel 4.11 Penyebaran Parameter Badan Air Estuari……… 139

Tabel 4.12 Kode pemerograman Matlab untuk koefisien lebar estuari (a)…….. 146

Tabel 4.13 Kode pemerograman Matlab untuk koefisien kedalaman estuari (b).. 146

Tabel 4.14 Pebandingan antara kedalaman pemodelan dan kedalaman lapangan

estuari Belawan ……….. 147

Tabel 4.15 Pebandingan antara lebar pemodelan dan lebar lapangan estuari

Belawan………. 148

Tabel 4.16 Pebandingan antara luas penampang pemodelan dan luas penampang

lapangan estuari Belawan………. 150

Tabel 4.17 Perbandingan arus pasut dari data lapangan dengan data Wright dkk.. 152

(15)

DAFTAR NOTASI

- me : massa bumi

- mi : massa bulan (Mm) atau massa matahari (Ms)

- r : jarak pusat Bumi – pusat Bulan (km)

- ω : kecepatan sudut bumi bulan mengelilingi sumbu bersama (rad/detik)

- Φ : sudut yang terbentuk oleh bumi terhadap bulan

- F : bilangan Formzal

- AK1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari

- AO1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

- AM2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh

gaya tarik bulan

- hS2(t) : Kenaikan muka air akibat gaya tarik matahari terhadap bumi (m)

- hM2(t) : Kenaikan muka air akibat gaya tarik bulan terhadap bumi (m)

- h(t) : Kenaikan muka air total akibat pasut terhadap waktu (m)

- DT : Tinggi muka air rata – rata pasut

- h : Kedalaman aliran air (m)

- g : Percepatan gravitasi (m/s2)

- T : Priode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam).

- hM4(t) : Kedalaman air pada waktu t (m)

- AM4 : Amplitudo seperampat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter-

diurnal)

- uf : kecepatan air sungai (m/s)

- Ne : Bilangan estuari

- U(x,t) : Total kecepatan arus pasut terhadap waktu dan jarak (m/det)

- Δht : rentang kedalaman yang terjadi tiap jam akibat pasut (m)

- σx : standard deviasi dari suatu variasi parameter

(16)

- M : koefisien erosi (kg/m2s)

- Sp : parameter suspensi tergantung pada bentuk tipe estuari

- um : kecepatan arus pasut rata-rata maximum (m/s)

- ucr : kecepatan kritis batas ambang (m/s)

(17)

ABSTRAK

Muara sungai (estuari) merupakan proses tempat terjadinya percampuran dua masa air antara air laut dan air sungai. Masuknya air laut ke arah hulu sungai (intrusi air asin) dari hasil pengamatan lapangan pada muara Sungai Belawan diperoleh sekitar 18 km dari mulut estuari menuju arah hulu sungai hingga diperolehnya kandungan parameter badan air yang tidak terpengaruh salinitas akibat pasut, muara Sungai Belawan memiliki tipe sudut asin (well-mixed estuary).

Dalam pengamatan karakteristik fisik estuari dilakukan penentuan titik lokasi yang dimulai dari mulut estuari yang diberi simbol J hingga kearah hulu sungai dengan simbol A. jarak tiap titik lokasi dari J-A sejauh 18 km dibagi tiap 2 km, kemudian dilakukan pemodelan dengan bantuan program Microsoft Office Excel menggunakan rumus – rumus teoritis dari fisik estuari.

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Umum

Secara umum estuari mempunyai peran ekologis penting antara lain : sebagai

sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal

circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan

sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground)

terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum

dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya

sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri

Muara mempunyai nilai ekonomis yang penting, karena dapat berfungsi sebagai

alur penghubung antara laut dan daerah yang cukup dalam di daratan. Pengaruh pasang

surut yang masuk ke estuari dapat menyebabkan kenaikan muka air, baik pada waktu air

pasang maupun air surut. Selama periode pasang air dari laut dan dari sungai masuk ke

estuari dan terakumulasi dalam jumlah sangat besar, dan pada periode surut volume air

tersebut akan kembali ke laut, sehingga karena besarnya volume air yang dialirkan ke

laut maka kedalaman aliran akan cukup besar. Selain itu kecepatan arus juga besar

yang dapat mengerosi dasar estuari sehingga dapat mempertahankan kedalaman aliran.

Kondisi ini memungkikan digunakannya estuari untuk alur pelayaran menuju ke daerah

(19)

daerah yang ada di sekitarnya, karena memungkinkan dibukanya pelabuhan-pelabuhan

di daerah tersebut. Beberapa pelabuhan yang berada di estuari diantaranya adalah

pelabuhan Belawan, Palembang, London, New York, dan sebagainya.

Penjalaran pasang surut ke estuari disertai juga intrusi air asin, yang

kadang-kadang bisa sampai jauh ke hulu sungai. Pengetahuan intrusi air asin adalah penting

untuk mengetahui dinamika sedimen di estuari, penentuan letak bangunan pengambilan

(intake) dari saluran primer di daerah persawahan pasang surut atau tambak. Daerah pertanian tidak boleh dipengaruhi air asin. Oleh karena itu saluran irigasi harus

diletakkan di daerah yang tidak dipengaruhi air asin. Demikian juga, suatu jenis

ikan/udang akan berkembang dengan baik pada lingkungan dengan kadar garam tertentu.

Letak intake saluran dari suatu tambak harus sedemikian rupa sehingga kadar garam air

untuk tambak memenuhi persyaratan. Lokasi studi tugas akhir ini adalah muara Sungai

Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan di Kota Madya Medan, Sumatera

Utara.

Gambar.1 Daerah Muara Sungai Belawan Kecamatan Medan Belawan Kota Madya

(20)

Sungai Belawan merupakan salah satu dari delapan sungai yang ada di Kota

Medan. Kecamatan Medan Belawan terletak di wilayah Ut

Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, Sebelah Timur berbatasan dengan

Kabupaten Deli Serdang, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan

Marelan dan Kecamatan Medan Labuhan, Sebelah Utara berbatasan dengan Selat

Malaka. Kecamatan Medan Belawan dengan luas wilayahnya 26,25 KM², Kecamatan

Medan Belawan adalah daerah pesisir Kota Medan dan merupakan wilayah bahari dan

maritim yang berbatasan langsung pada Selat Malaka dengan penduduknya berjumlah

94.735 jiwa (2006).

Di Kecamatan Medan Belawan ini terdapat Pelabuhan Belawan yang merupakan

pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, regional dan nasional. Pelabuhan

Belawan ini merupakan urat nadi perekonomian Sumatera Utara khususnya arus keluar

masuk barang dan penumpang melalui angkutan laut, sehingga Kota Medan dikenal

dengan pintu gerbang Indonesia bagian Barat.

1.2 Latar Belakang

Estuaria merupakan badan air tempat terjadinya percampuran masa air laut yang

dipengaruhi oleh pasang surut dengan air tawar yang berasal dari sungai. Hal ini

menyebabkan kondisi perairan ini sangat tergantung pada kondisi air laut dan air tawar

yang masuk ke dalamnya. Pengaruh pasang surut terhadap sirkulasi aliran (kecepatan

/debit sungai, profil muka air, intrusi air asin) di estuari dapat sampai jauh ke sungai

yang tergantung pada tinggi pasang surut, dan karakteristik estuari (tampang aliran,

(21)

Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran/pembuangan debit sungai, terutama

pada waktu banjir pada hulu dan tengah sungai yang merupakan tempat aktivitas

manusia sehingga banjir tersebut dapat dibuang ke laut. Karena letaknya yang berada di

ujung hilir, maka debit aliran di muara adalah lebih besar dibanding tampang sungai di

sebelah hulu. Selain itu muara sungai juga harus melewatkan debit yang ditimbulkan

oleh pasang surut, yang bisa lebih besar dari debit sungai. Sesuai dengan fungsinya

tersebut muara sungai harus cukup lebar dan dalam. Permasalahan yang sering dijumpai

adalah banyaknya endapan di muara sungai sehingga tampang alirannya kecil, yang

dapat mengganggu pembuangan debit sungai ke laut. Ketidaklancaran pembuangan

tersebut dapat mengakibatkan banjir di daerah hulu muara.

Proses masuknya air laut ke muara dikenal dengan instrusi air laut. Jarak instrusi

air laut sangat tergantung pada krakteristik muara, pasang surut, dan debit sungai.

Semakin besar tinggi pasang surut dan semakin kecil debit sungai semakin jauh instrusi

air laut atau sebaliknya. Transpor garam di muara terjadi secara konveksi dan difusi.

Secara konveksi artinya garam terbawa (terangkut) bersama dengan aliran air (karena

terpengaruh kecepatan aliran). Transpor secara difusi terjadi karena adanya turbulensi

dan perbedaan kadar garam disuatu titik dengan titik – titik disekitarnya, sehingga kadar

garam akan menyebar ketitik konsentrasi yang lebih rendah, kedua transpor yang terjadi

secara bersamaan (konveksi dan difusi) disebut dengan dispersi.

Nybakken (1992) menyatakan bahwa keberadaan lumpur di dasar perairan

sangat dipengaruhi oleh banyaknya partikel tersuspensi yang dibawa oleh air tawar dan

air laut serta faktor-faktor yang mempengaruhi penggumpalan, pengendapan bahan

(22)

maka proses pendangkalan akibat proses sedimentasi akan berdampak terhadap

berbagai aspek dalam perairan baik dari segi aspek biologis maupun ekologis.

Dalam muara, air sungai bercampur dengan air laut melalui aktivitas pasang

surut dan gelombang (Nelson et al dalam Purba, 2006). Salah satu peranan penting

muara sungai adalah sebagai tempat pengeluaran/ pembuangan debit sungai yang

membawa material yang disuplai dari darat. Material ini sebagian akan mengendap di

muara sungai dan sisanya akan diteruskan ke laut. Gross (1972) menekankan bahwa

pasang mendominasi sirkulasi air di sebagian besar muara sungai, sehingga suplai air di

muara sungai bergantung pada peristiwa pasang surut. Arus pasang akan mampu

mengaduk sedimen yang ada di muara sungai dimana hal ini akan terkait dengan

konsentrasi padatan tersuspensi yang ada di muara sungai.

Padatan tersuspensi secara langsung akan menyebabkan naiknya tingkat

kekeruhan di perairan muara. Material padatan tersuspensi yang berada di kolom air

akan menghambat penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan, akibatnya proses

fotosintesis oleh fitoplankton akan terhambat yang menyebabkan kandungan oksigen

terlarut diperairan menurun.

1.3 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari

karakteristik fisik muara sungai merupakan kecepatan arus yang disebabkan dari pasut

laut dan debit aliran sungai belawan, penyebaran parameter suhu dan kadar garam pada

badan air muara sungai belawan akibat adanya perpindahan yang disebabkan arus pasut

dari laut dan aliran sungai belawan. Kemudian dilakukan perbandingan antara kondisi

fisik lapangan dengan kondisi fisik muara sungai yang menggunakan persamaan wright

(23)

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk

kepentingan pihak – pihak terkait dalam pengembangan pembangunan dan pelestarian

di kawasan muara sungai belawan.

1.4 Pembatasan Masalah

Dalam penulisan Tugas Akhir ini, permasalahan yang akan dibahas dibatasi

ruang lingkupnya agar tidak terlalu luas, permasalahan yang akan dibahas hanya sebatas

karakteristik fisik Muara Sungai Belawan yang akan dimodelkan dengan bantuan

program Microsoft Office Excel, sehingga dapat diketahui perubahan fisik muara yang

terjadi tiap titik lokasi sepanjang muara sungai, cakupan yang akan dibahas dari

karakteristik fisik estari adalah :

1.4.1 Batimetri (Modeling Bathymetri)

Bathimetri adalah pengukuran lebar (W), kedalaman (D) dan jarak (L). Peralatan

yang digunakan untuk mengukur jarak dan lebar menggunakan Global Positioning

System (GPS). Sedangkan peralatan yang digunakan untuk mengukur kedalaman adalah Fishfinder 240 blue.

1.4.2 Pasang Surut (Tide)

Pasang surut adalah perubahan elevasi muka air laut akibat adanya gaya tarik

benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi.

Perubahan elevasi muka air laut tersebut berlangsung secara periodik (Teknik Pantai,

1999). Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Secara umum pasang surut

di berbagai daerah dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu pasang surut harian ganda

(semidiurnal tide), pasang surut harian tunggal (diurnal tide), pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed semidiurnal tide), dan pasang surut campuran condong

(24)

1.4.3 Arus Pasut (Tide Current)

Arus adalah pergerakan air secara horizontal yang disebabkan adanya perubahan

ketinggian permukaan laut. Arus lautan global merupakan pergerakan masa air yang

sangat besar dan arus ini yang mempengaruhi arah aliran air lautan dan terkait antara

satu lautan dengan lautan lain di seluruh dunia. Adanya arus lautan ini disebabkan oleh

perputaran bumi.

Pada umumnya arus terjadi sepanjang pantai disebabkan oleh perbedaan muka

air pasang dan surut tiap jam di sepanjang estuari yang dipengaruhi volume dari arah

hulu sungai (upstream) menuju hilir sungai (downstream), sehingga perilaku arus

dipengaruhi pola pasang surut. Kecepatan arus yang aman untuk kapal berlabuh

disyaratkan berkecepatan maksimal 2 knot atau 1 m/dt.

1.4.4 Suhu dan kadar garam (Temperature and Salinity)

Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan

diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal dan air

yang datang (pada saat pasang-naik) ke perairan estuaria tersebut kontak dengan daerah

yang substratnya terekspos (Kinne, 1964).

Suhu dan salinitas merupakan parameter-parameter fisika yang penting untuk

kehidupan organisme di perairan laut dan payau. Parameter ini sangat spesifik di

perairan estuaria. Kenaikan suhu di atas kisaran toleransi organism dapat meningkatkan

laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi dan aktifitas organisme. Kenaikan

laju metabolisme dan aktifitas ini berbeda untuk spesies, proses dan level atau kisaran

suhu.

Kadar garam dalam sistem estuari berbeda-beda sepanjang siklus pasang surut,

(25)

sudah digunakan oleh West dan Williams (1975). dalam Tay Estuary di Skotlandia.

Kadar garam air laut biasanya diasumsikan dengan 35 ‰ yang masuk menuju sungai

yang berbatasan dengan laut akibat pasang yang terjadi dilaut dan dipengaruhi dari debit

sungai, sehingga terjadinya campuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut).

Intrusi air asin yang masuk ke sungai tergantung pada tingginya pasang yang masuk ke

sungai.

1.4.5 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid)

Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir,

lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat

berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, Zat padat tersuspensi merupakan

tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan

pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat

organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang

lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi,

sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut

antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai,

ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan.

Kandungan zat padat tersuspensi masih sesuai dengan Nilai Ambang Batas

(NAB) yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk kepentingan

perikanan dan taman laut konservasi yaitu < 80 mg/l, namun tidak sesuai untuk

kepentingan pariwisata (mandi selam dan renang) yaitu < 23 mg/l. Menurut US-EPA

pengaruh padatan tersuspensi sangat beragam, tergantung pada sifat kimia alamiah

(26)

1.5 Ruang Lingkup dan Metodologi

Adapun metode penulisan yang dilakukan dalam penyelesaian tugas akhir ini

adalah :

1. Studi pustaka / literatur

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data – data dan informasi dari

buku, serta jurnal – jurnal yang mempunyai relevansi dengan bahasan dalam

tugas akhir ini serta masukan-masukan dari dosen pembimbing.

2. Studi lapangan

a. Pengambilan data sekunder

Dilakukan pengumpulan data – data sekunder yang diperoleh dari instansi

terkait di daerah penelitian.

b. Pengambilan data primer

c. Data ini diperoleh dengan mengadakan survei dilapangan.

3. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari lapangan dan kepustakaan yang bersesuaian dengan

pokok bahasan, disusun secara sitematis dan logis dan dilakukan korelasi

sehingga diperoleh suatu gambaran umum yang akan dibahas dalam tugas akhir

ini.

4. Analisa Data

Dari hasil pengolahan data akan didapat model fisik muara di kawasan muara

sungai Belawan, Sumatera Utara.

(27)

Seluruh data dan hasil pengolahannya akan disajikan dalam satu laporan yang

telah disusun sedemikian rupa hingga berbentuk sebuah laporan tugas akhir.

1.6 Sistematika Penulisan

Bab I berisikan pendahuluan yang memberikan penjelasan tentang muara sungai

deli Sumatera Utara dan memberikan gambaran umum tentang muara serta tujuan,

ruang lingkup dan metodologi dalam penulisan tugas akhir ini.

Bab II berisikan studi literatur yang menguraikan karakteristik model fisik muara

kemudian diuraikan juga bagaimana proses transpor sedimen yang terjadi di Muara

Sungai Belawan .

Bab III memberikan gambaran lokasi studi tugas akhir yang menjelaskan kondisi

daerah Muara Sungai Belawan.

Bab IV berisikan hasil dan pembahasan dari data-data yang diperoleh di

lapangan untuk melakukan pemodelan dengan bantuan program microscoft office excel

menggunakan rumus-rumus teoritis tentang fisik di Muara Sungai Belawan dan

kemudian dilakukan perbandingan dengan data lapangan.

Bab V berisi kesimpulan yang dirangkum dari hasil simulasi yang dilakukan dan

(28)

BAB II

STUDI LITERATUR

2.1 Batimetri

Bathimetri merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar muara

dengan metode penginderaan atau rekaman dari permukaan dasar perairan, yang akan

diolah untuk menghasilkan relief dasar perairan, sehingga dapat digambarkan susunan

dari garis-garis kedalaman (kontur). Pemetaan kondisi dasar perairan tersebut

dikonversikan dalam keadaan surut terendah (Low Water Surface).

Unsur utama pembuatan bathymetri adalah pengukuran jarak dan kedalaman.

Peralatan yang digunakan untuk mengukur jarak antara lain Theodolith, Electronic Data

Measurement (EDM), atau Global Positioning System (GPS). Sedangkan peralatan yang digunakan untuk mengukur kedalaman adalah fishfinder 240 blue dan perahu boat.

Faktor lain yang sangat mempengaruhi pengukuran batimetri adalah dinamika

media air muara berupa pasang surut muara sungai, sehingga sangat sulit untuk

menentukan objek yang sama pada waktu yang berbeda. Dengan demikian pada

pengukuran kedalaman dasar muara perlu dilakukan 3 pengukuran sekaligus pada waktu

yang bersamaan yaitu pengukuran kedalaman, pengukuran posisi alat ukur kedalaman,

dan pengukuran pasang surut. Dari ketiga data tersebut akan menjadi informasi

kedalaman muara pada posisi tersebut terhadap suatu bidang refrensi (chart datum).

2.1.1 Pengukuran kedalaman muara sungai

Kedalaman muara sungai adalah jarak antara dasar muara pada suatu tempat

terhadap permukaan muaranya. Kedalaman muara ini dapat dibagi menjadi beberapa

(29)

kedalaman lainnya adalah kedalaman peta, yaitu kedalaman dasar muara suatu tempat

terhadap chart datumnya.

Pengukuran kedalaman muara dapat dilakukan dengan beberapa cara, metoda

yang paling sederhana adalah cara mekanis dengan menggunakan galah atau tali ukur,

sedangkan yang sangat canggih adalah dengan menggunakan sinar laser yang

dipancarkan dari pesawat terbang. Namun cara yang sering digunakan adalah metoda

perum gema ( fishfinder)

2.1.1.a Cara mekanis

Cara yang paling sederhana dalam mengukur kedalaman estuari adalah dengan

menggunakan galah berskala, dengan membaca kedudukan muka laut pada skala galah

maka kedalaman bacaan didapat. Namun cara ini sangat berkaitan dengan panjang galah,

semakin panjang galah maka semakin banyak masalah didapat dalam pengukuran. Maka

untuk lebih memudahkan pengukuran galah diganti dengan pita ukur berskala dengan

pemberat diujungnya dikenal dengan sebutan lot, seperti terlihat pada Gambar

Dengan cara ini pengukuran dapat dilakukan lebih dalam lagi namun masalah

baru timbul diantaranya bila pemberat cukup ringan maka pita akan mudah dipengaruhi

kedudukannya oleh arus laut sehingga bentangan pita akan melengkung, sedangkan bila

pemberat cukup berat maka pita akan meregang sehingga kedalaman bacaan akan lebih

kecil dari yang seharusnya.

Pada kedua cara mekanis tersebut diatas data yang didapat terbatas pada tempat

atau posisi alat tersebut diturunkan, sedangkan diantara dua tempat yang berurutan tidak

diketahui atau diasumsikan mempunyai kedalaman diantara kedua kedalaman pada

(30)

kedalaman dirapatkan namun berakibat waktu yang dibutuhkan untuk mengukur lebih

lama.

Sekalipun demikian cara tersebut diatas tidak berarti tidak dapat digunakan pada masa

kini, cara tersebut masih dapat digunakan dalam beberapa kondisi yaitu :

a. Daerah yang diukur mempunyai kelandaian rendah yang mempunyai permukaan

relatif rata.

b. Pengukuran diikuti dengan penyapuan kedalaman walaupun dilakukan dengan cara

yang juga sederhana (Dragging) untuk memeriksa dasar laut dari kedalalaman yang lebih

kecil dari batas tertentu, seperti pada kedalaman sampai 6 meter.

c. Pengukuran yang dilakukan untuk memeriksa secara acak pada daerah hasil ukuran

yang akan disetujui.

Gambar 2.1 Pengukuran Kedalaman Cara Mekanis

2.1.1.b Perum Gema

Cara ini menggunakan gelombang suara yang dipancarkan oleh transducer

pemancar pada permukaan laut kemudian dipantulkan oleh dasar laut dan diterima

(31)

pada tempat yang terpisah ataupun yang relatif sama. Gelombang udara tersebut yang

dikemas dalam bentuk pulsa-pulsa menjalar pada medium air laut dengan kecepatan

kurang lebih 1500 m/detik dengan panjang lintasannya dua kali kedalaman air laut yang

dilaluinya.

Gambar 2.2 Alat Perum Gema (fishfinder 240 blue)

2.1.2 Penentuan Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Jarak

Menurut wright dkk (1973) menyatakan bahwa lebar dan kedalaman estuari dapat

diwakili dengan persamaan berikut ini :

………. (2.1)

……….. (2.2) )

/ ( 0

L x a

x W e

W = −

) / ( 0

L x b

x D e

(32)

Persamaan tersebut dikembangkan oleh Prandle (1986) menyatakan bahwa umumnya

teori analisis untuk dinamika dari batimetri estuari dapat didekati dengan fungsi.

n

WL adalah lebar pada mulut estuari (m)

Dx adalah Kedalaman estuari (m)

DL adalah kedalaman pada mulut estuary (m)

x adalah pengukuran dari mulut muara hingga hulu (m) m dan n adalah koefisien estuari

λ adalah dimensi horizontal sebagai panjang estuari (m) a dan b merupakan koefisien estuary

2.1.3 Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Eksponensial Jarak

Dyer (1986) mencatat bahwa banyak estuari yang dapat ditunjukkan secara

eksponensial variasi lebar, kedalaman, dan luas penampang dari jarak mulut estuari

(mouth estuary). Dengan cara yang sama, prandle (1986) menggantikan menajadi

persamaan dan persamaan.

Dimana m dan n merupakan koefisien estuari.

Prandle (1986) telah melakukan percobaan pada estuari seperti terlihat pada tabel 1.1

(33)

Tabel 2.1 Koefisien estuari, prandle (1986)

Pasang surut merupakan perubahan elevasi muka air laut akibat adanya gaya tarik

benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Perubahan

elevasi muka air laut tersebut berlangsung secara periodik (Teknik Pantai, 1999).

Fenomena pergerakan naik turunya permukaan air laut secara berkala yang

diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik-menarik antara benda-benda

astronomi terutama oleh matahari dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat

diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil.

Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal.

Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara

langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran

bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada

(34)

dekat dari pada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah

bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di

laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu

rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari.

2.2.1 Pembangkit pasang surut

Meskipun sudah sejak lama diketahui bahwa gejala pasang surut laut terutama

dihasilkan oleh adanya gaya tarik bulan dan matahari, namun baru setelah Newton pada

tahun 1807 menemukan hukum gravitasi, gejala pasang surut dapat dianalisa secara

kuantitatif.

Pertama pertimbangkan keadaan sederhana ini. Pusat dari gravitasi bulan terletak pada

bidang yang sama dengan ekuator bumi dan bulan berada pada suatu jarak yang konstan

dari bumi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Gaya Tarik Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985)

Teori kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton

(1642-1727), Teori ini menerangkan sifat-sifat pasut secara kualitatif. Teori terjadi pada bumi

ideal yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air dan pengaruh kelembaman (Inertia)

(35)

dengan gaya pembangkit pasang surut (King, 1966). Untuk memahami gaya

pembangkit pasang surut dilakukan dengan memisahkan pergerakan sistem

bumi-bulan-matahari menjadi 2 yaitu, sistem bumi-bulan dan sistem bumi-bumi-bulan-matahari.

Pada teori kesetimbangan, bumi diasumsikan tertutup air dengan kedalaman dan

densitas yang sama dan naik turun muka laut sebanding dengan gaya pembangkit

pasang surut (Tide Generating Force) yaitu Resultante gaya tarik bulan dan gaya

sentrifugal, teori ini berkaitan dengan hubungan antara laut, massa air yang naik, bulan,

dan matahari. Gaya pembangkit pasut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi

dan air rendah pada dua lokasi (Gross, 1987).

Newton menunjukkan bahwa kekuatan atraksi antara kedua benda-benda

angkasa, dalam hal ini proporsional dengan produk massanya dan sebaliknya

proporsional dengan jarak pemisahnya r, Newton mendefensikan proporsinalitas

konstan sebagai G, konstan gravitasi universal, (6.672 x 10-11 Nm2kg-2), sehingga

kekuatan yang ada menjadi :

……….. (2.7)

Dimana :

M adalah massa bumi berkisar 4,1 x 1023 slug= 14,59 x 4,1 x 1023 = 59,819 x

1023 kg

• m adalah massa bulan berkisar 7.0375 x 1022 kg dan massa matahari berkisar 1.9206 x 1030 kg

• Jarak rata-rata bumi-bulan (r) (238.862 mil = 1,609 x 238862 = 384.328,958km) 2

(36)

2

Gambar 2.4 Sistem Bumi – Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985)

Sistem Bumi – Bulan di atas dapat dilukiskan sebagai berikut:

M adalah massa Bumi (kg)

m adalah massa Bulan (kg)

ω = kecepatan sudut dari sistem Bumi - Bulan pada sumbu bersama (rad/detik)

r = jarak pusat Bumi – pusat Bulan (km)

rm= jarak pusat Bulan – sumbu bersama (km)

re = jarak pusat Bumi – sumbu bersama (km)

r = rm + re

Pada sistem Bumi-Bulan, dimana Bumi dianggap tidak berotasi pada sumbunya,

tetapi mengadakan putaran (revolusi) pada sumbu putaran bersama Bumi-Bulan. Sistem

Bumi-Bulan dalam keadaan setimbang, gaya-gaya yang bekerja pada sistem itu adalah

gaya tarik menarik dan gaya sentrifugal pada sumbu bersama.

• Keseimbangan gaya yang terjadi di Bumi :

……… (2.8)

• Keseimbangan gaya yang terjadi di Bulan :

(37)

Dimana

ω adalah kecepatan sudut bumi bulan mengelilingi sumbu bersama (rad/detik)

rm= jarak pusat Bulan – sumbu bersama (km)

re = jarak pusat Bumi – sumbu bersama (km)

Gaya pembangkit pasut membentuk sudut dengan permukaan bumi. Komponen

tegak lurus terhadap permukaan bumi menambah atau mengurangi gaya gravitasi bumi.

Akan tetapi pengaruhnya kecil (orde magnitude 10-7 g), untuk gerakan air sebenarnya ,

hanya komponen tangensial terhadap permukaan bumilah yang penting. Komponen ini

selanjutnya disebut Tractive Force, Fs (Doodson dan Warburg, 1941 dalam Thabet,

1980) adalah

……… (2.10)

Φ adalah sudut yang terbentuk oleh bumi terhadap bulan

Gambar 2.5 Distribusi tractive Force (Thabet,1980)

Bulan mengelilingi bumi sekali dalam 24 jam 84 menit. Jika faktor lain

diabaikan maka suatu lokasi di bumi akan mengalami dua kali pasang dan dua kali surut Φ

= sin2

2 3

3

K gm

(38)

dalam sehari. Teori tersebut akan benar jika digunakan anggapan seluruh permukaan

bumi tertutup merata oleh air laut (equilibrium theory), jika hanya ada pengaruh bulan

saja atau matahari saja tetapi tidak pengaruh keduannya secara bersamaan dan jika

bulan atau matahari mempunyai orbit yang benar-benar berupa lingkaran dan orbitnya

tepat diatas khatulistiwa.

Tetapi pada kenyataannya anggapan tersebut tidak benar. Karena laut tidak

meliputi bumi secara merata tetapi terputus oleh benua dan pulau. Topografi dasar laut

tidak rata mendatar tetapi sangat bervariasi dari palung yang dalam, gunung bawah laut

sampai paparan yang luas dan dangkal. Demikian pula ada selat yang sempit dan

panjang atau teluk berbentuk corong dengan dasar melandai. Hal tersebut menimbulkan

penyimpangan dari kondisi yang ideal dan menyebabkan ciri-ciri pasang surut yang

berbeda-beda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Selain itu posisi kedudukan bulan dan matahari dalam orbit selalu berubah

relatif terhadap bumi. Apabila bulan dan matahari berada kurang lebih pada satu garis

lurus dengan bumi, seperti pada saat bulan muda atau bulan purnama maka gaya tarik

keduanya akan saling memperkuat. Dalam keadaan demikian terjadi pasang surut

purnama (spring tide) dengan tinggi air yang maksimum melebihi pasang biasa.

Sebaliknya surutnya sangat rendah hingga lokasi dengan pantai yang landai bisa

menjadi kering sampai ke laut. Tetapi jika bulan dan matahari membentuk sudut

siku-siku terhadap bumi maka gaya tarik keduanya akan saling meniadakan. Akibatnya

perbedaan tinggi air antara pasang dan surut kecil, keadaan ini dikenal dengan pasang

perbani (neap tide). Gambar 2.6 di bawah ini menjelaskan kondisi

(39)

Gambar 2.6a Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Perbani (Neap Tide)

Gambar 2.6b Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Purnama (Spring Tide)

2.2.2 Tipe Pasang Surut

Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Secara umum pasang surut

di berbagai daerah dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu pasang surut harian ganda,

(40)

pasang surut campuran condong ke harian tunggal. Keempat tipe tersebut terdapat di

Indonesia dengan persebaran dapat dilihat pada Gambar 2.7

1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide)

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi

yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan teratur. Periode pasang

surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar

2.8a.

2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)

Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode

pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan selat

Karimata. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8d.

3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi

mempuyai tinggi dan periode yang berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di

perairan Indonesia bagian timur. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8b.

4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal

Dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi tinggi dan

periodenya sangat berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di selat Kalimantan

dan pantai utara Jawa Barat. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8c.

Pada pasang surut campuran yang lebih condong ke pasut harian ganda dalam

satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, namun tinggi dan waktunya berbeda.

Hal ini terjadi di sebagian besar perairan indonesia bagian timur. Yang terakhir pasang

(41)

sekali surut dalam sehari tetapi kadang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang

sangat berbeda dalam tinggi dan waktunya.

Gambar 2.7 Persebaran Tipe Pasang Surut di Indonesia (Teknik Pantai, 1999)

(42)

Tipe pasang surut dapat diketahui dengan cara mendapatkan bilangan/ konstanta

pasut (Tidal Constant/ Formzal) yang dihitung dengan menggunakan metode Admiralti

yang merupakan perbandingan jumlah amplitudo komponen diurnal terhadap amplitudo

komponen semidiurnal, yang dinyatakan dengan :

……….. (2.11)

Dimana:

F adalah bilangan Form zal

AK1 adalah am plitudo kom ponen pasang surut t unggal utam a yang disebabkan oleh

gaya tarik bulan dan m atahari

AO1adalah am plitudo kom ponen pasang surut tunggal utam a yang disebabkan oleh

gaya tarik bulan

AM2 adalah am plitudo kom ponen pasang surut ganda utam a yang disebabkan oleh

gaya tarik bulan

AS2 adalah am plitudo kom ponen pasang surut ganda utam a yang disebabkan oleh

gaya tarik m atahari

2 2

1 1

AS AM

AO AK F

(43)

Tabel 2.2 Pengelompokan Tipe Pasut

Bilangan Formzall

(F) Tipe Pasang Surut Keterangan

F < 0.25 Pasang harian ganda (semidiurnal)

Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang

dan 2 kali air surut dengan ketinggian

yang hampir sama dan terjadi berurutan

secara teratur. Periode pasang surut

rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

0.25 < F < 1.5 Campuran, condong ke semidiurnal

Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang

dan 2 kali air surut dengan ketinggian

dan periode yang berbeda.

1.5<F<3.0 Campuran, condong ke diurnal

Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang

dan 1 kali air surut dengan ketinggian

yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2

kali air pasang dalam 1 hari dengan

perbedaan yang besar pada tinggi dan

waktu.

F < 3.0 Pasang harian tunggal (diurnal)

Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang

dan 1 kali air surut. Periode pasang

surut adalah 24 jam 50 menit

2.2.3 Komponen Pasang Surut

Guna memperkirakan keadaan pasang surut, maka terdapat banyak

komponenkomponen yang mempengaruhi pasang surut. Komponen utama adalah akibat

gaya tarik bulan dan matahari (lunar dan solar komponen). Komponen lainnya adalah

komponen non astronomis

Komponen pasang surut yang ada sebanyak 9 (sembilan). Penjabaran ke delapan

komponen pasang surut tersebut seperti pada Tabel 2.3. Hasil penguraian pasang surut

(44)

Tabel 2.3 Komponen Pasang Surut

Komponen Simbol Periode

(jam)

Keterangan

Utama bulan Utama matahari

Bulan akibat variasi bulanan jarak bumi-bulan

6.10 Perairan Dangkal

Matahari-bulan

Untuk menentukan peramalan komponen pasang surut di laut dan estuary

biasanya digunakan metode admiralty, Adapun alat pencatatnya adalah A-OTT

KEMPTEN R-20 Strip-Chart yang dikelola oleh Pelindo Belawan. Alat tersebut masuk

dalam klasifikasi jenis pelampung (float type tide gauge), yaitu alat pencatat pasang

surut otomatis yang bekerja berdasarkan naik turunnya pelampung. Cara kerjanya

dengan mencatat sendiri perubahan naik turunnya permukaan laut dalam skala yang

lebih kecil pada kertas pencatat (recording paper) dalam bentuk grafik.

Grafik hasil pengamatan pada recording paper tersebut merupakan fungsi dari

garis-garis skala tinggi dengan waktu. Gerakan kertas menurut waktu dilaksanakan oleh

suatu mekanisme jam dengan penggerak pegas atau baterai. Dari data bentuk grafik

(analog) tersebut diubah dalam bentuk data numerik (angka) dengan mengkonversi pada

skala yang sebenarnya sehingga hasil data numerik akan menggambarkan keadaan

sebenarnya di lapangan pengamatan. Konversi data inilah yang mengakibatkan

(45)

dapat dilihat pada rambu ukur yang biasanya terpasang pada lokasi pengamatan pasang

surut.

2.2.4 Ramalan Kenaikan Muka Air Akibat Pasut (Spring Tide and Neap Tide)

Model muara sungai dikembangkan hanya dengan menggunakan tiga komponen,

Masing-masing konsituen tersebut berkembang melalui air laut yang masuk ke

lingkungan sungai. Tugas Akhir ini meninjau pasang surut pada Muara Sungai Belawan

yang terletak pada bagian timur pulau sumatera, dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa

tipe pasut pada Muara Sungai Belawan merupakan tipe pasut harian ganda (semidiurnal

tide), Pugh (2004) menyajikan lunar dan solar pada pasang surut semidiurnal dari proses kedudukan muka air pada saat terjadi pasang tertinggi dan kedudukan muka air

pada saat surut terendah dalam proses spring tide dan neep tide dapat dirumuskan

seperti berikut ini.

Pugh (2004) ramalan pasang surut akibat gaya tarik matahari (solar) untuk komponen

S2 adalah,

hS2(t)= AS2sin (2πt/TS2) ……… (2.12)

Pugh (2004) Ramalan pasang surut akibat gaya tarik bulan (lunar) umtuk komponen M2

adalah,

hM2(t) = AM2 sin (2πt/TM2) ……… (2.13)

Kedalaman air yang sebenarnya tiap waktu h(t) adalah penjumlahan numerik dari

kedalaman yang sesuai dengan datum, DT :

h(t) = hS2 (t) + hM2 (t) + DT ………... (2.14)

dimana hS2 (t) dan h M2 (t) adalah kedalaman air tiap waktu t, AS2 dan AM2 adalah

(46)

bulan terhadap bumi dan bumi terhadap matahari, TS2 adalah periode pasut akibat

matahari dan TM2 adalah periode pasut akibat bulan. siklus bulan 29,5 hari adalah

sekitar 1,035 waktu yang diperlukan dari siklus matahari (Pugh, 2004) yaitu 24,84 jam

dengan demikian periode pasut lunar semi diurnal 12,42 jam dan seperempat pasut

lunar diurnal 6,21 jam.

2.2.5 Pasut Muara Sungai

Pasut muara sungai dipengaruhi adanya komponen overtide akibat adanya

perpindahan dari perairan yang dalam (laut) yang masuk menuju ke perairan yang

dangkal (sungai), Pugh (2004) menyatakan bahwa komponen pasut M4 termasuk ke

dalam kategori overtide, yaitu komponen pasut yang lajunya 2 kali laju komponen M2.

overtide adalah sebuah komponen pasut harmonik dimana lajunya merupakan perkalian eksak dari laju suatu komponen dasar pasut yang dibangkitkan dari gaya pembangkit

pasut. Biasanya overtide ini muncul atau dominan di perairan dangkal dan amplitudo

M4 yang diberikan adalah:

……… (2.15)

Dimana:

x adalah jarak peninjauan muara sungai tiap titik (m)

AM2 adalah amplitudo komponen pasut akibat gaya tarik Bulan (m)

h adalah kedalaman aliran (m) g adalah percepatan gravitasi (m/s2)

T adalah priode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam).

Dengan demikian, Amplitudo M4 bertambah karena jarak meningkat sepanjang

saluran. Luas kwartal diurnal juga bertambah jika kedalaman saluran tersebut kecil, dan

sebagai luas dari komponen semi-diurnal.

(47)

DT

Kenaikan muka air akibat komponen M4 yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

hM4(t) = AM4sin (2π t / TM4) ……….. (2.16)

Dimana :

h M4 (t) adalah Tinggi muka air akibat amplitudo M4 tiap waktu t (m)

AM4 adalah amplitudo seperampat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter-diurnal)

(dari persamaan 2.17)

TM4 adalah periode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam)

Maka kenaikan muka air pasut pada muara sungai dirumuskan oleh Pugh (2004) adala

sebagai berikut:

… (2.17)

Dimana :

h(t) adalah naik muka air pasut tiap waktu pada muara sungai (m)

hM2 adalah naik muka air pasut pengaruh bulan (lunar semidiurnal)

hS2 adalah naik muka air pasut pengaruh matahari (solar semidiurnal)

hM4 adalah amplitudo lunar quarter-diurnal

DT adalah naik muka air rata-rata pasut estuari

Naik muka air pasut akibat pengaruh benda-benda langit dapat dilihat pada gambar

(48)

Gambar 2.9. Kurva pasut (Thabet, 1980)

Variasi yang terus menerus dari tinggi dan bentuk pasut dikaitkan dengan

gerakan yang kompleks dari bumi (mengelilingi matahari dan revolusi terhadap

sumbunya) dan bulan (mengelilingi bumi). Selain bulan, interaksi antara bumi dan

matahari juga mempengaruhi fenomena pasut, namun interaksi antara bumi dan bulan,

dalam hal ini adalah gaya tarik/gravitasi bulan, lebih besar daripada gaya tarik matahari.

Hal ini diakibatkan jarak bumi dan bulan (rata-rata 381.160 km) yang jauh lebih dekat

dibandingkan jarak bumi dan matahari (rata-rata 149,6 juta km) meskipun massa bulan

jauh lebih kecil daripada massa matahari. Karena jarak lebih menentukan daripada

massa, maka bulan mempunyai peran yang lebih besar daripada matahari dalam

menentukan pasut. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut besarnya kurang

lebih 2,2 kali lebih kuat daripada gaya tarik matahari. Hal ini mengakibatkan air laut,

yang menyusun 71% permukaan bumi, menggelembung pada sumbu yang menghadap

ke bulan. Pasang surut terbentuk karena rotasi bumi yang berada di bawah muka air

yang menggelembung ini, yang mengakibatkan kenaikan dan penurunan permukaan laut

di wilayah pesisir secara periodik. Gaya tarik gravitasi matahari juga memiliki efek

yang sama namun dengan derajat yang lebih kecil Dengan memahami mekanisme

pokok yang terlibat, berbagai teori dan teknik dikembangkan untuk melakukan

peramalan pasut.

(49)

2.3 Arus Pasang Surut (Tidal Current) Muara Sungai

Arus pasut adalah aliran air dalam arah horizontal yang periodik yang merupakan

respon terhadap naik turunnya elevasi muka air yang disebabkan pasang surut.

Arus di estuari terutama disebabkan oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai.

Arus biasanya terdapat pada kanal (saluran), tetapi dalam kanal ini, kecepatan arus

dapat mencapai beberapa mil per jam. Kecepatan tertinggi terjadi pada bagian tengah

kanal, dimana hambatan gesek dengan dasar dan sisi tepian yang paling kecil.

Walaupun estuaria merupakan tempat keseluruhan sedimen mengendap seperti

dibicarakan diatas, kanal dimana arus terpusat seringkali merupakan tempat erosi yang

sangat mencolok. Untuk kebanyakan estuaria, pada bagian hulu terjadi masukan air

tawar yang terus menerus. Sebagian air tawar ini bergerak ke hilir estuaria, bercampur

sedikit atau banyak dengan air laut. Sebagian besar air ini pada akhirnya mengalir

keluar estuaria atau menguap untuk mengimbangi air berikutnya yang masuk dibagian

hulu. Selang waktu yang dibutuhkan sejumlah massa air tawar untuk dikeluarkan dari

estuari disebut penggelontoran (flushing time). Selain waktu ini dapat menjadi tolak

ukur keseimbangan suatu sistem estuaria. Waktu penggelontoran yang lama, penting

artinya untuk pemeliharaan komunitas plankton estuari.

Di daerah sungai atau selat, dimana arah aliran dibatasi oleh geometri channel,

arus pasut bersifat berkebalikan atau reversing, sehingga arah aliran bergantian dalam

arah yang hampir berlawanan serta adanya kondisi dimana kecepatan arus sangat kecil

pada saat aliran arus berbalik yang dinamakan slack water. Kecepatan arus pasang surut

pada masing-masing arah tersebut bervariasi dari kecepatan nol pada saat slack water

hingga kecepatan maksimal. Kecepatan arus pasut biasanya berubah-ubah secara kontinu

(50)

arus pasut pada pasut tipe semi diurnal mencapai maksimum sebanyak dua kali dalam

satu hari pada arah yang berlawanan serta mencapai kecepatan minimum pada waktu dan

arah di antara kedua kecepatan maksimumnya.

Gambaran arus pasut tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.9. Gambar tanda

panah merepresentasikan kecepatan arus untuk setiap jam. Air pasang biasanya

digambarkan di atas garis air slack water dan air surut di gambarkan dibawahnya. Kurva

arus pasut terbentuk di sepanjang ujung panah dan memiliki karakteristik yang sama

dengan bentuk kurva sinus.

Gambar 2.10 Pola bolak balik arus pasang surut

(Sumber

Keterangan :

• Pada saat pasang, muka air di laut lebih tinggi daripada di estuari dimana gerakan

arus pasut memasuki estuari ini disebut flood.

• Pada saat surut muka air di laut lebih rendah daripada di estuari sehingga arus

(51)

2.3.1 Hubungan Debit dan Arus Pasut

Aliran debit (Q m3/detik) adalah laju aliran air (u m/det) (dalam bentuk volume

air) yang melewati suatu penampang melintang muara sungai (A m2) per satuan waktu

(detik) .

... (2.18)

Pertimbangkanlah kedua bagian yang ada pada gambar 2.11 untuk mengisi

volume V1 dan V2 dengan waktu t f, pada bagian penampang pipa 1 dan 2 dari A1

dan A2. Kecepatan aliran sebenarnya dapat dihitung dengan :

……….. (2.19)

……….. (2.20)

Dimana U1 dan U2 adalah kecepatan aliran dalam masing – masing pipa 1 dan 2.

diperlihatkan pada gambar berikut ini :

Gambar 2.11 Penampang Pipa

Persamaan 2.28 dan persamaan 2.29 dapat dikembangkan untuk menentukan

arus pasang surut pada setiap penampang sebagai produk dari lebar muara (Wx), dan

perubahan kedalaman pasang surut per detik (Δhf) terhadap pembagian tiap penampang

panjang muara menuju hulu sungai (A), yang merupakan sebagai kontribusi kecepatan

(52)

aliran sungai (Uf), sebagai komponen tidak tetap (mengalir keluar) sama dengan debit

air sungai (Q), yang dibagi dengan tiap luas penampang:

……… (2.21)

Dimana :

Q adalah debit sungai (m3/det)

Wx adalah lebar estuari tiap titik lokasi (m)

Dx adalah kedalaman estuary tiap titik lokasi (m)

pemodelan perubahan volume hulu adalah batimetri muara digunakan untuk

menghitung volume air yang keluar melalui tiap penampang muara sungai akibat

pasang surut.

………. (2.22)

Δl adalah Panjang muara sungai dari hulu sungai menuju hilir sungai tiap titik

peninjauan (m)

Wx adalah lebar muara sungai dari hulu (upstream) hingga hilir (downstream) tiap titik

lokasi (m)

Dimana formula tersebut menghitung volume air yang terkandung per meter

untuk tiap kedalaman akibat pasang surut pada muara sungai

Untuk mengetahui kecepatan arus pasut terhadap waktu tiap titik lokasi (U(x,t)) adalah:

……… (2.23)

Dimana:

Δht adalah rentang kedalaman yang terjadi tiap jam akibat pasut (m)

(53)

Wx adalah lebar estuari tiap titik lokasi (m)

Dx adalah kedalaman estuary tiap titik lokasi (m)

Q adalah debit sungai (m3/det)

Volume upstream adalah volume sungai menuju mulut estuary (m3 .106)

2.4 Suhu dan Salinitas Estuari 2.4.1 Suhu (Temperature)

Perairan yang ada di dunia memiliki luas permukaan air berkisar 360 juta km2,

terdiri dari serangkaian sungai dan laut yang saling berhubungan. untuk memahami

distribusi energi panas di muara, perlu untuk mempertimbangkan sumber panas laut di

dunia secara keseluruhan. ada aliran energi matahari yang tetap masuk ke bumi

sehingga keluar terus-menerus radiasi tersebut dari bumi kembali ke angkasa. Sumber

energi panas terbesar adalah panas dari matahari.

Suhu air di estuaria bervariasi dari pada diperairan dekat pantai. Hal ini sebagian

karena biasanya di estuari volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan lebih besar,

dengan demikian pada atmosfer yang ada, air estuaria ini lebih cepat panas dan lebih

cepat dingin (fjord, karena dalamnya dan volumenya besar tidak memperlihatkan gejala

ini). Alasan lain terjadinya variasi ini ialah masukan air tawar. Air tawar di sungai dan

kali lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman daripada air laut. Sungai di daerah

beriklim sedang suhunya lebih rendah di musim dingin dan lebih tinggi di musim panas

daripada suhu air laut didekatnya.

Ketika air tawar masuk estuaria dan bercampur dengan air laut, terjadi

perubahan suhu. Akibatnya, suhu perairan estuaria lebih rendah pada musim dingin dan

lebih tinggi pada musim panas dari pada perairan di sekitarnya. Skala waktunya

(54)

estuari karena memperlihatkan variasi suhu yang besar sebagai fungsi dari perbedaan

antara suhu air laut dan air sungai.

Suhu juga bervariasi secara vertikal. Perairan permukaan mempunyai kisaran

yang terbesar dan perairan yang lebih dalam kisaran suhunya lebih kecil. Pada estuaria

baji garam, perbedaan suhu vertikal ini juga memperlihatkan kenyataan bahwa perairan

permukaan didominasi air tawar, sedangkan perairan yang lebih dalam didominasi atau

seluruhnya terdiri dari air laut.

2.4.2 Kadar Garam (Salinity)

Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan,

salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh curah hujan local,

banyaknya air yang masuk ke laut, penguapan dan edaran masa air (King, 1963). Perubahan

salinitas pada perairan bebas (laut bebas) adalah relative lebih kecil dibandingkan ke

perairan pantai. Hal ini disebabkan karena perairan pantai banyak memperoleh masukan air

tawar dari Muara-muara sungai terutama pada waktu musim hujan (Hela dan Laevastu,

1970).

Estuaria dikelilingi daratan pada ketiga sisi. Ini berarti bahwa luas perairan yang

diatasnya angin dapat bertiup untuk menciptakan ombak adalah minimal. Dangkalnya

perairan di estuaria pada umumnya juga jadi penghalang bagi terbentuknya ombak yang

besar. Sempitnya mulut estuaria, diikuti dengan dasar yang dangkal, menghilangkan

pengaruh ombak yang masuk ke estuaria dari laut secara cepat. Sebagai akibat proses

ini, pada estuaria merupakan tempat yang airnya tenang.

Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan bahwa

(55)

“bagian perseribu” (parts per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan

jumlah gram garam untuk setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas atau

halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan pada rasio

sampel terhadap "Copenhagen water", air laut buatan yang digunakan sebagai standar

air laut dunia. Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas dalam Practical

Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar. Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa

35 psu sama dengan 35 gram garam per liter larutan.

Gambar 2.12 Penyebaran Salinitas Laut Permukaan Bumi

2.4.2.1 Pencampuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut)

Secara defenisi dapat pula dikatakan bahwa estuari adalah badan air yang

bergerak dinamis sebagai tempat bertemunya air tawar dan air asin (dalam hal ini adalah

air laut). Adanya perbedaan karakteristik antara air tawar dan air laut maka

Gambar

Gambar 2.2 Alat Perum Gema (fishfinder 240 blue)
Tabel 2.1 Koefisien estuari, prandle (1986)
Gambar 2.5 Distribusi tractive Force (Thabet,1980)
Gambar 2.8 Tipe Pasang Surut (Teknik Pantai, 1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Muara yang didominasi debit sungai Muara ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun cukup besar yang bermuara di laut dengan gelombang relatif kecil

Normalisasi Penampang Sungai kalidawir dilakukan mengingat kapasitas Kali Kalidawir yang tidak bisa menampung debit banjir rencana. Normalisasi dilakukan sesuai

Normalisasi Penampang Sungai kalidawir dilakukan mengingat kapasitas Kali Kalidawir yang tidak bisa menampung debit banjir rencana. Normalisasi dilakukan sesuai

Dalam perhitungan Analisa Hidrologi didapatkan hasil Debit Banjir Rancangan yang digunakan dalam studi perencanaan PLTM Sion adalah 682,307 m3/detik dan untuk Debit

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui debit banjir dan tinggi muka air yang akan terjadi pada penampang di bagian hilir sungai Poigar..

Normalisasi Penampang Sungai kalidawir dilakukan mengingat kapasitas Kali Kalidawir yang tidak bisa menampung debit banjir rencana. Normalisasi dilakukan sesuai

Tahap analisis hidrologi bertujuan untuk mendapatkan debit banjir rencana, analisis hidrolis sungai untuk mendapatkan dimensi penampang yang sesuai dengan kondisi

Normalisasi Penampang Sungai kalidawir dilakukan mengingat kapasitas Kali Kalidawir yang tidak bisa menampung debit banjir rencana. Normalisasi dilakukan sesuai