STUDI KARAKTERISTIK MUARA SUNGAI BELAWAN
SUMATERA UTARA
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan melengkapi syarat untuk menempuh
Ujian Sarjana Teknik Sipil
Disusun oleh :
050404072 FAIZ ISMA
BIDANG STUDI STRUKTUR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Muara sungai (estuari) merupakan proses tempat terjadinya percampuran dua masa air antara air laut dan air sungai. Masuknya air laut ke arah hulu sungai (intrusi air asin) dari hasil pengamatan lapangan pada muara Sungai Belawan diperoleh sekitar 18 km dari mulut estuari menuju arah hulu sungai hingga diperolehnya kandungan parameter badan air yang tidak terpengaruh salinitas akibat pasut, muara Sungai Belawan memiliki tipe sudut asin (well-mixed estuary).
Dalam pengamatan karakteristik fisik estuari dilakukan penentuan titik lokasi yang dimulai dari mulut estuari yang diberi simbol J hingga kearah hulu sungai dengan simbol A. jarak tiap titik lokasi dari J-A sejauh 18 km dibagi tiap 2 km, kemudian dilakukan pemodelan dengan bantuan program Microsoft Office Excel menggunakan rumus – rumus teoritis dari fisik estuari.
KATA PENGANTAR
Tiada yang pantas diucapkan selain rasa syukur penulis kehadirat Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Pengasih yang kasih-Nya tiada terpilih, Tuhan Yang Maha
Penyayang yang sayang-Nya tiada terbilang, yang telah memberikan kemampuan
kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Studi Karakteristik Fisik Muara
Sungai Belawan Sumatera Utara”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari
bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan
terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis
dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas
Sumatera Utara, terutama kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Ahmad Mulia Perwira Tarigan, M.Sc, selaku Dosen
Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran
untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya
tugas akhir ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik
3. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc, Bapak Faizal Ezeddin, MS, Bapak Ir.
Sufrizal, M.Eng, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan
masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera
Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan
hingga selesainya tugas akhir ini.
6. Ayahanda Drs. Ismail Manurung, M.Ag. dan Ibunda Dra. Deswita, yang
telah mendukung baik moril dan materil, serta memotivasi penulis dalam
menyelesaikan tugas akhir ini
7. Teman-teman seperjuangan angkatan ’05 “CIV05” khususnya Muhammad
Iqbal, Edo Febrian, Andri Rivaldi dan Hidrolika Community, terima kasih
atas bantuan dan dukungan dalam bentuk apapun selama mengerjakan tugas
akhir ini maupun selama masa perkuliahan. Terima kasih yang tak terhingga
atas persaudaraan, persahabatan dan kebersamaannya. Masa-masa itu layak
untuk dikenang dan dipertahankan akhir hayat nanti.
8. Abang-abang & Kakak-kakak angkatan ’02 ’03 ’04 dan Adik-adik
angkatan ’06 ’07 ’08 ’09, terima kasih atas bantuan dan dukungannya baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini,
sehingga tugas akhir ini dapat selesai dengan baik dan tanpa menemui
hambatan serta rintangan yang berarti.
Penulis menyadari Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
dengan tangan terbuka demi perbaikan tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap
semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Medan, September 2010
Hormat Saya,
Penulis
DAFTAR ISI
1.4.4 Suhu dan kadar garam (Temperature and Salinity) ... 7
1.4.5 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) ... 8
1.5 Ruang Lingkup dan Metodologi ... 9
1.6 Sistematika Penulisan ... 10
BAB II TINJAUAN LITERATUR... 12
2.1 Batimetri ... 12
2.1.1 Pengukuran kedalaman muara sungai ... 12
2.1.1.a Cara mekanis ... 13
2.1.1.b Perum Gema ... 14
2.1.2 Penentuan Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Jarak ... 15
2.1.3 Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Eksponensial Jarak ... 16
2.2 Pasang Surut ... 17
2.2.1 Pembangkit pasang surut ... 18
2.2.3 Komponen Pasang Surut ... 27
2.2.4 Ramalan Kenaikan Muka Air Akibat Pasut (Spring Tide and Neap Tide) ... 29
2.2.5 Pasang Surut Muara Sungai ... 30
2.3 Arus Pasang Surut (Tidal Current) Muara Sungai ... 33
2.3.1 Hubungan Debit dan Pasang Surut ... 35
2.4 Suhu dan Salinitas Estuari ... 37
2.4.1 Suhu (Temperature) ... 37
2.4.2 Kadar Garam (Salinity) ... 38
2.4.2.1 Pencampuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut) ... 39
2.4.3 Distribusi Gaussian ... 42
2.5.1.2 Partikel sedimen melayang (Suspended load)... 47
2.5.1.3 Saltation Load... 48
2.5.2 Karakteristik Sedimen ... 48
2.5.3 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) ... 51
2.5.3.1 Erosi partikulat (erosion of particulate) ... 53
2.5.3.2 Endapan Partikulat (Deposition of particulate) ... 56
2.5.3.3 Keseimbangan Konsentrasi (Equilibrium Concentrations) ... 57
BAB III KONDISI FISIK LOKASI KAJIAN... 60
3.1. Kondisi Umum Wilayah Muara Sungai Belawan ... 60
3.1.1 Lokasi Muara Sungai Belawan ... 60
3.1.2 Kondisi Fisik Kecamatan Medan Belawan di Kotamadya Medan 61 3.1.2.1 Batas Administratif ... 61
3.1.2.2 Luas Wilayah ... 62
3.1.2.3 Jumlah Penduduk ... 63
3.1.3 Fasilitas Muara Sungai Belawan ... 66
3.2. Kondisi Klimatologi... 69
3.3 Kondisi Bathimetri Muara Sungai Belawan ... 70
3.4 Kondisi Hidro – Oseanografi... 72
3.5 Kondisi Lapangan ... 78
3.5.1 Penentuan Titik Lokasi di Muara Sungai ... 79
3.5.2 Pengukuran Kedalaman Estuari ... 81
3.5.3 Pengukuran Lebar Estuari ... 81
3.5.4 Pengukuran Salinitas Estuari ... 82
3.5.5 Pengukuran Suhu Estuari ... 83
3.5.6 Pengukuran Kandungan Total Suspended Solid (TSS) Estuari .... 83
3.5.7 Analisa Saringan (Sieve Analysis) ... 87
3.5.8 Peralatan ... 88
3.5.9 Metode Pelaksanaan ... 88
3.6 Hidrologi ... 89
3.7 DAS Belawan ... 90
3.8 Pengerukan ... 92
BAB IV ANALISA PEMODELAN FISIK MUARA SUNGAI BELAWAN .... 97
4.1 Gambaran Umum Pemodelan Fisik Muara Sungai ... 97
4.1.1 Gambaran Lokasi Pemodelan ... 98
4.2 Batimetri Estuari Belawan... 99
4.2.1 Kondisi Penampang Muara Sungai Belawan ... 100
4.2.2 Distribusi Gaussian dan Reverse Gaussian ... 101
4.3 Kedudukan Pasut Estuari Belawan (Spring – Neap Tide) ... 106
4.4 Model Utama Fisik Estuari Belawan ... 111
4.4.1 Seperempat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter- Diurnal ... 111
4.4.2 Perubahan Kedalaman Estuari akibat Pasut (Water Depth Estuary) ………..113
4.4.3 Kecepatan Arus Pasut Estuari (tidal current estuary) ... 115
4.5 Pemodelan Zat Padat Tersuspensi (TSS) ... 121
4.5.1 Bilangan Estuari... 123
4.6 Gambaran Pemodelan dengan Program Microsoft Office Excel .. 128
4.7 Penentuan Kedalaman dan Lebar Menurut Wright dkk ... 149
4.8 Perhitungan Debit Banjir ... 160
4.8.1 Pengaruh Banjir Terhadap Model Fisik Muara Sungai Belawan . 163
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 165
5.1 Kesimpulan ... 165
5.2 Saran... 166
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Daerah Sungai Belawan Kecamatan Medan Belawan
Kotamadya Medan, Sumatera Utara ... 2
Gambar 2.1. Pengukuran Kedalaman Cara Mekanis ... 15
Gambar 2.2. Alat Perum Gema ... 16
Gambar 2.3. Gaya Tarik Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985) ... 20
Gambar 2.4. Sistem Bumi – Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985) ... 21
Gambar 2.5. Distribusi tractive Force (Thabet,1980) ... 23
Gambar 2.6a. Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Perbani (Neap Tide) ... 24
Gambar 2.6b. Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Purnama (Spring Tide) ... .. 25
Gambar 2.7. Persebaran Tipe Pasang Surut di Indonesia (Teknik Pantai, 1999) ... 26
Gambar 2.8. Tipe Pasang Surut (Teknik Pantai, 1999) ... 27
Gambar 2.9. Pola bolak balik arus pasang surut ... 38
Gambar 2.10. Penampang Pipa ... 44
Gambar 2.11. Proses Percampuran Air Tawar dan Air Asin ... 47
Gambar 2.12. Penyebaran Gaussian untuk Parameter Badan Air .……… 50
Gambar 2.13. Variasi Penyebaran Parameter Suhu Estuari ... 51
Gambar 2.14. Variasi PenyebaranSalinitas Estuari ... 53
Gambar 2.15. Grafik Kecepatan Kritis Terhadap Diameter Butir Sedimen ... 62
Gambar 2.16. Keseimbangan gaya-gaya yang bekerja pada partikel sedimen . 63 Gambar 3.1. Peta Kotamadya Medan ... 68
Gambar 3.2. Peta Kecamatan Medan Belawan ... 70
Gambar 3.3. Fasilitas Muara Sungai Belawan ... 76
Gambar 3.4. Bathimetri Muara Sungai Belawan ... 79
Gambar 3.5. Sket Lokasi Pengamatan Pasut (sumber: Pelindo I) ... 80
Gambar 3.6. Grafik pengamatan pasut selama 15 hari di Muara Sungai Belawan ... 82
Gambar 3.8. Pengayakan Saringan ... 96
Gambar 3.9. Sebaran Kelerengan Lahan DAS Belawan ... 99
Gambar 3.10. Profil Memanjang As Alur Pelayaran Pelabuhan Belawan berdasarkan
Pre Dredge Sounding Tahun 1993 -1996, dan final Sounding Tahun
1993 – 1996 (dalam meter, sumbu y adalah kedalaman dari LWS, sumbu
x adalah alur dari station 0.. ... 103
Gambar 4.1. Sket Model Fisik Muara Sungai Belawan ... 105
Gambar 4.2. Persiapan Sampel Sedimen ... 122
Gambar 4.4 Kondisi batimetri estuari Belawan dengan MS. Office Excel…….. 131
Gambar 4.5 Hasil perhitungan pasut dengan MS. Office Excel ... 134
Gambar 4.6 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi I ………. 135
Gambar 4.7 Grafik Arus Pasut Lokasi Titik I ……….. 138
Gambar 4.8 Grafik Kedalaman Estuari Akibat Pasut Lokasi Titik I………139
Gambar 4.9 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi J………. 140
Gambar 4.10 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi H……….. 140
Gambar 4.11 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi G……….. 141
Gambar 4.12 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi F……….. 141
Gambar 4.13 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi E……….. 142
Gambar 4.14 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi D……….. 142
Gambar 4.15 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi C……….. 143
Gambar 4.16 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi B……….. 143
Gambar 4.17 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Gambar 4.18 Grafik Perbandingan Kedalaman Lapangan dan Kedalaman
Pemodelan Muara Sungai Belawan………... 148
Gambar 4.19 Grafik Perbandingan Lebar Lapangan dan Lebar Pemodelan Muara
Sungai Belawan………... 149
Gambar 4.20 Grafik Perbandingan Lebar Lapangan dan Lebar Pemodelan Muara
Sungai Belawan………... 150
Gambar 4.21 Kondisi batimetri estuari Belawan dengan MS. Office Excel
menggunakan persamaan Wright dkk……… 151 Gambar 4.22 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik
Lokasi I ………152
Gambar 4.23 Grafik perbandingan arus dari data lapangan dengan data penampang
menurut Wright dkk ……… 152
Gambar 4.24 Grafik perbandingan arus dari data lapangan dengan data Penampang
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Koefisien estuari, prandle (1986) ... 18
Tabel 2.2. Pengelompokan Tipe Pasut ... 28
Tabel 2.3. Komponen Pasang Surut ... 29
Tabel 2.4. Skala Wenworth dari klasifikasi ukuran sedimen ... 57
Tabel 2.5. Koefisien hambatan (Drag coefficients) berdasarkan partikel dasar saluran saluran muara (Dyer, 1986) ... 61
Tabel 3.9. Pengukuran Salinitas Estuari Belawan ... 88
Tabel 3.10. Pengukuran Suhu Estuari ... 89
Tabel 3.11. Titik Pengambilan Sampel Air ... 90
Tabel 3.12. Hasil Pengukuran Total suspended Solid (TSS) ... 93
Tabel 3.13. Anak-Anak Sungai DAS Belawan ... 97
Tabel 3.14. Volume Pengerukan Alur Pelayaran dan Kolam Pelabuhan Priode Tahun 1979 – 1990 ... 100
Tabel 3.15. Volume pengerukan alur dan kolam pelabuhan periode tahun 1997-2002 ... 101
bantuan MS Office Excel ……… 135
Tabel 4.8 Kode pemerograman pemodelan fisik estuari dengan bantuan MS Office
Excel untuk model utama………. 136 Tabel 4.9 Perubahan kedalaman estuari tiap jam akibat pasut selama 12 jam…... 137
Tabel 4.10 Perubahan kedalaman estuari dan arus pasut selama 24 jam ……… 138
Tabel 4.11 Penyebaran Parameter Badan Air Estuari……… 139
Tabel 4.12 Kode pemerograman Matlab untuk koefisien lebar estuari (a)…….. 146
Tabel 4.13 Kode pemerograman Matlab untuk koefisien kedalaman estuari (b).. 146
Tabel 4.14 Pebandingan antara kedalaman pemodelan dan kedalaman lapangan
estuari Belawan ……….. 147
Tabel 4.15 Pebandingan antara lebar pemodelan dan lebar lapangan estuari
Belawan………. 148
Tabel 4.16 Pebandingan antara luas penampang pemodelan dan luas penampang
lapangan estuari Belawan………. 150
Tabel 4.17 Perbandingan arus pasut dari data lapangan dengan data Wright dkk.. 152
DAFTAR NOTASI
- me : massa bumi
- mi : massa bulan (Mm) atau massa matahari (Ms)
- r : jarak pusat Bumi – pusat Bulan (km)
- ω : kecepatan sudut bumi bulan mengelilingi sumbu bersama (rad/detik)
- Φ : sudut yang terbentuk oleh bumi terhadap bulan
- F : bilangan Formzal
- AK1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari
- AO1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan
- AM2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
- hS2(t) : Kenaikan muka air akibat gaya tarik matahari terhadap bumi (m)
- hM2(t) : Kenaikan muka air akibat gaya tarik bulan terhadap bumi (m)
- h(t) : Kenaikan muka air total akibat pasut terhadap waktu (m)
- DT : Tinggi muka air rata – rata pasut
- h : Kedalaman aliran air (m)
- g : Percepatan gravitasi (m/s2)
- T : Priode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam).
- hM4(t) : Kedalaman air pada waktu t (m)
- AM4 : Amplitudo seperampat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter-
diurnal)
- uf : kecepatan air sungai (m/s)
- Ne : Bilangan estuari
- U(x,t) : Total kecepatan arus pasut terhadap waktu dan jarak (m/det)
- Δht : rentang kedalaman yang terjadi tiap jam akibat pasut (m)
- σx : standard deviasi dari suatu variasi parameter
- M : koefisien erosi (kg/m2s)
- Sp : parameter suspensi tergantung pada bentuk tipe estuari
- um : kecepatan arus pasut rata-rata maximum (m/s)
- ucr : kecepatan kritis batas ambang (m/s)
ABSTRAK
Muara sungai (estuari) merupakan proses tempat terjadinya percampuran dua masa air antara air laut dan air sungai. Masuknya air laut ke arah hulu sungai (intrusi air asin) dari hasil pengamatan lapangan pada muara Sungai Belawan diperoleh sekitar 18 km dari mulut estuari menuju arah hulu sungai hingga diperolehnya kandungan parameter badan air yang tidak terpengaruh salinitas akibat pasut, muara Sungai Belawan memiliki tipe sudut asin (well-mixed estuary).
Dalam pengamatan karakteristik fisik estuari dilakukan penentuan titik lokasi yang dimulai dari mulut estuari yang diberi simbol J hingga kearah hulu sungai dengan simbol A. jarak tiap titik lokasi dari J-A sejauh 18 km dibagi tiap 2 km, kemudian dilakukan pemodelan dengan bantuan program Microsoft Office Excel menggunakan rumus – rumus teoritis dari fisik estuari.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Umum
Secara umum estuari mempunyai peran ekologis penting antara lain : sebagai
sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal
circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan
sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground)
terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum
dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya
sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri
Muara mempunyai nilai ekonomis yang penting, karena dapat berfungsi sebagai
alur penghubung antara laut dan daerah yang cukup dalam di daratan. Pengaruh pasang
surut yang masuk ke estuari dapat menyebabkan kenaikan muka air, baik pada waktu air
pasang maupun air surut. Selama periode pasang air dari laut dan dari sungai masuk ke
estuari dan terakumulasi dalam jumlah sangat besar, dan pada periode surut volume air
tersebut akan kembali ke laut, sehingga karena besarnya volume air yang dialirkan ke
laut maka kedalaman aliran akan cukup besar. Selain itu kecepatan arus juga besar
yang dapat mengerosi dasar estuari sehingga dapat mempertahankan kedalaman aliran.
Kondisi ini memungkikan digunakannya estuari untuk alur pelayaran menuju ke daerah
daerah yang ada di sekitarnya, karena memungkinkan dibukanya pelabuhan-pelabuhan
di daerah tersebut. Beberapa pelabuhan yang berada di estuari diantaranya adalah
pelabuhan Belawan, Palembang, London, New York, dan sebagainya.
Penjalaran pasang surut ke estuari disertai juga intrusi air asin, yang
kadang-kadang bisa sampai jauh ke hulu sungai. Pengetahuan intrusi air asin adalah penting
untuk mengetahui dinamika sedimen di estuari, penentuan letak bangunan pengambilan
(intake) dari saluran primer di daerah persawahan pasang surut atau tambak. Daerah pertanian tidak boleh dipengaruhi air asin. Oleh karena itu saluran irigasi harus
diletakkan di daerah yang tidak dipengaruhi air asin. Demikian juga, suatu jenis
ikan/udang akan berkembang dengan baik pada lingkungan dengan kadar garam tertentu.
Letak intake saluran dari suatu tambak harus sedemikian rupa sehingga kadar garam air
untuk tambak memenuhi persyaratan. Lokasi studi tugas akhir ini adalah muara Sungai
Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan di Kota Madya Medan, Sumatera
Utara.
Gambar.1 Daerah Muara Sungai Belawan Kecamatan Medan Belawan Kota Madya
Sungai Belawan merupakan salah satu dari delapan sungai yang ada di Kota
Medan. Kecamatan Medan Belawan terletak di wilayah Ut
Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, Sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan
Marelan dan Kecamatan Medan Labuhan, Sebelah Utara berbatasan dengan Selat
Malaka. Kecamatan Medan Belawan dengan luas wilayahnya 26,25 KM², Kecamatan
Medan Belawan adalah daerah pesisir Kota Medan dan merupakan wilayah bahari dan
maritim yang berbatasan langsung pada Selat Malaka dengan penduduknya berjumlah
94.735 jiwa (2006).
Di Kecamatan Medan Belawan ini terdapat Pelabuhan Belawan yang merupakan
pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, regional dan nasional. Pelabuhan
Belawan ini merupakan urat nadi perekonomian Sumatera Utara khususnya arus keluar
masuk barang dan penumpang melalui angkutan laut, sehingga Kota Medan dikenal
dengan pintu gerbang Indonesia bagian Barat.
1.2 Latar Belakang
Estuaria merupakan badan air tempat terjadinya percampuran masa air laut yang
dipengaruhi oleh pasang surut dengan air tawar yang berasal dari sungai. Hal ini
menyebabkan kondisi perairan ini sangat tergantung pada kondisi air laut dan air tawar
yang masuk ke dalamnya. Pengaruh pasang surut terhadap sirkulasi aliran (kecepatan
/debit sungai, profil muka air, intrusi air asin) di estuari dapat sampai jauh ke sungai
yang tergantung pada tinggi pasang surut, dan karakteristik estuari (tampang aliran,
Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran/pembuangan debit sungai, terutama
pada waktu banjir pada hulu dan tengah sungai yang merupakan tempat aktivitas
manusia sehingga banjir tersebut dapat dibuang ke laut. Karena letaknya yang berada di
ujung hilir, maka debit aliran di muara adalah lebih besar dibanding tampang sungai di
sebelah hulu. Selain itu muara sungai juga harus melewatkan debit yang ditimbulkan
oleh pasang surut, yang bisa lebih besar dari debit sungai. Sesuai dengan fungsinya
tersebut muara sungai harus cukup lebar dan dalam. Permasalahan yang sering dijumpai
adalah banyaknya endapan di muara sungai sehingga tampang alirannya kecil, yang
dapat mengganggu pembuangan debit sungai ke laut. Ketidaklancaran pembuangan
tersebut dapat mengakibatkan banjir di daerah hulu muara.
Proses masuknya air laut ke muara dikenal dengan instrusi air laut. Jarak instrusi
air laut sangat tergantung pada krakteristik muara, pasang surut, dan debit sungai.
Semakin besar tinggi pasang surut dan semakin kecil debit sungai semakin jauh instrusi
air laut atau sebaliknya. Transpor garam di muara terjadi secara konveksi dan difusi.
Secara konveksi artinya garam terbawa (terangkut) bersama dengan aliran air (karena
terpengaruh kecepatan aliran). Transpor secara difusi terjadi karena adanya turbulensi
dan perbedaan kadar garam disuatu titik dengan titik – titik disekitarnya, sehingga kadar
garam akan menyebar ketitik konsentrasi yang lebih rendah, kedua transpor yang terjadi
secara bersamaan (konveksi dan difusi) disebut dengan dispersi.
Nybakken (1992) menyatakan bahwa keberadaan lumpur di dasar perairan
sangat dipengaruhi oleh banyaknya partikel tersuspensi yang dibawa oleh air tawar dan
air laut serta faktor-faktor yang mempengaruhi penggumpalan, pengendapan bahan
maka proses pendangkalan akibat proses sedimentasi akan berdampak terhadap
berbagai aspek dalam perairan baik dari segi aspek biologis maupun ekologis.
Dalam muara, air sungai bercampur dengan air laut melalui aktivitas pasang
surut dan gelombang (Nelson et al dalam Purba, 2006). Salah satu peranan penting
muara sungai adalah sebagai tempat pengeluaran/ pembuangan debit sungai yang
membawa material yang disuplai dari darat. Material ini sebagian akan mengendap di
muara sungai dan sisanya akan diteruskan ke laut. Gross (1972) menekankan bahwa
pasang mendominasi sirkulasi air di sebagian besar muara sungai, sehingga suplai air di
muara sungai bergantung pada peristiwa pasang surut. Arus pasang akan mampu
mengaduk sedimen yang ada di muara sungai dimana hal ini akan terkait dengan
konsentrasi padatan tersuspensi yang ada di muara sungai.
Padatan tersuspensi secara langsung akan menyebabkan naiknya tingkat
kekeruhan di perairan muara. Material padatan tersuspensi yang berada di kolom air
akan menghambat penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan, akibatnya proses
fotosintesis oleh fitoplankton akan terhambat yang menyebabkan kandungan oksigen
terlarut diperairan menurun.
1.3 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
karakteristik fisik muara sungai merupakan kecepatan arus yang disebabkan dari pasut
laut dan debit aliran sungai belawan, penyebaran parameter suhu dan kadar garam pada
badan air muara sungai belawan akibat adanya perpindahan yang disebabkan arus pasut
dari laut dan aliran sungai belawan. Kemudian dilakukan perbandingan antara kondisi
fisik lapangan dengan kondisi fisik muara sungai yang menggunakan persamaan wright
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk
kepentingan pihak – pihak terkait dalam pengembangan pembangunan dan pelestarian
di kawasan muara sungai belawan.
1.4 Pembatasan Masalah
Dalam penulisan Tugas Akhir ini, permasalahan yang akan dibahas dibatasi
ruang lingkupnya agar tidak terlalu luas, permasalahan yang akan dibahas hanya sebatas
karakteristik fisik Muara Sungai Belawan yang akan dimodelkan dengan bantuan
program Microsoft Office Excel, sehingga dapat diketahui perubahan fisik muara yang
terjadi tiap titik lokasi sepanjang muara sungai, cakupan yang akan dibahas dari
karakteristik fisik estari adalah :
1.4.1 Batimetri (Modeling Bathymetri)
Bathimetri adalah pengukuran lebar (W), kedalaman (D) dan jarak (L). Peralatan
yang digunakan untuk mengukur jarak dan lebar menggunakan Global Positioning
System (GPS). Sedangkan peralatan yang digunakan untuk mengukur kedalaman adalah Fishfinder 240 blue.
1.4.2 Pasang Surut (Tide)
Pasang surut adalah perubahan elevasi muka air laut akibat adanya gaya tarik
benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi.
Perubahan elevasi muka air laut tersebut berlangsung secara periodik (Teknik Pantai,
1999). Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Secara umum pasang surut
di berbagai daerah dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu pasang surut harian ganda
(semidiurnal tide), pasang surut harian tunggal (diurnal tide), pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed semidiurnal tide), dan pasang surut campuran condong
1.4.3 Arus Pasut (Tide Current)
Arus adalah pergerakan air secara horizontal yang disebabkan adanya perubahan
ketinggian permukaan laut. Arus lautan global merupakan pergerakan masa air yang
sangat besar dan arus ini yang mempengaruhi arah aliran air lautan dan terkait antara
satu lautan dengan lautan lain di seluruh dunia. Adanya arus lautan ini disebabkan oleh
perputaran bumi.
Pada umumnya arus terjadi sepanjang pantai disebabkan oleh perbedaan muka
air pasang dan surut tiap jam di sepanjang estuari yang dipengaruhi volume dari arah
hulu sungai (upstream) menuju hilir sungai (downstream), sehingga perilaku arus
dipengaruhi pola pasang surut. Kecepatan arus yang aman untuk kapal berlabuh
disyaratkan berkecepatan maksimal 2 knot atau 1 m/dt.
1.4.4 Suhu dan kadar garam (Temperature and Salinity)
Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan
diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal dan air
yang datang (pada saat pasang-naik) ke perairan estuaria tersebut kontak dengan daerah
yang substratnya terekspos (Kinne, 1964).
Suhu dan salinitas merupakan parameter-parameter fisika yang penting untuk
kehidupan organisme di perairan laut dan payau. Parameter ini sangat spesifik di
perairan estuaria. Kenaikan suhu di atas kisaran toleransi organism dapat meningkatkan
laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi dan aktifitas organisme. Kenaikan
laju metabolisme dan aktifitas ini berbeda untuk spesies, proses dan level atau kisaran
suhu.
Kadar garam dalam sistem estuari berbeda-beda sepanjang siklus pasang surut,
sudah digunakan oleh West dan Williams (1975). dalam Tay Estuary di Skotlandia.
Kadar garam air laut biasanya diasumsikan dengan 35 ‰ yang masuk menuju sungai
yang berbatasan dengan laut akibat pasang yang terjadi dilaut dan dipengaruhi dari debit
sungai, sehingga terjadinya campuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut).
Intrusi air asin yang masuk ke sungai tergantung pada tingginya pasang yang masuk ke
sungai.
1.4.5 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid)
Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir,
lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat
berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, Zat padat tersuspensi merupakan
tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan
pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat
organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang
lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi,
sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut
antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai,
ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan.
Kandungan zat padat tersuspensi masih sesuai dengan Nilai Ambang Batas
(NAB) yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk kepentingan
perikanan dan taman laut konservasi yaitu < 80 mg/l, namun tidak sesuai untuk
kepentingan pariwisata (mandi selam dan renang) yaitu < 23 mg/l. Menurut US-EPA
pengaruh padatan tersuspensi sangat beragam, tergantung pada sifat kimia alamiah
1.5 Ruang Lingkup dan Metodologi
Adapun metode penulisan yang dilakukan dalam penyelesaian tugas akhir ini
adalah :
1. Studi pustaka / literatur
Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data – data dan informasi dari
buku, serta jurnal – jurnal yang mempunyai relevansi dengan bahasan dalam
tugas akhir ini serta masukan-masukan dari dosen pembimbing.
2. Studi lapangan
a. Pengambilan data sekunder
Dilakukan pengumpulan data – data sekunder yang diperoleh dari instansi
terkait di daerah penelitian.
b. Pengambilan data primer
c. Data ini diperoleh dengan mengadakan survei dilapangan.
3. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari lapangan dan kepustakaan yang bersesuaian dengan
pokok bahasan, disusun secara sitematis dan logis dan dilakukan korelasi
sehingga diperoleh suatu gambaran umum yang akan dibahas dalam tugas akhir
ini.
4. Analisa Data
Dari hasil pengolahan data akan didapat model fisik muara di kawasan muara
sungai Belawan, Sumatera Utara.
Seluruh data dan hasil pengolahannya akan disajikan dalam satu laporan yang
telah disusun sedemikian rupa hingga berbentuk sebuah laporan tugas akhir.
1.6 Sistematika Penulisan
Bab I berisikan pendahuluan yang memberikan penjelasan tentang muara sungai
deli Sumatera Utara dan memberikan gambaran umum tentang muara serta tujuan,
ruang lingkup dan metodologi dalam penulisan tugas akhir ini.
Bab II berisikan studi literatur yang menguraikan karakteristik model fisik muara
kemudian diuraikan juga bagaimana proses transpor sedimen yang terjadi di Muara
Sungai Belawan .
Bab III memberikan gambaran lokasi studi tugas akhir yang menjelaskan kondisi
daerah Muara Sungai Belawan.
Bab IV berisikan hasil dan pembahasan dari data-data yang diperoleh di
lapangan untuk melakukan pemodelan dengan bantuan program microscoft office excel
menggunakan rumus-rumus teoritis tentang fisik di Muara Sungai Belawan dan
kemudian dilakukan perbandingan dengan data lapangan.
Bab V berisi kesimpulan yang dirangkum dari hasil simulasi yang dilakukan dan
BAB II
STUDI LITERATUR
2.1 Batimetri
Bathimetri merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar muara
dengan metode penginderaan atau rekaman dari permukaan dasar perairan, yang akan
diolah untuk menghasilkan relief dasar perairan, sehingga dapat digambarkan susunan
dari garis-garis kedalaman (kontur). Pemetaan kondisi dasar perairan tersebut
dikonversikan dalam keadaan surut terendah (Low Water Surface).
Unsur utama pembuatan bathymetri adalah pengukuran jarak dan kedalaman.
Peralatan yang digunakan untuk mengukur jarak antara lain Theodolith, Electronic Data
Measurement (EDM), atau Global Positioning System (GPS). Sedangkan peralatan yang digunakan untuk mengukur kedalaman adalah fishfinder 240 blue dan perahu boat.
Faktor lain yang sangat mempengaruhi pengukuran batimetri adalah dinamika
media air muara berupa pasang surut muara sungai, sehingga sangat sulit untuk
menentukan objek yang sama pada waktu yang berbeda. Dengan demikian pada
pengukuran kedalaman dasar muara perlu dilakukan 3 pengukuran sekaligus pada waktu
yang bersamaan yaitu pengukuran kedalaman, pengukuran posisi alat ukur kedalaman,
dan pengukuran pasang surut. Dari ketiga data tersebut akan menjadi informasi
kedalaman muara pada posisi tersebut terhadap suatu bidang refrensi (chart datum).
2.1.1 Pengukuran kedalaman muara sungai
Kedalaman muara sungai adalah jarak antara dasar muara pada suatu tempat
terhadap permukaan muaranya. Kedalaman muara ini dapat dibagi menjadi beberapa
kedalaman lainnya adalah kedalaman peta, yaitu kedalaman dasar muara suatu tempat
terhadap chart datumnya.
Pengukuran kedalaman muara dapat dilakukan dengan beberapa cara, metoda
yang paling sederhana adalah cara mekanis dengan menggunakan galah atau tali ukur,
sedangkan yang sangat canggih adalah dengan menggunakan sinar laser yang
dipancarkan dari pesawat terbang. Namun cara yang sering digunakan adalah metoda
perum gema ( fishfinder)
2.1.1.a Cara mekanis
Cara yang paling sederhana dalam mengukur kedalaman estuari adalah dengan
menggunakan galah berskala, dengan membaca kedudukan muka laut pada skala galah
maka kedalaman bacaan didapat. Namun cara ini sangat berkaitan dengan panjang galah,
semakin panjang galah maka semakin banyak masalah didapat dalam pengukuran. Maka
untuk lebih memudahkan pengukuran galah diganti dengan pita ukur berskala dengan
pemberat diujungnya dikenal dengan sebutan lot, seperti terlihat pada Gambar
Dengan cara ini pengukuran dapat dilakukan lebih dalam lagi namun masalah
baru timbul diantaranya bila pemberat cukup ringan maka pita akan mudah dipengaruhi
kedudukannya oleh arus laut sehingga bentangan pita akan melengkung, sedangkan bila
pemberat cukup berat maka pita akan meregang sehingga kedalaman bacaan akan lebih
kecil dari yang seharusnya.
Pada kedua cara mekanis tersebut diatas data yang didapat terbatas pada tempat
atau posisi alat tersebut diturunkan, sedangkan diantara dua tempat yang berurutan tidak
diketahui atau diasumsikan mempunyai kedalaman diantara kedua kedalaman pada
kedalaman dirapatkan namun berakibat waktu yang dibutuhkan untuk mengukur lebih
lama.
Sekalipun demikian cara tersebut diatas tidak berarti tidak dapat digunakan pada masa
kini, cara tersebut masih dapat digunakan dalam beberapa kondisi yaitu :
a. Daerah yang diukur mempunyai kelandaian rendah yang mempunyai permukaan
relatif rata.
b. Pengukuran diikuti dengan penyapuan kedalaman walaupun dilakukan dengan cara
yang juga sederhana (Dragging) untuk memeriksa dasar laut dari kedalalaman yang lebih
kecil dari batas tertentu, seperti pada kedalaman sampai 6 meter.
c. Pengukuran yang dilakukan untuk memeriksa secara acak pada daerah hasil ukuran
yang akan disetujui.
Gambar 2.1 Pengukuran Kedalaman Cara Mekanis
2.1.1.b Perum Gema
Cara ini menggunakan gelombang suara yang dipancarkan oleh transducer
pemancar pada permukaan laut kemudian dipantulkan oleh dasar laut dan diterima
pada tempat yang terpisah ataupun yang relatif sama. Gelombang udara tersebut yang
dikemas dalam bentuk pulsa-pulsa menjalar pada medium air laut dengan kecepatan
kurang lebih 1500 m/detik dengan panjang lintasannya dua kali kedalaman air laut yang
dilaluinya.
Gambar 2.2 Alat Perum Gema (fishfinder 240 blue)
2.1.2 Penentuan Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Jarak
Menurut wright dkk (1973) menyatakan bahwa lebar dan kedalaman estuari dapat
diwakili dengan persamaan berikut ini :
………. (2.1)
……….. (2.2) )
/ ( 0
L x a
x W e
W = −
) / ( 0
L x b
x D e
Persamaan tersebut dikembangkan oleh Prandle (1986) menyatakan bahwa umumnya
teori analisis untuk dinamika dari batimetri estuari dapat didekati dengan fungsi.
n
WL adalah lebar pada mulut estuari (m)
Dx adalah Kedalaman estuari (m)
DL adalah kedalaman pada mulut estuary (m)
x adalah pengukuran dari mulut muara hingga hulu (m) m dan n adalah koefisien estuari
λ adalah dimensi horizontal sebagai panjang estuari (m) a dan b merupakan koefisien estuary
2.1.3 Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Eksponensial Jarak
Dyer (1986) mencatat bahwa banyak estuari yang dapat ditunjukkan secara
eksponensial variasi lebar, kedalaman, dan luas penampang dari jarak mulut estuari
(mouth estuary). Dengan cara yang sama, prandle (1986) menggantikan menajadi
persamaan dan persamaan.
Dimana m dan n merupakan koefisien estuari.
Prandle (1986) telah melakukan percobaan pada estuari seperti terlihat pada tabel 1.1
Tabel 2.1 Koefisien estuari, prandle (1986)
Pasang surut merupakan perubahan elevasi muka air laut akibat adanya gaya tarik
benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Perubahan
elevasi muka air laut tersebut berlangsung secara periodik (Teknik Pantai, 1999).
Fenomena pergerakan naik turunya permukaan air laut secara berkala yang
diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik-menarik antara benda-benda
astronomi terutama oleh matahari dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat
diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil.
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal.
Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara
langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran
bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada
dekat dari pada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah
bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di
laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu
rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari.
2.2.1 Pembangkit pasang surut
Meskipun sudah sejak lama diketahui bahwa gejala pasang surut laut terutama
dihasilkan oleh adanya gaya tarik bulan dan matahari, namun baru setelah Newton pada
tahun 1807 menemukan hukum gravitasi, gejala pasang surut dapat dianalisa secara
kuantitatif.
Pertama pertimbangkan keadaan sederhana ini. Pusat dari gravitasi bulan terletak pada
bidang yang sama dengan ekuator bumi dan bulan berada pada suatu jarak yang konstan
dari bumi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.3 Gaya Tarik Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985)
Teori kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton
(1642-1727), Teori ini menerangkan sifat-sifat pasut secara kualitatif. Teori terjadi pada bumi
ideal yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air dan pengaruh kelembaman (Inertia)
dengan gaya pembangkit pasang surut (King, 1966). Untuk memahami gaya
pembangkit pasang surut dilakukan dengan memisahkan pergerakan sistem
bumi-bulan-matahari menjadi 2 yaitu, sistem bumi-bulan dan sistem bumi-bumi-bulan-matahari.
Pada teori kesetimbangan, bumi diasumsikan tertutup air dengan kedalaman dan
densitas yang sama dan naik turun muka laut sebanding dengan gaya pembangkit
pasang surut (Tide Generating Force) yaitu Resultante gaya tarik bulan dan gaya
sentrifugal, teori ini berkaitan dengan hubungan antara laut, massa air yang naik, bulan,
dan matahari. Gaya pembangkit pasut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi
dan air rendah pada dua lokasi (Gross, 1987).
Newton menunjukkan bahwa kekuatan atraksi antara kedua benda-benda
angkasa, dalam hal ini proporsional dengan produk massanya dan sebaliknya
proporsional dengan jarak pemisahnya r, Newton mendefensikan proporsinalitas
konstan sebagai G, konstan gravitasi universal, (6.672 x 10-11 Nm2kg-2), sehingga
kekuatan yang ada menjadi :
……….. (2.7)
Dimana :
• M adalah massa bumi berkisar 4,1 x 1023 slug= 14,59 x 4,1 x 1023 = 59,819 x
1023 kg
• m adalah massa bulan berkisar 7.0375 x 1022 kg dan massa matahari berkisar 1.9206 x 1030 kg
• Jarak rata-rata bumi-bulan (r) (238.862 mil = 1,609 x 238862 = 384.328,958km) 2
2
Gambar 2.4 Sistem Bumi – Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985)
Sistem Bumi – Bulan di atas dapat dilukiskan sebagai berikut:
M adalah massa Bumi (kg)
m adalah massa Bulan (kg)
ω = kecepatan sudut dari sistem Bumi - Bulan pada sumbu bersama (rad/detik)
r = jarak pusat Bumi – pusat Bulan (km)
rm= jarak pusat Bulan – sumbu bersama (km)
re = jarak pusat Bumi – sumbu bersama (km)
r = rm + re
Pada sistem Bumi-Bulan, dimana Bumi dianggap tidak berotasi pada sumbunya,
tetapi mengadakan putaran (revolusi) pada sumbu putaran bersama Bumi-Bulan. Sistem
Bumi-Bulan dalam keadaan setimbang, gaya-gaya yang bekerja pada sistem itu adalah
gaya tarik menarik dan gaya sentrifugal pada sumbu bersama.
• Keseimbangan gaya yang terjadi di Bumi :
……… (2.8)
• Keseimbangan gaya yang terjadi di Bulan :
Dimana
ω adalah kecepatan sudut bumi bulan mengelilingi sumbu bersama (rad/detik)
rm= jarak pusat Bulan – sumbu bersama (km)
re = jarak pusat Bumi – sumbu bersama (km)
Gaya pembangkit pasut membentuk sudut dengan permukaan bumi. Komponen
tegak lurus terhadap permukaan bumi menambah atau mengurangi gaya gravitasi bumi.
Akan tetapi pengaruhnya kecil (orde magnitude 10-7 g), untuk gerakan air sebenarnya ,
hanya komponen tangensial terhadap permukaan bumilah yang penting. Komponen ini
selanjutnya disebut Tractive Force, Fs (Doodson dan Warburg, 1941 dalam Thabet,
1980) adalah
……… (2.10)
Φ adalah sudut yang terbentuk oleh bumi terhadap bulan
Gambar 2.5 Distribusi tractive Force (Thabet,1980)
Bulan mengelilingi bumi sekali dalam 24 jam 84 menit. Jika faktor lain
diabaikan maka suatu lokasi di bumi akan mengalami dua kali pasang dan dua kali surut Φ
= sin2
2 3
3
K gm
dalam sehari. Teori tersebut akan benar jika digunakan anggapan seluruh permukaan
bumi tertutup merata oleh air laut (equilibrium theory), jika hanya ada pengaruh bulan
saja atau matahari saja tetapi tidak pengaruh keduannya secara bersamaan dan jika
bulan atau matahari mempunyai orbit yang benar-benar berupa lingkaran dan orbitnya
tepat diatas khatulistiwa.
Tetapi pada kenyataannya anggapan tersebut tidak benar. Karena laut tidak
meliputi bumi secara merata tetapi terputus oleh benua dan pulau. Topografi dasar laut
tidak rata mendatar tetapi sangat bervariasi dari palung yang dalam, gunung bawah laut
sampai paparan yang luas dan dangkal. Demikian pula ada selat yang sempit dan
panjang atau teluk berbentuk corong dengan dasar melandai. Hal tersebut menimbulkan
penyimpangan dari kondisi yang ideal dan menyebabkan ciri-ciri pasang surut yang
berbeda-beda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Selain itu posisi kedudukan bulan dan matahari dalam orbit selalu berubah
relatif terhadap bumi. Apabila bulan dan matahari berada kurang lebih pada satu garis
lurus dengan bumi, seperti pada saat bulan muda atau bulan purnama maka gaya tarik
keduanya akan saling memperkuat. Dalam keadaan demikian terjadi pasang surut
purnama (spring tide) dengan tinggi air yang maksimum melebihi pasang biasa.
Sebaliknya surutnya sangat rendah hingga lokasi dengan pantai yang landai bisa
menjadi kering sampai ke laut. Tetapi jika bulan dan matahari membentuk sudut
siku-siku terhadap bumi maka gaya tarik keduanya akan saling meniadakan. Akibatnya
perbedaan tinggi air antara pasang dan surut kecil, keadaan ini dikenal dengan pasang
perbani (neap tide). Gambar 2.6 di bawah ini menjelaskan kondisi
Gambar 2.6a Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Perbani (Neap Tide)
Gambar 2.6b Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Purnama (Spring Tide)
2.2.2 Tipe Pasang Surut
Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Secara umum pasang surut
di berbagai daerah dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu pasang surut harian ganda,
pasang surut campuran condong ke harian tunggal. Keempat tipe tersebut terdapat di
Indonesia dengan persebaran dapat dilihat pada Gambar 2.7
1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi
yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan teratur. Periode pasang
surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar
2.8a.
2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)
Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode
pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan selat
Karimata. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8d.
3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi
mempuyai tinggi dan periode yang berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di
perairan Indonesia bagian timur. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8b.
4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal
Dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi tinggi dan
periodenya sangat berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di selat Kalimantan
dan pantai utara Jawa Barat. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8c.
Pada pasang surut campuran yang lebih condong ke pasut harian ganda dalam
satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, namun tinggi dan waktunya berbeda.
Hal ini terjadi di sebagian besar perairan indonesia bagian timur. Yang terakhir pasang
sekali surut dalam sehari tetapi kadang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang
sangat berbeda dalam tinggi dan waktunya.
Gambar 2.7 Persebaran Tipe Pasang Surut di Indonesia (Teknik Pantai, 1999)
Tipe pasang surut dapat diketahui dengan cara mendapatkan bilangan/ konstanta
pasut (Tidal Constant/ Formzal) yang dihitung dengan menggunakan metode Admiralti
yang merupakan perbandingan jumlah amplitudo komponen diurnal terhadap amplitudo
komponen semidiurnal, yang dinyatakan dengan :
……….. (2.11)
Dimana:
F adalah bilangan Form zal
AK1 adalah am plitudo kom ponen pasang surut t unggal utam a yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan dan m atahari
AO1adalah am plitudo kom ponen pasang surut tunggal utam a yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
AM2 adalah am plitudo kom ponen pasang surut ganda utam a yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
AS2 adalah am plitudo kom ponen pasang surut ganda utam a yang disebabkan oleh
gaya tarik m atahari
2 2
1 1
AS AM
AO AK F
Tabel 2.2 Pengelompokan Tipe Pasut
Bilangan Formzall
(F) Tipe Pasang Surut Keterangan
F < 0.25 Pasang harian ganda (semidiurnal)
Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang
dan 2 kali air surut dengan ketinggian
yang hampir sama dan terjadi berurutan
secara teratur. Periode pasang surut
rata-rata adalah 12 jam 24 menit.
0.25 < F < 1.5 Campuran, condong ke semidiurnal
Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang
dan 2 kali air surut dengan ketinggian
dan periode yang berbeda.
1.5<F<3.0 Campuran, condong ke diurnal
Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang
dan 1 kali air surut dengan ketinggian
yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2
kali air pasang dalam 1 hari dengan
perbedaan yang besar pada tinggi dan
waktu.
F < 3.0 Pasang harian tunggal (diurnal)
Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang
dan 1 kali air surut. Periode pasang
surut adalah 24 jam 50 menit
2.2.3 Komponen Pasang Surut
Guna memperkirakan keadaan pasang surut, maka terdapat banyak
komponenkomponen yang mempengaruhi pasang surut. Komponen utama adalah akibat
gaya tarik bulan dan matahari (lunar dan solar komponen). Komponen lainnya adalah
komponen non astronomis
Komponen pasang surut yang ada sebanyak 9 (sembilan). Penjabaran ke delapan
komponen pasang surut tersebut seperti pada Tabel 2.3. Hasil penguraian pasang surut
Tabel 2.3 Komponen Pasang Surut
Komponen Simbol Periode
(jam)
Keterangan
Utama bulan Utama matahari
Bulan akibat variasi bulanan jarak bumi-bulan
6.10 Perairan Dangkal
Matahari-bulan
Untuk menentukan peramalan komponen pasang surut di laut dan estuary
biasanya digunakan metode admiralty, Adapun alat pencatatnya adalah A-OTT
KEMPTEN R-20 Strip-Chart yang dikelola oleh Pelindo Belawan. Alat tersebut masuk
dalam klasifikasi jenis pelampung (float type tide gauge), yaitu alat pencatat pasang
surut otomatis yang bekerja berdasarkan naik turunnya pelampung. Cara kerjanya
dengan mencatat sendiri perubahan naik turunnya permukaan laut dalam skala yang
lebih kecil pada kertas pencatat (recording paper) dalam bentuk grafik.
Grafik hasil pengamatan pada recording paper tersebut merupakan fungsi dari
garis-garis skala tinggi dengan waktu. Gerakan kertas menurut waktu dilaksanakan oleh
suatu mekanisme jam dengan penggerak pegas atau baterai. Dari data bentuk grafik
(analog) tersebut diubah dalam bentuk data numerik (angka) dengan mengkonversi pada
skala yang sebenarnya sehingga hasil data numerik akan menggambarkan keadaan
sebenarnya di lapangan pengamatan. Konversi data inilah yang mengakibatkan
dapat dilihat pada rambu ukur yang biasanya terpasang pada lokasi pengamatan pasang
surut.
2.2.4 Ramalan Kenaikan Muka Air Akibat Pasut (Spring Tide and Neap Tide)
Model muara sungai dikembangkan hanya dengan menggunakan tiga komponen,
Masing-masing konsituen tersebut berkembang melalui air laut yang masuk ke
lingkungan sungai. Tugas Akhir ini meninjau pasang surut pada Muara Sungai Belawan
yang terletak pada bagian timur pulau sumatera, dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa
tipe pasut pada Muara Sungai Belawan merupakan tipe pasut harian ganda (semidiurnal
tide), Pugh (2004) menyajikan lunar dan solar pada pasang surut semidiurnal dari proses kedudukan muka air pada saat terjadi pasang tertinggi dan kedudukan muka air
pada saat surut terendah dalam proses spring tide dan neep tide dapat dirumuskan
seperti berikut ini.
Pugh (2004) ramalan pasang surut akibat gaya tarik matahari (solar) untuk komponen
S2 adalah,
hS2(t)= AS2sin (2πt/TS2) ……… (2.12)
Pugh (2004) Ramalan pasang surut akibat gaya tarik bulan (lunar) umtuk komponen M2
adalah,
hM2(t) = AM2 sin (2πt/TM2) ……… (2.13)
Kedalaman air yang sebenarnya tiap waktu h(t) adalah penjumlahan numerik dari
kedalaman yang sesuai dengan datum, DT :
h(t) = hS2 (t) + hM2 (t) + DT ………... (2.14)
dimana hS2 (t) dan h M2 (t) adalah kedalaman air tiap waktu t, AS2 dan AM2 adalah
bulan terhadap bumi dan bumi terhadap matahari, TS2 adalah periode pasut akibat
matahari dan TM2 adalah periode pasut akibat bulan. siklus bulan 29,5 hari adalah
sekitar 1,035 waktu yang diperlukan dari siklus matahari (Pugh, 2004) yaitu 24,84 jam
dengan demikian periode pasut lunar semi diurnal 12,42 jam dan seperempat pasut
lunar diurnal 6,21 jam.
2.2.5 Pasut Muara Sungai
Pasut muara sungai dipengaruhi adanya komponen overtide akibat adanya
perpindahan dari perairan yang dalam (laut) yang masuk menuju ke perairan yang
dangkal (sungai), Pugh (2004) menyatakan bahwa komponen pasut M4 termasuk ke
dalam kategori overtide, yaitu komponen pasut yang lajunya 2 kali laju komponen M2.
overtide adalah sebuah komponen pasut harmonik dimana lajunya merupakan perkalian eksak dari laju suatu komponen dasar pasut yang dibangkitkan dari gaya pembangkit
pasut. Biasanya overtide ini muncul atau dominan di perairan dangkal dan amplitudo
M4 yang diberikan adalah:
……… (2.15)
Dimana:
x adalah jarak peninjauan muara sungai tiap titik (m)
AM2 adalah amplitudo komponen pasut akibat gaya tarik Bulan (m)
h adalah kedalaman aliran (m) g adalah percepatan gravitasi (m/s2)
T adalah priode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam).
Dengan demikian, Amplitudo M4 bertambah karena jarak meningkat sepanjang
saluran. Luas kwartal diurnal juga bertambah jika kedalaman saluran tersebut kecil, dan
sebagai luas dari komponen semi-diurnal.
DT
Kenaikan muka air akibat komponen M4 yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
hM4(t) = AM4sin (2π t / TM4) ……….. (2.16)
Dimana :
h M4 (t) adalah Tinggi muka air akibat amplitudo M4 tiap waktu t (m)
AM4 adalah amplitudo seperampat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter-diurnal)
(dari persamaan 2.17)
TM4 adalah periode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam)
Maka kenaikan muka air pasut pada muara sungai dirumuskan oleh Pugh (2004) adala
sebagai berikut:
… (2.17)
Dimana :
h(t) adalah naik muka air pasut tiap waktu pada muara sungai (m)
hM2 adalah naik muka air pasut pengaruh bulan (lunar semidiurnal)
hS2 adalah naik muka air pasut pengaruh matahari (solar semidiurnal)
hM4 adalah amplitudo lunar quarter-diurnal
DT adalah naik muka air rata-rata pasut estuari
Naik muka air pasut akibat pengaruh benda-benda langit dapat dilihat pada gambar
Gambar 2.9. Kurva pasut (Thabet, 1980)
Variasi yang terus menerus dari tinggi dan bentuk pasut dikaitkan dengan
gerakan yang kompleks dari bumi (mengelilingi matahari dan revolusi terhadap
sumbunya) dan bulan (mengelilingi bumi). Selain bulan, interaksi antara bumi dan
matahari juga mempengaruhi fenomena pasut, namun interaksi antara bumi dan bulan,
dalam hal ini adalah gaya tarik/gravitasi bulan, lebih besar daripada gaya tarik matahari.
Hal ini diakibatkan jarak bumi dan bulan (rata-rata 381.160 km) yang jauh lebih dekat
dibandingkan jarak bumi dan matahari (rata-rata 149,6 juta km) meskipun massa bulan
jauh lebih kecil daripada massa matahari. Karena jarak lebih menentukan daripada
massa, maka bulan mempunyai peran yang lebih besar daripada matahari dalam
menentukan pasut. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut besarnya kurang
lebih 2,2 kali lebih kuat daripada gaya tarik matahari. Hal ini mengakibatkan air laut,
yang menyusun 71% permukaan bumi, menggelembung pada sumbu yang menghadap
ke bulan. Pasang surut terbentuk karena rotasi bumi yang berada di bawah muka air
yang menggelembung ini, yang mengakibatkan kenaikan dan penurunan permukaan laut
di wilayah pesisir secara periodik. Gaya tarik gravitasi matahari juga memiliki efek
yang sama namun dengan derajat yang lebih kecil Dengan memahami mekanisme
pokok yang terlibat, berbagai teori dan teknik dikembangkan untuk melakukan
peramalan pasut.
2.3 Arus Pasang Surut (Tidal Current) Muara Sungai
Arus pasut adalah aliran air dalam arah horizontal yang periodik yang merupakan
respon terhadap naik turunnya elevasi muka air yang disebabkan pasang surut.
Arus di estuari terutama disebabkan oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai.
Arus biasanya terdapat pada kanal (saluran), tetapi dalam kanal ini, kecepatan arus
dapat mencapai beberapa mil per jam. Kecepatan tertinggi terjadi pada bagian tengah
kanal, dimana hambatan gesek dengan dasar dan sisi tepian yang paling kecil.
Walaupun estuaria merupakan tempat keseluruhan sedimen mengendap seperti
dibicarakan diatas, kanal dimana arus terpusat seringkali merupakan tempat erosi yang
sangat mencolok. Untuk kebanyakan estuaria, pada bagian hulu terjadi masukan air
tawar yang terus menerus. Sebagian air tawar ini bergerak ke hilir estuaria, bercampur
sedikit atau banyak dengan air laut. Sebagian besar air ini pada akhirnya mengalir
keluar estuaria atau menguap untuk mengimbangi air berikutnya yang masuk dibagian
hulu. Selang waktu yang dibutuhkan sejumlah massa air tawar untuk dikeluarkan dari
estuari disebut penggelontoran (flushing time). Selain waktu ini dapat menjadi tolak
ukur keseimbangan suatu sistem estuaria. Waktu penggelontoran yang lama, penting
artinya untuk pemeliharaan komunitas plankton estuari.
Di daerah sungai atau selat, dimana arah aliran dibatasi oleh geometri channel,
arus pasut bersifat berkebalikan atau reversing, sehingga arah aliran bergantian dalam
arah yang hampir berlawanan serta adanya kondisi dimana kecepatan arus sangat kecil
pada saat aliran arus berbalik yang dinamakan slack water. Kecepatan arus pasang surut
pada masing-masing arah tersebut bervariasi dari kecepatan nol pada saat slack water
hingga kecepatan maksimal. Kecepatan arus pasut biasanya berubah-ubah secara kontinu
arus pasut pada pasut tipe semi diurnal mencapai maksimum sebanyak dua kali dalam
satu hari pada arah yang berlawanan serta mencapai kecepatan minimum pada waktu dan
arah di antara kedua kecepatan maksimumnya.
Gambaran arus pasut tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.9. Gambar tanda
panah merepresentasikan kecepatan arus untuk setiap jam. Air pasang biasanya
digambarkan di atas garis air slack water dan air surut di gambarkan dibawahnya. Kurva
arus pasut terbentuk di sepanjang ujung panah dan memiliki karakteristik yang sama
dengan bentuk kurva sinus.
Gambar 2.10 Pola bolak balik arus pasang surut
(Sumber
Keterangan :
• Pada saat pasang, muka air di laut lebih tinggi daripada di estuari dimana gerakan
arus pasut memasuki estuari ini disebut flood.
• Pada saat surut muka air di laut lebih rendah daripada di estuari sehingga arus
2.3.1 Hubungan Debit dan Arus Pasut
Aliran debit (Q m3/detik) adalah laju aliran air (u m/det) (dalam bentuk volume
air) yang melewati suatu penampang melintang muara sungai (A m2) per satuan waktu
(detik) .
... (2.18)
Pertimbangkanlah kedua bagian yang ada pada gambar 2.11 untuk mengisi
volume V1 dan V2 dengan waktu t f, pada bagian penampang pipa 1 dan 2 dari A1
dan A2. Kecepatan aliran sebenarnya dapat dihitung dengan :
……….. (2.19)
……….. (2.20)
Dimana U1 dan U2 adalah kecepatan aliran dalam masing – masing pipa 1 dan 2.
diperlihatkan pada gambar berikut ini :
Gambar 2.11 Penampang Pipa
Persamaan 2.28 dan persamaan 2.29 dapat dikembangkan untuk menentukan
arus pasang surut pada setiap penampang sebagai produk dari lebar muara (Wx), dan
perubahan kedalaman pasang surut per detik (Δhf) terhadap pembagian tiap penampang
panjang muara menuju hulu sungai (A), yang merupakan sebagai kontribusi kecepatan
aliran sungai (Uf), sebagai komponen tidak tetap (mengalir keluar) sama dengan debit
air sungai (Q), yang dibagi dengan tiap luas penampang:
……… (2.21)
Dimana :
Q adalah debit sungai (m3/det)
Wx adalah lebar estuari tiap titik lokasi (m)
Dx adalah kedalaman estuary tiap titik lokasi (m)
pemodelan perubahan volume hulu adalah batimetri muara digunakan untuk
menghitung volume air yang keluar melalui tiap penampang muara sungai akibat
pasang surut.
………. (2.22)
Δl adalah Panjang muara sungai dari hulu sungai menuju hilir sungai tiap titik
peninjauan (m)
Wx adalah lebar muara sungai dari hulu (upstream) hingga hilir (downstream) tiap titik
lokasi (m)
Dimana formula tersebut menghitung volume air yang terkandung per meter
untuk tiap kedalaman akibat pasang surut pada muara sungai
Untuk mengetahui kecepatan arus pasut terhadap waktu tiap titik lokasi (U(x,t)) adalah:
……… (2.23)
Dimana:
Δht adalah rentang kedalaman yang terjadi tiap jam akibat pasut (m)
Wx adalah lebar estuari tiap titik lokasi (m)
Dx adalah kedalaman estuary tiap titik lokasi (m)
Q adalah debit sungai (m3/det)
Volume upstream adalah volume sungai menuju mulut estuary (m3 .106)
2.4 Suhu dan Salinitas Estuari 2.4.1 Suhu (Temperature)
Perairan yang ada di dunia memiliki luas permukaan air berkisar 360 juta km2,
terdiri dari serangkaian sungai dan laut yang saling berhubungan. untuk memahami
distribusi energi panas di muara, perlu untuk mempertimbangkan sumber panas laut di
dunia secara keseluruhan. ada aliran energi matahari yang tetap masuk ke bumi
sehingga keluar terus-menerus radiasi tersebut dari bumi kembali ke angkasa. Sumber
energi panas terbesar adalah panas dari matahari.
Suhu air di estuaria bervariasi dari pada diperairan dekat pantai. Hal ini sebagian
karena biasanya di estuari volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan lebih besar,
dengan demikian pada atmosfer yang ada, air estuaria ini lebih cepat panas dan lebih
cepat dingin (fjord, karena dalamnya dan volumenya besar tidak memperlihatkan gejala
ini). Alasan lain terjadinya variasi ini ialah masukan air tawar. Air tawar di sungai dan
kali lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman daripada air laut. Sungai di daerah
beriklim sedang suhunya lebih rendah di musim dingin dan lebih tinggi di musim panas
daripada suhu air laut didekatnya.
Ketika air tawar masuk estuaria dan bercampur dengan air laut, terjadi
perubahan suhu. Akibatnya, suhu perairan estuaria lebih rendah pada musim dingin dan
lebih tinggi pada musim panas dari pada perairan di sekitarnya. Skala waktunya
estuari karena memperlihatkan variasi suhu yang besar sebagai fungsi dari perbedaan
antara suhu air laut dan air sungai.
Suhu juga bervariasi secara vertikal. Perairan permukaan mempunyai kisaran
yang terbesar dan perairan yang lebih dalam kisaran suhunya lebih kecil. Pada estuaria
baji garam, perbedaan suhu vertikal ini juga memperlihatkan kenyataan bahwa perairan
permukaan didominasi air tawar, sedangkan perairan yang lebih dalam didominasi atau
seluruhnya terdiri dari air laut.
2.4.2 Kadar Garam (Salinity)
Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan,
salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh curah hujan local,
banyaknya air yang masuk ke laut, penguapan dan edaran masa air (King, 1963). Perubahan
salinitas pada perairan bebas (laut bebas) adalah relative lebih kecil dibandingkan ke
perairan pantai. Hal ini disebabkan karena perairan pantai banyak memperoleh masukan air
tawar dari Muara-muara sungai terutama pada waktu musim hujan (Hela dan Laevastu,
1970).
Estuaria dikelilingi daratan pada ketiga sisi. Ini berarti bahwa luas perairan yang
diatasnya angin dapat bertiup untuk menciptakan ombak adalah minimal. Dangkalnya
perairan di estuaria pada umumnya juga jadi penghalang bagi terbentuknya ombak yang
besar. Sempitnya mulut estuaria, diikuti dengan dasar yang dangkal, menghilangkan
pengaruh ombak yang masuk ke estuaria dari laut secara cepat. Sebagai akibat proses
ini, pada estuaria merupakan tempat yang airnya tenang.
Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan bahwa
“bagian perseribu” (parts per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan
jumlah gram garam untuk setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas atau
halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan pada rasio
sampel terhadap "Copenhagen water", air laut buatan yang digunakan sebagai standar
air laut dunia. Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas dalam Practical
Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar. Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa
35 psu sama dengan 35 gram garam per liter larutan.
Gambar 2.12 Penyebaran Salinitas Laut Permukaan Bumi
2.4.2.1 Pencampuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut)
Secara defenisi dapat pula dikatakan bahwa estuari adalah badan air yang
bergerak dinamis sebagai tempat bertemunya air tawar dan air asin (dalam hal ini adalah
air laut). Adanya perbedaan karakteristik antara air tawar dan air laut maka