UIN JAKARTA
Oleh: Fadila Sabati NIM: 106070002235
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam
memperoleh gelar sarjana psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H/ 2010 M
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam
memperoleh gelar sarjana psikologi
Oleh:
Fadila Sabati NIM: 106070002235
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Hamdan Yasun, M.Si Gazi Saloom, M.Si NIP : 130351146 NIP: 197112142007011014
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H/ 2010 M
FAKULTAS PSIKOLOGI UIN JAKARTA” telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana prgram strata 1 (S1) pada Fakultas
Psikologi.
Jakarta, 9 Agustus 2010
Dekan/ Pembantu Dekan/
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130885522 NIP. 195612231983032001
Anggota :
Penguji I Penguji II
Yunita Faela Nisa, M.Psi.Psi Dra. Diana Mutiah, M.Si NIP.197706082005012003 NIP.19671021996032001
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Hamdan Yasun, M.Si Gazi Saloom, M.Si
NIP. 130351146 NIP. 197112142007011014
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Agustus 2010
Fadila Sabati 106070002235
”Lakukan semua hal baik yang bisa anda lakukan
Dengan segala alat bantu yang anda bisa
Dengan semua cara yang anda bisa
Di semua tempat yang anda bisa
Di segala waktu yang anda bisa
Pada semua orang yang anda bisa
Selama anda bisa melakukannya”
(D)Hubungan Antara Tingkatan Berpikir Positif Dengan Kecemasan Berkomunikasi Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. (E)XIV + 48 halaman + 5 lampiran
(F) Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara tingkatan berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Kecemasan berkomunikasi merupakan kecemasan yang dialami individu saat melakukan kegiatan komunikasi, khususnya komunikasi dihadapan orang banyak. Hal ini sering dialami oleh mahasiswa. Mahasiswa sering merasa cemas ketika harus berbicara dihadapan dosen dan teman-temanya saat menjelaskan isi makalahnya. Jika mahasiswa memiliki kecemasan yang berlebihan ketika akan mempresentasikan tulisan ilmiahnya bisa saja materi yang sudah dikuasainya tidak bisa disampaikan dengan baik. Kecemasan yang timbul biasanya bukan karena ketidakmampuan individu tetapi karena cara berpikir yang keliru dan sering memikirkan hal-hal negatif yang akan tejadi saat akan mempresentasikan makalahnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi rasa cemas saat melakukan komunikasi dapat dilakukan dengan mengubah cara berpikir yang negatif atau tidak rasional menjadi cara berpikir yang positif.
Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta angkatan 2007,2008 dan 2009 yang aktif kuliah.Untuk mengambil sampel dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Stratified Proportional Random Sampling, dengan presisi 10% sehingga responden yang digunakan adalah 85 orang.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa skala, yaitu skala pola pikir yang disusun berdasarkan ciri-ciri berpikir positif menurut Albrecht dan skala kecemasan berkomunikasi disusun berdasarkan ciri-ciri kecemasan berkomunikasi menurut Burgon dan Ruffner.
Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik korelasi product moment dari Pearson dengan menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 16.00.
Dari hasil perhitungan menggunakan korelasi product moment dari Pearson di dapatkan r hitung (-0,467) lebih besar dari r tabel (0,213) pada taraf signifikasi 5% dengan p (0,000) lebih kecil dari 0,05. Sehingga keputusan statistiknya adalah menolak H0 dan menerima H1 yang berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara tingkatan berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan yang terbalik, yaitu tinggi rendahnya skor suatu variabel akan diikuti secara terbalik oleh tinggi rendahnya variabel lain yang mempunyai karakteristik sama. Artinya, semakin tinggi tingkatan berpikir positif seseorang maka semakin rendah kecemasan berkomunikasi, dan
Apprehension of Students of Faculty of Psychology State Islamic University (UIN) Jakarta.
(E)XIV + 48 pages + 5 appendix
(F)This research is purposed to examine correlation between degree of positive thinking with communication apprehension among students of Faculty of Psychology of State Islamic University (UIN) Jakarta. Communication apprehension is a anxiety that experienced by individual while performing activities of communication, especially communication in front of public. This is often experienced by students. Students almost feel anxiety when they have to speak in front of lecturer and their friends while explaining the content of their paper. If students have over anxiety when they will present their papers that have already learned before can not be delivered properly. Anxiety existing usually not because of the inability of the individual but of the wrong way of thinking and often think of negative things that will be happened while presentation their papers. Therefore, to surpass anxiety feeling while performing activities of communication can done from change the ways of negative or irrational thinking to the ways of positive thinking.
Samples of this research are current students of faculty of Psychology State Islamic University (UIN) Jakarta in the conscript of the 2007, 2008, and 2009. To take samples of this research, researcher use Stratified Proportional Random Sampling, with precision (d) 10% so that the samples that used are 85 people.
The instrument that used in this research is scale, that positive thinking is based on the characteristics of positive thinking by Albrecht and scale of communication apprehension that arranged based on characteristics of communication apprehension by Burgon and Ruffner.
The method of analysis used in this research is correlation product moment from Pearson with using programs SPSS version 16.00
From the calculation using the correlation product moment from Pearson, the researcher gets r score (-0.467) larger than r table (0.213) at 5% level of significance with p (0.000) is smaller than 0.05. So the statistical decision is is reject H0 and to accept H1 which means there is a significant negative relationship between degree of positive thinking with communication apprehension among students of faculty of psychology of UIN Jakarta. Coefficient of negative correlation indicates the inverse correlation, ie high and low scores of a variable will be followed in reverse order by the high and low for other variables that have similar characteristics. That is, people who have high degree of positive thinking the lower the anxiety level to communicate, and conversely the more lower degree of positive thinking, the higher the anxiety level of communication
(G) Referances (1959-2010)
karunia yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA TINGKATAN BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN BERKOMUNIKASI MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UIN JAKARTA”. Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan syafa’atnya kepada kita semua.
Penulisan skripsi ini disusun atas berbagai dukungan dan kerjasama yang baik
dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar, Ph.D, seluruh dosen dan
seluruh staf karyawan fakultas yang telah banyak membantu dalam menuntut
ilmu selama empat tahun belakangan ini.
2. Bapak Prof. Hamdan Yasun, M.Si sebagai pembimbing I yang telah banyak
memberikan arahan dan saran serta kritik yang sangat membangun sehingga
skripsi ini dapat selesai.
3. Bapak Gazi Saloom, M.Si sebagai pembimbing II yang telah banyak
memberikan bantuan dan memberikan ilmunya pada diskusi-diskusi yang
dilakukan selama bimbingan.
4. Kedua orang tuaku, serta saudara-saudaraku Mbak Farrah, Ofa, Rahma yang
senantiasa memberikan doa dan motivasi.
5. Hanny Isthifa, Dara Amalia dan Ain Rahmiati yang telah membantu dalam
menyebarkan angket pada responden. Teman-teman fakultas psikologi
semoga penelitian ini dapat bermanfaat, Amin.
Jakarta, Agustus 2010
Penulis,
Fadila Sabati
Lembar Persetujuan Pembimbing... ii
Lembar Pengesahan... iii
Lembar Pernyataan... iv
Motto...v
Abstraksi...vi
Abstract ...viii
Kata Pengantar... ix
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah...8
1.3 Tujuan Penelitian ...8
1.4 Manfaat Penelitian...9
1.5 Sistematika Penulisan...9
BAB II. KAJIAN TEORI ...11
2.1 Kecemasan Berkomunikasi...11
2.1.1 Pengertian Kecemasan Berkomunikasi...11
2.1.2 Kategori Kecemasan Berkomunikasi...12
2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Kecemasan Berkomunikasi...13
2.1.4 Ciri-ciri Kecemasan Berkomunikasi...15
2.3 Kerangka Teori... 21
2.4 Hipotesis ...23
BAB III. METODE PENELITIAN ... 24
3.1 Pendekatan dan Jenis penelitian... 24
3.2 Variabel Penelitian... 24
3.3 Populasi dan Sampel ... 25
3.4 Teknik Pengumpulan Data... 27
3.5 Instrumen/ Alat ukur yang digunakan...28
3.6 Teknik Uji Instrumen... 29
3.7 Prosedur penelitian...33
3.8 Teknik Analisis Data ... 34
BAB IV. PRESENTASI DAN ANALISIS DATA... 36
4.1 Gambaran Umum Responden... 36
4.2 Presentasi Data... 38
4.2.1 Deskripsi Statistik...38
4.2.2 Kategorisasi Skor Penelitian... 39
4.2.3 Uji Persyaratan... 41
4.2.4. Uji Hipotesis... 42
BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN... 45
5.1 Kesimpulan... 45
5.2 Diskusi………...45
xiv
Tabel 3.2 Skor untuk pernyataan Favorabel dan Unfavorabel……….28
Tabel 3.3 Blue Print Berpikir Positif... 28
Tabel 3.4 Blue Print Kecemasan Berkomunikasi...29
Tabel 3.5 Blue print hasil pilot study skala berpikir positif...30
Tabel 3.6 Blue print field study skala berpikir positif... 31
Tabel 3.7 Blue print hasil pilot study skala kecemasan berkomunikasi...31
Tabel 3.8 Blue print field study skala kecemasan berkomunikasi...32
Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 36
Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Usia... 37
Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Skor Berpikir Positif dan Kecemasan Berkomunikasi... 38
Tabel 4.4 Kategori Berpikir Positif... 39
Tabel 4.5 Kategorisasi Kecemasan Berkomunikasi... 40
Tabel 4.6 Tests Of Normality ... 42
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan manusia lain untuk
melangsungkan kehidupannya. Di dalam berinteraksi antara manusia yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat terlepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi
merupakan prasyarat kehidupan manusia. Ketika melakukan komunikasi dengan
orang lain tidak selalu berjalan efektif. Terkadang ada pesan yang tidak
tersampaikan secara baik dan benar. Hal ini bisa terjadi karena masalah yang
dihadapi manusia dalam berkomunikasi yang dikenal dengan istilah hambatan
komunikasi (communication apprehension).
Orang yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension)
akan merasa sulit dan merasa cemas ketika harus berkomunikasi Kecemasan
berkomunikasi sebenarnya merupakan hal yang wajar bagi seseorang. Bahkan
Orang yang sudah terbiasa berbicarapun terkadang masih mengalami kecemasan.
Hal ini juga yang biasanya dialami oleh mahasiswa. Dalam melaksanakan
kegiatan kuliah mahasiswa sering melakukan komunikasi. Mulai dari
mempresentasikan makalah di depan kelas, konsultasi skripsi, dan saat melakukan
bedah jurnal. Jika mahasiswa memiliki kecemasan yang berlebihan ketika akan
mempresentasikan tulisan ilmiahnya bisa saja materi yang sudah dikuasainya
Rubin (dalam Nimocks, 2001) menjelaskan bahwa mahasiswa dengan
kecemasan berkomunikasi yang tinggi memperlihatkan lebih senang untuk keluar
dari kelas public speaking dibandingkan mahasiswa dengan kecemasan
berkomunikasi yang rendah. Miller (2009) menyebutkan bahwa dalam suatu
penelitian ditemukan bahwa mahasiswa dengan kecemasan berkomunikasi yang
rendah mempunyai kemungkinan untuk dapat sukses. Sedangkan mahasiswa
dengan kecemasan berkomunikasi yang tinggi memiliki nilai di bawah rata-rata,
kemungkinan besar untuk keluar dari sekolah.
Penelitian lain menerangkan bahwa orang yang cemas dalam berkomunikasi,
cenderung dianggap tidak menarik oleh orang lain dan sangat jarang menduduki
jabatan pemimpin. Pada pekerjaan, orang yang mengalami kecemasan
berkomunikasi cenderung tidak puas, disekolah cenderung malas karena itu
cenderung gagal secara akademis (Rahmat, 2005)
Miller (2002) juga menjelaskan bahawa mahasiswa yang memiliki kecemasan
berkomunikasi yang tinggi rata-rata memiliki self-esteem dan self-credibility yang
rendah. Begitu juga dalam memilih pekerjaan, orang yang memiliki kecemasan
berkomunikasi yang tinggi akan memilih pekerjaan yang dirasa hanya
membutuhkan komunikasi yang sedikit dan kurang dipercaya oleh orang lain.
Masalah kecemasan komunikasi antar pribadi di Indonesia telah diteliti oleh
Mariani. la menemukan bahwa 8% dari 189 subjek penelitian yang terdiri dari
mahasiswa Fakultas Psikologi dan Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
Orang yang mengalami kecemasan berkomunikasi akan menarik diri dari
pergaulan, berusaha sekecil mungkin berkomunikasi dan hanya akan berbicara
apabila terdesak saja. Bila terpaksa melakukan komunikasi, pembicaraannya tidak
relevan, sebab berbicara yang relevan tentu akan mengundang reaksi orang lain
dan akan terus dituntut berbicara lagi (Rakhmat, 2005).
Beberapa penelitian yang terkait dengan kecemasan berkomunikasi adalah
penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005). Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri
dengan kecemasan berkomunikasi. Artinya, semakin positif kualitas konsep diri
mahasiswa, maka semakin rendah tingkat kecemasan dalam berkomunikasi.
Sebaliknya semakin negatif kualitas konsep diri mahasiswa, maka semakin tinggi
tingkat kecemasan dalam berkomunikasi.
Penelitian lain yang berkaitan dengan kecemasan berkomunikasi, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Triana (dalam Dewi,dkk. 2006). Hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa semakin positif citra raga individu maka
semakin rendah kecemasannya dalam berbicara di depan umum. Sebaliknya
semakin negatif cita raga individu maka semakin tinggi kecemasannya dalam
berbicara di depan umum.
Penelitian mengenai kecemasan berkomunikasi juga dilakukan oleh Opt &
Loffredo (2000). Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa partisipan yang
memiliki sifat introvert secara signifikan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi
pertemuan, pertukaran kelompok dan hal-hal yang berkaitan dengan konteks
umum.
Sa’diyah dkk (2009) juga memaparkan hasil penelitiannya yang berkaitan
dengan kecemasan komunikasi. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa ada
hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi
interpersonal pada penyandang cacat tunarungu. Artinya, semakin tinggi
kepercayaan diri para penyandang cacat tunarungu maka kecemasan komunikasi
interpersonal semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri para
penyandang cacat tunarungu maka kecemasan komunikasi interpersonal semakin
tinggi.
Dalam penelitian ini berpikir positif memiliki dua tingkatan yaitu tinggi dan
rendah. Orang yang memiliki tingkatan berpikir positif yang rendah sama halnya
dengan orang yang berpikir negatif. Suatu penelitian yang dilakukan oleh dewi
dkk (2006) menyebutkan bahwa ada hubungan antara pola pikir negatif dengan
kecemasan berbicara di depan umum. Dimana semakin tinggi pola pikir negatif
seseorang maka semakin tinggi juga kecemasan berbicara di depan umum.
Sebaliknya semakin rendah pola pikir negatif seseorang maka semakin rendah
kecemasan berbicara di depan umum. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh
Puteri (2007), yang menyebutkan bahwa ada hubungan negatif signifikan antara
pola pikir positif dengan kecemasan berbicara di muka umum pada mahasiswa.
Dimana semakin positif pola pikirnya maka akan semakin rendah kecemasan
akan semakin tinggi kecemasan berbicara di muka umumnya. Konsep yang
digunakan dalam penelitian ini lebih pada tingkatan berpikir positif tinggi dan
rendah karena didukung dengan teori yang dikemukaan oleh Albrecht (1980) yang
menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkatan berpikir positif yang tinggi
akan fokus pada harapan yang diinginkannya, meskipun lingkungan di sekitarnya
tidak mendukung. Sebaliknya individu yang memiliki tingkatan berpikir positif
yang rendah, sedikit banyaknya akan menghambat harapan yang dimiliki jika
lingkungan disekitarnya tidak mendukung.
Pada umumnya kecemasan berkomunikasi bukan disebabkan oleh
ketidakmampuan individu, tetapi sering disebabkan oleh tingkatan berpikir positif
yang rendah atau pikiran-pikiran yang negatif dan tidak rasional. Williams (2004)
menjelaskan bahwa kecemasan biasanya juga dipengaruhi oleh cara berpikir yang
keliru. Terlalu menilai diri begitu tajam sehingga sekilas tidak berani mencoba
sesuatu yang tidak kita kuasai dengan sangat sempurna. Selain itu mengingat
secara terus-menerus sesuatu yang menakutkan sehingga diri merasa terteror
sampai rasa takut itu menjadi jauh lebih besar dari diri sendiri dan akhirnya diri
berhenti sambil meyakini bahwa semuanya adalah malapetaka.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh fakultas kedokteran di San
Fransisco menyebutkan bahwa ada hubungan antara akal dan tubuh dalam hal
merebaknya berbagai penyakit, baik penyakit jiwa seperti cemas, gelisah, frustasi
atau penyakit fisik seperti penyakit jantung dan tekanan darah meningkat. Hasil
bersumber dari akal. Akal berpikir, lalu mengirimkan pesan ke tubuh. Selanjutnya
tubuh merespon. Respon itulah yang memengaruhi seluruh anggota tubuh (Elfiky,
2009).
Burns (dalam Wulandari, 2004) mengungkapkan bahwa perasaan individu
sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri.
Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif
mengenai keadaan yang dialami sebenarnya. Goldfried dan Davison (1976) juga
menyatakan bahwa reaksi emosional tidak menyenangkan yang dialami individu
dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya
sendiri mungkin tidak rasional. Begitu juga dengan Blackburn & Davidson (1994)
menjelaskan bahwa kecemasan disebabkan karena gangguan dari berpikir.
Blackburn & Davidson menghubungkan faktor emosi dan pikiran dengan
gangguan kecemasan.
Sama halnya penelitian yang dilakukan oleh Olfson dkk (dalam Hutagalung,
2009). Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa kecemasan yang dialami seseorang
dalam melakukan interaksi sosial lebih kepada adanya pikiran-pikiran negatif
yang ada pada diri individu, dimana individu tersebut merasa bahwa orang lain
tidak dapat menerima dirinya diakibatkan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya
seperti status sosial, status ekonomi dan juga tingkat pendidikan. Dari penelitian
tersebut dan juga banyak penelitian lain menyepakati bahwa dari segala
kecemasan yang dialami oleh seseorang dalam menghadapi suatu keadaan sangat
negatif hanya akan membawa pada keburukan dan pikiran positif akan membawa
diri pada kebaikan, penyebabnya adalah karena pikiran dapat berpengaruh pada
suasana hati.
Dalam mengurangi atau mengatasi seseorang yang mempunyai kecemasan
berkomunikasi dapat dilakukan dengan mengubah cara berpikir yang negatif dan
tidak rasional tersebut menjadi cara berpikir yang positif. Peale (1959)
menjelaskan bahwa untuk membentuk pikiran yang positif dapat menggunakan
pernyataan-pernyataan yang positif. Jika individu secara terus menerus
menggunakan kata-kata negatif maka akan berpengaruh pada kesehatan tubuh dan
kekuatan stimulus yang negatif akan memberikan efek yang buruk. Kata-kata
yang digunakan akan merefleksi secara kuat ke pikiran dan pikiran akan memberi
efek secara negatif atau positif terhadap organ.
Individu yang berpikir positif akan mengarahkan pikiran-pikirannya ke
hal-hal yang positif, akan berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta
kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada
ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan bersikap positif
dalam menghadapi permasalahan (Albrecht, 1980).
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi. Namun demikian
variabel berpikir positif belum dibahas secara mendalam dalam penelitian
tersebut. Sampel dan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini berbeda
Dengan bertitik tolak pada pemaparan di atas, maka penulis sangat tertarik
untuk mengkaji lebih mendalam mengenai ”HUBUNGAN ANTARA
TINGKATAN BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN BERKOMUNIKASI MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UIN JAKARTA”
1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah
Dalam hal ini penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Tingkatan berpikir positif yang dimaksud adalah tingkatan berpikir positif
tinggi dan tingkatan berpikir positif rendah.
2. Kecemasan berkomunikasi yang dimaksud adalah kecemasan untuk
melakukan komunikasi secara verbal saat berhadapan dengan orang banyak
1.2.2 Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah, yaitu:
“Apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara tingkatan berpikir positif
dengan kecemasan berkomunikasi mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban dari
hubungan negatif yang signifikan antara tingkatan berpikir positif dengan
kecemasan berkomunikasi mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan
perkembangan ilmu pengetahuan mengenai ada tidaknya hubungan antara
tingkatan berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi mahasiswa Fakultas
Psikologi UIN Jakarta.
b. Secara Praktis
Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan
pengetahuan pembaca mengenai pentingnya untuk selalu berpikir positif agar
perilaku yang timbul juga positif sehingga dapat mengurangi kecemasan
berkomunikasi. Selain itu, sebagai informasi kepada pembaca mengenai hal apa
saja yang menjadi penyebab timbulnya kecemasan berkomunikasi.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini mengacu kepada pedoman penyusunan dan
penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta,
skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu :
Dalam bab ini berisikan Latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat, tujuan
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : KAJIAN TEORI
Dalam bab ini diuraikan mengenai teori tingkatan berpikir positif,
kecemasan berkomunikasi, kerangka berpikir dan hipotesa
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini merangkum pendekatan dan jenis penelitian, variabel
penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data,
instrumen penelitian, prosedur penelitian dan teknik analisa data.
BAB IV : PRESENTASI DAN ANALISIS DATA
Bab ini memaparkan gambaran umum subjek penelitian, presentasi
data dan analisa hasil penelitian.
BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Kecemasan Berkomunikasi
2.1.1 Pengertian Kecemasan Berkomunikasi
Kecemasan merupakan suatu perasaan takut dan khawatir yang tidak
menyenangkan yang disertai dengan meningkatnya ketegangan fisiologis
(Davison dkk, 2006). Sedangkan menurut Daradjat (2001), kecemasan adalah
manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika
orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin
(konflik). Martin & Osborne (1989) membedakan antara kecemasan dan takut.
Kecemasan adalah sebuah istilah yang berarti kurang lebih sesuatu yang sama
seperti takut, meskipun sering digunakan pada pengertian yang sedikit umum.
Sedangkan takut adalah suatu emosi yang dialami ketika bertemu suatu bahaya
yang datang atau peristiwa yang tidak di inginkan.
Burgoon dan Ruffner (dalam Wulandari, 2004) dalam buku "Human
Communication" menjelaskan hambatan komunikasi (communication
apprehension) sebagai bentuk reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang
dialami seseorang ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi,
komunikasi di depan umum, maupun komunikasi massa. Individu yang
mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension) akan merasa
cemas bila berpartisipasi dalam komunikasi bentuk yang lebih luas, tidak sekedar
perasaan negatifnya, dan sedapat mungkin berusaha untuk menghindari
berkomunikasi. Jadi, istilah hambatan komunikasi (communication apprehension)
mencakup kondisi yang lebih luas, baik kecemasan komunikasi antar pribadi,
komunikasi di depan umum, dan komunikasi massa. Dalam penelitian ini yang
akan ditekankan adalah pada kecemasan komunikasi dihadapan orang banyak .
“Communication apprehension has been defined by McCroskey, as "an
individual's level of fear or anxiety associated with either real or anticipated
communication with another person or persons"(Alley, 2005).
Dari definisi di atas kecemasan berkomunikasi digambarkan sebagai suatu tingkat
ketakutan atau kecemasan individu berkomunikasi yang diasosiasikan dengan
keadaan yang tidak riil atau yang diantisipasi dengan orang lain atau banyak
orang.
Berdasarkan beberapa pengertian kecemasan berkomunikasi diatas maka
dapat disimpulkan bahwa kecemasan berkomunikasi adalah kecemasan yang
dirasakan individu ketika melakukan komunikasi khususnya di hadapan orang
banyak.
2.1.2. Kategori Kecemasan Berkomunikasi
McCroskey (1984) menyebutkan ada empat jenis Communication
Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in gereralized context, CA with
person-group, CA as a situational. Kecemasan berkomunikasi dalam penelitian
ini termasuk dalam jenis CA in generalized context. Kecemasan terjadi hanya
komunikasi yang menimbulkan kecemasan. Ada empat macam jenis komunikasi
dalam tipe ini, yaitu: berbicara didepan umum, berbicara di suatu pertemuan atau
kelas, berbicara dalam kelompok kecil saat berdiskusi dan berbicara saat
berinteraksi.
Selanjutnya Miller (2002), secara garis besar menyebutkan ada 2 macam
kategori dari kecemasan komunikasi, yaitu:
1. Kecemasan komunikasi secara umum, dimana individu merasakan takut pada
semua kegiatan komunikasi
2. Kecemasan komunikasi secara spesifik, dimana individu hanya merasa takut
pada situasi yang asing. Penyebabnya yaitu:
1. Takut karena topik yang dibawakan
2. Takut karena peserta/audience
3. Takut karena situasi atau lingkungan
Dalam penelitian ini, kategori kecemasan berkomunikasi termasuk dalam
kecemasan berkomunikasi secara spesifik, dimana individu hanya merasa takut
pada situasi yang asing yang penyebabnya adalah karena situasi atau lingkungan.
2.1.3. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan Komunikasi
Miller (2002) menyebutkan sebab-sebab kecemasan komunikasi, yaitu:
1. Lack of preparation (Kurangnya persiapan dalam berkomunikasi)
2. Lack of speaking skills. (Kurangnya keterampilan berbicara)
3. Negative reinforcement from previous communication efforts (respon negatif
4. Poor role models from which communication was learned (Sedikitnya model
komunikasi yang dipelajari)
5. Genetic components such as sociability, physical appearance, body shape,
and coordination and motor abilities. (komponen genetik, seperti kemampuan
bersosialisasi, penampilan fisik, bentuk badan dan kemampuan motorik dan
koordinasi).
6. Cultural preferences in regards to speaking in public and being the center of
attention (pilihan budaya dalam hal berbicara di depan umum dan menjadi
pusat perhatian).
Hoolbrook (1987) menyebutkan selain faktor-faktor tersebut diatas, ada
faktor lain yang menyebabkan kecemasan berkomunikasi, yaitu kepribadian
seseorang, seperti pendiam dan pemalu. Willets & Creswell (2007) menjelaskan
bahwa orang yang pemalu akan merasa cemas dan gugup dalam situasi sosial. Hal
ini juga menjadi suatu alasan mengapa orang menjadi diam diri pada situasi sosial
dimana orang-orangnya tidak dikenal secara baik. Orang yang pemalu cenderung
untuk menghabiskan waktunya sendiri dan sangat sedikit berinteraksi dengan
teman kelasnya.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Opt dan Loffredo (dalam dewi
dkk, 2006) menunjukkan adanya tiga faktor kecemasan berkomunikasi, tiga faktor
tersebut adalah :
a. Individu extrovert dan introvert. Individu yang extrovert mempunyai
yang introvert. Alasannya, individu yang extrovert lebih senang bergaul
dengan siapa saja, mereka lebih menyukai komunikasi face to face dan juga
mengambil kesempatan dalam sebuah kelompok. Individu yang introvert tidak
banyak berkomunikasi dengan orang-orang, apalagi jika harus berbicara di
depan banyak orang.
b. Individu yang melihat sesuatu dengan intuisi (intuitors) atau dengan pancaindra
(sensors). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intuitors mempunyai tingkat
kecemasan yang rendah daripada sensors ketika berbicara di depan umum.
Intuitors sangat mentolelir adanya perbedaan pendapat, mereka juga berani
membuat lompatan dari poin satu ke poin yang lain. Berbeda dengan sensors
yang memandang sesuatu seperti yang dilihatnya, tanpa memikirkannya lebih
jauh. Hal ini yang akan menghasilkan kecemasan.
c. Individu yang menggunakan pola pikir positif mempunyai kecemasan yang
lebih rendah daripada individu yang berpola pikir negatif. Individu dengan
pola pikir yang positif akan melihat segala hal dari sisi positif, suka bekerja
keras dan dapat mengendalikan emosinya ketika berbicara di depan umum.
Individu dengan pola pikir negatif lebih menggunakan perasaaanya, lebih
mudah stress dan mengekspresikan kecemasan karena selalu fokus pada
pendapatnya sendiri.
2.1.4. Ciri-ciri Kecemasan Berkomunikasi
Burgoon dan Ruffner seperti dikutip oleh Azwar (2008) mengungkapkan
1. Unwillingness atau ketidaksediaan berkomunikasi yang ditandai oleh
a. Kecemasan
b. Introversi; orientasi ke dalam terhadap diri sendiri
c. Rendahnya partisipasi dalam berbagai situasi komunikasi
2. Avoiding atau penghindaran dari partisipasi karena pengalaman komunikasi
yang tidak menyenangkan dengan indikasi.
a. Kecemasan
b. Kurangnya pengalaman situasi komunikasi yang mempengauhi intimasi
dan empati
3. Kontrol atau rendahnya pengendalian terhadap situasi komunikasi, yang
terjadi karena:
a. Faktor lingkungan
b. Ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan individu yang berbeda
c. Reaksi lawan bicara
Selanjutnya, Miller (2002) menyebutkan karakteristik komunikator yang
mengalami kecemasan komunikasi, yaitu:
1. Mengalami pemendekan nafas atau sesak nafas dan jantung berdetak
kencang/ cepat.
2. Merasa gelisah, gugup dan tidak nyaman
3. Telakap tangan berkeringat
4. Mengalami gangguan pada perut
5. Wajah memerah karena malu atau nervous
2.2 Tingkatan Berpikir Positif 2.2.1 Pengertian Berpikir Positif
Dalam psikologi ada beberapa konsep dari berpikir, diantaranya yaitu
thinking, thought, dan mind (Chaplin, 2008). Konsep berpikir yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah thinking. Thinking atau berpikirmemiliki beberapa arti
dalam lingkup psikologi, diantaranya yaitu mengingat, membayangkan dan yakin
(Thomson, 1959). Berpikir dapat didefinisikan sebagai proses menghasilkan
representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan
interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental (Suharnan, 2005). Menurut
Bono (1990), berpikir adalah eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar
dalam mencapai suatu tujuan.
Peale (1959) menyebutkan bahwa pada umumnya berpikir terbagi menjadi
dua, yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Dalam penelitian ini yang akan
ditekankan adalah pada berpikir positif. Konsep tentang berpikir positif
diperkenalkan oleh Norman Vincent Peale pada tahun 1952 (Wikipedia, 2008).
Pada perkembangannya, ada konsep tentang optimisme. Hubungan antara
optimisme dengan berpikir positif adalah dengan berpikir positif akan membawa
individu menjadi optimis ketika mengalami masalah. Sikap optimis lebih
membawa pada keuntungan. Individu yang optimis selalu melihat masalah hanya
bersifat sementara, tidak melihat masalah akibat dari kemunduran diri dan
Berpikir positif adalah mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang
positif, membentuknya dengan bahasa yang positif dan menunjukkan
pikiran-pikirannya. Individu yang berpikir positif akan mengarahkan pikiran-pikirannya
ke hal-hal yang positif, akan berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan,
cinta kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan
daripada ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan
bersikap positif dalam menghadapi permasalahan (Albrecht, 1980).
Peale (1959) menyebutkan bahwa berpikir positif adalah suatu bentuk dari
pikiran dimana selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.
Dengan berpikir positif akan melihat sesuatu dengan pengetahuan bahwa akan ada
yang baik dan yang buruk dalam kehidupan, tetapi hal ini lebih di tekankan pada
yang baik. Berpikir positif membawa banyak keuntungan bagi kesehatan tubuh.
Selain itu, berpikir positif saat mengalami keadaan yang buruk akan memberikan
kekuatan pada diri untuk terus berpikir mencari jalan keluar.
Menurut Albrecht (1980), individu disebut berpikir positif jika memiliki
perhatian positif (positive attention) dan juga perkataan yang positif (positive
verbalization). Perhatian positif berarti pemusatan perhatian pada hal-hal dan
pengalaman-pengalaman yang positif, seperti mengganti suatu ide tentang
kegagalan dengan ide yang sukses, suatu pemikiran yang menghasilkan solusi,
dan ketakutan dengan harapan. Sedangkan perkataan yang positif adalah
penggunaan kata-kata ataupun kalimat-kalimat yang positif untuk
yang positif pada pikiran dan perasaan, seperti harapan yang positif, affirmasi diri,
pernyataan yang tidak menilai dan penyesuaian diri yang realistik. Albrecht juga
menyebutkan bahwa individu disebut berpikir negatif jika memiliki sifat mudah
menyerah, sinis dan selalu mengkritik diri sendiri.
Kebiasaan berpikir positif secara otomatis akan mempengaruhi jiwa untuk
lebih waspada, mempengaruhi imajinasi untuk lebih kreatif, antusiasme untuk
lebih berkembang dan meningkatkan kekuatan kehendak yang manusia miliki.
Pikiran positif akan menghasilkan sikap mental yang positif yang akan membantu
individu membangun harapan serta mengatasi keputusasaan dan ketidakberanian
(Hills, 2009).
Elfiky (2009) juga menjelaskan bahwa individu yang berpikir positif
memiliki percaya diri, menyukai perubahan dan berani menghadapi tantangan.
Individu mengetahui dengan jelas tujuan dalam hidupnya. Dengan begitu,
individu menyusun rencana berdasarkan segala kemungkinan lalu direalisasikan
dalam tindakan yang nyata. Dalam proses mencapai tujuannya, individu juga
selalu melakukan evaluasi dan memperbaiki diri.
Albrecht (1980) menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkatan
berpikir positif yang tinggi akan fokus pada harapan yang diinginkannya,
meskipun lingkungan di sekitarnya tidak mendukung. Sebaliknya individu yang
memiliki tingkatan berpikir positif yang rendah, sedikit banyaknya akan
mendukung. Tingkatan berpikir positif yang tinggi mempunyai efek yang
signifikan dan tajam terhadap proses berpikir manusia.
Berdasarkan beberapa pengertian berpikir positif diatas maka dapat
disimpulkan bahwa berpikir positif adalah berpikir dengan cara memandang
segala sesuatu dari segi positif dan selalu berpikir optimis terhadap dirinya.
2.2.2 Ciri-ciri Berpikir Positif
Albrecht (1980) menyatakan ada 4 ciri-ciri berpikir positif, yaitu:
1. Harapan yang positif (positive expectation), yaitu melakukan sesuatu dengan
lebih memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimisme, pemecahan masalah
dan menjauhkan diri dari perasaan takut akan kegagalan.
2. Affirmasi diri (Self affirmative), yaitu memusatkan perhatian pada kekuatan
diri, melihat diri secara positif. Dalam hal ini individu menggantikan kritik
pada diri sendiri dengan memfokuskan pada kekuatan diri sendiri.
3. Pernyataan yang tidak menilai (non judgement talking), yaitu suatu pernyataan
yang lebih menggambarkan keadaan daripada menilai keadaan. Pernyataan
ataupun penilaian ini dimaksudkan sebagai pengganti pada saat seseorang
cenderung memberikan pernyataan atau penilaian yang negatif. Aspek ini
akan sangat berperan dalam menghadapi keadaan yang cenderung negatif.
4. Penyesuaian diri yang realistik (realistic adaptation), yaitu mengakui
kenyataan dan segera berusaha menyesuaikan diri dari penyesalan, frustasi
Ciri-ciri berpikir positif menurut Albrecht (1980) diatas, peneliti jadikan indikator
dalam menyusun skala berpikir positif.
2.3 Kerangka Berpikir
Komunikasi sangat dibutuhkan dalam melakukan interaksi dengan orang lain.
Tetapi tidak semua komunikasi dapat berjalan efektif. Ada hambatan dalam
komunikasi yang disebut dengan communication apprehension. Orang yang
mengalami hambatan komunikasi akan merasa cemas ketika melakukan
komunikasi. Kecemasan biasanya juga dipengaruhi oleh cara berpikir yang keliru.
Terlalu menilai diri begitu tajam sehingga sekilas tidak berani mencoba sesuatu
yang tidak di kuasai dengan sangat sempurna (Williams, 2004).
Millar & Tesser (1986) mengungkapkan bahwa pikiran memiliki pengaruh
terhadap sikap dan perilaku. Sikap terdiri dari komponen kognitif dan afektif.
Pikiran menekankan komponen afektif untuk menghasilkan penilaian dan
perkiraan mengenai perwujudkan perilaku (afektif menggerakkan perilaku). Di
sisi lain, pikiran menekankan komponen kognitif untuk menghasilkan penilain
dan perkiraan mengenai perilaku (kognitif menggerakkan perilaku).
Goldfried dan Davison (1976) juga menyatakan bahwa reaksi emosional tidak
menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa
yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional. Goldfried
menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara pikiran yang irasional
Dalam mengatasi perasaan cemas ketika berkomunikasi dapat dilakukan
dengan mengubah cara berpikir yang tidak rasional menjadi cara berpikir yang
positif. Peale (1959) menjelaskan bahwa untuk membentuk pikiran yang positif
dapat menggunakan affirmasi atau pernyataan-pernyataan yang positif. Hal ini
akan membawa banyak keuntungan bagi diri, diantaranya akan memperbaiki
kesehatan tubuh, memperpanjang umur dan membuat tubuh menjadi lebih muda.
Albrecht (1980) menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkatan
berpikir positif yang tinggi akan fokus pada harapan yang diinginkannya,
meskipun lingkungan di sekitarnya tidak mendukung. Sebaliknya individu yang
memiliki tingkatan berpikir positif yang rendah, sedikit banyaknya akan
menghambat harapan yang dimiliki jika lingkungan disekitarnya tidak
mendukung.
Penelitian yang dilakukan oleh Puteri (2007) menyebutkan bahwa semakin
positif pola pikir seseorang maka akan semakin rendah kecemasan berbicara di
muka umum. Sebaliknya semakin rendah pola pikir positifnya maka akan semakin
tinggi kecemasan berbicara di muka umumnya.
Penjelasan diatas dapat dilihat pada bagan berikut:
Individu
Berpikir Positif Tinggi Berpikir Positif Rendah
Kecemasan Berkomunikasi rendah
2.4 Hipotesis
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif dengan jenis penelitian
kuantitatif, guna memperoleh data-data yang bersifat numerik dan diolah menjadi
sebuah kesimpulan. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan metode
korelasional karena dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah antara
variabel X dan Y dapat dikuatifikasikan memiliki hubungan tertentu.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu:
1. Variabel berpikir positif
2. Variabel kecemasan berkomunikasi
Definisi Konseptual:
a. Berpikir positif adalah mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang positif,
membentuknya dengan bahasa yang positif dan menunjukkan
pikiran-pikirannya (Albrecht, 1980).
b. Kecemasan berkomunikasi adalah bentuk reaksi negatif dari individu berupa
kecemasan yang dialami seseorang ketika berkomunikasi (Burgoon dan
Definisi Operasional:
a. Berpikir positif berpikir dengan cara memandang segala sesuatu dari segi
positif dan selalu berpikir optimis terhadap dirinya yang pengukuran diperoleh
melalui ciri-ciri berpikir positif menurut Albrecht seperti, harapan yang
positif, affirmasi diri, pernyataan yang tidak menilai dan penyesuaian diri
yang realistis dengan menggunakan skala model likert.
b. Kecemasan berkomunikasi adalah kecemasan yang dirasakan individu ketika
melakukan komunikasi di hadapan orang banyak yang pengukuran diperoleh
melalui ciri-ciri kecemasan berkomunikasi menurut Burgoon dan Ruffner
seperti, Unwillingness, Avoiding, Kontrol atau rendahnya pengendalian
dengan menggunakan skala model likert.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa reguler program strata 1
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun akademik 2007-2009 yang aktif melaksanakan kuliah, yaitu berjumlah 586
orang. Dalam menentukan sampel yang dibutuhkan, peneliti menggunakan
perhitungan yang didasarkan pada pendugaan proporsi populasi dari Slovin.
Adapun rumusnya, yaitu:
N = Ukuran Populasi
e = Taraf kekeliruan yang ditolerir akibat kesalahan sampling (Sulistiyono,2005)
Penelitian ini menggunakan taraf kekeliruan (e) sebesar 10% sehingga sampel
yang diambil dalam penelitian ini berdasarkan perhitungan diatas adalah 85,422
orang. Dengan demikian sampel yang diambil adalah sebanyak 85 orang
(dibulatkan ke bawah).
Penelitian ini menggunakan Stratified Proportional Random Sampling. Yang
dimaksud Stratified Proportional Random Sampling adalah sampling yang
diperoleh dengan membagi populasi dengan kelompok-kelompok kecil yang
disebut strata atau kelas dan peneliti mengambil sampelnya dari masing-masing
strata ini dengan cara kocok, selain itu sampel diambil dari setiap strata atau kelas
dengan besaran sebanding, artinya sesuai dengan proporsi ukurannya. Untuk
menentukan banyaknya jumlah sampel pada masing- masing angkatan, rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:
Populasi per angkatan x Jumlah sampel yang ditentukan (Nazir, 2005)
Populasi total
Dengan demikian populasi dibagi atas tiga strata berdasarkan angkatan 2007,
2008 dan 2009. Setelah diadakan pengocokan untuk mengetahui kelas mana yang
akan dijadikan sampel penelitian, maka di dapatkan kelas D untuk angkatan 2007,
kelas C untuk angkatan 2008 dan kelas B untuk angkatan 2009. Sampel diambil
sesuai dengan proporsinya dalam jumlah populasi, seperti terlihat pada tabel
Tabel 3.1
Distribusi Stratified Proportional Sampling
Mahasiswa Psikologi
UIN Jakarta
Ukuran Populasi N Sampel % dalam Sampel
Angkatan 2007 172 25 29%
Angkatan 2008 176 26 31%
Angkatan 2009 238 34 40%
Jumlah 586 85 100%
(Sumber : TU Bagian Akademik Fak. Psikologi, April 2010)
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Guna memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat
pengumpul data yaitu skala berpikir positif dan skala kecemasan berkomunikasi
model Likert. Skala ini mengukur derajat persetujuan yang menggambarkan kadar
sikap positif dan negative subjek terhadap objek sikap. Skala ini disebarkan
langsung kepada subjek penelitian, yaitu mahasiswa reguler psikologi tahun
akademik 2007-2009 yang aktif melaksanakan kuliah.
Pengumpulan data menggunakan model skala Likert dengan 4 alternatif
jawaban, yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak
setuju (STS). Responden diminta untuk memilih salah satu jawaban yang
dianggap menggambarkan dirinya dengan cara memberi tanda silang (X). Untuk
Tabel 3.2
Skor untuk pernyataan Favorabel dan Unfavorabel
SS S TS STS
Favorabel 4 3 2 1
Unfavorabel 1 2 3 4
3.5 Instrumen/ Alat ukur yang digunakan
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dalam bentuk
pernyataan. Bentuk skala yang digunakan dalam membuat pernyataan di
penelitian ini adalah model skala likert untuk mengukur berpikir positif dan
kecemasan berkomunikasi.
Adapun alat ukur yang digunakan untuk mengukur penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Skala berpikir positif
Dalam mengukur berpikir positif, digunakan skala yang disusun berdasarkan
ciri-ciri berpikir positif menurut Albrecht .Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 3.3
Blue Print Berpikir Positif
No Item Indikator
Favorabel Unfavorabel Jumlah
Harapan yang positif 1,2,3,6,13,17,18 7,8,9,12,19,23,24 14
Affirmasi diri 4,14,16,25,28,29,30 10,20,22,31,32,35,36 14
menilai
Penyesuaian diri yang realistik
26,27,14 33,34 4
Jumlah 18 18 36
b. Skala Kecemasan Berkomunikasi
Dalam mengukur kecemasan berkomunikasi, digunakan skala yang disusun
berdasarkan ciri-ciri kecemasan berkomunikasi menurut Burgon dan Ruffner.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.4
Blue Print Kecemasan Berkomunikasi
No Item Indikator
Favorabel Unfavorabel Jumlah
Unwillingness 1,2,3,4,5,6 7,8,9,10,11,12 12
Avoiding 13,14,15 16,17,18 6
Control 19,20,21,22,23,24 25,26,27,28,29,30 12
Jumlah 15 15 30
3.6 Teknik Uji Instrumen
3.6.1. Uji Validitas Alat Penelitian
Validitas adalah sejauhmana alat tes mampu mengukur atribut yang
seharusnya diukur. Suatu alat ukur yang tinggi validitasnya akan menghasilkan
eror pengukuran yang kecil (Azwar, 2007). Alat tes dapat digunakan jika
agar dapat diketahui bahwa alat tes memang mengukur atribut yang diteliti.
Dalam perhitungan validitas menggunakan bantuan SPSS for window version
16.0. Suatu tes dikatakan valid apabila koefisien validitasnya diatas 0,30. Adapun
rumusnya, yaitu:
N∑XY – (∑X) (∑Y)
rxy= [N∑X2 - (∑X)2 ] [N∑Y2 –(∑Y)2 ]
rxy = Koefisien korelasi variabel X (Berpikir positif) dengan variabel Y
(Kecemasan berkomunikasi)
X = Jumlah seluruh skor variabel X
Y = Jumlah seluruh skor variabel Y
N = Jumlah subjek
3.6.1.1 Hasil Uji Validitas Alat Ukur Berpikir positif
Data skala berpikir positif diperoleh dari 85 Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UIN. Skala terdiri dari 36 aitem. Setelah di uji validitasnya,
diperoleh hasil bahwa 29 aitem valid dan 7 aitem gugur. Untuk lebih jelasnya,
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.5
Blue print hasil pilot study skala berpikir positif
No Item Indikator
Favorabel Unfavorabel Jumlah
Harapan yang positif 1,2,3*,6,13,17*,18,30 7*,8,9,12,19*,23,24,36 16
Affirmasi diri 4*,14,16,25,28,29 10,20,22,31,32*,35 12
menilai
Blue print field study skala berpikir positif
No Item Indikator
Favorabel Unfavorabel Jumlah
Harapan yang positif 1,2,3,9,13,24 4,5,8,17,18,29 12
Affirmasi diri 10,12,20,21,23 6,14,16,25,28 10 Pernyataan yang tidak menilai 11 7,15 3
Penyesuaian diri yang realistik 19,22 26,27 4
Jumlah 14 15 29
3.6.1.2 Hasil Uji Validitas alat ukur Kecemasan Berkomunikasi
Data skala kecemasan berkomunikasi diperoleh dari 85 Mahasiswa Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta. Skala terdiri dari 30 aitem. Setelah di
uji validitasnya, diperoleh hasil bahwa 27 aitem valid dan 3 aitem gugur. Untuk
lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.7
Blue print hasil pilot study skala kecemasan berkomunikasi
No Item Indikator
Favorabel Unfavorabel Jumlah
Avoiding 13,14*,15 16,17,18 6
Control 19,20*,21,22,23,24 25,26,27,28,29,30 12
Jumlah 15 15 30
*) Item yang gugur
Tabel 3.8
Blue print field study skala kecemasan berkomunikasi
No Item Indikator
Favorabel Unfavorabel Jumlah
Unwillingness 1,2,3,4,5,6 7,8,9,10,11 11
Avoiding 12,13 14,15,16 5
Control 17,18,19,20,21 22,23,24,25,2627 11
Jumlah 13 14 27
3.6.2 Uji Reabilitas
Setelah uji validitas maka dilakukan uji reabilitas. Hal ini merujuk pada
konsistensi (keajegan) skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka di
uji-ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda (Anastasi. Urbina,
2007). Dalam perhitungan reliabilitas menggunakan rumus alpha cronbach dengan
menggunakan program SPSS for window version 16.0. Suatu tes memiliki
reabilitas yang baik jika koefisien reabilitasnya mendekati 1,00. Adapun
2
Setelah diuji reabilitasnya, diperoleh hasil bahwa koefisien reabilitas dari
skala berpikir positif 0,893 dan untuk skala kecemasan berkomunikasi koefisien
reabilitasnya 0,937. Berdasarkan data tersebut berarti dapat dikatakan bahwa skala
Berpikir positif dan skala kecemasan berkomunikasi yang digunakan sebagai alat
ukur dalam penelitian ini memiliki kehandalan reabilitas yang baik
3.7 Prosedur penelitian
Ada beberapa tahapan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Tahap persiapan
Tahap ini dilakukan beberapa hal sebelum melakukan penelitian dilapangan,
yaitu:
a. Perumusan masalah.
b. Menentukan variabel yang akan diteliti.
c. Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan
teori yang tepat mengenai variabel penelitian.
d. Menyusun dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam
penelitian, yakni skala berpikir positif dan skala kecemasan
berkomunikasi.
e. Menentukan lokasi penelitian, yaitu dilaksanakan di Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setelah instrumen penelitian selesai disusun, peneliti melakukan pilot study
pada tanggal 3 Juni 2010 dengan menyebarkan angket sebanyak 66 item
kepada 85 responden dari Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Tahap Pelaksanaan
Setelah melakukan pilot study dan sudah mengetahui validitas dan reabilitas
aitem. Kemudian beberapa aitem yang valid disebarkan kembali pada tanggal
10 Juni 2010 kepada responden penelitian yaitu mahasiswa reguler fakultas
psikologi angkatan 2007-2009 yang aktif melaksanakan kuliah.
4. Tahap Pengolahan data dan Interpretasi
Pada tahap ini peneliti melakukan skoring pada setiap hasil skala yang telah
diisi oleh masing-masing responden penelitian, Kemudian dibuat tabel data
dan melakukan perhitungan dengan menggunakan menggunakan Microsoft
Exel 2000 dan pengolahan data menggunakan program SPSS versi 16.0.
3.8 Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
statistik, karena data-data yang disajikan berbentuk angka-angka. Perhitungan
statistik dilakukan dengan menggunakan sistem komputerisasi program SPSS
versi 16.00 yang akan diinterpretasikan dan mengacu pada tabel koefisien
korelasi product moment. Untuk menentukan apakah ada hubungan antara kedua
Jika nilai probabilitas r > 0.05 maka Ho diterima, berarti tidak terdapat
korelasi antara kedua variabel tersebut.
Jika nilai probabilitas r < 0,05 maka H1 diterima, berarti ada korelasi
antara kedua variabel tersebut.
Dan untuk menentukan apakah nilai tersebut signifikan atau tidak , dapat
dilihat dari ketentuan berikut:
Jika r hitung > r tabel maka korelasinya signifikan
Jika r hitung < r tabel maka korelasinya tidak signifikan (Sulistiyono,
2005).
Dalam melakukan uji hipotesis menggunakan teknik korelasi product moment
dari Pearson dengan rumus sebagai berikut:
N∑XY– (∑X) (∑Y)
rxy= [N∑X2 - (∑X)2 ] [N∑Y2 – (∑Y)2 ]
rxy = Koefisien korelasi variabel X (Berpikir positif) dengan variabel Y
(Kecemasan berkomunikasi)
X = Jumlah seluruh skor variabel X
Y = Jumlah seluruh skor variabel Y
BAB IV
PRESENTASI DAN ANALISIS DATA
4.1 Gambaran Umum Responden
Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa reguler program strata 1
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun akademik 2007-2009 yang aktif melaksanakan kuliah. Setelah dilakukan
perhitungan, jumlah responden yang dapat diikutsertakan dalam penelitian ini
adalah 85 orang dimana 25 responden terdapat dalam angkatan 2007, 26
responden dalam angkatan 2008 dan 34 responden terdapat dalam angkatan 2009.
4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 85 orang yang terdiri dari
laki-laki dan perempuan. Untuk lebih jelasnya dapa dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin No Mahasiswa Psikologi
UIN Jakarta Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
1 Angkatan 2007 3 22 25 29%
2 Angkatan 2008 7 19 26 31%
3 Angkatan 2009 4 30 34 40%
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa jumlah responden dengan jenis
kelamin perempuan berjumlah 71 orang (83,5%) dan jumlah responden dengan
jenis kelamin laki-laki berjumlah 14 orang (16,5%). Dengan demikian, jumlah
responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan
responden dengan jenis kelamin laki-laki.
4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia
Usia responden dalam penelitian ini berkisar antara 17-22 tahun. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.2
Responden Berdasarkan Usia
No Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta Usia Jumlah Persentase
Dari tabel diatas, diketahui bahwa usia responden yang berusia 17 tahun
sebanyak 3 orang, responden yang berusia 18 tahun sebanyak 12 orang, responden
yang berusia 19 tahun sebanyak 20 orang, responden yang berusia 20 tahun
sebanyak 15 orang, responden yang berusia 21 tahun sebanyak 25 orang dan
responden yang berusia 22 tahun sebanyak 10 orang.
4.2 Presentasi Data 4.2.1 Deskripsi Statistik
Berikut ini peneliti akan menguraikan deskripsi hasil perhitungan statistik
skor responden penelitian, yang dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel
sebagai berikut:
Tabel 4.3
Statistik Deskriptif Skor Berpikir Positif dan Kecemasan Berkomunikasi
N
Berpikir positif 85 72.00 116.00 93.23 8.47
Kecemasan Berkomunikasi 85 36.00 85.00 60.41 9.48
Dari tabel diatas, diketahui bahwa jumlah subjek penelitian berjumlah 85
orang. Skor minimum berpikir positif yang diperoleh adalah 72 dan skor
maximum berpikir positif yang diperoleh adalah 116 dengan nilai rata-rata 93.23,
sedangkan skor kecemasan berkomunikasi terendah yaitu 36 dan skor kecemasan
4.2.2 Kategorisasi Skor Penelitian
Sebelum melakukan uji hipotesis, peneliti menentukan tingkatan kategori dari
berpikir positif dan kecemasan berkomunikasi terlebih dahulu. Pengkategorisasian
yang dilakulan menggunakan kategorisasi jenjang ordinal, yaitu menempatkan
individu kedalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut
suatu kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 2008).
Peneliti menggolongkan responden ke dalam 2 tingkatan kategori berpikir
positif, yaitu tinggi dan rendah. Norma kategorisasi yang dapat digunakan adalah:
χ > M + 0 SD Kategori tinggi
χ < M – 0 SD Kategori rendah
Keterangan : χ = Skor responden M = Mean SD = Standar deviasi
Dengan harga M = 93 dan SD = 8 akan diperoleh kategori-kategori yang
digunakan sebagai berikut:
Tabel 4.4
Kategori Berpikir Positif
Interval Interval Skor Kategori
χ > M + 0 SD Di atas 93 Tinggi
χ < M – 0 SD Di bawah 93 Rendah
Interpretasi kategori berpikir positif yaitu jika skor responden berada di atas
93, maka skor berpikir positif responden tergolong tinggi dan jika skor responden
Berdasarkan hasil interpretasi kategori berpikir positif diatas, menunjukkan
bahwa dari 85 responden, terdapat 41 responden (48,2%) termasuk dalam
tingkatan kategori tinggi dan 44 responden (51,8%) termasuk dalam tingkatan
kategori rendah.
Peneliti mengolongkan responden ke dalam 3 tingkatan kategori kecemasan
berkomunikasi, yaitu : rendah, sedang, tinggi. Adapun norma kategorisasi yang
dapat digunakan adalah:
χ < M – 1 SD Kategori rendah
M – 1 SD ≤ χ ≤ M + 1 SD Kategori sedang
χ > M + 1 SD Kategori tinggi
Keterangan : χ = Skor responden M = Mean SD = Standar deviasi
Dengan harga M = 60 dan SD = 9 akan diperoleh kategori-kategori yang
digunakan sebagai berikut:
Tabel 4.5
Kategorisasi Kecemasan Berkomunikasi
Interval Skor Responden Kategori
χ < M – 1 SD Di bawah 51 Rendah
M – 1 SD ≤ χ ≤ M + 1 SD 51 sampai 69 Sedang
χ > M + 1 SD Di atas 69 Tinggi
Interpretasi kategori kecemasan berkomunikasi yaitu jika skor responden
rendah. Jika skor responden berkisar antara 51 sampai 69, maka skor kecemasan
berkomunikasi responden tergolong sedang dan jika skor responden berada di atas
69, maka kecemasan berkomunikasi responden tergolong tinggi.
Berdasarkan hasil interpretasi kategori kecemasan berkomunikasi diatas,
menunjukkan bahwa dari 85 responden, terdapat 13 responden (15,3%) termasuk
dalam kategori kecemasan berkomunikasi yang rendah, 59 responden (69,4%)
termasuk dalam kategori kecemasan berkomunikasi yang sedang, dan 13
responden (15,3%) termasuk dalam kategori kecemasan berkomunikasi yang
tinggi.
4.2.3 Uji Persyaratan
Dalam melakukan uji normalitas dengan jumlah responden kurang dari 100
orang, sebaiknya digunakan rumus yang diformulasikan oleh Shapiro-Wilk.
Dengan interpretasi apabila taraf signifikansi atau nilai probabilitas variabel lebih
besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan sebesar 0.05, maka distribusa data
normal dan apabila kurang dari 0.05 maka distribusi data tidak normal.
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS Versi 16.0 for Windows
Tabel 4.6
Berkomunikasi .073 85 .200
*
.987 85 .550
Berdasarkan data uji persyaratan normalitas diatas, taraf signifikansi variable
berpikir positif sebesar 0.196 dan taraf signifikansi variable kecemasan
berkomunikasi sebesar 0.550, dengan demikian taraf signifikansi kedua variable
tersebut lebih besar dari 0.05, maka penyebaran datanya berdistribusi normal dan
dapat dianalisa menggunakan teknik analisa statistik parametrik.
4.2.4. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dianalisis secara statistik dengan menggunakan rumus product
moment Pearson. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS versi
16.0 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.7
Korelasi Berpikir positif dengan Kecemasan Berkomunikasi
Berpikir positif
Kecemasan Berkomunikasi Pearson Correlation 1 -.467** Berpikir positif
N 85 85 Pearson Correlation -.467** 1 Sig. (1-tailed) .000
Kecemasan Berkomunikasi
N 85 85
Dari perhitungan statistik diketahui bahwa nilai korelasi (r hitung) antara
berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi, menunjukkan angka -0,467.
Untuk menentukan apakah ada hubungan antara kedua variabel tersebut, dapat
dilihat dari ketentuan berikut:
Jika nilai probabilitas r > 0,05 maka Ho diterima, berarti tidak terdapat
korelasi antara kedua variabel tersebut.
Jika nilai probabilitas r < 0,05 maka H1 diterima, berarti ada korelasi
antara kedua variabel tersebut.
Dan untuk menentukan apakah nilai tersebut signifikan atau tidak , dapat
dilihat dari ketentuan berikut:
Jika r hitung > r tabel maka korelasinya signifikan
Jika r hitung < r tabel maka korelasinya tidak signifikan
Dengan demikian nilai (r hitung ) > nilai (r tabel ) dengan p (0,000) < 0,05
pada taraf signifikasi 5% (0,213). Hal ini berarti bahwa Ho ditolak dan H1
diterima, yaitu ada hubungan negatif yang signifikan antara tingkatan berpikir
positif dengan kecemasan berkomunikasi. Koefisien korelasi negatif menunjukkan
hubungan yang terbalik, yaitu tinggi rendahnya skor suatu variabel akan diikuti
secara terbalik oleh tinggi rendahnya variabel lain yang mempunyai karakteristik
rendah kecemasan berkomunikasi, dan sebaliknya semakin rendah tingkatan
berpikir positif seseorang maka semakin tinggi kecemasan berkomunikasi
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data serta pengujian hipotesis, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa hipotesis diterima yakni ada hubungan negatif yang signifikan
antara tingkatan berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi mahasiswa
fakultas psikologi UIN Jakarta. Adanya hubungan negatif yang signifikan antara
kedua variabel tersebut karena dari hasil yang diperoleh ternyata r hitung (-0,467)
lebih besar dari r tabel (0,213) pada taraf signifikasi 5% dengan p (0,000) lebih
kecil dari 0,05. Koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan yang terbalik,
yaitu tinggi rendahnya skor suatu variabel akan diikuti secara terbalik oleh tinggi
rendahnya variabel lain yang mempunyai karakteristik sama. Artinya, semakin
tinggi tingkatan berpikir positif seseorang maka semakin rendah kecemasan
berkomunikasi, dan sebaliknya semakin rendah tingkatan berpikir positif
seseorang maka semakin tinggi kecemasan berkomunikasi
5.2 Diskusi
Penelitian ini membuktikan bahwa berpikir positif mempengaruhi perasaan
seseorang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Goldfried dan Davison (1976)
menyatakan bahwa reaksi emosional tidak menyenangkan yang dialami individu
dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya
mengungkapkan bahwa perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang
dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri.
Dalam mengatasi perasaan cemas ketika berkomunikasi dapat dilakukan
dengan mengubah cara berpikir yang tidak rasional menjadi cara berpikir yang
positif. Peale (1959) menjelaskan bahwa untuk membentuk pikiran yang positif
dapat menggunakan affirmasi atau pernyataan-pernyataan yang positif. Hal ini
akan membawa banyak keuntungan bagi diri, diantaranya akan memperbaiki
kesehatan tubuh, memperpanjang umur dan membuat tubuh menjadi lebih muda.
Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahayu
dkk (dalam Dewi dkk,2006) yang memaparkan hasil penelitiannya, bahwa
semakin seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan
berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif
maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat
disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan
memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam
interaksi komunikasi.
Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Puteri (2007), menyebutkan
bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara Berpikir positif positif dengan
kecemasan berbicara di muka umum pada mahasiswa. Dimana semakin positif
Berpikir positifnya maka akan semakin rendah kecemasan berbicara dimuka
umum. Sebaliknya semakin rendah Berpikir positif positifnya maka akan semakin