• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara tingkata berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara tingkata berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

UIN JAKARTA

Oleh: Fadila Sabati NIM: 106070002235

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam

memperoleh gelar sarjana psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM

NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1431 H/ 2010 M

(2)

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam

memperoleh gelar sarjana psikologi

Oleh:

Fadila Sabati NIM: 106070002235

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Hamdan Yasun, M.Si Gazi Saloom, M.Si NIP : 130351146 NIP: 197112142007011014

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM

NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1431 H/ 2010 M

(3)

FAKULTAS PSIKOLOGI UIN JAKARTA” telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar sarjana prgram strata 1 (S1) pada Fakultas

Psikologi.

Jakarta, 9 Agustus 2010

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130885522 NIP. 195612231983032001

Anggota :

Penguji I Penguji II

Yunita Faela Nisa, M.Psi.Psi Dra. Diana Mutiah, M.Si NIP.197706082005012003 NIP.19671021996032001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Hamdan Yasun, M.Si Gazi Saloom, M.Si

NIP. 130351146 NIP. 197112142007011014

(4)

BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI

ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Agustus 2010

Fadila Sabati 106070002235

(5)

”Lakukan semua hal baik yang bisa anda lakukan

Dengan segala alat bantu yang anda bisa

Dengan semua cara yang anda bisa

Di semua tempat yang anda bisa

Di segala waktu yang anda bisa

Pada semua orang yang anda bisa

Selama anda bisa melakukannya”

(6)

(D)Hubungan Antara Tingkatan Berpikir Positif Dengan Kecemasan Berkomunikasi Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. (E)XIV + 48 halaman + 5 lampiran

(F) Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara tingkatan berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Kecemasan berkomunikasi merupakan kecemasan yang dialami individu saat melakukan kegiatan komunikasi, khususnya komunikasi dihadapan orang banyak. Hal ini sering dialami oleh mahasiswa. Mahasiswa sering merasa cemas ketika harus berbicara dihadapan dosen dan teman-temanya saat menjelaskan isi makalahnya. Jika mahasiswa memiliki kecemasan yang berlebihan ketika akan mempresentasikan tulisan ilmiahnya bisa saja materi yang sudah dikuasainya tidak bisa disampaikan dengan baik. Kecemasan yang timbul biasanya bukan karena ketidakmampuan individu tetapi karena cara berpikir yang keliru dan sering memikirkan hal-hal negatif yang akan tejadi saat akan mempresentasikan makalahnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi rasa cemas saat melakukan komunikasi dapat dilakukan dengan mengubah cara berpikir yang negatif atau tidak rasional menjadi cara berpikir yang positif.

Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta angkatan 2007,2008 dan 2009 yang aktif kuliah.Untuk mengambil sampel dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Stratified Proportional Random Sampling, dengan presisi 10% sehingga responden yang digunakan adalah 85 orang.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa skala, yaitu skala pola pikir yang disusun berdasarkan ciri-ciri berpikir positif menurut Albrecht dan skala kecemasan berkomunikasi disusun berdasarkan ciri-ciri kecemasan berkomunikasi menurut Burgon dan Ruffner.

Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik korelasi product moment dari Pearson dengan menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 16.00.

Dari hasil perhitungan menggunakan korelasi product moment dari Pearson di dapatkan r hitung (-0,467) lebih besar dari r tabel (0,213) pada taraf signifikasi 5% dengan p (0,000) lebih kecil dari 0,05. Sehingga keputusan statistiknya adalah menolak H0 dan menerima H1 yang berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara tingkatan berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan yang terbalik, yaitu tinggi rendahnya skor suatu variabel akan diikuti secara terbalik oleh tinggi rendahnya variabel lain yang mempunyai karakteristik sama. Artinya, semakin tinggi tingkatan berpikir positif seseorang maka semakin rendah kecemasan berkomunikasi, dan

(7)
(8)

Apprehension of Students of Faculty of Psychology State Islamic University (UIN) Jakarta.

(E)XIV + 48 pages + 5 appendix

(F)This research is purposed to examine correlation between degree of positive thinking with communication apprehension among students of Faculty of Psychology of State Islamic University (UIN) Jakarta. Communication apprehension is a anxiety that experienced by individual while performing activities of communication, especially communication in front of public. This is often experienced by students. Students almost feel anxiety when they have to speak in front of lecturer and their friends while explaining the content of their paper. If students have over anxiety when they will present their papers that have already learned before can not be delivered properly. Anxiety existing usually not because of the inability of the individual but of the wrong way of thinking and often think of negative things that will be happened while presentation their papers. Therefore, to surpass anxiety feeling while performing activities of communication can done from change the ways of negative or irrational thinking to the ways of positive thinking.

Samples of this research are current students of faculty of Psychology State Islamic University (UIN) Jakarta in the conscript of the 2007, 2008, and 2009. To take samples of this research, researcher use Stratified Proportional Random Sampling, with precision (d) 10% so that the samples that used are 85 people.

The instrument that used in this research is scale, that positive thinking is based on the characteristics of positive thinking by Albrecht and scale of communication apprehension that arranged based on characteristics of communication apprehension by Burgon and Ruffner.

The method of analysis used in this research is correlation product moment from Pearson with using programs SPSS version 16.00

From the calculation using the correlation product moment from Pearson, the researcher gets r score (-0.467) larger than r table (0.213) at 5% level of significance with p (0.000) is smaller than 0.05. So the statistical decision is is reject H0 and to accept H1 which means there is a significant negative relationship between degree of positive thinking with communication apprehension among students of faculty of psychology of UIN Jakarta. Coefficient of negative correlation indicates the inverse correlation, ie high and low scores of a variable will be followed in reverse order by the high and low for other variables that have similar characteristics. That is, people who have high degree of positive thinking the lower the anxiety level to communicate, and conversely the more lower degree of positive thinking, the higher the anxiety level of communication

(G) Referances (1959-2010)

(9)

karunia yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA TINGKATAN BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN BERKOMUNIKASI MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UIN JAKARTA”. Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan syafa’atnya kepada kita semua.

Penulisan skripsi ini disusun atas berbagai dukungan dan kerjasama yang baik

dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar, Ph.D, seluruh dosen dan

seluruh staf karyawan fakultas yang telah banyak membantu dalam menuntut

ilmu selama empat tahun belakangan ini.

2. Bapak Prof. Hamdan Yasun, M.Si sebagai pembimbing I yang telah banyak

memberikan arahan dan saran serta kritik yang sangat membangun sehingga

skripsi ini dapat selesai.

3. Bapak Gazi Saloom, M.Si sebagai pembimbing II yang telah banyak

memberikan bantuan dan memberikan ilmunya pada diskusi-diskusi yang

dilakukan selama bimbingan.

4. Kedua orang tuaku, serta saudara-saudaraku Mbak Farrah, Ofa, Rahma yang

senantiasa memberikan doa dan motivasi.

5. Hanny Isthifa, Dara Amalia dan Ain Rahmiati yang telah membantu dalam

menyebarkan angket pada responden. Teman-teman fakultas psikologi

(10)

semoga penelitian ini dapat bermanfaat, Amin.

Jakarta, Agustus 2010

Penulis,

Fadila Sabati

(11)

Lembar Persetujuan Pembimbing... ii

Lembar Pengesahan... iii

Lembar Pernyataan... iv

Motto...v

Abstraksi...vi

Abstract ...viii

Kata Pengantar... ix

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah...8

1.3 Tujuan Penelitian ...8

1.4 Manfaat Penelitian...9

1.5 Sistematika Penulisan...9

BAB II. KAJIAN TEORI ...11

2.1 Kecemasan Berkomunikasi...11

2.1.1 Pengertian Kecemasan Berkomunikasi...11

2.1.2 Kategori Kecemasan Berkomunikasi...12

2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Kecemasan Berkomunikasi...13

2.1.4 Ciri-ciri Kecemasan Berkomunikasi...15

(12)

2.3 Kerangka Teori... 21

2.4 Hipotesis ...23

BAB III. METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Pendekatan dan Jenis penelitian... 24

3.2 Variabel Penelitian... 24

3.3 Populasi dan Sampel ... 25

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 27

3.5 Instrumen/ Alat ukur yang digunakan...28

3.6 Teknik Uji Instrumen... 29

3.7 Prosedur penelitian...33

3.8 Teknik Analisis Data ... 34

BAB IV. PRESENTASI DAN ANALISIS DATA... 36

4.1 Gambaran Umum Responden... 36

4.2 Presentasi Data... 38

4.2.1 Deskripsi Statistik...38

4.2.2 Kategorisasi Skor Penelitian... 39

4.2.3 Uji Persyaratan... 41

4.2.4. Uji Hipotesis... 42

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN... 45

5.1 Kesimpulan... 45

5.2 Diskusi………...45

(13)
(14)

xiv

Tabel 3.2 Skor untuk pernyataan Favorabel dan Unfavorabel……….28

Tabel 3.3 Blue Print Berpikir Positif... 28

Tabel 3.4 Blue Print Kecemasan Berkomunikasi...29

Tabel 3.5 Blue print hasil pilot study skala berpikir positif...30

Tabel 3.6 Blue print field study skala berpikir positif... 31

Tabel 3.7 Blue print hasil pilot study skala kecemasan berkomunikasi...31

Tabel 3.8 Blue print field study skala kecemasan berkomunikasi...32

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 36

Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Usia... 37

Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Skor Berpikir Positif dan Kecemasan Berkomunikasi... 38

Tabel 4.4 Kategori Berpikir Positif... 39

Tabel 4.5 Kategorisasi Kecemasan Berkomunikasi... 40

Tabel 4.6 Tests Of Normality ... 42

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan manusia lain untuk

melangsungkan kehidupannya. Di dalam berinteraksi antara manusia yang satu

dengan yang lainnya tidak dapat terlepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi

merupakan prasyarat kehidupan manusia. Ketika melakukan komunikasi dengan

orang lain tidak selalu berjalan efektif. Terkadang ada pesan yang tidak

tersampaikan secara baik dan benar. Hal ini bisa terjadi karena masalah yang

dihadapi manusia dalam berkomunikasi yang dikenal dengan istilah hambatan

komunikasi (communication apprehension).

Orang yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension)

akan merasa sulit dan merasa cemas ketika harus berkomunikasi Kecemasan

berkomunikasi sebenarnya merupakan hal yang wajar bagi seseorang. Bahkan

Orang yang sudah terbiasa berbicarapun terkadang masih mengalami kecemasan.

Hal ini juga yang biasanya dialami oleh mahasiswa. Dalam melaksanakan

kegiatan kuliah mahasiswa sering melakukan komunikasi. Mulai dari

mempresentasikan makalah di depan kelas, konsultasi skripsi, dan saat melakukan

bedah jurnal. Jika mahasiswa memiliki kecemasan yang berlebihan ketika akan

mempresentasikan tulisan ilmiahnya bisa saja materi yang sudah dikuasainya

(16)

Rubin (dalam Nimocks, 2001) menjelaskan bahwa mahasiswa dengan

kecemasan berkomunikasi yang tinggi memperlihatkan lebih senang untuk keluar

dari kelas public speaking dibandingkan mahasiswa dengan kecemasan

berkomunikasi yang rendah. Miller (2009) menyebutkan bahwa dalam suatu

penelitian ditemukan bahwa mahasiswa dengan kecemasan berkomunikasi yang

rendah mempunyai kemungkinan untuk dapat sukses. Sedangkan mahasiswa

dengan kecemasan berkomunikasi yang tinggi memiliki nilai di bawah rata-rata,

kemungkinan besar untuk keluar dari sekolah.

Penelitian lain menerangkan bahwa orang yang cemas dalam berkomunikasi,

cenderung dianggap tidak menarik oleh orang lain dan sangat jarang menduduki

jabatan pemimpin. Pada pekerjaan, orang yang mengalami kecemasan

berkomunikasi cenderung tidak puas, disekolah cenderung malas karena itu

cenderung gagal secara akademis (Rahmat, 2005)

Miller (2002) juga menjelaskan bahawa mahasiswa yang memiliki kecemasan

berkomunikasi yang tinggi rata-rata memiliki self-esteem dan self-credibility yang

rendah. Begitu juga dalam memilih pekerjaan, orang yang memiliki kecemasan

berkomunikasi yang tinggi akan memilih pekerjaan yang dirasa hanya

membutuhkan komunikasi yang sedikit dan kurang dipercaya oleh orang lain.

Masalah kecemasan komunikasi antar pribadi di Indonesia telah diteliti oleh

Mariani. la menemukan bahwa 8% dari 189 subjek penelitian yang terdiri dari

mahasiswa Fakultas Psikologi dan Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

(17)

Orang yang mengalami kecemasan berkomunikasi akan menarik diri dari

pergaulan, berusaha sekecil mungkin berkomunikasi dan hanya akan berbicara

apabila terdesak saja. Bila terpaksa melakukan komunikasi, pembicaraannya tidak

relevan, sebab berbicara yang relevan tentu akan mengundang reaksi orang lain

dan akan terus dituntut berbicara lagi (Rakhmat, 2005).

Beberapa penelitian yang terkait dengan kecemasan berkomunikasi adalah

penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005). Hasil penelitian tersebut

menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri

dengan kecemasan berkomunikasi. Artinya, semakin positif kualitas konsep diri

mahasiswa, maka semakin rendah tingkat kecemasan dalam berkomunikasi.

Sebaliknya semakin negatif kualitas konsep diri mahasiswa, maka semakin tinggi

tingkat kecemasan dalam berkomunikasi.

Penelitian lain yang berkaitan dengan kecemasan berkomunikasi, yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Triana (dalam Dewi,dkk. 2006). Hasil

penelitiannya menyebutkan bahwa semakin positif citra raga individu maka

semakin rendah kecemasannya dalam berbicara di depan umum. Sebaliknya

semakin negatif cita raga individu maka semakin tinggi kecemasannya dalam

berbicara di depan umum.

Penelitian mengenai kecemasan berkomunikasi juga dilakukan oleh Opt &

Loffredo (2000). Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa partisipan yang

memiliki sifat introvert secara signifikan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi

(18)

pertemuan, pertukaran kelompok dan hal-hal yang berkaitan dengan konteks

umum.

Sa’diyah dkk (2009) juga memaparkan hasil penelitiannya yang berkaitan

dengan kecemasan komunikasi. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa ada

hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi

interpersonal pada penyandang cacat tunarungu. Artinya, semakin tinggi

kepercayaan diri para penyandang cacat tunarungu maka kecemasan komunikasi

interpersonal semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri para

penyandang cacat tunarungu maka kecemasan komunikasi interpersonal semakin

tinggi.

Dalam penelitian ini berpikir positif memiliki dua tingkatan yaitu tinggi dan

rendah. Orang yang memiliki tingkatan berpikir positif yang rendah sama halnya

dengan orang yang berpikir negatif. Suatu penelitian yang dilakukan oleh dewi

dkk (2006) menyebutkan bahwa ada hubungan antara pola pikir negatif dengan

kecemasan berbicara di depan umum. Dimana semakin tinggi pola pikir negatif

seseorang maka semakin tinggi juga kecemasan berbicara di depan umum.

Sebaliknya semakin rendah pola pikir negatif seseorang maka semakin rendah

kecemasan berbicara di depan umum. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh

Puteri (2007), yang menyebutkan bahwa ada hubungan negatif signifikan antara

pola pikir positif dengan kecemasan berbicara di muka umum pada mahasiswa.

Dimana semakin positif pola pikirnya maka akan semakin rendah kecemasan

(19)

akan semakin tinggi kecemasan berbicara di muka umumnya. Konsep yang

digunakan dalam penelitian ini lebih pada tingkatan berpikir positif tinggi dan

rendah karena didukung dengan teori yang dikemukaan oleh Albrecht (1980) yang

menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkatan berpikir positif yang tinggi

akan fokus pada harapan yang diinginkannya, meskipun lingkungan di sekitarnya

tidak mendukung. Sebaliknya individu yang memiliki tingkatan berpikir positif

yang rendah, sedikit banyaknya akan menghambat harapan yang dimiliki jika

lingkungan disekitarnya tidak mendukung.

Pada umumnya kecemasan berkomunikasi bukan disebabkan oleh

ketidakmampuan individu, tetapi sering disebabkan oleh tingkatan berpikir positif

yang rendah atau pikiran-pikiran yang negatif dan tidak rasional. Williams (2004)

menjelaskan bahwa kecemasan biasanya juga dipengaruhi oleh cara berpikir yang

keliru. Terlalu menilai diri begitu tajam sehingga sekilas tidak berani mencoba

sesuatu yang tidak kita kuasai dengan sangat sempurna. Selain itu mengingat

secara terus-menerus sesuatu yang menakutkan sehingga diri merasa terteror

sampai rasa takut itu menjadi jauh lebih besar dari diri sendiri dan akhirnya diri

berhenti sambil meyakini bahwa semuanya adalah malapetaka.

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh fakultas kedokteran di San

Fransisco menyebutkan bahwa ada hubungan antara akal dan tubuh dalam hal

merebaknya berbagai penyakit, baik penyakit jiwa seperti cemas, gelisah, frustasi

atau penyakit fisik seperti penyakit jantung dan tekanan darah meningkat. Hasil

(20)

bersumber dari akal. Akal berpikir, lalu mengirimkan pesan ke tubuh. Selanjutnya

tubuh merespon. Respon itulah yang memengaruhi seluruh anggota tubuh (Elfiky,

2009).

Burns (dalam Wulandari, 2004) mengungkapkan bahwa perasaan individu

sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri.

Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif

mengenai keadaan yang dialami sebenarnya. Goldfried dan Davison (1976) juga

menyatakan bahwa reaksi emosional tidak menyenangkan yang dialami individu

dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya

sendiri mungkin tidak rasional. Begitu juga dengan Blackburn & Davidson (1994)

menjelaskan bahwa kecemasan disebabkan karena gangguan dari berpikir.

Blackburn & Davidson menghubungkan faktor emosi dan pikiran dengan

gangguan kecemasan.

Sama halnya penelitian yang dilakukan oleh Olfson dkk (dalam Hutagalung,

2009). Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa kecemasan yang dialami seseorang

dalam melakukan interaksi sosial lebih kepada adanya pikiran-pikiran negatif

yang ada pada diri individu, dimana individu tersebut merasa bahwa orang lain

tidak dapat menerima dirinya diakibatkan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya

seperti status sosial, status ekonomi dan juga tingkat pendidikan. Dari penelitian

tersebut dan juga banyak penelitian lain menyepakati bahwa dari segala

kecemasan yang dialami oleh seseorang dalam menghadapi suatu keadaan sangat

(21)

negatif hanya akan membawa pada keburukan dan pikiran positif akan membawa

diri pada kebaikan, penyebabnya adalah karena pikiran dapat berpengaruh pada

suasana hati.

Dalam mengurangi atau mengatasi seseorang yang mempunyai kecemasan

berkomunikasi dapat dilakukan dengan mengubah cara berpikir yang negatif dan

tidak rasional tersebut menjadi cara berpikir yang positif. Peale (1959)

menjelaskan bahwa untuk membentuk pikiran yang positif dapat menggunakan

pernyataan-pernyataan yang positif. Jika individu secara terus menerus

menggunakan kata-kata negatif maka akan berpengaruh pada kesehatan tubuh dan

kekuatan stimulus yang negatif akan memberikan efek yang buruk. Kata-kata

yang digunakan akan merefleksi secara kuat ke pikiran dan pikiran akan memberi

efek secara negatif atau positif terhadap organ.

Individu yang berpikir positif akan mengarahkan pikiran-pikirannya ke

hal-hal yang positif, akan berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta

kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada

ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan bersikap positif

dalam menghadapi permasalahan (Albrecht, 1980).

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi. Namun demikian

variabel berpikir positif belum dibahas secara mendalam dalam penelitian

tersebut. Sampel dan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini berbeda

(22)

Dengan bertitik tolak pada pemaparan di atas, maka penulis sangat tertarik

untuk mengkaji lebih mendalam mengenai ”HUBUNGAN ANTARA

TINGKATAN BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN BERKOMUNIKASI MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UIN JAKARTA”

1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah

Dalam hal ini penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Tingkatan berpikir positif yang dimaksud adalah tingkatan berpikir positif

tinggi dan tingkatan berpikir positif rendah.

2. Kecemasan berkomunikasi yang dimaksud adalah kecemasan untuk

melakukan komunikasi secara verbal saat berhadapan dengan orang banyak

1.2.2 Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah, yaitu:

“Apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara tingkatan berpikir positif

dengan kecemasan berkomunikasi mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban dari

(23)

hubungan negatif yang signifikan antara tingkatan berpikir positif dengan

kecemasan berkomunikasi mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta.

1.4 Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan

perkembangan ilmu pengetahuan mengenai ada tidaknya hubungan antara

tingkatan berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi mahasiswa Fakultas

Psikologi UIN Jakarta.

b. Secara Praktis

Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan

pengetahuan pembaca mengenai pentingnya untuk selalu berpikir positif agar

perilaku yang timbul juga positif sehingga dapat mengurangi kecemasan

berkomunikasi. Selain itu, sebagai informasi kepada pembaca mengenai hal apa

saja yang menjadi penyebab timbulnya kecemasan berkomunikasi.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini mengacu kepada pedoman penyusunan dan

penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta,

skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu :

(24)

Dalam bab ini berisikan Latar belakang masalah, identifikasi

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat, tujuan

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : KAJIAN TEORI

Dalam bab ini diuraikan mengenai teori tingkatan berpikir positif,

kecemasan berkomunikasi, kerangka berpikir dan hipotesa

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini merangkum pendekatan dan jenis penelitian, variabel

penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data,

instrumen penelitian, prosedur penelitian dan teknik analisa data.

BAB IV : PRESENTASI DAN ANALISIS DATA

Bab ini memaparkan gambaran umum subjek penelitian, presentasi

data dan analisa hasil penelitian.

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

(25)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Kecemasan Berkomunikasi

2.1.1 Pengertian Kecemasan Berkomunikasi

Kecemasan merupakan suatu perasaan takut dan khawatir yang tidak

menyenangkan yang disertai dengan meningkatnya ketegangan fisiologis

(Davison dkk, 2006). Sedangkan menurut Daradjat (2001), kecemasan adalah

manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika

orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin

(konflik). Martin & Osborne (1989) membedakan antara kecemasan dan takut.

Kecemasan adalah sebuah istilah yang berarti kurang lebih sesuatu yang sama

seperti takut, meskipun sering digunakan pada pengertian yang sedikit umum.

Sedangkan takut adalah suatu emosi yang dialami ketika bertemu suatu bahaya

yang datang atau peristiwa yang tidak di inginkan.

Burgoon dan Ruffner (dalam Wulandari, 2004) dalam buku "Human

Communication" menjelaskan hambatan komunikasi (communication

apprehension) sebagai bentuk reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang

dialami seseorang ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi,

komunikasi di depan umum, maupun komunikasi massa. Individu yang

mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension) akan merasa

cemas bila berpartisipasi dalam komunikasi bentuk yang lebih luas, tidak sekedar

(26)

perasaan negatifnya, dan sedapat mungkin berusaha untuk menghindari

berkomunikasi. Jadi, istilah hambatan komunikasi (communication apprehension)

mencakup kondisi yang lebih luas, baik kecemasan komunikasi antar pribadi,

komunikasi di depan umum, dan komunikasi massa. Dalam penelitian ini yang

akan ditekankan adalah pada kecemasan komunikasi dihadapan orang banyak .

“Communication apprehension has been defined by McCroskey, as "an

individual's level of fear or anxiety associated with either real or anticipated

communication with another person or persons"(Alley, 2005).

Dari definisi di atas kecemasan berkomunikasi digambarkan sebagai suatu tingkat

ketakutan atau kecemasan individu berkomunikasi yang diasosiasikan dengan

keadaan yang tidak riil atau yang diantisipasi dengan orang lain atau banyak

orang.

Berdasarkan beberapa pengertian kecemasan berkomunikasi diatas maka

dapat disimpulkan bahwa kecemasan berkomunikasi adalah kecemasan yang

dirasakan individu ketika melakukan komunikasi khususnya di hadapan orang

banyak.

2.1.2. Kategori Kecemasan Berkomunikasi

McCroskey (1984) menyebutkan ada empat jenis Communication

Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in gereralized context, CA with

person-group, CA as a situational. Kecemasan berkomunikasi dalam penelitian

ini termasuk dalam jenis CA in generalized context. Kecemasan terjadi hanya

(27)

komunikasi yang menimbulkan kecemasan. Ada empat macam jenis komunikasi

dalam tipe ini, yaitu: berbicara didepan umum, berbicara di suatu pertemuan atau

kelas, berbicara dalam kelompok kecil saat berdiskusi dan berbicara saat

berinteraksi.

Selanjutnya Miller (2002), secara garis besar menyebutkan ada 2 macam

kategori dari kecemasan komunikasi, yaitu:

1. Kecemasan komunikasi secara umum, dimana individu merasakan takut pada

semua kegiatan komunikasi

2. Kecemasan komunikasi secara spesifik, dimana individu hanya merasa takut

pada situasi yang asing. Penyebabnya yaitu:

1. Takut karena topik yang dibawakan

2. Takut karena peserta/audience

3. Takut karena situasi atau lingkungan

Dalam penelitian ini, kategori kecemasan berkomunikasi termasuk dalam

kecemasan berkomunikasi secara spesifik, dimana individu hanya merasa takut

pada situasi yang asing yang penyebabnya adalah karena situasi atau lingkungan.

2.1.3. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan Komunikasi

Miller (2002) menyebutkan sebab-sebab kecemasan komunikasi, yaitu:

1. Lack of preparation (Kurangnya persiapan dalam berkomunikasi)

2. Lack of speaking skills. (Kurangnya keterampilan berbicara)

3. Negative reinforcement from previous communication efforts (respon negatif

(28)

4. Poor role models from which communication was learned (Sedikitnya model

komunikasi yang dipelajari)

5. Genetic components such as sociability, physical appearance, body shape,

and coordination and motor abilities. (komponen genetik, seperti kemampuan

bersosialisasi, penampilan fisik, bentuk badan dan kemampuan motorik dan

koordinasi).

6. Cultural preferences in regards to speaking in public and being the center of

attention (pilihan budaya dalam hal berbicara di depan umum dan menjadi

pusat perhatian).

Hoolbrook (1987) menyebutkan selain faktor-faktor tersebut diatas, ada

faktor lain yang menyebabkan kecemasan berkomunikasi, yaitu kepribadian

seseorang, seperti pendiam dan pemalu. Willets & Creswell (2007) menjelaskan

bahwa orang yang pemalu akan merasa cemas dan gugup dalam situasi sosial. Hal

ini juga menjadi suatu alasan mengapa orang menjadi diam diri pada situasi sosial

dimana orang-orangnya tidak dikenal secara baik. Orang yang pemalu cenderung

untuk menghabiskan waktunya sendiri dan sangat sedikit berinteraksi dengan

teman kelasnya.

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Opt dan Loffredo (dalam dewi

dkk, 2006) menunjukkan adanya tiga faktor kecemasan berkomunikasi, tiga faktor

tersebut adalah :

a. Individu extrovert dan introvert. Individu yang extrovert mempunyai

(29)

yang introvert. Alasannya, individu yang extrovert lebih senang bergaul

dengan siapa saja, mereka lebih menyukai komunikasi face to face dan juga

mengambil kesempatan dalam sebuah kelompok. Individu yang introvert tidak

banyak berkomunikasi dengan orang-orang, apalagi jika harus berbicara di

depan banyak orang.

b. Individu yang melihat sesuatu dengan intuisi (intuitors) atau dengan pancaindra

(sensors). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intuitors mempunyai tingkat

kecemasan yang rendah daripada sensors ketika berbicara di depan umum.

Intuitors sangat mentolelir adanya perbedaan pendapat, mereka juga berani

membuat lompatan dari poin satu ke poin yang lain. Berbeda dengan sensors

yang memandang sesuatu seperti yang dilihatnya, tanpa memikirkannya lebih

jauh. Hal ini yang akan menghasilkan kecemasan.

c. Individu yang menggunakan pola pikir positif mempunyai kecemasan yang

lebih rendah daripada individu yang berpola pikir negatif. Individu dengan

pola pikir yang positif akan melihat segala hal dari sisi positif, suka bekerja

keras dan dapat mengendalikan emosinya ketika berbicara di depan umum.

Individu dengan pola pikir negatif lebih menggunakan perasaaanya, lebih

mudah stress dan mengekspresikan kecemasan karena selalu fokus pada

pendapatnya sendiri.

2.1.4. Ciri-ciri Kecemasan Berkomunikasi

Burgoon dan Ruffner seperti dikutip oleh Azwar (2008) mengungkapkan

(30)

1. Unwillingness atau ketidaksediaan berkomunikasi yang ditandai oleh

a. Kecemasan

b. Introversi; orientasi ke dalam terhadap diri sendiri

c. Rendahnya partisipasi dalam berbagai situasi komunikasi

2. Avoiding atau penghindaran dari partisipasi karena pengalaman komunikasi

yang tidak menyenangkan dengan indikasi.

a. Kecemasan

b. Kurangnya pengalaman situasi komunikasi yang mempengauhi intimasi

dan empati

3. Kontrol atau rendahnya pengendalian terhadap situasi komunikasi, yang

terjadi karena:

a. Faktor lingkungan

b. Ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan individu yang berbeda

c. Reaksi lawan bicara

Selanjutnya, Miller (2002) menyebutkan karakteristik komunikator yang

mengalami kecemasan komunikasi, yaitu:

1. Mengalami pemendekan nafas atau sesak nafas dan jantung berdetak

kencang/ cepat.

2. Merasa gelisah, gugup dan tidak nyaman

3. Telakap tangan berkeringat

4. Mengalami gangguan pada perut

5. Wajah memerah karena malu atau nervous

(31)

2.2 Tingkatan Berpikir Positif 2.2.1 Pengertian Berpikir Positif

Dalam psikologi ada beberapa konsep dari berpikir, diantaranya yaitu

thinking, thought, dan mind (Chaplin, 2008). Konsep berpikir yang di gunakan

dalam penelitian ini adalah thinking. Thinking atau berpikirmemiliki beberapa arti

dalam lingkup psikologi, diantaranya yaitu mengingat, membayangkan dan yakin

(Thomson, 1959). Berpikir dapat didefinisikan sebagai proses menghasilkan

representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan

interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental (Suharnan, 2005). Menurut

Bono (1990), berpikir adalah eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar

dalam mencapai suatu tujuan.

Peale (1959) menyebutkan bahwa pada umumnya berpikir terbagi menjadi

dua, yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Dalam penelitian ini yang akan

ditekankan adalah pada berpikir positif. Konsep tentang berpikir positif

diperkenalkan oleh Norman Vincent Peale pada tahun 1952 (Wikipedia, 2008).

Pada perkembangannya, ada konsep tentang optimisme. Hubungan antara

optimisme dengan berpikir positif adalah dengan berpikir positif akan membawa

individu menjadi optimis ketika mengalami masalah. Sikap optimis lebih

membawa pada keuntungan. Individu yang optimis selalu melihat masalah hanya

bersifat sementara, tidak melihat masalah akibat dari kemunduran diri dan

(32)

Berpikir positif adalah mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang

positif, membentuknya dengan bahasa yang positif dan menunjukkan

pikiran-pikirannya. Individu yang berpikir positif akan mengarahkan pikiran-pikirannya

ke hal-hal yang positif, akan berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan,

cinta kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan

daripada ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan

bersikap positif dalam menghadapi permasalahan (Albrecht, 1980).

Peale (1959) menyebutkan bahwa berpikir positif adalah suatu bentuk dari

pikiran dimana selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.

Dengan berpikir positif akan melihat sesuatu dengan pengetahuan bahwa akan ada

yang baik dan yang buruk dalam kehidupan, tetapi hal ini lebih di tekankan pada

yang baik. Berpikir positif membawa banyak keuntungan bagi kesehatan tubuh.

Selain itu, berpikir positif saat mengalami keadaan yang buruk akan memberikan

kekuatan pada diri untuk terus berpikir mencari jalan keluar.

Menurut Albrecht (1980), individu disebut berpikir positif jika memiliki

perhatian positif (positive attention) dan juga perkataan yang positif (positive

verbalization). Perhatian positif berarti pemusatan perhatian pada hal-hal dan

pengalaman-pengalaman yang positif, seperti mengganti suatu ide tentang

kegagalan dengan ide yang sukses, suatu pemikiran yang menghasilkan solusi,

dan ketakutan dengan harapan. Sedangkan perkataan yang positif adalah

penggunaan kata-kata ataupun kalimat-kalimat yang positif untuk

(33)

yang positif pada pikiran dan perasaan, seperti harapan yang positif, affirmasi diri,

pernyataan yang tidak menilai dan penyesuaian diri yang realistik. Albrecht juga

menyebutkan bahwa individu disebut berpikir negatif jika memiliki sifat mudah

menyerah, sinis dan selalu mengkritik diri sendiri.

Kebiasaan berpikir positif secara otomatis akan mempengaruhi jiwa untuk

lebih waspada, mempengaruhi imajinasi untuk lebih kreatif, antusiasme untuk

lebih berkembang dan meningkatkan kekuatan kehendak yang manusia miliki.

Pikiran positif akan menghasilkan sikap mental yang positif yang akan membantu

individu membangun harapan serta mengatasi keputusasaan dan ketidakberanian

(Hills, 2009).

Elfiky (2009) juga menjelaskan bahwa individu yang berpikir positif

memiliki percaya diri, menyukai perubahan dan berani menghadapi tantangan.

Individu mengetahui dengan jelas tujuan dalam hidupnya. Dengan begitu,

individu menyusun rencana berdasarkan segala kemungkinan lalu direalisasikan

dalam tindakan yang nyata. Dalam proses mencapai tujuannya, individu juga

selalu melakukan evaluasi dan memperbaiki diri.

Albrecht (1980) menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkatan

berpikir positif yang tinggi akan fokus pada harapan yang diinginkannya,

meskipun lingkungan di sekitarnya tidak mendukung. Sebaliknya individu yang

memiliki tingkatan berpikir positif yang rendah, sedikit banyaknya akan

(34)

mendukung. Tingkatan berpikir positif yang tinggi mempunyai efek yang

signifikan dan tajam terhadap proses berpikir manusia.

Berdasarkan beberapa pengertian berpikir positif diatas maka dapat

disimpulkan bahwa berpikir positif adalah berpikir dengan cara memandang

segala sesuatu dari segi positif dan selalu berpikir optimis terhadap dirinya.

2.2.2 Ciri-ciri Berpikir Positif

Albrecht (1980) menyatakan ada 4 ciri-ciri berpikir positif, yaitu:

1. Harapan yang positif (positive expectation), yaitu melakukan sesuatu dengan

lebih memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimisme, pemecahan masalah

dan menjauhkan diri dari perasaan takut akan kegagalan.

2. Affirmasi diri (Self affirmative), yaitu memusatkan perhatian pada kekuatan

diri, melihat diri secara positif. Dalam hal ini individu menggantikan kritik

pada diri sendiri dengan memfokuskan pada kekuatan diri sendiri.

3. Pernyataan yang tidak menilai (non judgement talking), yaitu suatu pernyataan

yang lebih menggambarkan keadaan daripada menilai keadaan. Pernyataan

ataupun penilaian ini dimaksudkan sebagai pengganti pada saat seseorang

cenderung memberikan pernyataan atau penilaian yang negatif. Aspek ini

akan sangat berperan dalam menghadapi keadaan yang cenderung negatif.

4. Penyesuaian diri yang realistik (realistic adaptation), yaitu mengakui

kenyataan dan segera berusaha menyesuaikan diri dari penyesalan, frustasi

(35)

Ciri-ciri berpikir positif menurut Albrecht (1980) diatas, peneliti jadikan indikator

dalam menyusun skala berpikir positif.

2.3 Kerangka Berpikir

Komunikasi sangat dibutuhkan dalam melakukan interaksi dengan orang lain.

Tetapi tidak semua komunikasi dapat berjalan efektif. Ada hambatan dalam

komunikasi yang disebut dengan communication apprehension. Orang yang

mengalami hambatan komunikasi akan merasa cemas ketika melakukan

komunikasi. Kecemasan biasanya juga dipengaruhi oleh cara berpikir yang keliru.

Terlalu menilai diri begitu tajam sehingga sekilas tidak berani mencoba sesuatu

yang tidak di kuasai dengan sangat sempurna (Williams, 2004).

Millar & Tesser (1986) mengungkapkan bahwa pikiran memiliki pengaruh

terhadap sikap dan perilaku. Sikap terdiri dari komponen kognitif dan afektif.

Pikiran menekankan komponen afektif untuk menghasilkan penilaian dan

perkiraan mengenai perwujudkan perilaku (afektif menggerakkan perilaku). Di

sisi lain, pikiran menekankan komponen kognitif untuk menghasilkan penilain

dan perkiraan mengenai perilaku (kognitif menggerakkan perilaku).

Goldfried dan Davison (1976) juga menyatakan bahwa reaksi emosional tidak

menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa

yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional. Goldfried

menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara pikiran yang irasional

(36)

Dalam mengatasi perasaan cemas ketika berkomunikasi dapat dilakukan

dengan mengubah cara berpikir yang tidak rasional menjadi cara berpikir yang

positif. Peale (1959) menjelaskan bahwa untuk membentuk pikiran yang positif

dapat menggunakan affirmasi atau pernyataan-pernyataan yang positif. Hal ini

akan membawa banyak keuntungan bagi diri, diantaranya akan memperbaiki

kesehatan tubuh, memperpanjang umur dan membuat tubuh menjadi lebih muda.

Albrecht (1980) menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkatan

berpikir positif yang tinggi akan fokus pada harapan yang diinginkannya,

meskipun lingkungan di sekitarnya tidak mendukung. Sebaliknya individu yang

memiliki tingkatan berpikir positif yang rendah, sedikit banyaknya akan

menghambat harapan yang dimiliki jika lingkungan disekitarnya tidak

mendukung.

Penelitian yang dilakukan oleh Puteri (2007) menyebutkan bahwa semakin

positif pola pikir seseorang maka akan semakin rendah kecemasan berbicara di

muka umum. Sebaliknya semakin rendah pola pikir positifnya maka akan semakin

tinggi kecemasan berbicara di muka umumnya.

Penjelasan diatas dapat dilihat pada bagan berikut:

Individu

Berpikir Positif Tinggi Berpikir Positif Rendah

Kecemasan Berkomunikasi rendah

(37)

2.4 Hipotesis

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif dengan jenis penelitian

kuantitatif, guna memperoleh data-data yang bersifat numerik dan diolah menjadi

sebuah kesimpulan. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan metode

korelasional karena dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah antara

variabel X dan Y dapat dikuatifikasikan memiliki hubungan tertentu.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu:

1. Variabel berpikir positif

2. Variabel kecemasan berkomunikasi

Definisi Konseptual:

a. Berpikir positif adalah mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang positif,

membentuknya dengan bahasa yang positif dan menunjukkan

pikiran-pikirannya (Albrecht, 1980).

b. Kecemasan berkomunikasi adalah bentuk reaksi negatif dari individu berupa

kecemasan yang dialami seseorang ketika berkomunikasi (Burgoon dan

(39)

Definisi Operasional:

a. Berpikir positif berpikir dengan cara memandang segala sesuatu dari segi

positif dan selalu berpikir optimis terhadap dirinya yang pengukuran diperoleh

melalui ciri-ciri berpikir positif menurut Albrecht seperti, harapan yang

positif, affirmasi diri, pernyataan yang tidak menilai dan penyesuaian diri

yang realistis dengan menggunakan skala model likert.

b. Kecemasan berkomunikasi adalah kecemasan yang dirasakan individu ketika

melakukan komunikasi di hadapan orang banyak yang pengukuran diperoleh

melalui ciri-ciri kecemasan berkomunikasi menurut Burgoon dan Ruffner

seperti, Unwillingness, Avoiding, Kontrol atau rendahnya pengendalian

dengan menggunakan skala model likert.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa reguler program strata 1

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun akademik 2007-2009 yang aktif melaksanakan kuliah, yaitu berjumlah 586

orang. Dalam menentukan sampel yang dibutuhkan, peneliti menggunakan

perhitungan yang didasarkan pada pendugaan proporsi populasi dari Slovin.

Adapun rumusnya, yaitu:

N = Ukuran Populasi

(40)

e = Taraf kekeliruan yang ditolerir akibat kesalahan sampling (Sulistiyono,2005)

Penelitian ini menggunakan taraf kekeliruan (e) sebesar 10% sehingga sampel

yang diambil dalam penelitian ini berdasarkan perhitungan diatas adalah 85,422

orang. Dengan demikian sampel yang diambil adalah sebanyak 85 orang

(dibulatkan ke bawah).

Penelitian ini menggunakan Stratified Proportional Random Sampling. Yang

dimaksud Stratified Proportional Random Sampling adalah sampling yang

diperoleh dengan membagi populasi dengan kelompok-kelompok kecil yang

disebut strata atau kelas dan peneliti mengambil sampelnya dari masing-masing

strata ini dengan cara kocok, selain itu sampel diambil dari setiap strata atau kelas

dengan besaran sebanding, artinya sesuai dengan proporsi ukurannya. Untuk

menentukan banyaknya jumlah sampel pada masing- masing angkatan, rumus

yang digunakan adalah sebagai berikut:

Populasi per angkatan x Jumlah sampel yang ditentukan (Nazir, 2005)

Populasi total

Dengan demikian populasi dibagi atas tiga strata berdasarkan angkatan 2007,

2008 dan 2009. Setelah diadakan pengocokan untuk mengetahui kelas mana yang

akan dijadikan sampel penelitian, maka di dapatkan kelas D untuk angkatan 2007,

kelas C untuk angkatan 2008 dan kelas B untuk angkatan 2009. Sampel diambil

sesuai dengan proporsinya dalam jumlah populasi, seperti terlihat pada tabel

(41)

Tabel 3.1

Distribusi Stratified Proportional Sampling

Mahasiswa Psikologi

UIN Jakarta

Ukuran Populasi N Sampel % dalam Sampel

Angkatan 2007 172 25 29%

Angkatan 2008 176 26 31%

Angkatan 2009 238 34 40%

Jumlah 586 85 100%

(Sumber : TU Bagian Akademik Fak. Psikologi, April 2010)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Guna memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat

pengumpul data yaitu skala berpikir positif dan skala kecemasan berkomunikasi

model Likert. Skala ini mengukur derajat persetujuan yang menggambarkan kadar

sikap positif dan negative subjek terhadap objek sikap. Skala ini disebarkan

langsung kepada subjek penelitian, yaitu mahasiswa reguler psikologi tahun

akademik 2007-2009 yang aktif melaksanakan kuliah.

Pengumpulan data menggunakan model skala Likert dengan 4 alternatif

jawaban, yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak

setuju (STS). Responden diminta untuk memilih salah satu jawaban yang

dianggap menggambarkan dirinya dengan cara memberi tanda silang (X). Untuk

(42)

Tabel 3.2

Skor untuk pernyataan Favorabel dan Unfavorabel

SS S TS STS

Favorabel 4 3 2 1

Unfavorabel 1 2 3 4

3.5 Instrumen/ Alat ukur yang digunakan

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dalam bentuk

pernyataan. Bentuk skala yang digunakan dalam membuat pernyataan di

penelitian ini adalah model skala likert untuk mengukur berpikir positif dan

kecemasan berkomunikasi.

Adapun alat ukur yang digunakan untuk mengukur penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Skala berpikir positif

Dalam mengukur berpikir positif, digunakan skala yang disusun berdasarkan

ciri-ciri berpikir positif menurut Albrecht .Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 3.3

Blue Print Berpikir Positif

No Item Indikator

Favorabel Unfavorabel Jumlah

Harapan yang positif 1,2,3,6,13,17,18 7,8,9,12,19,23,24 14

Affirmasi diri 4,14,16,25,28,29,30 10,20,22,31,32,35,36 14

(43)

menilai

Penyesuaian diri yang realistik

26,27,14 33,34 4

Jumlah 18 18 36

b. Skala Kecemasan Berkomunikasi

Dalam mengukur kecemasan berkomunikasi, digunakan skala yang disusun

berdasarkan ciri-ciri kecemasan berkomunikasi menurut Burgon dan Ruffner.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.4

Blue Print Kecemasan Berkomunikasi

No Item Indikator

Favorabel Unfavorabel Jumlah

Unwillingness 1,2,3,4,5,6 7,8,9,10,11,12 12

Avoiding 13,14,15 16,17,18 6

Control 19,20,21,22,23,24 25,26,27,28,29,30 12

Jumlah 15 15 30

3.6 Teknik Uji Instrumen

3.6.1. Uji Validitas Alat Penelitian

Validitas adalah sejauhmana alat tes mampu mengukur atribut yang

seharusnya diukur. Suatu alat ukur yang tinggi validitasnya akan menghasilkan

eror pengukuran yang kecil (Azwar, 2007). Alat tes dapat digunakan jika

(44)

agar dapat diketahui bahwa alat tes memang mengukur atribut yang diteliti.

Dalam perhitungan validitas menggunakan bantuan SPSS for window version

16.0. Suatu tes dikatakan valid apabila koefisien validitasnya diatas 0,30. Adapun

rumusnya, yaitu:

N∑XY – (∑X) (∑Y)

rxy= [N∑X2 - (∑X)2 ] [N∑Y2 –(∑Y)2 ]

rxy = Koefisien korelasi variabel X (Berpikir positif) dengan variabel Y

(Kecemasan berkomunikasi)

X = Jumlah seluruh skor variabel X

Y = Jumlah seluruh skor variabel Y

N = Jumlah subjek

3.6.1.1 Hasil Uji Validitas Alat Ukur Berpikir positif

Data skala berpikir positif diperoleh dari 85 Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik UIN. Skala terdiri dari 36 aitem. Setelah di uji validitasnya,

diperoleh hasil bahwa 29 aitem valid dan 7 aitem gugur. Untuk lebih jelasnya,

dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.5

Blue print hasil pilot study skala berpikir positif

No Item Indikator

Favorabel Unfavorabel Jumlah

Harapan yang positif 1,2,3*,6,13,17*,18,30 7*,8,9,12,19*,23,24,36 16

Affirmasi diri 4*,14,16,25,28,29 10,20,22,31,32*,35 12

(45)

menilai

Blue print field study skala berpikir positif

No Item Indikator

Favorabel Unfavorabel Jumlah

Harapan yang positif 1,2,3,9,13,24 4,5,8,17,18,29 12

Affirmasi diri 10,12,20,21,23 6,14,16,25,28 10 Pernyataan yang tidak menilai 11 7,15 3

Penyesuaian diri yang realistik 19,22 26,27 4

Jumlah 14 15 29

3.6.1.2 Hasil Uji Validitas alat ukur Kecemasan Berkomunikasi

Data skala kecemasan berkomunikasi diperoleh dari 85 Mahasiswa Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta. Skala terdiri dari 30 aitem. Setelah di

uji validitasnya, diperoleh hasil bahwa 27 aitem valid dan 3 aitem gugur. Untuk

lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.7

Blue print hasil pilot study skala kecemasan berkomunikasi

No Item Indikator

Favorabel Unfavorabel Jumlah

(46)

Avoiding 13,14*,15 16,17,18 6

Control 19,20*,21,22,23,24 25,26,27,28,29,30 12

Jumlah 15 15 30

*) Item yang gugur

Tabel 3.8

Blue print field study skala kecemasan berkomunikasi

No Item Indikator

Favorabel Unfavorabel Jumlah

Unwillingness 1,2,3,4,5,6 7,8,9,10,11 11

Avoiding 12,13 14,15,16 5

Control 17,18,19,20,21 22,23,24,25,2627 11

Jumlah 13 14 27

3.6.2 Uji Reabilitas

Setelah uji validitas maka dilakukan uji reabilitas. Hal ini merujuk pada

konsistensi (keajegan) skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka di

uji-ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda (Anastasi. Urbina,

2007). Dalam perhitungan reliabilitas menggunakan rumus alpha cronbach dengan

menggunakan program SPSS for window version 16.0. Suatu tes memiliki

reabilitas yang baik jika koefisien reabilitasnya mendekati 1,00. Adapun

(47)

2

Setelah diuji reabilitasnya, diperoleh hasil bahwa koefisien reabilitas dari

skala berpikir positif 0,893 dan untuk skala kecemasan berkomunikasi koefisien

reabilitasnya 0,937. Berdasarkan data tersebut berarti dapat dikatakan bahwa skala

Berpikir positif dan skala kecemasan berkomunikasi yang digunakan sebagai alat

ukur dalam penelitian ini memiliki kehandalan reabilitas yang baik

3.7 Prosedur penelitian

Ada beberapa tahapan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Tahap persiapan

Tahap ini dilakukan beberapa hal sebelum melakukan penelitian dilapangan,

yaitu:

a. Perumusan masalah.

b. Menentukan variabel yang akan diteliti.

c. Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan

teori yang tepat mengenai variabel penelitian.

d. Menyusun dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam

penelitian, yakni skala berpikir positif dan skala kecemasan

berkomunikasi.

e. Menentukan lokasi penelitian, yaitu dilaksanakan di Fakultas Psikologi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(48)

Setelah instrumen penelitian selesai disusun, peneliti melakukan pilot study

pada tanggal 3 Juni 2010 dengan menyebarkan angket sebanyak 66 item

kepada 85 responden dari Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Tahap Pelaksanaan

Setelah melakukan pilot study dan sudah mengetahui validitas dan reabilitas

aitem. Kemudian beberapa aitem yang valid disebarkan kembali pada tanggal

10 Juni 2010 kepada responden penelitian yaitu mahasiswa reguler fakultas

psikologi angkatan 2007-2009 yang aktif melaksanakan kuliah.

4. Tahap Pengolahan data dan Interpretasi

Pada tahap ini peneliti melakukan skoring pada setiap hasil skala yang telah

diisi oleh masing-masing responden penelitian, Kemudian dibuat tabel data

dan melakukan perhitungan dengan menggunakan menggunakan Microsoft

Exel 2000 dan pengolahan data menggunakan program SPSS versi 16.0.

3.8 Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

statistik, karena data-data yang disajikan berbentuk angka-angka. Perhitungan

statistik dilakukan dengan menggunakan sistem komputerisasi program SPSS

versi 16.00 yang akan diinterpretasikan dan mengacu pada tabel koefisien

korelasi product moment. Untuk menentukan apakah ada hubungan antara kedua

(49)

ƒ Jika nilai probabilitas r > 0.05 maka Ho diterima, berarti tidak terdapat

korelasi antara kedua variabel tersebut.

ƒ Jika nilai probabilitas r < 0,05 maka H1 diterima, berarti ada korelasi

antara kedua variabel tersebut.

Dan untuk menentukan apakah nilai tersebut signifikan atau tidak , dapat

dilihat dari ketentuan berikut:

ƒ Jika r hitung > r tabel maka korelasinya signifikan

ƒ Jika r hitung < r tabel maka korelasinya tidak signifikan (Sulistiyono,

2005).

Dalam melakukan uji hipotesis menggunakan teknik korelasi product moment

dari Pearson dengan rumus sebagai berikut:

N∑XY– (∑X) (∑Y)

rxy= [N∑X2 - (∑X)2 ] [N∑Y2 – (∑Y)2 ]

rxy = Koefisien korelasi variabel X (Berpikir positif) dengan variabel Y

(Kecemasan berkomunikasi)

X = Jumlah seluruh skor variabel X

Y = Jumlah seluruh skor variabel Y

(50)

BAB IV

PRESENTASI DAN ANALISIS DATA

4.1 Gambaran Umum Responden

Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa reguler program strata 1

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun akademik 2007-2009 yang aktif melaksanakan kuliah. Setelah dilakukan

perhitungan, jumlah responden yang dapat diikutsertakan dalam penelitian ini

adalah 85 orang dimana 25 responden terdapat dalam angkatan 2007, 26

responden dalam angkatan 2008 dan 34 responden terdapat dalam angkatan 2009.

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 85 orang yang terdiri dari

laki-laki dan perempuan. Untuk lebih jelasnya dapa dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1

Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin No Mahasiswa Psikologi

UIN Jakarta Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase

1 Angkatan 2007 3 22 25 29%

2 Angkatan 2008 7 19 26 31%

3 Angkatan 2009 4 30 34 40%

(51)

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa jumlah responden dengan jenis

kelamin perempuan berjumlah 71 orang (83,5%) dan jumlah responden dengan

jenis kelamin laki-laki berjumlah 14 orang (16,5%). Dengan demikian, jumlah

responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan

responden dengan jenis kelamin laki-laki.

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia

Usia responden dalam penelitian ini berkisar antara 17-22 tahun. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.2

Responden Berdasarkan Usia

No Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta Usia Jumlah Persentase

(52)

Dari tabel diatas, diketahui bahwa usia responden yang berusia 17 tahun

sebanyak 3 orang, responden yang berusia 18 tahun sebanyak 12 orang, responden

yang berusia 19 tahun sebanyak 20 orang, responden yang berusia 20 tahun

sebanyak 15 orang, responden yang berusia 21 tahun sebanyak 25 orang dan

responden yang berusia 22 tahun sebanyak 10 orang.

4.2 Presentasi Data 4.2.1 Deskripsi Statistik

Berikut ini peneliti akan menguraikan deskripsi hasil perhitungan statistik

skor responden penelitian, yang dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel

sebagai berikut:

Tabel 4.3

Statistik Deskriptif Skor Berpikir Positif dan Kecemasan Berkomunikasi

N

Berpikir positif 85 72.00 116.00 93.23 8.47

Kecemasan Berkomunikasi 85 36.00 85.00 60.41 9.48

Dari tabel diatas, diketahui bahwa jumlah subjek penelitian berjumlah 85

orang. Skor minimum berpikir positif yang diperoleh adalah 72 dan skor

maximum berpikir positif yang diperoleh adalah 116 dengan nilai rata-rata 93.23,

sedangkan skor kecemasan berkomunikasi terendah yaitu 36 dan skor kecemasan

(53)

4.2.2 Kategorisasi Skor Penelitian

Sebelum melakukan uji hipotesis, peneliti menentukan tingkatan kategori dari

berpikir positif dan kecemasan berkomunikasi terlebih dahulu. Pengkategorisasian

yang dilakulan menggunakan kategorisasi jenjang ordinal, yaitu menempatkan

individu kedalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut

suatu kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 2008).

Peneliti menggolongkan responden ke dalam 2 tingkatan kategori berpikir

positif, yaitu tinggi dan rendah. Norma kategorisasi yang dapat digunakan adalah:

χ > M + 0 SD Kategori tinggi

χ < M – 0 SD Kategori rendah

Keterangan : χ = Skor responden M = Mean SD = Standar deviasi

Dengan harga M = 93 dan SD = 8 akan diperoleh kategori-kategori yang

digunakan sebagai berikut:

Tabel 4.4

Kategori Berpikir Positif

Interval Interval Skor Kategori

χ > M + 0 SD Di atas 93 Tinggi

χ < M – 0 SD Di bawah 93 Rendah

Interpretasi kategori berpikir positif yaitu jika skor responden berada di atas

93, maka skor berpikir positif responden tergolong tinggi dan jika skor responden

(54)

Berdasarkan hasil interpretasi kategori berpikir positif diatas, menunjukkan

bahwa dari 85 responden, terdapat 41 responden (48,2%) termasuk dalam

tingkatan kategori tinggi dan 44 responden (51,8%) termasuk dalam tingkatan

kategori rendah.

Peneliti mengolongkan responden ke dalam 3 tingkatan kategori kecemasan

berkomunikasi, yaitu : rendah, sedang, tinggi. Adapun norma kategorisasi yang

dapat digunakan adalah:

χ < M – 1 SD Kategori rendah

M – 1 SD ≤ χ ≤ M + 1 SD Kategori sedang

χ > M + 1 SD Kategori tinggi

Keterangan : χ = Skor responden M = Mean SD = Standar deviasi

Dengan harga M = 60 dan SD = 9 akan diperoleh kategori-kategori yang

digunakan sebagai berikut:

Tabel 4.5

Kategorisasi Kecemasan Berkomunikasi

Interval Skor Responden Kategori

χ < M – 1 SD Di bawah 51 Rendah

M – 1 SD ≤ χ ≤ M + 1 SD 51 sampai 69 Sedang

χ > M + 1 SD Di atas 69 Tinggi

Interpretasi kategori kecemasan berkomunikasi yaitu jika skor responden

(55)

rendah. Jika skor responden berkisar antara 51 sampai 69, maka skor kecemasan

berkomunikasi responden tergolong sedang dan jika skor responden berada di atas

69, maka kecemasan berkomunikasi responden tergolong tinggi.

Berdasarkan hasil interpretasi kategori kecemasan berkomunikasi diatas,

menunjukkan bahwa dari 85 responden, terdapat 13 responden (15,3%) termasuk

dalam kategori kecemasan berkomunikasi yang rendah, 59 responden (69,4%)

termasuk dalam kategori kecemasan berkomunikasi yang sedang, dan 13

responden (15,3%) termasuk dalam kategori kecemasan berkomunikasi yang

tinggi.

4.2.3 Uji Persyaratan

Dalam melakukan uji normalitas dengan jumlah responden kurang dari 100

orang, sebaiknya digunakan rumus yang diformulasikan oleh Shapiro-Wilk.

Dengan interpretasi apabila taraf signifikansi atau nilai probabilitas variabel lebih

besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan sebesar 0.05, maka distribusa data

normal dan apabila kurang dari 0.05 maka distribusi data tidak normal.

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS Versi 16.0 for Windows

(56)

Tabel 4.6

Berkomunikasi .073 85 .200

*

.987 85 .550

Berdasarkan data uji persyaratan normalitas diatas, taraf signifikansi variable

berpikir positif sebesar 0.196 dan taraf signifikansi variable kecemasan

berkomunikasi sebesar 0.550, dengan demikian taraf signifikansi kedua variable

tersebut lebih besar dari 0.05, maka penyebaran datanya berdistribusi normal dan

dapat dianalisa menggunakan teknik analisa statistik parametrik.

4.2.4. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dianalisis secara statistik dengan menggunakan rumus product

moment Pearson. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS versi

16.0 diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.7

Korelasi Berpikir positif dengan Kecemasan Berkomunikasi

Berpikir positif

Kecemasan Berkomunikasi Pearson Correlation 1 -.467** Berpikir positif

(57)

N 85 85 Pearson Correlation -.467** 1 Sig. (1-tailed) .000

Kecemasan Berkomunikasi

N 85 85

Dari perhitungan statistik diketahui bahwa nilai korelasi (r hitung) antara

berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi, menunjukkan angka -0,467.

Untuk menentukan apakah ada hubungan antara kedua variabel tersebut, dapat

dilihat dari ketentuan berikut:

ƒ Jika nilai probabilitas r > 0,05 maka Ho diterima, berarti tidak terdapat

korelasi antara kedua variabel tersebut.

ƒ Jika nilai probabilitas r < 0,05 maka H1 diterima, berarti ada korelasi

antara kedua variabel tersebut.

Dan untuk menentukan apakah nilai tersebut signifikan atau tidak , dapat

dilihat dari ketentuan berikut:

ƒ Jika r hitung > r tabel maka korelasinya signifikan

ƒ Jika r hitung < r tabel maka korelasinya tidak signifikan

Dengan demikian nilai (r hitung ) > nilai (r tabel ) dengan p (0,000) < 0,05

pada taraf signifikasi 5% (0,213). Hal ini berarti bahwa Ho ditolak dan H1

diterima, yaitu ada hubungan negatif yang signifikan antara tingkatan berpikir

positif dengan kecemasan berkomunikasi. Koefisien korelasi negatif menunjukkan

hubungan yang terbalik, yaitu tinggi rendahnya skor suatu variabel akan diikuti

secara terbalik oleh tinggi rendahnya variabel lain yang mempunyai karakteristik

(58)

rendah kecemasan berkomunikasi, dan sebaliknya semakin rendah tingkatan

berpikir positif seseorang maka semakin tinggi kecemasan berkomunikasi

(59)

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data serta pengujian hipotesis, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa hipotesis diterima yakni ada hubungan negatif yang signifikan

antara tingkatan berpikir positif dengan kecemasan berkomunikasi mahasiswa

fakultas psikologi UIN Jakarta. Adanya hubungan negatif yang signifikan antara

kedua variabel tersebut karena dari hasil yang diperoleh ternyata r hitung (-0,467)

lebih besar dari r tabel (0,213) pada taraf signifikasi 5% dengan p (0,000) lebih

kecil dari 0,05. Koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan yang terbalik,

yaitu tinggi rendahnya skor suatu variabel akan diikuti secara terbalik oleh tinggi

rendahnya variabel lain yang mempunyai karakteristik sama. Artinya, semakin

tinggi tingkatan berpikir positif seseorang maka semakin rendah kecemasan

berkomunikasi, dan sebaliknya semakin rendah tingkatan berpikir positif

seseorang maka semakin tinggi kecemasan berkomunikasi

5.2 Diskusi

Penelitian ini membuktikan bahwa berpikir positif mempengaruhi perasaan

seseorang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Goldfried dan Davison (1976)

menyatakan bahwa reaksi emosional tidak menyenangkan yang dialami individu

dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya

(60)

mengungkapkan bahwa perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang

dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri.

Dalam mengatasi perasaan cemas ketika berkomunikasi dapat dilakukan

dengan mengubah cara berpikir yang tidak rasional menjadi cara berpikir yang

positif. Peale (1959) menjelaskan bahwa untuk membentuk pikiran yang positif

dapat menggunakan affirmasi atau pernyataan-pernyataan yang positif. Hal ini

akan membawa banyak keuntungan bagi diri, diantaranya akan memperbaiki

kesehatan tubuh, memperpanjang umur dan membuat tubuh menjadi lebih muda.

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahayu

dkk (dalam Dewi dkk,2006) yang memaparkan hasil penelitiannya, bahwa

semakin seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan

berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif

maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat

disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan

memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam

interaksi komunikasi.

Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Puteri (2007), menyebutkan

bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara Berpikir positif positif dengan

kecemasan berbicara di muka umum pada mahasiswa. Dimana semakin positif

Berpikir positifnya maka akan semakin rendah kecemasan berbicara dimuka

umum. Sebaliknya semakin rendah Berpikir positif positifnya maka akan semakin

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.4
Tabel 3.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur pemberian kredit ada beberapa tahap yaitu permohonan kredit, wawancara awal, pengumpulan data, rapat komite kredit, menilai keabsahan jaminan dan realisasi

Nomr dikirim menggunakan karakter ASCII untuk setiap digit, float dikirim sebagai digit ASCII yang mirip, dengan acuan standar sebanyak 2 (dua) tempat desimal,

ngeng dan siswa menyimak tanpa ada inter- aksi aktif dalam pembelajaran. Oleh karena itu dilakukan tindakan untuk meningkatkan keterampilan menyimak dongeng siswa yaitu

Pada Gambar 4.18 merupakan rangkaian driver relay setelah dilakukan pengeboran maka akan tampak seperti pada Gambar 4.19 dan Gambar 4.20, dapat dilihat banyak lubang yang

[r]

Pendidikan Sejarah UPI yang telah memfasilitasi penulis dalam banyak hal. terutama kepentingan administrasi

Penelitian ini tentang kepuasan khalayak yang diperoleh dari media

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi prasyarat untuk dapat meraih gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang4. Penyusunan