• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir Surat Yusuf Ayat 58-62 (Kajian Nilai Pendidikan Akhlak)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tafsir Surat Yusuf Ayat 58-62 (Kajian Nilai Pendidikan Akhlak)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh

MUFLIKHATUL KAROMAH NIM : 108011000044

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i Nim : 108011000044

Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Judul : Tafsir Surat Yusuf ayat 58-62 (Kajian Nilai Pendidikan Akhlak)

Surat Yusuf ayat 58-62 membahas tentang kisah Nabi Yusuf AS. beserta saudara-saudaranya. Dalam kisah Nabi Yusuf AS. ini Allah SWT. menonjolkan akibat yang baik dari sifat kesabaran, dan kesenangan itu datangnya sesudah penderitaan. Di dalam kisah Yusuf AS. ini terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak guru, yaitu akhlak terhadap diri sendiri dan terhadap sesama manusia. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah kurangnya pemahaman para guru terhadap kandungan surat Yusuf ayat 58-62. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna yang tersurat dan tersirat dalam ayat tersebut dan untuk mengetahui nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam Q.S. Yusuf ayat 58-62.

Skripsi ini merupakan suatu upaya penelitian dengan menggunakan penelitian kualitatif, yang pelaksanaannya menggunakan studi kepustakaan

(library research), yaitu dengan mengumpulkan data-data kepustakaan yang

diperlukan, terutama dari buku-buku yang berkaitan dengan akhlak. Adapun metode tafsir yang digunakan yaitu menggunakan metode tafsir tahlili yaitu suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari keseluruhan aspeknya dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari keseluruhan aspeknya dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara urut dari awal sampai akhir.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Yusuf ayat 58-62 yaitu akhlak terhadap diri dan terhadap sesama manusia. Adapun nilai pendidikan akhlak yang terdapat di dalam surat Yusuf ayat 58-62 yaitu akhlak pemaaf, sabar, tanggung jawab, dermawan, dan kejujuran.

(6)

ii

penulisan skripsi yang berjudul TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 (KAJIAN NILAI PENDIDIKAN AKHLAK) ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW., keluarga, sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan karya ilmiah skripsi ini dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, banyak pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini. Maka dari itu penulis memberikan apresiasi yang setinggi- tingginya sekaligus ucapan terima kasih. Adapun Apresiasi dan ucapan terima kasih ini penulis khususkan kepada :

1. Nurlena Rifai, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Abdul Majid Khon, MA dan Marhamah Saleh, Lc.,MA., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam juga Seluruh Dosen dan Staf Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya selama menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Abd. Ghofur, MA, Dosen Pembimbing yang memberikan bimbingan, saran dan kritik selama penulisan skripsi.

4. Bapak Muhammad Sholeh Hasan, Lc., MA, Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh perhatian telah memberi bimbingan, arahan dan motivasi serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. 5. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu

(7)

iii dan kasih sayang kepada penulis.

7. Adikku tercinta Chafidz Sulton dan Fadil Ghufron, yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Seorang sahabat terdekat Lala yang selalu memberikan semangat kepada penulis selama menjalani studi di UIN Syarif Hidayatullah sampai terselesaikannya skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatku kosan putri bulan Kak Julia, Rahmi, Ikrima yang sudah memberikan motivasi dan bantuannya sampai selesainya skripsi ini.

10.Sahabat-sahabat dan teman-teman kelas A, B dan D PAI, khususnya Teh Irma, Auliya, Khumaidi, Zain, yang sudah memberikan motivasi dan bantuannya sampai selesainya skripsi ini.

11.Teman-teman Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2008 yang telah memberikan dukungannya dalam melaksanakan skripsi ini.

12.Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima kasih atas segala bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis.

Jakarta, 25 Maret 2014

(8)

iv SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

F. Metode Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Nilai ... 9

B. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 10

C. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 15

D. Macam-macam Pendidikan Akhlak ... 16

BAB III TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 A. Teks Ayat dan Terjemah ... 25

B. Tafsir Mufradat ... 25

C. Tafsir Surat Yusuf Ayat 58-62 ... 26

BAB IV ANALISIS NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PADA Q. S. YUSUF AYAT 58-62 A. Pemaaf ... 41

(9)

v

E. Kejujuran ... 58

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 62 B. Saran ... 63

(10)

vi

tertanggal 22 Januari 1988

Huruf Arab

Nama Huruf Latin Keterangan

Alif - tidak dilambangkan

bā’ B -

tā’ T -

ṡā’ ṡ s dengan satu titik di atas

Jīm J -

ā’ ḥ h dengan satu titik di bawah

khā’ Kh -

Dāl D -

Żāl Ż z dengan satu titik di atas

rā’ R -

Zāi Z -

Sīn S -

Syīn Sy -

(11)

vii

ā’ ẓ z dengan satu titik di bawah

„ain „ koma terbalik

Gain G -

fā’ F -

Qāf Q -

Kāf K -

Lām L -

Mīm M -

Nūn N -

hā’ H -

wāwu W -

hamzah tidak dilambangkan

atau ’

apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk hamzah di awal kata

(12)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan yang mencapai puncak

kesempurnaan”. Al-Qur’an memperkenalkan dirinya hu-dan li al-nas (petunjuk untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya.1 Ayat

al-Qur’an yang pertama diturunkan memiliki aspek yang sangat transparan

dalam pemahaman kependidikan, yakni perintah untuk membaca bagi Rasulullah SAW., dan perintah tersebut dilakukan secara berulang-ulang, dengan menyebutkan bentuk pengajaran yang disandarkan pada Allah SWT.2 Al-Qur’an dijadikan sebagai acuan pokok dalam melaksanakan pendidikan, karena al-Qur’an merupakan sumber nilai utama dari segala sumber nilai yang ada dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah SWT., dan ia adalah kitab yang selalu di pelihara.3

Di dalam ajaran-ajaran al-Qur’an tidak hanya terdapat petunjuk dan cara-cara latihan untuk membentuk pribadi muslim yang kuat, tetapi juga untuk hidup bermasyarakat yang bukan hanya untuk bermasyarakat dalam satu masyarakat islam saja, melainkan diajarkan dalam al-Qur’an pula satu sistem, yang penuh dengan kebinekaan (pluralitas) secara lengkap dan terpadu, karena memang Allah SWT. menciptakan makhluk ini berlainan yang menunjukkan corak ragam dan mempunyai fungsi masing-masing, maka haruslah hidup berdampingan dalam satu persekutuan hidup yang harmonis. Ajaran-ajaran al-Qur’an dalam pembentukan akhlak merupakan pengisian

1M.Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2008), Cet. II, h.

21. 2

Prof. Dr. Muhammad Athiyah Al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam,

(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), Cet. I, h. 33

(13)

yang sangat penting dalam perwujudan tingkah laku moral dalam kehidupan sehari-hari.4

Pendidikan akhlak islami merupakan suatu proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir baik yang bersifat formal maupun informal yang didasarkan pada ajaran-ajaran agama islam.5 Seseorang yang memiliki akhlak

al-karimah akan selalu berusaha untuk berbuat baik, bertakwa serta berusaha

untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Di dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT., seseorang akan selalu diingatkan kepada hal-hal yang bersih dan suci, ibadah yang dilakukan semata-mata ikhlas dan mengantar kesucian seseorang menjadi tajam dan kuat. Sedangkan jiwa yang suci akan membawa budi pekerti yang baik dan luhur. Oleh karena itu, ibadah disamping latihan spiritual juga merupakan latihan sikap dan meluruskan akhlak.

Keutamaan akhlak yang dimanifestasikan dalam keteladanan yang baik, adalah faktor terpenting dalam upaya memberikan pengaruh terhadap hati dan jiwa. Inilah faktor terpenting menyebarnya islam ke pelosok bumi dan dalam memberikan petunjuk kepada manusia untuk mencapai iman dan menelusuri jalan islam.6

Akhlak yang baik merupakan sifat Nabi Muhammad SAW. dan merupakan amal para shiddiqin yang paling utama, ia merupakan separuh dari agama dan merupakan buah dari kesungguhan orang yang bertakwa. Sedangkan akhlak yang jelek merupakan racun yang mematikan dan yang membinasakan.7

Mengingat pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius oleh para guru untuk

4

Ahmad Shahibuddin, Fungsi Al-Qur’an Dalam Pembentukan Mental Remaja, (Jakarta:

Dewaruci Press, 1984), Cet. I, h. 9 5

M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah,

2007), h. 23 6

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam islam, (Jakarta: Pustaka amani, 1995), Cet. I, h. 30

7

(14)

menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan akhlak dalam kaitan ini berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan pada akhirnya dapat menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk, serta menerapkan perilaku yang baik dan meninggalkan perilaku yang buruk tersebut. Jika melihat fenomena yang terjadi di kehidupan manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini terlihat dari bentuk penyimpangan terhadap nilai tersebut mudah ditemukan di lapisan masyarakat baik remaja, dewasa maupun orang tua. Salah satu penyebabnya adalah karena kurang pemahaman para guru terhadap nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur’an. Belakangan ini banyak gejala-gejala yang menunjukkan kualitas akhlak para peserta didik yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus, misalnya hilang etika, sopan santun baik dari kalangan anak-anak, remaja dan orang dewasa, sulit mencari orang yang jujur, kurang rasa tanggung jawab, dan amanat yang sering diabaikan.

Masalah-masalah tersebut tentu memerlukan solusi. Dalam hal ini satu-satunya upaya yang perlu ditempuh agar dapat mengantarkan individu kepada terjaminnya akhlak generasi penerus yaitu dengan kembali kepada ajaran yang bersumber pada al-Qur’an.

Kisah dalam al-Qur’an tidaklah seperti kisah-kisah biasa atau dongeng-dongeng yang banyak ditemukan di masyarakat secara turun-temurun yang kadang kala banyak dihiasi dengan hal-hal yang fiktif. Tetapi kisah dalam al-Qur’an merupakan kisah-kisah yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa lampau serta disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui wahyu. Kisah-kisah ini tentunya ada tujuan penting bagi kehidupan ini.

Salah satu kisah tersebut adalah kisah Nabi Yusuf AS. dalam

Al-Qur’an, yaitu pada Surat Yusuf. Surat ini terdiri dari 111 ayat yang termasuk

(15)

kisah Yusuf ini terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak guru yang meliputi akhlak pemaaf, sabar, tanggung jawab, dermawan, dan kejujuran. Semua sikap-sikap ini termasuk akhlak, yaitu akhlak terhadap diri sendiri dan terhadap sesama manusia. Pada hakikatnya orang berbuat baik atau berbuat jahat terhadap orang lain itu untuk pribadinya sendiri, orang lain senang berbuat baik kepada diri kita, karena kita telah berbuat baik kepada orang lain pula.

Adanya kesenjangan antara teori dan realita di atas, telah mendorong penulis untuk mengkaji surat Yusuf. Mengingat cukup panjangnya riwayat tersebut, dimulai dari Yusuf kecil sampai dewasa, maka yang dijadikan objek kajian adalah dari Q.S. Yusuf ayat 58-62, yang tertuang dalam judul :

“TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 (KAJIAN NILAI PENDIDIKAN

AKHLAK)”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu :

1. Kurang pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur’an.

2. Kualitas akhlak peserta didik yang rendah.

3. Hilang etika, sulit mencari orang yang jujur, kurang rasa tanggung jawab, dan amanat yang sering diabaikan.

C.

Pembatasan Masalah

Agar terhindar dari meluasnya pembahasan dan penelitian ini, maka peneliti membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada :

1. Isi Kandungan surat Yusuf ayat 58-62.

(16)

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu :

1. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam Q.S. Yusuf ayat 58-62 ?

2. Bagaimana pendapat para mufassir tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 58-62 ?

E.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur’an surat yusuf ayat 58-62

b. Untuk mengetahui pendapat para mufassir tentang nilai-nilai pendidikan akhlak kajian al-Qur’an surat Yusuf ayat 58-62.

2. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Memberikan informasi ilmiah kepada dunia pendidikan islam.

b. Dapat mempelajari dan memahami al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia agar ajaran-ajarannya dapat direalisasikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari.

c. Menumbuhkan keimanan dan ketakwaan yang lebih mendalam.

d. Untuk mengetahui dan mendalami isi-isi kandungan al-Qur’an tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Yusuf ayat 58-62.

(17)

F.

Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.

1. Jenis penelitian

Penelitian ini bercorak pure library research (penelitian kepustakaan murni). Dengan mempelajari dan memahami kitab-kitab tafsir seperti Al-Misbah, Al-Maraghi, Al-Azhar.

2. Sumber bahan

Sumber bahan kajian dalam penulisan ini menggunakan data informasi yang bersifat literature kepustakaan, karena itu metode penulisan yang dipilih adalah library research, yang bersumber pada tafsir Al-Maraghi dan buku pendidikan khususnya yang berhubungan dengan pembahasan.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah study literature (book survey), yakni mengumpulkan kitab-kitab tafsir yang pembahasannya berkaitan dengan masalah yang akan dikaji, kemudian mengumpulkan bahan-bahan yang terkait dengan masalah pendidikan akhlak. Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam teknik pengumpulan data ini adalah :

a. Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, dengan mengambil dari beberapa sumber buku yang saling berhubungan.

b. Mengklasifikasi data-data dari sumber tersebut, yakni dengan cara mengelompokkan data-data berdasarkan jenisnya, yaitu :

(18)

b. Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi. c. Tafsir Al-Azhar karya Hamka.

2) Sumber Sekunder (sumber umum), yaitu :

a. Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti

dalam Ibadat dan Tasawuf, Jakarta: Karya Mulia, 2005.

b. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2008.

c. M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif

Al-qur’an, Jakarta: Amzah, 2007.

d. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan

Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta : Ciputat Press, 2002.

e. Dan buku-buku lain yang relevan dengan pembahasan. 4. Analisis Data

Dalam menganalisis data yang telah terkumpul penulis menggunakan metode tafsir tahlili yaitu berusaha menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an secara berurutan ditinjau dari berbagai seginya dengan memperhatikan urutan-urutan ayat-ayat dalam mushaf.8 Tafsir tahlili merupakan suatu metode yang bermaksud menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh isinya, sesuai dengan urutan ayat di dalam suatu surat. Dalam tafsir ini ayat ditafsirkan secara komprehensif dan menyeluruh. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafadz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat dan kemudian dikaitkan dengan pendekatan pendidikan.

Dalam prakteknya, metode analisis tahlili dilakukan dengan dua cara, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur merupakan suatu bentuk penafsiran yang berdasarkan pada ayat al-Qur’an, hadits nabi, pendapat sahabat atau tabi’in. Sementara tafsir bi al-ra’yi

8

Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana Pustaka,

(19)

adalah bentuk penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan hasil nalar (ijtihad) mufasir itu sendiri.9

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah dengan mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta tahun 2013.

9

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Sulthan Thaha Press,

(20)

9

A.

Pengertian Nilai

Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, singkatnya sesuatu yang baik. Nilai selalu mempunyai konotasi positif.1Nilai sendiri berasal dari bahasa inggris “value” termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology Theory of Value).2 Filsafat juga sering diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai.

Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara instrinsik memang berharga. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah memperbandingkannya dengan fakta.3

Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan dengan contoh berikut ini: Kita andaikan saja bahwa tanggal sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai letusan itu, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non nilai, yang pasti bisa menjadi objek penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir ditempat letusan gunung itu merupakan kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka

1

Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Modern, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008), Cet. I, h. 3

2

Jalaluddin & Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2002), cet. II, hal. 106.

3

(21)

yang jarang dapat disaksikan. Untuk petani disekitarnya, debu panas yang dimuntahkan gunung bisa mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai). Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja.4

Nilai dapat dipandang sebagai sesuatu yang berharga, memiliki kualitas, baik itu kualitas tinggi atau kualitas rendah. Dari uraian pengertian nilai di atas, maka Notonegoro sebagaimana yang dikutip oleh Kaelan, menyebutkan adanya 3 macam nilai, yaitu sebagai berikut :

1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia.

2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.

3. Nilai kerohaniaan, yaitu segala sesuatu yang berguna rohani manusia. Nilai, kerohaniaan meliputi sebagai berikut:

a. Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta manusia) Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan

(emotion) manusia.

b. Nilai kebaikan atau nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.5

Sesuai dengan penjelasan di atas maka penulis dapat memahami bahwa nilai ialah suatu hal yang menjadi ukuran atas suatu tindakan yang akan membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur, berguna dan bermartabat dalam kehidupannya. Nilai merupakan sesuatu yang positif dan tidak bisa lepas dari hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hal itu menjadikan nilai sebagai apresiasi manusia dalam menetapkan sesuatu hal, jika pribadi menganggap sesuatu itu bernilai maka sesuatu itu akan bernilai.

B.

Pengertian Pendidikan Akhlak

Pendidikan berasal dari kata “didik”, yaitu memelihara dan memberi

latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan ialah proses

4 Ibid. 5

(22)

membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, dan pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan baik formal maupun informal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup.6

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau

pedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja

oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.7

Pada dasarnya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik bergantung pada dua unsur yang saling mempengaruhi, yakni bakat yang dimiliki oleh peserta didik sejak lahir dan lingkungan yang mempengaruhi hingga bakat itu tumbuh dan berkembang.8 Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.9

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional BAB 1 Pasal 1 menjelaskan bahwa : “Pendidikan adalah usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”10

6

M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2007),

Cet. 1, h. 21-22 7

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1 8

Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009),Cet. 9, h. 3 9

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, (Bandung: PT.Remaja

Rosdakarya, 2011), Cet. 20, h. 11 10

H. M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),

(23)

Alisuf Sabri mengatakan bahwa pendidikan ialah “usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak/peserta didik secara teratur dan sistematis secara kedewasaan.11

Menurut Ahmad Tafsir pendidikan ialah “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.”12

Sedangkan Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah

“menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia”.13

Sementara itu, Ahmad Syalabi dan Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthubiy sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar berpendapat bahwa :

“Pendidikan pada umumnya mengacu kepada term tarbiyah,

al-ta‟dib, dan al-ta‟lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan ialah term al-tarbiyah. Penggunaan istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.”14

Dari definisi-definisi di atas, penulis dapat memahami bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh si pendidik untuk perkembangan jasmani dan rohani peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan menuju terbentuknya kepribadian utama bagi

11 Ibid. 12

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT.Remaja

Rosdakarya, 2007), Cet. 7, h. 26 13

Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan

Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet. 1, h. 7. 14

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,

(24)

peranannya dimasa yang akan datang, agar nantinya menjadi manusia yang bertanggung jawab.

Selanjutnya pengertian akhlak. Ditinjau dari segi bahasa, kata “akhlak”

berasal dari bahasa Arab akhlâq yang berarti “perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama”. Pengertian “akhlak” dari segi bahasa

berasal dari bahasa arab jama’ dari kata “khulqun” atau “khuluq” yang berarti budi pekerti.15 Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa latin, yaitu etos yang berarti “kebiasaan”. Sedangkan moral berasal dari kata

mores yang berarti “kebiasaannya”. Menurut terminology, kata “budi pekerti”

terdiri atas budi dan pekerti. “Budi” ialah yang ada pada manusia,

berhubungan dengan kesadaran, dan didorong oleh pemikiran, rasio, yang disebut karakter. Sedangkan pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut behaviour. Jadi, budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada tingkah laku manusia.16

Arti akhlak menurut istilah yang dikemukakan oleh para tokoh, antara lain: Imam Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa akhlak adalah : sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.17

Akhlak dalam konsepsi Al-Ghazali tidak hanya terbatas pada apa yang dikenal dengan “teori menengah” dalam keutamaan seperti yang disebut oleh Aristoteles, dan pada sejumlah sifat keutamaan yang bersifat pribadi, tapi juga menjangkau sejumlah sifat keutamaan akali dan amali, perorangan dan masyarakat. Semua sifat ini bekerja dalam suatu kerangka umum yang mengarah kepada suatu sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. Akhlak menurut Al-Ghazali mempunyai tiga dimensi :

15

Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan

Tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia, 2005), Cet. II, h. 25. 16

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam : Lanjutan teori dan praktik, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Cet. 1, H. 91

17

(25)

1. Dimensi diri, yakni orang dengan dirinya dan Tuhannya, seperti ibadah dan shalat.

2. Dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah dan pergaulannya dengan

sesamanya.

3. Dimensi metafisis, yakni aqidah dan pegangan dasarnya.18

Sejalan dengan pendapat tersebut, Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.19

Menurut Abuddin Nata: “akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi

memerlukan pertimbangan dan pemikiran.”20

Sedangkan yang dikutip oleh Ahmad Daudy, yaitu : Menurut Al-Farabi dalam kitabnya yang berjudul

“Risalah fit-Tanbih „Ala Subuli „s-sa‟adah, ia menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh setiap manusia. Jika seseorang tidak memiliki akhlak yang terpuji, ia dapat memperolehnya dengan adat kebiasaan, yakni melakukan sesuatu kerja berulang kali dalam waktu lama dan dalam masa yang berdekatan.21

Menurut Konsepsi Ibn Maskawaih, akhlak adalah “suatu sikap mental

(halun li‟n-nafs) yang mendorongnya untuk berbuat, tanpa pikir dan

pertimbangan”. Keadaan atau sikap jiwa ini terbagi kepada dua : ada yang

berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.22

Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana dipaparkan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi, yakni suatu sikap yang tertanam kuat dalam jiwa yang

18

Moh. Ardani, op.cit., h. 28. 19

Abuddin Nata, loc.cit. 20

Ibid., h. 5 21

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. 3, h. 47 22

(26)

nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.

Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat.

Dari definisi pendidikan dan akhlak di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengertian pendidikan akhlak ialah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada peserta didik sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah SWT.

C.

Tujuan Pendidikan Akhlak

Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang berproses dan terencana sudah tentu mempunyai tujuan. Tujuan tersebut berfungsi sebagai titik pusat perhatian dalam melaksanakan kegiatan serta sebagai pedoman guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan.

Setiap usaha yang dilakukan secara sadar oleh manusia, pasti tidak terlepas dari tujuan. Demikian halnya dengan tujuan pendidikan akhlak, tidak berbeda dengan tujuan pendidikan islam itu sendiri. Tujuan tertingginya ialah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Muhammad Atiyyah Al-Abrasyi mengatakan bahwa tujuan pendidikan

akhlak adalah “untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas,

jujur dan suci”.23

Sedangkan menurut Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany tujuan pendidikan akhlak adalah menciptakan kebahagiaan dua kampung (dunia dan

23Muhammad Aţiyyah al

(27)

akhirat), kesempurnaan jiwa bagi individu, dan menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat. Agama islam atau akhlak islam tidak terbatas tujuannya untuk mencapai kebahagiaan akhirat yang tergambar dalam mendapat keridhoan, ampunan, rahmat, dan pahalanya, dan juga mendapat kenikmatan akhirat yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. kepada orang-orang baik dan orang-orang bertakwa yang telah ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.24

Sementara itu, menurut Asmaran pendidikan akhlak bertujuan untuk mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan yang buruk, agar manusia dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan di masyarakat, dimana tidak ada benci-membenci.”25

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendidikan akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk.26 Dengan demikian, tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membuat peserta didik mampu mengimplementasikan keimanan dengan baik.

D.

Macam-macam Pendidikan Akhlak

Akhlak dalam wujud pengamalannya dibedakan menjadi dua : Akhlak Terpuji (Akhlak mahmudah) dan Akhlak Tercela (Akhlak mazmumah). Jika sesuai dengan perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka itulah yang dinamakan akhlak terpuji. Sedangkan jika ia sesuai dengan apa yang dilarang Allah SWT. dan Rasul-Nya dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang buruk, maka itulah yang dinamakan akhlak tercela.27

24

Omar Mohammad Al-Thoumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam,(Jakarta: Bulan

Bintang, 1979),h. 346 25

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. 2, h. 55 26

Abuddin Nata, op.cit., h. 15 27

(28)

1.

Akhlak Mahmudah (Akhlak al-Karimah)

Akhlak yang baik ialah segala tingkah laku yang terpuji

(mahmudah) juga bisa dinamakan fadhilah (kelebihan). Akhlak yang baik

dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik. Oleh karena itu, dalam hal jiwa manusia dapat menelurkan perbuatan-perbuatan lahiriah. Tingkah laku dilahirkan oleh tingkah laku batin, berupa sifat dan kelakuan batin yang juga dapat berbolak-balik yang mengakibatkan berbolak-baliknya perbuatan jasmani manusia. Oleh karena itu, tindak-tanduk batin (hati) itupun dapat berbolak-balik.28

Dalam berusaha, manusia harus menunjukkan tingkah laku baik, tidak bermalas-malasan, tidak menunggu tetapi segera mengambil keputusan. Sesuatu yang dapat dikatakan baik apabila ia memberikan kesenangan, kepuasan, kenikmatan, sesuai dengan yang diharapkan, dapat dinilai positif oleh orang yang menginginkannya. Perbuatan baik merupakan akhlak al-karimah yang wajib dikerjakan.

Akhlak al-karimah berarti tingkah laku yang terpuji yang merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang kepada Allah SWT. Al-Ghazali menerangkan adanya empat pokok keutamaan akhlak yang baik, yaitu sebagai berikut :

a) Mencari Hikmah.

Hikmah ialah keutamaan yang lebih baik. Ia memandang bentuk hikmah yang harus dimiliki seseorang, yaitu jika berusaha untuk mencapai kebenaran dan ingin terlepas dari semua kesalahan dari semua hal.

b) Bersikap Berani.

Berani berarti sikap yang dapat mengendalikan kekuatan amarahnya dengan akal untuk maju. Orang yang berakhlak baik biasanya pemberani, dapat menimbulkan sifat-sifat yang mulia, suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan jiwanya, suka menerima saran dan kritik orang lain, penyantun, memiliki perasaan kasih dan cinta.

28

(29)

c) Bersuci Diri.

Suci berarti mencapai fitrah, yaitu sifat yang dapat mengendalikan syahwatnya dengan akal dan agama. Orang yang memiliki sifat fitrah dapat menimbulkan sifat-sifat pemurah, pemalu, sabar, toleransi, sederhana, suka menolong, cerdik, dan tidak rakus.

d) Berlaku Adil.

Adil, yaitu seseorang yang dapat membagi dan member haknya sesuai dengan fitrahnya, atau seseorang mampu menahan kemarahannya dan nafsu syahwatnya untuk mendapatkan hikmah dibalik peristiwa yang terjadi. Adil juga berarti tindakan keputusan yang dilakukan dengan cara tidak berat sebelah atau merugikan satu pihak tetapi saling menguntungkan.

Orang yang mempunyai akhlak baik dapat bergaul dengan masyarakat secara luwes, karena dapat melahirkan sifat saling cinta-mencintai dan saling tolong-menolong. Akhlak yang baik bukanlah semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan akhlak sebagai tindak-tanduk manusia yang keluar dari hati.29

Akhlak al-karimah atau akhlak yang mulia amat banyak jumlahnya, namun dilihat dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, akhlak yang mulai itu dapat dibagi kepada tiga bagian. Yaitu :

1) Akhlak Terhadap Allah SWT.

Titik tolak akhlak terhadap Allah SWT. adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.

Banyak alasan mengapa manusia harus berakhlak baik terhadap Allah. Diantaranya adalah hal-hal sebagai berikut :

a) Karena Allah SWT. telah menciptakan manusia dengan segala keistimewaan dan kesempurnaannya. Sebagai yang diciptakan

29

(30)

sudah sepantasnya manusia berterima kasih kepada yang menciptakannya.

b) Karena Allah SWT. telah memberikan perlengkapan pancaindera hati nurani dan naluri kepada manusia. Semua potensi jasmani dan rohani ini amat tinggi nilainya, karena dengan potensi tersebut manusia dapat melakukan berbagai aktifitas dalam berbagai bidang kehidupan yang membawa kepada kejayaannya.

Karena Allah SWT. menyediakan berbagai bahan dan sarana kehidupan yang terdapat di bumi, seperti tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang, dan lain sebagainya.

2) Akhlak yang baik terhadap diri sendiri.

Selaku individu, manusia diciptakan oleh Allah SWT. dengan segala kelengkapan jasmaniah dan rohaniahnya. Ia diciptakan dengan dilengkapi rohani seperti akal pikiran, hati nurani, naluri, perasaan dan kecakapan batiniah atau bakat. Dengan kelengkapan rohani ini manusia dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya secara konseptual dan terencana, dapat menimbang antara baik dan salah, dapat memberikan kasih sayang, yang selanjutnya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan peradaban yang mengangkat harkat dan martabatnya.

Berakhlak baik pada diri sendiri dapat diartikan menghargai, menghormati, menyayangi, dan menjaga diri sendiri dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebagai ciptaan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya.

Untuk menjalankan perintah Allah SWT. dan bimbingan Nabi Muhammad SAW. maka setiap umat islam harus berakhlak dan bersikap sebagai berikut :

a) Hindarkan minuman beracun / keras.

(31)

narkotika atau kebiasaan buruk lainnya yang merugikan diri dan bersifat merusak.

b) Hindarkan perbuatan yang tidak baik.

Sikap seorang muslim untuk mencegah melakukan sesuatu yang tidak baik adalah gambaran untuk pribadi muslim dalam sikap perilakunya sehari-hari, sebagai suatu usaha untuk menjaga dirinya sendiri.

c) Memelihara kesucian jiwa.

Penyucian dan pembersihan diri dilakukan secara terus menerus dalam amal shaleh. Untuk keperluan memelihara kebersihan diri dan kesucian jiwa secara teratur, perlu pembiasaan sebagai berikut:

taubat, muraqabah, muhasabah, mujahadah, ta’at beribadah.

d) Pemaaf dan pemohon maaf.

Menjadi umat yang pemaaf biasanya mudah, tetapi untuk meminta maaf apabila seseorang melakukan kekhilafan terhadap orang lain sungguh sangat sukar, karena merasa malu.

e) Sikap sederhana dan jujur.

Setiap diri pribadi umat islam harus bersikap dan berakhlak yang terpuji, diantaranya bersikap sederhana, rendah hati, jujur, menepati janji, dan dapat dipercaya.

f) Hindarkan perbuatan tercela.

Dan setiap diri pribadi umat islam harus menghindari dari perbuatan yang tercela yang dapat mempengaruhi rusaknya akhlak yang baik.30

g) Bersifat Sabar.

Ada peribahasa mengatakan bahwa kesabaran itu pahit laksana jadam, namun akibatnya lebih manis daripada madu. Ungkapan tersebut menunjukkan hikmah kesabaran sebagai fadhilah.

30

(32)

Kesabaran dapat dibagi empat kategori berikut ini :

1. Sabar menanggung beratnya melaksanakan kewajiban. Kewajiban menjalankan shalat lima waktu, kewajiban membayar zakat, kewajiban melaksanakan haji bilamana mampu. Bagi orang yang sabar, betapapun beratnya kewajiban itu tetap dilaksanakan, tidak perduli apakah dalam keadaan melarat, sakit, atau dalam kesibukan. Semuanya tetap dilaksanakan dengan patuh dan ikhlas. Orang yang sabar melaksanakan kewajiban berarti mendapat taufik dan hidayah Allah SWT.

2. Sabar menanggung musibah atau cobaan. Cobaan bermacam-macam, silih berganti datangnya. Namun bila orang mau bersabar menanggung musibah atau cobaan disertai tawakal kepada Allah SWT., pasti kebahagiaan terbuka lebar. Namun yang sabar menanggung musibah pasti memperoleh pahala dari Allah SWT.

3. Sabar menahan penganiayaan dari orang. Di dunia ini tidak bisa luput dari kezaliman. Banyak terjadi kasus-kasus penganiayaan terutama menimpa orang-orang yang suka menegakkan keadilan dan kebenaran. Tetapi bagi orang yang sabar menahan penganiayaan demi tegaknya keadilan dan kebenaran, pasti dia orang-orang yang dicintai Allah SWT. 4. Sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan. Banyak

(33)

yang di dalam hidupnya selalu dilimpahi kemuliaan dari Allah SWT.31

3) Akhlak yang baik terhadap sesama manusia.

Manusia sebagai makhluk sosial yang berkelanjutan eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung pada orang lain. Untuk itu, ia perlu bekerja sama dan saling tolong menolong dengan orang lain. Islam mengajurkan berakhlak yang baik kepada saudara, karena ia berjasa dalam ikut serta mendewasakan kita, dan merupakan orang yang paling dekat dengan kita. Caranya dapat dilakukan dengan memuliakannya, memberikan bantuan, pertolongan, menghargainya, dan sebagainya.32

2.

Akhlak Mazmumah (Akhlak Tercela)

Akhlak yang tercela (Akhlak al-mazmumah) secara umum adalah sebagai lawan atau kebalikan dari akhlak yang baik. Berdasarkan petunjuk ajaran islam dijumpai berbagai macam akhlak yang tercela, diantaranya : a) Berbohong.

Bohong ialah memberikan atau menyampaikan informasi yang tidak sesuai, tidak cocok dengan yang sebenarnya. Berbohong / Berdusta ada tiga macam : Berdusta dengan perbuatan, berdusta dengan lisan, berdusta dalam hati.

b) Takabur (sombong).

Takabur adalah salah satu akhlak yang tercela pula. Arti takabur ialah merasa atau mengaku diri besar, tinggi, mulia, melebihi orang lain. Pendek kata merasa diri serba hebat. Takabur ada tiga macam, yaitu takabur kepada Allah SWT., berupa sikap tidak mau memperdulikan ajaran-ajaran Allah SWT. Takabur kepada Rasul-Nya berupa sikap dimana orang merasa rendah dirinya kalau mengikuti dan mematuhi Rasul tersebut. Dan takabur kepada sesama manusia, menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain.

31

M. Yatimin Abdullah, op.cit., h. 42 32

(34)

c) Dengki.

Dengki atau kata Arabnya “Hasad” jelas termasuk akhlak al-mazmumah. Dengki itu ialah rasa atau sikap tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain, dan berusaha untuk menghilangkan kenikmatan itu dari orang lain tersebut.

d) Bakhil.

Bakhil artinya kikir. Orang yang kikir ialah orang yang sangat hemat dengan apa yang menjadi miliknya, tetapi hematnya demikian sangat dan sukar baginya mengurangi sebagian dari apa yang dimikinya itu untuk diberikan kepada orang lain. Pada umumnya sifat bakhil dihubungkan dengan hak milik berupa harta benda. Karena itu orang bakhil, maksudnya ialah bakhil harta benda. Kebakhilan termasuk sifat yang buruk, jadi termasuk kelompok akhlak al-mazmumah.33

E.

Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah pemaparan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti lainnya atau para ahli. Dengan adanya kajian pustaka ini penelitian seseorang dapat diketahui keasliannya.

Setelah penulis melakukan tinjauan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis tidak menemukan judul skripsi yang sama dengan yang penulis kaji. Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan dan sejauh ini yang telah penulis ketahui adalah sebagai berikut :

1. “Aspek-aspek pendidikan akhlak yang terdapat pada Q.S. Ali Imran ayat 133-136”. Skripsi ini disusun oleh Achmad Syarief, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012. Penelitiannya dibatasi pada aspek-aspek pendidikan akhlak dalam Q.S. Ali Imran ayat 133-136, yang meliputi : akhlak dermawan, sabar, dan taubat.

33

(35)

Persamaan penelitian Achmad Syarief dengan penelitian ini terletak pada objek yang dikaji yaitu sama-sama meneliti tentang pendidikan akhlak, Sedangkan perbedaannya terletak pada ayat al-Qur’an yang dikaji. Penelitian Achmad Syarief membahas tentang Q.S. Ali Imran ayat 133-136, Sedangkan penulis membahas tentang Q.S. Yusuf ayat 58-62.

2. “Pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Luqman [31] ayat

17-19”.

Skripsi ini disusun oleh Aji Payumi, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012.

Penelitiannya dibatasi pada aspek pendidikan akhlak dalam Q.S. Luqman ayat 17-19, yang meliputi : akhlak kepada Allah SWT. yang terdiri dari ibadah (shalat), amar ma‟ruf nahi munkar, dan sabar; akhlak kepada sesama manusia yang terdiri dari tidak memalingkan muka dan tidak sombong ; dan akhlak kepada diri sendiri yang terdiri dari sederhana dalam berjalan dan melunakkan suara.

(36)

25

A.

Teks Ayat dan Terjemah











































Dan saudara-saudara Yusuf datang ke Mesir lalu mereka masuk ke (tempat) nya. Maka dia (Yusuf) mengenal mereka, sedang mereka tidak mengenalinya (lagi) kepadanya. Dan ketika dia (Yusuf) menyiapkan bahan makanan untuk mereka, dia berkata: "Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah penerima tamu yang terbaik? Maka jika kamu tidak membawanya kepadaKu, maka kamu tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi dariku dan jangan kamu mendekatiku". Mereka berkata: "Kami akan membujuk ayahnya (untuk membawanya) dan kami benar-benar akan melaksanakannya". Dan dia (Yusuf) berkata kepada pelayan-pelayannya: "Masukkanlah barang-barang (penukar) mereka ke dalam karung-karungnya, agar mereka mengetahuinya apabila telah kembali kepada

keluarganya, Mudah-mudahan mereka kembali lagi".(Q.S. Yusuf [12] : 58 -

62)

B.

Tafsir Mufrodat

(37)

ل

هنايتف

terambil dari kata

نايتف

jamak dari

نتف

(fatan)yang berarti

budak sahaya, baik masih muda maupun sudah tua.

ةعاضبلا

terambil dari kata

عضب

(bidh’un) yang berarti belahan atau

potongan karena

عضب

berarti sepotong harta. Harta yang dimaksud yaitu harta

yang digunakan untuk berdagang.

لاح لا

bentuk jamak dari

لحر

(rahlun) artinya bejana. Rumah dan

tempat tinggal manusia pun terkadang disebut

لحر

.

Kata itu terambil dari

tempat yang digunakan oleh seseorang untuk menyimpan barang yang telah dibelinya atau ditukarnya dengan makanan. Penukaran makanan itu biasanya dengan sandal atau hamparan kulit.

C.

Tafsir Surat Yusuf ayat 58-62







Waktu berjalan lama. Kini mimpi raja terbukti dalam kenyataan. Masa paceklik melanda daerah Mesir dan sekitarnya. Yakub AS. beserta anak-anaknya yang tinggal tidak jauh dari Mesir, yakni Palestina, mengalami juga masa sulit. Mereka mendengar bahwa di Mesir pemerintahnya membagikan pangan untuk orang-orang butuh atau menjualnya dengan harga yang sangat murah. Agaknya pembagian jatah ini bersifat perorangan, karena itu Yakub AS. memerintahkan semua anaknya menuju ke Mesir kecuali Bunyamin, saudara kandung Yusuf AS., agar ada yang menemaninya di rumah, atau karena khawatir jangan sampai nasib yang menimpa Yusuf AS. menimpanya pula.1

Dan datanglah saudara-saudara Yusuf ke Mesir, Lalu mereka masuk

kepadanya yakni ke tempat Yusuf AS. yang ketika itu mengawasi langsung

pembagian makanan. Maka ketika mereka masuk menemui Yusuf AS., dia

langsung mengenal mereka, sedang mereka terhadapnya yakni terhadap

1M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,(Jakarta:

(38)

Yusuf AS. benar-benar asing yakni tidak mengenalnya lagi. Sebelum menyerahkan jatah makanan buat mereka, Yusuf AS. menyempatkan diri bertanya aneka pertanyaan tentang identitas mereka. Mereka yang tidak mengenal Yusuf AS. itu menceritakan keadaan orang tua mereka yang tinggal bersama saudara mereka yang berlainan ibu.2

Datanglah saudara-saudara Yusuf AS. ke Mesir dengan maksud

mendapatkan makanan, ketika negeri Kan’an dan syam mengalami musibah

seperti yang dialami oleh Mesir. Keluarga Yakub AS. ditimpa musibah seperti halnya para penduduk lainnya. Maka, dia memanggil anak-anaknya, selain

Bunyamin, seraya berkata kepada mereka, “Wahai anak-anakku, aku mendengar berita bahwa di Mesir ada seorang raja shaleh yang menjual makanan. Maka, bersiap-siaplah untuk pergi padanya dan membeli apa yang

kalian perlukan darinya.” Kemudian, mereka bertolak hingga tiba di Mesir. Maka, masuklah mereka menghadap Yusuf AS. yang ketika itu berada dalam majlis kewaliannya, karena urusan makanan dan jual beli hasil bumi menjadi tanggung jawabnya.

Ketika mereka masuk menghadap padanya, dia mengenal mereka dengan pasti, karena jumlah, rupa dan pakaian mereka masih selalu terbayang dalam ingatannya, karena dia dibesarkan di tengah-tengah mereka, terutama penderitaan yang dia alami lantaran mereka pada akhir hidupnya bersama-sama mereka. Barangkali, para pekerja dan budak-budak Yusuf AS. telah menanyai suatu urusan sebelum mereka dipersilahkan masuk menghadapnya. Lalu, para pekerja dan budak memberitahukan kepadanya gambaran, tempat tinggal, dan dari mana mereka berangkat.

Sedangkan mereka tidak mengenalnya (lupa) karena terlalu lama berpisah dengannya, di samping karena rupanya telah berubah bersamaan dengan usia tua. Juga karena mengenakan pakaian dan perhiasan kebesaran raja, di samping mereka sendiri membutuhkan kebajikan dan kasih sayangnya. Semua ini, untuk sementara dapat mengubah rupa wajahnya, lebih-lebih mereka mengira bahwa dia telah binasa atau hilang. Kalaupun mereka masih

2

(39)

mengenal sebagian ciri Yusuf AS., namun barangkali mereka akan memandangnya sebagai orang lain yang mempunyai beberapa kemiripan dengannya. Lebih-lebih mereka tidak pernah membayangkan bahwa saudaranya akan mencapai kedudukan yang tinggi ini.3

Dalam tafsir al-Azhar menjelaskan “Dan datanglah saudara-saudara

Yusuf, lalu masuklah mereka kepadanya.”(pangkal ayat 58). Mereka datang

membawa hasil negeri mereka yang diperlukan oleh Mesir buat bertukar dengan gandum, sebagai juga kafilah-kafilah lain yang telah datang ramai di Mesir. Setelah mereka datang : “Maka kenallah Yusuf akan mereka, tetapi

mereka tidak mengenal dia.”(ujung ayat 58). Masa perpisahan sudah lebih kurang 25 tahun dan rupa Yusuf AS. sudah sangat berubah, dahulu anak kecil, sekarang orang besar yang dewasa, dan karena pakaian yang dipakainya, yaitu pakaian kerajaan, sedang saudara-saudaranya masih memakai pakaian dusun. Dan lagi mudah menanyakan kepada mereka siapa mereka dan anak siapa, tetapi tidak ada diantara mereka yang akan berani menanyakan siapa orang besar, Datuk bendhara yang berjabatan tinggi dan sangat berkuasa itu. Apalagi orang lebih mengenal beliau dalam pangkatnya yang tinggi, bukan dengan namanya. Nama orang besar, menurut zaman purbakala tidak boleh disebut-sebut dengan mudah. Cuma disebut „Aziz saja, yang berarti “Yang Mulia”.

Menurut As-Suddi dan beberapa penafsir lain, Nabi Yusuf AS. telah menanyai mereka, berkata dengan sikap seakan-akan curiga: “mengapa kalian

masuk ke dalam negriku?”

Mereka menjawab: “Yang mulia! Maksud kedatangan kami ini ialah

hendak membeli pembekalan.”

“Barangkali kalian ini mata-mata semua,” sambut Yusuf AS.

“Berlindung kami kepada allah, tidaklah demikian maksud kedatangan kami!” “Kalau demikian, dari mana kalian ini datang?”

“Kami datang dari negeri Kan’an, ayah kami adalah Yakub AS, Nabi Allah!” Dan Yusuf AS. berkata lagi: “Apakah dia mempunyai anak selain kalian?”

3

(40)

“Benar! Kami bersaudara 12 orang; yang paling kecil diantara kami telah

hilang di waktu dia masih kecil, binasa di tengah belantara, dan dia adalah anak yang paling dikasihi oleh ayah kami. Maka tinggallah saudaranya yang seribu; anak satu-satunya itulah yang tinggal terus dengan ayah kami, untuk mengobat hatinya yang gundah karena kehilangan saudara kami yang di

cintainya itu”.

Setelah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang demikian, mulailah Yusuf AS. sikapnya. Diperintahkannya supaya orang-orang itu disambut dengan hormat, sebagai tetamu dan dikatakan kepadanya bahwa segala kehendak mereka hendak membeli barang-barang itu segera dipenuhi, sampai mereka pulang ke kampung dengan selamat. Setelah mereka hendak bersiap pulang, Nabi Yusuf AS. memerintahkan pagawai-pegawainya menyediakan pembekalan mereka, atau tukaran barang-barang yang mereka kehendaki itu.4

Sementara dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an redaksi ini disimpulkan bahwa Yusuf AS. menerima dan menyambut mereka dengan baik dan menempatkan mereka dalam kedudukan yang baik. Yusuf AS. mulai memberikan pelajaran pertama kepada mereka.5

Untuk memenuhi permintaan Yakub AS, berangkatlah saudara-saudara Yusuf AS. kecuali Bunyamin karena tidak diizinkan oleh Yakub AS., untuk membeli bahan makanan yang sangat mereka perlukan. Ketika sampai disana mereka langsung menemui Yusuf AS. dengan harapan akan segera dapat membeli bahan makanan, karena urusan ini sepenuhnya berada ditangan Yusuf AS. Ketika mereka masuk menghadap, tahulah Yusuf AS. bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya sendiri, karena rupa dan jenis pakaian mereka masih melekat dalam ingatannya apalagi dengan jumlah mereka sepuluh orang pula. Berkatalah Yusuf AS. dalam hatinya, tidak diragukan lagi mereka ini adalah saudara-saudara saya. Sebaiknya mereka tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka hadapi adalah saudara mereka sendiri.

4

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Juz. 13, h. 17-18 5

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet.1, h.

(41)

Mereka semua tidak lagi ingat bentuk Yusuf AS. karena sudah lama berpisah apalagi yang mereka hadapi adalah seorang perdana menteri dengan pakaian kebesaran dan tanda-tanda penghargaan berkilau dibajunya. Tidak mungkin Yusuf AS. akan sampai kepada martabat yang amat tinggi itu karena mereka telah membuangnya kedalam sumur dan kalau dia masih hidup tentulah dia akan menjadi budak belian yang diperas tenaganya oleh tuannya.6

Menurut Penulis, ayat ini menjelaskan bahwa ketika negeri Kan’an dan Syam mengalami musibah seperti yang dialami oleh Mesir, Nabi Yakub AS. memerintahkan kepada anak-anaknya (saudara-saudara Yusuf AS.) untuk mencari makanan. Maka kemudian datanglah saudara-saudara Yusuf AS. itu ke Mesir dengan maksud untuk mendapatkan makanan. Ketika mereka masuk, mereka langsung bertemu dengan Yusuf AS. yang ketika itu mengawasi langsung pembagian makanan. Yusuf AS. telah mengetahui bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya, namun mereka tidak mengenal Yusuf AS. karena sudah lama berpisah. Meskipun Yusuf AS. telah mengetahui bahwa yang datang adalah saudara-saudaranya namun Yusuf AS. menyambut mereka dengan sangat hormat dan segala keinginan mereka dikabulkan oleh Yusuf AS.















Dan tatkala dia memerintahkan untuk menyiapkan untuk mereka

bahan makanan yang akan mereka bawa pulang, dia berkata kepada

rombongan saudara-saudaranya itu, “Lain kali bila kamu datang, bawalah

kepadaku saudara kamu yang seayah dengan kamu yakni Benyamin agar

kamu mendapat tambahan jatah. Tidakkah kamu melihat bahwa aku

menyempurnakan sukatan, tidak merugikan kamu bahkan melebihkannya

6Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT.

(42)

demi mencapai keadilan penuh dan aku adalah sebaik-baik penerima

tamu?”.7

Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Yusuf AS. terlibat langsung serta aktif dalam upaya pembagian makanan dan pengawasannya, tidak melimpahkan pekerjaan itu kepada bawahannya. Ini terbukti dari pertemuannya dengan saudara-saudaranya di lokasi pembagian itu serta masuknya mereka untuk menemuinya di tempat tersebut. Apa yang dilakukan Nabi Yusuf AS. ini menunjukkan betapa besarnya tanggung jawab beliau. Dan itu juga merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi siapa pun dalam menjalankan tugas.8

Setelah dia memuati kendaraan mereka dengan bahan pangan, dan membekali mereka perbekalan lain serta keperluan yang biasa diperlukan oleh para musafir sesuai dengan kesanggupan dan lingkungan mereka. Yusuf AS.

berkata, “Bawalah saudara kalian kepadaku dariayah kalian.” Yang dimaksud

ialah saudara kandungnya, Bunyamin. Hal ini disebabkan Yusuf AS. tidak pernah memberikan kepada setiap orang lebih dari satu muatan unta. Sedangkan saudara-saudaranya berjumlah 10 orang, maka dia memberi mereka 10 muatan pula. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami mempunyai

ayah yang sudah tua renta dan seorang saudara yang tinggal bersamanya.”

Karena usianya yang sudah lanjut dan kesedihannya yang sangat mendalam, ayah mereka tidak bisa hadir bersama mereka, sedang saudaranya tinggal untuk berbakti kepadanya. Mereka berdua harus mendapatkan makanan. Maka, Yusuf AS. menyediakan dua unta lain untuk mereka berdua, seraya

berkata, “Bawalah saudara kalian itu kepadaku, agar aku mengetahuinya.”

Dalam Sifrut Takwin diceritakan, bahwa Yusuf AS. menginterogasi saudara-saudaranya sambil berpura-pura tidak mengenalnya-dia mengenal mereka, sedang mereka tidak mengenalnya-dan menuduh bahwa mereka adalah mata-mata yang datang untuk melihat kelemahan negara. Mereka membantah tuduhan tersebut dan memberitahukan perkara yang sebenarnya,

7

M.Quraish Shihab, loc.cit. 8

(43)

seraya berkata padanya, “Kami adalah budak anda, dua belas orang bersaudara, dan kami putra seorang tua di negeri kan’an; yang paling kecil (bungsu) sekarang berada di sisi ayah kami, sedang seorang lagi hilang.”

Yusuf AS. berkata kepada mereka. “Itulah yang aku katakan kepada kalian. Sungguh, kalian adalah mata-mata. Oleh sebab itu, kalian diuji. Demi

kehidupan fir’aun, kalian tidak akan bisa keluar dari sini sebelum kalian

mendatangkan saudara kalian yang bungsu kemari. Tinggalkanlah salah seorang di antara kalian sebagai jaminan di sisiku, dan bawalah saudara kalian

kemari dari ayah kalian”. Setelah mengadakan undian, terpilihlah syam’un

sebagai jaminan. Lalu, mereka meninggalkannya di sisi Yusuf AS. Kemudian, Yusuf AS. memerintahkan supaya mengisi karung-karung mereka dengan gandum, dan mengembalikan perak pembayaran kepada masing-masing, serta membeli bekal perjalanan. Demikianlah dia berbuat terhadap mereka.9

Tidaklah kalian melihat bahwa aku telah menyempurnakan takaran, tidak menguranginya, bahkan aku menambahkan satu unta untuk saudara kalian. Dengan demikian, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik tuan rumah bagi para tamunya. Memang, Yusuf AS. telah menjamu para tamunya dengan sebaik-baiknya, dan membekali mereka dengan perbekalan yang cukup selama dalam perjalanan. Dari sini, dapatlah diketahui bahwa riwayat tentang dituduhnya mereka sebagai mata-mata adalah lemah, karena tidak layak

Referensi

Dokumen terkait

59 Adapun populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang termasuk kedalam kelompok perusahaan non-finansial yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2008- 2012

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat No.22 Tahun 1998 tanggal 14 Desember 1998 tentang Perubahan Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah Jawa

[r]

Secara sensori tingkat kesukaan tertinggi adalah pada permen jelly dengan perlakuan seduhan pada perbandingan secang 4:36, berdasarkan karakteristik fisik permen jelly

Pengaruh Penguasaan Mata Pelajaran Produktif dan Minat Terhadap Keberhasilan Praktik Kerja Industri Pada Siswa Pemesinan SMK Negeri Widang Tuban.. (Skripsi S1)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan fermentasi memiliki stabilitas dalam air, daya serap air, dan daya apung yang lebih baik dibandingkan dengan pakan

Merupakan hasil penelitian dan merupakan karya saya sendiri dengan bimbingan Dosen Pembimbing yang telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Program Studi Magister Manajemen

[r]