• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DATA WELL LOGGING UNTUK REKONTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DAERAH PANGANDONAN, SUMATERA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS DATA WELL LOGGING UNTUK REKONTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DAERAH PANGANDONAN, SUMATERA SELATAN"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS DATA WELL LOGGING UNTUK REKONTRUKSI

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DAERAH PANGANDONAN, SUMATERA SELATAN

Oleh

Didi Darmadi 0815051012

Telah di lakukan penelitian batubara di daerah Pangandonan, Baturaja, Sumatera Selatan. Daerah penelitian terletak pada lembar geologi Lahat dan termasuk ke dalam Formasi Muara Enim. Identifikasi litologi dan lapisan batubara di analisis melalui metoda well logging, yakni log gamma ray dan log density sebanyak 8 (delapan) titik sumur. Interpretasi lapisan batubara di dasarkan pada kaidah litologi dengan mengkorelasi hasil logging di 8 sumur.

Litologi daerah penelitian tersusun batupasir, batulempung dan batubara. Sedangkan untuk litologi batubara terdapat 3 (tiga) seam batubara, untuk seam A memiliki ketebalan rata-rata 2.7 meter, seam B memiliki ketebalan rata-rata 3.2 meter sedangkan seam C memilik ketebalan rata-rata 8.5 meter. Dari hasil korelasi 2D diketahui bahwa pada log P32 dan DHS24 terdapat ketidakselarasan tiap bidang litologinya yang disebabkan oleh struktur sesar normal.

Berdasarkan pola defleksi log gamma ray, terdapat endapan swamp, levee dan

flood plain yang menunjukan lingkungan pengendapan adalah Upper Delta Plain-Fluvial. Dari hasil kalkulasi litologi overburden (soil, sandstone, mudstone,)

diperoleh sebesar 51.297.426 tonase, sedangkan volume batubara diperoleh 7.757.692 tonase.

(2)

ABSTRACT

WELL LOGGING DATA ANALYSIS FOR RECONSTRUCTION OF COAL DEPOSITION ENVIRONMENT IN PANGANDONAN,

SOUTH SUMATERA

By

Didi Darmadi 0815051012

Coal research conducted in Pangandonan, Baturaja, South Sumatera. Research area is located in geological map of Lahat quadrangle and it is included in Muara Enim Formation. Well logging methods analyzed the lithological identification and coal layer, which is used gamma ray log and density log in 8 (eight) well. Coal layer interpretation is correlate logging results in 8 well based on the lithological rules.

Lithology of research areas composed sandstone, mudstone dan coal. Whereas for coal lithological there are 3 (three) coal seam, A seam has 2.7 meters for the average thickness, B seam has 3.2 meters for the average thickness and C seam has 8.5 meters for the average thickness. From 2D correlation result, known that in log P32 and DHS24 there is unconfirmity each lithological layers caused by normal fault structure.

Based on gamma ray log deflection pattern, there is swamp deposition , levee deposition and flood plain deposition which is showed the deposition environment is Upper Delta Plain-Fluvial. From overburden (soil, sandstone, mudstone,) lithological calculation, obtained 51.297.426 tonnage, Whereas the coal volume is 7.757.692 tonnage.

(3)

ANALISIS DATA

WELL LOGGING

UNTUK REKONTRUKSI

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DAERAH

PANGANDONAN, SUMATERA SELATAN

Oleh

Didi darmadi

0815051012

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK

Pada

Jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS TEKNIK

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

(8)

PERSEMBAHAN

Atas segala Rahmat dan karunia Allah SWT, ku persembahkan karya

ilmiah ini untuk :

Untuk kedua orang tuaku yang telah meberikan kasih sayang, bimbingan,

motivasi,do’a dan segala pelajaran hidup yang diberikan kepadaku

agar siap dalam mengarungi samudera dan benua kehidupan nantinya

Tempat indah ku dalam menggapai impian dan mencari jati diri dan

persahabatan sejati, teman-temanku yang berarti dalam setiap langkah

selama menapaki jenjang-jenjang kehidupan di alamamater ku tercinta

(9)

MOTTO

Keikhlasan dan kejujuran merupakan

syarat akan kesempurnaan

Rasa takut akan sesuatu dapat menghambat jalan

selanjutnya, kenali rasa takutmu agar dapat

mengaturnya”

(10)

SANWACANA

Penulis menyadari skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan serta dukungan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih tiada terbatas kepada:

1. Bapak Suyanto dan Ibu Muji Rahayu tercinta selaku orangtua yang telah memberikan kasih sayang, dukungan serta doa yang telah diberikan

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P Hariyanto sebagai Rektor Universitas Lampung

3. Bapak Prof. Dr. Suharno, MS., M.Sc., Ph.D sebagai Dekan Fakultas Teknik, Universitas Lampung

4. Bapak Bagus Sapto Mulyatno, M.T sebagai Ketua Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Universitas Lampung.

5. Bapak Rustadi, S.Si. sebagai Pembimbing Akademik dan Pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan motivasi

6. Bapak Syamsurizal R, S.Si, M.si sebagai dosen Penguji yang telah memberikan saran, solusi, motivasi serta bantuannya.

(11)

8. Saudaraku Dita puji kesuma terimakasih atas dukungan, doa, dan motivasinya selama ini

9. Kakak tingkat TG-07, yang telah membantu dan memberikan solusi pada saat penelitian

10.Teman seperjuangan adi, andre, bebew dan seluruh mahasiswa Teknik Geofisika angkatan 2008 terimakasih banyak atas motivasi, do’a, dukungan dan kebersamaanya

11.Seluruh mahasiswa Teknik Geofisika angkatan 2009-2014, Staff TU Jurusan Teknik Geofisika, Staff Dekanat Fakultas Teknik, Staff PT Buana Eltra yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas bantuannya 12.Seluruh member posko Gang Pesing

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga skripsi ini dapat bermanfaat dalam dunia ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Bandar Lampung, April 2015 Penulis,

(12)

DAFTAR ISI

2.2 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Utara 3.2.1 Tempat terbentuknya Batubara ... 16

... 6

2.3 Geologi Daerah Penelitian ... 13

BAB III TEORI DASAR

3.1 Definisi Batubara ... 14

(13)

3.3 Kelas dan Jenis Batubara ... 17

3.4 Klasifikasi Sumber Daya Batubara ... 18

3.5 Logging Geofisika 3.6 Pola-Pola Log (Log Pattern) ... 31

3.7 Korelasi ... 34

3.7.1 Metoda Korelasi... 34

3.7.2 Prosedur Korelasi... 36

3.8 Lingkungan Pengendapan ... 37

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB VI KESIMPULAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 46 4.2 Perangkat Lunak... 47

5.2.1 Analisis Grafik Log Gamma Ray-Density………... 51 5.2.2 Analisis Grafik Defleksi Log pada Batubara ………...53 5.3 Pemodelan 2D ... 60 5.3.1 Profil 2D Penampang Korelasi ……… 61 5.3.2 Profil Penampang Korelasi Struktur ……… 62 5.4 Analisis Lingkungan Pengendapan ... 67

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan ... 6

Tabel 3.1. Klasifikasi sumber daya dan cadangan batubara ... 18

Tabel 3.2. Pengelompokan kondisi geologi batubara. ... 21

Tabel 3.3. Jarak titik informasi menurut kondisi geologi ... 21

Tabel 4.1. Jadwal penelitian ... 46

Tabel 5.1 Data titik bor dan koordinat daerah penelitian ... 49

Tabel 5.2 interpretasi litologi titik borDHS 23 ... 56

Tabel 5.3 interpretasi litologi titik borDHS 14 ... 56

Tabel 5.4. Interpretasi litologi titik borDHS 15 ... 57

Tabel 5.5. Interpretasi litologi titik borDHS 24 ... 57

Tabel 5.6. Interpretasi litologi titik borP23 ... 58

Tabel 5.7. Interpretasi litologi titik borP26 ... 58

Tabel 5.8. Interpretasi litologi titik borP32 ... 59

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1Kerangka cekungan Sumatera Bagian Selatan ... 4

2.2Peta geologi daerah penelitian ... 13

3.1 Proses pembentukan batubara ... 16

3.2. Usur radiasi utama gamma ray ... 23

3.3. Penentuan penarikan Sand Base Line dan Shale Base Line ... 25

3.4. Efek Compton ... 27

3.5. Efek Foto Listrik ... 27

3.6. Produksi Pasangan ... 28

3.7. Skema Rangkaian Dasar Density Log... 30

3.8. Bentuk-bentuk dasar log dalam penentuan fasies ... 31

3.9. Model lingkungan pengendapan batubara di lingkungan delta... 38

3.10. Penampang lingkungan pengendapan back barrier ... 40

3.11. Penampang lingkungan pengendapan lower delta plain ... 42

3.12. Penampang lingkungan pengendapan upper delta plain-fluvial. ... 44

3.13. Penampang lingkungan pengendapan transitional lower delta plain ... 45

4.1. Diagram alir penelitiaan ... 48

5.1. Peta topografi titik bor ... 50

5.2 Analisis grafik log ... 52

5.3. Grafik analisa log untuk seam A ... 53

5.4. Grafik analisa log untuk seam B ... 54

5.5. Grafik analisa log untuk seam C ... 55

5.6. Peta titik bor korelasi ... 61

5.7. Korelasi struktur cross-section A-A’ berdasarkan elevasi ... 63

(16)

5.9. Korelasi struktur cross section C-C’ berdasarkan elevasi ... 64

5.10. Peta sebaran batubara ... 66

5.11. Lingkungan pengendapan daerah penelitian upper delta plain-fluvial ... 67

5.12. Identifikasi pengendapan log titik bor DHS23... 68

5.13. Identifikasi pengendapan log titik bor DHS24... 69

5.14. Pemodelan 3D litologi ... 71

5.15. Pemodelan 3D litologi Coal ... 72

5.16. Pemodelan 3D litologi sandstone ... 73

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, sejak pengendapannya terkena proses kimia dan fisika (Kuncoro, 1996). Batubara merupakan bahan galian yang menjadi salah satu sumberdaya energi nasional, sehingga dibutuhkan proses eksplorasi yang efisien. Metode geofisika yang dapat digunakan untuk proses eksplorasi batubara adalah metode well logging.

Metode well logging bekerja dengan cara mengirimkan sinyal radioaktif ke dalam lapisan bumi yang di gali berupa lubang bor dan menangkap kembali respon tersebut. Formasi batuan yang mengandung unsur-unsur radioaktif akan memancarkan radiasi dimana intensitas radiasi tersebut akan diterima oleh detektor. Hasil rekaman berupa log gamma ray dan log densitas.

(18)

2

1.2. Tujuan dan batasan masalah penelitian

1.2.1. Tujuan penelitian

1. Menafsirkan batas lapisan, sebaran dan posisi kedalaman batubara.

2. Menafsirkan rekontruksi lingkungan pengendapan berdasarkan grafik log

gamma ray.

1.2.2. Batasan masalah

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional Cekungan Sumatera bagian Selatan

Cekungan Sumatera Selatan terletak di sebelah timur pegunungan barisan dan meluas ke daerah lepas pantai dan dianggap sebagai suatu cekungan foreland

(20)

4

Gambar 2.1. Kerangka cekungan Sumatera Bagian Selatan (Bishop, 2000)

Menurut De Coster, (1974), diperkirakan telah terjadi 3 fase orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatra Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir-Tersier Awal dan Orogenesa Plio-Plistosen.

Fase pertama, endapan-endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan di intrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan, fase ini membentuk sesar berarah barat laut-tenggara yang berupa sesar-sesar geser.

(21)

batuan-5

batuan Pra-Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra-Talang Akar.

(22)

6

2.2. Stratigrafi

Stratigrafi cekungan Sumatera Bagian Selatan menurut pembagian Koesoemadinata, (1980), dari yang tua ke muda di paparkan pada Tabel 2.1.

Tabel. 2.1 Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan, (Koesoemadinata, 1980)

Atas

Tuff ungu, hijau, merah dan coklat, lempung tuffan, breksi dan konglomerat. kasar pada dasar penampang di banyak tempat.

(23)

7

1. Formasi Pra-Tersier

Batuan Pra-Tersier atau basemen terdiri dari kompleks batuan Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian. Simanjuntak (1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena selain kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang lebat. Menurut Simanjuntak, (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit mengintrusi batuan filit.

2. Formasi Lahat

Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan lapisan dengan tebal 0 m - 300 m yang terdiri dari konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa.

Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :

(24)

8

Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip lahar. Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.

3. Formasi Talang Akar

Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, (1976), Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 0 m – 1100 m

4. Formasi Baturaja

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar dengan ketebalan antara 0 m - 160 m. Litologi terdiri dari batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal.

5. Formasi Gumai

(25)

abu-9

abu kehitaman, mungkin mengandung besi dari pirit. Batugamping, kelabu-putih, padu, terdapat pada bagian atas dari runtunan pengendapan. Tebal formasi ini adalah 2200 m, dengan lingkungan pengendapan laut dalam (neritik) terbuka. Kemiringan 10-35° timur laut-barat daya. Berumur Akhir Miosen Awal - Awal Miosen Tengah.

6. Formasi Air Benakat

(26)

10

7. Formasi Muara Enim

Formasi ini berumur Miosen Atas, merupakan satuan batuan pembawa batubara, kemudian dengan mengacu pada pembagian Shell (1978), pada kondisi yang ideal lengkap formasi ini dibagi menjadi beberapa anggota, yaitu Muara Enim 1 (M1), Muara Enim 2 (M2), Muara Enim 3 (M3), dan Muara Enim 4 (M4), dari bawah ke atas adalah sebagai berikut:

· Anggota M1

Merupakan perulangan batupasir, batulanau, batulempung dengan sisipan batubara. Batupasir berwarna abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, berbutir halus hingga sedang, kompak, terpilah baik, dengan fragmen kuarsa dominan. Perselingan batulempung dan batupasir, berwarna abu-abu, terdapat nodul-nodul gamping, coklat terang, keras. Sedangkan batulanau berwarna abu-abu, kompak, umumnya berselingan dengan batu lempung. Batu bara dijumpai dua lapisan dengan ketebalan antara 0,5 m sampai 1 m.

· Anggota M2

(27)

11

ditemukan pada anggota M2 ini berjumlah tiga lapisan dengan tebal antara 0,3 m sampai 6,6 m.

· Anggota M3

Merupakan satuan batuan yang terdiri atas batupasir, batulanau, batulempung, dan batubara. Batupasir berwarna abu-abu, berbutir halus, terpilah baik, mineral kuarsa dominan. Batulanau, abu-abu terang kehijauan sampai kecoklatan, kompak, struktur sedimen laminasi paralel, mengandung jejak tumbuhan. Batulempung berwarna abu-abu kecoklatan, kompak, masif, banyak dijumpai jejak tumbuhan. Batubara yang ditemukan dua lapisan dengan tebal antara 1,0 m sampai 8,1 m.

· Anggota M4

Terdiri atas batupasir, batulanau, batulempung, dan batubara. Batupasir berwarna abu-abu terang, berbutir halus, terpilah baik, tufan dan mineral kuarsa banyak dijumpai. Batulanau, abu-abu terang, kompak, mengandung jejak tumbuhan, struktur tumbuhan, struktur sedimen laminasi paralel. Batulempung berwarna abu-abu kecoklatan, lunak, kompak, struktur sedimen laminasi, pararel dan jejak tumbuhan banyak ditemukan. Batu bara pada anggota M4 ditemukan dua lapisan dengan ketebalan berkisar antara 1,0 m sampai 3,7 m.

8. Formasi Kasai

(28)

12

umumnya pejal, tidak ada perlapisan yang jelas, pita-pita oksida besi, perlapisan silang siur pada satuan-satuan yang berbutir kasar. Tuf berbatu apung kecoklatan-kekuningan, pejal, berbutir halus-kasar, menyudut tanggung, membulat, panjang berbatu apung 0,5-5 cm. Batupasir tufan, kelabu sampai coklat kuning, berbutir halus sampai kasar seringkali teroksidasi. Batulempung tufan, kekuningan, lunak tetapi padu. Konglomerat kelabu kekuningan, komponen batu apung, lava dan kuarsa berukuran 1-3 cm, kemas terbuka-tertutup, massa dasar tufan padu, berbutir sedang.

Formasi ini memiliki ketebalan lebih dari 450 m, diendapkan di lingkungan darat, hasil kikisan Geantiklin Barisan. Setempat menindih tak selaras Formasi Muaraenim dan ditindih oleh satuan-satuan Holosen. Berumur Pliosen Akhir- Plistosen Awal.

9. Sedimen Kuarter

(29)

13

2.3. Geologi Daerah Penelitian

Daerah penelitian pertambangan batubara PT Buana Eltra, secara geografis terletak pada 3059’ 9” LS dan 103052’ 32” BT dan terletak pada lembar geologi Lahat.

Pada Gambar 2.2 daerah penelitian terletak pada formasi Muara Enim (Tmpm) yang terdiri dari litologi batulempung, batulanau, batupasir dan sisipan batubara.

Gambar 2.2. Peta geologi daerah penelitian (Pusat Penelitian dan Pengembangan

(30)

14

BAB III

TEORI DASAR

3.1. Definisi Batubara

Definisi batubara menurut badan standarisasi nasional dalam SNI (1997) adalah endapan yang mengandung hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang telah melalui proses lithifikasi untuk membentuk lapisan batubara. Material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorfosis oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologis. Bahan-bahan organik yang terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat > 50% volume bahan organik.

3.2. Cara dan Tempat Terbentuknya Batubara

Batubara berasal dari tumbuhan yang disebabkan karena adanya proses-proses geologi, kemudian berbentuk endapan batubara yang dikenal sekarang ini. Bahan-bahan tumbuhan mempunyai komposisi utama yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Selain itu terdapat kandungan mineral nitrogen. Substansi utamanya adalah cellulose

(31)

15

(32)

16

Gambar 3.1. Proses pembentukan batubara (Cook,1982)

3.2.1. Tempat terbentuknya batubara

Tempat terbentuknya batubara di kenal dua macam teori : a. Teori insitu

(33)

17

b. Teori drift

Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang, dengan demikian tubuhan yang telah mati di angkut oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat kemudian mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, dibeberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi.

3.3. Kelas dan Jenis Batubara

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.

a. Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.

b. Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.

(34)

18

d. Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.

e. Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah, (Sari, 2009).

3.4. Klasifikasi Sumber Daya Batubara

Klasifikasi sumber daya batubara berdasarkan Standardisasi Nasional Indonesia diperlihatkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Klasifikasi sumber daya dan cadangan batubara (SNI, 1998)

1. Sumber daya batubara hipotetik (hypothetical coal resource)

(35)

19

titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops, pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi menyatakan bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan informasi yg cukup tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka akan di klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi (identified resources).

2. Sumber daya batubara tereka (inferred coal resource)

Sumber daya batubara tereka adalah jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi.

Titik pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari sumber daya tidak dapat diandalkan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km – 4,8 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih.

3. Sumber daya batubara tertunjuk (indicated coal resource)

Sumber daya batubara tertunjuk adalah jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan.

(36)

20

sumber daya yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika eksplorasi yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti gteologi dalam daerah antara 0,4 km – 1,2 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sib bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.

4. Sumber daya batubara terukur (measured coal resourced)

Sumber daya batubara terukur adalah jumlah batubara di daerah peyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat–syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.

Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4 km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.

(37)

21

Kelompok dengan Kondisi Geologi Sederhana

Kelompok dengan Kondisi Geologi Moderat Kelompok dengan Kondisi Geologi Komplek

Tabel 3.2. Pengelompokan kondisi geologi batubara

Kondisi Geologi SEDERHANA MODERAT KOMPLEK

I.Aspek Sedimentasi

1.Variasi Ketebalan Sedikit Variasi Bervariasi Sangat Bervariasi 2.Kesinambungan Ribuan Meter Ratusan Meter Puluhan Meter 3.Percabangan Hampir Tidak

4.Kemiringan Landai (Cerenti) Terjal

III.Variasi Kualitas Sedikit Bervariasi Bervariasi Sangat Bervariasi

Tingkat keyakinan geologi tersebut secara kuantitatif dicerminkan oleh jarak titik informasi (singkapan batuan dan lubang bor) dan toleransi kesalahan. Persyaratan jarak titik informasi untuk setiap kondisi geologi, diperlihatkan pada Tabel 3.3.

(38)

22

3.5. Logging Geofisika

Logging merupakan metode pengukuran besaran-besaran fisik batuan terhadap kedalaman lubang bor. Sesuai dengan tujuan logging yaitu menentukan besaran-besaran fisik batuan maka dasar dari logging itu sendiri adalah sifat-sifat fisik atau petrofisik dari batuan. (Harsono, 1997)

3.5.1. Log gamma ray

(39)

23

Gambar 3.2. Usur radiasi utama gamma ray ( Harsono , 1997)

3.5.2. Penggunaan log gamma ray.

(40)

24

mendeteksi dan evaluasi terhadap mineral-mineral radioaktif, seperti biji potasium atau uranium. Log GR juga dapat digunakan untuk mendeteksi mineral-mineral yang tidak radioaktif, termasuk lapisan batubara. Log GR digunakan secara luas untuk korelasi pada sumur-sumur. Korelasi dari sumur ke sumur sering dilakukan dengan menggunakan log GR, dimana sejumlah tanda-tanda perubahan litologi hanya terlihat pada log GR.

Ringkasan dari kegunaan Log GR 1. Evaluasi kandungan serpih Vsh. 2. Menentukan lapisan permeabel. 3. Evaluasi biji mineral yang radioaktif.

Dalam eksplorasi batubara, untuk penafsiran lithologi dengan menggunakan log

(41)

25

Gambar 3.3. Penentuan penarikan Sand Base Line dan Shale Base Line (BPB, 1981

dalam eksplorasi batubara oleh Kuncoro, 1996)

(42)

26

Nilai ekstrim curam dan besar yang ditunjukkan oleh pola gamma ray menunjukkan lithologi yang sangat halus atau marine shale.

3.5.3. Log densitas

Menurut teori Fisika Nuklir, bila sinar gamma dengan tenaga tinggi ditembakkan ke formasi ada 3 macam interaksi yang mungkin terjadi yaitu:

1. Hamburan Compton, bila 75 keV< E<2 MeV, 2. Gejala Foto-listrik, bila E < 100 keV,

3. Produksi kembar, bila E > 1.2 MeV

1.Hamburan Compton

Peristiwa terjadinya tumbukan antara foton dan elektron dalam suatu atom yang mengakibatkan sebagian energi foton menjadi energi gerak elektron dan sebagian energi hamburan foton disebut efek Compton. Bila energi foton cukup besar, efek

(43)

27

Gambar 3.4. Efek Compton (Bushong, 2001)

2.Gejala Foto-listrik

Peristiwa terlepasnya elektron orbital suatu atom karena interaksi dengan radiasi gamma dinamakan efek fotolistrik. Elektron yang dilepaskan pada peristiwa tersebut disebut fotoelektron, dan energi geraknya adalah selisih antara energi ionisasi elektron orbital dan energi radiasi gamma. Pada saat energi radiasi gamma kecil, kebanyakan fotoelektron terlepas dengan arah tegak lurus pada arah radiasi, tetapi bila energinya besar maka fotoelektron terpancar ke arah depan dalam jumlah yang banyak (Gambar 3.5.). Secara teori, semakin besar ikatan antara elektron dan inti atom maka semakin besar persentase terjadinya efek fotolistrik; untuk elektron pada kulit K akan terjadi efek fotolistrik sebesar kira-kira 80%.

(44)

28

3.Produksi kembar

Pada waktu foton yang berenergi lebih dari 1,2 MeV menembus materi dan mendekati inti atom, karena pengaruh medan listrik yang kuat dari inti atom, foton berubah dan membentuk satu pasangan yaitu positron dan elektron yang masing-masing berenergi sebesar 0,51 MeV. Peristiwa ini disebut produksi pasangan dapat dilihat pada Gambar 3.6. Energi sebesar 1,2 MeV ini disebut nilai batas ambang produksi pasangan. Jumlah koefisien atenuasi radiasi gamma pada produksi pasangan makin bertambah bersamaan dengan bertambahnya energi foton, di sisi lain juga sebanding dengan Z (Z+1) dari materi. Jumlah koefisien atenuasi efek fotolistrik, efek Compton dan produksi pasangan disebut koefisien atenuasi linear.

(45)

29

Prinsip kerja density log adalah dengan jalan memancarkan sinar gamma dari sumber radiasi sinar gamma yang diletakkan pada dinding lubang bor. Pada saat sinar gamma menembus batuan, sinar tersebut akan bertumbukkan dengan elektron pada batuan tersebut, yang mengakibatkan sinar gamma akan kehilangan sebagian dari energinya dan yang sebagian lagi akan dipantulkan kembali, yang kemudian akan ditangkap oleh detektor yang diletakkan diatas sumber radiasi. Intensitas sinar gamma yang dipantulkan tergantung dari densitas batuan formasi. Berkurangnya energi sinar gamma tersebut sesuai dengan persamaan:

No = intensitas sumber energi

Nt = intensitas sinar gamma yang ditangkap detektor

ρ = densitas batuam formasi

k = konstanta

(46)

30

Kerangka rangkaiaan dasar well logging terlihat pada Gambar 3.7. Pada alat

formation density probe (FDG) terdapat detektor gamma ray dan desnsity, untuk detektor density mempunyai dua dektektor yaitu Long density dan short density. Sinar gamma yang menyebar dan mencapai detektor dihitung dan akan menunjukkan besarnya densitas batuan formasi. Formasi dengan densitas tinggi akan menghasilkan jumlah elektron yang rendah pada detektor. Densitas elektron merupakan hal yang penting disini, hal ini disebabkan yang diukur adalah densitas elektron, yaitu jumlah elektron per cm3. Densitas elektron akan berhubungan dengan densitas batuan sebenarnya, ρb yang besarnya tergantung pada densitas matrik, porositas dan densitas

fluida yang mengisi pori-porinya. Kondisi penggunaan untuk density log adalah pada formasi dengan densitas rendah dimana tidak ada pembatasan penggunaan lumpur bor tetapi tidak dapat digunakan pada lubang bor yang sudah di casing. Kurva density log hanya terpengaruh sedikit oleh salinitas maupun ukuran lubang bor.

Gambar 3.7. Skema Rangkaian Dasar Density Log

(47)

31

3.6. Pola-Pola Log (Log Pattern)

Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan lingkungan pengendapan dengan menggunakan data logging geofisika. Log merupakan data informasi mengenai batuan yang diakuisisi secara insitu sehingga log dapat digunakan sebagai acuan dalam korelasi geologi dan identifikasi lithologi. Biasanya digunakan kombinasi antara log SP, log gamma ray dan log resistivity dalam menentukan jenis lithologi dan korelasinya. Dari data log tersebut dapat dikenali beberapa bentuk dasar yang berkaitan atau bahkan merupakan karakteristik dari suatu lingkungan pengendapannya. Bentuk-bentuk dasar tersebut adalah cilyndrical, irregular, bell shape, funnel shape, symmetrical, dan asymmetrical (O.Serra, 1989). Bentuk-bentuk log diatas dapat dilihat pada Gambar 3.8.

(48)

32

Cylindrical

Merupakan bentuk yang cenderung diminati oleh geologist karena bentuk ini dianggap sebagai bentuk dasar yang menginterpretasikan homogenitas. Bentuk ini diasosiasikan dengan endapan sedimen braided channel, estuarine, atau sub-marine channel fill, anastomosed channel, eolian dune, tidal sands. Gambaran dan interpretasi berskala makro yang menyatakan homogen dan ideal ini dapat mengalami perubahan dengan diterapkannya analisis berskala mikro.

Irregular (serrated)

Meskipun bentuk irregular ini kurang disukai, namun dilain pihak bentuk ini cenderung terlalu mudah untuk dianggap sebagai interpretasi awal yang menyesatkan. Bentuk ini dianggap sebagai bentuk dasar untuk merepresentasikan heterogenitas batuan reservoir. Bentuk ini diasosiasikan dengan endapan sedimen alluvial plain, flood plain, tidal sands, shelf, atau back barriers. Umumnya mengindikasikan lapisan tipis silang siur. Unsur endapan tipis mungkin berupa crevasse splay, over bank deposit dalam laguna, turbidit dalam lingkungan air dalam, atau lapisan-lapisan yang teracak. Lapisan-lapisan ini dari gambaran dan interpretasi makro cenderung dikategorikan ke dalam zona tidak produktif.

(49)

33

Bell-shaped

Bentuk bell ini selalu diasosiasikan sebagai finning upward. Interpretasi finning upward sering diartikan sebagai heterogenitas batuan reservoir. Bentuk bell

dihasilkan oleh endapan point bars, tidal deposits,transgressive shelf sand (tide and storm dominated), submarine channel dan endapan turbidit.

Funnel-shape

Bentuk funnel merupakan kebalikan dari bentuk bell dengan dampak ketidaksesuaian batas geologi dan urutan stratigrafinya, dan selalu diasosiasikan sebagai coarsening upward. Bentuk funnel merupakan hasil dari delta front (distributary mouth bar),

crevasse splay, beach and barrier (barrier island), strandplain, shoreface, prograding (shalow marine) shelfsands, submarine fan lobes.

Symmetrical-asymmetrical shaped

Bentuk symmetrical ini merupakan keserasian kombinasi bentuk bellfunnel. Kombinasi coarsening upward-finning upward ini dapat dihasilkan oleh proses bioturbasi, selain setting secara geologi yang merupakan cirri dari shelf sand bodies,

(50)

34

3.7. Korelasi

Korelasi merupakan langkah penentuan unit stratigrafi dan struktur yang mempunyai persamaan waktu, umur dan posisi stratigrafi. Korelasi digunakan untuk keperluan pembuatan penampang dan peta bawah permukaan untuk kemudian dilakukan evaluasi formasi, penentuan zona produktif atau ada tidaknya perubahan secara lateral dari masing-masing perlapisan. Dalam pelaksanaannya, korelasi melibatkan aspek seni dan ilmu, yaitu memadukan persamaan pola dan prinsip geologi, termasuk dalam proses dan lingkungan pengendapannya, pembacaan dan analisis log, dasar teknik reservoar serta analisis kualitatif dan kuantitatif. Data yang dipakai dalam korelasi umumnya adalah integrasi data core, data wireline log dan data seismik.

3.7.1. Metode korelasi menurut Koesoemadinata (1971)

1. Metode Organik

Metode korelasi organik merupakan pekerjaan menghubungkan satuan-satuan stratigrafi berdasarkan kandungan fosil dalam batuan (biasanya foraminifera planktonik). Yang biasa digunakan sebagai marker dalam korelasi organik adalah asal munculnya suatu spesies dan punahnya spesies lain. Zona puncak suatu spesies, fosil indek, kesamaan derajat evolusi dan lain-lain.

2. Metode Anorganik

Pada metode korelasi anorganik penghubungan satuan-satuan stratigrafi tidak didasarkan pada kandungan oganismenya (data organik).

(51)

35

a. Key Bed (lapisan penunjuk) Lapisan ini menunjukkan suatu penyebaran lateral yang luas, yang mudah dikenal baik dari data singkapan, serbuk bor, inti pemboran ataupun data log mekanik. Penyebaran vertikalnya dapat tipis ataupun tebal. Lapisan yang dapat dijadikan sebagai key bed antara lain: abu vulkanik, lapisan tipis batugamping terumbu, lapisan tipis serpih (shalebreak), lapisan batubara/lignit. b. Horison dengan karakteristik tertentu karena perubahan kimiawi pada massa air akibat perubahan pada sirkulasi air samudra seperti zona-zona mineral tertentu, zona kimia tertentu, suatu kick dalam kurva resistivitas yang khusus dari suatu lapisan yang tipis.

c. Korelasi dengan cara meneruskan bidang refleksi pada penampang seismik. d. Korelasi atas dasar persamaan posisi stratigrafi batuan.

e. Korelasi atas dasar aspek fisik/litologi. Metode korelasi ini merupakan metode yang sangat kasar dan hanya akurat diterapkan pada korelasi jarak pendek.

f. Korelasi atas dasar horison siluman (panthom horizon).

g. Korelasi atas dasar maximum flooding surface, maximum flooding surface

merupakan suatu permukaan lapisan yang lebih tua dari lapisan yang lebih muda yang menunjukkan adanya peningkatan kedalaman air secara tiba-tiba.

(52)

36

3.7.2. Prosedur korelasi

Langkah-langkah korelasi dengan log mekanik adalah sebagai berikut :

a. Menentukan horison korelasi dengan cara membandingkan log mekanik dari suatu sumur tertentu terhadap sumur yang lain dan mencari bentuk-bentuk atau pola-pola

log yang sama atau hampir sama.

b. Setelah bentuk atau pola log yang relatif sama didapatkan dan telah dinyakini pula bahwa bentuk dan pola tersebut mewakili perlapisan yang sama, selanjutnya dilakukan pekerjaan menghubungkan bentuk-bentuk kurva yang sama atau hampir sama dari bagian atas kearah bawah secara kontinyu. Korelasi secara top down

dihentikan jika korelasi tidak bisa dilakukan lagi, kemudian korelasi dilakukan secara

bottom up. Adanya zona-zona yang tidak bisa dikorelasikan dapat ditafsirkan kena pengaruh struktur (patahan, ketidakselarasan) atau stratigrafi (pembajian, channel fill, pemancungan, perubahan fasies).

(53)

37

3.8. Lingkungan Pengendapan dan Fasies Batubara

Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh

synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi. Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).

(54)

38

Gambar 3.9. Model lingkungan pengendapan batubara di lingkungan delta

(J.CHorne et. Al., 1979 ; modifikasi dari Ferm, 1976)

a. Lingkungan pengendapan barrier

(55)

39

b. Lingkungan pengendapan back-barrier

Lingkungan barrier mempunyai peranan penting yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air laut dan mendukung pembentukan gambut di bagian dataran, kriteria utama lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan vertikal dari struktur sedimen dan pengenalan tekstur batupasirnya, ke arah laut, butirannya menjadi halus dan berselang seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau, batuankarbonat dengan fauna laut ke arah darat membentuk gradasi menjadi serpih berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau, akibat pengaruh gelombang dan pasang surut, sehingga batupasir di lingkungan barrier lebih bersih dan sortasi yang lebih baik daripada lingkungan sekelilingnya meskipun memiliki sumber yang sama, penampanglingkungan pengendapan pada bagian Back Barier dapat dilihat pada Gambar 3.10.

(56)

40

Gambar 3.10. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian back barrier

(Horne,1978)

c. Lingkungan pengendapan lower delta plain

Lower deltaplain: tipis, sebaran sepanjang channel atau jurus pengendapan, ditandai hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay dan kandungan sulfur agak tinggi. Litologinya didominasi oleh urutan serpih dan batulanau yang mengkasar kearah atas, ketebalannya berkisar antara 15-55m dengan pelamparan lateral.

Pada bagian bawah dari teluk tersusun atas lempung-serpih abu-abu gelap sampai hitam yang merupakan litologi dominan, kadang-kadang terdapat batugamping dan

(57)

41

menunjukkan adanya penambahan energi padaperairan dangkal ketika teluk terisi endapan.

Umumnya endapan teluk terisi mengandung fosil air laut atau air payau danstruktur

Burrow fosil-fosil ini biasanya melimpah pada bagian bawah serpihlempung, tetapi mungkin juga muncul pada seluruh sikuen.

Endapan distributary mouth bar dicirikan oleh adanya batupasir yang memiliki dasar yang lebih lebar dan memiliki kontak gradasi pada bagian bawah dan adanya kontak lateral yang cenderung mengkasar ke atas dan mengarah pada bagian tengah serta berkembangnya struktur ripples dan flow rolls, sekuen vertikal endapan lower delta plain, sekuen mengkasar keatas dapat dilihat pada Gambar 3.11.(a)

Endapan Creavasse Splay, karakteristik endapan ini adalah mini delta yang mengkasar keatas, butirannya semakin menghalus jika menjauhi tanggul, bergradasi kearah lateral, tersusun atas batupasir dengan struktur burrowed siderite dan ripples, endapan ini memiliki ketebalan lebih dari 12m dengan pelamparan horizontal berkisar dari 30m sampai 8km, sekuen vertikal endapan lower delta plain sikuen yang sama di potong oleh Creavasse Splay deposit. Gambar 3.11.(b)

(58)

42

Gambar 3.11. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian lower delta plain

(Horne,1978)

d. Lingkungan Pengendapan upper delta plain-fluvial

Upper delta plain-fluvial: tebal dapat mencapai lebihdari 10 meter, sebaranluas cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lapisan lateralsering terpotong channel, di tandai splitting akibat channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen dan kandungan sulfur rendah.

(59)

43

batubara yang melimpah pada bagian bawah, semakin ke atas butiran semakin menghalus pada batupasir. Sifat khas tersebut menunjukkan energi yang besar pada

channel pada sekitar rawa kecil dan danau-danau, dari bentuk batupasirdan pertumbuhan lapisan point bar menunjukkan bahwa hal ini dikontrol oleh meandering.

Sikuen endapan backswap dari atas ke bawah terdiri dari seat earth, batubara, dengan serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecupoda air tawar, batubara secara lateral menebal dan akhirnya bergabung dengan tubuh utama batupasir, batupasirnya tipis (1,5-4,5m), berbutir halus, mengkasar ke atas, sikuentipe ini merupakan endapan pada tubuh air terbuka, mungkin rawa dangkal atau danau. Penampang lingkungan pengendapan bagian Upper Delta Plain dapat dilihat pada (Gambar 3.12).

(60)

44

Gambar 3.12. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian upper delta plain

-fluvial (Horne,1978)

e. Lingkungan pengendapan transitional lower delta plain

Transisional Lower Delta Plain: Tebal dapat lebih dari 10m, sebaran luas cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lateral sering terpotong channel, di tandai splitting akibat adanya Channel kontemporer dan Washout oleh Channel subsekuen dan kandungan sulfur agak rendah. Zona di antara lower dan upper delta plain di tandai zona transisi yang mengandung karakteristik litofasies keduanya.

(61)

45

sikuen upper delta , zona ini mengandung fauna air payau yang menunjukkan kenampakan migrasi lateral lapisan point bar accretion menjadi upper delta plain, channel pada transisi delta plain ini berbutir halus dari upper delta plain, Penampang lingkungan pengendapan pada bagian transitional lower delta plain dapat dilihat pada

Gambar 3.13.

Lapisan batubara pada umumnya tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Seperti pada batubara upper delta plain, batubara di transisi ini berkembang split di daerah channel kontempore rdan oleh washout yang di sebabkan oleh aktivitas channel subsekuen.

Lapisan batubara pada daerah transitional lower delta plain terbentuk pada daerah transisi antara upper delta plain dan lower delta plain dan merupakan yang paling tebal dan penyebarannya juga paling luas karena perkembangan rawa yang ekstensif pada pengisian yang hampir lengkap dari teluk yang interdistribusi.

Gambar 3.13. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian transitional lower

(62)

46

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengolahan data dilakukan di PT. Buana Eltra selama 2 bulan (Juli 2014 hingga Agustus2014) dengan jadwal penelitian pada Tabel 4.1

Tabel 4.1. Jadwal penelitian

Tabel 4.1 merupakan tabel jadwal kegiatan penelitian di PT Buana Eltra dengan rincian sebagai berikut;

a. Studi literatur

(63)

47

b. Pengolahan data

Pada tahap pengolahan data ini merupakan tahap dimana data yang akan di proses dengan mengahasilkan suatu model yang di inginkan. pengolahan data ini di laksanakan dalam kurun waktu 5 (lima) minggu

c. Analisis data dan penyusunan skripsi

Pada tahap ini data yang telah di olah/proses maka data tersebut akan di analisis sesuai dengan ketentuan, yang kemudian melakukan penyusunan skripsi. Analisis data dan penyusunan skripsiini di laksanakan dalam kurun waktu 2 (dua) minggu

4.2. Peralatan

Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Software Rockwork 15

2. Software WellCad

3. Software Global Mapper 12

4. software autoCad 2007

5. Seperangkat komputer yang mendukung Software di atas

4.3. Data

(64)

48

4.4. Diagram Alir

Penelitian ini didasarkan pada diagram alir yang ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Mulai

Data Logging

Collar data

Analisis grafik log

Data Litologi

Korelasi antar sumur Analisis Lingkungan pengendapan Pemodelan 3D

Litologi (RW15)

Kesimpulan

Selesai Penampang

2D korelasi

Model 3D Litologi

(65)

BAB VI

KESIMPULAN

Berdasarkan analisa hasil pengolahan data, maka dapat disimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat 3 (tiga) seam batubara dengan ketebalan relatif sama dengan seam

yang sama, arah penyebaran lapisan batubara menunjukan kearah barat. Jenis batuan pada roof dan floor pada masing-masing seam berbeda.

2. Pada analisis grafik log terdapat 3 jenis endapan yaitu endapan swamp, levee

dan flood plain yang menunjukan terjadi pada lingkungan pengendapan

upperdelta plain-fluvial.

(66)

DAFTAR PUSTAKA

Bishop, M.G., 2001, South Sumatera Basin Province, Indonesia, USGS Open-file report 99-50-S.

Bushong, S.C., 2001, Radiologic Science for Technologists, 7th Edition, Mosby Company, Toronto.

Cook, A.C. 1982. The Origin and Petrology of Organic Matter in Coals, Oil Shales, and Petroleum Source-Rock. Australia:Geology Departement of Wollonggong University.

De Coster, G. L., 1974, The Geology of the Central and South Sumatra Basin, Proceedings 3rdAnnual Convention IPA, Juni 1974, Jakarta.

Diessel, C.F.K. 1992. Coal-Bearing Depositional Systems. Berlin: Springer - Verlag. Dewan Standardiasasi Nasional, 1997, Klasifikasi Sumbeer daya Mineral dan

Cadangan.

Dresser Atlas, 1982, Well Logging and Interpretation Techniques, The Course For Home Study.

Harsono, A., 1993, Pengantar Evaluasi Log, Schlumberger data servis, Mulia Center L.17, Kuningan , Jakarta

Harsono, A., 1997, Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log, Schlumberger Oilfield Service, Kuningan, Jakarta

Horne, J.C. 1978. Depositional Models in Coal Exploration and Mine Planning in

Appalachian Region

. Texas: AAPG Convention SEPM Houston.

(67)

Kuncoro, 1996, penarikan Sand Base Line dan Shale Base Line (BPB), 1981 dalam Eksplorasi Batubara.

Koesoemadinata, R.P., dan Harjono., 1977, Kerangka Sedimenter Endapan Batubara Tersier Indonesia, PIT IAGI ke VI

Pulunggono, A., Haryo, A., Kosuma, C.G., 1992, Pre-Tertiary and Tertiary fault systems as a framework of the South Sumatra Basin : a study of SAR-maps. Serra, O. 1989, Sedimentological Analysis of Sand Shale series from Well Logs,

SPWLA 16th Ann. Symp. Trans., Paper W

Sari, Linda., 2009, Potensi Batubara Indonesia. Jurnal Lingkungan, Agustus, 2009. Zuhri, I., 1990, Struktur Geologi dan Penyebaran Endapan Batubara Formasi Muara

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka  cekungan Sumatera Bagian Selatan (Bishop, 2000)
Tabel. 2.1 Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan, (Koesoemadinata, 1980)
Gambar 2.2. Peta geologi daerah penelitian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1986)
Gambar 3.1. Proses pembentukan batubara (Cook,1982)
+7

Referensi

Dokumen terkait