• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN CSR DALAM BENTUK PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN SEBAGAI WUJUD TANGGUNG JAWAB EKSTERNAL PERUSAHAAN DI PTPN VII (PERSERO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN CSR DALAM BENTUK PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN SEBAGAI WUJUD TANGGUNG JAWAB EKSTERNAL PERUSAHAAN DI PTPN VII (PERSERO)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTATION OF CHECK AND BALANCES BETWEEN LOCAL GOVERNMENT AND

LOCAL LEGISLATIVE AT LAMPUNG PROVINCE BY

IHSAN SUBAKTI

Check and balances is systems of authority equalization between institution both central government and local government. According acts number 32 in 2004, local government is local government and legislative government. Check and balances systems was meant both of institution in doing self authority are able to produce politics system and local government system democratically.

Problem of research are how check and balances application are in implementation of local government and how implementation checks and balances are between local government and legislative government at Lampung province.

This research used normative juridical and empiric juridical. Data analyzed in this research used qualitative descriptive. Qualitative descriptive analysis was done to describe fact which is consists of arrangement explanations systematically so it will get conclusion easily.

According to result research could be known that Indonesia local government is, according to Acts number 32 in 2004 states pattern of local government and local legislative relations have same authority, because they are the same as the elements of local government. Relationship both of institutions is shown at duty, function, self authority by check and balances principles. Specifically, in establishing of local policy that is local regulation (Perda) and formalize revenue budget expenditure local (APBD).

Implementation of check and balances between local government and legislative government at Lampung province during 2009 – 2014 are not well. Authority practices abuse still occurs during this period. For example, it is not proposed change of formalize revenue budget expenditure local planning (RAPBD)2013 which causes Lampung governor election delayed, so it neglect of people political rights ( Local democracy instabilities Lampung).

(2)

IHSAN SUBAKTI

Checks and balances merupakan sistem perimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dalam suatu pemerintahan baik pusat maupun daerah. Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sistem check and balances dimaksudkan agar kedua lembaga dalam menjalankan kewenangannya masing-masing mampu menghasilkan sistem politik dan sistem Pemerintahan Daerah yang demokratis.

Permasalahan dalam tesis ini adalah bagimana penerapan checks and balance

dalam penyelenggraan Pemerintah Daerah di Indonesia dan bagimana penyelenggaraan checks and balances antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah di Provinsi Lampung.

Pembahasan dalam penelitian tesis ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Analisis deksriptif kualitatif dilakukan untuk melukiskan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan penelitian yang berbentuk penjelasan-penjelasan tersusun secara terperinci dan sistematis sehinggga akan mudah melakukan penarikan terhadap suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pemerintahan daerah di Indonesia berdasrakan Undang-Undang No.32 tahun 2004 menegaskan pola hubungan Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berkedudukan sederjat, karena sama-sama sebagai unsur penyelenggrara pemerintahan daerah. Pola hubungan kedua lembaga diletakan pada kerangka tugas, fungsi, kewenangan masing-masing dengan prinsip check and balances. khususnya dalam membuat kebijkan daerah berupa Peraturan Daerah (Perda) dan merumuskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) .

Implementasi checks and balances anatara Pemerintah Darah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Provinsi Lampung dalam kurun waktu 2009-2014, belum sepenuhnya berjalan baik. Praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan masih terjadi selama kurun waktu tersebut. Misalnya, tidak diajukannya RAPBD Perubahan Tahun 2013 yang berakibat tertundanya Pilgub Lampung sehingga berdampak pada diabaikannya hak-hak politik rakyat (instabilitas demokrasi lokal Lampung).

(3)

Tesis

Senagai salah satu syarat untuk mencapai gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

Oleh IHSAN SUBAKTI

1222011020

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

DI PROVINSI LAMPUNG (Tesis)

Oleh

IHSAN SUBAKTI 1222011020

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Penilitian ... 9

2. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Kegunaan Penelitian ... 10

D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori ... 10

(9)

B. Kedudukan DPRD dalam Sistem Pemerintahan Indonsia ... 20

C. Tugas dan Wewenang Kepala Daerah dan DPRD Dalam Sistem Pemerintahan ... 49

D. Tata Hubungan Kerja Anatara Pemerintah Daeah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD ... 53

III. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Masalah ... 56

2. Sumber Data ... 57

3. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 57

4. Analisis Data ... 58

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSASN A. Peranan Checks and Balances Dalam Sistem Pemerintahan Pemerintahan Daerah di Indonesia ... 60

B. Penyelenggaraan Checks and Balances antara Pemerintah Daerah dan DPRD 1. Check and Balance Dalam Legislasi ... 70

2. Check and balances Dalam Hal Anggaran ... 91

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 101

(10)

1. Tabel 1.1 Daftar Perda/Raperda yang ditetapkan, sedan

dan akan dibahas DPRD Provinsi Lampung ... 72

2. Tabel 1.2 Perda yang ditetapkan pada Tahun 2009 ... 77

3. Tabel 1.3 Perda yang ditetapkan pada Tahun 2010 ... 80

4. Tabel 1.4 Perda yang ditetapkan pada Tahun 2011 ... 81

5. Tabel 1.5 Perda yang ditetapkan pada Tahun 2012 ... 82

6. Tabel 1.6 Perda yang ditetapkan pada Tahun 2013 ... 82

7. Tabel 1.7 APBD Tahun 2010 ... 94

8. Tabel 1.8 APBD Tahun 2012 ... 95

(11)
(12)
(13)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Bismillahirrohmanirrahim

Tesis ini saya persembahkan kepada Alamamater saya Program Studi Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung

Istriku Kristina dan Anak-anakku tercinta Farid Abdurrahman Ghifari, Fathiyah Q.A, M. Fakhri Ali, dan Fayza Aulia Izzatunnisa

(14)

Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk

berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.”

(15)

Penulis dilahirkan di Desa Waygalih, Kecamatan Candipuro Lampung Selatan, pada tanggal 12 April Tahun 1971 sebagai anak ke enam dari sembilan bersaudara dari Bapak H.M. Fajri (alm) dan Hj.Suryati.

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terkonsentrasinya kekuasaan hanya pada satu tangan (eksekutif) pernah dipraktikan pada Pemerintahan Orde Baru sedemikian lama (30 tahun). Dengan sistem penyelenggrakan kekuasaan pemerintahan yang sentralistik bisa dipastikan tidak ada sistem yang menjamin adanya perimbangan kekuasaan (checks and balances).

Tumbangnya Orde Baru dan kemenangan gerakan reformasi yang berhasil melaukan perubahan (amandemen) UUD 1945, berdampak pada perubahan sistem Ketatanegaraan Indonesia secara fundamental dari pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balances. Dengan demkian merubah pula pola hubungan antar lembaga-lembaga negara seperti MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, termasuk pada hubungan pemerintah pusat dan daerah serta mekanisme checks and balances di daerah.1

Berlakunya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah pada masa Orde Baru, yang memperlihatkan bagaimana dominasi pusat atas daerah sangat masif. Hal tersebut berkaitan dengan ketentuan yang memberikan keleluasaan kepada pusat untuk menentukan kepala daerah/wilayah tanpa terikat pada peringkat hasil

1

(17)

pemilihan oleh DPRD. DPRD hanya dijadikan mesin politik pusat untuk mencalonkan kepala daerah/wilayah.

Kepala Daerah selain sebagai organ di daerah juga sebagai aparat pusat dan berkedudukan sebagai penguasa tunggal di daerah yang memegang kekuasaan eksekutif sekaligus legislatif, sehingga posisi DPRD menjadi lemah. DPRD hanya dijadikan justifikasi dari berbagai kebijakan yang datang dari eksekutif (kepala daerah)2

Lahirnya UU No.22 Tahun 1999 merupakan produk hukum baru di awal reformasi tentang Pemerintah Daerah menggantikan UU No.5 Tahun 1974 yang sentralistik. UU yang baru ini justru kebalikannya menempatkan posisi DPRD menjadi sangat kuat. Lembaga ini bukan lagi menjadi bagian dari pemerintah daerah melainkan menjadi lembaga legislatif daerah yang dapat meminta, menerima, dan menolak serta menjatuhkan mosi kepada kepala daerah. DPRD berwenang memilih secara final kepala daerah untuk kemudian mengawasi, meminta laporan pertanggungjawaban, bahkan bisa menjatuhkannya.3

Perubahan fundamental dari sistem lama yang sentralistik menjadi desentarlistik ternyata dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak persolan besar. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bukan semakin hilang melainkan semakin subur di bawah sisitem baru tersebut. Dalam setiap pemilihan kepala daerah selalu muncul isu politik uang dalam bentuk pembelian suara anggota-anggota DPRD. Ada juga

2

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm, 103.

3

(18)

pemerasan terhadap kepala daerah dengan menjadikan laporan pertanggungjawaban tahunan sebagai alatanya.

Atas dasar itulah kemudian UU No. 22 Tahun 1999, direvisi dan dirubah menjadi UU No.32 Tahun 2004. UU yang baru menyatakan hubungan antara Pemrintah Daerah dan DPRD sebagai mitra sejajar, karena kedua lembaga sama-sama sebagai unsur peneyelenggraan pemerintahan daerah.

Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 19 ayat (2) bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemerintah Daerah Provinsi dipimpin oleh Gubernur yang mempunyai kedudukan sebagai Kepala Daerah dan sekaligus sebagai Kepala Wilayah mewakili Pemerintah Pusat. Sedangkan DPRD di Provinsi maupun di kabupaten/kota pada umumnya disebut lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif. Namun, fungsi legislatif di daerah tidaklah sepenuhnya berada pada tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungannya dengan Presiden. Sebagi contoh, kewenangan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi berada di tangan Gubernur dengan persetujuan DPRD. Dengan demkian, dapat dikatakan bahwa Gubernur tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif. Meskipun demikian, jika setelah Raperda disetujui bersama Gubernur tidak menetapkannya sebagai Perda, Perda tetap sah dan diundangkan melalui lembaran daerah.

(19)

penyelenggaraan pemerintah daerah. Selain itu, pada Pasal 41 DPRD juga mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan demikian hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD adalah hubungan kemitraan atau sederajat saling mengntrol satu sama lain.

Hal lain, yang sangat prinsipil terdapat dalam UU No.32 Tahun 2004, tentang Pemrintah Daerah menyangkut pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung. Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung dinilai lebih bersifat demokratis karena sesuai amanat konstitusi. Selain itu, sistem pemilihan kepala daerah langsung ini memberikan kesempatan luas kepada rakyat untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya secara demokratis yaitu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia jujur, dan adil.4

Pemilihan secara langsung yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.32 tahun 2004, berdampak pada pola hubungan antara DPRD dan pemerintah daerah. Sebagimana ditegaskan pada Pasal 19 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 diuraikan di atas, bahwa paraktik penyelenggraan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagi unsur penyelenggran pemerinatahan daerah.

Dengan demikian posisi antara Pemerintah Daerah dan DPRD semestinya sejajar, tidak saling membawahi atau saling menjatuhkan. Berdasarkan pengertian ini, bermakna bahwa penyelenggraan pemerintah daerah, fungsi dan peran tersebut

4

(20)

tidak hanya diemban oleh kepala daerah dan perangkat daerah saja, namun lembaga DPRD juga terlibat dalam penyelenggraan tugas pemerintahan tersebut.5

Kepala Daerah memimpin penyelenggraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD. Berdasarkan Suarat Edaran (SE) No.120/1306/SJ tanggal 7 Juli 2005, Kepala Daerah hanya menyampaikan informasi yang bersifat laporan kepada DPRD. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) tentang pelaksanaan tugas-tugas dalam satu tahun terakhir atau laporan pada masa akhir jabatan. DPRD tidak dapat menolak dan tak harus menerima LKPj, oleh karenanya DPRD tidak dapat menjatuhkannya. DPRD hanya boleh memberi catatan starategis yang dituangkan dalam keputusan DPRD untuk ditindaklanjuti oleh Kepala Daerah dalam melaksanakan pemerintahan ke depan.

Berdasarkan UU tersebut di atas terjadi perimbangan kekuasaan antar Pemda dan DPRD. Checks and Balances antara pemerintah daerah dan DPRD dalam menjalankan pemerintahanan daerah berdasarkan fungsi, tugas, dan kewenangnnnya masing-masing mestinya menjadi sistem perimbangan kekuasaan agar tidak terjadi perbuatan sewenang-wenang (abuse of power). Apalagi konstitusi memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah berupa hak desentralisasi dan otonomi. Oleh karenanya, checks and balances antara Pemerintah daerah (kepala daerah) dengan DPRD sangat diperlukan agar praktik-praktik kekuasaan yang menindaas seperti yang dialami sistem lama yang

5

(21)

tersentralisasi, tidak muncul dalam bentuk otoritarianisme pemerintahaan daerah.6

Pemerintahan Daerah Provinsi Lampung sebagai bagian dari NKRI dalam penyelenggraaan pemerintahannya berdasarkan UU No.32 Tahun 2004. Pola hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Lampung adalah sama-sama unsur penyelenggra pemerintahan daerah. Pola hubungan yang demikian

memungkinkan kedua lembaga bisa “bekerjasama” dan melakukan checks and

balances.

Hal ini, berbeda ketika berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, yang menempatkan Pemerintah Daerah berhadapan secara diameteral dengan DPRD. DPRD bukan bagian dari Pemerintah Daerah, tetapi sebuah lembaga legislatif daerah yang mempunyai kedudukan yang kuat karena dapat meminta, menerima, menolak serta menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kepala daerah (impachement).

Hal itu sebagai konsekuensi dari kepala daerah dipilih oleh DPRD. Dalam hal legislasi misalnya, DPRD sebagai badan legislatif daerah juga berfungsi sebagaimana fungsi DPR RI. Dengan demikian, berlakuanya UU No. 22 Tahun 1999 dipandang tidak bisa menciptakan stabilitas pemerintahan daerah, karena sewaktu-waktu pemerintah daerah karena sesuatu dan lain hal, seperti mosi tidak percaya misalnya, bisa dijatuhkan oleh DPRD. Seperti juga dialami Pemerintahan Daerah Provinsi Lampung sebelumnya, hubungan antara Pemerintah dan DPRD selalui diwarnai konflik.

6

(22)

Oleh karenanya, berlakunya UU No.32 Tahun 2004 dipandang suatu yang ideal dalam konteks penyelenggraan pemerintahan daerah karena menempatkan DPRD dan Pemerintah daerah dalam poisisi yang seimbang, tidak saling membawahi dan tidak bisa menjatuhkannya. Pemerintahan Daerah cenderung stabil, hal ini karena dalam UU tersebut diadopsinya pemilihan kepala daerah langsung. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3, 4, dan UU No.32 Tahun 2004 bahwa pemberhentian kepala daerah karena melanggar hukum misalnya, melalui proses yang panjang: proses hukum di Mahkamah Agung dan proses politik di DPRD sendiri .

Meskipun demikian, ada juga yang berpandangan UU No.32 Tahun 2004, tersebut menempatkan posisi DPRD menjadi lemah, karena berada dalam satu

“kotak” yang sama: sama-sama sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

Daerah bersama Pemerintah Daerah.

Namun demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah prinsip checks and balances antara Pemerintah Daerah dan DPRD secara tegas dinyatakan dalam kerangka tugas, fungsi, dan wewenang kedua lembaga : Pasal 25 dan 42 UU No.3 2 Tahun 2004.

(23)

dengan lancar hingga tertunda tiga kali, meskipun pada akhirnya Pilgub terselenggara di Tahun 2014.

Polemik bermula ketika Gubernur tidak mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Darah (APBD) Perubahan 2013. Padahal, berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang berlaku di seluruh daerah di Indonesia menginstruksikan bagi Kepala Daerah yang habis masa jabatannya di tahun 2014, termasuk Lampung, maka Pilkada dipercepat dan dilaksanakan di Tahun 2013.

Namun, Gubernur menolak Pilkada dipercepat di Tahun 2013, karena alasan APBD Tahun 2013 sudah berjalan dan mengalami defisit. Dari polemik yang demikian lama tersebut tidak saja menaikkan suhu perpolitikan Lampung dan menimbulkan konflik vertikal dan horizontal, tetapi juga dari sisi subtansinya bahwa sepenjang sejarah kemerdekaan Indonesia baru pertama kali ini ada pemerintahan daerah menolak pilkada dengan dalih ketiadaan dana. Padahal Pilkada merupakan perwujudan kedaulatan rakyat (Demokrasi) lokal, sebagaimana tujuan lahirnya UU tentang Pemerintahan daerah adalah dalam rangka otonomi luas dan demokratisasi.

Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan dan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut dalam bentuk tesis yang berjudul, “ Implementasi Checks and Balances Antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Di Provinsi Lampung .”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

(24)

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaiamanakah Penerapan Checks and Balances dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia?

b. Bagaimanakah Implementasi Checks and Balances antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Provinsi Lampung ? 2. Ruang Lingkup Penelitian

Agar dalam penelitian tidak terjadi perluasan yang menyimpang dari judul, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian dari dua sisi: Pertama, ruang lingkup subtansi penelitian dibatasi pada Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua, ruang lingkup wilayah penelitian dibatasi pada Pemerintahan Provinsi Lampung Priode 2009-2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan dalam tesis ini adalah:

a. Menganalisis penerapan checks and balances dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Indonesia.

(25)

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberi kegunaan:

a. Secara Teoritis

Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca tesisi ini, minimal dapat memahamai bagaimana sebenarnya penyelenggaraan checks and balances antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai instrumen penting dalam mewujudkan kemandirian daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan secara praktis pembaca dapat mendiskripsikan mengenai Penyelenggaraan cheks and balances antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah yang sesungguhnya sehingga mampu memberikan konstribusi yang positif atau solusi terhadap berlangsungnya proses penyelengaraan pemerintahan daerah sesuai dengan semangat dan cita-cita yang tertuang dalam Undang-Undang 1945.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Dalam menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan beberapa teori berikut ini:

(26)

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Daerah provinsi disamping memilki status sebagai daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah adiminstrasi.

Berdasarkan Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali pada beberapa bidang kewenangan yang dikecualikan, yaitu dalam politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter daan fiskal nasioanl, dan urusan agama.

Segala kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi disertai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Kewenangan yang diserahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai pula dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan.

Dengan demikian, pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya mengalihkan beban dan tanggung jawab ke daerah, tetapi juga mengalihkan beragai kewenangan dan hak-hak yang dikuasai oleh pusat kepada daerah. Bahkan, untuk melaksanakan agenda otonomi tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat daerah diberdayakan dengan fasilitas dan dana yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut sebagaimana mestinya.7

7

(27)

b. Teori Kewenangan

Teori ini menyatakan kewenangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan suatu bidang pemerintahan.8 Kewenangan dibedakan dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfreglen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.9

Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari perundang-undangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara, yaitu:10

1. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan yang beradsal dari undang-undang

2. Delegasi adalah pemindahan/pengalihan kewenangan yang ada atau dengan kata lain pemindahan kewenangan atribusi kepada pejabat diwahnya dengan dibarengi pemindahan tanggungjawab

3. Mandat dalam hal ini tidak ada sama sekali pengakuan kewenngan atau pengalihan kewengan, yang ada hanya janji kerja intern antara

S.Prajudi Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo, Jakarta, 1994, Hlm,78

9

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994

10

(28)

Teori ini menyatakan bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Otonomi bukan hanya pemencaran penyelanggaraan pemerintahan untuk efesiensi dan efektivitas saja, melainkan otonomi adalah sebuah tatanan administrasi negara. Oleh sebab itu, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.11

d. Teori Pembatasan Kekuasaan Negara

Teori ini menegaskan salah satu ciri negara hukum ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan ini dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. 12 Hadirnya ide pembatasan kekuasaan tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam satu tangan orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut. Misalnya perekembangan sejarah ketatanegaraan Inggris, raja pernah begitu berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan negara (law-giver, the executor of the law, and the judge) dalam satu tangan. Karena itu, sejarah pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan ke dalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut).13

11

Yuswanto, Hukum Desentraliasi Keuangan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm, 1-7.

12

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Sekertariat Jenderal Kapniteraan RI, Jakarta 2006, Hlm 11.

13

(29)

Berhubungan dengan pembatasan kekuasaan ini, Mariam Budiarjo dalam

buku “Dasar-dasar Ilmu Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan

horizontal. Secara Vertikal, kekuasan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan antartingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu dengan membedakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif.14

Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran ketatanegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali dikemukan oleh John Locke dalam buku “Two Treaties of Cicil Government”. Dalam buku tersebut John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu, kekuasaan legislatif (legislative power),

kekuasan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan membentuk undang, eksekutif adalah melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan dengan negara lain.15

14

Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1989, Hlm 138.

15

(30)

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan susunan dari berbagai konsep sebagai satu kebulatan utuh, sehingga terbentuk wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian dan penulisan.16 Konseptual merupakan gambaran dari konsep-konsep khusus dalam bentuk istilah-istilah kunci yang digunakan dalam penelitian atau penulisan. Adapun istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan tesisi ini adalah:

a. Check and Balances

Secara etimologis, checks and balances memiliki dua suku kata, yakni

checks dan balances. Komponen pertama mengandung arti adanya hak untuk ikut memeriksa / menilai / mengawasi / mencari informasi dan konfirmasi terhadap suatu keadaan (the right to check); sedangkan komponen kedua merujuk pada alat untuk keseimbangan (the means to actively balance out imbalances). Instrumen ini dinilai sangat penting mengingat secara alamiah manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung menyalahgunakan, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).

Secara tersirat dapat ditangkap bahwa esensi pokok dari prinsip checks and balances ini adalah menjamin adanya kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan negara sekaligus menghindari terjadinya interaksi atau

16

(31)

campur tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Dengan kata lain, inti gagasan demokrasi konstitusional adalah menciptakan keseimbangan dalam interaksi sosial politik. Namun, upaya menciptakan keseimbangan tersebut tidak dilakukan dengan melemahkan fungsi, mengurangi independensi, atau atau mengkooptasi kewenangan lembaga lain yang justru akan mengganggu kinerja lembaga yang bersangkutan.

Dengan demikian, checks and balances sesungguhnya bukanlah tujuan dari penyelenggaraan entitas politik bernama negara (nation-state). Konsep ini lebih merupakan elemen pemerintahan demokratis untuk mewujudkan cita-cita besar membangun sosok pemerintahan yang demokratis (democratic and egalitarian), bersih dan kuat (good and strong), serta mendorong perwujudan good society, melalui penyempurnaan tata hubungan kerja yang sejajar dan harmonis diantara pilar-pilar kekuasaan dalam negara.17

b. Pemerintah Daerah

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 yat (2) UU No. 32 Tahun 2004, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang dasar Republik Indonsea Tahun 1945.

17

(32)

c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemerintah dan Pemerintahan Daerah

Dalam percakapan sehari-hari penggunaan istilah “pemerintah” dan

“pemeritahan”, sering dicampuradukkan. Sekan-akan keduanya mempunyai arti

yang sama, padahal keduanya mempunyai arti berbeda. Secara etimologis, menurut Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang1 mendifiniskan pemerintah sebgai berikut:

“Istilah pemerintah berasal dari kata “perintah” yang berarti menyuruh melakukan

sesuatu, sehingga dapatlah dikatakan bahwa:

1. Pemerintah adalah kekuasaan tertinggi untuk memerintah dalam suatu negara. Pemerintah adalah nama subyek yang berdiri sendiri, sebagai contoh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2. Pemerintahan dilihat dari segi bahasa berasal dari kata pemerintah, merupakan subyek yang mendapat akhiran an. Artinya pemerintah sebagai subyek melakukan tugas/kegiatan. Sedangkan cara melakukan tugas/kegiatan itu disebut pemrintahan. Atau dengan kata lain pemerintahan disebut juga perbuatan memerintah. Sedangkan tambahan akhiran an dapat juga diartikan sebagai bentuk jamak atau dapat diartikan lebih dari satu pemerintahan. Selanjutnya dalam kepustakaaan Inggris dijumpai perkataan “government”

1

(34)

yang acapkalai diartikan baik sebagai “pemerintah” maupun “pemerintahan”.

Pengertian Pemerintahan yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mariun2:

“Istilah pemrintahan menunjuk kpada tugas pekerjaan atau fungsi. Sedangkan

istilah pemerintah menunjuk kepada badan, organ, atau alat perlengkapan yang menjalankan fungsi atau bidang tugas pekerjaan. Dapat dikatakan kalau pemerintahan menunjuk kepada obyek, sedangkan istilah pemerintah menunjuk kepada subyek.

Pemerintahan Daerah memiliki tugas untuk mengurus segala urusan rumah tangga di daerah masing-masing demi tujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas pembangunan daerah demi mensejahterakan masyarakat.

Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) mengamanatkan:

“Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh

pemerintah daerah da n DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan perinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Tahun 1945.”

Selain itu, pada Pasal 18 ayat (5) juga mengamantkan bahwa,” pemerintahan daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewengan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

2

(35)

Pemerintahan Daerah memilki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemrintahan daerah lainnya dalam menyelenggrakan urusan pemerintahan, yang meliputi wewenang, keuangan, pelayan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan seumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan tersebut diats menimbulkan hubungan administrasi dan kewajiban antar susunan pemerintahan.

Pelaksanaan Pemerintah Daerah yang seharusnya di dalam prakteknya sesuai dengan asas legalitas. Pemerintah Daerah harus bertindak sesuai dengan kewenangan yang berlaku. Pemerintah daerah tidak boleh bertindak dengan menyalahgunakan wewenang dengan melampaui wewenang atau tanpa wewenang, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan Negara Sejahtera (welfare state).

B. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Sisitem Pemerintahan Indonesia

1. Kedudukan DPRD dalam Sistem Pemerintahan Indonesia

(36)

atau division of power), mengikuti model Trias Politica-nya Montesqiue, meskipun tidak sepenuhnya.3

Pada UUD 1945 yang asli, Presiden merupakan satu-satunya mandataris MPR, sehingga kekuasaan bertumpuk pada satu tangan. Kalimat dalam

Penjeasan Butir IV UUD 1945 (Asli) yang berbunyi : “Dalam menjalankan

pemerintahkan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden. Adanya pemusatan kekuasaan dan tanggung jawab di tangan presiden akan mendorong presiden menjadi otoriter. Begitu juga penjelasan

bahwa “Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas”, menunjukkan sangat

luasnya kekuasaan presiden, baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala Negara.

Sejarah pemerintahan telah memberikan bukti yang nyata pada masa pemerintahan masa Soekarno maupun Soeharto, yakni mengenai luasnya kekuasaan presiden yang kemudian pada akhirnya menunjukkan anomaly-anomali yang membawa kesengsaraan bagi rakyat karena menderita kemiskinan maupun konflik antar anak bangsa. Sebagai satu-satunya mandataris MPR, presiden melakukan intervensi kekuasaan pada cabang-cabang pemerintahan lainnya seperti cabang-cabang legislatif (DPR), yudikatif (Mahkamah Agung) maupun BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Intervensi tersebut diperkuat oleh pasal-pasal di dalam UUD 1945 yang asli.

Pada pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (Asli) dikemukakan bahwa : “Presiden

memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”.

3

(37)

Padahal kekuasaan membentuk undang-undang adalah kekuasaan legislatif yang seharusnya menjadi kekuasaan DPR. Sejarah pemerintahan kemudian membrikan bukti bahwa pada masa itu hamper semua undang-undang datang dari pihak pemerintah. DPR sebagai penyelenggara fungsi legislasi hanya lebih banyak berposisi sebagai pembahas terhadap rancangan undang-undang yang datang dari Pemerintah. Terlebih pada waktu itu ada hegemoni satu partai (yakni Golkar) sehingga sebagian besar anggota DPR tidak berani bersuara vokal, khawatir direcall oleh partainya.

Dikaitkan dengan sistem pemerintahan, perubahan paradigma pemerintahan dari paradigma pembagian kekuasaan ke paradigma pemisahan kekuasaan menimbulkan berbagai konsekuensi logis. Pertama, yakni penguatan peran DPR sebagai lembaga legislatif. Hal ini terlihat pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (Amandemen) yang berbunyi : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Implementasinya kemudian dapat dilihat dari banyaknya inisiatif DPR dalam pembuatan undang-undang. Rencana kerja DPR dalam pembuatan undang-undang tertuangdalam Program Legislasi Peraturan Perundang-undangan yang berasal dari inisiatif DPR, rakyat diberi kebebasan yang luas untuk berpatisipasi dalam pelaksanaan kebijakan publik, tetapi tidak pernah terlibat dalam perumusan maupun evaluasi kebijakan publik.

2. Kedudukan DPRD Dalam Sistem Pemerintah Daerah

(38)

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga perwakilan rakyat daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi; menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya; serta mengembangkan mekanisme check and balances antara DPRD dan Pemerintah Daerah; serta meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota DPRD demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat, dilakukan pemilihan wakil rakyat melalui proses pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

3. DPRD Sebagai Salah Satu Unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah

(39)

presiden. Dengan demikian, apa yang dikerjakan oleh pemerintah daerah dan DPRD merupakan ranah eksekutif. Cabang-cabang pemerintahan lainnya seperti legislatif dan yudikatif tidak pernah memancarkan kekuasaannya untuk didesentralisasikan kepada otonomi daerah.

Kerancuan kedudukan DPRD dalam sistem pemerintahan daerah dan sistem pemerintahan negara timbul karena tiga hal. Pertama, nama yang digunakan adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD sehingga berkonotasi seperti DPR-nya daerah otonom, sehingga pengaturannya disamakan dengan DPR. Hal tersebut terlihat dari pengaturan mengenai susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPRD selalu menjadi satu dalam undang-undang yang mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DRP. Kedua, proses pengisian anggota DPRD yang dilakukan melalui pemilihan umum bersama-sama dengan pemilihan anggota DPR, sehingga para anggota DPRD merasa seperti anggota DPR di tingkat daerah.

Hal tersebut secara tegas diatur pada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa : Pemilihan Umum adalah pemilihan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Ketiga, fungsi-fungsi yang dijalankan DPRD sama dengan fungsi-fungsi yang dijalankan DPR hanya berbeda cakupannya saja, sehingga memperkuat anggapan bahwa DPRD adalah DPR-nya daerah otonom.

(40)

Peraturan daerah tersebut apabila bertentangan dengan perundang-undangan yag lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan kepentingan umum dibatalkan oleh Presiden, bukan oleh Mahkamah Agung. Hal ini semakin mempertegas bahwa apa yang dikerjakan oleh Pemerintahan Daerah merupakan derivasi dari kekuasaan eksekutif di tingkat nasional.

4. DPRD Sebagai Badan Legislatif Daerah

Berdasarkan Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2004, 4Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selnjutnya pada Pasal 41 disebutkan lembaga ini juga mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

1. Fungsi Legislasi

Secara umum yang dimaksudkan dengan fungsi legislasi adalah fungsi untuk membuat peraturan daerah. Hal ini ditegaskan pada Pasal 42, UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa :

a. DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.

b. DPRD membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah.

4

(41)

Melalui fungsi legislasi ini sesungguhnya menempatkan DPRD pada posisi yang sangat strategis dan terhormat, karena DPRD ikut menentukan keberlangsungan dan masa depan daerah. Hal ini juga harus dimaknai sebagai amanah untuk memperjuangkan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.5

Fungsi legislasi adalah suatu proses untuk mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak pemangku kepentingan (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan. Oleh karena itu fungsi ini dapat mempengaruhi karakter dan profil daerah melalui peraturan daerah sebagai produknya. Disamping itu, sebagai produk hokum daerah, maka peraturan daerah merupakan komitmen bersama para pihak pemangku kepentingan daerah yang mempunyai kekuatan paksa.

Dengan demikian fungsi legislasi mempunyai arti yang sangat penting untuk menciptakan keadaan masyarakat yang diinginkan (sebagai social engineering) maupun sebagai pencipta keadilan sosial bagi masyarakat. Mengingat arti penting dari fungsi legislasi bagi penyelenggaraan desentralisasi, maka perlu penjabaran secara lebih rinci mengenai peranan legislasi yang produknya berbentuk peraturan daerah (Perda). Peranan tersebut meliputi :

1) Perda menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di daerah. 2) Perda sebagai dasar perumusan kebijakan publik di daerah

3) Perda sebagai kontrak sosial di daerah

4) Perda sebagai pendukung pembentukan perangkat daerah dan susunan organisasi perangkat daerah.

5

(42)

Sebagai kebijakan pubilik tertinggi di daerah, Perda harus menjadi acuan seluruh kebijakan publik yang di buat termasuk didalamnya sebagai acuan daerah dalam menyususn program pembangunan daerah. Contoh kongkritnya adalah Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dan Rencana Pembangunan jangka Menengah (RPJM) atau Rencana Strategis Daerah (Renstrada).6

Sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor XI tahun 1998 serta undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, maka ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan Negara yang baik (good governance). Dalam penerapan asas tersebut untuk penyelenggaraan Pemerintahan daerah yang bersih dan bebas dari KKN, maka asas asas tersebut juga merupakan acuan dalam penyusunan Perda sebagai peraturan pelaksanaannya di daerah.

Berdasarkan skala prioritas pembuatan peraturan daerah dibuat table untuk mengetahui apakah substansi suatu peraturan daerah sudah ada ternyata tidak dibutuhkan lagi sehingga perlu dicabut, masih diperlukan dengan mengadakan beberapa perubahan, atau perlu dibentuk peraturan daerah yang baru. Bentuk tabulasi ini disamakan dengan tabulasi penetapan program legislasi daerah yang berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Peran ini dapat dimainkan oleh Panitia Legislasi (Panleg) sebagai alat kelengkapan DPRD lainnya.

6

(43)

Meskipun sudah disusun Prolegda, dalam perjalanan waktu dapat saja disisipkan rancangan perda lainnya di luar yang telah tertuang dalam Prolegda. Pertimbangannya yaitu :

a) Adanya perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden) yang memerintahkan untuk membuat perda sebagai tindak lanjut dari peraturan perundangan diatasnya.

b) Adanya kebutuhan yang sangat mendesak kerana adanya perubahan situasi dan kondisi di luar perkiraan pada saat menyusun Prolegda. Tambahan pembuatan rancangan perda diluar skema yang telah ditetapkan dalam Prolegda disepakati bersama antara kepala daerah dan DPRD, sehingga tidak menimbulkan konflik dikemudian hari.

2. Fungsi Anggaran

Makna anggaran dapat dilihat melalui tiga pendekatan. Pertama, secara etimologis anggaran berasal dari bahasa Belanda begrooting artinya mengirakan, dan bahasa inggris budget yang dalam bahasa Perancis

boungette artinya pinggang yang terbuat dari kulit binatang yang digunakan untuk menyimpan surat-si\urat anggaran oleh Menteri Keuangan. Dalam bahasa Indonesia anggaran berasal dari kata anggar yang artinya kira-kira atau perkiraan.

(44)

tersedia untuk memenuhi aspirasi masyarakat menuju penciptaan kehidupan rakyat yang lebih baik di masa yang akan dating, (2) Rencana keuangan Pemda untuk membangun perikehidupan masyarakat yang tentunya semakin berkembang dan dinamis yang tercermin dalam kegiatan, untuk mendorong rakyat dalam memenuhi kewajibannyasebagai warga Negara. (3) Proses penentuan jumlah alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap program dan aktivitas dalam bentuk satuan uang. (4) Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran Daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja, disebut anggaran kerja. Kinerja harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik, yang berarti berorientasi pada kepentingan publik.7

a. Prinsip-prinsip Anggaran

Menurut pandangan World Bank (1998),8 prinsip pokok dalam anggaran dan manajemen keuangan daerah yaitu sebagai berikut : 1. Komprehensif dan disiplin

2. Fleksibel 3. Terprediksi 4. Kejujuran 5. Informasi

6. Transparansi dan akuntabilitas

Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah yaitu :

7

Ibid, 106

8

(45)

a) Transparansi

Masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran, karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat terutama pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. b) Akuntabilitas

Prinsip pertanggungjawabab publik yang berarti proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

c) Value of money, prinsip ini sesungguhnya merupakan penerapan tiga aspek yaitu ekonomi, efisiensi dan efektifitas.

Ekonomi, berkaitan dengan pemilikan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu ada harga yang paling murah. Effisiensi, penggunaan dana masyarakat (public money) harus dapat menghasilkan output maksimal (berdayaguna). Effektif, penggunaan anggaran harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan public.

Menurut peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa prinsip-prinsip anggaran adalah :

(46)

(b) Seluruh pendapatan, belanja, dan pembiayaan dianggarkan dalam bruto

(c) Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai serta berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(d) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus diperkuat dengan dasar hukum yang melandasinya.

b. Kepentingan dan Fungsi Anggaran

Fungsi penganggaran mempunyai peranan sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan daya saing. Anggaran pada ringkat daerah (APBD) mempunyai hubungan yang signifikan dengan anggaran pada tingkat nasional (APBN), yaitu sebagai alat untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal secara vertikal. Selain itu juga mengatasi persoalan ketinpangan fiskal horizontal (membandingkan antara kebutuhan fiskal dengan kemampuan fiskal untuk menentukan atau menghitung celah fiskal. Selain itu juga untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik dan pelayanan sipil ke daerah-daerah lainnya.

Anggaran sektor publik menjadi penting dengan alasan :

(47)

b. Adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang sedangkan sumber daya yang ada terbatas.

c. Untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat.

d. Anggaran publik mempunyai beberapa fungsi utama yang harus dipenuhi.

Fungsi utama anggaran sektor publik menurut Mardiasmo9 adalah : a) Sebagai alat perencana (planning tool) digunakan untuk :

- Merumuskan tujuan dan sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan.

- Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan serta merencanakan alternatif sumber pembiayaan.

- Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun.

b) Sebagai alat pengendalian (control tool).

Anggaran sebagai instrument pengendalian diigunakan untuk menghindari adanya salah sasaran anggaran.

c) Sebagai alat politik (political tool)

Anggaran digunakan untuk memutuskan prioritas program/kegiatan san kebutuhan pendanaan untuk melaksanakan program prioritas tersebut.

d) Sebagai alat kebijakan Fiskal (fiscal tool)

9

(48)

Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah digunakan untuk menstabilkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

e) Sebagai alat koordinasi dan komunikasi (coordination and communication tool)

Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi.

f) Sebagai alat penilaian kerja (performance tool)

Kinerja pemerintah daerah dinilai berdasarkan berapa yang berhasil dicapai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan.

g) Sebagai alat motivasi (motivation tool)

Target anggaran hendaknya jangan terlalu tinggi sehingga tidak dapat dipenuhi namun juga jangan terlalu rendah sehingga terlalu mudah untuk dicapai.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, bahwa APBD mempunyai fungsi :

a) Otoritasi, dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pda tahun yang bersangkutan.

b) Perencanaan, pedoman bagi menajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan

(49)

d) Alokasi, menciptakan lapangan kerja (mengurangi pengangguran dan pemborosan SD) serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

e) Distribusi, kebijakan harus memperhatikan keadilan dan keutuhan f) Stabilisasi, alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan

fundamental perekonomian daerah. 3. Fungsi Pengawasan

Konsep dasar pengawasan DPRD meliputi pemahaman tentang arti penting pengawasan, syarat pengawasan yang efektif, ruang lingkup dan proses pengawasan. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan, untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tersapai secara efektif dan efisien.

Menurut Stoner dan Freeman, “controlling is the process of assuring that actual activies conform to planed activities”. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengawasan nerupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai dengan rencana kegiatan. Sedangkan Koontz (1994 : 578) berpendapat bahwa : controlling is measurement and correction of performance in order to make sure that enterprisen objectives and the

(50)

untuk meyakinkan organisasi secara objectif dan merencanakan suatu cara dalam mencapai tujuan organisasi).10

Selanjutnya secara sederhana disebutkan bahwa pengawasan adalah kegiatan yang dilaksankan agar visi, misi atau tujuan organisasi tercapai dengan lancer tanpa ada penyimpangan atau segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyatan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan kegiatan apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.

Pengawasan oleh DPRD untuk mengawasi produk hokum disebutkan di dalam pasal 18 UU Nomor 22 Tahun 1999 tanpa dirinci lebih lanjut tentang batas kewenangan serta cara pengawasan. Demikian juga di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Pertanyan kritis dalam bagian ini adalah: apakah DPRD memiliki kewenangan untuk membatalkan sebuah Peraturan Kepala Daerah ketika Peraturan Kepala Daerah tersebut tidak sejalan dengan Peraturan Daerah? Ternyata tidak ada satu peraturan perundangan yang menyatakan bahwa DPRD memiliki kewenangan untuk hal tersebut.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengawasan DPRD terhadap produk hukum dan kebijakan tidak disertai dengan kekuasaan penegakan (enforcement), misalnya melakukan pembatalan.

Selain itu pengawasan DPRD dapat dilakukan dengan cara melakukan dengar pendapat, kunjungan kerja, pembentukan panitia khusus dan

10

(51)

pembentukan panitia kerja yang dibentuk sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD.

Untuk menjalankan fungsi pengawasan tersebut, DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat Negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan Daerah, pemerintahan, pembangunan. Pejabat Negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak permintaan untuk memberikan keterangan dapat dipanggil secara paksa, karena merendahkan martabat dan kehormatan DPRD.

Meskipun DPRD tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memberikan sanksi kepada eksekutif, setidaknya DPRD memiliki kekuasaan yang cukup kuat untuk keterangan dengan pihak-pihak yang sekiranya dapat memberikan masukan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

(52)

bahwa ; (3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah. (4) Perda sebagaimana diamksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Fungsi pengawasan DPRD terhadap Peraturan Perundang-undangan ini, baik yang berasal dari inisiatif pemerintah Daerah maupun DPRD sendiri, yang berfungsi mengarahkan Peraturan Daerah sesuai dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dan sesuai materinya dengan muatan Perda yang sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Menurut Pasal 137 UU 32 tahun 2004 disebutkan bahwa : Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi :

a. Kejelasan tujuan

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan

g. Keterbukaan

(53)

a. Pengayoman b. Kemanusiaan c. Kebangsaan d. Kekeluargaan e. Kenusantaraan f. Bhineka tunggal ika g. Keadilan

h. Kesamaan, kedudukan dalam hokum dan pemerintah i. Ketertiban dan kepastian hukun dan/atau

j. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan materi muatan dalam penyusuan Perda perlu dipahami oleh DPRD, sehingga peraturan yang akan ditetapkan bersama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini bagi DPRD sebagai pengawasan awal terhadap penyusunan Perda.

(54)

berasal dari inisiatif DPRD dan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Apabila dalam satu masa siding, DPRD dan Kepala Daerah menyampaikan Raperda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan DPRD, sedangkan Raperda yang disampaikan Kepala Daerah digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Adapun proses dan tingkat-tingkat pembahasan Raperda yang berasal dari Kepala Daerah atau usul inisiatif DPRD disampaikan Pimpinan DORD kepada Anggota DPRD. Selanjutnya, tahapan atau tingkat pembahasan satu Raperda biasanya dilakukan dalam empat tingkat, yaitu tingkat I, II, III dan IV, kecuali apabila panitia musyawarah menentukan lain. Sebelum memasuki poembahasan tingkat I, II, III dan IV, diberi waktu bagi fraksi-fraksi untuk membahas Raperda serta sekaligus menyiapkan pendapat Fraksi atas Raperda tersebut.

Apabila dipandang perlu, panitia Musyawarah DPRD dapat menentukan bahwa pembicaraan atau pembahasan tingkat II dilakukan dalam rapat Gabungan Komisi atau dalam Rapat panitia Khusus (Pansus). Secara rinci pembahasan Raperda (diluar APBD) dapat diuraikan sebagai berikut :

(55)

serta member elaborasi dari garis-garis besar isi Raperda yang bersangkutan. Penejlasan dalam Rapat Paripurna dilakukan oleh Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus terhadap Raperda dan atau Perubahan Perda atas usul DPRD;

2) Pembiacaraan tingkat II berupa penyampaian Pemandangan Umum dalam Rapat ParipurnaDPRD yang disampaikan oleh Anggota Fraksi mewakili fraksinya. Anggota fraksi atau juru bicara fraksi membawakan suara atau sikap lfraksinya terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah. Selanjutnya, Kepala Daerah member tanggapan atas pendapat fraksi-fraksi pada Sidang Paripurna DPRD berikutnya. Jawaban atau tanggapan Kepala Daerah biasanya dalam bentuk tertulis dan setelah selesai dibacakan, diberikan kepada Pimpinan Sidang untuk diteruskan kepada semua anggota DPRD untuk dipelajari. Dalam hal Raperda atas inisiatif DPRD, maka Kepala Daerah memberikan tanggapan terhadap Raperda, yang kemudian fraksi-frajsi member jawaban terhadap pendapat Kepada Daerah.

(56)

Pembahas Peraturan Daerah (Komisis, Gabungan Komisi, atau Pansus) menyerahkan atau melaporkan hasil Tim Perumus kepada Rapat Gabungan Pimpinan Dewan dengan Pimpinan Fraksi dan Komisi. Apabila Rapat Gabungan menerima hasil Tim Perumus untuk diteruskan ke pembicaraan tingkat IV, maka hal itu diberitahukan kepada Kepala Daerah untuk menghadiri pembicaraan tingkat IV yang mengambil keputusan terhadap Raperda.

4) Dalam pembicaraan tingkat IV yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPRD, acara rapat terdiri dari 3 (tiga) kegiatan pokok sebelum rapat mengambil keputusan, yaitu :

a) Laporan hasil pembahasan tingkat III

b) Penyampaian pendapat akhir/kata akhir fraksi-fraksi c) Pengambila keputusan

(57)

a. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah

Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pengawasan DPRD terhadap produk hukum (Perda) tidak disertai dengan kekuasaan penegakan (enforcement), misalnya pembatalan suatu Perda. Pengawasan DPRD hanya bersifar rekomendasi yang tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk memberikan sanksi kepada eksekutih. Meskipun begitu, DPRD memiliki kekuasaan yang cukup kuat untuk meminta keterangan kepada pihak-pihak yang dapat memberikan masukan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap peraturan perundag-undangan yang berlaku.

Fungsi pengawasan DPRD Perda baik yang datang dari inisiatif pemerintah daerah sendiri maupun legislatif berfungsi mengarahkan Perda sesuai dengan asas pembentukan perda yang sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Berdasarkan Pasal 137 UU Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa: Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan pada masa pembentukan peraturan perundang-undngan meliputi:

a. kejelasan tujuan

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan

(58)

g. Keterbukaan

Selanjutnya Pasal 138 UU No. 32 Tahun 2004, disebutkan: 1. Materi muatan Perda mengandung asas:

a. Pengayoman b. Kemanusiaan c. Kebangsaan d. Kekeluargaan e. Kenusantaraan d. Bhenika Tunggal Ika e. Keadilan

f. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan g. Ketertiban dan Kepastian hukum

h. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

2. Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat asas lain seseuai dengan subtansi Perda yang bersangkutan.

b. Pengawasan Terhadap APBD

(59)

32 tahun 200411 disebutkan bahwa: APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 januari samapai dengan tanggal 31 Desember. Agar pengelolaan anggaran daerah yang tertuang dalam APBD benar-benar sesuai dengan kebutuhan daerah, DPRD dapat melakukan pengawasan kebijakan dari perencanaan sampai pelaksanaan dan evaluasi. Agar APBD tersusun dan terlaksana dengan tepat sasaran dan tepat waktu, DPRD dapat mengarahkan penyusunan APBD berpedoman pada Peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan materi sperti berikut :

a) APBD disusun dengan pendekatan kinerja

b) Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup.

c) Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional dapat dicapai untuk setiap pendapatan

d) Junlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk seriap jenis belanja

e) Perkiraan sisa lebih perhitungan APBD tahun sebelumnya dicatat sebagai saldo awal pada APBD tahun berikutnya,

11

(60)

sedangkan realisasi sisa lebih perhitungan APBD tahun lalu dicatat sebagai saldo awal pada perubahan APBD.

Dengan adanya rincian penyusunan APBD dan berpedoman pada tata cara penyusunan dan penggunaannya, akan nenudahkan DPRD dalam penyusunan Peraturan Daerah menyangkut APBD, perhitungan APBD dan perubahan setiap tahun, sehingga pengawasan yang dilakukan DPRD terhadap APBD dapat dilakukan secara optimal. Fungsi pengawasan DPRD terhadap APBD diarahkan agar tidak terjadi penyimpoangan seperti beberapa kasus terdahulu yaitu kasus korupsi oleh DPRD yang melibatkan juga Kepala daerah yang erat kaitannya dengan penyelewengan dan penertapan Rancangan Peraturan Daerah APBD dan perubahannya. Dalam menyusun Rancangan Peraturan daerah tentang APBD dan perubahannya berpedoman pada Pasal 185 UU 32 Tahun 2004, yang berbunyi :

(1) Rancanga Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan Rancangan Gubernur tentang Pengaturan APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud;

(61)

perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur;

(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi;

(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, rancangan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya

Kemudian untuk kabupaten/kota diatur dalam pasal 186 UU 32 Tahun 2004 yang berbunyi :

(1) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan Rancangan Bupati/walikota tentang pengaturan APBD sebelum ditetapkan oelh Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi;

(62)

(3) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota ;

(4) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi;

(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD, rancangan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya

(63)

APBD, artinya Perda tentang APBD benar-benar menjadi pedoman bagi semua SKPD, sebagaimana diatur pada Pasal 190 UU 32 Tahun 2004, berbunyi sebagai

berikut : “Peraturan Kepala Daerah tentag penjabaran APBD dan peraturan kepala

daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD dijadikan dasr penetapan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah”.

Lebih lanjut disebutkan pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah12, yang berbunyi :

(1) DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD;

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD, wujudnya adalah melihat, mendengar, mencermati pelaksanaan APBD oleh SKPD, baik secara langsung maupun berdasarkan informasi yang diberikan oelh konstituen, tanpa masuk ke ranah pengawasan yang berdifat teknis. Apabila ada dugaan penyimpangan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Memberitahukan kepada Kepala Daerah untuk ditindaklanjuti b. Membentuk Pansus untuk mencari informasi yang lebih akurat

c. Menyampaikan adanya dugaan penyimpangan kepada instansi penyidik (Kepolisian, Kejaksaan, KPK).

12

(64)

Parameter yang digunakan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

C. Tugas dan Wewenang Kepala Daerah dan Fungsi DPRD Dalam Sistem Pemerintahan

1. Tugas dan Wewenang Kepala Daerah

Pada Pasal 25 UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang :

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

b. Mengajukan rancangan Perda;

c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada

DPRD untuk dibahan dan ditetapkan bersama; e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Tugas, Wewenang dan Fungsi DPRD

Pada sisi lain, menurut Pasal 1 butir keempat UU Nomor 32 Tahun 2004

Referensi

Dokumen terkait

Pandangan hidup bangsa Indonesia dirumuskan dalam kesatuan lima sila Pancasila yang masing-masing mengungkapkan nilai fundamental dan sekaligus menjadi lima

Pengenalan Sistem Informasi. Penerbit

¾ This requires the auditor to obtain an extensive understanding of the entity (but as not as detailed as required of the management) its environment and controls in order to

Sebelum mengakses setiap informasi yang berkaitan dengan penelitian, petugas harus menandatangani formulir pernyataan persetujuan untuk.. melindungi keamanan dan

Angkatan Bersenjata Singapura dapat melaksanakan latihan atau berlatih dengan Angkatan Bersenjata dari negara lain di wilayah udara Indonesia pada daerah Alpha Dua,

Selain kendala tempat, waktu jeda sesi yang terbatas juga menjadi masalah.Jeda sesi yang singkat membuat mahasiswa yang ingin makan siang tidak dapat mencari makan dengan jarak

Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta menghadirkan Kepala Badan