• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TULIS

KEKUATAN BAHAN SAMBUNG

PADA TIGA KOMBINASI KELAS KUAT KAYU

Disusun Oleh:

APRI HERI ISWANTO, S.Hut, M.Si NIP. 132 303 844

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan karya tulis mengenai “Kekuatan Bahan Sambung

Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu “.

Tulisan ini berisi tentang sambungan kayu. Dalam tulisan ini dikupas

mengenai sambungan kayu dari kombinasi kayu rakyat terutama kayu nangka dengan

kayu-kayu komersil. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan

tambahan informasi dibidang keteknikan kayu.

Akhirnya penulis tetap membuka diri terhadap kritik dan saran yang

membangun dengan tujuan untuk menyempurnakan karya tulis ini.

Desember, 2008

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI...ii

DAFTAR TABEL...iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

PENDAHULUAN ...1

KAYU RENGAS (Glutha renghas) ...3

SAMBUNGAN KAYU ...5

SIFAT MEKANIS KAYU SAMBUNGAN...7

(4)

DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

1 Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Elasticity (MOE) 8

2 Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Rupture (MOR) 10

(5)

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

1 Histogram nilai rata-rata Modulus of Elasticity (MOE) 7

2 Bentuk Kerusakan pada Sambungan Kayu 8

(6)

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman, perhatian masyarakat akan bahan-bahan

alami dari hutan telah meningkat. Dari segi lingkungan, barang-barang dari kayu

lebih disukai. Frick (2004) menyatakan bahwa dari segi manfaatnya bagi kehidupan

manusia, kayu dinilai mempunyai sifat-sifat utama yang menyebabkan kayu selalu

dibutuhkan manusia.

Kayu-kayu komersil menjadi suatu komoditas yang penting bagi kalangan

industri besar maupun kecil, namun seperti kondisi sekarang sulit untuk mendapatkan

kayu yang bermutu tinggi dan berkualitas. Melihat pemakaian kayu baik sebagai

bahan bangunan dan furnitur yang terus meningkat seiring dengan sulitnya

mendapatkan bahan baku dari hutan alam menyebabkan fokus pemanfaatan kayu dari

hutan alam beralih ke hutan rakyat dan perkebunan.

Kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) sebagai salah satu komoditas

kayu rakyat sekarang mulai diminati keberadaannya. Sebagai bahan baku konstruksi,

kayu ini memiliki kelemahan dalam hal ukuran panjangnya. Melalui teknologi

sambungan kayu, permasalahan ini diharapkan dapat teratasi.

Perpaduan antara kayu buah-buahan yaitu kayu nangka dengan kayu-kayu

komersial seperti kayu rengas dan kayu damar laut menggunakan teknik sambungan

merupakan modifikasi teknis yang diharapkan dapat meminimalisasi penggunaan

kayu komersial tanpa mengabaikan aspek kekuatannya.

Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)

Dari negeri asalnya, India Selatan, nangka (Artocarpus heterophyllus atau

Artocarpus integra) beremigrasi dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak

terkecuali ke Indonesia. Sampai saat ini, ada dua nama ilmiah yang disandang

tanaman nangka. Yang pertama adalah Artocarpus heterophyllus Lamk. Nama itu

muncul karena bentuk daun nangka pada saat itu masih bibit berbeda dengan setelah

dewasa. Pada waktu bibit banyak daun nangka yang bentuknya berlekuk, tetapi

setelah dewasa bentuknya utuh kembali. Kata heterophyllus sendiri menunjukkan

keadaan itu , hetero= berbeda, dan phyllus = daun Nama ilmiah yang lain yang

(7)

ilmiah tersebut, nama Artocarpus heterophyllus Lamk dianggap lebih valid

(Widyastuti, 1993).

Bailey (1962), mengemukakan klasifikasi nangka sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Sub kelas : Archichlomydeae

Ordo : Urticales

Famili : Moraceae

Genus, sp : Artocarpus heterophyllus Lamk

Beberapa kerabat dekat nangka yang bernilai ekonomi dan termasuk dalam

famili yang sama yaitu cempedak (Artocarpus champeden), sukun (Artocarpus

insica), dan kluwih (Artocarpus communis). Di antara kerabatnya, cempedak

merupakan spesies yang paling dekat hubungannya dengan nangka (Widyastuti,

1993).

Di Asia Tenggara, nangka terutama dipelihara di pekarangan dan di kebun

buah campuran; pada tahun 1980-an beberapa kebun buahnya yang luas ditanamai

nangka sebagai tanaman tumpang sari dengan nangka. Di Indonesia lebih dari 30

kultivar di Jawa terdapat lebih dari 20 kultivar. Berdasarkan sosok pohon dan ukuran

buah nangka terbagi dua golongan yaitu pohon nangka buah besar dan pohon nangka

buah mini :

a) Nangka buah besar: tinggi mencapai 20-30 m; diameter batang mencapai 80 cm

dan umur mulai berbuah sekitar 5-10 tahun.

b) Nangka buah kecil: tinggi mencapai 6-9 m; diameter batang mencapai 15-25 cm

dan umur mulai berbuah sekitar 18-24 bulan.

Kayu nangka dianggap lebih unggul dari pada jati untuk pembuatan meubel,

konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, untuk tiang kuda dan kandang

sapi di Priangan), dayung, perkakas, dan alat musik. (Prihatman, 2000).

Heyne (1987) dalam Isrianto (1997), menjelaskan bahwa kayu nangka di

Pulau Jawa banyak digunakan untuk membuat tiang bangunan, kentongan, lesung dan

bahan untuk meubel. Di Bali dan makassar kayu tersebut sering digunakan untuk

tiang-tiang rumah raja. Kayu nangka ini juga tidak disenangi serangga dan tidak pecah

(8)

membangun rumah dan hanya digunakan untuk tiang kandang kuda atau kandang

sapi. Kayu ini mengandung bahan berwarna kuning yang disebut morine. Bahan ini

dapat diekstrak dari kayu tersebut dengan air mendidih atau dengan alkohol. Rebusan

bilah kayu nangka bila disaring dapat digunakan untuk memberi warna kuning pada

makanan.

Selanjutnya Heyne (1987) dalam Isrianto (1997), menjelaskan bahwa kayu

nangka mempunyai serat halus sampai agak kasar. Warna kayu nangka mengalami

perubahan warna dari warna kuning muda pada waktu kayu gubal menjadi kuning

sitrun pada kayu teras.

Menurut Burgess (1966) dalam Isrianto (1997), kayu nangka yang merupakan

famili Moraceae mempunyai struktur anatomi antara lain porinya tersebar secara tata

baur, 30-80 % berpori soliter dan sisanya bergabung secara radial. Porinya berbentuk

bulat sampai oval dengan jumlah pori sekitar 7-8 per mm persegi. Diameter tangensial

rata-rata adalah 200-360 mikron dan tidak ada tilosis namun sering kali ada endapan

(deposit). Jumlah parenkim kayu cukup sampai banyak dengan bentuk selubung

sampai aliform dan kadang-kadang bergabung serta berisi resin berwarna terang

sampai oranye. Jari-jari berukuran sedang sampai cukup lebar (50-150 mikron) dan

jumlahnya antara 4-6 per mm persegi, heteroseluler atau homoseluler, tidak ada silika.

Kemudian sel serabut mempunyai dinding yang tipis sampai cukup tipis. Saluran

radial terdapat pada jari-jari dan kadang-kadang terlihat titik-titik coklat pada bidang

tangensial.

Kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) mempunyai berat jenis

maksimum 0,71 dan berat jenis minimum adalah 0,55 dengan berat jenis rata-rata 0,61

dan kelas kuat II – III (Anonymous, 1981 dalam Isrianto, 1997). Kemudian Heyne

(1987), menjelaskan bahwa kayu nangka mempunyai sifat-sifat kayu yang agak berat,

agak padat atau padat.

Kayu Rengas (Gluta renghas)

Kayu rengas termasuk famili anacardiaceae memiliki ciri-ciri antara lain

berwarna merah darah, kadang-kadang bercorak berupa garis-garis berwarna merah

tua kehitaman, mudah dibedakan dari gubal yang berwarna merah jambu sampai

(9)

berpadu dan kadang-kadang lurus. Permukaan kayu licin dan mengkilap indah. Getah

rengas yang terdapat dalam kulit dan saluran radial dapat menimbulkan gatal-gatal

bagi orang yang alergi, meskipun kayu itu telah kering. Kayu rengas memiliki

kekerasan sedang sampai keras (Mandang dan Pandit, 1997).

Bentuk pori umumnya oval, menyebar, sebagian soliter dan sebagian lagi

bergabung radial, yang terdiri dari 2-4 pori. Jumlah pori per mm2 sekitar 2-4 dan

diameter tangensialnya sekitar 115-210 mikron dan bidang perforasi sederhana.

Parenkim aksial paratrakeal keliling pembuluh dan apotrakeal berupa pita-pita

marginal yang teratur dan ini yang menyebabkan kayu rengas mempunyai riap

tumbuh yang cukup jelas. Kebanyakan jari-jari sempit (berseri satu) tapi sering juga

ditemukan jari-jari lebar dimana-mana di dalamnya terdapat saluran getah radial dan

komposisinya homoseluler. Saluran getah merupakan tanda yang khas pada kayu

rengas, pada permukaan tangensial di dalam jari-jarinya yang lebar nampak lubang

kecil sebesar ujung jarum (Pandit dan Ramdan, 2002). Kayu rengas memiliki berat

jenis minimum 0.59 dan berat jenis maksimum adalah 0.84 dengan berat jenis

rata-rata 0.69 dan termasuk dalam kelas kuat II (PKKI, 1961).

Kayu Damar Laut (Shorea falcifera Dyer ex Brandis)

Damar laut termasuk ke dalam famili Dipterocarpaceae. Memiliki habitus

yakni tinggi 20-50 m, panjang batang bebas cabang 10-35 m, diameter sampai 160

cm, banir dapat mencapai tinggi 3,5 m. Kayu teras berwarna coklat muda atau

kuning-coklat muda yang lambat laun menjadi kuning-coklat tua. Kayu gubal berwarna lebih muda

dari kayu teras, tebal 2-12 cm, biasanya 4 cm. Tekstur kayu damar laut cukup halus

sampai kasar, umumnya agak kasar atau kasar. Arah serat lurus atau terpilin dan

berpadu. Permukaan kayu umumnya licin. Pada bidang radial kayu yang mempunyai

arah serat berpadu nampak bagian yang licin dan bagian yang kesat. Permukaan kayu

sedikit mengkilap sampai mengkilap. Pada bidang radial kayu yang mempunyai arah

serat berpadu nampak gambar berupa garis-garis. Pori sebagian besar soliter, sebagian

bergabung 2-4 dalam arah radial, kadang-kadang dalam gabungan tangensial atau

miring, berbentuk bundar atau lonjong, diameter 100-300 µ, frekuensi 2-10 per mm2,

kadang-kadang sampai 14 pori per mm2, banyak berisi tilosis, bidang perforasi

berbentuk sederhana. Parenkim termasuk tipe paratrakeal berbentuk selubung lengkap

(10)

parenkim apotrakeal yang berbentuk pita tangensial pendek. Jari-jari homogen, sempit

dan pendek, frekuensi 6-8 per mm, kadang-kadang berisi endapan berwarna coklat.

Saluran interselular hampir selalu lebih kecil dari pada pori, hanya terdapat dalam

arah aksial merupakan deretan tangensial panjang atau kadang-kadang pendek,

biasanya berisi endapan berwarna putih. Penyusutan sampai kering udara pada

S.leavis 1,5% (R) dan 3,1 (T); S.maxwelliana 1,7 % (R) dan 3,5 % (T).(Martawijaya.,

dkk 1981).

SAMBUNGAN KAYU

Sambungan adalah lokasi sederhana yang menghubungkan dua bagian atau

lebih menjadi satu dengan bentuk tertentu pada ujung perlekatannya (Parker, 1955

dalam Pranata, 2004). Komponen pembentuk sambungan adalah kayu yang akan di

sambung, alat sambung (Fastener), dan atau pelat sambung (connector plate).

Tujuan penyambungan kayu adalah untuk memperoleh panjang yang di

inginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang

diinginkan. Sebuah sambungan pada suatu konstruksi kayu merupakan titik terlemah

pada konstruksi tersebut (Surya, 1995 dalam Pranata, 2004). Oleh karena itu, dalam

melakukan penyambungan kayu, agar sambungan kayu awet dan kuat harus di

perhatikan hal-hal berikut :

1. Kayu yang akan di sambung harus merupakan pasangan yang cocok, tidak

longgar agar tidak saling bergeser dan tidak terlalu kencang

2. Penyambungan kayu juga tidak boleh merusak kayu tersebut seperti salah

dalam mengebor karena dapat menjadi awal pelapukan, salah dalam

menggergaji dan kayu juga tidak boleh di pukul langsung, tetapi harus di

beri bantalan dahulu

3. Sesudah bentuk sambungan dibuat/ sudah jadi, terlebih dahulu pada

sambungan ini di beri bahan pengawet seperti meni atau ter. Tujuannya agar

tidak mudah lapuk karena daerah sambungan biasanya mudah kemasukan air.

4. Sebaiknya sambungan kayu terlihat dari luar agar mudah di kontrol dan di

perbaiki bila terdapat kerusakan.

Yap (1964) dalam Pranata (2004) menyatakan bahwa salah satu bidang yang

sangat besar peranannya dalam teknik konstruksi kayu yang rasional adalah

(11)

Menurut Yap (1964) dalam Pranata (2004), jika kekuatan kayu tanpa

sambungan dianggap sama dengan 100 % maka penggunaan alat sambung dalam

sambungan kayu mengakibatkan perlemahan, sehingga kekuatan kayu berubah

menjadi :

1. 50 % jika menggunakan alat sambung paku

2. Tetap 100 % jika menggunakan alat sambung perekat

Angka-angka taksiran kasar ini diperoleh berdasarkan perlemahan akibat

tempat (lubang) yang dibutuhkan untuk menenmpatkan alat-alat sambung. Jadi

jelaslah bahwa perekat dapat mencapai nilai terbesar karena penggunaanya tidak

merusak struktur kayu.

Tular dan Idris (1981) dalam Pranata (2004) mengatakan bahwa pada

konstruksi bangunan kayu akan timbul gaya-gaya yang bekerja padanya. Karena

sambungan merupakan titik terlemah dari suatu bentang tarik, maka dalam membuat

sambungan harus diperhitungkan cara menyambung dan menghubungkan kayu

sehingga sambungan dapat menerima dan menyalurkan gaya yang bekerja pada benda

tersebut.

Sambungan kayu tanpa alat-alat sambungan merupakan cara menyambung

kayu tertua. Semua gaya disalurkan dari kayu yang satu ke kayu yang lain.

Penggunaan alat-alat sambung sederhana seperti pengikatan, paku, pasak, kelam, atau

besi strip berfungsi sebagai pengaman pada titik letak sambungan tersebut (Frick,

2004).

Sambungan perekat merupakan sambungan bidang yang sangat kuat. Jangan

menggabungkan kekuatan sambungan perekat dengan alat sambungan yang lain

(misalnya lem dan paku). Pada saat sambungan menerima beban, sambungan perekat

langsung menerima beban tersebut, sedangkan alat sambungan yang lain baru

(12)

SIFAT MEKANIS KAYU SAMBUNGAN

Je nis Kayu Se bagai Bahan Sam

M

Berdasarkan hasil pengujian terhadap MOE di peroleh rata-rata tertinggi

sebesar 8533.25 kg/cm2 pada model sambungan dengan bahan sambung kayu nangka

dan terendah pada model sambungan dengan bahan sambung kayu rengas sebesar

6432.79 kg/cm2. Histogram nilai rata-rata MOE masing masing perlakuan di sajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1. Histogram nilai rata-rata Modulus of Elasticity (MOE)

Nilai MOE dari sambungan kayu ini tergolong rendah bila di bandingkan

dengan kayu solid tanpa sambungan, sehingga ketika di pergunakan sebagai kayu

struktur/bahan konstruksi akan menjadikan titik perlemahan. Keberadaan sambungan

pada kayu menyebabkan terputusnya ikatan antar serat sehingga hal ini akan

menjadikan suatu titik perlemahan bila di bandingkan dengan kayu solid utuh tanpa

sambungan. Meskipun demikian keberadaan suatu sambungan kayu tidak bisa di

hindarkan dalam suatu konstruksi mengingat adanya model / bentuk dan ukuran dari

suatu konstruksi yang harus melibatkan adanya sambungan kayu.

Beberapa hal yang di duga sebagai penyebab dari rendahnya nilai MOE pada

sambungan kayu dalam penelitian ini antara lain adanya cacat berupa mata kayu dan

miring serat serta beberapa cacat yang tidak bisa di lihat secara visual pada kayu yang

di pergunakan sebagai contoh uji, hal ini bisa di lihat dari kerusakan berupa patahnya

(13)

Gambar 2. Bentuk Kerusakan pada Sambungan Kayu

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam di peroleh bahwa variasi bahan

sambung tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil perhitungan tersebut

di dapatkan nilai F hitung yang lebih kecil dari F tabel pada taraf nyata 5 %.

Analisis sidik ragam rata-rata Modulus of Elasticity (MOE) di sajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Elasticity (MOE)

Sumber

Modulus of Rupture (MOR)

Pada perhitungan Modulus of Rupture (MOR) di peroleh rata-rata tertinggi

pada model sambungan dengan bahan sambung kayu damar laut yaitu sebesar 336.225

kg/cm2 dan yang terendah yaitu kayu nangka dengan bahan sambung kayu rengas

sebesar 257.06 kg/cm2. Histogram nilai rata-rata MOR disajikan pada Gambar 3.

320.4 Je nis Kayu Se bagai Bahan Sam bung

M

(14)

Sambungan kayu dengan bahan sambung dari kayu damar laut memiliki nilai

MOR yang lebih tinggi di banding dengan bahan sambung kayu nangka dan rengas,

hal ini di sebabkan karena kayu damar laut memiliki berat jenis yang lebih tinggi di

bandingkan kayu nangka dan rengas. Hal ini sesuai dengan pendapat Pandit dan

Hikmat (2002) yang mengemukakan bahwa berat jenis berbanding lurus dengan MOR.

Bila di bandingkan dengan kayu solid tanpa sambungan, nilai MOR pada kayu

dengan sambungan ini lebih rendah hal ini di sebabkan karena keberadaan sambungan

kayu merupakan suatu perlemahan. Perlemahan ini di karenakan oleh berkurangnya

luas penampang netto pada kayu yang di sambung, terjadinya pemutusan serat-serat

kayu dan timbulnya geseran antara lapisan kayu pada saat menerima beban.

Meskipun penggunaan perekat dalam sambungan merupakan bahan pengikat yang

lebih baik dalam kaitannya dengan luasan permukaan kayu yang di sambung di

banding paku, baut dan pasak, namun tegangan-tegangan sekunder yang muncul pada

saat pembebanan tidak mampu di teruskan akibat adanya sambungan sehingga

menghasilkan kekuatan yang lebih rendah bila di bandingkan dengan kayu solid

tanpa sambungan.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan sambung

memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf nyata 5% terhadap keteguhan

patah (MOR), akan tetapi uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%, perbandingan antar

perlakuan (bahan sambung) tidak berbeda nyata hal ini menunjukkan bahwa MOR

dari ketiga perlakuan yang diberikan dapat dikatakan sama karena rentang nilai MOR

antara ketiga perlakuan tidak jauh perbedaannya. Hal ini disebabkan oleh adanya

perlemahan yang ada sehingga mengurangi nilai MOR netto yang dihasilkan. Selain

itu rentang nilai yang tidak terlalu jauh ini disebabkan oleh pra pengkondisian contoh

uji dan pengkondisian setelah perakitan. Analisis sidik ragam rata-rata dan Uji Duncan

pada taraf nyata 5% untuk MOR di sajikan pada TabeL 2 dan 3.

Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Rupture (MOR)

(15)

Tabel 3. Hasil Uji Duncan Modulus of Rupture (MOR)

Kombinasi Kelas kuat Rata-Rata Notasi

III + I 336.2252 A

III + III 320.4762 A

III + II 257.0604 A

(16)

REFERENSI

Astanto, P. 2004. Telaah Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jati Plus PERHUTANI dari Beberapa Seedlot di KPH Ciamis pada Kelas Umur I. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Frick, H., dan Moediartianto. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu. Kanisius, Soegijapranata University Press. Jakarta.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan). Volume II. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor

Isrianto. 1997. Kajian Struktur Anatomi dan Sifat Fisik Kayu Nangka (Artocarpus

heterophyllus Lamk). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas

Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Mandang, Y.I.,dan I.K.N. Pandit, 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. PROSEA. Bogor.

Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir, 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Pandit, I.K.N., dan H. Ramdan. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan Baku. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

PKKI. 1961. Peraturan Kayu Konstruksi Indonesia NI-5. Departemen Pekerjaan Umum. Dirjen Ciptakarya. Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. Jakarta.

Pranata, R. M. H. 2004 Pengaruh Bentuk Sambungan Terhadap Sifat Mekanis LVL (Laminated Veneer Lumber) Produksi PT Putra Sumber Utama Timber (PSUT). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Gambar

Gambar 1.  Histogram nilai rata-rata Modulus of Elasticity (MOE)
Gambar 2. Bentuk Kerusakan pada Sambungan Kayu
Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Rupture (MOR)
Tabel 3. Hasil Uji Duncan Modulus of Rupture (MOR)

Referensi

Dokumen terkait

Optionally, if the destination device is different from the source device then select the destination disk device by choosing the GParted | Devices | [your-destination- disk-device]

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dalam menganalisis hasil temuan ini menggunakan tiga macam analisis yaitu reduksi data, display (penyajian data), dan

judul dari Laporan Akhir ini adalah Studi Kehilangan Air Pada Jaringan Distribusi Dengan Metode District Meter Area Di Kawasan Sepakat Kalidoni Palembang.. Dalam

dengan judul penelitian "Pengaruh Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Prabumulih"!.

Perkembangan sistem informasi dan teknologi informasi akan berdampak pada persaingan yang semakin kompetitif, hal ini berlaku juga di dunia pendidikan terutama bagi perguruan

Jika ada pintu rumah yang tidak dikunci rapat maka ada anggota keluarga yang tidak pergi.. Jika semua pintu rumah ditutup rapat maka semua anggota

Penderita mengatakan sekitar 1 minggu yang lalu melakukan perjalanan ke Tuban dengan menggunakan bis dengan menempuh ± 4 jam, pada saat itu penderita mengaku mengenakan pakaian

Sehingga dalam memperkenalkan artefak budaya tradisional Indonesia dapat dikemas dalam bentuk personifikasi menjadi karakter atraktif yang bisa meningkatkan minat