• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara pengetahuan orang tua tentang autismedengan sikap penerimaan orang tua terhadap anak penyandang autistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara pengetahuan orang tua tentang autismedengan sikap penerimaan orang tua terhadap anak penyandang autistik"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

TUA TERHADAP ANAK PENYANDANG AUTISTIK

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Futuhiyat

NIM : 0071020143

FAKUL TAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS

islaセ@

NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Oiajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Pe

Ora. Zahro

ln

Ni Nip.

Oleh FUTUHIYAT 0071020143

Di bo·,,;ah bimbingan

Pembimbing II

ah M.Si Ora. Agustyawati,

Nip. 132 121 898

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS !SLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

TUA TENTANG AUTISME DENGAN SIKAP PENERIMAAN ORANG TUA TERHADAP ANAK PENYANDANG AUTISTIK telah diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Agustus 2004. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 14 Agustus 2004

Sidang セQオョ。ア。ウ。ィL@

!

Ketua Mar r,/gkap Anggota, Sekretaris Me ngkap Anggot(l,

Dra. H. N , Hartati M.Psi

Nip. 150 2 Nip. 150 238 77

Anggota, Pengu1i I

Nip. 150 238 I

P nguji II

M. Si Nip. 150 238 73

Pembimbing II

(4)

R.f tak,utan, RJ[aparan, R.fk,urangan fzarta, jiwa, dan

6uafz-6uafzan. ([)an 6eri k,aGar gem6ira{afz orang-orang yang sa6ar.

(orang-orang yang sa6ar ia{afz) apa6i{a cfitimpa musi6afz, merek,a

6erk,ata "Jnnafl{{afzi 'Wa inna i{aifzi raaji'un". Sesunggufznya k,ami

dari}l{{afz dan k,ami ak,an R.fm6a{i R.fpada-:Nya."

(5)

I6u{u, muaah-muaahan s{ripsi ini aapat menjadi se6uafi fiaaiali

セ」ゥ{@

untu{/i,sisifi

sayang yang sampai saat ini cfi6eri/i,sin

セー。。。ヲゥNjエN@

rrliani(j for everytfiing, '.My

<Famify, I LO'fJ.E .YOV )'l££)'lna5Wayj/L£j/J{j/[ways (]J[ess .You. Vntuli,semua

'

ana{penyancfang aut1Sti{aan

セ{オ。イァ。@

mere{a

-

aafam usafianya mencari

セヲゥNゥ」ヲオー。ョ@

yang fe6ih 6e1111a{na aan masa aepan yang [e6ifi cerafi.

r;;ooa Lucft

(6)
(7)

Assalamualaik11m Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji serta syukur selalu penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kemudahan, kesabaran, dan wal<tu kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Rasulullah SAW junjungan umat, semoga kita sebagai umatnya menjadi bagian dari orang yang mendapat syafaat darinya.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada:

1. Ora. Netty Hartati, M. Psi., Dekan Fakultas Psikologi UIN-Jakarta. 2. Para Pudek, khususnya lbu Ora. Zahrotun Nihayah, M. Si, Pudek I

(Bagian Akademik) dan sekaligus pembimbing skripsi yang telah banyak membantu.

3. lbu Dra. Agustiyawati, M. Phil. Sne., dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing penulis menyelesaikan skripsi. 4. lbu Atty Harun, para psikolog serta pegawai di Avanti Treatment

Centre, Jakarta yang telah membantu dalam penelitian skripsi inL 5. !bu Sita Purba dan para terapis di Bintang Kecil Indonesia yang

membantu penelitian penulis.

6. lbu Yusi dan para terapis di Klinik Ende Mandiri, khususnya K' Ila yang telah banyak membantu penulis mencari informasi tentang autisme dan tempat-tempat terapi autisme di sela-sela kesibukannya mengajar.

7. lbu Lilis Arofiyanti dan Mba' Ida di Pendidikan Dini An-Nur yang juga telah membantu penelitian penulis.

8. Para orangtua penyandang autistik, semoga senatiasa diberikan kesabaran dalam mendidik anak-anak mereka yang autistik.

(8)

sayang selama penulisan skripsi dan ketika penulis mengalami kebimbangan.

11. Kakak-kakak serta adik-adik penulis yang senantiasa menghibur dan memotivasi penulis di kala jenuh dengan tugas-tugas kuliah.

12. Teman-teman angkatan 2000, yang banyak membantu penulis dengan berbagi informasi.

13. Bagian Administrasi Fakultas Psikologi UIN Jakarta dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua dengan balasan yang berlipat ganda.Amiin. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya untuk lebih memahami autisme dan bagi Fakultas Psikologi umumnya.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 14 Agustus 2004

Penyusun

(9)

Latar Belakang: Penelitian ini didasari oleh dua alasan yaitu, (1). peningkatan jumlah penyandang autistik di Indonesia (2). gencarnya media massa

memberitakan gangguan ini sehingga gangguan perkembangan ini menjadi "hantu" yang menakutkan. Pemahaman orang tua tentang autisme

diasumsikan dapat membentuk sikap penerimaan orang tua terhadap ahak penyandang autistik, karena itu pemahaman tentang autisme dibutuhkan oleh para orang tua khususnya orang tua anak autistik.

Tujuan: Tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh gambaran tentang hubungan antara pengetahuan orang tua tentang autisme dengan

penerimaan orang tua terhadap anak autistik.

Sampel: penelitian ini dilakukan di empat tempat yang berbeda dengan jumlah sampel sebanyak 17 responden.

Metode: Dalam penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu skala

Pengetahuan orang tua dengan skala sikap penerimaan orang tua, dengan model skala Likert.

Hasil: Dari penelitian ini didapatkan hasil r hitung

=

0,728 dan r tabel

=

0.412 dengan taraf signifikansi 0.05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan orang tua tentang autisme maka penerimaan orang tua terhadap arak penyandang autistik pun semakin tinggi.

Penelitian ini sesuai dengan pendapat Jaquelyn Mc Candless yang menyatakan bahwa orang tua yang memahami tentang autisme memiliki tendensi lebih terbuka untuk menerima paradigma baru di bidang pendidikan dan medis pada kasus autisme demi untuk penanganan anak mereka.

Bagi orang tua, terapis, dan siapa saja yang terlibat dalam pendidikan anak autistik sebaiknya senantiasa meningkatkan pengetahuan agar lebih daµat memahami dan menerima anak autistik secara tulus. Bagi mahasiswa yang tertarik dengan autisme sebaiknya mengambil jumlah sampel yang lebih banyak agar hasil penelitiannya dapat digeneralisasikan.

Bahan bacaan: 34 (1976-2004)

(10)

Background: This study was based on 2 reasons: 1. increasing autistic cases in Indonesia, 2. a lot of the mass media report about it incessantly until it becomes Bウッュ・エィゥョセOG@ terrible. Parents understanding about autism is assumed that can form parents acceptance to autistic child. Understanding about autism is needed by every parent especially autistic child parents. Aim: The aim of the present study was to know relationship between parents' knowledge of autism and parents acceptance to autistic child.

Sample: The sample of this study was 17 subjects.

Method: This study used two scales, knowledge scale and acceptance scale, and the model scale was Likert model.

Findings: r = 0.728 > r table= 0.412, significant level= 0.05. In conclusion that the more parents understand about autism the more they accept.

This study was supported by Jaquelyn Mc Candless' opinion who stated that the parents who understand about autism they tend to be more open to accept new paradigm in educational and in medical in autism case for healing their child.

For parents, therapists, and people who involve in education of autistic child, it is suggested that they to improve their knowledge of autism in order to understand and accept autistic child sincerely. For the students who interested in autism, it is suggested to increase their sample to generalize their finding.

References: 34 ( 1976-2004)

(11)
(12)

KATA PENGANTAR iii

ABSTRAKSI

v

DAFTAR ISi vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

BAB 1 PENDAHULUAN 1-8

1.1. Latar Belakang Masalah .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 1

1.2. ldentifikasi Masalah ... 6

1.2.1. Pembatasan Masalah ... 6

1.3.1. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan ... 7

1.4. Manfaat .. .. .. .... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 7

1.5. Sistematika Penulisan ... 8

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 9-53 2.1. Deskripsi Teori ... :... 9

2.1.1. Pengetahuan Orang Tua... 9

2.1.2. Autisme .. .. .. .. ... .... .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. . ... .. .. .. .. .. .. . 14

2.1.3. Sikap ... 29

2.1.4. Penerimaan Orang Tua ... 39

2.2. Kerangka Berpikir ... 52

2.2.1 Hipotesa . . . 53

(13)

3.2.1. Subyek Penelitian ... 54

3.2.2. Teknik Sampling ... 55

3.3. Pengumpulan Data ... 55

3.3.1. lnstrumen Pengumpulan Data ... 55

3.3.2. Kisi-Kisi lnstrumen ... 56

3.4. Prosedur Penelitian ... 60

3.5. Analisa Data ... 62

3.6. Pilot Study ... 63

3.6.1. Validitas dan Reliabilitas ... 63

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISA DATA 65-69 4.1. Gambaran Umum Responden ... 65

4.2. Analisa dan Kesimpulan ... 69

BAB 5 DISKUSI DAN REKOMENDASI 70-72 4.1. Diskusi. ... 70

4.2. Rekomendasi ... 71

DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN

(14)

2. Tabel 3.1. lndikator pengetahuan orang tua (try out) 3. Tabel 3.2. lndikator pengetahuan orang tua (revisi) 4. Tabel 3.3. lndikator penerimaan orang tua (try out) 5. Tabel 3.4. lndikator penerimaan orang tua (revisi) 6. Tabel 4.1. Jenis kelamin

7. Tabel 4.2. Usia 8. Tabel 4.3. Pendidikan 9. Tabel 4.4. Pekerjaan

10. Tabel 4.5. Permulaan mengetahui autisme

11. Tabel 4.6. lntensitas mendapatkan berita tentang autisme dalam sehari 12. Tabel 4.7. Nilai koefisien korelasi

(15)
(16)
(17)

1.1.

Latar Balakang Masalah

Anak adalah karunia. Kehadirannya disambut dengan suka cita, dan penuh harapan. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna, tetapi selal:.i saja terjadi keadaan di mana anak

memperlihatkan gejala masalah perkembangan sejak usia dini. Tuhan menitipkan karunia-Nyci yang tidak sempurna, yaitu individu autistik kepada beberapa hamba-Nya.

Sejak beberapa tahun terakhir ini masalah autisme mulai merebak di Indonesia. lni terlihat dengan mulai beredarnya informasi mengenai

''."

(18)

suatu kondisi yang jelas dan unik (berbeda) dari kondisi yang sudah diketahui sebelumnya (Holmes, 1998).

Autisme berasal dmi kata auto yang berarti sendiri, istilah autis/autism/ autisma dipakai untuk me.'lggambarkan gejala-gejala dari anak yang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam

dunianya sendiri.

Mengingat sifat gangguannya yang kompleks dan mengenai hampir seluruh aspek perkembangan anak, gangguan autisme tidak dapat dipandang sebagai hal yang ringan. Para penyandangnya akan

mengalami gangguan pada kemampuan interaksi sosial dan komunikasi timbal balik, memiliki minat yang terbatas, menampilkan perilaku tidak wajar disertai gerakan-gerakan yang berulang tanpa tujuan (stereotipik), bahkan seringkali tampak pula adanya respon tak wajar terhadap

pengalaman sensori. Secara umum gejala-gejala di alas harus sudah terlihat sebelum anak berusia 3 tahun dan gejala-gejala tersebut terus ditampilkan sepanjang hidup si anak dalam tingkatan yang bervariasi.

(19)

didiagnosis sebagai penyandang autistik adalah 3-4 laki-laki dibanding 1 perempuan. Sejauh ini belum diketahui apa penyebabnya.

Di Amerika Serikat diperkirakan 3da sekitar 1 penyandang autistik dalam 150 kelahiran, walaupun data ini bukan data dari Indonesia tetap ada dugaan kuat bahwa prevalensi kasus gangguan autisme di Indonesia juga kurang lebih sama. Sebagai perbandingan, dari pengalaman praktek salah seorang psikiater di Jakarta, sebelum 1990-an jumlah penyandang autistik dalam setahun hanya sekitar 5 orang dan pada tahun 2000-an dalam sehari dapat terdiagnosis 3 penyandang autistik baru (Nakita: 2002).

Meningkatnya prevalensi yang terus berlanjut, tidak menutup

kemungkinan bahwa saat ini penyandang autistik sudah ada di setiap penjuru daerah di Indonesia. Hal yang menyedihkan adalah kurangnya tenaga ahli yang paham mengenai autisme dan tidak tersebarnya pengetahuan mengenai penanganan anak autistik, sehingga selain di kola-kola besar penanganan anak_-anak ini masih sangat minim bahkan seringkali terjadi salah diagnosa dan salah terapi.

(20)

autisme, mereka mengalami stress dalam menghadapi kondisi tersebut. Mereka akan merasa kaget, bahkan menolak serta tidak menyangka jika harus berada dalam situasi seperti itu, dan yang pasti mereka tidak siap menghadapi hal tersebut.

Bagaimanapun kondisi anak orang tua harus menerima keadaannya dengan segala keterbatasannya dan tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk anak, karena di balik keterbatasannya pasti memiliki

kelebihan. Proses perubahan sikao penerimaan orang tua ini dipengaruhi berbagai macam faktor salah satunya adalah informasi yang diterima oleh mereka, baik itu dari surat kabar cetak maupun elektronik, sesama orang tua penyandang autistik, browsing di internet, dan lain-lain.

Adriana S.Ginanjar (dalam Nakita, 2002), seorang psikolog sekaligus ibu dari seorang penyandang autistik yang menyatakan bahwa pada awalnya dia merasa tertekan, sedih, putus asa, dan malu. Usahanya yang giyih untuk menyembuhkan buah hatinya dengan terus mencari informasi tentang autisme baik dari buku-buku dan sharing dengan orang tua penyandang autistik lainnya menyebabkannya lebih bisa menerima

(21)

Orang tua yang memiliki pengetahuan tentang autisme akan lebih dapat menerima keadaan anaknya daripada orang tua yang tidak mempunyai pengetahuan tentang autisme. Pada gilirannya orang tua yang memiliki pengetahuan yang tepat tentang autisme akan dapat mengerti

bagaimana keadaan seorang anak autistik baik secara fisik maupun amosinya, mereka pun akan turut serta dalam kegiatan yang melibatkan peran orang tua bagi kesembuhan anak.

Pengetahuan ini pun ditandai dengan cara membuka literatur-literatur tentang autisme, menelusuri situs-situs tentang autisme, dan bergaul dengan orang tua anak penyandang autistik lainnya, turut serta dolam memberikan pelatihan, dan tidak memaksakan anak untuk dapat

mengikuti kurikulum di sekolah biasa serta berkonsultasi dengna psikolog atau dokter.

Atas dasar pemikiran di atas dan berdasarkan paparan fenomena yang terjadi, yang merupakan landasan mengapa penulis ingin melakukan penelitian tentang tema "HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG AUTISME DENGAN SIKAP PENERIMAAN

(22)

1.2.

ldentifikasi Masalah

1.2.1. Pembatasan masalah

Agar penelitian lebih terarah dan tidak meluas serta untuk menghindari

interpretasi yang berbeda, maka peneliti merasa perlu untuk membatasi masalah-masalah penelitian mengenai Hubungan Antara Pengatahuan Orang Tua Tentang Autisme Dengan Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap Anak Penyandang Autistik ini dibatasi pada:

1. Autisme: gangguan tumbuh kembang pada sistem saraf otak yang berhubungan dengan interaksi sosial, kemampuan

berkomunikasi, dan pola perilaku, gangguan ini mengakibatkan terisolasinya seorang anak dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas, dan minat yang obsesif, misalnya seorang anak yang senang bermain dengan air selam berjam-jam.

2. Pengatahuan Orang Tua: orang tua yang memiliki informasi dan pengalaman dengan autisme, mengetahui apa yang dimaksud dengan autisme, ciri-cirinya, dan bagaimana penanganannya. 3. Penerimaan orang tua: sikap penerimaan orang tua terhadap

(23)

anak apa adanya, membentuk ikatan batin dengan anak, mengupayakan alternatif penanganan, menghargai anak, ekspresi fisik, dan ekspresi verbal.

12.2. Perumusan masalah

Adakah hubungan antara pemahaman orang tua tentang autisme dengan sikap penerimaan orang tua terhadap anak penyandang autistik?

1.3.

Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh gambaran nubungan antara pemahaman tent:ing autisme dengan penerimaan orang tua terhadap anak autistik.

1.4.

Manfaat

(24)

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran umumnya bagi orang yang tertarik dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan autisme dan juga menambah pemahaman orang tua anak autistik, terapis, pendidik, dan pengasuh tentang autisme.

1.5.

Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan; Latar Belakang Masalah, ldentifikasi Masalah; Pembatasc.n Masalah dan Perumusan Masalah; Tujuan Penelitian,Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Kajian Pustaka; Deskripsi Teori: Pengetahuan Orang Tua,

Autisme, Sikap, Penerimaan Orang Tua; Kerangka Berpikir, dan Hipotesis.

BAB Ill: Metodologi Penelitian; Pendekatan dan Metode Penelitian, Pengambilan Sampel; Subyek Penelitian dan Teknik Sampling; Pengumpulan Data; lnstrumen Pengumpulan Data dan Kisi-Kisi lnstrumen; Prosedur Penelitian, Analisa Data, dan Pilot Study; Validitas dan Reliabilitas

BAB IV: Presentasi dan Analisa Data; Gambaran Umum Responden, Analisa dan Kesimpulan

(25)
(26)

2.1.

Deskripsi Teori

2.1.1.

Pemahaman orang tua

Pengetahuan adalah mengenal, mengingat, dan mereproduksi bahan pengetahuan yang pernah diberikan (Bloom dalam S.C. Utami Munandar: 1999).

Dari pernyataan itu tergambar tentang pentingnya peran aktivitas kognitif orang tua dalam menerima keadaan anak autistik.

Banyak orang tua yang memilih terapi atau melal<ukan tindakan untuk menangani anaknya dengan dasar yang kurang kuat. Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki dasar yang kuat dalam pemilihan terapi dengan kata lain mereka tidak memahami tentang autisme, seperti, apa, kenapa, dan bagaimana penanganannya, oleh karena itu orang tua harus

memperkaya pengetahuannya mengenai autisme, terutama pengetahuan

(27)

Dari pernyataan itu tergambar tentang pentingnya peran aktivitas kognitif orang tua dalam menerima keadaan anak autistik.

Banyak orang tua yang memilih terapi atau melakukan tindakan untuk menangani anaknya dengan dasar yang kurang kuat. Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki dasar yang kuat dalam pemilihan terapi dengan kata lain mereka tidak memahami tentang autisme, seperti, apa, kenapa, dan bagaimana penanganannya, oleh karena itu orang tua harus

memperkaya pengetahuannya mengenai autisme, terutama pengetahuan mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak. Hal ini sangat penting karena fasilitas terapi di Indonesia masih sangat terbatas dan ahlinya pun masih langka, selain itu orang tuc. pun harus menguasai terapi karena orang tua selalu bersama anak sedangkan terapis atau pengajar hanya sesaat dan saling bergantian.

(28)

Dari kutipan di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebaiknya kita

memahami alasan-alasan tentang suatu perilaku yang terjadi karena ha! itu akan mendorong kita untuk lebih konsisten dalam penerapan suatu treatment. Konsisten dengan suatu treatment adalah suatu bentul<

penerimaan terhadap suatu perilaku yang terjadi.

Berdasarkan surve11-survey rise! yang terdahulu menyatakan bahwa banyak orang tua penyandang autistik yang menunda diagnosis dan mereka sulit untuk menerima hasil diagnosis tersebut. Kesulitan-kesulitan tersebut tidak hanya menimbulkan efek berupa terhambatnya hubungan profesional orang tua, tetapi penundaan diagnosis berarti bahwa orang tua menolak bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan untuk mengatasi masalah-masalah praktis di rumah. Kurangnya informasi tentang autisme dan indikator-indikator awal dari autisme akan menimbulkan kesulitan-kesulitan baru atau bahkan orang tua akan menghindari masalah tersebut.

(29)

dianggap paling bermanfaat, berhubungan dengan para orang tua

penyandang autistik pun dianggap sebagai hal yang membantu. Dengan kata lain pemberian diagnosis dirasakan sebagai bentuk pertolongan yang paling penting. Secara praktis anggota keluarga yang saling menunjang akan membantu mengurangi atau bahkan dapat menghindari kesulitan-kesulitan yang baru.

Beberapa kasus yang ada menyebutkan bahwa informasi dasar tentang autisme ini masih kurang seperti kesulitan orang tua untuk mendapatkan informasi tentang kesulitan anak sehari-hari, tetapi mereka pun

menyatakan kebutuhan mereka akan informasi tentang hal-hal yang praktis. lni termasuk penjelasan tentang proses keterlibatan mereka dalam penilaian sekolah anak khusus, fasilitas lokal, dan lain- lain.

Ketidakjelasan tentang "tendensi autistik" atau "tingkah laku" ini dianggap sebagai bagian yang mengganggu, oleh karena itulah mereka akan menghargai nasehat dan membaca materi-materi yang relevan yang dapat membantu mereka memahami kesulitan-kesulitan anak yang mana mereka akan berhubungan dengan ha! tersebut dan pemahaman

(30)

Tidak hanya orang tua yang harus mengetahui dan memahami tentang autisme namun sebaiknya o.emua yang terlibat mengetahui dan mengerti teori tentang autisme dan juga mengerti tentang metode yang dipakai, serta cukup terampil dalam berinteraktif dengan anak. Cara yang salah dalam merespon perilaku anak autistik dapat merusak seluruh proses terapi. Pengetahuan orang tua tentang autisme ini sangat penting karena semakin mereka mengetahui biasanya semakin mudah mereka untuk dapat menerima keadaan anaknya serta semakin cepat pula mereka memberikan penanganan yang sesuai dengan anak mereka.

Pengetahuan tentang autisme ini biasanya mereka dapatkan dengan membaca buku, sharing dengan orang tua penyandang autistik lainnya, media cetak dan elektronik, seminar tentang autisme atau bertanya kepada ahlinya.

Bentuk-bentuk pengetahuan orang tua tentang autisme ini di antar:mya adalah:

a. memiliki informasi dan pengalaman mengenai autisme b. mengetahui apa yang dimaksud dengan autisme c. mengetahui ciri-ciri anak autistik

(31)

2.1.2. Autisme

Pengertian autisme

Autistic Spectrum Disorder sebelumnya dikenal dengan nama infantile autism atau Kanner's Syndrome, kondisi ini sering disebut "Classical Autism"

Definisi autisme adalah " ... impairment in social interaction: in

communication and in behaviour and play, which is repetitive, stereotyped, or restricted in range of interests and activities" (DSM IV, dalam Nakita, 2002).

Dalam PPDGJ Ill (Pedoman, Penggolongan, dan Diagnosis Gangguan Jiwa Ill), autisme dikategorikan dalam gangguan perkembangan pervasif, yaitu kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik (reciprocal) dan dalam pola komunikasi serta minat dan aktivitas yang terbatas,

stereotipik, dan berulang (Rusdi Maslim, 2001).

Menurut Baron-Cohen (1996) autisme adalah suatu kondisi yang

(32)

dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.

Autism is a spectrum that encompasses a wide continuum of behavior (http://health.yahoo.com/health/dc/001526/1.html). Dengan demikian autisme didefinisikan sebagai ketidaknormalan perkembangan yang diperlihatkan dari perilaku.

Menurut J.P. Chaplin (1999) autisme adalah (1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, (3) keasy'kan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri.

Dari beberapa definisi di alas maka peneliti mendefinisikan kembali bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang kompleks dan disebabkan oleh adanya gangguan pada otak. Autisme menyebabkan gar.gguan pada perkembangan interaksi sosial,

(33)

Menurut J.P. Chaplin (1999) autisme adalah (1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, (3) keasyikan el<strim dengan pikiran dan fantasi sendiri.

'

Dari beberapa definisi di alas maka peneliti mendefinisil<an kembali bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang kompleks dan disebabkan oleh adanya gangguan pada otak. Autisme menyebabkan gangguan pada perkembangan interaksi sosial,

perkembangan komunikasi fungsi sensorik dan proses belajar sendiri Hal ini mengakibatkan anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif.

Jenis autisme

Berdasarkan waktu munculnya gangguan, autisme dapat dibedakan menjadi dua yaitu autisme sejak bayi dan autisme regresif (Nakita, 2002). Pada autisme yang terjadi sejak bayi, anak sudah menunjukkan

(34)

awalnya sudah sempat menunjukkan perkembangan normal sampai sekitar usia 1,5 sampai 2 tahun, tiba-tiba perkembangan ini berhenti. Kontak mata yang tadinya sudah bagus, lenyap. Awalnya sudah mulai bisa mengucapkan beberapa ;:iatah kata, hilang kemampuan bicaranya. Kasus gangguan autismeyang sejak bayi bisa terdeteksi sekitar usia 6 bulan, sedangkan untuk kasus autisme regresif, orang tua biasanya mulai meyadari ketika anak berusia 1,5 sampai 2 tahun.

Umumnya orang tua baru membawa anak ke ahli saat usianya di alas dua tahun, saat anak dicurigai mengalami keterlambatan berbicara.

Kemampuan komunikasi bukan satu-satunya gejala pada gangguan autisme. Pada banyak kasus, anak baru ketahuan mengalami autisme ketika sudah berumur 3-5 tahun. Keterlambatan ini berarti penundaan intervensi bagi anak yang beresiko pada ketertinggalan perkembangan anak. Bagi anak autistik, makin dini intervensi intensif diberikan, semakin besar peluang anak untuk bisa berkembang secara maksimal.

Dilihat dari jenis perilaku anak autistik dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu perilaku yang berlebihan (excessive) dan perilaku yang

(35)

seorang anak naik ke pangkuan ibunya bukan untuk mendapatkan kasih sayang melainkan untuk meraih toples kue.

ldentifikasi dan karakteristik

Penampakan fisik penyandang autistik tidak memperlihatkan kelainan fisik, namun bila cukup lama bersama mereka, terlihat bahwa mereka lebih senang sendiri/menyendiri, tidak berespons pada saat ada orang asing mendekatinya, bermain sendiri dan cara bermainnya aneh, tidak ada kontak dengan orang di sekitarnya, lebih jelas lagi melakukan

stimulasi diri yang tidak dilakukan oleh anak lain seusianya (Sutadi, 2002).

Menurut DSM IV, untuk dapat didiagnosa sebagai autisme, adalah sebagai berikut:

a. Anak menunjukkan minimal 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan 1 gejala dari (2) dan (3).

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 dari 4 gejala di bawah ini:

a). Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik kurang tertuju.

(36)

c). Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain).

d). Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada 1dari gejala-gejala di bawah ini:

a). Perkembangan terlambat atau sama sekali tidak

berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.

b). Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.

c). Sering menggunakan bahasa aneh yang diulang-ulang. d). Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang

dapat meniru.

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang- ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan. Minimal harus ada 1dari gejala-gejala di bawah ini:

a). Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan.

b). Terpaku pada suatu kegiatan dan rutinitas yang tak ada gunanya.

(37)

d). Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda. b. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau

gangguan dalam (1) bidang interaksi sosial (2) bicara dan berbahasa (3) cara bermain yang monoton dan kurang variatif. c. Bukan disebabkan oleh sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif

Masa Kanak.

Etiologi

Sampai sekarang belum diketahui penyebab utama dari autisme. Diduga penyebabnya bukan karena satu hal saja tetapi lebih karena beberapa hal yang menjadi pemicu, yang akhirnya menjadi suatu rangkaian keadaan yang kemudian menjadi penyebab timbulnya autisme. Dahulu autisme diduga akibat buruknya pola asuh orang tua tetapi dugaan ini runtuh dengan ditemukannya penyebab yang lebih bersifat fisik (otak), namun demikian pola asuh dan sikap orang tua masih sangat diperlukan dalam terapi anak autistik.

(38)

membawa gen autisme, jadi perlu faktor pemicu lainnya. Bayi kembar satu telur akan mengalami gangguan autisme yang mirip dengan saudara kembarnya, juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga besar mengalami gangguan yang sama.

Pengaruh virus seperti rubelia, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan, keracunan makanan, dan sebagainya pada kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman,

komunikasi, dan interaksi. (Baron-Cohen, 1996).

I

Genetic Factors

L

___

l __ _

/

·"·

/

I

Autism MセMM|@ Mental

(

(social, / Over- \ Handicap

」ッョQョョQョゥ」セエゥッョL@ ( lap J (slo\vcr

and obsessional \ dcvcplo1ncnt

\ difficulties) \ / in aln1ost nil

\, セM areas)

セMMMMMMMMMMMMMMM

-· ",

[image:38.609.92.563.214.644.2]
(39)

Diagnosa banding

Menurut Baron-Cohen (1996), autisme dapat dikacaukan dengan beberapa kondisi lain yang mirip, yaitu;

a. Elective Mutism: yaitu suatu kondisi di mana anak menolak untuk berbicara pada situasi tertentu.

b. Attachment disorder: yaitu bila anak tidak mampu

mengembangkan ikatan emosional yang stabil dengan orang tuanya, biasanya karena masalah keluarga, perlakuan kejam (abuse) dan sebagainya.

c. Developmental receptive language disorder: yaitu bila berbahasa mengalami keterlambatan, tetapi perkembangan sosial normal. d. Mental handicap: yaitu bila semua perkembangan termasuk

perkembangan sosial mengalami keterlambatan.

e. Atypical autism: yaitu bila hanya 1 atau 2 gejala yang ada, dan tidak terjadi sebeluni usia 3 tahun.

f. Asperger's syndrome: yaitu bila perkembangan inteligensi dan berbahasa cukup normal, tetapi perkembangan sosialnya abnormal.

(40)

h. Disitegrative disorder: yaitu bila perkembangan anak di semua bidang terus menurun, sesudah periode perkembangan normal. i. Hyperkinetic disorder with stereotypies: yaitu bila anak

mengalami gangguan dalam konsentrasi, mudah kikuk, gelisah, dan perilaku berulang.

j. Landau Kleffner syndrome: yaitu suatu kondisi dengan karakteristik periode perkembangan bahasa yang normal dilanjutkan dengan menghilangnya berbahasa disertai epilepsi.

Pada kenyataannya ada kemungkinan seorang anak mendapat lebih dari satu diagnosa. Masalah lainnya misalnya rasa takut yang berlebihan, menyakiti diri sendiri (membanting/memukul kepala sendiri, menggigit tangan sendiri, dan sebagainya), kesulitan dalam kemandirian buang air kecil dan besar, hiperaktif, dan sindrom Gilles de la Tourette (multiple tics dengan vokalisasi yang tidak terkontrol). Kondisi-kondisi ini jarang tejadi, tapi tetap harus dipertimbangkan (Baron-Cohen, 1996).

Jenis terapi

(41)

Therapy, Daily Life Therapy, Farmakoterapi, Penggunaan Vitamin dan Food Suplement, Holding Therapy, Floor Time, Auditory Integration, Imitation Training Option (Son Rise), Sensory Integration Therapy, Music Therapy, Deep Pressure Therapy, Akupuntur, Dolphin Therapy, Diet CFGF, IVIG, Play Therapy, dan lain-lain.

Secara garis besar ada 4 kelompok atau golongan terapi: a. Biochemical

Biokimiawi, terapi food alergi, obat-obatan, suplemen, dan vitamin, dan lain-lain.

b. Neurosensory

SI, Auditoy Training, Daily Life Therapy, dan lain-lain. c. Psychodinamic

Holding Therapy, Psikoterapi, Psikoanalisis, dan lain-lain. d. Behavioral

DTT (Lovaas, dan lain-lain), behavior modification with or without aversives, teacch (Fitriani Kartawan, 2004).

(42)

Pendekatan behavioral yang terkenal, karena didukung oleh banyak teori-teori ilmiah yang relevan adalah versi Discrete Trial dari Lovaas dan program TEACCH di North Carolina. Keduanya memiliki program yang terstruktur dan banyak menggunakan penguatan positif, 2 faktor yang sangat penting.

a. Terapi Perilaku

Terapi perilaku adalah program mengajar yang intensif dan terstruktur, dengan sistem pengajaran satu murid-satu guru. Pelajaran yang diberikan dipecah dalam bagian- bagiannya yang paling sederhana. Bagian-bagian ini diajarkan menggunakan metode pengulangan, di mana anak diberikan stimulus (seperti "TIRUKAN" atau "LIHAT"). Respon dan perilaku yang benar dihadiahi dengan banyak penguatan positif (hadiah), jika anak melakukan respon salah, mereka diabaikan dan respon yc:ing diinginkan dibantu dengan prompt serta dihadiahi. Perilaku yang tidak diinginkan diatasi dengan cara pendekatan yang sama.

(43)

pujian, dan lain-lain). Begitu kemampuan anak lebih meningkat dan mampu melakukan generalisasi, keberhasilan itu menjadi hadiah bagi anak.

Setelah mereka menguasai keterampilan sederhana seperti duduk manis, imitasi, atensi, dan lain-lain, mereka lalu harus dapat mengkombinasikannya dalam kemampuan yang lebih kompleks ">eperti berbahasa, bermain, dan interaksi sosial. Program ini dilaksanakan dengan sistem pengajaran satu lawan satu, menghabiskan waktu pengajaran 40 jam perminggu selama setahun penuh dan tidak boleh berhenti selama 2 tahun atau lebih.

b. Terapi Sensori lntegrasi

lntegrasi Sensori adalah pengorganisasian informasi melalui semua sensori yang ada (gerakan, sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran, body-::iwareness, dan gravitasinya) untuk menghasilkan respon yang bermakna.

(44)

Berdasarkan teori ini Ayres menerangkan hubungan antara

perilaku anak dengan perkembangan fungsi otak. Terapi lntegrasi Sensori efektif untuk memperbaiki kemampuan pemrosesan sensori dalam otak.

c. Terapi Obat-Obatan

Pemberian obat bagi anak autistik masih dalam pembicaraan pro dan kontra. Beberapa efek obat memang dapat merusak sistem saraf dan beberapa organ dalam lainnya, misalnya: hati.

Resiko terbesar yang dapat terjadi pada anak-anak adalah karena masih sensitifnya sistem saraf terhadap efek dari zat-zat asing yang dalam hal ini adalah obat. Anak yang termasuk dalam golongan yang beresiko tinggi, maka pemberian dosis tinggi harus dihindarkan semakin muda usia anak semakin tinggi resikonya, oleh karena itu dokter dan orang tua harus bekerja sama.

(45)

d. Terapi Diet Bebas Casein-Gluten (CFGF-Casein Free Free)

Sebuah studi di AS Menyatakan bahwa 80

%

penyandang autistik mengalami alergi terhadap produk susu dan gandum. Peneli!ian menunjukkan bahwa jika tubuh tidak mampu mencerna makanan tertentu maka hal tersebut dapat mempengaruhi proses sistem saraf, yang pada beberapa anak menyebabkan !imbulnya perilaku autisme. Rise! terbaru menunjukkan bahwa makanan yang mengandunng gluten (protein pada gandum, terigu, jelai) dan kasein (protein pada produk susu dan olahannya) memang seharusnyalah dihindari untuk dikonsumsi oleh anak-anak autis!ik.

Para ahli medis di lnggris dan Norwegia telah melakukan

(46)

saraf, termasuk gcrakan- gerakan reflek seperti bernafas dan detak jantung. Heroin itu membuat si anak merasa mengantuk, tubuh terasa hangat dan merasa relaks, selain itu juga dapat menghambat sensasi rasa sakit. Heroin-heroin ini sangat adiktif dan dapat mencapai tahap racun. Ketergantungan kimiawi ini dapat berkembang sehingga membuat kita sukar untuk menghilangkan makanan-makanan yang mengandung

gluten/casein. Mungkin inilah penjelasannya mengapa anak-anak autistik sangat "rakus" terhadap produk susu dan terigu

2.1.3. Sikap

Pengertian sikap

Sikap manusia atau untuk singkatnya kita sebut sikap telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli.

(47)

Menurut Gerungan, sikap/attitude diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap satu hal.

Menurut J.P. Chaplin (1999), sikap/attitude adalah satu predisposisi/ kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku atau untuk bereaksi dangan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek/lembaga, atau persoalan tertentu.

R. Sutarto menyatakan bahwa sikap adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus.

Dari berbagai definisi sikap di alas ada kesamaan yang dapat penulis simpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan untuk berperilaku yang selalu diarahkan kepada suatu hal, objek, benda-benda, orang-orang, nilai-nilai, dan sebagainya, tak ada sikap yang tanpa objek sikapnya. Sikap dapat bersifat positif, dengan adanya kecenderungan tindakan mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, dan dapat pula bersifat negatif dengan kecenderungan menjauhi, menghindari,

membenci, dan tidak menyukai objek tertentu.

(48)

mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu pada seseorang dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognitif), dan predisposisi tindakan (konasi) terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Saifudin Azwar, 2003). Menurut pemikiran ini sikap terbentuk dari tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu komponen afeksi, kognisi, dan konasi.

Untuk lebih jelas penulis menjabarkan sikap melalui ciri-ciri sebagai berikut:

a. Sikap tidak dibawa sejak lahir melainkan dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan hidup manusia melalui pengalaman-pengalaman.

b. Sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan. c. Sikap tidal< dapat berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan

dengan obJek, tak ada sikap tanpa adanya objek sikap.

d. Sikap dapat bermacam-macam sesuai dengan banyaknya objek yang dapat menjadi perhatian orang yang bersangkutan.

e. Dalam sikap terkait juga motivasi dan perasaan, ini yang membedakan sikap dari kecakapan dan pengetahuan f. Sikap tidak dapat menghilang, walaupun kebutuhan telah

(49)

dengan dorongan-dorongan psikis lainnya yang turut menyusun kepribadian seseorang

Komponen sikap

Sikap mempunyai 3 komponen yang pa.ra ahli disebut sebagai skema triadik (triadic sceme) yaitu komponen afeksi, konasi, dan kognisi. Ketiga komponen ini saling terkait dengan erat, timbul teori bahwa jika kita mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap sesuatu, kita juga akan mengetahui kecenderungan perilakunya (Sarlito W. Sarwono, 1999).

Komponen sikap di atas lebih lanjut disebutkan sebagai berikut:

a. Komponen afeksi, merupakan komponen yang terkait dengan masalah ernosional subyektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.

b. Komponen konasi, menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan untuk berperilaku tertentu yang ada pada seseorang berkaitan dengan objek sikapnya.

(50)

kepercayaan ini dapat membuat seseorang melakukan

generalisasi terhadap hal yang belum diketahui, tapi mempunyai kesamaan dengan hal yang telah ia ketahui sebelumnya.

Ketiga komponen ini akan memberi respon terhadap objek sikap,

sekalipun respon tersebut sebatas perasaan atau pemikiran, tidak sampai pada perlakuan. Kategori respon tersebut dapat terlihat lebih jelas melalui label berikut:

Tabel

2.1.

Respon yang digunakan untuk penyimpulan sikap

-· .

Tipe Kategori Respons

Res pons Kognitif Afektif K cnatif

Verbal Pernyataan Pernyataan

..

Pernya taan

keyakinan perasaan intensi perilaku

mengenai objek terhadap

sikap objek sikap

Non -verbal Reaksi Reaksi Perilak u tampak

perseptual fisiologis sehub ungan

terhadap objek terhadap denga n objek

sikap objek sikap

_L

sikap [image:50.609.91.548.239.679.2]
(51)

Mann (dalam Saifudin Azwar, 2003), mengatakan bahwa sekalipun diasumsikan bahwa sikap merupakan suatu predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi oleh berbagai faktor ekternal lainnya. Pada dasarnya sikap memang lebih bersifat pribadi sedangkan tindakan atau kelakuan lebih bersifat umum atau sosial, karena itu tindakan lebih peka terhadap tekanan-tekanan sosial.

Pembentukan sikap

Pembentukan sikap tidak terjadi begitu saja melainkan terbentuk melalui suatu proses tertentu. Melalui interaksi yang dilakukan individu dengan individu lainnya dengan lingkungannya, dalam hubungan ini faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, dapat penulis bedakan menjadi dua bagian, yaitu:

a. Faktor Intern, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, di antaranya:

1. Pengalaman pribadi

(52)

Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif atau negatif tergantung pada berbagai faktor lain.

2. Faktor J::mosional

Terkadang suatu bentuk sikap merupakan penataan yang tidak didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego dan tidak selalu dibentuk oleh situasi lingkungan atau

pengalaman pribadi seseorang. Suatu contoh bentuk sikap yang didasari oleh faktor emosional adalah prasangka.

Prasangka adalah penilaian terhadap suatu hal berdasarkc:in fakta dan informasi yang tidak lengkap, jadi sebelum ia tahu bahwa sesuatu itu bflnar, ia sudah menetapkan pendapatnya mengenai hal tersebut dan atas dasar itulah ia membentuk sikapnya.

b. Faktor Ekstern:

1. Orang lain yang dianggap penting

(53)

antaranya: orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri, suami, dan lain-lain.

2. Pengaruh Kebudayaan

Kebudayaan di mana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Seorang ahli Psikologi Burrhuss Frederic Skinner sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam

membentuk kepribadian seseorang. Menurutnya kepribadian tidak lain adalah pola perilaku yang konsisten yang

menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami.

3. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa baik media massa cetak maupun eletronik. Mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagi tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan

yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu memberikan

(54)

tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, namun dalam proses

pembentukan dan perubahan sikap peranan media massa cukup besar.

4. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu, karena konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem maka tidaklah

mengherankan kalau konsep tersebut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal (Saifudin Azwar, 2003).

Perubahan sikap

(55)

Perubahan sikap biasanya ditemui pada hal-hal yang berhubungan dangan proses pengaruh sosial yaitu bagaimana proses perasaan atau kepercayaan tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh stimulus yang diterimanya dari orang lain.

Perubahan tersebut dapat terjadi dalam 2 bentuk, yaitu:

a. Perubahan yang inkongruen, yaitu perubahan sikap yang berlawanan dengan sikap yang sebelumnya, jika sikap

sebelumnya adalah negatif, maka sikap sesudah adanya sesuatu akan menjadi positif dan sebaliknya.

b. Perubahan kongruen, yaitu perubahan yang makin menguatkan sikap, jika £ebelumnya sikap seseorang terhadap sesuatu hal negatif, maka s:kapnya akan menjadi negatif dan seterusnya.

Jenis perubahan yang pertama akan banyak terjadi pada orang yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu. Sebelumnya telah dikatakan bahwa ketidaktahuan seseorang akan sesuatu menjadikan seseorang bersikap negatif terhadap hal tersebut, begitupun dengan penerimaan orang tua terhadap anak penyandang autistik.

(56)

sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya. Hal inilah salah satunya yang dapat menimbulkan perubahan sikap pada orang tua penyandang autistik.

2.1.4. Penerimaan orang tua

Pengertian penerimaan orang tua

Menurut J.P. Chaplin (1999) penerimaan (acceptance) adalah ditandai dengan sikap positif atau menolak

Menurut Rogers (dalam Diah Astarini Sutikno, 1993) penerimaan berarti "A warm regard for him as a person of unconditional self worth of value no matter what his condition, his behavior, or his feelings"

"A respect and liking for him as a separate person, a willingness for him, posses his own feelings in his own way"

"An acceptance of and regard for his attitude of the moment, no matter how positive or negative, no matter how much they may contradict other attitudes he has in the past"

(57)

semua pengalaman-pengalamannya, baik maupun buruk atau positif maupun negatif dengan kata lain seseorang membutuhkan situasi yang menghormati dan menghargai yang tidak disertai persyaratan. Situasi ini bisa tercapai bila seseorang merasa diterima apa adanya tanpa ada penilaian/persyaratan tertentu, oleh karena itu penerimaan dari orang tua merupakan aspek yang penting dalam kehidupan seorang penyandang autistik.

Dalam proses "menerima" ini juga disertai sikap yang positif tentunya, artinya dalam menerima seseorang atau orang lain disertai sikap yang mendukung perkembangan orang tersebut dalam mengembangkan dirinya, dan bukan berarti tidak mempedulikannya dan tidak

memperhatikan kehadirannya (Markam dalam Diah Astarini Sutikno, 1993).

(58)

Tahap-tahap penerimaan orang tua

Pada dasarnya tidak ada satupun orang tua yang menginginkan anaknya mengalami hambatan dalam perkembangannya apalagi sampai sang anak mangalami kelainan dalam tingkah lakunya seperti autisme tetapi tentunya setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun si anak menyandang autisme, namun dalam proses ke arah sana orang tua mempunyai tanggung jawab untuk dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya karena penerimaan orang tua ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis mereka.

Perasaan orang tua menyambut kehadiran anak penyandang autisn 1e dalam kehidupan mereka biasanya pertama-tama adalah galau, tercabik antara penerimaan dan penolakan.

(59)

manusiawi seseorang lebih bisa menerima berita menyenangkan daripada berita tidak menyenangkan dan bukan tidak mungkin, di kemudian hari orang tua menyalahkan orang lain (termasuk dokter-nya) karena tidak diarahkan ketika sedang bingung.

Siapapun yang mendapatkan vonis keadaan tidak menyenangkan, pasti bereaksi. Pada umumnya, reaksi pertama orang.tua yang anaknya

dikatakan menyandang ASD adalah tak percaya (shock). Seperti saat kita kaget, kita biasanya tidak bisa berpikir dan seolah tidak bereaksi sarna sekali.

Sebagai pasangan orang tua seringkali reaksi yang terjadi antara keduanya dapat berbeda. Dapat salah satunya mengalami rentang

penolakan yang lebih panjang atas kondisi yang ada. Pasangan orang tua yang memiliki tahapan proses lebih cepat biasanya akan lebih segera pula dalam mengolah anak lebih optimal. Menurut Wardhani (2003) tahapan reaksi orang tua antara lain:

a. Shock/ terkejut

(60)

ber,ar-benar mendapatkan informasi detail dengan diagnosis yang disampaikan para ahli. Reaksi pertama yang muncul adalah terkejut dalam menerima kenyataan yang ada. Periode ini relatif lamanya, karena dapat tumpang tindih dengan reaksi kelanjutan yang muncul, yaitu penolakan akan apa yang didiagnosis.

b. Penolakan

Penolakan merupakan reaksi emosional. Dinamika yang terjadi adalah ketika secara rasional sesungguhnya orang tua dapat melihat dan menyadari realita keberadaan anak mereka dengan segala keterbatasannya, namun secara emosional masih kuat pengharapan akan kondisi yang disampaikan dalam diagnosa adalah salah, sehingga secara emosional menolak hal tersebut.

c. Sedih dan Marah

Ketika orang tua mengedepankan kondisi ini dan setelah mengalami proses pencarian informasi ataupun pendapat

(61)

mendalam, atau sebaliknya reaksi marah l<arena masih menolak kondisi yang ada.

d. Keseimbangan

Tahap ini lebih merupakan tahap penerirnaan awal mengenai keberadaan anak. Orang tua mulai dapat memahami kebutuhan yang lebih realistis, merabarasakan kondisi anak. Bila kondisi ini dapat dicapai oleh kedua orang tua bersamaan, maka akan lebih mudah dalam penatalaksanaannya, karena proses reorganisasi akan lebih optimal.

e. Reorganisasi

Dalam proses ini orang tua lebih terbuka dan kooperatif untuk menerima dan menata pola pendekatan kepada anak sesuai dengan kebutuhannya. lnteraksi timbal balik antara orang tua, lingkungan, praktisi, dan pihak lain yang terkait dalam

memberikan dukungan pada anak akan lebih dapat tertata. Proses inilah yang dapat membantu secara rinci dan optimal dilakukar •.

(62)

ini" . Keadaan ini cenderung memperlambat proses penanganan karern:1 umumnya lalu diikuti saling menyalahkan di antara pasangan, perasaan tak berdaya, depresi, dan seringkali berkembang menjadi stres

berkepanjangan ataupun sakit secara fisik.

Dokter atau psikiater penting sekali melakukan intervensi bahkan sejak tahap ini. Orang tua yang sedang limbung dan marah, memerlukan pengarahan yang berupa informasi-informasi yang berkaitan dengan autisme. Dalam situasi ini, pengarahan dari dokter atau psikiater ini akan sangat berguna dan mau tidak mau akan mereka pertimbangkan, karena mereka merupakan pihak yang dianggap "paling tahu" mengenai

persoalan anak-anak mereka. Tanpa pengarahan, fase "denial" bisa berlangsung berlarut-larut hingga tahunan, dan berakibat sangat bLiruk pada anak, orang tua, dan lingkungan.

Dinamika yang terjadi di dalam keluarga sangat memiliki pengaruh dalam penanganan penyandang autisme. Dalam kodisi ini orang tua memiliki peranan penting dalam mengelola keadaaan keluarga secara totalitas, oleh karena itu kesamaan persepsi, kondisi saling memotivasi di antara orang tua akan sangat menentukan tingkat optimalnya dalam penanganan anak, tentu hal ini merupakan kondisi ideal yang hendaknya dapat

(63)

keluarga memiliki dinamika ideal ini, adapun beberapa keadaan yang menjadi masalah dalam keluarga adalah "perbedaan penerapan pola asuh dan penerapan kedisiplinan (antara ayah dan ibu) ketidakmampuan dalam mengendalikan masalah perilaku anak" (Wardhani, 2003).

Proses tahapan-tahapan tersebut akan sangat mempengaruhi

penanganan terhadap anak penyandang autistik, karena semakin cepat dan semakin baik orang tua dalam melewati proses tersebut akan mempercepat penanganan terhadap anaknya, selain itu penerimaan orang tua yang baik akan membuat mereka semakin manyadari bahwa banyak yang harus dilakukan untuk melakukan penyembuhan bagi anak mereka termasuk bersikap terhadap si anak.

Bentuk penerimaan orang tua

Menurut Diah Puspita, seorang psikolog bentuk penerimaan orang tua dalam penanganan individu autistik adalah:

a. Memahami keadaan anak apa-adanya (positif-negatif, kelebihan dan kekurangan).

(64)

mengandalkan bantuan pengasuh, pembantu, saudara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak (bagian dari "denial"), padahal pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang tuar.ya, karena membuat orang tua,

b. Memahami kebiasaan-kebiasaan anak,

c. Menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak, d. Memahami penyebab perilaku buruk atau baik anak - anak, e. Membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam

kehidupan di masa depan. Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua bersikap mengecam,

mengkritik, mengeluh dan terus menerus mengulang-ulang pelajaran, anak cenderung bersikap menolak dan "masuk" kembali ke dalam dunianya. Ada baiknya orang tua dibantu melihat sisi positif keberadaan anak, sehingga orang tua bisa bersikap lebih santai dan "hangat" setiap kali berada bersama anak. Sikap orang tua yang positif biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula sedangkan sikap orang tua yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan individu autistik yang "sulit" untuk diarahkan, dididik dan dibina.

(65)

Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua tidak tahu harus memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter di sini sangat penting dalam membantu memberikan ketrampilan kepada orang tua untuk dapat menetapkan kebutuhan anak.

Satu ha! penting yang perlu diingat oleh setiap orang tua adalah bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda dari anal< Jain. Greenspan (1998) menekankan bahwa setiap anak memiliki profil yang unik dan spesifik/ Individual is different (individu itu berbeda-beda).

(http://www. puterakembara. org/rm/peran-ortu. shtml)

Sedangkan Diah Astarini Sutikno dalam skripsinya (1993) mengatakan seseorang akan rierasa diterima bila orang lain di lingkungan sekitarny2 dipersepsikannya menampilkan sikap-sikap sebagai berikut:

a. Menghar9ai pendapat yang dikemukakannya.

b. Menghargai secara keseluruhan apa yang ada dalam dirinya tanpa syarat, pendapat, ataupun penilaian.

c. Memandang;iya sebagai orang yang berharga dan tidak mempermasalahkan kondisi, tingkah laku, ataupun perasaan yang melatarbelakanginya.

(66)

e. Menghargainya secara keseluruhan tidak hanya dalam situasi tertentu £aja.

f. Tidak memandang rendah dirinya.

g. Tidak 「・イセウ。ィ。@ untuk menguasai dan mengaturnya. h. Tidak mengabaikan keberadaannnya.

Yang termasuk tang9ung jawab orang tua sebagai penerimaan terhadap anaknya yang mcmyandang autisme ialah memenuhi

kebutuhan-kebutuhan si anak, baik dari sudut organis psikologis, antara lain

makanan, maupun kebutuhan-kebutuhan psikis seperti kebutuhan akan perkembangan intelektual melalui pendidikan, kebutuhan akan rasa dikasihi, dimengerti, dan rasa aman melalui perawatan, asuhan, ucaper1-ucapan, dan perlakuan-perlakuan. Dengan demikian si anak dapat

tumbuh dan berkembang ke arah suatu gambaran kepribadian yang lebih harmonis dan lebih matang sebagaimana yang orang tua ingi11kan (.A.lex Shobur, 1998).

(67)

Orang tua yang mencintai anaknya yang bercasarkan devotion didorong oleh rasa kasih sayang sebenarnya-benarnya mereka mengasihi anak-anak secara tulus. Mereka siap melakukan pengorbanan yang masuk aka! dan bila perlu pengorbanan yang tidak masuk aka! sekalipun. Devction ini merupakan unsur yang paling pokok dalam cinta kasih orang tua. Begitu pula jika orang tua sudah menerima keberadaan anak penyandang autistik dengan kasih sayang yang dilandasi dengan devotion maka mereka akan melakukan apapun demi kesembuhan anaknya.

Penerimaan orang tua terhadap anak penyandang autistik ini sangat penting untuk citra diri, karena dengan adanya penerimaan orang tua terhadap mereka, anak merasa dihargai dan dicintai sehingga citra diri

mereka menjadi positif dan hal ini dapat meningkatkan kemajuan pada terapi mereka.

(68)

mencapai hasil terapi yang maksimal, anak harus ditangani selama dia bangun. Persyaratan ini pasti sangat berat bagi siapapun, oleh karena itu tidak mungkin terapi anak (terutama yang autistik) hanya dilakukan oleh 1 orang saja, misalnya ibunya atau ayahnya atau bahkan pengasunnya. Jadi di samping terapi di institusi atau sekolah khusus, masih dibutuhkan penanganan di rumah yang justru lebih lama dari di sekolah, untuk itu diperlukan satu kerjasama yang baik dan terkoordinasi atau terorganisasi, serta dipantau secara intensif, agar seluruh program dapat berjalan

dengan lancar dan tidak membuang waktu (wasting time).

Orang tua baik ayah maupun ibu, harus menjadi semacam organizer dari semua orang yang mau terlibat dalam penanganan anak berkelainan ini. Sebaiknya semuanya telah mendapatkan penjelasan dan memaharni tentang autisme serta metode apa yang dipakai dalam menterapi anak mereka karena proses terapi memerlukan penerapan kedisiplinan yang tinggi baik dalam metode ataupun dalam pengaturan waktunya. Pada anak yang masih berusia balita, maka terputusnya proses terapi selama satu minggu saja, sudah menyebabkan regresi atau kemunduran perilaku yang sangat banyak.

(69)

mampu menangani anak autistik sendirian. Semua yang terlibat dalam proses terapi anak yang berkelainan adalah manusia biasa. Mereka juga merupakan individu-individu yang memiliki masalah, emosi, perasaan hati, temperamen, dan kepribadian, yang walaupun mereka dianggap normal sulit mengukur sampai sejauh mana ke"normal"annya atau kedewasaan mentalnya. Terutama orang tua harus mawas diri secara

sungguh-sungguh, karena kita tahu bahwa autisme satah satu penyebabnya adalah faktor genetik. Jadi sedikit banyak mereka memiliki faktor genetik juga.

2.2. Kerangka berpikir

Penyandang autistik meningkat

lnformasi tentang autisme

meninakat

- Uji diskriminasi item

- Uji reliabilitas

..

- Koefisien korelasi dari Spearman

Pemahaman orang tua diasumsikan dapat

membenh 1k sikap penerimaan orang tua

terhadap anak anak pennyandang autistik

Adakah hubungan antara pengetahuan

orang tua tentang autisme dengan

sikap penerimaan orang tua terhadap

(70)

2.2.1 Hipotesa

(71)
(72)

3.1.

Pendekatan dan metode penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian korelasional. Menurut Gay (dalam Consuelo G. Sevilla,

dkk, 1993) metode deskriptif adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Penelitian korelasional adalah penelitian yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi (Consuelo G. Sevilla, dkk, 1993).

3.2.

Pengambilan sampel

3.2. Subyek penelitian

Subyek penelitian adalah orang tua yang memiliki anak autistik yang

(73)

terdapat di 4 tempat yaitu di Ende Mandiri, Bintang Kecil Indonesia, Pendidikan Dini An-Nur, dan Avanti Treatment centre. Jumlah sampel yang diambil oleh penulis adalah 34 orang, 17 orang untuk try out dan 17 orang untuk penelitian. Penetapan jumlah sampel ini disesuaikan dengan pertimbangan waktu, tenaga, dan dana (Sutrisno Hadi, 1980).

3.2.2. Teknik sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah random sampling, dengan pertimbangan setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama dalam penelitian ini.

3.3.

Pengumpulan data

3.3.1. lnstrumen pengumpul data

(74)

3.3.2. Kisi-kisi instrumen

[image:74.604.61.567.192.596.2]

Kisi-kisi skala pengetahuan orang tua tentang autisme sebelum try out adalah:

Tabel 3.1. lndikator pengetahuan orang tua (try out)

No lndikator Favourable Unfavourable

I Jml

I

I

item

1. Memiliki informasi dan pengalaman 1, 2, 16, 17, 3, 4,

QXNMセMセ@

I

tentang autisme 35, 36 37

I

2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan 5, 6, 20, 21, 7, 8, 22, 23, 13

I

autisme 38, 39 40, 41, 50

I

I

I

3. Mengetahui ciri-ciri tentang autisme 9, 10, 24, 25, 11, 12, 26.n.p

42,43 44, 45

I

'

I

4. Mengetahui cara memenuhi kebutuhan 13, 14, 28, 15, 30, 31 34,

I

14 I

anak autistik 29, 32, 33,48 46, 47, 49

i

I

25 25 50

--

- - - · ·
(75)

Tabel 3.2. lndikator pengetahuan orang tua (revisi)

No lndikator Favourable Unfavourable Jml Item

I

I. Memiliki informasi dan

1, 2, 16, 17, 3, 4, 18, 19

9

---1

I

'

I

pengalaman tentang autisme

36

I !

>--- · 1

2. Mengetahui apa yang dimaksud

6, 38, 39

8, 23, 41, 50

17

'

I

!

i

dengan autisme I

-i

3. Mengetahui ciri-ciri tentang

10, 25

11, 26' 27' 45 6

' !

I

!

autisme !

'

セ@

I 4. Mengetahui cara memenuhi

32

15, 30, 47,49

5

1,

kebutuhan anak autistik

-11

16

27

·-

__l ____

Kisi-kisi skala penerimaan orang tua terhadap anak penyandang autistik sebelum try out:

Tabel

3.3.

lndikator penerimaan orang tua (try out)

No lndikator Favourable Unfavourable Jml item

1.

Memahami anak apa adanya

1, 2, 25,26,43

3,4, 27, 28

9

2_

Membentuk ikatan batin

5,6, 29, 30, 53

7, 8, 31,45

9

dengan anak

I

_

_J

[image:75.604.69.566.137.716.2]
(76)

--3:---Mengupayaka_n ______ a_l_t_e_rn_a_ti-f セYMNMQMPMN@ -3-2-. TMYMNMUMRセMMQQMNMQMRMN@ -3-3.-5-1 ---, _9 ______ /

I

1

\

I

1-4-.--+-M_e_n-gh_a_r-ga_i_a_n-ak---+-1-3,-1-4,-3-4,-3-5--1, 1-1-5-, -1-6-, _3_6_, _4_6_, +! _10 ______ j

I

I

penanganan

50 44

5. Ekpresi Fisik 17, 18, 37, 38, 19, 20, 39, 47

QYMセ@

I

セ@

cEkopcooi

v・セ@

_

__t'·:

41

23 ;-:-·

;-2-_.-48---+,-:

4

· -.•

54

Kisi- kisi skala sikap penerimaan orang tua terhadap anak penyandang autistik setelah dilakukan uji coba adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4. lndikator penerimaan orang tua (revisi)

Unfavourable I Jml

I

l

j I

I

Item

I

1-1-.---+-M-e-m-ah-am-i-an_a_k_ap-a a_d_a_n-ya---t-2-6 _ _ _ _ _ _____,_3_, __ 2_7_, 2-8---+l-4 ___

i

I

I

lndikator Favourable

No

2.--+--M-e_m_b-en-tu_k_lk--a-ta-n---ba-t--,--in---de_n_g_a_n---+---c5----,-2-9-, -30-,--5-3---+--8-.-3-1 - - - \ 6

anak

I

1-3----.-+-"'M----e_n_g-up_a_y_a----ka-n ---a----1te--r-n-at"'ifc+-c9'-. ----1----0-. 5=-2 _ _ _ _____,r-1-1-.-12.·s-1---r

I

I

i

,_____,_ ________________ ,__ _______ _.__ _______

ャセ@

__

l

[image:76.602.59.533.109.706.2]
(77)

.

I

4.

Menghargai anak

13, 14, 34, 35,44 15, 16, 36, 46, 110

I

I

50

!

i

i

I

!

• ..

jg

15.

Ekpresi Fisik

17, 18, 37, 38, 54

19, 20, 39, 47

I •

I

!

\

I

6.

J" _ _ _ _ _ •

Ekspresi Verbal

21, 22, 40.41

24, 42, 48

17

I

I

セMMMセMMᄋᄋᄋ@

I • '

I I

22

20

42

I

L_l ___

-.•T

Dalam pengisian skala ini responden diminta untuk memilih satu jawaban dari lima alternatif jawaban yang telah disediakan. Sistem penilaian dari teknik Likert dalam penelitian ini adalah untuk item-ietem yang favorable maupun unfavorable berkisar antara 1 sampai 5. Rincian skor untuk item-item favorable adalah sebagai berikut: SS

=

5, S

=

4, R

=

3, TS

=

2, STS

=

1, dan rincian skor untuk item-item unfavorable adalah sebagai berikut: SS

=

1, S

=

2, R

=

3, TS

=

4, STS

=

5.
(78)

29 Mei 2004 terhadap

17

sampel, dan penelitian dilakukan dari tanggal

1

o

Juni sampai 2 Juli 2004 dengen

17

sampel.

3.4.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitiannya adalah sebagai berikut:

a. Tahap Persiapan

1. Dimutai dengan perumusan masalah . 2. Menentukan variabel yang akan diteliti.

3. Melakukan studi perpustakaan untuk mendapatkan garnbaran dan landasan teori yang tepat mengenai veriabel penelitian. 4. Menentukan, menyusun, dan rnenyiapkan alat ukur yang ak<rn

digunakan dalam penelitian ini adalah skala pernaharnan orang tua tentang autisrne dan skala sikap penerirnaan orang tua terhadap anak penyandang autistik.

5. Menetukan lokas1 dan menyelesaikan administrasi perizinan.

b. Tahap Penelitian

(79)

2. Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan

meminta kesediaan subyek untuk mengisi kuesioner dan skala penelitian.

3. Melakukan pengambilan data dengan memberikan alat ukur yang telah dipersiapkan kepada subyek penelitian.

c. Tahap Pengolahan Data

1. Melakukan skoring terhadap setiap skala yang niasuk. 2. Menghitung dan membuat tabulasi data yang diperoleh dan

kemudian dibuat tabel data.

3. Melakukan analisis data dengan menggunakan metode

statistik untuk menguji hipotesis penelitian dan korelasi antara variabel penelitian.

d. Tahap Pembahasan

1. Menginterpretasikan dan membahas hasil statistik berdasarkan teori.

(80)

3.5.

Analisa Data

1. Uji diskriminasi item untuk menguji kualitas item dilakukan dengan menghitung korelasi terhadap efek spurious overlap Spearman (Saifuddin Azwar, 2002):

r;(x-i)

= ___

_,,r;&x _ S,__; _ _ _ _ _ _ _

-V[s/ + -si

2 -

2

r;xS; Sx]

Keterangan:

r;(x-i) = Koefisien korelasi aitem-total setelah dikoreksi dari efek spurious overlap

r;x =Koefisien korelasi aitem-total sebelum dikoreksi

S; = Deviasi standar skor aitem yang bersangkutan

Sx = Deviasi standar skor ska la

2. Uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach (Saifuddin Azwar, 2002) dengan rumus:

S/ +S/

a=2[1- ]

Sx

Keterangan:

(81)

3. Proses an

Gambar

Gambar 1 Penyebab autisme (diadaptasi dari Sri Utami Soedarsono Djamaluddin, 2004)
Tabel 2.1. Respon yang digunakan untuk penyimpulan sikap
Tabel 3.1. lndikator pengetahuan orang tua (try out)
Tabel 3.3. lndikator penerimaan orang tua (try out)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan hukum ini membahas tentang apakah pengajuan kasasi penuntut umum terhadap putusan bebas perkara perkosaan dengan alasan adanya kesalahan penerapan hukum

Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan Kegiatan-kegiatan pokok RKP 2006: Dalam rangka pelaksanaan program ini

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan kepala keluarga dan minat belajar dengan

Pada hasil partisipasi aktif siswa, siswa telah berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran dan keaktifan siswa pada proses pembelajan berlangsung dapat dilihat

Untuk mennyimpulkan hasil penelitian ini maka dilakukan bebrapa proses analisis diantaranya uji kualitas data yang mencakup uji validitas dan reliabilitas data untuk membuktikan

Gambar 4.138 Rancangan Layar Halaman Laporan Pelanggan / Partner Baru

Untuk mengetahui pengaruh investasi dan upah riil terhadap penyerapan tenaga. kerja sektor industri pengolahan menggunakan analisis regresi

Menurut Hazberg (2002), bahwa karyawan termotivasi untuk bekerja disebabkan oleh 2(dua) faktor yaitu : 1) faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri