• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suitability Study of Coral Reefs Ecosystem of Liwutongkidi Island and its Surrounding for Development of Ecotourism in the Buton District

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suitability Study of Coral Reefs Ecosystem of Liwutongkidi Island and its Surrounding for Development of Ecotourism in the Buton District"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

YUSNIAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Buton adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

(3)

YUSNIAR, Suitability Study of Coral Reefs Ecosystem of Liwutongkidi Island and its Surrounding for Development of Ecotourism in the Buton District. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and YUSLI WARDIATNO.

The area of Liwutongkidi island in the District of Buton, Province South East Sulawesi, has a varied coastal and marine resource potentials, such as coral reef ecosystem. The objectives of this research was (a) to identify the potential for coral reef ecosystem in the island of Liwutongkidi area (b) to analyze the suitability and carrying capacity of coral reef for tourism development (c) to estimate the economic value of the tourism. The coral reef ecosystem can be used to study its suitability for marine tourism objects of diving and snorkeling. Collected data were life form of coral reef, coral fish, current speed, water transparency and coral reef depth. The formula used to determine tourism suitability is suitability matrix of diving and snorkeling, and Scenic Beauty Estimation (SBE) to judge the quality of landscape. Line intercept transept method during survey showed that Island of Liwutongkidi area had a condition of coral reef in the category of “good” with the average coral coverage is 52.03%. However the economic value was very low calculated the travel cost method analysis.

(4)

YUSNIAR, Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Buton. Dibimbing oleh ACHMAD FACHRUDIN dan YUSLI WARDIATNO.

Kawasan Pulau Liwutongkidi memiliki ekosistem terumbu karang yang masih baik dan berpotensi untuk pengembangan ekowisata bahari, baik selam maupun snorkelling. Daerah tersebut merupakan areal dari kawasan konservasi laut daerah dan merupakan bagian dari rencana pemerintah Kabupaten Buton dalam mengembangkan Pulau Liwutongkidi sebagai kawasan ekowisata. Tujuan penelitian ini adalah (a) Mengidentifikasi potensi ekosistem terumbu karang di kawasan Pulau Liwutongkidi , (b) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang bagi pengembangan ekowisata, (c) Mengestimasi nilai ekonomi wisata.

Untuk mengetahui tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan ekosistem terumbu karang untuk wisata selam dan snorkeling, maka dibutuhkan data-data menyangkut kondisi ekologis dan kualitas perairan. Kondisi ekologis yang menjadi pembatas untuk wisata selam dan snorkeling meliputi kondisi tutupan komunitas karang (% cover), jenis life form, lebar hamparan terumbu karang, keragaman jenis-jenis ikan karang. Kondisi kualitas perairan yang menjadi pembatas yaitu kecepatan arus, kedalaman perairan dan kecerahan perairan.

Penentuan tingkat kesesuaian kawasan sebagai kawasan wisata selam atau snorkeling menggunakan Analisis Matriks Kesesuaian Kawasan. Kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling mempertimbangkan tujuh (7) parameter dan untuk selam enam (6) parameter, dengan empat (4) klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata snorkeling antara lain kecerahan perairan, tutupan karang, jenis life form karang, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang. Kemudian di dapat Indeks Kesesuaian Wisata (IKW). Hasil IKW selanjutnya dikelompokan dalam 3 kategori yaitu S1 (Sangat sesuai, dengan IKW 83-100 %), S2 (Sesuai, dengan IKW 50-<83 %) dan N (Tidak sesuai, dengan IKW < 50%).

Hasil analisis kesesuaian wisata menunjukan bahwa secara umum, kawasan Pulau Liwutongkidi sesuai untuk pengembangan wisata, baik selam maupun snorkelling. Namun terdapat beberapa stasiun yang tidak sesuai untuk jenis wisata tertentu karena dibatasi oleh faktor kedalaman. Berdasarkan nilai IKW, Stasiun 4 dan 7 merupakan lokasi penyelaman yang baik, dimana di lokasi tersebut memiliki nilai IKW yang tinggi dibandingkan dengan yang lainnya yaitu masing- masing sebesar 79.62 % dan 75.92 %.

(5)

167 jenis ikan karang yang termasuk dalam 33 suku. Jenis ikan karang paling banyak dijumpai pada stasiun 10 dengan 96 jenis ikan. Jumlah ikan tertinggi ditemukan pada stasiun 12 dengan jumlah ikan 470 individu ikan, sedangkan jumlah ikan terendah ditemukan pada stasiun 7 dengan 221 individu.

Kawasan Pulau Liwutongkidi memiliki nilai Daya Dukung yang cukup tinggi. untuk masing-masing jenis wisata diperoleh 252 orang/hari untuk wisata snorkelling dan 205 orang/hari untuk wisata selam. Dengan demikian, Jumlah maksimum rata-rata per hari yang dapat ditampung di daerah tersebut sebanyak 457 orang.

Pulau Liwutongkidi memiliki nilai ekonomi yang sangat rendah, yaitu Rp. 15 283 095,- per tahun. Nilai ekonomi tersebut diperoleh dari analisis travel cost method (TCM) yaitu suatu metode yang memperkirakan rata-rata permintaan kunjungan terhadap lokasi wisata.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutuipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

Y U S N I A R

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Yusniar Nomor Pokok : C 252080414

Program studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(10)

Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul “Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Buton”. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi beserta staf pengajar dan staf administrasi atas bimbingan dan bantuan selama studi penulis di SPL-IPB.

3. Direktur PMO COREMAP II Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan beserta seluruh jajarannya atas beasiswa yang diberikan kepada penulis.

4. Bapak Dr. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Ibu Hj. Ola Asih, SE atas bantuannya dalam pengurusan administrasi dan hal-hal teknis lainnya untuk kelancaran program beasiswa Coremap II yang menjadi sponsor dalam studi penulis di SPL-IPB.

5. Kepada ayahanda La Nyaa (Alm) dan ibunda Hasni Mursia, serta bapak mertua (La Ode Mansahara) ibu mertua (Wa Ode Mislaini) atas kasih sayangnya dan seluruh saudara yang selalu memberikan doa dan restunya kepada penulis.

6. Teristimewa untuk suamiku La Ode Muhamad Muhsin dan anakku tersayang La Ode Syarif Muhamad. Terimakasih atas pengertian, kasih sayang dan doa yang kalian berikan.

Bogor, September 2010

(11)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Waha, Buton, Sulawesi Tenggara pada 7 Januari 1975 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari La Nyaa (alm) dan Hasni Mursia. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Inpres Wajo pada tahun 1987. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SMP Negeri 2 Bau-Bau dan lulus pada tahun 1990. Selanjutnya penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Bau-Bau dan lulus pada tahun 1993. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Muslim Indonesia, Makasar dari tahun 1993 – 1999.

(12)

xii

2.4 Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Ekowisata Terumbu Karang ... 12

3.3.1 Persentase Penutupan Karang ... 23

3.3.2 Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang ... 23

(13)

xiii

4.2.2.4 Sarana Prasarana Pendidikan ... 40

4.3 Kondisi Lingkungan Perairan ... 40

4.3.1 Kecepatan Arus ... 41

4.3.2 Kecerahan ... 41

4.3.3 Suhu ... 41

4.3.4 Salinitas ... 42

4.4 Potensi dan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ... 42

4.4.1 Terumbu Karang ... 42

4.4.2 Ikan Karang ... 44

4.5 Kesesuaian Kawasan Untuk Pengembangan Wisata Snorkeling dan Selam ... 47

4.5.1 Kesesuaian Wisata Snorkeling ... 48

4.5.2 Kesesuaian Wisata Selam ... 50

4.6 Daya Dukung kawasan ... 52

4.7 Evaluasi Aspek Visual Ekosistem Terumbu Karang ... 53

4.8 Nilai Ekonomi Wisata ... 56

4.9 Sosial Ekonomi dan Persepsi masyarakat ... 58

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(14)

xiv DAFTAR TABEL

Halaman

1. Posisi geografis titik stasiun penelitian ... 19

2. Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang digunakan ... 21

3. Data yang dikumpulkan dalam analisis biaya perjalanan ... 22

4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling ... 25

5. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam ... 26

6. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan ... 28

7. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata ... 28

8. Komposisi penduduk menurut lapangan pekerjaan tahun 2008 ... 37

9. Sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Siompu dan Kadatua ... 40

10. Kondisi parameter kimia dan fisika perairan perairan di lokasi penelitian ... 40

11. Persentase tutupan life form dan subtract di stasiun penelitian ... 43

12. Jumlah suku, jenis, kelimpahan dan indeks keragaman ikan per-lokasi Penelitian hasil perhitungan dengan metode under water visual census (UVC) ... 45

13. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Kategori snorkeling ... 48

14. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Kategori selam ... 50

15. Nilai SBE masing-masing landscape/foto pada masing-masing stasiun penelitian ... 55

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan kerangka pemikiran penelitian ... 4

2 Peta titik stasiun penelitian ... 20

3 Komposisi ikan karang di lokasi penelitian berdasarkan hasil under water visual census (UVC) ... 46

4 Peta kesesuaian wisata snorkeling di kawasan penelitian ... 49

5. Peta kesesuaian wisata selam di kawasan penelitian ... 51

6. Karakteristik tingkat pendidikan responden ... 59

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil analisis life form terumbu karang pada masing- masing

stasiun Penelitian dengan metode LIT ... 75

2. Hasil analis ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian dengan dengan metode UVC ... 77

3. Hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori snorkeling ... 85

4. Hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam pada pada masing-masing stasiun penelitian ... 86

5. Parameter indeks kesesuaian wisata ... 88

6. Responden yang berkunjungan ke pulau Liwutongkidi ... 89

7. Hasil Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) terhadap foto/Lanskap objek pada masing-masing lokasi penelitian ... 93

8. Kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE) ... 98

9. Lanscape/foto untuk analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) ... 99

(17)

xix

2.4 Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Ekowisata Terumbu Karang ... 12

(18)

xx

4.2.2.4 Sarana Prasarana Pendidikan ... 40

4.3 Kondisi Lingkungan Perairan ... 40

4.3.1 Kecepatan Arus ... 41

4.3.2 Kecerahan ... 41

4.3.3 Suhu ... 41

4.3.4 Salinitas ... 42

4.4 Potensi dan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ... 42

4.4.1 Terumbu Karang ... 42

4.4.2 Ikan Karang ... 44

4.5 Kesesuaian Kawasan Untuk Pengembangan Wisata Snorkeling dan Selam ... 41

4.5.1 Kesesuaian Wisata Snorkeling ... 48

4.5.2 Kesesuaian Wisata Selam ... 49

4.6 Daya Dukung kawasan ... 53

4.7 Evaluasi Aspek Visual Ekosistem Terumbu Karang ... 55

4.8 Nilai Ekonomi Wisata ... 57

4.9 Survei Sosial Ekonomi dan Persepsi masyarakat ... 59

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(19)

xxi DAFTAR TABEL

Halaman

1. Posisi geografis titik stasiun penelitian ... 20

2. Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang digunakan ... 21

3. Data yang dikumpulkan dalam analisis biaya perjalanan ... 22

4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling ... 24

5. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam ... 26

6. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan ... 27

7. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata ... 28

8. Komposisi penduduk menurut lapangan pekerjaan tahun 2008 ... 37

9. Sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Siompu dan Kadatua ... 40

10. Persentase tutupan biota dan substrat di stasiun penelitian ... 44

11. Jumlah suku, jenis, kelimpahan dan indeks keragaman ikan per-lokasi Penelitian hasil perhitungan dengan metode under water visual census (UVC) ... 45

12. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Kategori snorkeling ... 49

13. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Kategori selam ... 50

14. Nilai SBE masing-masing landscape/foto pada masing-masing Stasiun penelitian ... 56

(20)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan kerangka pemikiran penelitian ... 4

2 Peta titik stasiun penelitian ... 19

3 Komposisi ikan karang di lokasui penelitian berdasarkan hasil under water visual census (UVC) ... 46

4 Peta kesesuaian wisata snorkeling di kawasan penelitian ... 51

5. Peta kesesuaian wisata selam di kawasan penelitian ... 52

6. Karakteristik tingkat pendidikan responden ... 60

(21)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil analisis life form terumbu karang pada masing- masing

Stasiun Penelitian dengan metode LIT ... 75

2. Hasil analis ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian dengan dengan metode UVC ... 77

3. Hasil Analisis Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Snorkeling ... 85

4. Hasil Analisis Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Selam pada pada masing-masing stasiun penelitian ... 86

5. Parameter indeks Kesesuaian Wisata ... 88

1. Responden yang berkunjungan ke Pulau Liwutongkidi ... 89

2. Hasil Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) terhadap foto/Lanskap objek pada masing-masing lokasi penelitian ... 93

3. Lanscape/foto untuk analisis Scenic Beauty Estimation ... 99

4. Kuisioner Scenic Beauty Estimation ... 101

(22)

1.1 Latar Belakang

Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi keterpencilan, terbatasnya luasan lahan, terbatasnya sumberdaya manusia, dan berbagai keterbatasan lain, bukanlah halangan bagi kita untuk dapat memanfaatkan potensi-potensi lain yang cukup dapat diharapkan.

Walaupun secara ekologis kondisi pulau-pulau kecil biasanya homogen, pada dasarnya pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dapat bersifat multiple use. Sumberdaya pulau-pulau kecil misalnya, dapat saja dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas ekonomi, misalnya pariwisata, perikanan tangkap, perikanan budidaya dan lain-lain secara bersamaan atau bergantian sesuai kondisi alamnya.

Potensi sumber daya pulau-pulau kecil yang tinggi saat ini belum atau belum banyak yang dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Potensi yang dimiliki tersebut antara lain keragaman hayati yang bernilai ekonomi tinggi (kerapu, kerang mutiara, ikan hias, napoleon, kima raksasa, teripang) serta kualitas keindahan terumbu karang dan keaslian dari pulau-pulau kecil yang berpotensi untuk pengembangan wisata bahari dimana kegiatan dari wisata bahari memiliki nilai keuntungan ekonomi paling tinggi dalam pemanfaatan terumbu karang jika pemanfaatannya secara lestari dibanding sektor lain, yaitu $ 23 100 - $ 270 000 per km2 pertahun (Cesar 1997 in Burke et al. 2004).

(23)

Kabupaten Buton merupakan daerah kepulauan dan 82% dari wilayahnya adalah perairan laut. Sebagai daerah kepulauan sumberdaya perikanan dan kelautan menjadi andalan modal dasar pembangunan daerah (DKP Buton 2006). Kabupaten Buton memiliki potensi perikanan dan wisata bahari yang cukup potensial untuk dikembangkan. Ini terlihat pada beberapa lokasi di pulau-pulau kecil Kabupaten Buton yang memiliki terumbu karang dan panorama bawah laut yang indah. Salah satu dari lokasi yang dimaksud adalah Pulau Liwutongkidi.

1.2 Perumusan Masalah

Pemerintah Kabupaten Buton melalui Surat Keputusan Bupati Buton Nomor 1578 Tahun 2005 tentang Penetapan Pulau Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah, menjelaskan bahwa kegiatan ekowisata di wilayah KKLD Liwutongkidi (termasuk wilayah BASILIKA) diharapkan akan dapat memberikan kontribusi ekonomi dan membantu dalam pengelolaan KKLD.

Hasil pengamatan visual yang dilakukan oleh Lembaga Napoleon (2006) menunjukkan bahwa kepulauan Silika (Siompu, Liwutongkidi, Kadatua) memiliki bentang terumbu karang tipe karang tepi (fringing reef). Sebaran vertikal terumbu karang umumnya pada rentang kedalaman 3 – 12 meter, dilanjutkan dengan bentangan pasir. Topografi bentang terumbu umumnya merupakan slope dengan kemiringan yang cukup curam.

(24)

1.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah pentingnya melakukan suatu kajian kesesuaian dan daya dukung ekosistem terumbu karang untuk pengembangan wisata bahari dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil seperti di pulau Liwutongkidi Kabupaten Buton. Selain itu diperlukan data potensi dan daya dukung lingkungan untuk pengembangan wisata bahari berbasis ekologis.

Ekosistem terumbu karang yang terdapat dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki beberapa manfaat. Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam, yang dapat diidentifikasi ke dalam manfaat langsung yaitu sebagai habitat bagi ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan manfaat tidak langsung seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan sebagainya (Swearer et al. 1999 ; Cesar et al. 2003). juga merupakan lahan tempat mencari nafkah bagi masyarakat sekitarnya dan untuk pembangunan daerah.

Melihat banyaknya fungsi yang dimiliki terumbu karang, bukan hal yang mustahil terjadi adanya benturan kepentingan antara para pihak yang terlibat dalam kegiatan didaerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Benturan-benturan kepentingan ini pada akhirnya akan menempatkan kepentingan ekologi sebagai objek yang dikorbankan, sementara kemampuan sebagai suatu ekosistem untuk memulihkan kondisinya kembali seperti semula tergolong sangat lambat, sehingga pada akhirnya perlahan tapi pasti ekosistem terumbu karang akan makin terpuruk kondisinya dan bukan tidak mungkin suatu saat akan musnah keberadaanya.

(25)

untuk pengembangan wisata bahari. Alur berfikir yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi kondisi ekologi terumbu karang di kawasan Pulau Liwutongkidi,

2. Menganalisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang bagi pengembangan ekowisata, dan

3. Mengestimasi nilai ekonomi wisata.

Kawasan Wisata Perairan KKLD (SK Bupati Nomor

1578 Tahun 2005)

Analisis Travel Cost Method (TCM) Analisis kesesuaian

untuk wisata

Pengembangan Kawasan Pulau Liwutongkidi Pulau

Liwutongkidi

Potensi ekologis

Potensi ekonomi

(26)

1.5 Manfaat Penelitian

(27)
(28)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pulau - Pulau Kecil

Batasan pulau kecil mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10 000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200 000 orang. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. Alternatif batasan pulau kecil juga belandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh para ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1 000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Arenas dan Huertas 1986 yang diacu dalam Bengen dan Retraubun 2006). Namun pada kenyataannya, banyak pulau berukuran antara 1 000 km2 – 2 000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1 000 km2, sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2 000 km2.

Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol sebagai berikut (Bengen 2002a) :

- Terpisah dari habitat pulau induk dengan sumberdaya air tawar yang terbatas,

dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil

- Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran.

- Memiliki sejumlah jenis sumberdaya endemik yang bernilai ekologis tinggi. - Area perairan lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan

utamanya.

- Tidak mempunyai daerah hinterland yang jauh dari pantai.

(29)

2.2 Terumbu Karang

Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif ka1sium karbonat (CaC03), yang dihasi1kan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi ka1sium karbonat (Nybakken 1992). Di kawasan pu1au-pu1au kecil, banyak dijumpai karang dari berbagai jenis yang terdapat pada rataan terumbu tepi (fringing reef), sedangkan di kawasan Indonesia Bagian Timur sering dijumpai terumbu karang dengan tipe terumbu cincin (atoll) (Bengen 2002b)

Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari sistem sumberdaya alam pesisir yang tergolong sebagai habitat kritis dimana kondisi lingkungan merupakan perpaduan antara ekosistem mangrove dan padang lamun. Secara ekologis ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan temperatur, kekeruhan, salinitas. Distribusi terumbu karang juga dipengaruhi oleh faktor - faktor tersebut. Beda kondisi parameter perairan seperti temperatur, salinitas, aksi gelombang, maka spesies

dan keragaman terumbu karang juga akan berbeda (Veron 1986).

Menurut Nybakken (1992) parameter lingkungan yang sangat

menentukan kehidupan terumbu karang antara lain :

- Suhu.

Terumbu karang tumbuh secara optimal pada suhu 23° - 25°C, dan dapat

mentolerir suhu sampai kira - kira 36° - 40°C, tetapi tidak dapat bertahan

pada suhu minimum tahunan dibawah 18°C

- Kedalaman

Kebanyakan terumbu karang hidup pada kedalaman sampai 25 m atau

kurang, dan tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam dari

50 - 70 meter karena kedalaman berhubungan erat dengan cahaya matahari

yang dapat masuk ke perairan,

- Cahaya

Parameter ini menjadi faktor pembatas kehidupan terumbu karang karena

(30)

sejenis tumbuhan yang berasosiasi dalam tubuh hewan karang. Selain itu

zooxanthellae memberikan warnah yang indah pada terumbu karang, hal ini menjadi daya tarik sebagi objek wisata selam dan snorkeling.

- Salinitas

Karang hanya dapat hidup pada salinitas normal air laut, yaitu pada kisaran

32 - 35°%. Diluar kisaran tersebut, pertumbuhan karang dapat terganggu dan bisa mengakibatkan kematian hewan karang.

- Pengendapan

Adanya pengendapan akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian

makan karang, dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan.

- Gelombang

Tidak adanya gelombang dan arus memungkinkan terjadinya pengendapan

di terumbu karang, selain itu juga suplai plankton dan air segar yang kaya

oksigen jadi berkurang.

Terumbu karang beradaptasi dan sebaliknya dapat memodifikasikan

lingkungan fisiknya, oleh karenanya faktor lingkungan fisik terumbu

mempunyai perbedaan yang luas menurut daerahnya. Gradient suhu dan salinitas merupakan faktor pembatas utama penyebaran dan pertumbuhan

terumbu karang (Jones dan Endean 1973).

Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang rentan

terhadap gangguan akibat kegiatan manusia, dan pemulihannya memerlukan

waktu yang lama. Berbagai pendapat menyatakan hal sebaliknya, bahwa

ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dinamis, tidak

mapan dan mampu memperbaiki dirinya sendiri dari gangguan alami (Dahuri

2003).

Secara umum terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang

ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia

(anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (1)

penambangan dan pengambilan karang, (2) penangkapan ikan dengan

menggunakan alat dan metode yang merusak, (3) penangkapan yang

(31)

pesisir, dan (6) kegiatan pembangunan di wilayah hulu. Sementara itu,

degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh alam antara lain oleh predator,

pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir

dan tsunami serta bencana alam lainnya seperti El-Nino dan La-Nina (Westmacott et al. 2000).

Ancaman terhadap terumbu karang akibat pembangunan wilayah pesisir

dianalisis berdasarkan jarak ke pusat pemukiman penduduk, luas area pusat

pemukiman, tingkat pertumbuhan penduduk, jarak ke pangkalan udara,

pertambangan, fasilitas pariwisata, dan pusat fasilitas selam. Hasil analisis

menunjukkan 25% terumbu karang di kawasan ini terancam oleh pembangunan

pesisir. Penebangan hutan, perubahan tata guna lahan, dan praktek pertanian yang

buruk. Semuanya menyebabkan peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur

hara ke daerah tangkapan air. Sedimen dalam kolom air dapat sangat

mempengaruhi pertumbuhan karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang.

Kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang

pertumbuhan alga yang beracun. Keadaan ini mendorong pertumbuhan alga lain

yang tidak saja memanfaatkan energi matahari tetapi juga menghambat kolonisasi

larva karang dengan cara menumbuhi substrat yang merupakan tempat

penempelan larva karang (Tomascik et al. 1997).

2.3 Ekowisata

Secara konseptual, ekowisata dapat didefenisikan sebagai suatu konsep

pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung

upaya - upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga memberikan

manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Selanjutnya pada pertemuan

ekowisata pada bulan Juli 1996 di Bali yang diselenggarakan oleh Indekom

sebagai Lokakarya nasional ekowisata yang melahirakan forum Masyarakat

Ekowisata Indonesia (MEI) rumusan ekowisata yang disepakati dari pertemuan

itu adalah “kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang

masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana

(32)

pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam

serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar daerah tujuan

ekowisata” (Sudarto 1999).

Menurut Bruce et al. (2002) ekowisata merupakan wisata yang

berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan

sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata adalah

wisata yang berbasis pada memperbolehkan orang untuk menikmati lingkungan

alam dalam arah yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Sedangkan Buckley (1996), menyatakan ada 4 gambaran perjalanan yang

umumnya berlabelkan ekowisata yaitu (a) wisata berbasis alamia, (b)

kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata, (c) wisata yang sangat

peduli dengan lingkungan,(d) wisata yang berkelanjutan.

Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya beriorientasi pada

keberlanjutan tetapi lebih dari pada itu yakni mempertahankan nilai

sumberdaya dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan

ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya rnasyarakat untuk memenuhi kebutuhan

fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata

bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan filosofi. Hal inilah

yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal

kejenuhan pasar (Yulianda 2007).

Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya

manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan

wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan (Fandeli

2000).

- Wisata alam (nature tourism), merupakan aktifitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.

- Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.

- Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan

(33)

2.4 Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung (Carrying Capacity)

Ekowisata

Kesesuaian ekologi ekowisata bahari adalah suatu kriteria sumberdaya

dan lingkungan yang disyaratkan atau dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata

bahari. Pengembangan ekowisata yang berbasis pada ketersedian potensi

sumberdaya hayati suatu kawasan sangat ditentukan oleh kesuaian secara

ekologis. Wisata bahari seperti wisata selam dan snorkeling sangat didukung

oleh kesesuaian ekosistem terumbu karang yang sehat dan berada dalam kondisi

yang bagus, yang akan menjadi objek dan daya tarik yang diincar oleh

wisatawan (Salm 1986).

Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem

untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di

dalamnya, dengan tetap memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya

yang berperan di alam. Tidak ada satu ukuran mutlak yang dapat menunjukkan

daya dukung ekosistem dalam menampung semua kegiatan manusia karena

berbagai variabel yang menentukan. Besarnya daya dukung ekosistem tersebut

sangat bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat pemanfaatan yang

dilakukan oleh manusia. Menurut Lim (1998) faktor penentu daya dukung

terumbu karang : (1) Ukuran dan bentuk karang (2) Komposisi dari komunitas

karang (3) Kedalaman arus dan kecerahan (4) Tingkat pengalaman snorkelers

dan penyelam (5) Aksesibilitas (6) Atraksi.

Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda sehingga

perencanaan pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil secara spatial

akan bermakna dan menjadi penting. Secara umum ragam daya dukung wisata

bahari dapat meliputi (Nurisyah 2001):

1.Daya dukung ekologis, yang merupakan tingkat maksimal penggunaan

suatu kawasan,

2. Daya dukung fisik, yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau

kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau

penurunan kualitas. Daya dukung fisik diperlukan untuk meningkatkan

(34)

. Daya dukung sosial, yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan pengunjung kawasan tujuan wisata.

. Daya dukung rekreasi, yang merupakan konsep pengelolaan yang menempatkan kegiatan rekreasi dalam berbagai objek yang terkait dengan kemampuan kawasan.

Pengembangan pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus direncanakan dan dikembangkan secara ramah lingkungan dengan tidak menghabiskan atau merusak sumber daya alam dan sosial, namun dipertahankan untuk pernanfaatan yang berkelanjutan. Identifikasi ekosistem kritis (critical

ecosystem) serta penentuan ambang batas (carrying capacity) di pesisir dan pulau-pulau kecil sangat penting dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata dengan pendekatan lingkungan hidup dan pembangunan

berkelanjutan. Pelaksanaan pariwisata bahari akan berhasil apabila memenuhi komponen yang terkait kelestarian lingkungan alam, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah 2001).

Dalam fungsinya sebagai media wisata, ekosistem pantai dan khususnya ekosistem terumbu karang mempunyai kapasitas tertentu dalam melangsungkan fungsinya secara berkelanjutan. Berkaitan dengan pemanfaatan non-ekstraktif, dalam hal ini pariwisata, maka upaya pelesatarian alam pada ekosistem terumbu karang yang ada hanya akan menampakan hasil yang diharapkan bila pengembangan pariwisata yang dilakukan terkontrol dengan baik, sementara perencanaan penggunaan kawasan terformulasikan dengan baik dan benar, serta upaya pemantauan dan pengendalian atas kemungkinan dampak negatif yang timbul dengan selalu melakukan upaya penegakan-penegakan hukum secara terarah dan konsisten. Karena pada dasarnya unsur-unsur lingkungan hidup

dapat dikembangkan sebagai objek wisata bila unsur-unsur lingkungan hidup

tersebut dapat dipersiapkan secara baik melalui kemampuan manusia dengan

sentuhan teknologinya, serta dapat memenuhi kebutuhan wisatawan

(35)

Kesesuaian kondisi ekosistem terumbu karang untuk kegiatan wisata bahari meliputi kesesuaian wisata selam dan wisata snorkelling. Kriteria yang yang dipakai untuk wisata selam adalah : kecerahan perairan, tutupan komunitas

hidup, jenis life form, keragaman jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang (Arifin 2008).

Dari sudut pandang ekologi, sosial ekonomi dan estetis maka daya dukung wisata bahari, dalam hal ini jumlah total penyelam dan snorkeler yang

dapat ditampung sebuah kawasan, berkaitan langsung dengan tersedianya lokasi

selam yang berkualitas tinggi, kawasan yang keanekaragaman spesiesnya tinggi

dan jumlah karang batu, ikan, dan organisme lainnya yang banyak dengan sedikit dampak manusia. Dengan jumlah kawasan yang terbatas, kawasan yang

rusak sampai yang sering dikunjungi maka perhatian akan semakin terfokus

pada sisa kawasan yang masih berkualitas tinggi. Dalam hal ini, pentingnya

menjaga kawasan dalam kondisi yang baik tidak dapat ditekankan secara

berlebihan (Vantier dan Turak 2004)

Analisis daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalisis jumlah

maksimum wisatawan yang diperbolehkan melakukan kegiatan wisata bahari

disuatu kawasan, dalam hal ini kawasan ekosistem terumbu karang, tanpa

mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Gangguan keseimbangan ini

diakibatkan oleh kerusakan biofisik ekosistem secara langsung dan tidak

langsung, misalnya melalui pencemaran (Mitchell et al. 2007). Berdasarkan

sumber gangguan ekosistem tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan kawasan objek wisata (ekosistem) yang rentan terhadap kerusakan

langsung dan pendekatan maksimum beban limbah (Orams 1999). Terumbu

karang sebagai sebuah ekosistem alam, memiliki level intrinsik untuk

pemanfaatan yang berkelanjutan, untuk perikanan, pariwisata dan berbagai

aktivitas lainnya, sebagai ekosistem bawah air yang dapat mengatasi dan

memiliki daya tahan dan daya pulih yang dimiliki, tetapi pada bagian atas sering

terjadi perubahan yang merugikan (Salm dan Clark 1989).

Beberapa penelitian tentang daya dukung pengunjung dan dampak

penyelam terhadap terumbu karang yang fokus pada SCUBA divers di Laut

(36)

Tisdell 1995; Hawkins dan Robert 1997; Jameson et aI.1999). Dari hasi

penelitian ini didapatkan bahwa daya dukung (carrying capacity) untuk wisata

bahari di kawasan terumbu karang tergantung tidak hanya pada jumlah

penyelam, tetapi juga tipe penyelaman, latihan, pendidikan mereka, tipe dari

bentuk pertumbuhan karang dan struktur komunitas karang. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa karang dapat dirusak oleh kerusakan lingkungan akibat

dari aktivitas penyelam amatir, dan pada berberapa kasus pembangunan

infrastruktur yang berasosiasi dengan wisata bahari dapat menyebabkan

kerusakan pada lokasi penyelaman itu sendiri.

Berbagai aktifitas menyelam dan snorkeling yang dapat merusak seperti sentuhan terhadap karang baik dari peralatan seperti tabung, fin dan kamera. Aktifitas gerakan penyelam seperti kayuhan fin yang menyebabkan pengadukan sedimen didekat karang (Zakai dan Chadwick 2002).

Beberapa interaksi dan kontak yang kompleks dari kegiatan penyelaman terhadap terumbu karang seperti tipe penyelaman, kondisi alam lokasi (hamparan karang, arus, tipe komunitas karang dan kharakteristik lainnya) yang beragam antara lokasi, pengalaman/ tingkah laku penyelam, tingkat kerusakan karang, konsentrasi penumpukan penyelam, pemisahan aktifitas selam, akses ke lokasi selam, berjalan di karang pada snorkeling, tambatan atau jangkar kapal dan ukuran dari lokasi selam, yang kesemuanya dapat mempengaruhi daya dukung, dan sangat penting diperhatikan dalam menetapkan jumlah penyelam per lokasi (Barker dan Roberts 2003).

Hawkins dan Roberts (1993) merekomendasikan angka 5 000 – 6 000 penyelam perlokasi pertahun dapat digunakan untuk menduga daya dukung kawasan konservasi laut untuk mendukung wisata selam dan snorkeling. Penentuan daya dukung ini tergantung pada jumlah lokasi penyelaman yang dapat di gunakan.

(37)

memiliki efek yang mengganggu (Davids dan Tisdell 1996). Selanjutnya ditambahkan oleh Vantier dan Turak (2004) bahwa dari perspektif estetis (sosial/kenyamanan) mengendalikan jumlah penyelam guna menjaga nilai kenyamanan dapat didasarkan pada jumlah rata-rata penyelam untuk memperoleh kenyamanan ketika menyelam.

Berbeda dengan industri tourism umumnya, ecotourism memerlukan sentuhan manajemen spesifik agar dapat mencapai tujuan sustainability dalam

aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Fokus manajemen ecotourism adalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya yang tidak tergantikan

(irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan untuk

generasi mendatang. Konflik kepentingan akan mudah timbul antara aspek

ekonomi dan ekologi pada suatu sumberdaya. Manfaat bagi generasi mendatang

masih banyak yang belum terhitung (tangible), misalnya fungsi keanekaragaman

hayati atau manfaat flora tertentu bagi ilmu pengetahuan pada sumberdaya hutan.

Manfaat ini akan mudah dikorbankan oleh alasan ekonomi dalam suatu

manajemen ecotourism yang tidak hati-hati. Oleh karena itu, manajemen

ecotourism mementingkan proses pendidikan terkait dengan upaya-upaya

konservasi lingkungan (Nugroho 2004). Ceballos dan Lascuarin (1997) in

Dirawan (2003) menyatakan bahwa ekowisata sebagai suatu bagian .logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan berbagai disiplin dan

perencanaan yang hati-hati (baik secara fisik maupun pengelolaannya).

Selanjutnya disebutkan bahwa, sebaiknya, perkembangan wisata

rnenerapkan konsep ekowisata. Hal ini disebabkan karena ekowisata dapat

dikatakan bukan hanya sebagai salah satu corak kegiatan pariwisata khusus,

melainkan suatu konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan

mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian. Oleh karena itu

pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar

manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas

lingkungan (Sekartjakrarini 2003).

Dalam konteks ini, yang membedakan ekowisata dengan pariwisata pada

umumnya adalah aktivitas ekowisata memberikan pembelajaran yang dapat

(38)

Sebagai industri, ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang

menempatkan pariwisata sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam dengan

tujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini 2003).

Tujuan pengembangan ekowisata di kawasan konservasi adalah untuk

mewujudkan misi konservasi. Dalam pengembangan ekowisata tujuan ini dicapai

diantaranya dengan memasukan program-program konservasi dalam produk

wisata pengelolaannya. Dimana kegiatan interpretasi lingkungan dalam

ekowisata merupakan media yang efektif untuk mengkampanyekan

program-program konservasi baik kepada pengunjung maupun masyarakat lokal.

2.5 Metode Biaya Perjalanan (TCM)

Nilai ekonomi merupakan sebuah pengukuran tentang berapa jumlah

maksimum seseorang mau melepaskan suatu barang atau jasa untuk mendapatkan

barang atau jasa yang lain (Lipton et al. 1995 in Prihatna 2007). Dalam

pandangan ekonomi pada umumnya, nilai ekonomi diukur dari harga pasar

(market price). Harga merupakan indikator nilai yang benar bagi sebuah

perubahan kecil (yang disebut oleh ekonom sebagai margin). Namun ini hanya

berlaku pada kasus-kasus tertentu. Secara umum, bagi perubahan kecil dan

besar terhadap suatu sumberdaya alam atau kawasan, indikator untuk

menentukan nilai ekonomi yang benar adalah kemauan membayar seseorang

(willingness to pay) atau kemauan menerima (willingness to accept) seseorang

atas suatu barang atau jasa.

Metode Biaya Perjalanan (travel cost method, TCM) merupakan metode

yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value)

dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara

tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar (non

market good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada

suatu tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalam

bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat

(Grigalunas et al. 1998).

Terdapat tiga kelompok dasar dari Travel Cost Model yaitu : (1) Zona

(39)

wisata dari berbagai zona asal pengunjung; (2) Individual Travel Cost Model

yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata, dalam pendekatan ini, pengunjung dikelompokkan berdasarkan

pengeluaran; dan (3) Discrete Choice Travel Cost yaitu untuk mengestimasi

(40)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di perairan Pulau Liwutongkidi yang termasuk wilayah Kecamatan Kadatua dan Kecamatan Siompu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April sampai Mei 2010. Lokasi pengambilan data biofisik dilakukan di perairan Pulau Liwutongkidi, Pulau Kadatua dan Pulau Siompu dengan jumlah titik

sampling 12 stasiun.

Penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja (purposive sampling)

yang didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi stasiun yang dipilih dapat

mewakili perairan pulau Liwutongkidi secara keseluruhan. Pemilihan lokasi

juga mempertimbangkan faktor kedalaman, dimana lokasi yang dipilih hanya

yang memiliki kedalaman sama atau lebih besar dari 3 m. Dengan

menggunakan GPS titik kordinat masing-masing stasiun diambil. Kordinat

dari 12 stasiun penelitian pada ketiga pulau dapat dilihat pada Tabel 1 dan lokasi

stasiun pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1 Posisi geografis stasium penelitian.

Posisi Geografis

Lokasi Stasiun Lintang Selatan Bujur Timur Pulau Liwutongkidi 1 5⁰ 58’ 10.9229” 122⁰ 29’ 47.9699”

2 5⁰ 35’ 33.7921” 122⁰ 30’ 25.8192”

3 5⁰ 35’ 20.4351” 122⁰ 30’ 41.8304”

4 5⁰ 35’ 26.7351” 122⁰ 30’ 54.6845”

5 5⁰ 35’ 37.3558” 122⁰ 30’ 58.1176” 6 5⁰ 35’ 55.9313” 122⁰ 30’ 50.8942”

7 5⁰ 36’ 7.9201” 122⁰ 30’ 35.3751”

8 5⁰ 36’ 13.6073” 122⁰ 30’ 17.0837”

Pulau Kadatua 9 5⁰ 33’ 29.4835” 122⁰ 30’ 33.2062”

10 5⁰ 34’ 29.4835” 122⁰ 29’ 9.16076”

Pulau Siompu 11 5⁰ 38’ 9.9954” 122⁰ 30’ 13.3209”

(41)
(42)

dengan beberapa tahapan. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui pengukuran, pengamatan dan wawancara yang secara garis besar meliputi kondisi ekosistem, sosial budaya dan ekonomi masyarakat.

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran terhadap laporan hasil penelitian atau kegiatan dilokasi yang sama dan data dari instansi terkait. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti laporan hasil survey dan publikasi lainnya serta peta-peta yang tersedia.

3.2.1 Parameter kualitas lingkungan perairan

Data lingkungan kualitas perairan yang diperlukan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang digunakan

No. Jenis data Alat Satuan Keterangan

(43)

3.2.3 Ikan karang

Metode yang dilakukan dalam pengamatan ikan karang adalah underwater visual census. Selama melakukan pengamatan, peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan karang. Pengamatan ikan karang ditunjang dengan buku identifikasi ikan karang dari Kuiter et al. (2001). Pengamatan dilakukan sepanjang garis transek 70 m pada kolom air dengan jarak pandang 2.5 m ke kiri dan 2.5 m ke kanan.

3.3.4 Sosial ekonomi dan budaya

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode survei

melalui teknik wawancara dengan 50 responden (interview). Wawancara

dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi lokasi penelitian,

kondisi sosial ekonomi dan persepsi atau pemahaman masyarakat tentang

pengelolaan Pulau Liwutongkidi sebagai kawasan ekowisata. Pengambilan

sampel dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa

responden adalah individu, masyarakat atau aparat Pemerintah Daerah yang

mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan baik langsung maupun tidak

langsung dalam pengembangan ekowisata di daerah setempat.

Pengumpulan data primer dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur

(kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data yang dikumpulkan

meliputi data ekonomi dan sosial. Sedangkan data untuk analisis biaya perjalanan

dapat dilihat pada Tabel 3.

1. Data ekonomi masyarakat seperti mata pencaharian, tingkat pendapatan

2. Data sosial dan budaya meliputi : tingkat pendidikan, sarana dan prasarana

perikanan, sistem kekerabatan masyarakat, kepariwisataan, dan perhubungan.

Tabe1 3 Data yang dikumpulkan dalam analisis biaya perjalanan No Data yang dibutuhkan Jenis data

Jumlah pengunjung ke lokasi per musim atau per tahun

Lain-lain (faktor yang mempengaruhi demand)

(44)

3.3 Analisis Data

3.3.1 Persentase Penutupan Karang

Persen penutupan karang berdasarkan pada kategori dan persentase tutupan karang hidup (life form). Semakin tinggi persen penutupan karang hidup maka kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik dan semakin penting pula untuk dilindungi. Data persen penutupan karang hidup yang diperoleh berdasarkan metode line intersect transect (LIT) dihitung berdasarkan persamaan dari English et al. (1997) :

Persentase penutupan (%) = x %

Keterangan: li = Panjang lifeform karang jenis ke- i (m)

L = Panjang transek yang diamati (m)

Kategori kondisi dalam persentase penutupan karang hidup berdasarkan

Gomez dan Yap (1988) menyatakan kriteria baku mutu untuk kondisi terumbu karang sebagai berikut :

a. Sangat Baik antara 75 – 100 % b. Baik antara 50 – 74.9 % c. Sedang antara 25 – 49.9 % d. Rusak antara 0 –24.9 %

3.3.2 Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang

Kelimpahan ikan didefinisikan sebagai banyaknya ikan per luas daerah pengambilan contoh. Kelimpahan ikan dihitung dengan rumus dari Odum (1971) :

Kelimpahan Ikan = ∑ Xi / L

Keterangan : ∑ Xi = Jumlah individu ikan karang pada stasiun ke-i (ind) L = Luas terumbu karang yang diamati (m²)

Sedangkan keanekaragaman ikan karang dihitung dengan menggunakan Indeks Shanon – Wiener (Krebs 1972).

H′ p ln p

Keterangan :

H′= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

(45)

p = proporsi kelimpahan individu dari satu individu ke i (ni/N) ni = jumlah individu tiap jenis

N = jumlah total

Spesies ikan yang didata dikelompokan ke dalam 3 kelompok utama (English et al. 1997), yaitu :

a. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh family Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol).

b. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh family Chaetodontidae (ikan kepe-kepe).

c. Ikan-ikan mayor, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5-25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada diterumbu karang, diwakili oleh family Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu) dan Blennidae (ikan peniru).

3.4 Analisis matriks kesesuaian wisata snorkeling dan selam 3.4.1 Kesesuaian wisata snorkeling

Untuk kategori wisata snorkeling mempertimbangkan tujuh (7) parameter dengan tiga (3) klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata snorkeling dapat dilithat pada Tabel 4, antara lain kecerahan perairan, tutupan

(46)

Tabel 4 Matriks kesesuaian Wisata Bahari kategori wisata snorkelling No. Parameter Bobot Standar

Parameter

Selanjutnya untuk menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk wisata snorkeling menggunakan formula :

IKW ∑ NN x %

Keterangan : IKW= Indeks Kesesuaian Wisata snorkeling N = Nilai parameter ke-i (bobot x skor)

(47)

Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata snorkeling adalah

sebagai berikut (modifikasi Yulianda 2007) :

S1 = sangat sesuai, dengan IKW 83 - 100 %

S2 = sesuai, dengan IKW 50 - < 83 % N = tidak sesuai, dengan IKW < 50%

3.4.2 Kesesuaian wisata selam

Parameter kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifefrom, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam

No. Parameter Bobot Standar

(48)

Untuk menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk wisata selam diformulasikan sebagai berikut (Yulianda 2007) :

IKW NN x %

Keterangan : IKW = Indeks Kesesuaian Wisata

N = Nilai parameter ke-i (bobot x skor)

N = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata = 54

Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata selam adalah sebagai berikut (modifikasi Yulianda 2007):

S1 = sangat sesuai, dengan IKW 83 - 100 %

S2 = sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %

N = tidak sesuai, dengan IKW < 50%

3.5 Analisis Nilai Daya Dukung Kawasan

Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Menurut Yulianda (2007) konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan 2 (dua) hal, yaitu : (1) kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dan manusia, dan (2) standar keaslian sumberdaya alam.

Analisis daya dukung ditujukan para pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, sehingga perlu adanya penentuan daya dukung kawasan.

Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia, dapat dilihat pada rumus

(49)

DDK= K x L

K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu

Wt = Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu.

Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan pada (Tabel 6). Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam menolerir pengunjung sehingga keaslian tetap terjaga. Setiap melakukan kegiatan ekowisata, setiap pengunjung akan memerlukan ruang gerak yang cukup luas untuk melakukan aktivitas seperti diving (menyelam) dan snorkling untuk menikmati keindahan pesona alam bawah laut, sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata (Tabel 7).

Tabel 6 Potensi Ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis

Tabel 7 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Jenis kegiatan Waktu yang dibutuhkan

Wp-(jam)

Metode biaya perjalanan (Travel Cost Method/TCM) yaitu metode yang

(50)

(non market good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada suatu tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalarn bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat (Grigalunas et al. 1998).

Tujuan melakukan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu di lokasi tersebut. Untuk itu, perlu diestimasi fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata. Dalam analisis TCM ini dilakukan dengan pendekatan individual travel cost analysis yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata. Adapun persamaan yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut (Grigalunas et al. 1998):

1. Y = a + bx atau V = a + bTC

Keterangan :

Variabel Y = V (Jumlah kunjungan)

Variabel x = TC (Biaya kunjungan)

4. Kesediaan membayar (utiliti)

(51)

6. Nilai manfaat ekonomi

- Nilai per Ha = CS x L N

- Nilai ekonomi total = CS * N

Keterangan : N = Rata-rata kunjungan

L = Luas Area

3.7 Kualitas Lanskap Ekosistem Terumbu Karang

Pada tahap ini dilakukan analisis spasial dalam bentuk penilaian visual lanskap yang merupakan metode penetapan nilai kualitas lanskap dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata. Metode yang dapat digunakan dalam menentukan nilai visual suatu lanskap adalah prosedur Scenic Beauty Estimation (Daniel dan Bostes 1976). Adapun tahapan dalam penentuan nilai SBE yaitu:

1. Penentuan hamparan titik pengamatan dan pengambilan foto

Titik pengamatan yaitu stasiun pengamatan yang memiliki nilai kesesuaian wisata snorkelling dan diving kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (sesuai). Masing-masing stasiun tersebut diambil foto hamparan dan jenis terumbu karangnya dalam berbagai sudut pengamatan, serta biota-biota yang khas dari suatu stasiun

2. Seleksi foto

Foto – foto yang akan dipresentasikan atau diperlihatkan pada responden merupakan hasil seleksi dari keseluruhan foto yang diambil. Seleksi dilakukan dengan memilih foto yang dianggap dapat mewakili keanekaragaman ekosistem terumbu karang yang dilihat dari tiap stasiun. Untuk mengurangi bias akibat pengaruh cahaya perairan, maka khusus untuk foto dilakukan editing dengan menggunakan software ACDSee, sehingga diharapkan foto yang dipresentasikan pada responden memiliki kualitas gambar yang sama dengan aslinya.

3. Penilaian oleh responden

(52)

bentuk penilaian melalui kuisioner kuisoner dengan memperlihatkan foto yang telah dipilih. Dari setiap foto yang ditampilkan, responden akan menilai setiap foto yang ditampilkan dengan memberikan skor 1-10, dimana skor 1 menunjukan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan nilai yang paling disukai.

4. Perhitungan nilai SBE

Tahapan perhitungan nilai visual dengan metode SBE diawali dengan tabulasi data, perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan cumulative probabilities (cp). Selanjutnya dengan menggunakan table z ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk nilai cp = 1.00 atau cp = (z = ± ∞) digunakan rumus perhitungan cp = 1 – 1 / (2n) atau cp = 1 / (2n) (Bock dan Jones 1968 in Khakim 2009).

Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap fotonya kemudian dimasukan dalam rumus SBE sebagai berikut :

SBEx = (Zx - Zo) x 100 Keterangan :

SBEx = Nilai penduga pada nilai keindahan pemandangan landskap melalui foto / video ke-x

Zx = Nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x

Zo = Nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar

Selanjutnya dari nilai SBE dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu nilai SBE tertinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) menurut Hadi 2001 in Khakim (2009) dengan rumus :

(53)
(54)

4.1. Kondisi Umum Kabupaten Buton

Kabupaten Buton merupakan daerah kepulauan, 82% wilayahnya adalah perairan laut dan terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi, termasuk dalam Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah Kabupaten Buton sebagian berada wilayah Pulau Buton, sebagian berada di wilayah Pulau Muna dan sebagian berada di bagian tenggara jazirah Pulau Sulawesi.

Luas Kabupaten Buton adalah 2 488,71 km2 atau 248 871 hektar. Luas laut Kabupaten Buton sekitar 21.054 km2 tersebar di 21 kecamatan. Panjang garis pantainya 538 km dan terumbu karang seluas 21 833 ha (DKP Buton, 2006). Ibukotanya adalah Pasar Wajo, yang berjarak sekitar 50 km dari kota Bau-Bau. Secara geografis Kabupaten Buton terletak antara 4,96° - 6,25° Lintang Selatan dan 120,000 - 123,34° Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Buton mempunyai batas-batas sebagai berikut :

Bagian Utara : Kabupaten Muna Bagian Selatan : Laut Flores

Bagian Barat : Kabupaten Bombana Bagian Timur : Kabupaten Wakatobi.

Kabupaten Buton memiliki topografi yang bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Permukaan tanah pegunungan pada ketinggian 100 – 500 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan 40°. Permukaan wilayah pada umumnya berbatu-batu dengan profil tanah yang agak dangkal. Jenis tanah podzolik, alluvial, grumosol, mediteran, lotosol, umumnya mudah tererosi dan longsor. Sebagian pegunungan dan perbukitan terdiri dari batu kapur dan batu-batuan (DKP 2007).

(55)

dari Benua Australia yang kering. Pada bulan April-Mei arah angin dan curah hujan tidak menentu, dikenal dengan musim Pancaroba (DKP Sulawesi Tenggara 2003).

Wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Buton terdiri dari 21 Kecamatan, 185 Desa/Kelurahan yang terdiri dari 164 Desa dan 24 Kelurahan dengan Ibu Kotanya Pasarwajo. Menurut klasifikasi desa/kelurahan, dari 185 desa/kelurahan di Kabupaten Buton pada tahun 2005 ada sebanyak 169 desa (91,35%) merupakan desa swadaya dan sisanya 16 desa (8,65%) merupakan desa swakarya (Bappeda 2009).

Potensi sumber daya alam Kabupaten Buton yang menjadi andalan adalah aspal, sumberdaya ikan, dan jasa kelautan. Aspal Buton memiliki kualitas yang tinggi dan lebih baik mutunya dibandingkan aspal drum. Tambang aspal terletak di sebelah selatan Pulau Buton. Pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan melalui perikanan tangkap dan budidaya, sedangkan sektor pariwisata dikembangkan wisata bahari dan Hutan Lambusango.

Jenis ikan komersial yang menjadi target penangkapan adalah ikan tuna, layang, cakalang, tongkol, ikan karang (kerapu, sunu, lobster), dan teri nasi. Alat tangkap yang digunakan nelayan di kabupaten Buton pada umumnya adalah pancing ulur, bubu, gillnet, dan pukat cincin. Jumlah alat tangkap yang digunakan sekitar 20 jenis alat yang dikelompokkan yaitu kelompok Pukat (payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap), kelompok Pancing ( huhate, pancing rawai tuna, pancing rawai dasar, pancing tonda, pancing ulur), kelompok Alat Perangkap (sero dan bubu), dan kelompok Bagan (bagan tancap dan bagan perahu).

(56)

Sedangkan budidaya mutiara (mabe) hanya terdapat di Kecamatan Kapontri (DKP Buton 2006).

4.2. Pulau Liwutongkidi 4.2.1. Lokasi dan Iklim

Pulau Liwutongkidi terletak di antara Pulau Kadatua dan Pulau Siompu, yang secara administratif sebagian wilayahnya termasuk Kecamatan Kadatua dan sebagian lainnya termasuk Kecamatan Siompu. Pulau Liwutongkidi merupakan pulau kecil yang tidak berpenghuni yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah wisata.

Pulau Liwutongkidi mempunyai dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan lebih dari 2 000 mm/tahun yang termasuk dalam ketegori daerah basah. Arah angin pada musim kemarau yakni pada bulan Mei-Oktober berhembus dari arah utara menuju tenggara. Khusus pada bulan April, arah angin tidak menentu demikian pula curah hujan sehingga pada bulan itu dikenal dengan bulan atau musim pancaroba (DKP Sulawesi Tenggara 2003).

4.2.2. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya.

Karena Pulau Liwutongkidi tidak berpenghuni, untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya digunakan indikator pengganti (surrogate), yaitu kondisi masyarakat yang ada di daerah yang terdekat yaitu Kecamatan Kadatua dan Kecamatan Siompu. Selain daerah terdekat dengan Pulau Liwutongkidi, Kecamatan Kadatua dan Siompu merupakan kecamatan binaan COREMAP II di Kabupaten Buton.

4.2.2.1. Kecamatan Kadatua

(57)

Masiri dan di sebelah barat juga dengan Laut Flores. Kecamatan ini terdiri dari 6 (enam) desa yaitu: Desa Lipu (luas 7,08 km2), Desa Kapoa (4.91 km2), Desa Banabungi (4.13 km2), Desa Waonu (3.26 km2), Desa Uwemaasi (2.90 km2), dan Desa Kaofe (1.39 km2).

Tahun 2008 jumlah penduduk di Kecamatan Kadatua adalah 9 590 jiwa terdiri dari 4 807 laki-laki dan 4 783 perempuan yang tersebar dalam 2 343 rumah tangga dengan kepadatan penduduk 303 jiwa/km2. Dari jumlah penduduk itu tercatat 3 202 orang pekerja produktif dengan dominasi pekerjaan yang dipili adalah nelayan sebanyak 26.9% atau 862 orang (Bappeda 2009).

Kecamatan Kadatua dipandang oleh penduduknya maupun pemerintah setempat sebagai miskin sumber daya alam. Kondisi tanah bebatuan berkapur, sulit air bersih, menjadikannya dianggap sebagai miskin sumber daya alam. Sumber daya di kecamatan Kadatua dapat dibagi menjadi sumber daya alam di daratan dan sumber daya alam di lautan (Nagib et al. 2006).

Usaha penangkapan ikan berkembang baru terjadi beberapa tahun terakhir ini setelah adanya alat tangkap redi (pukat cincin). Tetapi penggunaan alat penangkapan ini memerlukan investasi yang tinggi, sehingga usaha penangkapan ikan dengan redi hanya berkembang di Desa Banabungi. Kini penduduk banyak mencurahkan waktunya untuk mencari bulu babi, gurita, kerang-kerangan dan usaha budidaya rumput laut, selain usaha penangkapan ikan dengan target ikan karang, layang, dan tongkol. Sebenarnya masih banyak potensi ikan yang belum dimanfaatkan seperti ikan pari sebagai hasil tangkapan yang dibuang atau dibiarkan membusuk di tepi pantai oleh para nelayan (Nagib et al, 2006).

Para nelayan Kecamatan Kadatua mempunyai kebiasaan merantau untuk berdagang, sehingga aktivitasnya sebagai nelayan hanya dilakukan apabila sedang berada di lokasi. Pendapatan yang tinggi di kecamatan ini diperoleh dari penduduk yang bekerja di luar negeri dan nelayan redi (pukat cincin). Bagi masyarakat Kadatua, kelompok penduduk ini dikategorikan sebagai kelas ekonomi tinggi.

(58)

b) Warung dan pedagang keliling untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk

c) Depot kecil BBM, untuk memenuhi kebutuhan BBM terutama perahu-perahu nelayan dan kendaraan motor di Pulau Kadatua.

4.2.2.2. Kecamatan Siompu

Kecamatan ini terdiri dari 8 (delapan) desa yaitu: Desa Laloe (luas 2.00 km2), Desa Molona (1.98 km2), Desa Mbanua (3.85 km2), Desa Watumpara (2.17 km2), Desa Biwinapada (7.08 km2), Desa Kimbulawa (17.92 km2), Desa Wakinamboro (3.50 km2), dan Desa Tongali (4.00 km2). Desa di Kecamatan Siompu yang terdekat dengan Pulau Liwutongkidi adalah Desa Tongali yang terletak di bagian utara Pulau Siompu (Bappeda 2009).

Tahun 2008 jumlah penduduk di Kecamatan Kadatua adalah 9 845 jiwa terdiri dari 4 780 laki-laki dan 5 065 perempuan yang tersebar dalam 2 348 rumah tangga dengan kepadatan penduduk 292 jiwa/km2. Dari jumlah penduduk itu tercatat 3 134 orang pekerja produktif atau 31.83% dari penduduk yang ada dengan dominasi pekerjaan yang dipilih adalah bertani sebanyak 60.74% atau 1 880 orang. Komposisi penduduk menurut mata pencaharian pada kedua kecamatan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8 Komposisi penduduk menurut lapangan pekerjaan tahun 2008 No Lapangan Pekerjaan Kecamatan Kecamatan

Siompu(individu) Kadatua (individu)

1. Petani 1 880 750

2. Nelayan 350 862

3. Tukang kayu/tukang batu 56 864

4. Transportasi (Sopir mobil, ojek) 32 161

5. Pedagang 170 241

6. Industri 379 108

7. PNS 125 72

8. TNI dan POLRI 7 17

9. Buruh 125 -

10. Jasa Perorangan 10 5

11. TKI - 7

12. Lainnya - 115

Gambar

Tabel 4  Matriks kesesuaian Wisata Bahari kategori wisata snorkelling
Tabel 5  Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam
Tabel 8  Komposisi penduduk menurut lapangan pekerjaan tahun 2008
Tabel 10  Kondisi parameter kimia dan fisika perairan di lokasi penelitian.
+6

Referensi

Dokumen terkait