• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Evaluation of Earthworm (Pheretima sp) Enrichment on The Chemical Composition and Ovarian Development of Female Pacifik White Shrimp (Litopenaeus vannamei) Broodstock.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Evaluation of Earthworm (Pheretima sp) Enrichment on The Chemical Composition and Ovarian Development of Female Pacifik White Shrimp (Litopenaeus vannamei) Broodstock."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

GONAD INDUK BETINA UDANG VANAMEI (L. vannamei)

VENI DARMAWIYANTI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Pengayaan

Cacing Tanah (

Pheretima

sp) terhadap Komposisi Kimia dan Perkembangan

Gonad Induk Betina Udang Vanamei (

Litopenaeus vannamei

) adalah benar karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis

ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

Veni Darmawiyanti

(4)

RINGKASAN

VENI DARMAWIYANTI. Evaluasi Pengayaan Cacing Tanah (Pheretima sp) terhadap Komposisi Kimia dan Perkembangan Gonad Induk Betina Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei). Dibimbing oleh MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO dan MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR.

Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu spesies keluarga udang-udang penaid yang mempunyai nilai komersial penting dalam perdagangan dunia. Pakan alami yang unggul dalam memacu pematangan gonad udang vanamei adalah cacing laut (Nereis sp), namun cacing laut menjadi vektor perpindahan virus white spot pada spesies udang-udang penaid. Tujuan penelitian ini adalah mencari pakan alternatif pengganti cacing laut sebagai pakan induk udang Vanamei. Cacing tanah (Pheretima sp) sangat potensial untuk dikembangkan sebagai pakan pengganti induk udang Vanamei karena dapat dibudidayakan dan kandungan gizinya cukup tinggi. Namun kandungan fosfolipid, kolesterol dan karotennya lebih rendah daripada cacing laut.

Evaluasi dilakukan pada pakan cacing laut (Nereis sp) sebagai kontrol (A), pakan cacing tanah (Pheretima sp) (B), pakan cacing tanah (Pheretima sp) yang diperkaya fosfolipid, kolesterol dan karoten (C) dan pakan buatan yang menggunakan tepung cacing tanah (Pheretima sp) sebagai sumber protein utama dengan diperkaya fosfolipid, kolesterol dan karoten (D). Ikan uji adalah induk betina udang Vanamei yang belum pernah mijah. Masa pemeliharaan selama 3 periode pematangan. Parameter yang diamati antara lain tingkat perkembangan gonad dan komposisi kimia gonad pada tingkat kematangan gonad (TKG) II dan IV.

Hasil menunjukkan bahwa kecepatan perkembangan gonad secara morfologi maupun histologi pada perlakuan C lebih tinggi dibandingkan perlakuan B dan D. Jumlah induk yang berkembang menjadi TKG IV tertinggi pada perlakuan A (28%) diikuti oleh induk betina pada perlakuan C (22.67%) dan D (17.33%). Pengamatan komposisi kimia gonad induk selama perkembangan gonad dari TKG II ke IV, menunjukkan bahwa meskipun kandungan lemak total perlakuan A, C dan D meningkat, hanya perlakuan A dan C yang menunjukkan peningkatan pada kandungan protein, triasilgliserida dan lemak polar. Hal ini disebabkan kandungan betakaroten kedua perlakuan cukup tinggi sehingga dapat mencegah proses oksidasi selama suplai lemak kedalam gonad. Pada penelitian ini, induk yang dapat memproduksi telur adalah induk pada perlakuan pakan A dan C. Kelompok lemak khusus yang ditransfer kedalam telur dengan kandungan yang relatif tinggi adalah triasilgliserida dan kolesterol. Komposisi kimia telur yaitu kandungan protein telur A. 1.87%, C. 12.94%; kandungan triasilgliserida telur A. 0.73%, C. 0.70%; kandungan kolesterol telur A. 0.62%, C. 0.49%; dan kandungan betakaroten telur A. 20.62 mg/1000g, C. 18.2 mg/1000g. Sehingga dapat disimpulkan bahwa cacing tanah (Pheretima sp) segar yang diperkaya dengan fosfolipid, kolesterol dan betakaroten dapat digunakan sebagai pakan alternatif pengganti cacing laut (Nereis sp) untuk induk udang Vanamei (Litopenaeus vannamei).

(5)

VENI DARMAWIYANTI. The Evaluation of Earthworm (Pheretima sp) Enrichment on The Chemical Composition and Ovarian Development of Female Pacifik White Shrimp (Litopenaeus vannamei) Broodstock. Supervised by

MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO and MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR.

Pacific White shrimp (Litopenaeus vannamei ) is a species of penaid shrimp families that has significant commercial value in the world trade. Fresh feed that have excelent result to increase broodstock gonad maturation of white shrimp is marine worm (Nereis sp), therefore they become WSSV vector. This study aimed to search arternative feed subtituting marine worm as the main feed of white shrimp broodstock. Earthworms (Pheretima sp) have a great potential to be used as an alternative feed to subtituting marine worm for white shrimp broodstock because they can be cultivated, and the nutritional content is quite high. But the content of phospholipids, cholesterol and carotene earthworms were lower than marine worms.

The diet treatments were marine worms (Nereis sp) as a control (A), earthworms (Pheretima sp) (B), earthworms enriched by phospholipids, cholesterol and carotene (C) and artificial feed using earthworms flour as the main protein source enriched by phospholipids, cholesterol and carotene (D). The object of this research was virgin white shrimp broodstock. Observed parameters were gonad development stage (GDS) and gonad chemical composition at gonad maturation level II and IV.

The results showed that gonad development stage both morfology and histology of C treatment was higher than B and D. The highest of broodstock that reach out for GDS IV was treatment A (28%), followed by treatment C (22.67%) and treatment D (17.33%). The observation of broodstock gonad chemical composition during maturation process from GDS II to GDS IV, showed that although gonad total lipid (TL) of treatments A, C and D increase, only treatment A and treatment C showed an increase in protein content, triacylgliseride, and polar lipid. These affected by betacaroten of both treatments were high enough, so be able to prevent the oxidation of gonad lipid mobilization process. In this study, the treatment that able to produce eggs are treatment A and C. Lipids were preferentially transferred to the eggs, which contained relatively high triacylgliseride and cholesterol levels. The chemical composition of eggs respectively were: protein content of eggs A. 1.87%, C. 12.94%; triacylgliseride content of eggs A. 0.73%, C. 0.70%; cholesterol content of eggs A. 0.62%, C. 0.49%; and beta-caroten content of eggs A. 20.62 mg/1000g, C. 18.2 mg/1000g. It can be concluded that earthworms (Pheretima sp) enriched by phospholipids, cholesterol and beta-carotene can be used as a white shrimp broodstock alternative feed for subtitute marine worms (Nereis sp).

Keywords: Marine worm Nereis sp, L. vannamei broodstock, earthworm

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(7)

EVALUASI PENGAYAAN CACING TANAH (Pheretima sp)

TERHADAP KOMPOSISI KIMIA DAN PERKEMBANGAN

GONAD INDUK BETINA UDANG VANAMEI (L. vannamei)

VENI DARMAWIYANTI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013 Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(8)
(9)

Judul Tesis : Evaluasi Pengayaan Cacing Tanah (Pheretima sp) terhadap Komposisi Kimia dan Perkembangan Gonad Induk Betina Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei)

Nama : Veni Darmawiyanti

NIM : C151110291

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi, MSc

Ketua

Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi Anggota

Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini adalah pakan alternatif untuk induk udang, dengan judul Evaluasi Pengayaan Cacing Tanah

(Pheretima sp) terhadap Komposisi Kimia dan Perkembangan Gonad Induk

Betina Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei).

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi MSc, Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo MSi dan Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior MSc atas bimbingan dan saran yang diberikan, serta kepada Bapak Dr Dedi Jusadi dan Ibu Dr Ir Widanarni MSi selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pimpinan dan staf Balai Budidaya Air Payau Situbondo, Bapak Dr Ir Slamet Subyakto MSi serta Bapak Dr Ir Muhammad Murjani MSc atas perhatian dan bantuannya. Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi Ilmu Akuakultur dan staf Laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, staf Laboratorium Kesehatan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, staf Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dan staf Laboratorium Fisiologis Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada Ayahanda Drs Abd Rachman Abu, Ibunda Tri Murdaningsih AMa Pd, Ayahanda Imam Soetomo BcIp, Ibunda Rr Moerhardiyati, Mas Salugu Widya Utama SH, Fadhil Widya Dharma Putra dan Vidi, Vici, Imam, Anita, Mas Agung, Inten, Bintang, Bulan, serta Raditya atas segala cinta, doa dan dukungannya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mas Yanto Sumber Jambe Jember, Ansar (Mahasiswa Universitas Borneo Tarakan), SMK Sukorambi Jember (Ibnu, Ival, Eki, Anto) atas bantuannya, keluarga The Reginer’s serta rekan Akuakultur 2011 dan 2011 atas kebersamaan, kasih sayang dan dukungan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan diridhoi oleh Allah SWT. Amin.

Bogor, November 2013

Veni Darmawiyanti

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan dan Manfaat 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Cacing Tanah (Pheretima sp ) 4

Biologi 4

Kandungan Nutrisi 4

Udang Vanamei 6

Biologi 6

Perkembangan Gonad Udang Vanamei 6

Kebutuhan Nutrisi Induk 9

Persyaratan Energi 9

Lemak 10

Protein dan Asam Amino 10

Karbohidrat 11

Vitamin dan Mineral 11

Pigmen Karotenoid 11

3 METODE PENELITIAN 13

Waktu dan Tempat 13

Prosedur Penelitian 13

Hewan Uji 13

Pakan Uji 14

Persiapan Pakan Uji 14

Pakan Cacing Laut dan Cacing Tanah tanpa Pengkaya 14

Pengayaan Cacing Tanah 14

Pakan Buatan 14

Persiapan Wadah dan Media Pemeliharaan 14

Pemeliharaan Udang Vanamei 15

Ablasi 15

Pemijahan dan Pelepasan Telur 15

Parameter yang Diamati 16

Tingkat Kematangan Gonad. 16

Indeks Kematangan Gonad (Effendi 1979) 16

Pengukuran Diameter Telur 16

Komposisi Kimia Gonad dan Telur 16

(14)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Hasil 17

Tingkat Kematangan Gonad secara Morfologi 17

Tingkat Kematangan Gonad Secara Histologi 17

Indeks Kematangan Gonad (GSI) dan Diameter Telur 20

Komposisi Kimia Pakan, Gonad dan Telur 23

Kandungan Protein 23

Kandungan Lemak 23

Kandungan Betakaroten 26

Pembahasan 27

5 SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 33

(15)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia tepung cacing tanah (Pheretima sp)* 5 2 Profil asam amino cacing tanah (Pheretima sp)* 5

3 Perlakuan pakan uji pada induk udangVanamei 14

4 Komposisi kimia pakan perlakuan* 15

5 Persentase frekuensi diameter oosit udang Vanamei pada tingkat

kematangan II dan diameter rata-ratanya 19

6 Persentase frekuensi diameter oosit udang Vanamei pada tingkat

kematangan IV dan diameter rata-ratanya 20

7 Komposisi lemak total dan kelompok-kelompok lemak pada pakan, gonad dan telur masing-masing perlakuan; (TL) lemak total; (NL) lemak netral; (TAG) triasilgliserida; (COL) kolesterol; (PL) lemak

polar 24

DAFTAR GAMBAR

1 Cacing Tanah (Pheretima sp) 4

2 Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) 6

3 Perkembangan gonad udang. A. Tahap belum berkembang / spent (tampak atas); B. Tahap berkembang (tampak atas); C. Tahap hampir matang (tampak atas); D. Tahap matang (tampak atas); E. Tahap D tampak samping; F. Tahap D tampak bawah; AL: anterior lobe, ABL: abdominal lobe / LL: lateral lobe (Motoh 1981). 7 4 Gambaran histologi perkembangan gonad udang, A. TKG 1, B. TKG

2, C. TKG 3, D. TKG 4 (Motoh 1981). 8

5 Alur kegiatan penelitian 13

6 Jumlah induk udang Vanamei pada TKG III dan IV selama masa

pemeliharaan 17

7 Gambaran histologi gonad induk udang Vanamei pada TKG II; preparasi dengan larutan Davidson; x100; (op) oosit primer; (nu)

nukleoli; (n) nukleus 18

8 Gambaran histologi gonad induk udang Vanamei pada TKG IV; preparasi dengan larutan Davidson; x100; (cg) butiran kortikal; (nu)

nukleoli (y) kuning telur; (n) nukleus 19

9 Frekuensi penyebaran garis tengah telur dan indeks kematangan gonad induk betina udang Vanamei masing-masing perlakuan pada

TKG II 21

10 Frekuensi penyebaran garis tengah telur dan indeks kematangan gonad induk betina udang Vanamei masing-masing perlakuan pada

TKG IV 22

11 Kandungan protein pakan, gonad dan telur masing-masing perlakuan 23 12 Kandungan betakaroten pakan, gonad dan telur perlakuan 27

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengamatan jumlah induk udang Vanamei pada TKG I-IV selama

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu spesies keluarga udang-udang penaid yang mempunyai nilai komersial penting dalam perdagangan dunia (FAO 2012). Tingginya permintaan ekspor udang Indonesia menyebabkan udang Vanamei menjadi salah satu komoditas unggulan dalam program industrialisasi perikanan. Salah satu upaya untuk mendukung pengembangan budidaya udang Vanamei adalah melalui penyediaan benih yang bermutu. Benih bermutu dihasilkan oleh induk dengan kinerja reproduksi yang baik. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja reproduksi induk adalah pakan, manajemen lingkungan dan kualitas genetik (Izquierdo et al. 2001; Ibarra et al. 2007).

Pakan sangat berperan dalam proses pematangan gonad udang Vanamei (Izquierdo et al. 2001). Pakan yang umum diberikan pada induk udang Vanamei berupa pakan segar yang berasal dari laut seperti cacing laut (Nereis sp), cumi, kerang dan udang. Penggunaan jenis pakan tersebut didasarkan pada tingginya kandungan asam lemak tak jenuh, terutama asam lemak arakidonat (ARA: 20:4n-6), asam lemak eikosapentaenoik (EPA: 20:5n-3)dan asam lemak dokosaheksaenoik (DHA: 22: 6n-3) yang dapat memacu perkembangan gonad dan reproduksi udang (Wouters et al. 2001a). Menurut Harrison (1997) selain n-3 HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak arakidonat, jaringan pada cumi, tiram, dan udang kaya akan sterol-sterol, fosfolipid (PL), serta asam amino essensial. Pakan alami ini juga mengandung betaine dan nukleotida yang diketahui dalam bentuk attraktan. Jaringan udang dan tiram juga tinggi kandungan astaksantin dan pigmen-pigmen karotenoid lain.

Menurut D’Abramo et al. (1981) lemak memainkan peranan yang sangat penting dan terintegrasi dalam proses kelangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi udang. Penelitian Gonzalez-Felix et al. (2002) menunjukkan pentingnya Fosfolipid dan asam lemak tak jenuh (Highly Unsaturated Fatty Acid/ HUFA) dalam pakan udang-udang penaid termasuk udang Vanamei. Krustasea diketahui mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mensintesa HUFA dan tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesa sterol secara de novo (Harrison 1990; Wouters et al. 2001a). Udang dapat mensintesa PL didalam tubuhnya, namun laju sintesanya rendah sehingga harus ditambahkan didalam pakan (Shieh 1969 dalam Gonzales-felix et al. 2002).

Diantara jenis-jenis pakan tersebut, cacing laut unggul dalam memacu pematangan gonad. Penggunaan polychaetes atau cacing laut sebagai pakan induk udang mencapai lebih dari 25% dari total pakan selama proses maturasi. Cacing laut memiliki kandungan nutrisi minimal 50% protein, 79% kadar air, 13% kadar abu dan kadar lemak berkisar antara 6.6%-19.3%. Jenis cacing ini digunakan sebagai pakan khususnya karena tinggi akan kandungan n-3 HUFA, betaine dan nukleotida (Harrison 1997; Pinon et al. 2003). Cacing laut mempunyai kandungan asam lemak utama C16:0, C18:1 dan C20:5 (n-3) karena hidup dalam sedimen lumpur, pasir dan tanah liat yang kaya akan asam lemak. Asam lemak umumnya digunakan sebagai penanda biologis

(18)

virus white spot pada spesies udang-udang Penaid. Sehingga diperlukan bahan pengganti cacing laut sebagai pakan induk udang Vanamei.

Disisi lain pakan tiram, cacing laut dan cumi yang disimpan lama juga menyebabkan penurunan kualitas reproduksi induk, yang ditunjukkan dengan hilangnya pigmentasi dan pemutihan ovarium induk betina dan kuning telur. Akibatnya laju konsumsi pakan larva menjadi rendah, tingkat abnormalitas zoea 1 meningkat dan rendahnya kelangsungan hidup larva pada saat perubahan ke zoea II. Penambahan karoten didalam pakan induk lobster ternyata dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada zoea II (Lorenz 1998).

Cacing tanah (Pheretima sp) sangat potensial dikembangkan sebagai pakan pengganti untuk induk udang Vanamei karena cacing tanah sudah dapat dikembangkan sebagai ternak komersial sehingga ketersediaannya tidak bergantung pada alam dan kesegarannya dapat dijaga kestabilannya (Sihombing 1999). Kandungan gizinya cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya yang mencapai 53.69-55.56% dan lemak 15.6-20.37%. Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah terdiri dari 18 macam asam amino. Selain itu, cacing tanah mengandung 20 mineral dan trace element, serta kandungan nutrisi yang berkaitan dengan asam lemak n-3 dan asam arakidonat (Paoletti et al. 2003; Brata 2009). Hasil analisis asam lemak cacing tanah (Pheretima sp) menunjukkan kandungan asam lemak ARA sebesar 4.49%, EPA 2.06% dan DHA

0.30%. Kandungan asam lemak ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kandungan asam lemak cacing laut (Nereis sp) terutama pada kandungan asam lemak ARA yaitu 4.66%, EPA 0.89% dan DHA 0.34%. Namun kandungan fosfolipid, kolesterol (COL) dan karotennya rendah.

Uji coba pendahuluan penggunaan cacing tanah sebagai pakan induk udang vanamei menunjukkan proses pematangan gonad dan jumlah induk matang gonad serta ukuran larva cukup baik, namun kualitas larva yang dihasilkan menurun, yang diindikasikan dengan terjadinya kematian total pada saat perubahan stadia zoea ke mysis (Unpublised data, BBAP Situbondo). Dengan demikian agar pakan cacing tanah dapat menunjang kinerja reproduksi induk dan juga viabilitas larva, maka sebelum digunakan sebagai pakan, cacing tanah harus diperkaya dengan fosfolipid, COL dan karoten. Aplikasi cacing tanah dapat berupa pakan segar ataupun dalam bentuk tepung cacing tanah. Untuk mengetahui perbedaan penggunaan cacing tanah pada induk udang Vanamei maka dalam penelitian ini juga dievaluasi pengunaan pakan buatan dengan bahan baku tepung cacing tanah.

Rumusan Masalah

Kualitas larva sangat dipengaruhi oleh kualitas telur. Sedangkan kualitas dan kuantitas telur dapat ditingkatkan melalui perbaikan kualitas pakan induk. Pakan yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas telur adalah kualitas pakan itu sendiri dan bukannya kuantitas pakan (Kamler 1992). Menurut Halver dan Hardy (2002) ada lima macam nutrien pakan yang harus memenuhi kebutuhan ikan antara lain: protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Unsur pakan tersebut harus dipenuhi menurut proporsinya supaya induk dapat mencapai hasil reproduksi optimal.

Keunggulan cacing laut sebagai pakan induk udang Vanamei selain kandungan proteinnya, juga karena tingginya kandungan asam lemak tak jenuh (Polyunsaturated

fatty acid/PUFA) khususnya asam lemak arakidonat (ARA:20;4n-6), asam lemak

(19)

yang tinggi (53,31-72.9%), asam amino essensial, kalsium dan besi juga memiliki kandungan proporsi asam lemak tak jenuh (PUFA) yang tinggi yaitu berkisar 46.7-54.2% dari lemak total (Paoletti et al. 2003; Brata 2009). Namun kandungan COL, fosfolipid dan karotennya lebih rendah daripada cacing laut.

Wouters et al. (2001a) dalam ulasannya menyatakan bahwa fosfolipid, TAG dan COL adalah kelompok lemak utama yang berperan dalam pematangan gonad. Fosfolipid dan COL merupakan komponen essensial dalam pembentukan biomembran bersama dengan protein. Kebutuhan akan fosfolipid dapat menjadi akut jika proses makan berhenti dan proses mobilisasi lemak dari hepatopankreas terjadi. Jika pada saat itu transport COL juga terhambat maka kematian akan terjadi karena terhambatnya transport prekursor hormon kedalam jaringan. Fosfolipid sangat dibutuhkan induk untuk menaikkan produksi naupli, penetasan dan spermatogenesis. COL merupakan prekursor dari beberapa senyawa fungsional termasuk hormon sex dan molting, adrenal kortikoid, asam bile dan vitamin D (Harrison 1990). COL dibutuhkan untuk menjamin fungsi endokrin dan mobilisasinya berjalan dengan baik selama proses maturasi. Disamping COL dan fosfolipid, karoten ternyata juga sangat mempengaruhi kualitas reproduksi induk yang ditunjukkan dengan menurunnya kualitas larva yang dihasilkan

pada pakan induk tanpa karoten (D’Abramo 1983 dalam Lorenz 1998). Hal ini disebabkan krustasea memiliki kemampuan yang terbatas untuk mensintesa fosfolipid, COL dan karoten, selain itu transport COL bersifat spesifik (Sgoutas 1972 dalam

D’Abramo 1981). Oleh karena itu, sebagai bahan alternatif substitusi cacing laut, cacing tanah harus diperkaya dengan fosfolipid, COL dan karoten agar kualitas nutrisinya dapat memenuhi kebutuhan udang Vanamei.

Namun penggunaan pakan alami juga menghadapi kendala berfluktuasinya kualitas pakan dan penanganan yang lebih sulit sehingga diperlukan pula upaya pengembangan pakan buatan untuk induk udang Vanamei. Oleh karena itu dalam penelitian ini, evaluasi juga dilakukan pada pakan buatan induk udang Vanamei dengan menggunakan tepung cacing tanah sebagai sumber proteinnya, yang diperkaya fosfolipid, COL dan karoten.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mencari pakan alternatif pengganti cacing laut, melalui pengamatan terhadap komposisi kimia dan perkembangan gonad induk udang Vanamei betina dengan pemberian pakan cacing tanah, cacing tanah yang diperkaya fosfolipid, COL dan karoten dan pakan buatan dengan bahan baku tepung cacing tanah yang diperkaya fosfolipid, COL dan karoten.

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Tanah (Pheretima sp )

Biologi

Pheretima sp merupakan jenis cacing tanah lokal yang penyebarannya meliputi

Indo-Melayu, Asia tenggara, dan Australia. Letak klitelium pada segmen 14-16, pigmentasi dorsal sama dengan pigmentasi ventral yaitu merah kecoklatan. Ukuran tubuh lebih ramping dan panjang serta gerakannya lebih lincah dari E. foitida. Tubuh cacing tanah dewasa dapat mencapai 11 cm dan diameter 2 mm, jumlah segmen 122-153 dan setiap segmen mempunyai seta dan tipe Perichaetine. Cacing tanah Pheretima sp diketahui mampu mengimbangi keberadaan jenis Lumbricus sp. Kondisi lingkungan tempat hidup jenis cacing tanah lokal ini dicirikan oleh suhu harian antara 230C-270C, kelembaban antara 70-90% dan pH antara 6.5-8.3. Pada umumnya media yang disenangi pH kurang lebih 7.0 dan jarang dijumpai pada habitat yang langsung terkena cahaya matahari, serta lebih menyukai tempat-tempat yang tenang (Sihombing 1999; Brata 2009).

Ciri khas segmen pada tubuh cacing ini menjadikan Pheretima sp diidentifikasi sebagai kelompok phylum Annelida. Segmen yang membesar kearah anterior disebut

clitellum menunjukkan keanggotaan untuk kelas clitellata. Anggota kelas ini juga

didefinisikan bersifat hermaprodit (Brata 2009).

Kandungan Nutrisi

Cacing tanah adalah kelompok hewan tidak bertulang belakang, dapat ditemukan di tempat yang lembab dengan ukuran bervariasi. Hampir terdapat 1800 spesies cacing tanah dan beberapa spesies telah dimanfaatkan secara komersial untuk pengolahan limbah, pakan ternak, kosmetik dan farmasi. Menurut Brata (2009), kandungan nutrien cacing tanah sangat baik. Komposisi kimia cacing tanah (Pheretima sp) ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini.

(21)

Penelitian yang dilakukan oleh Paoletti et al. (2003) pada dua jenis cacing tanah

Annelida; Glossoscolecidae menunjukkan bahwa cacing tanah mengandung protein

yang tinggi (64.5%-72.9% berat kering), asam amino essensial, kalsium, besi dan sejumlah elemen penting lain. Kualitas protein cacing tanah pada beberapa kasus dapat dibandingkan dengan protein susu sapi dan telur. Pada Tabel 2 berikut ini ditampilkan profil asam amino dari cacing tanah Pheretima sp.

Kandungan total asam lemak dalam sampel cacing tanah pada penelitian Paoletti

et al. (2003) sangat rendah dan berkisar antara 6.6-10.5 mg/g berat kering. Namun ada

beberapa aspek penting komposisi asam lemak pada cacing tanah tersebut, pertama proporsi asam lemak tak jenuh (Polyunsaturated fatty acid/ PUFA) sangat tinggi yaitu berkisar 46.7-54.2%. Kedua, diantara asam lemak tak jenuh ganda, proporsi asam lemak n-6 lebih tinggi daripada asam lemak n-3. Ketiga, kandungan asam lemak arakidonat (20:4 n-6) sekitar 33-45% dari total asam lemak tak jenuh ganda atau hampir

Tabel 1 Komposisi kimia tepung cacing tanah (Pheretima sp)*

Komponen Komposisi

Tabel 2 Profil asam amino cacing tanah (Pheretima sp)*

Asam amino g/100g protein

(22)

¼ (15.7-23%) dari total asam lemak. Kandungan asam arakidonat ini sangat tinggi jika dibandingkan bahan makanan lain seperti ayam, kalkun, telur dan daging babi .

Udang Vanamei

Biologi

Udang Putih Pasifik, Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) dapat beradaptasi dengan baik pada kisaran kondisi perairan budidaya yang sangat luas (Lawrence et al. 1985). Secara morfologi memiliki rostrum agak panjang sekitar 7-10 dorsal, dan 2-4 gigi ventral. Pada induk jantan petasma berbentuk simetris dan agak terbuka, spermatofor kompleks dengan massa sperma dienkapsulasi dengan selubung. Induk betina memiliki telikum terbuka. Warna umumnya transparan tetapi dapat berubah karena substrat yang keruh, pakan atau media. Panjang maksimal 23 cm dan umumnya udang betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan.

Perkembangan Gonad Udang Vanamei

Tingkat kematangan gonad merupakan parameter kualitatif sedangkan perubahan yang terjadi pada gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan suatu indeks kematangan gonad atau Gonado Somatic Index/GSI (Effendie 1979). Selama proses reproduksi, sebagian energi akan dipakai untuk perkembangan gonad, sehingga bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah dan kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung hingga selesai.

(23)

Perkembangan gonad udang dapat dibagi menjadi 5 kategori tahapan perkembangan, yang terutama didasarkan pada ukuran sel telur, perkembangan gonad serta perubahan warna dengan tujuan untuk menunjukkan Tingkat Kematangan Gonad/TKG (Motoh, 1981).

- TKG 1 dan 5 : Tahap belum berkembang atau spent (Gambar 3A dan 4A)

Gonad sangat kecil, lembek dan tidak terlihat melalui eksoskeleton. Sel telur tertutupi dengan lapisan sel folikel dan berukuran kecil, ukuran rata-rata telur 35 mikron.

- TKG 2 : Tahap berkembang (Gambar 3B dan 4B)

Perkembangan gonad dapat dengan mudah dibedakan dari jaringan lain. Gonad lembek berwarna putih pucat kekuningan. Telur sudah mulai terisi kuning telur dan berukuran rata-rata 170 mikron.

- TKG 3 : Tahap hampir matang (Gambar 3C dan 4C)

Pada tahap ini dapat ditentukan dengan pasti di lapang karena gonad memiliki warna kuning kehijauan dan dapat terlihat melalui eksoskeleton, membesar dan memenuhi segmen pertama abdominal. Ukuran rata-rata telur 215 mikron.

- TKG 4 : Tahap matang (Gambar 3D-F dan 4D)

Tahap ini dikenali hanya dengan munculnya cortical

alveolar. Secara histologi terlihat garis mengelilingi

nukleus. Ukuran telur mencapai rata-rata 235 mikron. Gambar 3 Perkembangan gonad udang. A. Tahap belum berkembang / spent

(24)

Di lapang, seleksi induk matang gonad biasanya dilakukan berdasarkan pengamatan pada perubahan warna, ukuran relatif (bagian gonad yang memenuhi segmen abdominal 1 ), tekstur, dan pembesaran gonad melalui pengamatan secara cepat pada bagian eksoskeleton. Jika menggunakan kriteria ini, tidak mungkin dapat mengidentifikasi tahapan belum berkembang dan spent (TKG 1 dan 5) dan antara hampir matang dan matang (TKG 3 dan 4). Jadi untuk memudahkan pengamatan secara teknis, perkembangan gonad diklasifikasikan menjadi 2 kategori, tahap 1 termasuk didalamnya tahap belum berkembang, tahap berkembang dan spent dan tahap 2 yaitu hampir matang dan matang.

Tahapan perkembangan gonad induk udang Vanamei juga dapat ditunjukkan secara histologi melalui pengamatan perkembangan oosit, yang dibagi menjadi 5 fase yaitu: proliferative, meiosis, previtellogenesis, vitellogenesis (endogenous dan

exogenous) dan fase penyerapan kembali/oosorption (Demestre dan Fortuno 1992).

Fase proliferative, adalah tahap gonad belum berkembang, berwarna bening dan sangat tipis. Sel germinal berbentuk basofilik. Diameter oogonia berukuran 6-16 m, memiliki nukleus besar dan sejumlah kecil ooplasma. Setelah mengalami mitosis maka sel oogonia akan masuk ke tahap oosit primer. Fase meiosis, merupakan tahap perkembangan awal, gonad berwarna putih dan pada fase ini diameter oosit primer berukuran 16-24 m, masih berkelompok dan masih berada di zona germinatif. Nukleus terus membesar dan sitoplasma berbentuk basofilik. Oosit sudah dikelilingi oleh sel-sel folikel. Fase previtellogenesis, gonad sudah berkembang berwarna putih kekuningan, lebih tebal daripada tahap sebelumnya. Ukuran oosit berkisar 32-95 m dan bentuknya lebih beraturan. Nukleoli dalam jumlah yang berbeda-beda mulai terdiferensiasi dan berpindah ke bagian pinggir nukleus. Fase ini merupakan awal penimbunan butiran-butiran kuning telur. Fase endogenous vitellogenesis (primary

vitellogenesis) merupakan tahap pematangan gonad, ukuran oosit berkisar antara

90-100 m. Gonad berwarna kuning tua dan membesar. Nukleus berada dibagian tengah dan mencapai besar maksimal (sekitar 40 m). Oosit tampak lebih individual dan saling tumpang tindih. Sitoplasma dipenuhi oleh butiran-butiran lemak. Fase exogenous

vitellogenesis (secondary vitellogenesis) adalah tahap perkembangan gonad akhir,

(25)

gonad berwarna kuning oranye dan membesar memenuhi permukaan dorsal induk udang. Fase exogenous vitellogenesis dibagi dua tahap yaitu tahap awal pada saat ukuran diameter oosit berkisar antara 100-168 m, dan tahap akhir ketika ukuran diameter oosit berkisar antara 168-336 m. Oosit berbentuk seperti empat persegi panjang, tampak saling menempel satu sama lain membentuk pola mosaik. Nukleus tidak berbentuk bundar lagi, ukuran mengecil dan dengan bentuk tidak teratur, perlahan-lahan mulai bermigrasi lebih ke bagian pinggir oosit. Di pinggiran oosit, muncul butiran kortikal. Oosit dengan struktur kortikal adalah oosit yang sudah siap untuk dilepaskan. Fase oosorption adalah tahap salin sesudah pemijahan. Gonad berwarna putih gading, ukuran mengecil dan sangat lembek. Didalam gonad masih ada sisa oosit. Oosit ini tidak fungsional, memiliki bentuk yang tidak teratur dan secara bertahap mengecil. Akhirnya oosit ini akan diserap kembali melalui proses fagositosis.

Kebutuhan Nutrisi Induk

Makanan dalam bentuk protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin dibutuhkan oleh udang untuk pertumbuhan, reproduksi dan menormalkan fungsi fisiologis lainnya (Lovell 1984). Dikemukakan pula bahwa hasil reproduksi udang berhubungan dengan keseimbangan komposisi nutrisi pakannya, dimana komposisi kimia kuning telur bergantung kepada status nutrien dan kondisi induk. Sedangkan komposisi kimia telur menurut Kamler (1992) menentukan besar kecilnya ukuran telur, dan ukuran telur merupakan indikator kualitas telur. Selain itu, seperti halnya pada hewan lain, defisiensi dan masalah nutrisi yang terjadi pada fase awal pemeliharaan larva ikan berkaitan langsung dengan kualitas nutrisi dan durasi pemberian pakan pada induknya. Penurunan fekunditas pada beberapa spesies ikan, disebabkan karena pengaruh nutrisi terhadap tidak seimbangnya sistem endokrin dari otak-pituitari-gonad, atau karena terbatasnya ketersediaan komponen biokimia untuk pembentukan telur (Izquierdo et al. 2001).

Persyaratan Energi

(26)

Lemak

Studi biokimia pada spesies udang liar menunjukkan bahwa fosfolipid, triasilgliserida (TAG) dan kolesterol (COL) adalah kelompok lemak utama dalam proses pematangan gonad. Sedangkan didalam telur, lemak merupakan komponen kedua dimana bagian cadangan lemak utama terdapat dalam kuning telur. Lemak dalam bentuk TAG ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan sisanya disimpan dalam embrio. Sejumlah 31 spesies dari 39 spesies ikan perairan bebas ditemukan kandungan lemak telurnya, berkisar antara 10-35% bahan kering (Kamler 1992). Kadar asam lemak dalam telur ikan Red Seabream sangat dipengaruhi oleh kadar asam lemak pakan yang diberikan sebelum pemijahan .

Peran penting fosfolipid dan asam lemak tak jenuh (HUFA) pada nutrisi udang ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan pada banyak spesies udang termasuk udang Vanamei (Gong et al. 2000; Gonzalez-Felix et al. 2002). Suplemen fosfolipid sangat disarankan karena udang mempunyai keterbatasan untuk mensintesanya. fosfolipid berperan sebagai komponen vital dalam membran sel dan sebagai agen pengemulsi dalam sistem biologis. Hu et al. (2009) menyatakan bahwa fosfolipid memainkan peranan penting dalam mempengaruhi tingkat fluiditas, permeabilitas dan kekenyalan membran serta aktifitas enzim dan semua sifat ini mempengaruhi proses gametogenesis dan penggabungan sel. Induk udang sangat membutuhkan fosfolipid didalam pakannya untuk meningkatkan produksi naupli, daya tetas dan spermatogenesis. Kandungan fosfolipid pakan akan mempengaruhi frekuensi pemijahan dan fekunditas serta konsentrasi fosfolipid telur udang Vanamei (Wouters et al. 2001a).

Selain itu udang juga tidak mampu mensintesa sterol. Kolesterol (COL) merupakan komponen membran sel dan berfungsi sebagai prekursor dari hormon sex dan molting, adrenal kortikoid, asam bile dan vitamin D. Menurut Gonzalez-Felix et al. (2002), level 3% PL dalam pakan secara nyata meningkatkan pertumbuhan udang namun tidak mempengaruhi kelangsungan hidupnya. Gong et al. (2000) menyatakan untuk udang Vanamei membutuhkan 5% fosfolipid jika tanpa COL dan 1.5% fosfolipid jika level COL dalam pakan 0.14%. Dimana pada penelitian sebelumnya dikatakan level optimum fosfolipid didalam pakan adalah 0.5%. Hasil penelitian Morris et al. (2011) menyarankan penggunaan COL untuk pertumbuhan udang Vanamei berkisar antara 0.076%-0.11% dari pakan .

Protein dan Asam Amino

(27)

Karbohidrat

Karbohidrat tidak esensial untuk induk udang. Namun dapat digunakan sebagai sumber energi yang murah untuk menggantikan pemanfaatan lemak dan protein. Menurut Harrison (1997), karbohidrat berperan dalam penyimpanan glikogen didalam hepatopankreas sebagai sumber energi biosintesa selama proses maturasi. Furuichi (1988) menyatakan bahwa relatif sedikit yang diperlukan untuk perkembangan telur.

Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral merupakan elemen mikro bahan makanan. Vitamin dalam pakan diperlukan sebagai fungsi katalisator yang berperan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Tidak semua vitamin diperlukan oleh ikan, vitamin menjadi esensial bila tubuh tidak dapat mensintesisnya (De Silva dan Anderson 1995). Vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, vitamin D dan E diketahui esensial untuk mendukung reproduksi udang. Vitamin E dan C diduga berfungsi sebagai antioksidan alami dan mempengaruhi tingkat abnormalitas sperma, daya tetas telur dan gonadosomatic index. Vitamin A berperan dalam proses spermatogenesis, oogenesis dan embriogenesis. Sedangkan vitamin D berkaitan dengan metabolisme kalsium dan fosfor pada krustasea. Suplai kalsium dan fosfor serta penyimpanannya menjadi faktor kritis pada saat perkembangan eksoskeleton selama masa embryonic, penetasan dan molting larva (Harrison 1997). Kandungan thiamin, riboflavin, niacin, vitamin B6, vitamin B12,

choline, inositol dan ascorbic acid juga disarankan didalam pakan beberapa jenis

udang. Namun persyaratan vitamin untuk induk udang belum didefinisikan, dan umumnya pada pakan buatan untuk induk disuplemen dengan campuran vitamin (Wouters et al. 2001).

Mineral merupakan unsur yang dapat menjaga keseimbangan asam basa, juga berperan dalam proses osmotik. Selain itu, mineral juga penting untuk fungsi pembekuan darah, fungsi otot dan sebagai kofaktor dalam reaksi enzimatik ( Guillaume

et al. 2001). Berdasarkan pada Harrison (1990), defisiensi mineral atau

ketidakseimbangannya ternyata berefek negatif terhadap reproduksi udang. Malnutrisi mineral mengubah komposisi dan kualitas telur yang dihasilkan. Induk-induk udang pada akhir masa reproduksi biasanya juga mengalami keropos yang diasumsikan berkaitan dengan rendahnya tingkat kalsium dan magnesium di otot dan hepatopankreas. Penurunan kandungan mineral di hepatopankreas kemungkinan disebabkan karena mineral ditransfer ke ovarium.

Beberapa kelainan yang timbul akibat defisiensi vitamin E dapat dicegah dengan pemberian asam amino yang mengandung mineral sulfur dan selenium (Piliang 1992). Percobaan pemberian pakan berprotein rendah terhadap induk red seabream tanpa pemberian fosfor menghasilkan produksi telur yang rendah (Watanabe et al. 1984). Linder (1992) menjelaskan bahwa kebutuhan mineral Zn dan Cu sangat dipengaruhi oleh vitamin E. Mineral Zn berfungsi sebagai stabilisator biomembran yang dapat meningkatkan kestabilan tokoferol plasma. Pada beberapa studi, pakan buatan umumnya diperkaya dengan kalsium, fosfor, magnesium, sodium, besi, mangan dan selenium.

Pigmen Karotenoid

(28)

larva awal. Zagalsky et al. (1967) dan Nelis et al. (1989) dalam Harrison (1997) menduga bahwa peran karotenoid dalam reproduksi adalah melindungi baik penyediaan nutrien dan perkembangan embrio dari proses oksidasi dan radiasi matahari, menyuplai penyediaan pigmen untuk embrio dan larva dalam perkembangan kromatofor dan

eyespots, juga sebagai prekursor vitamin A.

Krustasea tidak mampu mensintesa karotenoid secara de novo, sehingga didalam pakannya harus tersedia karotenoid. Pengayaan karotenoid didalam pakan induk menunjukkan adanya pengaruh terhadap kualitas telur dan kesehatan serta kelangsungan hidup larva. Penambahan paprika pada pakan induk udang penaid menghasilkan peningkatan warna ovarium induk, kekerasan cangkang dan yang paling penting kualitas larva dan kelangsungan hidupnya (Wyban et al. 1995 dalam Harrison 1997). Pengaruh karoten sebagai pigmen dalam pakan dipelajari dengan pemberian 100 ppm berbagai jenis karotenoid (betakaroten, canthaxanthin dan astaxanthin) pada

Penaeus japonicas. Setelah 8 minggu diketahui bahwa karotenoid yang tersimpan

(29)

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Broodstock Center Udang Vanamei dan Laboratorium Nutrisi, Balai Budidaya Air Payau Situbondo (BBAP), Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, selama 6 bulan. Analisis kandungan kimia dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan FPIK-IPB dan Laboratorium Kimia Terpadu IPB serta Laboratorium Penguji BBAP Situbondo. Analisis histologi gonad dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan FPIK-IPB.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini meliputi kegiatan persiapan pakan, pengujian pakan pada induk udang Vanamei dan pengambilan data. Alur kegiatan penelitian yang dilakukan seperti pada Gambar 5.

Hewan Uji

Hewan uji adalah induk betina belum pernah mijah dan induk jantan udang Vanamei berasal dari Broodstock Center BBAP Situbondo sebanyak 100 pasang. Berat induk betina kurang lebih 40 gram dan induk jantan kurang lebih 35 gram dipelihara dalam hapa sebanyak 25 ekor/hapa. Pemilihan induk didasarkan pada persyaratan kualitatif induk udang Vanamei menurut SNI 01-7253-2006 tentang Induk Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei ) Kelas Induk Pokok yaitu: warna bening kecoklatan dan cerah dengan garis merah pada uropod, punggung lurus mendatar dan kondisi sehat, bebas virus dan nekrosis, tidak cacat, anggota tubuh lengkap, insang bersih dan tidak bengkak, kekenyalan tubuh baik dan tidak keropos. Gerakan aktif dan normal.

(30)

Pakan Uji

Pakan uji yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 3. Sedang komposisi kimia pakan ditampilkan pada Tabel 4.

Persiapan Pakan Uji

Pakan Cacing Laut dan Cacing Tanah tanpa Pengkaya

Cacing laut segar jenis Nereis sp dan cacing tanah segar jenis Pheretima sp diberikan sebagai pakan induk udang Vanamei tanpa diperkaya.

Pengayaan Cacing Tanah

Cacing tanah Pheretima sp diperkaya dengan fosfolipid, COL dan karoten yang dilarutkan dalam minyak cumi dan minyak ikan. Fosfolipid yang digunakan adalah produk lechitin kedelai merk Nature yang mengandung 58-60% fosfatidilkolin dan fosfatidilinositol. COL yang digunakan adalah kolesterin Kristal dari Merck. Sedangkan karoten menggunakan produk karoten A9335 dari Sigma. Pengayaan dilakukan dengan cara penyuntikan bahan pengaya melalui segmen dibawah klitelum cacing tanah. Dosis bahan pengaya yaitu untuk setiap 100 gram cacing tanah ditambah 1.5 gram fosfolipid, 0.14 gram COL berdasarkan Gong et al. (2000) dan 0.01 gram karoten berdasarkan Lorenz (1998). Bahan pengaya dilarutkan dalam campuran 3 gram minyak cumi dan 3 gram minyak ikan. Selanjutnya cacing tanah dapat langsung diberikan sebagai pakan induk udang vanamei.

Pakan Buatan

Pakan buatan dibuat dalam bentuk pelet kering. Sumber protein berasal dari cacing tanah yang dikeringkan pada suhu 60oC, kemudiang digiling menjadi tepung. Kedalam bahan baku tepung cacing tanah tersebut ditambahkan atraktan, minyak cumi, minyak ikan, vitamin premiks, binder, fosfolipid, COL dan karoten. Dosis fosfolipid, COL dan karoten sama dengan perlakuan C. Adonan dicetak kemudian dikeringkan dengan oven. Komposisi kimia pakan buatan dibuat berdasarkan standart komposisi kimia pakan udang Vanamei menurut Wouters et al, (2001a). Hasil analisa proksimat pakan buatan ditampilkan pada Tabel 4.

Persiapan Wadah dan Media Pemeliharaan

Delapan buah hapa ukuran 1 x 3 x 1.2 m ditempatkan dalam 4 buah bak beton berkapasitas 8 m3 disiapkan untuk tempat pemeliharaan dan pematangan gonad induk udang Vanamei. Bak berada didalam ruangan (indoor) untuk menjaga kestabilan kondisi lingkungan. Bak dilengkapi dengan aerasi sebanyak 10 titik dengan kedalaman

Tabel 3 Perlakuan pakan uji pada induk udangVanamei

Perlakuan Keterangan

A Pemberian pakan cacing laut segar tanpa diperkaya (kontrol) B Pemberian pakan cacing tanah segar tanpa diperkaya

C Pemberian pakan cacing tanah segar diperkaya fosfolipid, COL dan karoten

(31)

kurang dari 5 cm dari dasar bak agar kotoran dan sisa pakan tidak teraduk. Seluruh wadah pemeliharan diisi dengan air laut yang sudah melalui proses penyaringan dan sterilisasi dengan sinar UV. Kondisi kualitas air yaitu salinitas berkisar antara 33 sampai 35 ppt; suhu 28 oC + 2 ; pH 7 sampai 8; DO dipertahankan >5 ppm. Kepadatan masing-masing hapa 10 ekor/ m2.

Pemeliharaan Udang Vanamei

Calon induk dari tambak pembesaran diadaptasikan dalam hapa selama 2 minggu. Pada awal pemeliharaan dilakukan pengukuran panjang dan bobot tubuh. Setelah dilakukan ablasi mata induk dipelihara kembali selama 3 periode pematangan gonad. Ransum pakan selama pemeliharaan sesuai dengan perlakuan. Pemberian pakan dilakukan empat kali dalam sehari pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00 dan 20.00 WIB. Jumlah pakan alami yang diberikan 30% bobot biomas sedangkan pakan buatan 3% bobot biomas. Agar kondisi kualitas air tetap baik, kotoran yang ada di dasar bak dibersihkan setiap hari dengan cara disifon. Pada akhir pemeliharaan semua induk yang tersisa ditimbang dan diambil sampel gonad. Pengambilan sampel untuk data GSI, histologi dan analisis kimia gonad induk betina dilakukan pada tahapan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) II dan TKG IV.

Ablasi

Proses pematangan gonad induk dipacu dengan teknik ablasi, yaitu dengan cara memotong sebelah tangkai mata udang dengan menggunakan gunting yang telah dipanaskan (Nurdjana 1983).

Pemijahan dan Pelepasan Telur

Proses pemijahan dilakukan dengan memasukkan induk betina matang gonad kedalam populasi induk jantan. Pengamatan berhasil tidaknya pemijahan dilakukan 4 sampai 5 jam setelah proses tersebut. Induk betina yang sudah kawin dipindahkan ke bak penetasan telur. Didalam bak ini, induk dibiarkan selama semalam untuk memberi kesempatan terjadinya proses pembuahan dan pelepasan telur. Kemudian induk yang telah melepaskan telur dikembalikan kedalam bak pemeliharaan agar tidak menghisap kembali telurnya.

Parameter/satuan A. Cacing laut

Nereis sp

(32)

Parameter yang Diamati

Tingkat Kematangan Gonad.

Pengamatan perkembangan gonad dilakukan secara morfologi dan histologi. Pengamatan harian perkembangan gonad secara morfologi berdasarkan pada Motoh (1981). Sedangkan secara histologi dilakukan pada gonad TKG 2 dan TKG 4, pengamatan tingkat perkembangan oosit berdasarkan Demestre dan Fortuno (1992). Perhitungan persentase kematangan gonad dilakukan dengan membandingkan jumlah induk yang matang gonad dengan populasi total (Tarsim et al. 2007).

Indeks Kematangan Gonad (Effendi 1979)

Indeks Kematangan Gonad / Gonadosomatic Index (GSI) adalah pengukuran rasio berat gonad dengan total berat tubuh untuk mengukur tingkat kematangan seksual yang berhubungan dengan perkembangan gonad. Persentase GSI dihitung berdasarkan rumus berikut :

Pengukuran Diameter Telur

Pengukuran diameter telur pada tingkat kematangan gonad II dan IV dilakukan dengan mengukur diameter oosit dalam tampilan histologi jaringan gonad. Prosedur yang dilakukan yaitu : induk udang vannamei pada TKG II dan IV dibedah kemudian diambil sampel jaringan gonadnya. Sampel gonad difiksasi dengan larutan Davidson selama 1-2 hari kemudian dipindahkan kedalam larutan alkohol 70 % sampai dianalisis. Menggunakan scalpel bersih, trim kotak atau potongan jaringan yang sudah difiksasi sehingga berukuran lebar antara 0.2-0.5 cm, ketebalan antara 0.2-0.5 cm, dan panjang tidak lebih dari 2 cm. Sampel jaringan kemudian melalui proses dehiration dengan alkohol , clearing, infiltration, embedding, pemotongan jaringan dan pewarnaan

dengan mayer’s haematoxylin. Pengukuran diameter dilakukan dengan alat micrometer dibawah mikroskop compound pada pembesaran 100x. Jumlah sampel telur yang diamati 100-200 butir.

Komposisi Kimia Gonad dan Telur

Pada udang betina dengan tingkat kematangan gonad II dan IV dilakukan pembedahan untuk mengambil gonadnya dan selanjutnya dilakukan penimbangan dan analisis kandungan protein dengan metode Bradford, total lemak dengan metode Folch, lemak netral (NL) dan lemak polar (PL) dengan metode cartridge Sep-Pak, TAG dan COL dengan metode CHOD-PAP dan betakaroten dengan metode HPLC. Demikian pula pada telur yang dihasilkan oleh induk pada masing-masing perlakuan.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel and Torrie 1991)

(33)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tingkat Kematangan Gonad secara Morfologi

Gambar 6 menyajikan data rata-rata persentase jumlah induk betina udang Vanamei yang matang gonad pada TKG III sampai TKG IV selama masa pemeliharaan. Data pengamatan selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 1. Dari pengamatan menunjukkan jumlah induk matang gonad pada TKG III tertinggi pada perlakuan A, diikuti berturut-turut oleh perlakuan B, C dan D. Namun jumlah induk yang berkembang menjadi TKG IV tertinggi pada perlakuan A diikuti oleh induk betina pada perlakuan C dan D. Sedangkan perlakuan B menunjukkan jumlah induk betina matang gonad terendah. Sehingga jika dijumlahkan, persentase induk betina pada TKG III dan IV tertinggi adalah induk pada perlakuan A diikuti oleh induk pada perlakuan C, B dan yang terendah adalah perlakuan D.

Tingkat Kematangan Gonad Secara Histologi

(34)

Pada gambar 7 tampak bahwa oosit didalam gonad setiap perlakuan berada pada masa pertumbuhan. Oosit yang terkandung didalam gonad semakin membesar diameternya sebagai hasil dari pengendapan kuning telur dan pembentukan butir-butir minyak secara bertahap pada tahapan vitelogenesis, oleh karena itu gonad tampak membesar dan berwarna kekuningan. Pada perlakuan A, B dan C jumlah oosit yang sudah memasuki fase vitelogenesis lebih banyak daripada perlakuan D. Nukleus berukuran sekitar 40 m berada dibagian tengah. Didalam nukleus oosit vitelogenik, terlihat posisi nukleoli berada di bagian pinggir membran.

Pada Gambar 8, gambaran histologi menunjukkan perkembangan oosit didalam gonad pada tahap kematangan gonad IV. Oosit pada perlakuan A dan C sebagian besar sudah mencapai ukuran diameter 150-200 m dengan bentuk oosit seperti persegi panjang.

y

D C

B A

op

op n

nu

(35)

Oosit saling menempel satu sama lain dan membentuk pola mosaik. Kemudian dibagian periferal oosit, terlihat adanya butiran kortikal. Sedangkan oosit didalam gonad perlakuan B dan D, meskipun berdasarkan diameternya sebagian sudah memasuki fase vitelogenesis akhir, tetapi belum menunjukkan adanya butiran kortikal.

A B

C D

y nu

cg

n

Perlakuan*

Diameter Rata-rata

m**

Oosit vitelogenik

 63-90

m  90-100 m  100-168 m  168-336 m

A 118.22a + 18.19 3.03% 10.61% 86.36% -

B 94.09a + 16.05 30.00% 15.29% 54.71% -

C 101.27a + 17.73 14.41% 22.84% 62.71% -

D 85.43a + 14.15 50.98% 41.18% 7.84 % -

Keterangan: * Perlakuan A . pakan cacing laut (Nereis sp); B. pakan cacing tanah ( Pheretyma sp); C. pakan cacing tanah diperkaya kolesterol, fosfolipid dan karoten; D. pakan buatan cacing tanah yang diperkaya kolesterol, fosfolipid dan karoten

** Nilai rerata diikuti huruf yang sama menunjukkanberbeda tidak nyata pada uji BNTα = 0,05

Tabel 5 Persentase frekuensi diameter oosit udang Vanamei pada tingkat kematangan II dan diameter rata-ratanya

(36)

Berdasarkan klasifikasi perkembangan oosit menurut Demestre dan Fortuno (1992), kecepatan proses vitelogenesis oosit keempat perlakuan berbeda. Perbedaan ini ditunjukkan oleh persentase sebaran diameter oosit yang berbeda-beda pada setiap tahapannya. Tabel 5 menunjukkan bahwa secara morfologi keempat sampel gonad berada pada kategori tingkat kematangan II, namun keadaan oosit pada perlakuan A. 96.97% sudah mencapai ukuran diameter 90-168 m, dan hanya 3.03% yang masih berukuran 63-90 m. Bertolak belakang dengan A, gonad pada perlakuan D menunjukkan hanya 7.84% oosit yang berukuran diameter 100-168 m, sebagian besar oosit (92.16%) masih berukuran 63-100 m. Perlakuan C menunjukkan bahwa 85.59% oosit sudah mencapai ukuran diameter 90-168 m sedangkan perlakuan B hanya 70%. Sekitar 30% oosit pada gonad perlakuan pakan B masih berukuran 63-90 m, sedang pada perlakuan C tercatat 14.41%.

Pada Tabel 6 dijelaskan bahwa berdasarkan kurva sebaran diameter oosit vitelogenik (Gambar 10), tampak bahwa rata-rata diameter keempat perlakuan tidak berbeda nyata. Namun pada perlakuan A dan C frekuensi oosit pada kisaran diameter 100-336 m lebih besar daripada kedua perlakuan lain. Hal ini menyebabkan ukuran diameter rata-rata telur pada gonad perlakuan A dan C lebih besar. Dari data peningkatan ukuran diameter oosit diatas disimpulkan bahwa kecepatan proses vitelogenesis oosit induk udang Vaname perlakuan C mendekati kecepatan proses vitelogenesis pada gonad induk yang diberi perlakuan pakan cacing laut.

Indeks Kematangan Gonad (GSI) dan Diameter Telur

Seiring tingkat perkembangan gonad, garis tengah telur yang dikandung juga akan meningkat. Dengan demikian akan didapatkan hubungan antara indeks kematangan gonad dengan perkembangan garis tengah telur. Gambar 9 dan 10 menunjukkan histogram frekuensi penyebaran garis tengah telur perlakuan A, B, C dan D pada TKG II dan IV.

Terlihat bahwa pada perlakuan A TKG II dengan GSI 4.84%, persentase jumlah oosit tertinggi berkisar pada diameter 110.42-123.42 m. Pada perlakuan B dengan GSI TKG II 2.94%, jumlah oosit tertinggi berkisar pada diameter 93.70-104.70 m. Indeks kematangan gonad perlakuan C yaitu 2.82%, ukuran oosit terbanyak berkisar pada

Keterangan : Legenda mengikuti keterangan seperti pada Tabel 5

(37)

terbanyak berkisar pada diameter 97.13-105.13 m. Jadi pada GSI 2.27-2.94% sebagian besar oosit berada pada kisaran ukuran 90-100 m atau pada fase vitelogenesis primer berdasarkan klasifikasi Demestre dan Fortuno (1992). Sedangkan pada GSI 4.84% sebagian besar oosit sudah berada pada kisaran ukuran 100-168 m atau sudah memasuki awal fase vitelogenesis sekunder.

Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pada TKG IV, GSI perlakuan A sebesar 6.44%, frekuensi jumlah oosit tertinggi adalah yang berukuran antara 158.88-178.88 m. Pada GSI 4.58%-5.18% (perlakuan B dan C) jumlah oosit yang berukuran 146.42-168.56 m menunjukkan frekuensi tertinggi. Pada perlakuan D dengan GSI 3.67%, ukuran oosit terbanyak berada pada kisaran 134.99-149.99 m. Gambar 10 menunjukkan histogram frekuensi penyebaran diameter oosit pada indeks kematangan gonad 3.67% sampai pada 6.44% dimana sebagian besar oosit sudah berada pada kisaran ukuran 100-168 m atau sudah memasuki fase vitelogenesis sekunder. Indeks kematangan gonad (GSI) A pada TKG IV lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain Gambar 9 Frekuensi penyebaran garis tengah telur dan indeks kematangan gonad

induk betina udang Vanamei masing-masing perlakuan pada TKG II

Histogram diameter oosit A (m)

0.00%

Histogram diameter oosit B (m)

0.00%

Histogram diameter oosit C (m)

0.00%

(38)

karena GSI pada TKG II juga sudah tinggi. Namun jika kenaikan nilai indeks antara TKG II dan TKG IV pada masing-masing perlakuan dibandingkan, terlihat bahwa perlakuan C menunjukkan kecepatan perkembangan gonad tertinggi. Kenaikan nilai indeks kematangan gonad dari TKG II ke TKG IV pada keempat perlakuan berturut-turut yaitu C. 2.36%; A. 1.6%; B. 1.58%; dan D. 1.4%.

Pada Gambar 9 dan 10 juga dapat disimpulkan bahwa indeks kematangan gonad semua perlakuan meningkat seiring dengan pertumbuhan oosit. Dimana pada kisaran GSI 2.27-2.94% oosit vitelogenik masih berada dalam kisaran diameter 63-168 m. Pada GSI 3.67-4.84% sebagian besar oosit berukuran diameter antara 90-168 m, sedang pada GSI 5.18-6.44% sebagian besar oosit vitelogenik sudah pada kisaran diameter 100-336 m. Penggolongan kisaran diameter berdasarkan pada klasifikasi Demestre dan Fortuno (1992).

Histogram diameter oosit B (m)

0.00%

Histogram diameter oosit C (m)

0.00%

Histogram Diameter oosit D (m)

(39)

Komposisi Kimia Pakan, Gonad dan Telur

Kandungan Protein

Analisis kandungan protein baik didalam pakan maupun didalam gonad induk udang Vanamei selama masa maturasi TKG II dan IV serta yang diekspresikan dalam telur ditampilkan pada Gambar 11. Dalam penelitian ini kandungan protein pakan berdasarkan berat basah perlakuan yaitu A. 9.96%; B. 12.84%; C. 13.12%; D. 54.55% atau jika dikonversi berdasarkan berat kering berturut-turut yaitu A. 67.12%; B. 60.23%; C. 56.41% dan D. 59.82%.

Dari hasil analisis protein gonad induk udang Vanamei pada TKG II dan IV, terlihat bahwa pemberian pakan yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda pula terhadap akumulasi protein didalam gonad. Pakan cacing tanah segar yang diperkaya dengan COL, PL dan karoten (perlakuan C) ternyata memperlihatkan kenaikan kandungan protein didalam gonad dari TKG II (11.82%) ke TKG IV (25.89%), demikian pula pada perlakuan A (cacing laut) yaitu dari TKG II (6.81%) ke TKG IV (14.48%). Sebaliknya pada perlakuan B dan D menunjukkan kandungan protein gonad menurun. Telur yang dihasilkan oleh induk betina udang Vanamei perlakuan A dan C menunjukkan kandungan protein yang berbeda nyata.

Kandungan Lemak

Data hasil analisis kandungan lemak total (TL) dan kelompok-kelompok lemak ditampilkan pada Tabel 7. Data analisis ditampilkan dalam satu tabel untuk menunjukkan komposisi lemak total dan kelompok-kelompok lemak yang terkandung didalamnya.

(40)

Perlakuan Sampel Komposisi lemak Kandungan (%)*

(41)

Hasil analisis kandungan TL pakan C (7.65%) dan D (8.61%) jauh lebih tinggi daripada pakan A (2.81%) dan B (3.03%) karena penambahan bahan pengaya. Pada tingkat kematangan gonad II, kandungan TL tertinggi pada gonad induk betina perlakuan D, diikuti oleh gonad perlakuan B, C dan A. Namun pada tingkat kematangan gonad IV kandungan TL gonad perlakuan C melebihi kandungan TL ketiga perlakuan lain. Tidak ada perbedaan yang nyata pada kandungan TL gonad antar perlakuan baik pada TKG II maupun IV. Namun selama perkembangan kematangan gonad dari TKG II ke TKG IV, kandungan TL gonad pada perlakuan A, C dan D meningkat sedangkan pada perlakuan B menurun. Kandungan TL pada telur perlakuan C (3.23%) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan kandungan TL telur perlakuan A (0.69%).

Komponen utama kandungan lemak didalam pakan perlakuan C dan D adalah lemak netral (86.63%; 72.67%), pada perlakuan A dan B kandungan lemak netral berturut-turut 50.60% dan 43.40% dari TL. Sedangkan didalam gonad TKG II dan IV serta telur, lemak netral merupakan bagian utama dari total lemak. Tidak ada perbedaan

(42)

yang nyata kandungan lemak netral antar perlakuan pada gonad TKG IV, tetapi kandungan lemak netral meningkat selama proses pematangan gonad dari TKG II ke TKG IV pada perlakuan A dan C dan sebaliknya menurun pada gonad perlakuan B dan D. Proporsi kandungan NL didalam telur perlakuan A (86.95% dari TL) lebih tinggi dibandingkan telur perlakuan C (73.17% dari TL). Namun karena kandungan TL telur perlakuan C tinggi, maka kandungan NL telur perlakuan C sangat berbeda nyata dibandingkan kandungan NL telur perlakuan A.

Profil lemak polar (PL) gonad selama proses pematangan pada keempat perlakuan konsisten. Pada keempat perlakuan kandungan PL meningkat selama proses perubahan dari TKG II ke TKG IV. Kandungan PL tertinggi pada gonad TKG IV adalah pada perlakuan D, namun sebenarnya mobilisasi PL perlakuan D cenderung menurun selama proses pemindahan dari pakan sampai ke gonad. Demikian pula pada kandungan PL perlakuan B. Mobilisasi PL tertinggi dari pakan sampai gonad TKG IV adalah pada perlakuan C diikuti oleh perlakuan A. Kandungan PL telur perlakuan C lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan A.

Dalam penelitian ini, selama masa pematangan gonad tercatat terjadi kenaikan triasilgilserida (TAG) pada perlakuan A yaitu dari 1.58% ke 2.30% dan pada perlakuan C yaitu dari 1.75% ke 2.68%. Namun peningkatan kandungan TAG didalam gonad induk udang Vanamei tidak terjadi pada perlakuan B dan D. Pada kedua perlakuan ini, kandungan TAG tercatat menurun selama masa pematangan gonad. Meskipun demikian tidak ada perbedaan yang nyata kandungan TAG gonad TKG II masing-masing perlakuan dan kandungan TAG gonad pada TKG IV.

Kandungan kolesterol (COL) pakan perlakuan A dan C mengungguli dua perlakuan lain, secara berurutan kandungan COL pakan perlakuan yaitu A. 0.58; B. 0.38; C. 0.73; D. 0.20 %. Kecuali pada perlakuan A, kandungan COL gonad ketiga perlakuan pada TKG II ke TKG IV mengalami penurunan, dimana kandungan COL tertinggi pada gonad TKG IV adalah pada perlakuan A diikuti oleh perlakuan C. Kandungan COL pada telur jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan COL gonad TKG IV menunjukkan terjadinya mobilisasi COL dari gonad ke telur.

Kandungan Betakaroten

(43)

Pembahasan

Dari data komposisi kimia pakan perlakuan, hasil analisa proksimat menunjukkan keempat pakan memenuhi persyaratan kebutuhan protein dan serat induk udang menurut Wouters et al. (2001). Protein pakan menyediakan baik asam amino essensial maupun non essensial untuk perkembangan otot, jaringan pengikat dan protein respiratori didalam hemolim (Harrison, 1990) sehingga ketersediannya akan menentukan keberhasilan proses perkembangan gonad. Kandungan serat didalam pakan didefinisikan sebagai sekelompok bahan yang terdiri dari berbagai polisakarida termasuk selulosa, hemiselulosa, gums, alga, nonpolisakarida dan lain-lain yang mempunyai daya tahan terhadap enzim pencernakan. Sehingga kandungan serat pakan yang terlalu tinggi akan menurunkan kecernaan pakan (D’Abramo et al. 1997).

Proses pengayaan cacing tanah segar (C) maupun pakan buatan (D) menghasilkan pakan dengan kandungan lemak total (TL), lemak netral (NL) dan triasilgliserida (TAG) lebih tinggi daripada kontrol (A). Kandungan lemak polar pakan perlakuan D juga paling tinggi dibandingkan perlakuan lain. Namun kandungan COL dan betakarotennya lebih rendah daripada pakan cacing tanah yang tidak diperkaya (B). Pakan buatan memiliki beberapa keunggulan yaitu memudahkan konsumen didalam proses pemberian pakan dan penyimpanan. Namun proses-proses tersebut juga dapat menurunkan aktifitas komponen nutrisi yang mudah rusak. Penambahan COL dan karoten kedalam tepung cacing tanah tidak menghasilkan pakan buatan dengan kandungan COL dan karoten yang optimal. Diduga proses pembuatan pakan menyebabkan menurunnya kandungan komponen nutrisi didalam pakan. Proses penghalusan bahan baku pakan akan menimbulkan panas yang dapat menginaktifkan beberapa senyawa toksik atau antinutrien. Namun penghalusan bahan baku pakan juga akan menyebabkan bidang kontak antara bahan baku dengan oksigen di udara bertambah luas sehingga meningkatkan laju oksidasi. Kondisi ini akan semakin

134.32

(44)

bertambah buruk jika dalam bahan baku tersebut ditambahkan logam-logam yang bersifat katalis, seperti Fe, Cu dan Zn. Selain itu, gesekan dan panas yang ditimbulkan oleh mesin penghalus dapat merusak komponen nutrisi thermolabile seperti karoten, vitamin C, PUFA dan beberapa asam amino. Selain proses oksidasi, kerugian lain dari penghalusan bahan baku pakan adalah terjadinya susut bobot karena tercecernya atau terbangnya bahan pakan yang berukuran sangat halus. Peningkatan suhu yang terjadi selama proses gelatinisasi dan pencetakan pelet juga dapat merusak komponen pakan yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Pelet yang dihasilkan segera dikeringkan. Proses pengeringan dilakukan hingga kadar air pakan tinggal 10-12%, karena kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan pakan mudah ditumbuhi mikroba (jamur) dan disukai serangga. Namun sebaliknya jika kadar airnya terlalu rendah juga kurang menguntungkan karena akan terjadi peningkatan laju proses oksidasi dan pencoklatan. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar air pakan D 8.81%, dibawah persyaratan standar 10-12%, hal ini diduga menyebabkan peningkatan laju oksidasi didalam pakan. Oksidasi lemak dan autolisis diketahui menjadi penyebab rusaknya komponen vitamin. Secara umum vitamin sensitif terhadap oksigen, cahaya, panas dan

pH yang ekstrim atau kombinasi dari faktor tersebut (Lall dan Parazo 1995; D’Abramo

et al. 1997; Golez 2002). Sebenarnya untuk mencegah penurunan kualitas bahan akibat

reaksi oksidasi, dapat ditambahkan antioksidan. Didalam pakan D sudah ditambahkan 100 ppm karoten yang diketahui dapat berfungsi sebagai antioksidan. Penelitian yang dilakukan oleh Zeb dan Murkovic (2011) membuktikan bahwa karotenoid dapat melindungi TAG minyak zaitun selama perlakuan panas pada suhu 110oC selama 10 jam, namun dalam penelitian ini juga dibuktikan bahwa ternyata dibandingkan dengan jenis karoten lain, betakaroten bersifat lebih prooksidan atau dengan kata lain lebih cepat terdegradasi jika terpapar panas. Oleh karena itu disimpulkan bahwa meskipun sudah ditambahkan antioksidan karoten, pakan D menunjukkan penurunan kandungan nutrien dibandingkan pakan perlakuan lain karena pengaruh proses pembuatan pakan.

Pada Gambar 9 dan 10 ditampilkan indeks kematangan gonad semua perlakuan meningkat seiring dengan tahapan perkembangan kematangan gonadnya. Indeks kematangan gonad atau Gonadosomatik Index (GSI) merupakan suatu indeks untuk mengetahui perubahan yang terjadi didalam gonad secara kuantitatif. Dengan nilai tersebut akan diketahui bahwa sejalan dengan perkembangan gonad, indeks itu akan semakin bertambah besar dengan batas kisar maksimum pada saat terjadi pemijahan. Bertambahnya berat gonad selama proses pematangan juga menunjukkan terjadinya penumpukan nutrien (Effendi 1979). Akumulasi lemak tampaknya berperan secara nyata pada peningkatan berat gonad selama proses pematangan dari TKG II ke TKG IV. Diketahui bahwa lemak total (TL) gonad perlakuan A. C dan D menunjukkan peningkatan pada TKG II ke TKG IV. Sedangkan pada perlakuan B menunjukkan penurunan. Jika dibandingkan dengan kandungan TL didalam pakan, perlakuan C menunjukkan kandungan TL yang menurun pada TKG II kemudian meningkat kembali pada TKG IV dengan kandungan yang tidak berbeda nyata dengan kandungan TL pakan. Perlakuan D menunjukkan kandungan TL dari pakan sampai ke gonad TKG IV dengan tren yang sama dengan perlakuan C.

Gambar

Gambar 1  Cacing Tanah (Pheretima sp)
Tabel 2 Profil asam amino cacing tanah (Pheretima sp)*
Gambar 2   Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei)
Gambar 3 Perkembangan gonad udang. A. Tahap belum berkembang / spent (tampak atas); B
+7

Referensi

Dokumen terkait