• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Riwayat Pemberian ASI, MP-ASI dan Status Gizi terhadap Perkembangan Balita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Riwayat Pemberian ASI, MP-ASI dan Status Gizi terhadap Perkembangan Balita"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

MELINDA RUMUY

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Riwayat Pemberian ASI, MP-ASI dan Status Gizi terhadap Perkembangan Balita adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Melinda Rumuy

(3)

MELINDA RUMUY. Pengaruh Riwayat Pemberian ASI, MP-ASI dan Status Gizi terhadap Perkembangan Balita. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan NETI HERNAWATI

Stunting merupakan bentuk kekurangan gizi kronis yang umumnya dijumpai pada negara yang sedang berkembang dan memiliki efek jangka panjang. Usia balita merupakan fase kritis tumbuh kembang yang menentukan sehingga ASI harus menjadi makanan utama, khususnya usia baduta. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis pengaruh pemberian ASI, MP-ASI dan kejadian stunting terhadap perkembangan balita. Desain penelitian adalah

cross sectional study dengan contoh sebanyak 80 balita. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa 92.5% balita mendapatkan kolostrum, sebanyak 56.3% balita telah diberikan ASI eksklusif dan masih terdapat 26.2% balita yang diberikan prelakteal dan pemberian MP-ASI sebelum 6 bulan. Kejadian stunting dijumpai pada 53.7% balita. Indeks perkembangan balita sebanyak 46.2% terkategori tinggi, 22.5% terkategori sedang dan 31.2% terkategori rendah. Analisis regresi berganda dengan metode stepwise menunjukkan bahwa status gizi dapat menjelaskan sebanyak 6.6% perkembangan balita. Setiap kenaikan poin status gizi (z-score) akan meningkatkan 3.63 poin perkembangan balita.

Kata kunci: anak balita, ASI, MP-ASI, Stunting, perkembangan

ABSTRACT

MELINDA RUMUY. Effect of Breastfeeding, Weaning Food and Nutritional Status to Development of Children under Five Years. Supervised by ALI KHOMSAN and NETI HERNAWATI.

Stunting is a chronic malnutrition and a common problem that still have been embraced by developing country. Under five years of age is the critical phase of children growth and development . Therefore, breast milk is the best food to be given, especially for children under two years old. The objectives of this study were to learn and analyze the effect of breastfeeding, weaning practices and

nutritional status (height for age) to children’s development on under five years.

This study design used a cross sectional study. Sample of this study were 80 children under five years. Descriptive analysis showed that 92.5% of subject had been given colostrum, 56.3% exclusive breastfeeding and 26.2% prelacteal also weaning food before six month. Stunting had found as much as 53.7%. As many as 46.2% subject had high, 22.5% were moderate, and 31.2% were low of development index. Regresion analysis revealed that 6.6% childrent’s development can be explained by nutritional status. Every Z-score improving will increase by 3.623 point of children’s development index.

(4)

PENGARUH RIWAYAT PEMBERIAN ASI, MP-ASI DAN

STATUS GIZI TERHADAP PERKEMBANGAN BALITA

MELINDA RUMUY

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(5)

Judul : Pengaruh Riwayat Pemberian ASI, MP-ASI dan Status Gizi terhadap Perkembangan Balita

Nama : Melinda Rumuy NIM : I14100151

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Neti Hernawati, SP., M.Si Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Rimbawan Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang penuh kuasa atas segala kasih dan karunia sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Desa Batulawang,Kabupaten Cianjur dengan judul Pengaruh Riwayat Pemberian ASI, MP-ASI dan Status Gizi terhadap Perkembangan Balita.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Ibu Neti Hernawati, SP., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS atas kesediaannya sebagai dosen pemandu seminar dan penguji pada ujian skripsi serta sebagai ketua penelitian strategis IPB yang diikuti atas izin, saran dan masukan yang diberikan. Terima kasih kepada rekan-rekan penelitian, bidan dan kader serta pihak yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga dan kerabat atas segala dukungan dan doa. Selain itu, ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman Departemen Gizi Masyarakat angkatan 47, teman-teman Youth of Nation Ministry, Persekutuan Mahasiswa Kristen dan teman-teman Fak Fak Student Community

serta pihak yang telah memberikan dukungan serta doa. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Juli 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN ii

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat Penelitian 2

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian 5

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 6

Pengolahan dan Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 9

Karakteristik Balita 9

Karakteristik Keluarga 10

Riwayat Pemberian ASI dan MP-ASI 12

Status Kesehatan 15

Status Gizi (TB/U) 15

Perkembangan Balita 17

Hubungan Perkembangan dengan Variabel lainnya 19

Faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan 24

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

(8)

DAFTAR TABEL

1 Skala dan cara pengumpulan data 6

2 Pengaktegorian variabel penelitian 7

3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik balita 10

4 Sebaran balita berdasarkan karakteristik keluarga 11

5 Sebaran balita berdasarkan riwayat ASI dan riwayat MP-ASI 13

6 Sebaran balita berdasarkan status kesehatan 15

7 Sebaran balita berdasarkan status gizi 16

8 Sebaran contoh berdasarkan z-score 16

9 Sebaran balita berdasarkan status perkembangan 17

10 Hasil uji korelasi indeks perkembangan dengan berbagai variabel 20

11 Hasil uji Chi-square indeks perkembangan dengan berbagai variabel 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gambaran perkembangan balita berdasarkan umur dan aspek

Perkembangan 33

2 Hubungan antar variabel 36

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan status gizi merupakan salah satu indikator kesehatan yang menentukan kualitas SDM. Usia balita adalah bagian dari fase terpenting dalam fokus meningkatkan kualitas kehidupan. Fase ini penting (golden age) untuk menstimulasi perkembangan anak namun pada fase ini juga rawan terhadap gangguan dan kekurangan gizi. Depkes pada tahun 2000 telah memprediksi bahwa angka kejadian stunting di dunia akan mencapai 33%. Data distribusi melaporkan bahwa 1 dari tiga anak di negara sedang berkembang mengalami stunting dan 70 % berada pada benua Asia (Duggan et al. 2008). Data Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa 35.6 % balita di Indonesia mengalami masalah stunting (sangat pendek dan pendek) artinya hampir separuh balita memiliki tinggi badan lebih rendah dari standar tinggi badan balita seumurnya. Meski prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 13 % dalam sepuluh tahun terakhir, namun Indonesia masih memiliki 35.6 % balita pendek yang terdiri dari 18.5 % balita sangat pendek dan 17.1 % balita pendek. Anak balita perempuan dan anak laki-laki balita Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6.7 cm dan 7.3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2003. Jawa Barat memiliki prevalensi stunting

sebesar 33.6 %. Berdasarkan Departemen Kesehatan, ambang batas masalah

stunting dikatakan masalah kesehatan masyarakat jika prevalensi lebih dari 20 % (Kemenkes RI 2011).

Kejadian stunting kurang mendapat perhatian yang serius dibandingkan kejadian gizi kurang lainnya seperti marasmus atau kwarshiorkor. Hal ini karena anak yang bertubuh pendek tidak memiliki gejala yang sangat khas atau tanda-tanda khusus seperti odem pada kwarshiorkor. Khomsan (2004) mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan tercepat otak terjadi di usia di bawah lima tahun pertama kehidupan. Dengan demikian status gizi sangat menentukan perkembangan dikemudian hari. Stunting memiliki dampak jangka panjang dan permanen bagi kehidupan anak dikemudian hari. Studi menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. UNICEF (2011) telah mengemukakan bahwa anak pendek merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang

(10)

3

dilakukan untuk mempelajari hubungan antara pemberian ASI dan MP-ASI pada balita dengan status gizi balita serta dampak status gizi terhadapa perkembangan balita.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh riwayat pemberian ASI, MP-ASI, status kesehatan dan kejadian stunting terhadap perkembangan anak.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik balita (umur, jenis kelamin, urutan kelahiran dan berat badan lahir) dan karakteristik keluarga (umur ibu, lama pendidikan orang tua, status kerja ibu, pekerjaan ayah, besar keluarga, jumlah anak dan pendapatan per kapita).

2. Mengidentifikasi riwayat pemberian ASI (kolostrum, ASI ekslusif, lama pemberian ASI saja, pemberian ASI pada usia bawah dua tahun dan usia di atas dua tahun, ASI predominan, dan pralakteal) dan MP ASI (awal pemberian MP-ASI dan jenis MP-ASI)

3. Mengidentifikasi status gizi anak (indeks tinggi badan menurut umur) dan status kesehatan (kejadian ISPA, kejadian diare, dan persepsi ibu tentang anak sering sakit)

4. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan pendapatan per kapita), riwayat pemberian ASI (ASI eksklusif dan pemberian ASI pada usia di bawah dua tahun) dan MP-ASI (waktu awal diberi MP-ASI) dengan perkembangan balita.

5. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan balita.

Manfaat Penelitian

(11)

KERANGKA PEMIKIRAN

Usia balita khususnya dua tahun pertama merupakan periode kritis dan penting, namun demikian dalam usia ini juga rawan terjadi gangguan gizi dan gangguan penyakit. Periode kritis adalah waktu yang tepat bagi seorang individu untuk memperoleh pengalaman, ketrampilan maupun kemampuan secara optimal bila dirangsang dengan tepat oleh lingkungan hidupnya (Dariyo 2007). Dengan demikian penelitian ini mengambil contoh berupa anak usia balita.

Kompleksitas sistem jaringan otot, sistem syaraf serta sistem fungsi organ tubuh sejalan dengan proses pematangan fisik atau pertumbuhan. Penelitian Martorell (1996) dalam Jalal (2009) menyimpulkan bahwa kekurangan gizi pada anak usia dini berdampak pada keterlambatan pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, serta gangguan perkembangan kognitif. Menurut Hanum (2012), gizi kurang pada anak usia dini akan menyebabkan sel otak berkurang hingga 15-20% sehingga dikemudian hari anak hanya akan mampu memaksimalkan kualitas otak sekitar 80-85%. Stunting merupakan bentuk kekurangan gizi kronis yang terjadi dalam jangka waktu lama. Stunting yang dilihat berdasarkan tinggi badan merupakan indikator untuk menilai pertumbuhan fisik yang sudah lewat dan dapat digunakan untuk menilai gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Soetjiningsih 1998 diacu dalam Sofyana 2011, Hidayati 2005). Sehingga pengukuran gizi pada penelitian ini difokuskan pada status gizi anak berdasarkan tinggi badan berdasarkan usia.

Perkembangan juga dipengaruhi oleh lingkungan pengasuhan. Fungsi pengasuhan yang diteliti dalam penelitian ini adalah praktek pemberian ASI dan MP-ASI. Anjuran pemberian ASI menurut Depkes berupa pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dan dapat diteruskan sampai anak berusia 2 tahun. Hal tersebut dikarenakan ASI mengandung protein, karbohidrat, lemak dan mineral yang dibutuhkan bayi dalam jumlah yang seimbang (Depkes 2011). Pemberian ASI selain berdampak positif pada status gizi dan kesehtan anak juga mampu memenuhi kebutuhan awal stimulasi. Hal ini karena ASI kaya kandungan gizi dan antibodi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi fisiologis anak. Pemberian ASI dan MP-ASI yang baik berhubungan dengan tingkat perkembanagan dan capaian status gizi anak yang lebih baik sedangkan kekurangan zat gizi berakibat pada tidak sempurnanya pertumbuhan dan perkembangan anak.

(12)
(13)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Karakteristik Anak:

Umur Jenis kelamin

Urutan Kelahiran (Anak ke) BBL

Riwayat pemberian ASI

Kolostrum ASI eksklusif

Lama pemberian ASI saja Frekuensi menyusui

Masih ASI (bawah 2 tahun) Masih ASI (bawah 2 tahun)

Predominan ASI Prelakteal

MP-ASI

MP ASI sebelum 6 bulan

Jenis MP ASI

Status Kesehatan: Diare Lama diare

Infeksi pernapasan akut (ISPA) Lama ISPA

Persepsi ibu tentang anak sakit

Status Gizi (TB/U)

Perkembangan:

Motorik kasar Motorik halus

Sosialisasi dan kemandirian Bicara dan Bahasa

Karakteristik Keluarga

Umur ibu

Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pendapatan per kapita Jumlah anak

Besar keluarga

(14)

6

METODE PENELITIAN

Desain,Tempat dan Waktu Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross-sectional study. Penelitian berlokasi di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jawa Barat dipilih karena memiliki prevalensi

stunting sebesar 33,6 % yang berdasarkan Departemen Kesehatan dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat karena prevalensi lebih dari 20%. Penelitian dilakukan di Desa Batulawang karena jumlah populasi balita yang cukup tinggi. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Strategis IPB yang

berjudul “Masalah dan Solusi Stunting akibat Kurang Gizi Kronis di Wilayah

Pedesaan” yang diketuai oleh Prof. Dr. Faisal Anwar, MS. Adapun sumber data

yang diambil langsung oleh peneliti adalah data yang berhubungan dengan variabel perkembangan balita dan berat badan lahir. Pengambilan data primer hingga analisis data berlangsung selama enam bulan terhitung dari bulan Oktober hingga Desember 2013.

Jumlah dan Cara Pengumpulan Data

Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak balita. Contoh penelitian adalah 80 anak yang berumur 12-60 bulan yang berada di Desa Batulawang. Sebanyak 5 posyandu desa dipilih secara purposive dengan memperhitungkan kelengkapan data Posyandu. Daftar jumlah anak diperoleh dari buku registrasi posyandu. Sebanyak 80 balita dipilih secara acak dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria inklusi penelitian ini adalah: 1. Anak berusia 12 hingga 60 bulan

2. Masih memiliki ibu dan tinggal serta diasuh oleh ibunya 3. Tinggal di Desa Batulawang

4. Terdaftar pada posyandu dan memilki KMS 5. Ibu bersedia diwawancarai

Kriteri eksklusi penelitian ini adalah:

1. Anak yang tidak tinggal di Desa Batulawang

2. Anak tidak terdaftar di Posyandu atau tidak memiliki KMS 3. Anak dengan keterbelakangan mental

Menurut Lemeshow et al. (1997) rumus penentuan jumlah sampel penelitian adalah:

n=(z21-α/2 x p x (1-p) )/ d2

n=[(1.962)x0.336x(1-0.336)]/ (0.112) n=70.8+(0.12x70.8)

n=79.2≈80 contoh Keterangan :

n = besar contoh yang akan diteliti

z21-α/2 = nilai z skor pada 1- α/2 dengan tingkat kepercayaan 95% ( 1.96)

(15)

Hasil perhitungan menunjukan bahwa contoh minimal yang diperlukan adalah 71 balita dengan melebihkan sebanyak 12% dari contoh minimal maka diambil sebanyak 80 contoh balita dalam penelitian ini. Penarikan contoh dari posyandu dilakukan secara stratified random sampling dari data seluruh balita. Dengan demikian banyaknya contoh yang terambil pada masing-masing posyandu adalah:

ni= (Ni/ N) X n Keterangan:

ni = jumlah contoh yang diambil dari masing-masing posyandu n = ukuran minimal contoh yang diambil dalam penelitian N = jumlah balita di semua posyandu yang diteliti

Ni= jumlah balita di posyandu i

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran langsung dan observasi, sedangkan data sekunder diperoleh dari data Penelitian Strategis IPB yang diikuti. Data yang dikumpulkan meliputi data perkembangan balita. Data selain data perkembangan didapat dari Penelitian Strategis IPB.

Tabel 1 Skala dan cara pengumpulan data

No Variabel Data yang dikumpulkan Cara Pengumpulan 1. Perkembangan Skor Perkembangan Pengukuran dengan

KPSP

2. Karakteristik anak Umur Kuesioner

Jenis kelamin

Urutan kelahiran (anak ke) Berat badan lahir

3. Karakteristi Keluarga

Umur ibu Kuesioner

Pendidika orang tua Pekerjaan orang tua Pendapatan per kapita Besar keluarga Jumlah anak

4. Status Gizi TB/U Pengukuran langsung

5. Status Kesehatan Diare Kuesioner

Lama Diare ISPA Lama ISPA Persepsi Sakit

6. Riwayat ASI Kolostrum Kuesioner

ASI Ekslusif

Lama Pemberian ASI Lama Menyusui

Masih ASI (Usia ≤ 2 tahun) Masih ASI (Usia > 2 tahun) Prelakteal

Predominan ASI

(16)

8

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data nominal, ordinal, dan rasio. Data nominal meliputi data jenis kelamin. Data ordinal adalah urutan anak, riwayat pemberian ASI (pemberian kolostrum, ASI ekslusif, ASI masih diberikan, ASI predominan, pemberian pralakteal) dan MP-ASI. Data rasio meliputi data umur anak dan ibu, berat lahir, lama pemberian ASI, status gizi, lama pendidikan orangtua, besar pendapatan per kapita dan skor perkembangan. Pengkategorian variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pengaktegorian variabel penelitian

No Variabel Kategori Sumber pengukuran

1. Umur balita 1.batita (< 36 bulan)

3.Prasekolah (≥36 bulan) Papalia et al. (2008) 2. Umur 1.< 20 tahun

8. Pendapatan per kapita 1.Miskin (≤Rp 253.273) 2. Tidak miskin (>Rp 253.273)

10. Persepsi sakit 1. Sakit dalam 1 tahun terakhir. 2. Tidak sakit dalam 1 tahun terkahir

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis. Pengolahan data meliputi

editing, cleaning dan analisis data. Program komputer yang digunakan untuk pengolahan dan analisis data adalah microsoft excel 2010 dan SPSS versi 16.0 for windows. Uji normalistas dilakukan sebelum analisis data dengan menggunakan

K-S test (Kormogorov-Smirnov).

(17)

digunakan untuk menganalisis karakteristik keluarga (pendidikan ibu) dengan indeks perkembangan. Sedangkan uji chi square digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga (status pekerjaan ibu), status kesehatan (persepsi ibu tentang anak sering sakit), riwayat pemberian ASI (pemberian ASI eksklusif dan pemberian ASI pada usia di bawah dua tahun) dan MP-ASI dengan indeks perkembangan.

Uji regresi linear berganda dengan metode stepwise digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan. Variabel dependen yang dianalisa adalah indeks perkembangan sedangkan variabel independennya berupa karakteristik keluarga, status gizi balita (TB/U) dan lama pemberian ASI dan umur awal diberikan MP-ASI. Persamaan regresi dalam penelitian adalah:

Y= X1+ X2+X3 +X4+C

Keterangan

X1 = riwayat pemberian ASI (lama pemberian ASI saja) X2 = riwayat pemberian MP ASI (umur awal diberi MP-ASI) X3 = karakteristik Keluarga

(18)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Batulawang merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur, dengan luas wilayah pemukiman ± 103.85 Ha, dan terdiri dari 8 dusun, 13 RW, serta 51 RT. Sebelah utara Desa Batulawang berbatasan dengan Desa Sukawangi, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Palasari, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ciloto dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukanagalih. Keadaan geografis Desa Batulawang terletak 950-1200M dari permukaan laut dengan banyak curah hujan 3.145mm/tahun dan suhu rata-rata adalah 240-270C.

Desa Batulawang memiliki jumlah penduduk sebesar 13 404 jiwa dengan komposisi hampir seimbang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 6 842 jiwa dan perempuan sejumlah 6582 jiwa. Total kepala keluarga sebanyak 3363 KK. Jumlah keseluruhan bayi dan anak hingga usia 6 tahun yang terdapat di Desa Batulwang mencapai 1892 anak dengan jumlah usia bayi 0-1 tahun sebanyak 321 anak dan balita usia 2-6 tahun sebanyak 1571 anak. Jumlah posyandu di Desa Batulawang sebanyak 20 posyandu yang tersebar pada 13 RW.

Sebagian besar (50.1%) penduduk angkatan kerja bermata pencaharian sebagai buruh tani, sebanyak 33.3% sebagai petani, sebanyak 7.7% sebagai buruh swasta, sebanyak 4% sebagai tukang dan sisanya adalah pedagang, pegawai negeri dan montir. Kualitas sumber daya manusia sangat penting untuk menghadapi tantangan kehidupan yang salah satunya terlihat dari tingkat pendidikan. Kualitas pendidikan di Desa Batulawang masih rendah. Hampir sebagian besar penduduk (48.1%) berstatus pendidikan tamat SD. Penduduk yang tamat SMP/MTs menempati urutan kedua dengan presentase 21.4% diikuti penduduk yang tamat SMP/MTs yang tidak melanjutkan dengan persentase 12.6%, tamat SMA/Aliyah sebanyak 8.8%, dan perguruan tinggi sebanyak 0.39%. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai merupakan salah satu wujud pemerintah dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat (Khomsan et al.2009). Sarana dan prasarana pendidikan yang terdapat di Desa Batulawang dinilai masih sangat minim yang terlihat dari tersedianya sarana hanya mulai dari TK/TPA sampai MTs (setara SMP). Terdapat 3 buah TK/TPA, 6 buah SD dan 1 buah MTs. Dengan fasilitas yang minim maka akses warga untuk meningkatkan kualitas pendidikan terbilang sulit.

Karakteristik Balita

(19)

dan sisanya 48.8% balita berjenis kelamin laki-laki dengan sebagian besar (53.8%) balita adalah bukan anak tunggal dan sisanya 46.2% adalah anak tunggal.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik balita

Karakteristik Balita n %

Umur

Batita (<36 bulan) 45 56.3

Prasekolah (≥36 bulan) 35 43.8

Jenis Kelamin

Laki-laki 39 48.8

Perempuan 41 51.2

Urutan Anak

Tunggal 37 46.2

Bukan tunggal 43 53.8

Berat Badan Lahir

Rendah (≤ 2500 g) 4 5.0

Normal (> 2500 g) 76 95.0

Menurut Hughes (1999), usia batita memiliki ciri spesifik yaitu masih memiliki kelekatan emosi dengan orang tua, takut berpisah dengan orang tua, membuat cerita yang tidak masuk akal, berbohong dan egosentris. Sedangkan anak usia prasekolah, meskipun masih terikat dan memfokuskan diri pada hubungan orang tua atau keluarga, namun masa ini ditandai dengan kemandirian, kemampuan kontrol diri dan hasrat untuk memperluas pergaulan dengan anak-anak sebaya. Dariyo (2007) menambahkan masa kanak-anak-kanak-anak awal masih dicirikan dengan kegiatan bermain baik bermain sendiri maupun bermain berkelompok dengan teman sebaya. Permainan pada masa kanak-kanan awal selain berguna untuk pengembangan kepribadian juga berguna untuk pengembangan psikomotorik halus dan kasar.

Berat badan lahir anak menggambarkan keadaan perkembangan prenatal. Proses perkembangan sistem syaraf terjadi bersamaan dengan pembentukan organ-organ eksternal janin (Dariyo 2007). Hasil penelitian menunjukkan hampir sebagian besar balita (95%) memiliki riwayat berat badan lahir normal dan hanya sebagian kecil (5%) yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah yaitu berat badan lahir kurang dari 2500g. Rata-rata berat badan lahir balita adalah 3190±367.9g dan terkategori normal. Menurut Watemberg (2002), semakin rendah berat lahir, semakin besar kemungkinan cedera otak. Saigal et al. (2003) mengemukakan bahwa anak usia prasekolah dengan berat lahir rendah lebih mungkin memiliki kesulitan belajar daripada anak dengan berat lahir normal.

Karakteristik Keluarga

(20)

12

dan pekerjaan ayah, besar keluarga serta pendapatan per kapita. Karakteristik keluarga yang diteliti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran balita berdasarkan karakteristik keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa besar keluarga balita berkisar antara 3 sampai 9 orang dengan rata-rata 4.9±1.7 orang dan terkategori sebagai keluarga sedang. Lebih dari separuh contoh (52.5%) memiliki keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang orang. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar keluarga balita (70%) adalah keluarga inti dengan total anak kurang dari dua anak.

Usia ibu dalam penelitian ini berkisar antara 18 tahun hingga 48 tahun dengan rata-rata usia adalah 28.2 ± 6.7 tahun. Sebagian besar ibu, yaitu sebanyak 88.7% berada pada usia dewasa muda (usia 20 hingga 39 tahun) dan sisanya sebesar 6.3% berada pada usia di bawah 20 tahun. Sebagian kecil ibu (5%) berada pada usia dewasa tua (berusia 40 hingga 65 tahun). Menurut Hurlock (1999), usia mempengaruhi seorang ibu dalam bertindak dalam memperhatikan kebutuhan anaknya. Semakin tinggi usia ibu sejalan dengan bertambahnya jumlah anak. Uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara umur ibu dan total anak dalam keluarga (p<0.001, r= 0.823). Jumlah anak yang semakin meningkat

Karakteristik keluarga n %

Umur ibu

<20 tahun 5 6.3

20-39 tahun 71 88.7

40-65 tahun 4 5.0

Lama Pendidikan Ibu

≤ 6 tahun 62 77.5

7-12 tahun 18 22.5

Status Pekerjaan Ibu

Bekerja 17 21.2

Tidak Bekerja 63 78.8

Lama pendidikan ayah

≤ 6 tahun 61 76.3

7-12 tahun 19 23.7

Pekerjaan ayah

Buruh 62 77.5

Bukan buruh 18 22.5

Besar keluarga

Kecil (≤ 4 orang) 42 52.5

Sedang (5-6 orang) 21 26.3

Besar ( >7 orang) 17 21.2

Total Anak

≤2 anak 56 70.0

>2 anak 24 30.0

Pendapatan per kapita

Miskin 52 65.0

(21)

akan mengurangi porsi perhatian dan stimulasi ibu terhadap anak. Disisi lain Carlson (1995 dalam Santrock 2007) menjelaskan bahwa hubungan saudara pada anak meliputi menolong, berbagi, mengajari, berkelahi, dan bermain. Saudara kandung bagi balita bisa bertindak salah satunya sebagai dukungan emosional dan mitra komunikasi.

Secara umum lama pendidikan ayah dan ibu hampir sama. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar yaitu sebanyak 77.5% ibu dan 76.3% ayah balita memiliki lama pendidikan ≤ 6 tahun. Hanya sebagian kecil ayah (23.7%) dan ibu (22.5%) yang memiliki lama pendidikan 7-12 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu adalah 6.39±2.01 tahun dan rata-rata lama pendidikan ayah adalah 6.62±2.40 tahun.

Status pekerjaan ibu dibedakan antara ibu yang bekerja dan yang tidak bekerja. Sebagian besar ibu balita 78.8% merupakan ibu yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, sedangkan sisanya 21.2% adalah ibu yang bekerja dengan banyak waktu dihabiskan di luar rumah. Ibu dengan status bekerja sebagian besar (58.8%) adalah buruh, dan sebanyak 29.4% adalah wiraswasta. Terdapat 2 orang ibu yang berprofesi sebagai guru/kader. Pekerjaan ayah dikategorikan menjadi buruh dan bukan buruh. Sebagian besar ayah yaitu 77.5% bekerja sebagai buruh (buruh tani dan buruh lainnya) dan sisanya 22.5% bukan buruh dengan pekerjaan padagang atau petani.

Pendapatan perkapita keluarga adalah total pendapatan dalam keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan Badan Pusat Statistik 2013, sebuah keluarga di Provinsi Jawa Barat digolongkan dalam keluarga miskin jika pendapatan per kapita per bulan di bawah Rp253 273. Secara keseluruhan rata-rata pendapatan per kapita keluarga sebesar Rp246 566 ± 153 332 dan masih berada di bawah garis kemiskinan. Penelitian menunjukkan sebanyak 65% keluarga balita terkategori dalam keluarga miskin. Menurut Yuliana (2004), keluarga dengan kondisi ekonomi yang baik akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung dengan baik melalui penyediaan makanan yang bermutu. Hastuti (2008), mengemukan hal yang sama bahwa keluarga yang stabil secara ekonomi memiliki peluang untuk memberikan lingkungan pengasuhan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan keluarga yang belum mandiri dan lemah dalam kemampuan ekonomi.

Riwayat Pemberian ASI dan MP ASI

(22)

14

ASI ekslusif, lama pemberian ASI, ASI predominan, dan pemberian pralakteal. Adapun riwayat MP-ASI yang diamati adalah waktu pemberian MP-ASI dan jenis MP-ASI yang diberikan.

Pemberian ASI

Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir seluruh balita, yaitu 92.5% telah diberikan kolostrum. Kolostrum adalah air susu berupa cairan yang berwarna lebih kuning dan kental dibandingkan ASI setelahnya yang keluar pada hari pertama sampai hari ke-3 hingga minggu pertama sejak kelahiran bayi. Dibandingkan dengan ASI sesudahnya, kolostrum lebih banyak mengandung protein, zat antivirus dan zat antibakteri. Selain itu, kandungan lemak kolostrum lebih rendah. Kolostrum memenuhi hampir semua kebutuhan gizi bayi kecuali vitamin C, vitamin D dan tembaga (Gupte 2004).

Tahun pertama termasuk enam bulan pertama adalah masa yang sangat kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung cepat, tetapi juga pembentukan psikomotorik dan akulturasi terjadi dengan cepat sehingga ASI harus menjadi makanan utama pada usia ini (Muchtadi 2002). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata lama pemberian ASI pada balita adalah 5.1±1.7 bulan dengan persentase terbesar 72.5% diberikan ASI hingga 6 bulan dan hanya sebagian kecil balita yaitu 11.3% yang diberikan ASI kurang dari 3 bulan. WHO menganjurkan pemberian ASI yang diteruskan hingga usia 2 tahun. Balita yang berusia baduta dalam penelitian ini sebanyak 35% dan sebagian besar masih diberikan ASI (73.1%). Sebanyak 40% balita dalam penelitian ini juga masih diberikan ASI hingga usia di atas 2 tahun.

Pemberian ASI bukan hanya sebagai bentuk pemenuhan gizi namun juga mampu memenuhi kebutuhan awal stimulasi. Balita membutuhkan lingkungan yang mendukung bagi proses perkembangan. Kebutuhan ini salah satunya diperoleh melalui kedekatan fisik ketika ibu memberikan ASI pada bayi. Ainsworth pada tahun 1979 mencetuskan konsep teori kelekatan emosional antara ibu dan anak sebagai pijakan lingkungan positif bagi perkembangan anak (Goleman 2006). Dengan memberi ASI, ibu dapat memberikan stimulasi awal berupa perhatian dan berkomunikasi dengan intim dengan bayinya (Papalia et al.

2004).

Tabel 5 Sebaran balita berdasarkan riwayat ASI dan riwayat MP-ASI

Riwayat pemberian ASI dan MP-ASI n %

Diberi Kolostrum 74 92.5

Diberi ASI Eksklusif 45 56.3

Lama Pemberian ASI saja

≤ 3 bulan 9 11.3

4-5 bulan 13 16.2

6 bulan 58 72.5

ASI masih diberikan (usia di bawah 2 tahun) 19 73.1 ASI masih diberikan (usia di atas 2 tahun) 22 40.7

ASI Predominan 57 71.2

Diberi Prelakteal 21 26.2

Diberi MP-ASI sebelum 6 bulan 21 26.2

(23)

minggu. Tabel 5 menunjukkan bahwa balita yang diberikan prelakteal sebanyak 26.2%. Jumlah ini berada di bawah angka studi pemberian prelakteal nasional dan provinsi. Berdasarkan presentase bayi yang diberi makanan prelakteal menurut provinsi di Indonesia yaitu sebesar 43.6% dan di provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 38.7% (SDKI 2007). Pemberian makanan atau minuman dini selain ASI menyebabkan bayi kenyang sehingga enggan untuk menyusui. Makanan prelakteal merupakan jenis makanan seperti air kelapa, air tajin, madu, pisang, yang sudah diberikan pada neonatus baru lahir. Hal ini sangat berbahaya bagi kesadaran neonatus, dan mengganggu keberhasilan menyusui (Kuswoyo 2009). Jenis pralakteal yang diberikan pada balita yang ditemukan dalam penelitian ini berupa air zamzam (61.9%), susu formula (19%), dan air putih dan madu masing-masing 9.5%. Pemberian madu tidak dianjurkan bagi bayi karena dikhawatirkan kemungkinan adanya Chlostridium botolinum. Hasil penelitian Oktaria (2012) menunjukkan terdapat beberapa alasan tersering pemberian prelakteal yaitu karena ASI belum keluar (32.6%), ASI tidak cukup (19.8%), nasehat orang tua atau keluarga(12%), ASI tidak ada (7%) dan alasan lainnya sebanyak 2%.

Pemberian ASI Eksklusif

ASI eksklusif merupakan program anjuran pemberian ASI kepada bayi tanpa diberi makanan lain, termasuk tambahan cairan seperti susu formula, kuah sup, jeruk, air teh, air biasa. Selain itu, juga tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit,bubur nasi, bubur tim atau apapun selain ASI yang diberikan selama enam bulan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan ASI eksklusif selama enam bulan. Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir sebagian (56.3%) ibu telah memberikan ASI eksklusif pada balita ketika bayi, angka ini telah berada di atas angka nasional dan provinsi cakupan ASI eksklusif namun belum memenuhi target nasional. Berdasarkan Riskesdas 2010, cakupan ASI eksklusif nasional sebesar 15.3% dan cakupan provinsi Jawa Barat sebesar 19.2%. Target nasional pemberian ASI eksklusif adalah 80%. Pemberian prelakteal merupakan salah satu hambatan dalam pemberian ASI eksklusif. Sebanyak 60% balita yang diberikan prelakteal adalah balita yang tidak diberikan ASI eksklusif. Hasil uji chi-sqare menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan prelakteal (p<0.001). Menurut Siregar (2004), pemberian prelakteal dua kali pada bayi saja dapat mengagalkan proses menyusui. Penyebab lain kegagalan pemberian ASI adalah akibat pemberian predominan ASI. WHO mendefinisikan ASI predominan sebagai pemberian gizi pada neonatus atau bayi melalui pemberian ASI selama 6 bulan pada bayi dengan tambahan pemberian cairan sebelum atau selama pemberian ASI. Cairan yang diberikan dapat berupa air atau minuman berbasis air, jus buah, tetesan atau sirup (vitamin, mineral atau obat). Sebagian besar (71.2%) balita memiliki riwayat diberikan ASI predominan. Sebanyak 37.2% balita yang tidak mendapat ASI eksklusif adalah balita yang diberikan ASI predominan (p<0.00).

Pemberian MP-ASI

(24)

16

rata-rata umur awal diberikan MP-ASI adalah 5.4±1.7 bulan. Waktu yang baik dalam memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah saat umur 6 bulan (Muchtadi 2002). ASI merupakan makanan terbaik bayi usia 0-6 bulan namun setelah 6 bulan ASI tidak mampu mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi bayi sehingga diperlukan MP-ASI. Tabel 5 menunjukkan sebanyak 26.2% balita diberikan MP-ASI sebelum 6 bulan. Jenis MP ASI yang diberikan berupa bubur bayi kemasaan (71.4%), susu formula (14.3%), biskuit/kue (9.5%) dan pisang (4.8%). Pada periode pemberian MP-ASI, bayi bergantung sepenuhnya pada perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Suhardjo (1999) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ibu memberikan makanan tambahan pada bayi antara lain faktor kesehatan bayi, faktor kesehatan ibu, faktor pengetahuan, faktor pekerjaan, faktor petugas kesehatan, faktor budaya dan faktor ekonomi.

Menurut Krisnantuti et al. (2008), pemberian MP-ASI yang dilakukan terlalu dini dapat menyebabkan berkurangnya produksi ASI. Hal ini disebabkan ukuran perut bayi masih kecil, sehingga mudah penuh, sedangkan kebutuhan gizi bayi belum terpenuhi. Akibatnya, proses pertumbuhan dan perkembangan bayi akan terganggu. Penundaan waktu pemberian MP-ASI sesudah 6 bulan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan, seperti berat badan bayi tidak bertambah, kesulitan dalam memberikan makanan padat pada bayi, sehingga menyebabkan bayi kekurangan gizi (WHO 2000; Krisnatuti et al.2008).

Status Kesehatan

Status kesehatan dalam penelitian ini diamati melalui kejadian penyakit ISPA dan diare (penyakit infeksi) dan persepsi ibu tentang anak sering sakit. Semua penyakit dapat timbul karena ketidakseimbangan berbagai faktor, baik dari sumber penyakit, host, lingkungan dan tentunya asupan gizi. Pada umumnya, penyakit infeksi disebabkan oleh virus. Berdasarkan tabel 6, hampir semua balita (90%) mengalami ISPA dan hampir separuh balita (53.8%) balita mengalami diare. Rata-rata lama ISPA selama 7.1±6.3 hari dengan kejadian terlama adalah 21 hari dan rata-rata lama diare adalah 2.6±3.4 hari. Berdasarkan persepsi ibu, sebagian besar (68.8%) balita sering sakit dalam setahun terakhir. Anak dengan kejadian sering sakit lebih banyak dijumpai pada usia di atas dua tahun (69.2%) dibandingankan pada anak baduta. Hal ini karena baduta sebagian besar (73.1%) masih diberikan ASI (Tabel 5).

Tabel 6 Sebaran balita berdasarkan status kesehatan

Status Kesehatan n %

Kejadian ISPA 1 bulan terakhir 72 90.0 Kejadian Diare 1 bulan terakhir 43 53.8

Sering sakit 1 tahun terakhir 55 68.8

Status Gizi (TB/U)

(25)

periode keadaan gizi kurang yang relatif singkat dan dapat pulih dengan cepat (Michael et al. 2005). Penilaian terhadap status gizi (TB/U) menunjukkan sebanyak 53.7% balita adalah balita stunting. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi stunting Jawa Barat sebesar 33.6% dan telah terkategori sebagai masalah kesehatan masyarakat (prevalensi di atas 20%).

Tabel 7 Sebaran balita berdasarkan status gizi

Status Gizi (TB/U) n %

Normal 37 46.3

Stunting 43 53.7

Jenis kelamin mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rata-rata indeks tinggi badan menurut umur balita laki-laki lebih rendah (-2.009±1.417) dan terkategori sebagai anakpendek dibandingkan balita perempuan (-1.451±1.710) yang terkategori normal. Proporsi kejadian stunting pada balita laki-laki sebanyak 59% lebih tinggi dibandingkan balita perempuan 48.8%. Hal ini sejalan dengan penelitian Wamani et al. (2006) yang menemukan bahwa anak laki-laki memiliki panjang badan lebih pendek dengan prevalensi tinggi mengalami stunting. Selain jenis kelamin, usia juga mempengaruhi pertumbuhan. Tabel 7 memperlihatkan bahwa anak dengan usia di bawah dua tahun memiliki rata-rata nila indeks tinggi badan menurut umur(-0.766±1.810) yang terkategori dalam status gizi baik, sedangkan anak dengan usia di atas dua tahun memiliki rata-rata nilai indeks tinggi badan menurut umur (-2.184±1.247) yang terkategori sebagai anak stunting.Hal ini dapat dijelaskan dengan proporsi anak bukan baduta yang lebih banyak (67.5%) yang terkategori sebagai balita stunting dan hanya 32.5% baduta yang terkategori balita stunting. Uji t-test menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (<0.05) pada nilai rata-rata indeks tinggi badan menurut umur antara anak dengan usia di bawah dua tahun dan anak yang berusia di atas dua tahun.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan Z-score

Variabel Rata-rata z-score Kategori p (uji t-test) Jenis kelamin

Laki-laki -2.009±1.417 Pendek 1.417

Perempuan -1.451±1.710 Normal

Umur

<2 tahun -0.766±1.810 Normal 0.001**

≥ 2 tahun -2.184±1.247 Pendek

Berat badan lahir

Berat lahir normal -1.654±1.596 Normal 0.064 Berat lahir rendah -3.025±0.644 Pendek

ASI Eksklusif

Ya -1.736±1.798 Normal 0.949

Tidak -1.713±1.427 Normal

(26)

18

merupakan salah satu pemicu PEM. Pemberian ASI dapat mencegah dan mengurangi angka kejadian sakit dan meningkatkam status gizi anak.

Bayi lahir cukup bulan (37 minggu kehamilan), tetapi berat lahir rendah mengalami pertumbuhan intrauterine terbatas. Berat lahir sangat tergantung pada status gizi ibu selama kehamilan dan selama konsepsi. Hasil uji menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada nilai rata indeks tinggi badan menurut antara anak dengan berat lahir normal dan anak dengan berat lahir rendah. Meskipun demikian, rata-rata indeks tinggi badan menurut umur pada anak dengan riwayat berat lahir normal lebih tinggi (-1.654 ±1.596) dan terkategori normal dibandingkan anak dengan riwayat berat badan lahir rendah (-3.025±0.644) dan terkategori sebagai balita stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Ergin et al. (2007) menyebutkan bahwa balita dengan berat lahir rendah memiliki risiko menjadi stunting sebesar 2.7 kali dibandingkan dengan balita yang mempunyai berat lahir normal.

Balita yang diberikan asi eksklusif memiliki rata-rata indek tinggi badan menurut umur yang hampir sama dengan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif. Uji t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (<0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Aisyah (2009) tidak ada perbedaan status gizi pada anak yang diberikan ASI eksklusif dan non ekslusif. Penelitian lain menunjukkan hasil berbeda, dimana bayi yang tidak diberikan ASI memiliki kemungkinan kurang gizi lebih besar (Roesli 2002). Penelitian Sofyana (2011) menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata peningkatan berat badan yang signifikan antara kelompok pemberian ASI eksklusif dan yang bukan, namun tidak terdapat perbedaan rata-rata pada pertambahan panjang badan pada kelompok ASI eksklusif dan yang tidak ASI eksklusif.

Perkembangan Balita

Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan besarnya sel serta jaringan di seluruh tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Wong 2000). Perkembangan anak dalam penelitian ini dinilai dengan Kuesioner Praskrining Perkembangan (KPSP) yang disesuaikan dengan kelompok umur balita. KPSP merupakan salah satu alat skrining yang diwajibkan oleh Depkes untuk digunakan di tingkat pelayanan kesehatan primer. Jumlah balita yang menjadi contoh penelitian berjumlah 80 anak. berikut adalah tabel yang menyajikan hasil penilaian terhadap perkembangan balita.

Tabel 9 Sebaran balita berdasarkan status perkembangan

Kategori perkembangan n %

Tinggi 37 46.2

Sedang 18 22.5

Rendah 25 31.2

(27)

potensi mengalami keterlambatan perkembangan. Rata-rata indeks perkembangan balita adalah 72.4±2.3 dan terkategori sedang. Penilaian terhadap perkembangan meliputi empat aspek perkembangan yaitu gerakan kasar, gerakan halus, sosialisasi dan kemandirian serta aspek bicara dan bahasa.

Gerakan motorik kasar adalah aspek adalah aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh. Hampir sebagian besar (≥80%) balita mampu dalam penilaian yaitu ketika berdiri dengan waktu tertentu, duduk, berjalan tanpa jatuh, naik tangga dengan berpegangan, menendang bola tanpa berpegangan, melempar bola dengan jarak tertentu, melompati buku, serta berdiri dan melompat dengan satu kaki. Terdapat beberapa penilaian pada aspek gerakan kasar yang masih banyak belum mampu dilakukan oleh balita. Sebanyak 38.3% balita dan secara khusus 45% balita usia 18-23 bulan belum mampu membungkuk dan mengambil mainan dan berdiri kembali tanpa jatuh. Selain itu, sebagian besar (55.5%) balita, khususnya sebanyak 60% balita usia 21-29 bulan belum mampu berjalan mundur tanpa kehilangan keseimbangan. Penelitian Syahab (2012) juga menunjukkan kemampuan berjalan mundur dalam variabel gerakan kasar merupakan aspek yang paling banyak belum mampu dilakukan baik oleh contoh usia 12-29 bulan. Sebagian besar 71.4% balita usia 36-47 bulan belum dapat mengendarai sepeda roda tiga. Hal ini karena keterbatasan ekonomi menyebabkan kebanyakan balita tidak memilki sepeda roda tiga. Menurut Dariyo (2007), meskipun individu memiliki kesiapan dan kematangan fisiologis, namun bila tidak diserta dengan proses pembelajaran, maka akan terjadi kemungkinan terjadi keterlambatan perkembangan atau ketidakmampuan melakukan suatu aktivitas.

Motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil namun dengan koordinasi yang cermat, misalnya kemampuan untuk melempar, menggambar dan memegang suatu benda. Menurut Smitsman (2004), selama dua tahun pertama kehidupan, balita memperhalus tindakan meraih dan menggenggam. Pengalaman memainkan peran penting dalam meraih dan menggenggam yang dibuktikan dengan penelitian Needham et al. (2002). Sebagian besar yaitu 63,6% balita usia 12-14 bulan masih sulit menggenggam pensil dengan baik. Sebagian besar (≥80%) balita telah mampu dalam penilaian yaitu ketika mempertemukan dua kubus,mengambil kacang dengan jari, menggelinding/melemparkan bola kembali, memungut mainan, mencoret kertas tanpa dibantu dan menggambar lingkaran. Di sisi lain, sebanyak 40% balita usia 24-29 bulan masih sulit melepaskan pakaian (baju, rok, celana) sendiri, sebanyak 43% balita usia 30-35 bulan masih belum dapat menyusun 4 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubus, sebagian besar balita usia 36-41 bulan masih sulit menggambar garis lurus dengan baik, sebanyak 46.7% balita usia 42-53 bulan belum mampu menyusun 8 buah kubus satu persatu. Menurut Santrock (2007), anak usia 4 tahun memiliki koordinasi motorik halus yang lebih baik, namun terkadang bermasalah dalam membangun menara tinggi dengan kubus karena terdapat keinginan untuk meletakan setiap balok dengan sempurna sehingga anak cenderung membongkar balok yang hampir selesai tersusun atau sudah tersusun.

(28)

20

suku kata yang sama, memanggil “papa” atau “mama” jika melihat orangtuanya,

menunjuk bagian tubuh, memunggut mainan atau mengangkat piring jika diminta, menggunakan dua kata saat berbicara, serta mengikuti perintah dengan benar. Terdapat beberapa aspek penilaian bicara dan bahasa yang masih belum mampu dilakukan oleh balita. Sebanyak 45.5% balita usia 12-14 bulan belum mampu meniru 2-3 kata, sebanyak 71.3% balita usia 30-41 bulan masih sulit menyebut dua diantara gambar dengan benar, dan sebanyak 80% balita usia 48-53 bulan masih sulit menyebutkan nama lengkap dengan benar.

Aspek tingkah laku sosial adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi serta berinteraksi dengan lingkungan. Sebagian besar (≥80%) balita telah mampu ketika dalam penilaian ketika anak mencari atau mengharapkan orang yang diajak bermain ketika bersembunyi, menggelinding atau melemparkan bola kembali, meniru orang tua ketika melakukan pekerjaan rumah, memunggut atau mengangkat piring jika diminta, bermain dan mengikuti aturan. Aspek sosialisasi dan kemandirian pada balita adalah aspek yang paling banyak belum mampu dilakukan oleh balita khususnya dalam hal tugas kemandirian. Sebanyak 49.2% balita usia 15-23 bulan masih menangis ketika menunjukkan apa yang diinginkan, sebagian balita (53.6%) usia 24-35 bulan belum mampu melepaskan baju secara mandiri dan sebagian besar (72,8%) masih makan nasi dengan banyak yang tumpah, sebanyak 43% balita usia 36-41 bulan belum mampu menggunakan sepatu secara mandiri, sebanyak 40% balita usia 48-53 bulan masih belum mampu mencuci tangan dan menggunakan kaos kaki dengan benar. Hal ini terjadi akibat salah satunya kebanyakan ibu masih membantu anak melakukan tugas kemandirian sehingga balita memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk berkembang dalam aspek kemandirian. Kebanyakan ibu masih memberikan makanan pada balita khususnya pada usia 24-35 bulan dengan cara memberikan makan pada balita dengan menyuap. Menurut Santrock (2007), kebutuhan anak yang sedang berkembang menuntut orang tua untuk memberikan independensi yang semakin besar kepada anak. Sebagian besar ibu merupakan ibu rumah tangga (tidak bekerja) dan memiliki waktu yang lebih banyak dirumah namun menurut Hoffman (1989 dalam Santrock 2007) menjelaskan beberapa kemungkinan pengaruh dari ibu yang bekerja pada perkembangan anak dengan situasi jumlah anggota keluarga yang sedikit. Tidak dapat diasumsikan bahwa anak akan selalu mendapatkan manfaat dari perhatian dan waktu ekstra dari orang tua yang tinggal di rumah.

Hubungan Variabel dengan Perkembangan

Hubungan Perkembangan dengan Karakteritik Keluarga

Uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan (p>0.05) antara perkembangan dengan tingkat pendidikan ibu. Sebagian besar responden

ibu (77.5%) berada pada pada lama pendidikan ≤ 6 tahun sehingga belum dapat

(29)

informasi masih minim. Selain itu, pengasuhan dan stimulasi yang baik dapat dipengaruhi faktor intrinsik seperti motivasi ibu dan budaya keluarga, khususnya pengalaman pengasuhan yang diwariskan. Hasil ini berbeda dengan penelitian Hastuti et al. (2010) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu secara signifikan mempengaruhi perkembangan anak. Penelitian lain yang dilakukan Ariani dan Yasoprawoto (2012) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang rendah merupakan risiko terjadinya keterlambatan perkembangan anak. Hal ini karena pengetahuan dan kemampuan dalam memberikan stimulasi kurang dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan orang tua terutama ibu sangat mempengaruhi pola asuh kepada anaknya, perilaku hidup sehat, pendidikannya dan sebagainya. Penelitian sebelumnya di Thailand, anak yang diasuh oleh orangtua yang berpendidikan rendah memiliki risiko tiga kali mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan orang tua yang berpendidikan tinggi (Isaranurug et al.2005). Dalam penelitian ini, responden ibu belum berpendidikan cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga lebih banyak ibu yang berstatus sebagai ibu rumah tangga dengan banyak waktu dihabiskan bersama anak. Waktu yang lebih banyak digunakan ibu untuk mengasuh anak akan berdampak pada perkembangan balita, namun demikian menurut Hofman (1989 dalam Santrock 2007) bahwa pengasuhan tidak selalu memberi pengaruh yang positif pada anak. Orang tua yang terlalu menghabiskan waktu dengan anak dan menyediakan pertolongan dapat melemahkan semangat anak untuk mandiri.

Tabel 10 Hasil uji korelasi indeks perkembangan dengan berbagai variabel Karakteristik Keluarga n (%) Indeks

perkembangan

Hasil uji Chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara perkembangan dengan status pekerjaan ibu. Namun demikian, rata-rata indeks perkembangan balita dengan ibu tidak bekerja lebih tinggi (71.6±22.9) dibandingkan balita dengan ibu yang bekerja (65.0±20.3). Hasil penelitian menunjukkan balita dengan status perkembangan tinggi lebih banyak (89.2%) dijumpai pada balita dengan ibu yang tidak bekerja. Namun demikian, balita dengan status perkembangan rendah juga masih tetap dijumpai lebih banyak (72%) pada balita dengan ibu tidak bekerja. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Syahab (2012) menunjukkan kecenderungan ibu yang bekerja memiliki anak dengan skor perkembangan yang lebih rendah. Penelitian lain oleh Latifah et al.

(30)

22

waktu pengasuhan tidak selalu memberikan hasil yang sama pada perkembangan balita karena pengasuhan bukan hanya melibatkan kuantitas namun juga kualitas dari pengasuhan itu sendiri.

Hasil uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara besar pendapatan per kapita dengan perkembangan balita (p>0.05). Namun sebaran balita berdasarkan indeks perkembangan memperlihatkan bahwa balita pada keluarga yang tidak miskin memiliki indeks perkembangan lebih tinggi (75.4±21.1) dibandingkan dengan balita pada keluarga miskin (67.4±22.9). Penelitian Oktarina (2011) dan Syahab (2012) menunjukkan hasil yang berbeda dimana pendapatan per kapita keluarga berhubungan nyata dengan perkembangan balita. Keterbatasan sumber daya ekonomi orang tua merupakan penyebab salah satu anak kurang mendapat stimulasi edukatif melalui penyediaan permaianan dan akses terhadap pendidikan yang berkualitas.

Hubungan Perkembangan dengan Riwayat pemberian ASI dan MP-ASI

Sebaran ketiga kelompok perkembagan hampir sama pada kelompok balita yang diberikan ASI eksklusif. Hasil uji chi square menunjukkan tidak terdapat hubungan (p>0.005) antara perkembangan dengan pemberian ASI ekklusif. Namun demikian, rata-rata indeks perkembangan balita yang diberikan ASI ekslusif lebih tinggi (70.7±23.0) dibandingkan dengan balita yang tidak diberikan ASI ekslusif (68.8±21.4). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Oktarina (2010) yang menyatakan bahwa meskipun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan perkembangan namun anak yang diberikan ASI eksklusif memiliki perkembangan, khususnya perkembangan kognitif anak yang lebih tinggi daripada anak yang tidak diberikan ASI eksklusif. Pemberian ASI ekslusif mendorong meningkatkan kecerdasan melalui pertumbuhan otak yang optimal. Nutrisi seperti taurin, laktosa dan asam lemak ikatan panjang (AA, DHA, Omega 3 dan omega 6) lebih dapat dipenuhi oleh ASI dibandingkan makanan lain seperti susu formula yang cenderung kurang atau tidak mengandung gizi tersebut (Dee et al. 2007). Penelitian kohor oleh Jedrychowski et al. (2011), menemukan bahwa pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan skor IQ dengan pemberian ASI khususnya ASI eksklusif berpengaruh terhadap perkembangan kognitif.

(31)

dinyanyikan ibu saat menyusui merangsang otak bagian kiri sedangkan melodi merangsang otak bagian kanan.

Tabel 11 Hasil uji Chi-square indeks perkembangan dengan berbagai variabel

Variabel Persepsi ibu tentang anak sakit2)

Ya 28 (75.5) 10 (55.6) 17 (68.0) 70.5±23.6

Diberi MP-ASI sebelum 6 bulan 5)

Ya 9 (24.3) 5 (27.8) 7 (28.0) 68.3±21.8

Tidak 28 (75.5) 13 (72.2) 18 (72.0) 70.9±22.9 1) Uji chi-squaere, F=4.66, p=0.097 3) Uji chi-square, F= 0.08, p=0.996 5) Uji chi-square, F= 0.23, p=0.936 2) Uji chi-square, F=2.30, p=0.318 4) Uji chi-square, F= 2.02, p=0.417

Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan hubungan ASI dan perkembangan yaitu teori Psikoseksual dan teori Psikososial. Berdasarkan teori perkembangan psikoseksual yang dikemukakan oleh Freud, setiap tahapan perkembangan memiliki fokus kepuasan yang spesifik yang harus dipenuhi dengan baik. Anak pada tahun pertama (bayi) berada pada fase oral yang berarti pusat kepuasan dan interaksi bayi terjadi melalui mulut. Hal ini dapat menjelaskan mengapa kita sering menjumpai bayi yang memasukan setiap benda yang dipegang bahkan kakinya sendiri ke dalam mulut. Kegiatan pemberian ASI merupakan hal yang penting sebagai salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan bayi melalui kegiatan menghisap (sucking). Teori Psikososial Erickson menjelaskan bahwa pada usia 1-1.5 tahun anak berada pada fase trust versus mistrust dimana anak belajar untuk membangun kepercayaan terhadap lingkungan. Ibu sebagai pengasuh dan orang terdekat dengan anak memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan sosial dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak melalui respon ibu pada anak ketika anak lapar dan tidak nyaman. Pemberian ASI selain memenuhi kebutuhan fisiologis (lapar) juga memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial melalui pembentukan ikatan emosi (bonding) antara ibu dan anak yang akan terus bertahan (Papalia et al. 2004; Santrock 2007). Menurut Jain et al. (2002) dan Daniel et al. (2005), ASI eksklusif dan lama pemberian ASI bukan merupakan satu-satunya kriteria yang menetukan kualitas pemberian ASI yang berdampak pada perkembangan. Terdapat 4 kriteria yang menentukan kualitas ASI dan pemberian ASI yaitu pemberian ASI eksklusif, penyakit yang sedang dan pernah diderita ibu, pengukuran lama pemberian ASI dan intensitas pemberian ASI.

(32)

24

perkembangan yang tinggi sedikit lebih banyak (75.5%) dijumpai pada balita yang tidak diberikan MP-ASI sebelum 6 bulan dibandingkan dengan balita dengan pemeberian MP-ASI sebelum 6 bulan. Besar nilai rata-rata indeks perkembangan hampir sama antara balita yang sudah diberikan MP-ASI sebelum usia 6 bulan (68.3±21.8) dan balita yang tidak diberikan MP-ASI sebelum usia 6 bulan (70.9±22.2). Pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko seperti produksi ASI yang berkurang sehingga akan sulit untuk memenuhi stimulasi awal dan kebutuhan gizi anak yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan (Muchtadi 2002 ).

Hubungan Perkembangan dengan Status Kesehatan dan Status Gizi

Uji korelasi menunjukan tidak terdapat hubungan signifikan antara kejadian balita sering sakit dengan perkembangan balita. Rata-rata indeks perkembangan hampir sama antara balita yang sering sakit (70.5±23.6) dan tidak sering sakit (69.5±20.2). Hartoyo et al.(2003) menyatakan bahwa kondisi kesehatan anak mempengaruhi nafsu makan dan pemanfaatan gizi oleh tubuh. Keadaan kesehatan yang buruk dapat mengurangi asupan zat gizi dan membuat daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah yang mengakibatkan tubuh mudah terserang penyakit infeksi sehingga menganggu proses perkembangan. Meskipun rata-rata indeks perkembangan menunjukan nilai yang hampir sama pada kelompok balita dengan persepsi sering sakit dan tidak, namun diketahui bahwa balita yang sering sakit lebih banyak (75.0%) dijumpai pada keluarga miskin. Menurut Amelia (2005), kejadian sakit balita yang tinggi umumnya berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Pendapatan yang rendah menyebabkan keluarga tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Perkembangan balita dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor psikososial yang meliputi stimulasi (rangsangan), motivasi, ganjaran atau hukuman, kelompok sebaya, stress, lingkungan sekolah, cinta kasih serta kualitas interkasi anak dan orang tua yang tidak diteliti. Selain itu, faktor lingkungan seperti status gizi merupakan faktor yang diketahui lebih berpegaruh terhadap perkembangan balita dalam penelitian ini.

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan positif (p<0.05) antara perkembangan balita dan status gizi. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi nilai z-score (status gizi baik) maka indeks perkembangan akan semakin tinggi juga. Rata-rata indeks perkembangan balita normal lebih tinggi (74.4±18.3) dibandingkan balita stunted (66.7±25.2). Stunting merupakan kegagalan pertumbuhan yang berlangsung dalam periode yang lama dan menurut Hautvast

(33)

Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Balita

Uji regresi linear digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang yang berpengaruh terhadap perkembangan. Variabel dependen yang dianalisa adalah indeks perkembangan sedangkan variabel independennya berupa karakteristik keluarga yang meliputi pendapatan per kapita, status gizi balita (TB/U), lama pemberian ASI dan umur awal diberikan MP-ASI. Hasil uji regresi dengan metode stepwise menunjukkan hanya status gizi yang berpengaruh signifkan terhadap perkembangan balita. Nilai R square sebesar 0.066 berarti sebesar 6.6% perkembangan balita dijelaskan oleh status gizi. Selebihnya diduga dipengaruhi oleh faktor yang tidak diteliti. Hasil uji menunjukkan variabel status gizi (0.041) yang diketahui secara nyata berpengaruh positif terhadap perkembangan balita. Variabel status gizi dengan koefisien regresi (B) sebesar 3.623 menunjukkan bahwa setiap kenaikan poin status gizi akan meningkatkan 3.63 poin perkembangan balita. Hasil uji regresi tersebut didukung oleh data korelasi yang membuktikan bahwa balita pendek yang juga memiliki indeks perkembangan rendah sebanyak 44.2% dengan rata-rata indeks perkembangan 66.7. Sebaliknya balita normal dan juga memiliki indeks perkembangan tinggi sebesar 48.6% dengan rata-rata indeks perkembangan adalah 74.4 (Tabel 10).

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan secara simultan. Perkembangan selalu melibatkan proses pertumbuhan dimana pertumbuhan sebagai syarat kematangan fungsi yang mengarah pada perkembangan anak. Gizi kurang sebagai bentuk malnutrisi adalah penyebab pertumbuhan anak yang terganggu. Anak-anak dengan gangguan malnutrisi kronis perlu ditekankan karena umumnya gangguan gizi kronis lebih mudah diabaikan dan lalai diawasi oleh bidang kesehatan pediatri dibandingkan dengan gangguan gizi yang akut. Hal ini karena anak dengan gangguan gizi kronis (stunting) dapat tampak normal secara BB/TB namun sebenarnya telah mengalami gangguan pertumbuhan linear yaitu tinggi badan yang kurang dari standar rujukan.

Stunting tidak terjadi dengan mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Artinya anak stunted telah mengalami siklus dengan kemungkinan lebih sering mengalami sakit, stress dan kekurangan asupan zat gizi serta perawatan selama atau pada periode pertumbuhan dan perkembangan otak tercepat. Kejadian

Stunting banyak dijumpai pada masa kanak-kanak karena pada masa ini individu bergantung pada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhannya. Anak yang pendek tidak mencapai pertumbuhan optimal yang akan tetap menjadi pendek diusia dewasa (Martorell 2001).

(34)

26

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Umur balita berkisar antara 12 hingga 60 bulan yang tersebar hampir merata berdasarkan jenis kelamin dengan lebih dari separuh balita (53.8%) adalah bukan anak tunggal. Hampir sebagian besar balita (95%) memiliki riwayat berat badan lahir normal. Karakteristik keluarga balita termasuk dalam keluarga kecil dan miskin dengan umur ibu termasuk dalam golongan dewasa muda. Baik ayah maupun ibu sebagian besar memiliki lama pendidikan kurang dari 6 tahun. Sebagian besar ibu (78.8%) adalah ibu yang tidak bekerja sedangkan sebagian besar ayah (77.5%) bekerja sebagai buruh. Hampir semua balita (92.5%) telah diberikan kolostrum dan sebagian besar (56.3%) diberikan ASI eksklusif. Masih terdapat sebanyak 26.2%. balita yang diberikan pralakteal dan pemberian MP-ASI sebelum 6 bulan dengan waktu awal pemberian berkisar antara sehari setelah kelahiran hingga 9 bulan. Status kesehatan balita terkategori rendah dengan hampir semua balita (90%) mengalami ISPA dan sebagain besar balita (53.8%) mengalami diare serta sering sakit dengan sebagian besar balita (53.8%) terkategori anak stunted. Anak stunted lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dengan usia di atas dua tahun dan yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah.

Indeks perkembangan balita terkategori tinggi pada hampir separuh balita (46.2%), terkategori sedang pada sebanyak 22.5% dan terkategori rendah pada hampir sepertiga balita (31.2%). Rata-rata indeks perkembangan balita adalah 72.4±2.3 dan terkategori sedang. Keterlambatan perkembangan pada aspek gerakan motorik kasar paling banyak dijumpai pada usia 30-47 bulan. Keterlambatan perkembangan pada aspek gerakan motorik halus paling banyak dijumpai pada usia 12-14 bulan. Keterlambatan perkembangan pada aspek bicara dan bahasa paling banyak dijumpai pada usia 30-53 bulan. Keterlambatan perkembangan pada sosialiasi dan kemandirian paling banyak dijumpai pada usia 24-35 bulan

Berdasarkan hasil uji korelasi variabel status gizi berhubungan signifikan (p<0.05) dengan perkembangan balita. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara perkembangan dengan karakteritik keluraga, riwayat ASI dan MP-ASI serta status kesehatan balita. Uji lanjutan berupa uji regresi menunjukkan bahwa status gizi (TB/U) dapat menjelaskan perkembangan balita sebesar 6.6%. Status gizi merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap perkembangan balita. Setiap kenaikan poin status gizi akan meningkatkan 3.623 poin perkembangan balita.

Saran

(35)

perlu dilakukan pemantauan perkembangan disertai dengan stimulasi perkembangan. Kejadian stunting ditemukan cukup tinggi dalam penelitian ini dan teridentifikasi sebagai faktor yang berhubungan dengan perkembangan balita sehingga perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat melalui perbaikan gizi sejak dalam kandungan. Adapun saran untuk penelitian selanjutnya yaitu perlu diteliti juga stimulasi psikososial dan perkembangan pada usia di atas selain balita untuk melihat efek jangka panjang kejadian stunting. Selain itu, status kesehatan ibu perlu diteliti sehubungan dengan keterkaitan antara riwayat pemberian ASI dengan perkembangan balita.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah DS. 2009. Perbedaan status gizi bayi yang diberi ASI eksklusif dan ASI non eksklusif di puskesmas pandanaran semarang.[skripsi]. Semarang (ID): UNIMUS.

Amelia. 2005. Pengaruh Gizi dan Pola Asuh dalam Meningkatkan Kualitas Tumbuh Kembang Anak. Jakarta (ID): Depkes RI

Ariani, Yasoprawoto M. 2012. Usia Anak dan Pendidikan Ibu sebagai Faktor RisikoGangguan Perkembangan Anak, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27, No. 2

[Bapenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.2011.Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011. http://scalingupnutrition.org/wp-content/uploads/2013/07/National-Food-and-Nutrition-Action-Plan.pdf Diakses 11 Juni 2013

[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 1998.

Gerakan Keluarga Berencana dan Keluraga Sejahtera. Jakarta : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

[BPS] Badan Pusat Statistik. Indikator Statistik Jawa Barat. http://jabar.bps.go.id/ (di akses tanggal 8 Maret 2014)

Daniel MC, Adair LS. 2005. Breastfeeding influence cognitive development in Filipino children. The journal of American Nutrition 2589-2595

Dariyo A.2007. Psikologi Perkembangan. Bandung (ID): Refika Aditama

Dee DL, Li R, Lee LC, Strawn LMG. 2007. Assosiation between breastfeeding

practices and young children‟s language and motor skill development.

Pediatrics2007;119(suppl):s92-98

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Jakarta (ID): Depertemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI

Depkes RI. 2005. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarat (ID): Depkes RI

_______. 2000. ASI Ekslusif, Bayi Cerdas, Ibupun Sehat. -http://www.depkes.go.id/.pdf (30 Maret 2013)

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Tabel 1 Skala dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Pengaktegorian variabel penelitian
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik balita
+7

Referensi

Dokumen terkait

KEMAMPUAN MATEMATIKA ANAK KEMAMPUAN MATEMATIKA ANAK INDONESIA BERDASARKAN TIMSS INDONESIA BERDASARKAN TIMSS

Jika ibu belum pernah memiliki pengalaman persalinan sebelumnya, sebaiknya ibu yang menginginkan kehamilan berada pada umur reproduksi (20-35 tahun) dan

Mengajar shooting dengan gaya komando yang dimaksud adalah, guru mengatur siswa sedemikian rupa agar dalam pelaksanaan shooting semua siswa memperoleh kesempatan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) cara belajar matematika siswa kelas X3 secara keseluruhan cukup baik dengan persentase sebesar 61% (2) terdapat hubungan

[r]

feelings, develop science, technology, and culture.. four language skills, namely listening, speaking, reading and writing. The fourth skill is used to respond or create

Analisis penelitian ini beranjak dari tiga pokok permasalahan, yaitu: (1) Gaya bahasa apa sajakah yang digunakan dalam tuturan sopir, kernet, dan calo di

Upaya untuk melakukan perbaikan terhadap produktivitas kerja dengan pendekatan ergonomic dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan perancangan fasilitas