ENROFLOKSASIN DALAM MENGATASI
COXIELLA BURNETII
ANDRIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Penambahan Bio Adenosin Tri Phosphat terhadap Profil Kinetik dan Efektivitas Enrofloksasin dalam Mengatasi Coxiella burnetii adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
ANDRIYANTO. The Effect of Bio Adenosin Triphosphate Supplementation on Kinetic Profile and Effectivity of Enrofloxacine Against Coxiella burnetii. Under the supervisions of MIN RAHMINIWATI, AGUS SETIYONO, and UNANG PATRIANA.
Coxiella burnetii belongs to rickettsia group living obligate intracellularly and as the agent of zoonosis Q fever. Enrofloxacine is an antibiotic in quinolon group used to treat infection of C. burnetii in chicken, goat, calve, pig, dog, cat, and horse. From ruminant practical experience, enrofloxacine if be combined with BioATP can enhance the enrofloxacine activity. Research for the effectivity of enrofloxacine and BioATP to treat C. burnetii has never been carried out. Enrofloxacine pharmacokinetic study was carried out by using simental beef as an experimental animals. The effectivity of BioATP supplementation on enrofloxacine activity to treat C. burnetii was tested by using Vero cell tissue culture. The results showed that combination of enrofloxacine and BioATP increased kinetic profile of enrofloxacine in term of onset, duration, pharmacology intensity, and bioavailaibility. Enrofloxacine had activity to treat C. burnetii with value of minimal inhibitory concentration (MIC) at 1-2 ppm and value of minimal bactericidal concentration at 4 ppm. Supplementation of BioATP improved the effectivity of enrofloxacine in treating C. burnetii.
RINGKASAN
ANDRIYANTO. Pengaruh Penambahan Bio Adenosin Tri Phosphat terhadap Profil Kinetik dan Efektivitas Enrofloksasin dalam Mengatasi Coxiella burnetii. Di bawah bimbingan MIN RAHMINIWATI, AGUS SETIYONO, dan UNANG PATRIANA.
bactericidal concentration (MBC) sebesar 4 ppm. Penambahan BioATP terbukti mampu meningkatkan efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii.
@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-Udang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.
ENROFLOKSASIN DALAM MENGATASI
COXIELLA BURNETII
ANDRIYANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Pengaruh Penambahan Bio Adenosin Tri Phosphat terhadap Profil Kinetik dan Efektivitas Enrofloksasin dalam Mengatasi Coxiella burnetii
Nama : Andriyanto
NRP : B151070021
Program Studi : Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Disetujui
Ketua
drh. Min Rahminiwati, MS. PhD.
Anggota
drh. H. Agus Setiyono, MS. PhD.
Anggota
drh. Unang Patriana, MSi
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Dr. Nastiti Kusumorini Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Latar Belakang
Coxiella burnetii (C. burnetii) adalah bakteri golongan Rickettsia yang menjadi agen penyebab penyakit Q fever yang bersifat zoonosis, yaitu menular dari hewan ke manusia atau
sebaliknya. Penularan Q fever pada manusia terjadi melalui hewan ternak seperti sapi, domba,
dan kambing. Manusia dapat tertular hanya oleh satu atau beberapa bakteri saja. C. burnetii hidup intraseluler dan bersifat obligat pada sel inangnya. Bakteri C. burnetii sangat mudah menginfeksi dan dalam jumlah sedikit sudah mampu menyebabkan sakit, mempunyai daya tahan
tinggi pada kurun waktu yang lama, tahan pada pH rendah, serta tahan terhadap beberapa
desinfektan dan antiseptik.
Coxiella burnetii sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Eropa, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lainnya di Asia
tidak terkecuali Indonesia. Penelitian seroepidemologi terhadap Spotted Fever Group Rickettsia (SFGR) di Indonesia yang dilakukan oleh Richard et al. (2003) di kepulauan Gag wilayah Papua
menunjukkan seroprevalensi positif SFGR penduduk pulau ini sekitar 2,1 sampai 20,4%.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Farzeli et al. (2008) menunjukkan bahwa dari 37
lokasi pengambilan sampel yang berasal dari 4 pulau besar di Indonesia berdasarkan uji PCR
diperoleh hasil 10,2% Xenopsylla cheopis terinfeksi Rickettsiae tiphy, 2,7% Xenopsylla cheopis terinfeksi Rickettsiae felis, dan 2,7% Xenopsylla cheopis terinfeksi bukan Rickettsiae typhi dan Rickettsiae felis (Spotted Group Fever Rickettsiae). Penyakit Q fever pada manusia terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk akut dan kronis (Hamzic et al. 2003). Gejala klinis bentuk akut
adalah demam mirip influenza, nyeri pada sendi, sakit kepala, muntah, diare, serta rasa sakit
pada bagian abdomen dan dada. Sebaliknya, manifestasi bentuk kronis adalah pneumonia,
endokarditis, dan hepatitis yang bisa berakhir kematian.
Perantara utama penularan Q fever pada manusia adalah sapi, domba, kambing, unggas,
rodensia, caplak, dan satwa liar (Htwe et al. 1992). Laporan epidemiologi dari banyak negara
menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak seperti peternak, pekerja
rumah potong, dan juga masyarakat yang tinggal di daerah kumuh berpeluang besar tertular Q
fever dari hewan ternak ataupun rodensia (Scrimgeour et al. 2003). Cara penularan Q fever
2
terkontaminasi, luka yang terkontaminasi, dan transfusi darah (Fournier et al. 1998). Oleh karena
itu, kejadian penyakit Q fever pada hewan penting untuk dipelajari mengingat peranannya
sebagai perantara penularan penyakit ini pada manusia.
Kasus Q fever pada hewan di Indonesia sampai saat ini jarang sekali dilaporkan. Hal ini
bukanlah karena tidak ada kasus Q fever, tetapi lebih disebabkan oleh gejala klinis bentuk akut Q
fever yang tidak begitu menciri, seperti terjadinya pneumonia dan keguguran. Gejala ini bisa
ditemukan pada penyakit infeksi lainnya sehingga kurang mendapat perhatian pemerintah dan
masyarakat.
Indonesia sangat berpotensi terserang penyakit Q fever. Penelitian terbaru yang dilakukan
oleh Mahatmi (2006) berhasil mendeteksi keberadaan C. burnetii pada sapi Brahman Cross dan domba yang berasal dari wilayah Bogor dan sapi Bali yang berasal dari Bali. Selanjutnya, sapi di
Bogor dan Bali sebanyak 15 (6,12%) dari 245 ekor sapi, dan 6 (5,71%) dari 105 ekor domba
positif terinfeksi C. burnetii, sedangkan pada kambing tidak ditemukan agen infeksi tersebut (Mahatmi et al. 2007). Setiyono et al. (2007) juga melaporkan bahwa seroprevalensi Q fever di
Jawa Barat pada domba sebesar 31,88% (22 ekor dari 69 ekor domba yang diteliti seropositif)
dan pada kambing 20,18% (14 ekor dari 69 ekor seropositif). Kenyataan ini memperlihatkan
bahwa C. burnetii telah menginfeksi dan menyebar di wilayah tersebut.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani dan peternak
sangat rentan terhadap penyakit Q fever. Selain itu, Indonesia merupakan negara pengimpor
ternak, daging, serta susu dari Amerika, Australia, Selandia Baru, dan negara lain. Impor sapi
hidup mencapai 700.000 ekor pada tahun 2005 selain dalam bentuk daging beku (Raswa 2005).
Indonesia juga mengimpor susu dari Australia serta negara-negara lain untuk memenuhi
kebutuhan susu domestik (Sabana 2005). Meskipun selama ini Indonesia hanya membuka impor
dari negara bebas (Country Free Zone), adanya rencana pemerintah untuk mengimpor ternak dan daging sapi dari negara yang tidak bebas, membuka peluang yang lebih besar terhadap masuknya
penyakit-penyakit ternak yang bersifat zoonosis seperti Q fever dan penyakit ternak lainnya,
yang berdampak pada kerugian ekonomi yang tak ternilai.
Hewan ternak yang terlanjur terserang Q fever dapat diobati untuk meminimalisir
kerugian yang ditimbulkan. Pengobatan Q fever dapat dilakukan dengan menggunakan
antibiotik. Sampai saat ini, sediaan antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati Q fever
mengatasi infeksi C. burnetii adalah hidupnya yang intraseluler dan bersifat obligat, yang berarti bahwa bakteri ini bersifat seperti virus. Dengan demikian, antibiotik yang digunakan pun harus
mampu menembus sampai ke dalam sel bakteri dan harus yang langsung membunuh bakteri
tersebut mengingat antibiotik dapat menimbulkan resistensi jika pemberiannya kurang tepat.
Enrofloksasin merupakan antibiotik golongan quinolon yang mampu menembus sel
bakteri dan bekerja pada DNA gyrase (Giguere et al. 2006). Enrofloksasin masuk ke dalam sel
melalui kanal natrium berikatan dengan ion natrium. Ion natrium merupakan ion yang secara
fisiologis berada di luar sel dan bergerak masuk ke dalam sel. Jika di dalam sel jumlah ion
natrium melebihi ambang batas normal maka ion tersebut akan dikeluarkan melalui pompa
natrium dan kalium. Proses pemompaan ini membutuhkan energi dalam bentuk ATP.
Enrofloksasin biasanya digunakan untuk mengatasi infeksi Mycoplasma Sp. dan Haemophillus Sp. Enrofloksasin telah banyak digunakan pada berbagai hewan. Penggunaan enrofloksasin pada sapi, kambing, dan domba biasanya untuk mengatasi infeksi saluran
pernafasan dan otitis media (Francoz 2004; Rosenbusch 2005). Pada ayam, enrofloksasin
digunakan untuk mengatasi salmonelosis, colibasilosis, dan chronic respiratory disease (Luo 2003; Humphrey 2005). Enrofloksasin juga digunakan untuk mengatasi penyakit saluran
pernafasan dan mastitis pada sapi dan babi (Giguere et al. 2006). Sementara itu, pada anjing dan
kucing enrofloksasin digunakan untuk mengatasi rhinitis, pneumonia, superfisial pyoderma, dan
otitis eksterna atau media (Speakman 1997; Speakman 2000). Enrofloksasin pada kuda
digunakan sebagai pilihan untuk mengatasi kronik pleuritis dan kebengkakan pada tendon kaki
(Heath 1989; Kaartinen 1997).
Para praktisi ternak ruminansia di Boyolali, Klaten, Sumedang, dan Lembang telah
memberikan enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP untuk menanggulangi infeksi
saluran pencernaan, pernapasan, dan mastitis. BioATP merupakan multivitamin yang terdiri atas
natrium selenit, magnesium aspartat, kalium selenit, dan vitamin B12. Natrium selenite yang
terdapat dalam sediaan BioATP yang diberikan bersamaan dengan enrofloksasin akan
memperkaya ion natrium di dalam tubuh. Selanjutnya, ion natrium ini akan membentuk
kompleks ikatan natrium-enrofloksasin. Ikatan ini akan masuk ke dalam sel melalui kanal
natrium sel. Dengan bertambahnya jumlah ion natrium yang berasal dari BioATP, maka
enrofloksasin yang terikat oleh ion tersebut akan semakin banyak. Dengan demikian, jumlah
natrium-4
enrofloksasin setelah sampai ke dalam sel akan diuraikan kembali menjadi ion natrium dan
enrofloksasin. Enrofloksasin akan bekerja di dalam DNA gyrase sedangkan ion natrium akan dikeluarkan jika jumlahnya melebihi ambang batas melalui kanal natrium kalium dengan energi
yang berasal dari ATP. Ketersediaan ATP dalam sediaan BioATP akan membantu sirkulasi
natrium sehingga makin banyak enrofloksasin yang terangkut ke dalam sel.
Selama ini BioATP, sudah digunakan pada hewan dan manusia. Penggunaan BioATP
pada manusia biasanya dilakukan secara intramuskular atau diberikan bersama dengan cairan
infus intravena. Sediaan ini biasanya diberikan pada penderita diare akut dan pada kondisi
dimana kehilangan banyak cairan. Sementara itu, BioATP pada hewan diberikan pada saat
hewan mengalami gejala umum lemas dan mengalami penurunan nafsu makan. Adakalanya,
praktisi hewan kesayangan dan ternak ruminansia memberikan BioATP ini bersama dengan
antibiotik.
Sampai saat ini, penelitian tentang penggunaan kombinasi enrofloksasin dan BioATP
terhadap C. burnetii belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang kombinasi enrofloksasin dan BioATP mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh C. burnetii. Dengan demikian, jika terdapat kasus maka langkah persiapan dalam pengambilan tindakan akan
lebih terencana.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian BioATP terhadap
profil kinetik dan efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan data tentang penggunaan enrofloksasin yang
Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut .
H0 : Pemberian enrofloksasin dan BioATP akan meningkatkan efektivitas
enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro.
H1 : Pemberian enrofloksasin dan BioATP tidak akan meningkatkan efektivitas
enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro.
H0 : Penambahan BioATP akan mempengaruhi profil kinetik enrofloksasin.
TINJAUAN PUSTAKA
Coxiella burnetii dan Q Fever
Coxiella burnetii (C. burnetii) adalah bakteri golongan Rickettsia. Bakteri ini merupakan agen penyebab penyakit Q fever yang bersifat zoonosis, yaitu menular dari hewan ke manusia
atau sebaliknya. Mikroorganisme ini hidup intraseluler dan bersifat obligat pada sel inangnya.
Bakteri C. burnetii sangat menular dan dalam jumlah sedikit sudah mampu menyebabkan sakit, mempunyai daya tahan tinggi pada kurun waktu yang lama, tahan pada pH rendah, serta tahan
terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri, seperti lisol dan 5% sodium hipoklorit
(Maurin dan Raoult 1999).
Coxiella burnetii merupakan bakteri gram negatif, berbentuk coccobacillus dan non motile (tidak bergerak). Bakteri ini menurut Ho et al. (1995) terdiri atas beberapa strain yaitu yaitu strain nine mile, 1M, 3M, 27M, 60M, 82M, 53U, 50F, 57T, 58T, TK-1, 605, dan 307. C. burnetii memiliki sifat unik karena sifat hidupnya seperti virus. Oleh karena itu, pengujian efektivitas in vitro terhadap bakteri ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan kultur sel. Sel kultur yang digunakan biasanya adalah sel Vero dan fibroblas. Infeksi C. burnetii secara in vitro pada monolayer sel Vero ditandai dengan sel Vero menjadi jarang, terdapat lubang dan bulatan hitam pada monolayer sel Vero. Sementara itu, manifestasi C. burnetii pada hewan terinfeksi dapat ditemukan pada paru-paru, hati, dan jantung (Hamzic et al. 2003).
Hewan ternak yang umum terinfeksi bakteri C. burnetii adalah sapi, domba, kambing, unggas, dan satwa liar. Perantara penyakit Q fever pada hewan adalah caplak, serangga, dan
rodensia (Htwe et al. 1992). Penyakit ini ditularkan melalui kontak langsung, bahan pangan asal hewan, susu segar, partikel yang terkontaminasi, luka yang terkontaminasi, dan transfusi darah
(Fournier et al. 1998). Gejala pada hewan umumnya adalah subklinis dan hanya sebagian kecil ditemukan pada keadaan klinis, yang ditandai dengan penurunan nafsu makan, gangguan napas,
serta gangguan reproduksi berupa abortus pada sapi dan domba (Ho et al. 1995).
Penularan Q fever pada manusia melibatkan induk semang antara, hewan ternak seperti
sapi, domba, dan kambing. Manusia dapat tertular hanya oleh satu atau beberapa bakteri saja.
Manifestasi penyakit Q fever pada manusia terdapat dua bentuk, yaitu bentuk akut dan kronis.
Gejala klinis bentuk akut adalah demam mirip influenza, nyeri pada sendi, sakit kepala, muntah,
adalah pneumonia, endokarditis, dan hepatitis yang bisa berakhir dengan kematian (Hamzic et al. 2003).
Laporan WHO berdasarkan pemeriksaan serologis menyatakan bahwa Q fever pertama
kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1955. Ketika itu, dari 188 serum sapi yang diperiksa
25% diantaranya mengandung antibodi C. burnetii. Penelitian selanjutnya yang pernah dilaporkan adalah studi seroepidemiologi tentang Q fever di Indonesia pada tahun 1978 (Van
Peenen et al. 1978). Setelah lebih dari 20 tahun tidak ada laporan, Miyashita et al. (2001) menemukan adanya kasus pneumonia yang terbukti disebabkan oleh infeksi C. burnetii dari seorang penderita yang mempunyai riwayat pernah tinggal di Indonesia.
Penelitian seroepidemologi terhadap Spotted Fever Group Rickettsia (SFGR) di Indonesia dilakukan oleh Richard et al. (2003) di kepulauan Gag wilayah Papua. Hasilnya menunjukkan persentasi seroprevalensi positif SFGR pada penduduk setempat adalah sekitar 2,1
sampai 20,4%. Selain itu, Mahatmi et al. (2007) menyebutkan bahwa sapi di Bogor dan Bali sebanyak 6,12% (15 dari 245 ekor sapi) dan 5,71% (6 dari 105 ekor domba) positif terinfeksi
C. burnetii, sedangkan pada kambing tidak ditemukan agen infeksi tersebut. Setiyono et al. (2007) juga melaporkan bahwa seroprevalensi Q fever di Jawa Barat pada domba sebesar
31,88% (22 ekor dari 69 ekor domba yang diteliti seropositif) dan pada kambing 20,18% (14
ekor dari 69 ekor seropositif). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa
orang yang sering kontak langsung dengan ternak seperti peternak, pekerja rumah potong, dan
juga masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar tertular Q fever dari hewan ternak ataupun rodensia (Scrimgeour et al. 2003).
Menurut laporan Giguere et al. (2006), C. burnetii telah mengalami resistensi terhadap beberapa antibiotik seperti penisilin dan sepalosporin. Laporan penelitian Gikas et al. (1998) menunjukkan bahwa minimum inhibitory concentration (MIC) trovafloxacin dan ofloxasin terhadap C. burnetii dengan menggunakan sel Vero pada kisaran 1 sampai dengan 2 ppm, sedangkan siprofloksasin memiliki MIC sebesar 4 sampai dengan 8 ppm. Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Yeaman et al. (1987) dengan menggunakan kultur jaringan sel fibroblas L929 menyebutkan bahwa 1 ppm rifampin dan 2 sampai 5 ppm difloxasin mampu menghambat
8
Enrofloksasin
Sampai saat ini, sediaan yang digunakan untuk mengobati Q fever pada hewan ternak
adalah co-trimoxasole, tetrasiklin, dan enrofloksasin. Kesulitan dalam mengatasi infeksi C. burnetii adalah hidupnya yang intraseluler dan bersifat obligat, yang berarti bahwa bakteri ini bersifat seperti virus. Dengan demikian, antibiotik yang digunakan pun harus mampu menembus
sampai ke dalam sel bakteri dan harus yang langsung membunuh bakteri tersebut mengingat
antibiotik dapat menimbulkan resistensi jika pemberiannya kurang tepat.
Penggunaan co-trimoxasole menurut Raoult et al. (2002), hanya mengurangi keguguran tetapi tidak dapat mencegah perkembangan Q fever menjadi kronis. Sementara itu, pengobatan
dengan tetrasiklin memiliki kelemahan tidak boleh diberikan ke hewan laktasi, hewan bunting,
dan anak hewan yang sedang menyusui. Hal ini dikarenakan tetrasiklin akan diekskresikan lewat
air susu dan dapat membentuk ikatan dengan kalsium yang menyebabkan tetrasiklin di deposit
pada tulang sehingga ikatan kalsium tulang akan terganggu dan lemah (Tjay dan Raharja 2000).
Enrofloksasin merupakan antibiotik golongan quinolon yang mampu menembus sel bakteri dan
bekerja pada DNA gyrase.
Struktur kimia quinolon didasarkan pada ring 4-quinolon. Struktur ring tersebut telah
dimodifikasi untuk merubah daya antibakterial dan meningkatkan volume distribusi (Vancutsem
et al. 1989). Substitusi ring piperazinyl pada posisi 7 telah meningkatkan aktivitas antibakterial terhadap Pseudomonas sp. dan penambahan atom fluorin pada posisi 6, menambah aktivitas antibakterial terhadap sebagian besar bakteri gram positif (Neer 1988). Penambahan rantai alkyl pada posisi para ring piperazin dan nitrogen pada posisi 1, akan meningkatkan kelarutan dalam lemak dan volume distribusi dalam tubuh. Substitusi atom hydrogen oleh fluorin pada posisi 8 methyl dari rantai alkyl akan mengurangi tingkat degradasi dan meningkatkan tingkat eliminasi. Secara umum dipercaya bahwa senyawa 3-carboxylic acid dan 4-carbonyl diperlukan untuk aktivitas bakteridal
Enrofloksasin merupakan antibakteri golongan quinolon yang pertama kali digunakan
secara khusus untuk bidang kesehatan hewan dengan nama dagang Baytril (Babish et al. 1990). Antibiotik quinolon terdiri atas nalidixic acid, oxolinic acid, norfloksasin, enrofloksasin, dan siprofloksasin. Nalidixic acid dan oxolinic acid banyak digunakan untuk pengobatan infeksi oleh bakteri gram negatif dan gram positif. Sementara itu, norfloksasin menurut laporan Giguere
untuk pengobatan bakteri gram positif dan negatif. Enrofloksasin dan siprofloksasin lebih kuat
daya kerjanya dari norfloksasin. Di samping itu, enrofloksasin dan siprofloksasin merupakan
obat alternatif dari obat yang lebih toksik seperti golongan aminoglikosida.
Enrofloksasin memiliki aktivitas bakterisidal dan mempunyai spektrum yang luas
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Anadon dan Laranaga 1995). Enrofloksasin
berkhasiat terhadap organisme yang resisten terhadap antibiotik beta laktam, aminoglikosid,
tetrasiklin, folat antagonis, dan makrolida. Mekanisme kerja enrofloksasin adalah menghambat
replikasi bakteri dengan cara menghambat kerja enzim DNA gyrase (Vancutsem et al. 1989). Selanjutnya, dilaporkan bahwa enrofloksasin aktif terhadap bakteri gram negatif, gram positif,
bakteri patogen intraceluller yang kebal terhadap trimetoprim dan sulfonamide (Giguere et al. 2006).
Enrofloksasin telah banyak digunakan pada berbagai hewan. Penggunaan enrofloksasin
pada sapi, kambing, dan domba biasanya untuk mengatasi infeksi saluran pernapasan, mastitis,
metritis, dan otitis media (Francoz 2004; Rosenbusch 2005). Pada hewan ternak ini,
enrofloksasin sangat efektif dalam menanggulangi Histophilus somni, Pasteurella multocida, Mycoplasma sp., dan Mannheimia haemolytica. Selain itu, enrofloksasin juga efektif pada beberapa bakteri gram negatif seperti E. coli dan SalmonellaSp. (Giguere et al. 2006).
Enrofloksasin telah digunakan juga pada ayam untuk mengatasi salmonelosis, colibasilosis,
dan CRD (Luo 2003; Humphrey 2005). Pada unggas, enrofloksasin sensitif pada beberapa
bakteri seperti Mycoplasma gallisepticum, Salmonella sp., Pasteurella multocida, dan Haemophilus paragallinarum (Bauditz 1987). Penggunaan enrofloksasin pada ayam menjadi pilihan utama untuk menanggulangi infeksi saluran pernapasan dan pencernaan sehingga
penggunaan kadang-kadang tidak terkendali. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya
peningkatan resistensi terhadap beberapa bakteri seperti E. coli dan Champhylobacter sp. (van Boven 2003). Pemakaian enrofloksasin pada ayam secara per oral melalui air minum dengan
konsentrasi 50 ppm yang setara dengan dosis 8-10 mg/kgBB (Vancutsem et al. 1989). Selanjutnya dilaporkan, bahwa dosis yang direkomendasikan adalah 25 ppm untuk pengobatan
10
Haemophillus paragallinarum. Pengobatan infeksi Salmonella pullorum dengan konsentrasi 25-100 ppm memberikan hasil yang memuaskan.
Enrofloksasin digunakan untuk mengatasi penyakit saluran pernapasan dan mastitis pada
babi (Giguere et al. 2006). Antibakteri ini sensitif terhadap Mycoplasma hypneumoniae, Actinobacillus pleuropneumoniae, E. coli, dan Pasteurella multocida. Sementara itu, pada anjing dan kucing enrofloksasin digunakan untuk mengatasi rhinitis, pneumonia, superfisial pyoderma,
dan otitis eksterna atau media (Speakman 1997; Speakman 2000). Enrofloksasin pada anjing dan
kucing digunakan untuk menanggulangi Bordotella bronchiseptica (Giguere et al. 2006). Enrofloksasin pada kuda digunakan sebagai pilihan untuk mengatasi kronik pleuritis dan
kebengkakan tendon kaki (Heath 1989; Kaartinen 1997). Pada kuda enrofloksasin dapat
diberikan IV, IM, dan oral, serta digunakan untuk menanggulangi pleuritis kronis.
Efek samping dari enrofloksasin, secara umum sama dengan qiunolon lain, yaitu tidak
banyak menimbulkan efek samping yang merugikan dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh. Efek samping yang ditimbulkan oleh enrofloksasin terjadi pada tulang rawan (juvenile cartilage), saluran kencing, dan saluran pencernaan. Beberapa erupsi kulit pernah dilaporkan pada manusia (Ball 1986). Pada dosis 800 mg/kg, enrofloksasin dapat menyebabkan kematian
embryo kera. Sementara itu, pada kelinci dan tikus obat ini bersifat teratogenik (Neer 1988).
Pada tikus dan anjing obat ini menyebabkan lesi pada lambung dan usus jika digunakan secara
terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Adanya lesi tersebut menyebabkan kelemahan
dan menimbulkan rasa sakit yang kuat. Dengan kejadian tersebut, maka enrofloksasin tidak
boleh diberikan pada anjing muda dibawah umur 8 bulan (McQueen dan William 1987; Berg
1988). Selain itu, pada anjing muda penggunaan enrofloksasin pada dosis yang berlebihan akan
mengakibatkan lesi pada kartilago pesendian (Bukhardt 1992).
Pada unggas, babi, dan sapi enrofloksasin pada dosis tinggi akan menyebabkan arthropati
sedangkan pada anak kuda pemberian enrofloksasin dosis 10 mg/kgBB akan menyebabkan
kelainan tendon (Vivrette 2001; Yoon 2004). Akan tetapi arhtropati pada kuda dewasa tidak
terlihat sampai pemberian enrofloksasin diatas 25 mg/kgBB secara IV selama 3 minggu atau 15
mg/kgBB secara peroral setiap 12 jam selam 3 minggu (Bertone 2000). Pada kucing
enrofloksasin pada dosis tinggi (20 mg/kgBB setiap 24 jam) akan mengakibatkan degenerasi
Schluter (1987) melaporkan bahwa konsentrasi yang tinggi pada urin dan rendahnya
tingkat kelarutan enrofloksasin pada suasana asam menyebabkan terbentuknya kristal pada
saluran kencing. Kristal tersebut yang bertanggung jawab terhadap adanya lesi pada ginjal.
Tidak pernah ada laporan toksisitas pada syaraf untuk berbagai spesies selama penggunaan
percobaan enrofloksasin secara laboratorium dan klinik. Pemberian bersamaan obat dengan
antagonis sintesa protein seperti chloramphenicol tidak direkomendasikan, karena akan menimbulkan efek hambatan aktivitas antibakterial.
Sampai saat ini, penelitian untuk menentukan dosis efektif enrofloksasin pada hewan
masih belum pernah dilakukan di Indonesia apalagi kombinasi enrofloksasin dan BioATP. Oleh
karena itu, penelitian tentang hal tersebut perlu dilakukan mengingat bahaya bakteri C. burnetii. Namun di Indonesia sangat berpotensi terserang penyakit ini, bahkan penelitian terbaru yang
dilakukan oleh Mahatmi et al. (2006) telah mendeteksi C. burnetii dengan menggunakan metode nested-PCR pada sapi Brahman Cross dan domba yang berasal dari wilayah Bogor, dan sapi Bali yang berasal dari Bali.
Farmakokinetika Enrofloksasin
Farmakokinetika merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari liberasi,
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi obat. Salah satu cara pengukuran kinetika obat
biasanya dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat pada plasma darah pada berbagai rentang
waktu setelah pemberian suatu produk obat. Pada umumnya, absorbsi suatu obat terjadi lebih
cepat daripada eliminasi. Selama obat diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik, obat
didistribusikan ke semua jaringan dalam tubuh dan juga serentak dieliminasi. Eliminasi suatu
sediaan obat dapat terjadi melalui ekskresi atau biotransformasi atau keduanya. Konsentrasi obat
dalam plasma darah pada posisi tertinggi akan menggambarkan konsentasi obat yang digunakan
oleh reseptor untuk menghasilkan efek farmakologi. Efek yang ditimbulkan ini akan sebanding
dengan jumlah reseptor obat yang ditempati obat tersebut. Intensitas efek farmakologi suatu obat
sangat berhubungan dengan konsentrai obat pada reseptor, yang biasanya terdapat dalam sel-sel
jaringan. Oleh karena sebagian sel-sel jaringan diperfusi oleh plasma, maka pemeriksaan kadar
obat dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk pemantauan suatu kinetika obat
12
Pemberiaan enrofloksasin secara oral untuk kelompok monogastrik, mempunyai
ketersediaan hayati yang tinggi, volume distribusi yang besar, konsentrasi yang tinggi pada
jaringan dan cairan radang, serta dieliminasi melalui urin (Jenkins dan Friedlander 1988).
Enrofloksasin di dalam tubuh baru akan bekerja setelah dimetabolisme oleh tubuh menjadi
metabolit aktif. Metabolit aktif enrofloksasin adalah siprofloksasin. Demikian juga dengan
perfloksasin. Perfloksasin juga baru akan bekerja setelah dimetabolisme tubuh menjadi metabolit
aktif yaitu norfloksasin (Berg 1988; Giguere et al. 2006).
Dengan karakteristik yang demikian, enrofloksasin mempunyai keunggulan untuk
digunakan pada unggas dan secara luas digunakan untuk pengobatan infeksi Mycoplasma sp. dan infeksi sekunder pada saluran pernapasan seperti colibacillosis dan pasteurelosis (Anadon dan Laranaga 1995). Selain itu, enrofloksasin secara empiris juga digunakan untuk menanggulangi
sebagian besar penyakit pada ruminansia dengan gejala utama demam (fever) termasuk di
dalamnya Q fever (Giguere et al. 2006).
Penyerapan enrofloksasin dari saluran pencernaan sangat cepat dengan tingkat
ketersediaan hayati sampai 80%. Puncak konsentrasi dalam serum dicapai dalam waktu 1
sampai dengan 2 jam setelah pemberian. Puncak konsentrasi dalam serum setelah pemberian
dosis tunggal peroral untuk enrofloksasin pada ayam, kalkun, sapi, anjing dan kuda adalah 0,5;
0,9; 5,4; 1.4 dan 2,5 jam setelah pemberian. Selain itu, enrofloksasinmemiliki karakteristik yang
menarik, yaitu nilai volume distribusi yang besar dan ikatan dengan protein yang rendah. Hal ini
yang menjadikan pertimbangan bahwa enrofloksasinmerupakan pilihan utama untuk pengobatan
infeksi pada jaringan yang dalam, perifer, dan kasus pyoderma (Babish et al. 1990).
Ekskresi enrofloksasin melalui ginjal dan hati. Konsentrasi yang tinggi pada urin
diperoleh karena filtrasi glomerular. Ekskresi akan menurun pada kasus gangguan ginjal dan
harus hati-hati untuk pemberian obat. Pada beberapa spesies, enrofloksasin mempunyai waktu
paruh yang berbeda masing-masing 7,3; 1,4; 1,2; 2,1; dan 3,3 jam untuk ayam, kalkun, sapi,
anjing, dan kuda (Babish et al. 1990).
Anadon and Laranaga (1995) melaporkan bahwa farmakokinetik enrofloksasin pada
ayam pedaging dengan dosis tunggal 10 mg/kg berat badan per oral dan intravena dengan
menggunakan model dua kompartemen memperlihatkan waktu paruh eliminasi dan waktu
tertahan dalam plasma adalah 10,29±0,45 dan 9,65±0,48 jam untuk intra vena sedangkan per oral
puncak konsentrasi maksimum yaitu 2,44±0,06 μg/mL dalam waktu 1,64±0,04 jam dengan
ketersediaan hayati pada kisaran 64,0±0,2%. Residu enrofloksasin dan siprofloksasin dalam
lemak, ginjal, hati, paru, otot dan kulit pada hari ke 12 ditemukan antara 0,020 dan 0,075μg/g .
Penelitian farmakokinetik enrofloksasin pada anak kuda yang baru lahir telah dipelajari
oleh Vivrette et al. (2001). Hasilnya, pada penyuntikan IV dengan dosis 5 mg/KgBB adalah waktu paruh 17,10±0,09 jam dengan volume distribusi 2,49±0,43 L/Kg. Sementara itu, pada
pemberian dosis peroral 10 mg/kgBB diperoleh hasil konsentrasi maksimum 212±0,051 μg/mL,
waktu paruh 18,39±0,06 jam dengan rata-rata absorbsi 2,09±0,5 jam, klirens 103±0,06
ml/kg/jam, dan bioavailabilitas 42±0,42%.
Kajian farmakokinetika pada sapi India (Bos grunnien L) dilaporkan oleh Khargharia et al. (2008). Penelitian ini dilakukan dengan penyuntikan IV dosis 5 mg/kgBB. Hasil yang diperoleh adalah waktu paruh 1,28±0,32 jam, volume distribusi 1,61 ± 0,50 L/kg, dan klirens
872,42±223,98 ml/jam/kg. Sebelumnya Khargharia et al. (2005) juga telah melakukan penelitian dengan hewan dan dosis yang sama tetapi dengan rute pemberian IM. Hasilnya adalah waktu
paruh 2,79±0,60 jam, volume distribusi 3,76±0,83 L/kg, dan klirens 935,09±236,45 ml/jam/kg.
Penelitian Elmas et al. (2001) menunjukkan bahwa pada domba anggora yang diberikan enrofloksasin IV dengan dosis 5 mg/kg BB memiliki waktu paruh 3,98±0,18 jam, volume
distribusi 1,22±0,06 L/kg/jam, klirens 0,24±0,01 L/kg, konsentrasi maksimun 9,24±1,20 μg/mL.
Sementara itu, pada kambing dengan dosis yang sama secara IM memiliki waktu paruh
4,70±0,44 jam, volume distribusi 1,51±0,16 L/kg/jam, klirens 0,26±0,01 L/kg, konsentrasi
maksimun 3,25±0,29 μg/mL.
Bio Adenosin Tri Phosphat
Bio Adenosin Tri Phosphat (BioATP) pertama kali ditemukan pada tahun 1929. BioATP
terdiri atas ATP, magnesium aspartat, natrium selenit, kalium selenit, dan vitamin B12. Adenosin
tri phosphat adalah suatu nukleotida yang dikenal sebagai satuan molekular pertukaran energi
intraseluler. Molekul ATP digunakan untuk menyimpan energi yang dihasilkan. Molekul ini
mempunyai struktur kimia yang terdiri atas adenosin dan tiga gugus fosfat. Rumus empiris ATP
adalah C10H16N5O13P3 dan rumus kimianya C10H8N4O2NH2(OH)2(PO3H)3
Bio Adenosin Tri Phosphat dapat dihasilkan dari berbagai proses seluler diantaranya
14
bakar utama sintesis ATP adalah glukosa dan asam lemak. ATP berfungsi sebagai pembawa
energi dalam tubuh mikroorganisme hidup mulai dari bakteri, jamur, tumbuhan, hewan, dan
termasuk manusia. Kemudian, ATP akan diuraikan menjadi ADP dan phosphate. Selanjutnya,
ADP ini akan menangkap energi yang dilepaskan oleh pembakaran nutrisi dan mentransfernya
untuk reaksi-reaksi yang membutuhkan energi seperti membangun komponen sel, kontraksi otot,
transmisi pesan syaraf, dan pengaturan energi di dalam sel (Guyton 1997).
Bio Adenosin Tri Phosphat merupakan energi siap pakai yang digunakan bersama
multivitamin dan ion esensial pada hewan ruminansia termasuk sapi. Beberapa produk Bio ATP
yang beredar di Indonesia antara lain Biosalamin, BiosanTP, dan Biomin (IOHI 2008). ATP
akan mempercepat perbaikan fungsi tubuh dengan menyediakan energi yang siap pakai.
Ketersediaan energi ini akan membantu obat bekerja lebih optimal dan mempercepat
persembuhan terhadap penyakit tertentu (Katzung 2001).
Para praktisi ternak ruminansia di Boyolali, Klaten, Sumedang, dan Lembang biasanya
selalu menggunakan kombinasi enrofloksasin dan BioATP untuk menanggulangi infeksi saluran
pencernaan, pernafasan, dan mastitis. Para praktisi ternak ruminansia di Boyolali, Klaten,
Sumedang, dan Lembang telah memberikan enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP
untuk menanggulangi infeksi saluran pencernaan, pernapasan, dan mastitis. Natrium selenite
yang terdapat dalam sediaan BioATP yang diberikan bersamaan dengan enrofloksasin di dalam
tubuh akan membentuk kompleks ikatan natrium-enrofloksasin. Selanjutnya, enrofloksasin akan
masuk ke dalam sel bersamaan dengan natrium melalui kanal natrium sel (Walker 1992; Gootz
dan Brightly 1996; Giguere dan Belanger 1997). Ikatan ini diduga akan menyebabkan
konsentrasi enrofloksasin di dalam plasma darah akan meningkat. Selain itu, BioATP
diperkirakan akan memberikan energi kepada enrofloksasin sehingga enrofloksasin akan lebih
mudah bekerja terhadap bakteri target. Selain itu, adanya kalium selenit dalam sediaan BioATP
akan menyatabilkan membran sel sehingga fungsi sel berjalan secara fisiologis (Cunningham
1997). Sementara itu, Vitamin B12 akan mendukung optimalisasi ATP dan reaksi ensimatis di
dalam tubuh. Hal inilah yang menjadi landasan pemberian BioATP yang dikombinasikan dengan
enrofloksasin diduga akan meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di dalam plasma
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2009 di Fakultas
Kedokteran Hewan, IPB dan di Balai Besar Pengujian Mutu Sertifikasi Obat Hewan
(BBPMSOH), Gunung Sindur, Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah spoit 5 ml, tabung EDTA 5 ml, termos es,
ice pack, dan HPLC. Peralatan lain yang digunakan adalah peralatan untuk kultur jaringan yang terdiri atas plate 96 lubang, mikropipet, tube pipet, seperangkat clean ben, inkubator CO2, rerfrigerator, sentrifuse, mikroskop, kamera digital, autoclave, shaker, dan peralatan lainnya. Bahan yang digunakan adalah sel Vero, stok C. burnetii, minimal esensial media 1 (MEM 1), growth medium (GM), PBS, etanol, tripan blue, enrofloksasin (BaytrilR), BioATP (BiosalaminR), air DW, sediaan murni siprofloksasin, flask 25 ml, tripsin EDTA. Coxiella burnetii yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat standar American Type Tissue Culture (ATTC) dengan strain nine mile yang berasal dari National Institute of Infectious Disease, (NIID) Jepang.
Pembuatan Monolayer Sel Vero.
Sel yang digunakan pada penelitian ini ialah sel Vero. Tahap awal pembuatan monolayer sel Vero dimulai dengan penyiapan minimun essential medium (MEM). Medium ini terdiri atas eagle medium, fetal bovine serum (FBS), natrium bikarbonat, antibiotik penisilin-streptomisin, tryptose phosphat broth (TPB), dan fungizone. Medium yang sudah dibuat disimpan dalam refrigerator dan ketika akan digunakan dihangatkan 37ο
Sel Vero stock yang disimpan pada frezer bersuhu -80
C terlebih dahulu.
o
Sel Vero ini selanjutnya diperbanyak (passage) dengan memasukan sel tersebut ke dalam flask 25 ml yang ditambahkan 6 ml MEM 1. Kultur sel Vero selanjutnya diinkubasi pada suhu C, sebelum digunakan sel Vero
di-thawing dan disentrifuse dengan kecepatan 2.000 rpm selama 10 menit. Supernatannya kemudian dibuang dan pelet sel yang tersisa adalah sel Vero. Sel Vero inilah yang siap
16
37oC 5% CO2
Perbanyakan sel Vero dilakukan dengan cara sebagai berikut. Langkah pertama adalah
membuang medium lama, lalu sel Vero dilepaskan dari flask dengan menambahkan tripsin EDTA. Kemudian, sel Vero yang sudah rontok dicuci dengan menambahkan phosphat buffered saline (PBS) sebanyak 5 ml. Pencucian diulang sebanyak 2 kali.
. Setiap 4 hari, setelah terbentuk monolayer, sel Vero di-passage. Perbanyakan sel Vero dilakukan sebanyak 4 sampai 6 kali sampai sel siap digunakan untuk pengujian.
Langkah berikutnya adalah menambahkan medium MEM 1 sebanyak 18 ml ke dalam
tabung flask yang berisi sel Vero. Kemudian, kultur sel Vero ini dibagi ke dalam 3 flask yang masing-masing berisi 6 ml MEM 1. Selanjutnya, subkultur diinkubasi pada 37oC 5% CO2
Tabung flask yang telah terisi penuh sel Vero (monolayer) siap dipanen dengan scraper. Pemanenan sel Vero dimulai dengan mengambil supernatan dari tabung flask. Kemudian, sel Vero tersebut dibilas dengan PBS 5 ml sebanyak 2 kali. Langkah selanjutnya adalah
menambahkan tripsin EDTA ke dalam tabung flask untuk melepas sel Vero dari perlekatannya pada flask. Jika sel Vero ini akan dijadikan stok yang akan disimpan, ke dalam sel Vero ini dimasukkan DMSO 1% dan PBS 9%. Setelah itu, stok ini disimpan di frezer suhu -84
selama
4 sampai 5 hari. Setiap hari perkembangan sel Vero diamati dengan menggunakan mikroskop.
o
C atau N2
Sebelum digunakan untuk penelitian, stok sel Vero hidup dihitung jumlahnya.
Penghitungan dilakukan dengan mengambil 10 µ l stok sel Vero yang ditambah 90 µ l tripan blue (10 kali pengenceran). Pewarna tripan blue digunakan untuk mewarnai sel yang mati. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan hemositometer di bawah mikroskop. Jumlah total
sel Vero hidup dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut. cair.
Jumlah total sel Vero = A x 10 x 104 sel/ml
Keterangan :
A : Jumlah total sel Vero yang ditemukan pada hemositometer
10 : Faktor pengenceran
Propagasi Coxiella burnetii.
Propagasi C. burnetii dilakukan karena C. burnetii yang digunakan baru dibangunkan dari stok yang disimpan pada suhu -80oC. Perbanyakan dimulai dengan membuat monolayer sel
Vero pada flask 25 ml. Isolat C. burnetii yang ada di stok di-thawing, kemudiaan C. burnetii tersebut dinokulasikan ke dalam monolayer sel Vero sebanyak 0,5 ml dengan terlebih dahulu
membuang media yang ada di dalam flask. Tahap berikutnya adalah flask yang sudah diinokulasi C. burnetii digoyang pada suhu 37ο
Pemanenan C. burnetii dilakukan dengan cara freeze-thawing. Metode freeze thawing dilakukan dengan membekukan flask yang berisi sel Vero yang terinfeksi C. burnetii pada suhu -80
C selama 60 menit untuk memastikan C. burnetii menginfeksi sel Vero. Setelah itu, pada monolayer sel Vero yang telah diinokulasi C. burnetii ditambahkan maintenance medium (MM) yang terdiri atas minimun esensial medium (MEM), fetal bovine serum (FBS), natrium bicarbonat, antibiotik penisilin-streptomisin, tryptose phosphat broth (TPB), dan fungizone. Setiap hari, pertumbuhan C. burnetii pada monolayer sel Vero diamati perkembangannya. Pemanenan C. Burnetii dilakukan setelah ditemukan kerusakan atau sitopatik efek pada monolayer sel Vero.
οC selama 10 menit, kemudian flask yang sudah membeku tadi dicairkan kembali. Proses ini
diulang sebanyak 3 kali. Selanjutnya, cairan yang ada di dalam flask disentrifuse 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh dari cairan hasil sentrifuse merupakan stok C. burnetii yang segar dan siap untuk digunakan.
Penghitungan Tissue Culture Infectious Dose 50 (TCID50
Tissue Culture Infectious Dose 50 (TCID
) Coxiella burnetii.
50) merupakan konsentrasi C. burnetii yang menyebabkan 50% sel Vero terinfeksi C. burnetii. Penentuan TCID50 dilakukan dengan menggunakan 5 lubang pada plate 96 lubang. Langkah pertama penentuan TCID50 adalah mengisi 5 lubang tersebut dengan 500.000 sel Vero/lubang. Kemudian, lubang yang sudah berisi
sel Vero diinkubasi pada temperatur 37oC 5% CO2 sampai terbentuk monolayer. Selanjutnya, ke
18
Tabel 1. Tingkat pengenceran C. burnetii untuk TCID Pengenceran
50
Perlakuan 101 0,2 ml stok C. burnetii ditambahkan 1,8ml MM 102 0,2 ml pada pengenceran 101
10
ditambahkan 1,8ml MM
0,2 ml pada pengenceran 10
3 2
10
ditambahkan 1,8ml MM
0,2 ml pada pengenceran 10
4 3
10
ditambahkan 1,8ml MM
0,2 ml pada pengenceran 10
5 4
10
ditambahkan 1,8ml MM
0,2 ml pada pengenceran 10
6 5
10
ditambahkan 1,8ml MM
0,2 ml pada pengenceran 10
7 6
10
ditambahkan 1,8ml MM
0,2 ml pada pengenceran 10
8 7
ditambahkan 1,8ml MM
Kemudian plate yang telah berisi monoleyer sel Vero dan C. burnetii pada berbagai tingkat pengenceran tadi ditambahkan media MM. Selanjutnya, plate ini dimasukan ke dalam inkubator 5% CO2, suhu 37oC sambil digoyang selama 60 menit. Setiap hari, dilakukan
pengamatan terhadap sel Vero tersebut. Kematian sel Vero dijadikan dasar penghitungan
TCID50. Selanjutnya, data yang diperoleh dihitung dengan menggunakan formula
Spearman-Karber sebagai berikut.
Log10 pengenceran terakhir = -(Xo–d/2+dΣ(r1/n1)
Keterangan :
Xo : Log10
d : Log
perbandingan terkecil pengenceran yang menimbulkan efek kerusakan sel
10
n
Faktor pengenceran
1
r
: Jumlah sel kultur yang terinfeksi dibagi dengan jumlah lubang yang digunakan
Pengujian Efektivitas Enrofloksasin dalam Mengatasi C. burnetii
Pengujian ini dimulai dengan menyiapkan monolayer sel Vero. Selanjutnya, ke dalam
monolayer tersebut dimasukkan C. burnetii sebanyak 102TCID50
Perlakuan A (PA)
dan enrofloksasin pada
berbagai tingkat konsentrasi yang didasarkan pada penghitungan profil kinetika yang telah
dilakukan sebelumnya. Pengujian sensitivitas ini menggunakan plate 96 lubang dan diulang sebanyak 3 kali. Selanjutnya, rancangan pengujian diuraikan sebagai berikut.
: Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 1 ppm Perlakuan B (PB) : Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 2 ppm Perlakuan C (PC) : Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 4 ppm Perlakuan D (PD) : Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 6 ppm Perlakuan E (PE) : Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 8 ppm Perlakuan F (PF) : Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 10 ppm Perlakuan G (PG) : Monolayer sel Vero
Perlakuan H (PH) : Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii
Perlakuan I (PI) : Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 10 ppm
Pengamatan dilakukan setiap hari sampai terlihat adanya efek kerusakan sel (cytophatic effect). Efek kerusakan sel yang ditimbulkan oleh infeksi C. burnetii pada monolayer sel Vero adalah sel terlihat keriput, sel menjadi jarang dan tidak rata, terdapat lubang dan ditemukan
adanya bulatan pada monolayer sel Vero (Spyridaki et al. 2002). Hasil pengamatan positif, sel Vero yang terinfeksi, supernatannya diambil untuk ditanam kembali pada monolayer sel Vero
yang baru. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil penglihatan mata. Kemudian, setiap
hari sel Vero tersebut diamati. Selain itu, plate yang berisi sel Vero yang sudah diambil supernatannya tadi diwarnai dengan tripan blue guna mengetahui tingkat kerusakan sel tersebut.
Kajian Mekanisme Kerja Enrofloksasin terhadap C. burnetii.
Kajian ini menggunankan plate 96 lubang dan diulang sebanyak 2 kali. Selanjutnya, kajian mekanisme kerja enrofloksasin dan C. burnetii disajikan sebagai berikut.
Perlakuan a (Pa) : Enrofloksasin 4 ppm direndam bersama C. burnetii 102 TCID50 selama 30 menit kemudian baru ditanam ke dalam monoloyer sel
20
Perlakuan b (Pb) : Enrofloksasin 4 ppm dimasukkan bersamaan dengan C. burnetii 102 TCID50
Perlakuan c (Pc)
ke dalam monolayer sel Vero
: Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm pada satu hari
sebelum inokulasi C. burnetii 102 TCID Perlakuan d (Pd)
50
: Monolayer sel Vero
Perlakuan e (Pe) : Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii
Perlakuan f (Pf) : Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm
Kajian Waktu Pemberian Enrofloksasin Terhadap C. burnetii.
Kajian ini menggunakan plate 96 lubang dan diulang sebanyak 3 kali. Selanjutnya, rancangan pengujian disajikan sebagai berikut.
Perlakuan I (PI) : Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm. Satu hari
kemudian diinfeksi C. burnetii.
Perlakuan II (PII) : Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm. Tiga hari
kemudian diinfeksi C. burnetii.
Perlakuan III (PIII) : Monolayer sel Vero diinfeksi C. burnetii. Tiga hari kemudian diberikan enrofloksasin 4 ppm
Perlakuan IV (PIV) : Monolayer sel Vero
Perlakuan V (PV) : Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii
Perlakuan V (PVI) : Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm
Penghitungan Konsentrasi Enrofloksasin dalam Darah.
Penghitungan ini dilakukan dengan menggunakan sampel plasma darah sapi simental
yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Sapi-sapi tersebut memiliki umur 1 sampai dengan 1,5
tahun dengan bobot 150-200 kg. Sampel darah diambil dengan spoit dari vena coxigea pada menit ke-30 , 60, 120, 240, 480, dan 960 setelah pemberian enrofloksasin serta kombinasi
enrofloksasin dan BioATP. BioATP yang diberikan sebanyak 20 ml secara IM. Selanjutnya,
sampel darah disentrifuse untuk memperoleh plasmanya. Antikoagulan yang digunakan adalah
dilakukan dengan methanol. Selanjutnya, cairan hasil ekstraksi dianalisis dengan HPLC yang
dibandingkan dengan standar.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut.
Kontrol (K) : Sapi tidak diberi enrofloksasin (kontrol)
Perlakuan 5 : Sapi diberi enrofloksasin dengan dosis 5 mg/kgBB secara IM
Perlakuan 5 BioATP : Sapi yang diberi enrofloksasin dengan dosis 5 mg/kgBB dan
BioATP sebanyak 20 ml secara IM
Perlakuan 10 : Sapi yang diberi enrofloksasin dengan dosis 10 mg/kgBB secara
IM
Perlakuan 10 BioATP : Sapi yang diberi enrofloksasin dengan dosis 10 mg/kgBB dan
BioATP sebanyak 20 ml secara IM
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis kinetika obat dan analisis of varian (Anova), serta untuk melihat perbedaan untuk melihat perbedaan nyata diantara perlakuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan BioATP terhadap
efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii dan profil kinetik obat tersebut. Selanjutnya, secara lengkap hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.
Efektivitas Enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii
Sebelum melakukan pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro, terlebih dahulu dilakukan penghitungan tissue culture infectious dose 50 (TCID50). Nilai TCID50 merupakan konsentrasi C. burnetii yang mampu menginfeksi 50% kultur sel Vero. Penghitungan TCID50 dilakukan menggunakan mikroplate 96 lubang dengan metode Spearman-Karber. Berdasarkan pengujian TCID50 yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa konsentrasi
TCID50 C. burnetii yang digunakan dalam penelitian ini adalah 104 (penghitungan terlampir). Nilai TCID50 selanjutnya digunakan sebagai dasar inokulasi C. burnetii. Pada perlakuan selanjutnya inokulasi C. burnetii biasanya dilakukan pada 102 TCID50
Setelah pengujian TCID
(FOHI 2007).
50, penelitian dilanjutkan dengan pengujian efektivitas
enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro menggunakan kultur jaringan sel Vero. Selanjutnya, grafik pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro. Keterangan : (♦ : 1 p pm enroflok sasin, ■ : 2 p pm enroflok sasin, ▲ : 4 p pm enrofloksasin, × : 6 ppm enrofloksasin, Ж : 8 ppm enrofloksasin, ● : 10 ppm
enrofloksasin, | : sel Vero, - : sel Vero dan enrofloksasin 10 ppm, _ : sel Vero dan C. burnetii) pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-6.
100 100 100
100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
Berdasarkan Gambar 1 diperoleh hasil bahwa hari ke-1 sampai dengan hari ke-3 sel Vero
masih dalam keadaan normal, berbentuk monolayer, dan belum terlihat adanya kerusakan sel.
Pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-3 tersebut, C. burnetii masih dalam proses menginfeksi sel Vero. Setelah itu, pada hari ke-4 mulai ditemukan adanya efek kerusakan sel yang diakibatkan
oleh adanya infeksi C. burnetii yang ditandai dengan sel Vero menjadi jarang, terdapat lubang-lubang, dan bulatan hitam pada monolayer sel Vero. Selanjutnya, gambaran monolayer sel Vero
normal dan monolayer sel Vero yang rusak akibat terinfeksi C. burnetii pada perbesaran 10 kali disajikan pada Gambar 2.
(a) (b)
Gambar 2. Gambaran monolayer sel Vero normal dan monolayer sel Vero yang rusak akibat terinfeksi C. burnetii pada perbesaran 10 kali. Keterangan : (a) monolayer sel Vero normal (b) monolayer sel Vero yang terinfeksi C. burnetii.
Pengambilan keputusan untuk mengetahui efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data pengamatan pada hari ke-6. Hal ini
didasarkan pada hari ke-6 keadaan sel Vero kontrol yang diinfeksi C. burnetii semuanya telah rusak dan kontrol sel yang tidak diinfeksi C. burnetii masih utuh seluruhnya. Selain itu, pengambilan keputusan juga diperkuat dengan pewarnaan monolayer sel Vero pada hari ke-6
dengan tripan blue. Monolayer sel Vero yang tidak diinfeksi C. burnetii terlihat rata dan kompak dengan sitoplasma sel yang utuh. Sebaliknya, monolayer sel Vero yang diinfeksi C. burnetii sitoplasma sel Veronya mengalami keriput dan menjadi jarang, serta berlubang. Selanjutnya,
24
(a) (b)
Gambar 3. Pewarnaan monolayer sel Vero pada hari ke-6 dengan menggunakan tripan blue pada perbesaran 10 kali. Keterangan : (a) monolayer sel Vero normal (b) monolayer sel Vero yang terinfeksi C. burnetii.
Berdasarkan Gambar 1, pada hari ke-6 diperoleh hasil minimum inhibitory concentration (MIC) dan minimum bactericidal concentration (MBC) secara berurutan sebesar 1 sampai 2 ppm dan 4 ppm. Nilai MIC merupakan konsentrasi minimal suatu antibiotik dimana mulai
menunjukkan adanya efek penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri (Rolain et al. 2001;
Spyridaki et al. 2002). Sementara itu, MBC merupakan konsentrasi minimal suatu antibiotik
yang mampu mematikan keseluruhan pertumbuhan bakteri (Giguere et al. 2006).
Penelitian mengenai MIC beberapa antibakteri golongan quinolon terhadap C. burnetii menggunakan kultur jaringan telah dilakukan. Antibakteri golongan quinolon diantaranya adalah
siprofloksasin, difloksasin, trovafloksasin, ofloksasin, dan enrofloksasin. Penelitian Gikas et al. (1998) menyebutkan bahwa dengan menggunakan kultur jaringan sel Vero nilai MIC
trovafloksasin dan ofloksasin berada pada kisaran 1 sampai dengan 2 ppm, sedangkan
siprofloksasin memiliki MIC sebesar 1 sampai dengan 2 ppm. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan oleh Yeaman et al. (1987) dengan menggunakan kultur jaringan sel fibroblas L929 menyebutkan bahwa konsentrasi rifampin 1 ppm dan difloksasin 2 sampai dengan 5 ppm
mampu menghambat pertumbuhan C. burnetii.
Enrofloksasin merupakan antibiotik golongan quinolon yang pertama kali digunakan
secara khusus untuk bidang kesehatan hewan dengan nama dagang Baytril (Babish et al. 1990). Mekanisme kerja enrofloksasin adalah menghambat replikasi bakteri dengan cara menghambat
bakteri gram positif dan gram negatif (Anadon dan Laranaga 1995). Enrofloksasin berkhasiat
terhadap organisme yang resisten terhadap antibiotik betalaktam, aminoglikosida, tetrasiklin,
folat antagonis, dan makrolida. Enrofloksasin mampu diserap dengan baik pada pemberian oral
maupun parenteral (Tjay dan Raharja 2000).
Kajian Mekanisme Kerja Enrofloksasin terhadap C. burnetii
Setelah dilakukan pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii, selanjutnya dilakukan kajian reseptor enrofloksasin terhadap C. burnetii. Kajian ini dilakukan dengan variasi pemberian enrofloksasin. Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi yang mampu
mengatasi C. burnetii. Parameter yang diamati pada kajian ini adalah persentase sel Vero utuh. Sel Vero utuh menunjukkan bahwa sel tersebut tidak terinfeksi C. burnetii. Selanjutnya, data hasil kajian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil kajian mekanisme kerja enrofloksasin terhadap C. burnetii
Perlakuan Persentase sel Vero utuh (%)
Perlakuan a (Pa) 100 ± 0
Pa: enrofloksasin 4 ppm direndam bersama C. burnetii 102 TCID50 selama 30 menit kemudian baru ditanam ke dalam
monolayer sel Vero; Pb: enrofloksasin 4 ppm dimasukkan bersamaan dengan C. burnetii 102 TCID 50
ke dalam monolayer sel Vero; Pc : Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin pada satu hari sebelum inokulasi C. burnetii.
Pada perlakuan a menunjukkan sel Vero 100% dalam keadaan utuh. Ini berarti bahwa
sel Vero tidak terinfeksi C. burnetii (reaksi netralisasi). Hal ini juga mengindikasikan bahwa C. burnetii memiliki reseptor terhadap enrofloksasin sehingga pada proses perendaman enrofloksasin menempati reseptor tersebut. Hasil yang diperoleh pada perlakuan b menunjukkan
26
Persentase sel Vero utuh yang lebih banyak dibandingkan dengan sel Vero terinfeksi C. burnetii menunjukkan bahwa enrofloksasin yang menempel pada reseptor C. burnetii lebih cepat menimbulkan efek terapeutik. Sementara itu, reseptor C. burnetii yang menempel pada sel Vero memiliki kerja yang lebih lambat dibandingkan kerja enrofloksasin yang menempel C. burnetii. Kenyataan ini juga diperkuat dengan fakta bahwa 100% sel Vero masih utuh pada perlakuan b,
enrofloksasin akan lebih cepat menempati reseptor C. burnetii dan bekerja lebih cepat dibandingkan ikatan reseptor C. burnetii dan sel Vero.
Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa C. burnetii kemungkinan memiliki 2 reseptor dengan tempat kedudukan yang berbeda yaitu reseptor yang spesifik
terhadap enrofloksasin dan reseptor yang spesifik terhadap sel Vero. Hampir semua antibakteri,
termasuk enrofloksasin memiliki reseptor yang spesifik (Giguere et al. 2006). Kespesifikan reseptor inilah yang mengakibatkan obat mampu bekerja selektif pada target yang dituju
(Katzung 2001). Reseptor merupakan makromolekul (biopolimer) khas tempat dimana obat
terikat untuk menimbulkan efek (Mutschler 1991). Kekuatan ikatan reseptor tergantung pada
afinitas obat terhadap reseptor tersebut. Kespesifikan reseptor juga akan menentukan dosis yang
diberikan, makin spesifik reseptornya dosis yang diperlukan semakin kecil.
Kajian Waktu Pemberian Enrofloksasin terhadap C. burnetii
Berdasarkan Gambar 4 diperoleh hasil bahwa kelompok monolayer sel Vero tanpa
inokulasi C. burnetii dan monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm mulai hari pertama sampai dengan hari ke-6 masih 100% utuh dan dalam keadaan yang normal. Keadaan
ini menunjukkan sel Vero yang digunakan pada penelitian ini dalam kondisi baik dan
enrofloksasin pada konsentrasi tersebut tidak menyebabkan gejala toksik pada monolayer sel
Vero.
Perlakuan I (monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm. Satu hari kemudian
diinfeksi C. burnetii) menunjukkan persentase jumlah sel Vero utuh yang lebih banyak dibandingkan kelompok lain. Hal ini berarti bahwa enrofloksasin efektif bekerja dalam
mengatasi pertumbuhan C. burnetii. Sementara itu, perlakuan II (monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm, tiga hari kemudian diinfeksi C. burnetii) karena potensi enrofloksasin yang diberikan telah mengalami penurunan sehingga hasil persentase sel Vero utuh
semua jaringan, dan relatif cepat dimetabolisme tubuh (Ball 2000). Selain itu, enrofloksasin di
dalam jaringan mampu masuk sampai ke dalam sel dan dieliminasi 64 jam setelah pemberian
(Martinez 2005). Perlakuan III (monolayer sel Vero yang diinfeksi C. burnetii. Tiga hari kemudian diberikan enrofloksasin 4 ppm) memiliki persentase monolayer sel Vero utuh paling
sedikit. Hal ini berarti bahwa sel Vero yang sudah terinfeksi C. burnetii sulit untuk dapat pulih kembali. Selanjutnya, data hasil kajian waktu pemberian enrofloksasin terhadap C. burnetii disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Persentase sel Vero utuh (♦ : perlakuan I/monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm. Satu hari kemudian diinfeksi C. burnetii, ■ : perlakuan II/ monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm. Tiga hari kemudian diinfeksi C. burnetii, ▲ : p erlak u an III/monolayer sel Vero yang diin feksi C. burnetii. Tiga hari kemudian diberikan enrofloksasin 4 ppm, x : sel Vero, Ж : sel Vero dan enrofloksasin 4 ppm, ● : sel Vero dan C. burnetii) pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-6.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa enrofloksasin
efektif digunakan untuk terapi preventif terhadap C. burnetii. Tindakan preventif atau pencegahan seyogyanya dilakukan pada daerah dimana terjadi kejadian luar biasa penyakit
tertentu seperti Q fever, lokasi dan tempat yang rentan terhadap Q fever seperti lokasi kumuh dan
rumah pemotongan hewan, dan orang yang berpotensi terinfeksi Q fever seperti peneliti dan
pegawai rumah potong hewan. Fungsi antibiotik di bidang kesehatan hewan dikelompokan
menjadi 3 hal, yaitu mengobati hewan yang terinfeksi bakteri, sediaan pemacu tumbuh, dan
100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
28
dapat digunakan sebagai preventif terapi pada keadaan yang diperlukan seperti out break suatu penyakit (Giguere et al. 2006).
Pengaruh Pemberian BioATP terhadap Profil Kinetik Enrofloksasin
Profil kinetik suatu sedian obat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari liberasi,
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi sediaan tersebut. Penghitungan kinetika obat
dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat di dalam plasma darah pada berbagai selang
waktu setelah pemberian obat. Konsentrasi obat tertinggi di dalam plasma darah merupakan
gambaran konsentasi obat yang dapat mengikat reseptor untuk menghasilkan efek tertentu
(Shargel dan Yu 2005). Efek yang ditimbulkan ini biasanya akan sebanding dengan jumlah
reseptor obat yang ditempati oleh obat tersebut. Intensitas efek farmakologi suatu obat sangat
berhubungan dengan konsentrasi obat yang berikatan dengan reseptor. Oleh karena sebagian
sel-sel jaringan diperfusi oleh plasma, maka pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan suatu
metode yang sesuai untuk pemantauan suatu kinetika obat di dalam tubuh. Selanjutnya, hasil
perhitungan profil kinetik yang didasarkan pada konsentrasi enrofloksasin di dalam plasma darah
pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil perhitungan profil kinetik enrofloksasin
Parameter K 5 5 BioATP 10 10 BioATP
Cmaks (ppm) 0 2,14 3,1* 5,62 7,14*
tmaks (menit) 0 60 60 60 60
Vd (liter/jam) 0 339,51 206,52* 260,27 213,48*
Kabsorbsi (Jam-1) 0 0,28 0,39 0,25 0,30
Keleminasi (Jam-1) 0 0,18 0,12 0,07 0,05
t1/2 (Jam) 0 3,77 5,78* 10,4 15,06*
K12 (Jam-1) 0 1,66 1,33 0,90 0,60
K21 (Jam-1) 0 0,11 0,07 0,08 0,05
AUC 0 1369,36 4325,01* 2002,21 5666,56*
*: menunjukkan perbedaan nyata pada dosis perlakuan yang sama (P<0.05)
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh hasil bahwa semua kelompok perlakuan yang memperoleh
enrofloksasin, konsentrasi enrofloksasin tertinggi di dalam plasma darah (tmaks) terjadi pada
menit ke-60. Waktu konsentrasi enrofloksasin tertinggi di dalam plasma darah (tmaks) merupakan
pemberian obat (Sarkozy 2001). Pada saat tmaks, jumlah obat yang diabsorbsi mencapai
maksimum dan pada kondisi tersebut laju absorbsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Setelah
tmaks
Sementara itu, konsentrasi enrofloksasin tertinggi (C
tercapai, absorbsi obat masih terus berjalan, hanya saja laju absorbsi terjadi lebih lambat
dibandingkan dengan laju ekskresi (Shargel dan Yu 2005).
maks) pada plasma darah sapi yang
memperoleh enrofloksasin dosis 5 mg/kgBB dan 10 mg/kgBB dikombinasikan dengan BioATP,
lebih tinggi dibandingkan dengan enrofloksasin saja pada dosis yang sama. Konsentrasi plasma
puncak (Cmaks) merupakan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian obat.
Konsentrasi plasma puncak (Cmaks
Pengkajian tentang profil kinetik enrofloksasin sudah pernah dilakukan, hanya saja pada
hewan yang berbeda. Menurut laporan Haines et al. (2000) pemberian enrofloksasin secara IM
7,5 mg/kgBB pada kuda, t
) dapat digunakan sebagai petunjuk kecukupan absorbsi obat
secara sistemik untuk menghasilkan respons terapeutik. Pemberian BioATP mampu
meningkatkan konsentrasi plasma puncak. Natrium selenite yang ada dalam sediaan BioATP di
dalam tubuh terikat pada enrofloksasin sehingga akan membentuk kompleks ikatan
natrium-enrofloksasin. Selanjutnya, enrofloksasin akan masuk ke dalam sel bersamaan dengan natrium
melalui kanal natrium sel (Walker 1992; Gootz dan Brightly 1996; Giguere dan Belanger 1997).
Kompleks inilah yang diduga akan meningkatkan laju absorbsi sehingga konsentrasi
enrofloksasin di dalam plasma darah akan mengalami peningkatan pula. Natrium merupakan ion
yang senantiasa bergerak dari luar sel menuju ke dalam sel. Enrofloksasin masuk ke dalam sel
melalui kanal natrium bersama dengan ion natrium. Dengan adanya natrium yang lebih banyak
akan mengakibatkan enrofloksasin yang diabsorbsi lebih banyak pula. Magnesium di dalam sel
akan meningkatkan efektivitas kerja enrofloksasin pada DNA gyrase sel. Magnesium ini di dalam sel akan mengkatalisis reaksi ensimatis. Selain itu, adanya kalium selenite dalam sediaan
BioATP akan menstabilkan membran sel agar fungsi sel berjalan secara fisiologis. Hal inilah
yang membuat pemberian BioATP yang dikombinasikan dengan enrofloksasin akan
meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di dalam plasma darah.
maks akan tercapai dalam waktu 50 sampai 70 menit setelah aplikasi
obat. Sementara itu, tmaks pemberian enrofloksasin pada anjing sehat 5 mg/kgBB IM tercapai
pada menit ke-45 sampai 50. Sebaliknya, tmaks pemberian enrofloksasin 5 mg/kgBB secara IM
pada kelinci tercapai pada menit ke-10 (Cabanes et al. 1992). Perbedaan tmaks antara berbagai
30
Semakin besar ukuran tubuh hewan akan mengakibatkan semakin lama obat untuk terdistribusi
secara merata (Sarkozy 2001).
Peningkatan ketersediaan hayati (Tabel 3) juga terdapat pada pemberian enrofloksasin
dosis 5 mg/kgBB dan 10 mg/kgBB yang dikombinasikan dengan BioATP. Pada kelompok
enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP memiliki nilai ketersediaan hayati (AUC)
lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diberikan enrofloksasin saja pada dosis yang sama.
Penghitungan AUC berguna sebagai ukuran untuk jumlah total obat yang utuh dan tidak berubah
yang sampai ke dalam sirkulasi sistemik (Sargel dan Yu 2005). AUC merupakan dasar
penentuan ketersediaan hayati obat di dalam darah. Pada kombinasi enrofloksasin dan BioATP
dosis 5 mg/KgBB ketersesediaan hayati enrofoksasin mengalami peningkatan sebanyak 3,16 kali
(4325,01/1369,36) jika dibandingkan pemberian enrofloksasin pada dosis yang sama sedangkan
pada dosis 10 mg/KgBB mengalami peningkatan sebesar 2,83 kali (5666,56/2002,21) jika
dibandingkan pemberian enrofloksasin pada dosis yang sama. Ini berarti bahwa pemberian
kombinasi BioATP dan enrofloksasin akan meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di
dalam darah.
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai waktu paruh (t1/2) kelompok perlakuan yang
memperoleh enrofloksasin dan BioATP lebih lama baik pada dosis 5 mg/kgBB maupun 10
mg/kgBB jika dibandingkan dengan kelompok yang memperoleh enrofloksasin saja pada dosis
yang sama. Kenyataan yang sama terlihat pada parameter Kabsorbsi yang mengalami peningkatan
pada kelompok yang dikombinasikan dengan BioATP baik pada dosis 5 mg/kgBB maupun 10
mg/kgBB. Sebaliknya, parameter Keleminasi pada kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan
dengan BioATP mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan
enrofloksain saja. Kecenderungan penurunan ini terlihat juga pada parameter K12, K21
Hasil yang diperoleh sebagaimana terdapat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa volume
distribusi (Vd) pada kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP baik pada
dosis 5 mg/kg BB maupun 10 mg/kgBB mengalami penurunan. Volume distribusi suatu obat
tergantung pada laju aliran darah pada suatu jaringan, tipe jaringan, tingkat kelarutan obat dalam , dan Vd.
Hal ini dikarenakan kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP, kadar
natrium di ginjal akan lebih tinggi sehingga natrium akan direabsorbsi kembali. Dengan