• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan BioATP terhadap efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii dan profil kinetik obat tersebut. Selanjutnya, secara lengkap hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.

Efektivitas Enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii

Sebelum melakukan pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro, terlebih dahulu dilakukan penghitungan tissue culture infectious dose 50 (TCID50). Nilai TCID50 merupakan konsentrasi C. burnetii yang mampu menginfeksi 50% kultur sel Vero. Penghitungan TCID50 dilakukan menggunakan mikroplate 96 lubang dengan metode Spearman-Karber. Berdasarkan pengujian TCID50 yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa konsentrasi TCID50 C. burnetii yang digunakan dalam penelitian ini adalah 104 (penghitungan terlampir). Nilai TCID50 selanjutnya digunakan sebagai dasar inokulasi C. burnetii. Pada perlakuan selanjutnya inokulasi C. burnetii biasanya dilakukan pada 102 TCID50

Setelah pengujian TCID

(FOHI 2007).

50, penelitian dilanjutkan dengan pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro menggunakan kultur jaringan sel Vero. Selanjutnya, grafik pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro. Keterangan : (♦ : 1 p pm enroflok sasin, ■ : 2 p pm enroflok sasin, ▲ : 4 p pm enrofloksasin, × : 6 ppm enrofloksasin, Ж : 8 ppm enrofloksasin, ● : 10 ppm

enrofloksasin, | : sel Vero, - : sel Vero dan enrofloksasin 10 ppm, _ : sel Vero dan C. burnetii) pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-6.

100 100 100 62,5 45 7,5 100 100 100 80 62,5 55 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 50 37,5 0 0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 6 P er sen ta se sel V er o ( % ) Hari

ke-Berdasarkan Gambar 1 diperoleh hasil bahwa hari ke-1 sampai dengan hari ke-3 sel Vero masih dalam keadaan normal, berbentuk monolayer, dan belum terlihat adanya kerusakan sel. Pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-3 tersebut, C. burnetii masih dalam proses menginfeksi sel Vero. Setelah itu, pada hari ke-4 mulai ditemukan adanya efek kerusakan sel yang diakibatkan oleh adanya infeksi C. burnetii yang ditandai dengan sel Vero menjadi jarang, terdapat lubang-lubang, dan bulatan hitam pada monolayer sel Vero. Selanjutnya, gambaran monolayer sel Vero normal dan monolayer sel Vero yang rusak akibat terinfeksi C. burnetii pada perbesaran 10 kali disajikan pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2. Gambaran monolayer sel Vero normal dan monolayer sel Vero yang rusak akibat terinfeksi C. burnetii pada perbesaran 10 kali. Keterangan : (a) monolayer sel Vero normal (b) monolayer sel Vero yang terinfeksi C. burnetii.

Pengambilan keputusan untuk mengetahui efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data pengamatan pada hari ke-6. Hal ini didasarkan pada hari ke-6 keadaan sel Vero kontrol yang diinfeksi C. burnetii semuanya telah rusak dan kontrol sel yang tidak diinfeksi C. burnetii masih utuh seluruhnya. Selain itu, pengambilan keputusan juga diperkuat dengan pewarnaan monolayer sel Vero pada hari ke-6 dengan tripan blue. Monolayer sel Vero yang tidak diinfeksi C. burnetii terlihat rata dan kompak dengan sitoplasma sel yang utuh. Sebaliknya, monolayer sel Vero yang diinfeksi C. burnetii sitoplasma sel Veronya mengalami keriput dan menjadi jarang, serta berlubang. Selanjutnya, hasil gambar pewarnaan monolayer sel Vero pada perbesaran 10 kali disajikan pada Gambar 3.

24

(a) (b)

Gambar 3. Pewarnaan monolayer sel Vero pada hari ke-6 dengan menggunakan tripan blue pada perbesaran 10 kali. Keterangan : (a) monolayer sel Vero normal (b) monolayer sel Vero yang terinfeksi C. burnetii.

Berdasarkan Gambar 1, pada hari ke-6 diperoleh hasil minimum inhibitory concentration (MIC) dan minimum bactericidal concentration (MBC) secara berurutan sebesar 1 sampai 2 ppm dan 4 ppm. Nilai MIC merupakan konsentrasi minimal suatu antibiotik dimana mulai menunjukkan adanya efek penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri (Rolain et al. 2001; Spyridaki et al. 2002). Sementara itu, MBC merupakan konsentrasi minimal suatu antibiotik yang mampu mematikan keseluruhan pertumbuhan bakteri (Giguere et al. 2006).

Penelitian mengenai MIC beberapa antibakteri golongan quinolon terhadap C. burnetii menggunakan kultur jaringan telah dilakukan. Antibakteri golongan quinolon diantaranya adalah siprofloksasin, difloksasin, trovafloksasin, ofloksasin, dan enrofloksasin. Penelitian Gikas et al. (1998) menyebutkan bahwa dengan menggunakan kultur jaringan sel Vero nilai MIC trovafloksasin dan ofloksasin berada pada kisaran 1 sampai dengan 2 ppm, sedangkan siprofloksasin memiliki MIC sebesar 1 sampai dengan 2 ppm. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Yeaman et al. (1987) dengan menggunakan kultur jaringan sel fibroblas L929 menyebutkan bahwa konsentrasi rifampin 1 ppm dan difloksasin 2 sampai dengan 5 ppm mampu menghambat pertumbuhan C. burnetii.

Enrofloksasin merupakan antibiotik golongan quinolon yang pertama kali digunakan secara khusus untuk bidang kesehatan hewan dengan nama dagang Baytril (Babish et al. 1990). Mekanisme kerja enrofloksasin adalah menghambat replikasi bakteri dengan cara menghambat kerja enzim DNA gyrase (Vancutsem et al. 1989). Daya kerja enrofloksasin bersifat bakteriostatis dan bakterisidal pada beberapa bakteri serta memiliki spektrum yang luas terhadap

bakteri gram positif dan gram negatif (Anadon dan Laranaga 1995). Enrofloksasin berkhasiat terhadap organisme yang resisten terhadap antibiotik betalaktam, aminoglikosida, tetrasiklin, folat antagonis, dan makrolida. Enrofloksasin mampu diserap dengan baik pada pemberian oral maupun parenteral (Tjay dan Raharja 2000).

Kajian Mekanisme Kerja Enrofloksasin terhadap C. burnetii

Setelah dilakukan pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii, selanjutnya dilakukan kajian reseptor enrofloksasin terhadap C. burnetii. Kajian ini dilakukan dengan variasi pemberian enrofloksasin. Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi yang mampu mengatasi C. burnetii. Parameter yang diamati pada kajian ini adalah persentase sel Vero utuh. Sel Vero utuh menunjukkan bahwa sel tersebut tidak terinfeksi C. burnetii. Selanjutnya, data hasil kajian ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil kajian mekanisme kerja enrofloksasin terhadap C. burnetii

Perlakuan Persentase sel Vero utuh (%)

Perlakuan a (Pa) 100 ± 0

Perlakuan b (Pb) 100 ± 0

Perlakuan c (Pc) 80 ± 4,42

Sel Vero (Pd) 100 ± 0

Sel Vero + enrofloksasin 10ppm (Pe) 100 ± 0

Sel Vero + C. burnetii (Pf) 0±0

Pa: enrofloksasin 4 ppm direndam bersama C. burnetii 102 TCID50 selama 30 menit kemudian baru ditanam ke dalam monolayer sel Vero; Pb: enrofloksasin 4 ppm dimasukkan bersamaan dengan C. burnetii 102 TCID50

ke dalam monolayer sel Vero; Pc : Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin pada satu hari sebelum inokulasi C. burnetii.

Pada perlakuan a menunjukkan sel Vero 100% dalam keadaan utuh. Ini berarti bahwa sel Vero tidak terinfeksi C. burnetii (reaksi netralisasi). Hal ini juga mengindikasikan bahwa C. burnetii memiliki reseptor terhadap enrofloksasin sehingga pada proses perendaman enrofloksasin menempati reseptor tersebut. Hasil yang diperoleh pada perlakuan b menunjukkan sel Vero 100% dalam keadaan utuh. Ini berarti bahwa reseptor C. burnetii dengan cepat akan ditempati oleh enrofloksasin, sebelum C. burnetii tersebut menginfeksi sel Vero. Pada perlakuan c diperoleh 80% sel Vero dalam keadaan utuh dan sisanya, 20% sel Vero, terinfeksi C. burnetii. Keadaan ini mengindikasikan bahwa C. burnetii disamping memiliki reseptor terhadap enrofloksasin, juga memiliki reseptor terhadap sel Vero (2 reseptor).

26

Persentase sel Vero utuh yang lebih banyak dibandingkan dengan sel Vero terinfeksi C. burnetii menunjukkan bahwa enrofloksasin yang menempel pada reseptor C. burnetii lebih cepat menimbulkan efek terapeutik. Sementara itu, reseptor C. burnetii yang menempel pada sel Vero memiliki kerja yang lebih lambat dibandingkan kerja enrofloksasin yang menempel C. burnetii. Kenyataan ini juga diperkuat dengan fakta bahwa 100% sel Vero masih utuh pada perlakuan b, enrofloksasin akan lebih cepat menempati reseptor C. burnetii dan bekerja lebih cepat dibandingkan ikatan reseptor C. burnetii dan sel Vero.

Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa C. burnetii kemungkinan memiliki 2 reseptor dengan tempat kedudukan yang berbeda yaitu reseptor yang spesifik terhadap enrofloksasin dan reseptor yang spesifik terhadap sel Vero. Hampir semua antibakteri, termasuk enrofloksasin memiliki reseptor yang spesifik (Giguere et al. 2006). Kespesifikan reseptor inilah yang mengakibatkan obat mampu bekerja selektif pada target yang dituju (Katzung 2001). Reseptor merupakan makromolekul (biopolimer) khas tempat dimana obat terikat untuk menimbulkan efek (Mutschler 1991). Kekuatan ikatan reseptor tergantung pada afinitas obat terhadap reseptor tersebut. Kespesifikan reseptor juga akan menentukan dosis yang diberikan, makin spesifik reseptornya dosis yang diperlukan semakin kecil.

Kajian Waktu Pemberian Enrofloksasin terhadap C. burnetii

Berdasarkan Gambar 4 diperoleh hasil bahwa kelompok monolayer sel Vero tanpa inokulasi C. burnetii dan monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm mulai hari pertama sampai dengan hari ke-6 masih 100% utuh dan dalam keadaan yang normal. Keadaan ini menunjukkan sel Vero yang digunakan pada penelitian ini dalam kondisi baik dan enrofloksasin pada konsentrasi tersebut tidak menyebabkan gejala toksik pada monolayer sel Vero.

Perlakuan I (monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm. Satu hari kemudian diinfeksi C. burnetii) menunjukkan persentase jumlah sel Vero utuh yang lebih banyak dibandingkan kelompok lain. Hal ini berarti bahwa enrofloksasin efektif bekerja dalam mengatasi pertumbuhan C. burnetii. Sementara itu, perlakuan II (monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm, tiga hari kemudian diinfeksi C. burnetii) karena potensi enrofloksasin yang diberikan telah mengalami penurunan sehingga hasil persentase sel Vero utuh yang diperoleh mengalami penurunan. Enrofloksasin mudah terabsorbsi, terdistribusi ke hampir

semua jaringan, dan relatif cepat dimetabolisme tubuh (Ball 2000). Selain itu, enrofloksasin di dalam jaringan mampu masuk sampai ke dalam sel dan dieliminasi 64 jam setelah pemberian

(Martinez 2005). Perlakuan III (monolayer sel Vero yang diinfeksi C. burnetii. Tiga hari kemudian diberikan enrofloksasin 4 ppm) memiliki persentase monolayer sel Vero utuh paling sedikit. Hal ini berarti bahwa sel Vero yang sudah terinfeksi C. burnetii sulit untuk dapat pulih kembali. Selanjutnya, data hasil kajian waktu pemberian enrofloksasin terhadap C. burnetii disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Persentase sel Vero utuh (♦ : perlakuan I/monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm. Satu hari kemudian diinfeksi C. burnetii, ■ : perlakuan II/ monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm. Tiga hari kemudian diinfeksi C. burnetii, ▲ : p erlak u an III/monolayer sel Vero yang diin feksi C. burnetii. Tiga hari kemudian diberikan enrofloksasin 4 ppm, x : sel Vero, Ж : sel Vero dan enrofloksasin 4 ppm, ● : sel Vero dan C. burnetii) pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-6.

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa enrofloksasin efektif digunakan untuk terapi preventif terhadap C. burnetii. Tindakan preventif atau pencegahan seyogyanya dilakukan pada daerah dimana terjadi kejadian luar biasa penyakit tertentu seperti Q fever, lokasi dan tempat yang rentan terhadap Q fever seperti lokasi kumuh dan rumah pemotongan hewan, dan orang yang berpotensi terinfeksi Q fever seperti peneliti dan pegawai rumah potong hewan. Fungsi antibiotik di bidang kesehatan hewan dikelompokan menjadi 3 hal, yaitu mengobati hewan yang terinfeksi bakteri, sediaan pemacu tumbuh, dan

100 100 100 100 85 77,5 100 100 100 97,5 80 75 100 100 100 90 45 35 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 50 37,5 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 P e rs e nt a se s e l V e ro ut uh (% ) Hari

ke-28

dapat digunakan sebagai preventif terapi pada keadaan yang diperlukan seperti out break suatu penyakit (Giguere et al. 2006).

Pengaruh Pemberian BioATP terhadap Profil Kinetik Enrofloksasin

Profil kinetik suatu sedian obat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari liberasi, absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi sediaan tersebut. Penghitungan kinetika obat dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat di dalam plasma darah pada berbagai selang waktu setelah pemberian obat. Konsentrasi obat tertinggi di dalam plasma darah merupakan gambaran konsentasi obat yang dapat mengikat reseptor untuk menghasilkan efek tertentu (Shargel dan Yu 2005). Efek yang ditimbulkan ini biasanya akan sebanding dengan jumlah reseptor obat yang ditempati oleh obat tersebut. Intensitas efek farmakologi suatu obat sangat berhubungan dengan konsentrasi obat yang berikatan dengan reseptor. Oleh karena sebagian sel-sel jaringan diperfusi oleh plasma, maka pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk pemantauan suatu kinetika obat di dalam tubuh. Selanjutnya, hasil perhitungan profil kinetik yang didasarkan pada konsentrasi enrofloksasin di dalam plasma darah pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil perhitungan profil kinetik enrofloksasin

Parameter K 5 5 BioATP 10 10 BioATP

Cmaks (ppm) 0 2,14 3,1* 5,62 7,14* tmaks (menit) 0 60 60 60 60 Vd (liter/jam) 0 339,51 206,52* 260,27 213,48* Kabsorbsi (Jam-1) 0 0,28 0,39 0,25 0,30 Keleminasi (Jam-1) 0 0,18 0,12 0,07 0,05 t1/2 (Jam) 0 3,77 5,78* 10,4 15,06* K12 (Jam-1) 0 1,66 1,33 0,90 0,60 K21 (Jam-1) 0 0,11 0,07 0,08 0,05 AUC 0 1369,36 4325,01* 2002,21 5666,56*

*: menunjukkan perbedaan nyata pada dosis perlakuan yang sama (P<0.05)

Berdasarkan Tabel 3 diperoleh hasil bahwa semua kelompok perlakuan yang memperoleh enrofloksasin, konsentrasi enrofloksasin tertinggi di dalam plasma darah (tmaks) terjadi pada menit ke-60. Waktu konsentrasi enrofloksasin tertinggi di dalam plasma darah (tmaks) merupakan waktu yang diperlukan obat untuk mencapai konsentrasi maksimum di plasma darah setelah

pemberian obat (Sarkozy 2001). Pada saat tmaks, jumlah obat yang diabsorbsi mencapai maksimum dan pada kondisi tersebut laju absorbsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Setelah tmaks

Sementara itu, konsentrasi enrofloksasin tertinggi (C

tercapai, absorbsi obat masih terus berjalan, hanya saja laju absorbsi terjadi lebih lambat dibandingkan dengan laju ekskresi (Shargel dan Yu 2005).

maks) pada plasma darah sapi yang memperoleh enrofloksasin dosis 5 mg/kgBB dan 10 mg/kgBB dikombinasikan dengan BioATP, lebih tinggi dibandingkan dengan enrofloksasin saja pada dosis yang sama. Konsentrasi plasma puncak (Cmaks) merupakan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian obat. Konsentrasi plasma puncak (Cmaks

Pengkajian tentang profil kinetik enrofloksasin sudah pernah dilakukan, hanya saja pada hewan yang berbeda. Menurut laporan Haines et al. (2000) pemberian enrofloksasin secara IM 7,5 mg/kgBB pada kuda, t

) dapat digunakan sebagai petunjuk kecukupan absorbsi obat secara sistemik untuk menghasilkan respons terapeutik. Pemberian BioATP mampu meningkatkan konsentrasi plasma puncak. Natrium selenite yang ada dalam sediaan BioATP di dalam tubuh terikat pada enrofloksasin sehingga akan membentuk kompleks ikatan natrium-enrofloksasin. Selanjutnya, enrofloksasin akan masuk ke dalam sel bersamaan dengan natrium melalui kanal natrium sel (Walker 1992; Gootz dan Brightly 1996; Giguere dan Belanger 1997). Kompleks inilah yang diduga akan meningkatkan laju absorbsi sehingga konsentrasi enrofloksasin di dalam plasma darah akan mengalami peningkatan pula. Natrium merupakan ion yang senantiasa bergerak dari luar sel menuju ke dalam sel. Enrofloksasin masuk ke dalam sel melalui kanal natrium bersama dengan ion natrium. Dengan adanya natrium yang lebih banyak akan mengakibatkan enrofloksasin yang diabsorbsi lebih banyak pula. Magnesium di dalam sel akan meningkatkan efektivitas kerja enrofloksasin pada DNA gyrase sel. Magnesium ini di dalam sel akan mengkatalisis reaksi ensimatis. Selain itu, adanya kalium selenite dalam sediaan BioATP akan menstabilkan membran sel agar fungsi sel berjalan secara fisiologis. Hal inilah yang membuat pemberian BioATP yang dikombinasikan dengan enrofloksasin akan meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di dalam plasma darah.

maks akan tercapai dalam waktu 50 sampai 70 menit setelah aplikasi obat. Sementara itu, tmaks pemberian enrofloksasin pada anjing sehat 5 mg/kgBB IM tercapai pada menit ke-45 sampai 50. Sebaliknya, tmaks pemberian enrofloksasin 5 mg/kgBB secara IM pada kelinci tercapai pada menit ke-10 (Cabanes et al. 1992). Perbedaan tmaks antara berbagai hewan diduga dipengaruhi oleh ukuran luas permukaan tubuh dan banyaknya cairan tubuh.

30

Semakin besar ukuran tubuh hewan akan mengakibatkan semakin lama obat untuk terdistribusi secara merata (Sarkozy 2001).

Peningkatan ketersediaan hayati (Tabel 3) juga terdapat pada pemberian enrofloksasin dosis 5 mg/kgBB dan 10 mg/kgBB yang dikombinasikan dengan BioATP. Pada kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP memiliki nilai ketersediaan hayati (AUC) lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diberikan enrofloksasin saja pada dosis yang sama. Penghitungan AUC berguna sebagai ukuran untuk jumlah total obat yang utuh dan tidak berubah yang sampai ke dalam sirkulasi sistemik (Sargel dan Yu 2005). AUC merupakan dasar penentuan ketersediaan hayati obat di dalam darah. Pada kombinasi enrofloksasin dan BioATP dosis 5 mg/KgBB ketersesediaan hayati enrofoksasin mengalami peningkatan sebanyak 3,16 kali (4325,01/1369,36) jika dibandingkan pemberian enrofloksasin pada dosis yang sama sedangkan pada dosis 10 mg/KgBB mengalami peningkatan sebesar 2,83 kali (5666,56/2002,21) jika dibandingkan pemberian enrofloksasin pada dosis yang sama. Ini berarti bahwa pemberian kombinasi BioATP dan enrofloksasin akan meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di dalam darah.

Berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai waktu paruh (t1/2) kelompok perlakuan yang memperoleh enrofloksasin dan BioATP lebih lama baik pada dosis 5 mg/kgBB maupun 10 mg/kgBB jika dibandingkan dengan kelompok yang memperoleh enrofloksasin saja pada dosis yang sama. Kenyataan yang sama terlihat pada parameter Kabsorbsi yang mengalami peningkatan pada kelompok yang dikombinasikan dengan BioATP baik pada dosis 5 mg/kgBB maupun 10 mg/kgBB. Sebaliknya, parameter Keleminasi pada kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan enrofloksain saja. Kecenderungan penurunan ini terlihat juga pada parameter K12, K21

Hasil yang diperoleh sebagaimana terdapat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa volume distribusi (Vd) pada kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP baik pada dosis 5 mg/kg BB maupun 10 mg/kgBB mengalami penurunan. Volume distribusi suatu obat tergantung pada laju aliran darah pada suatu jaringan, tipe jaringan, tingkat kelarutan obat dalam

, dan Vd. Hal ini dikarenakan kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP, kadar natrium di ginjal akan lebih tinggi sehingga natrium akan direabsorbsi kembali. Dengan demikian natrium yang direabsorbsi akan mengikat enrofloksasin kembali.

lemak, ukuran partikel obat, pH, dan ikatan material biologi yang terdapat di dalam tubuh

(Ritschel 1980).

Suatu sediaan obat dengan Vd yang besar memiliki sifat terpusat dalam jaringan dan sedikit dalam intravaskular. Suatu sediaan obat yang terikat oleh protein plasma dalam jumlah besar (di dalam vaskular) maka akan memiliki Cmaks

Menurut (Ritschel 1980), seseorang yang memiliki Vd 5% dari bobot tubuh menunjukkan bahwa obat tersebut tertahan dan dilepaskan dengan lambat oleh sistem sirkulasi. Sementara itu, individu yang mempunyai nilai volume distribusi 15 sampai dengan 27% bobot tubuh memiliki arti bahwa obat tersebut didistribusikan sampai cairan ekstraseluler. Nilai Vd diantara 35 sampai dengan 42% dari bobot tubuh menunjukkan bahwa obat didistribusikan sampai ke cairan intraseluler sedangkan nilai Vd diatas 60% dari bobot tubuh mengindikasikan bahwa obat terdistribusi ke seluruh cairan tubuh. Adakalanya nilai Vd suatu obat mencapai 100 sampai 200% dari bobot tubuh. Ini berarti bahwa obat didistribusikan dan mampu menjangkau jaringan perifer.

yang lebih tinggi sehingga akan menghasilkan Vd yang lebih kecil. Dengan kata lain, Vd merupakan petunjuk untuk jumlah obat di luar kompartemen sentral, biasanya darah, sehingga makin besar nilai Vd maka makin besar pula pula jumlah obat dalam jaringan atau ekstravaskular.

Nilai Vd pada semua perlakuan baik enrofloksasin serta kombinasi enrofloksasin dan BioATP (Tabel 3) memperoleh hasil diatas 100% dari bobot tubuh. Ini berarti bahwa enrofloksasin tunggal maupun dalam bentuk kombinasi dengan BioATP didistribusikan keseluruh cairan tubuh dan mampu menjangkau jaringan perifer. Dengan kemampuan menjangkau jaringan perifer dan mencapai seluruh cairan tubuh memungkinkan penggunaan enrofloksasin dan kombinasi enrofloksasin BioATP untuk terapi C. burnetii. Hal ini mengingat bakteri C. burnetii memiliki sifat intraseluler obligat dengan manifestasi makrofage (Ho et al. 1995; Hamzic et al. 2003). Dengan sifat dan manifestasi yang demikian ini, tindakan terapi terhadap C. burnetii harus menggunakan obat yang mampu menjangkau makrofage tersebut.

Enrofloksasin merupakan antibakteri yang memiliki mekanisme kerja menghambat pertumbuhan bakteri melalui hambatan pada DNA gyrase dan memiliki spektrum aktivitas luas. Pemberian enrofloksasin mempunyai ketersediaan hayati yang tinggi, volume distribusi yang besar, konsentrasi yang tinggi pada jaringan, serta cairan radang dengan eliminasi melalui urin (Jenkins dan Friedlander1988).

32 0 1 2 3 4 5 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 K o ns e nt ra si e nr o fl o k sa si n ( ppm ) Waktu (menit)

Selanjutnya, untuk mengetahui interaksi antara enrofloksasin dan BioATP dilakukan kajian interaksi farmakologi. Interaksi farmakologi beberapa sediaan obat yang diberikan secara bersamaan terdiri atas interaksi sinergis adiksi, sinegis potensiasi, dan antagonistik (Shargel dan Yu 2005). Kajian interaksi pemberian BioATP dan enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii dilakukan dengan membandingkan enrofloksasin serta kombinasi enrofloksasin dan BioATP. Hasil kajian interaksi enrofloksasin serta kombinasinya dengan BioATP pada dosis 5 mg/kgBB terhadap C. burnetii disajikan pada gambar berikut.

Gambar 5. Kajian interaksi enrofloksasin dosis 5 mg/kgBB (♦) serta kombinasi enrofloksasin dosis 5 mg/kgBB dan BioATP (■) terhadap C. burnetii

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 5 diketahui bahwa enrofloksasin dosis 5 mg/kgBB dan kombinasinya dengan BioATP pada dosis tersebut memiliki nilai konsentrasi plasma puncak (Cmaks) dibawah nilai MBC terhadap C. burnetii, yaitu 4 ppm. Suatu sediaan antibakteri akan efektif membunuh bakteri jika memiliki konsentrasi plasma puncak diatas nilai MBC tersebut (Giguere et al. 2006). Dengan demikian pemberian enrofloksasin pada dosis 5 mg/kgBB dan kombinasinya dengan BioATP tidak efektif terhadap C. burnetii karena konsentrasi plasma puncak belum melampaui ambang MBC. Selanjutnya, kajian interaksi enrofloksasin serta kombinasinya dengan BioATP pada dosis 10 mg/kgBB disajikan pada gambar berikut.

Gambar 6. Kajian interaksi enrofloksasin (♦) serta kombinasinya dengan BioATP (■) terhadap C. burnetii pada dosis 10 mg/kgBB

Sementara itu, pada perlakuan enrofloksasin dosis 10 mg/kgBB dan kombinasinya dengan BioATP pada dosis tersebut memiliki nilai konsentrasi plasma puncak melampaui nilai MBC terhadap C. burnetii (Gambar 6). Ini menunjukkan perlakuan tersebut terbukti efektif mengatasi C. burnetii. Suatu sediaan antibakteri mampu bekerja mengatasi bakteri tertentu jika konsentrasinya melebihi konsentrasi yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri dan kerja antibakteri ini akan hilang jika konsentrasinya dalam darah berada dibawah konsentrasi yang dibutuhkan tersebut (Shargel dan Yu 2005). Konsentrasi yang dibutuhkan oleh antibakteri yang mampu membunuh bakteri target disebut dengan minimum bactericidal concentration (MBC). Selanjutnya, data onset, durasi, dan intensitas farmakologi dapat disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4. Data onset, durasi, dan intensitas farmakologi (menit) pada dosis 10 mg/kgBB

Parameter

10 mg/kgBB

Enrofloksasin Enrofloksasin dan Bio ATP

Onset 51,67±2,89 42,33±2,51*

Durasi 78,33±2,89 141±2,89*

Intensitas farmakologi 1,62±0,23 3,14±0,08*

34

Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian BioATP terbukti meningkatkan efektivitas enrofloksasin terutama pada dosis 10 mg/kgBB. Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 7 yang menunjukkan onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih lama pada perlakuan enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP. Onset suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat tersebut untuk mulai menimbulkan efek farmakologi sedangkan durasi merupakan lamanya obat bekerja (Tjay dan Raharja 2000). Selanjutnya, gambar onset, durasi, dan intensitas farmakologi enrofloksasin serta kombinasinya dengan BioATP pada dosis 10 mg/kgBB disajikan pada gambar berikut.

Gambar 7. Onset, durasi, dan intensitas farmakologi enrofloksasin (♦) serta kombinasinya

Dokumen terkait