• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Ketahanan Hidup Larva Anisakidae Dengan Suhu Pembekuan Dan Penggaraman Pada Ikan Kembung (Rastrelliger spp)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Ketahanan Hidup Larva Anisakidae Dengan Suhu Pembekuan Dan Penggaraman Pada Ikan Kembung (Rastrelliger spp)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

KEMBUNG (Rastrelliger spp.)

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Ketahanan Hidup Larva

Anisakidae dengan Suhu Pembekuan dan Penggaraman pada Ikan Kembung

(Rastrelliger spp.) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, J u l i 2007

La Ode Baladin

(3)

LA ODE BALADIN. Study on Survival of Anisakidae Larvae in Frozen and Salted Indian mackerels (Rastrelliger spp.). Under the supervision of FADJAR SATRIJA and R. ROSO SOEJOEDONO.

Indian mackerels (Rastrelliger spp.) can act as intermediate hosts of the life cycle of the zoonotic parasite. Humans who consume raw or undercooked marine fish are at risk of ingesting live larval nematodes of the family Anisakidae, which can cause anisakiasis.

This study was designed to explore prevalence of Anisakidae larvae in Indian mackerels (Rastrelliger spp.) samples collected from fishermen of Muara Angke Harbour Jakarta, and survival of the larvae in frozen and salted and Indian mackerel fillets. Anisakidae larvae were collected from the alimentary tract and muscular tissues of Indian mackerel purchased from the fishermen. The larvae were subsequently placed in the fillets stored in freezer (-2 oC and -20 oC) or salted with 25% kitchen salt.

Results of this study showed that 58.7% of the samples had been infected with Anisakidae larvae 3 worms in each fish. Three genera of Anisakidae Family were found, i.e. Anisakis simplex (70.8%), Pseudoterranova sp (16.7%), and Contracaecum sp (12.5%). Most of the larvae were isolated from the alimentary tract and surounding abdominal cavity which consisted of mesenteries and visceral organs surface (47.6%), liver (29.8%), abdominal cavity (15.7%) and gut (6.9%). Percantage of larval survival reduced significantly by lowered freezing temperature. 40 percent of the larvae remained survive after 168 hours frozen storage at -2 oC, whereas all larvae were already death when stored at -20 oC. All larvae died after the fillets salted for 24 hours. These finding is suggested that freezing -2 oC for 168 hour did not kill Anisakidae larvae in Indian Mackerels. The fact that raw or under cooked fish are not safe for human consumption.

(4)

RINGKASAN

LA ODE BALADIN. Studi Ketahanan Hidup Larva Anisakidae dengan Suhu Pembekuan dan Penggaraman pada Ikan Kembung (Rastrelliger spp.). Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan R. ROSO SOEJOEDONO.

Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan ikan sebagai salah satu sumber protein hewani utama. Sumbangan protein dari ikan terhadap konsumsi protein hewani nasional lebih besar (57.3%) dibandingkan dengan protein hewani yang lain seperti daging (27.3%), telur (10.9%) dan susu (4.5%). Tingkat konsumsi ikan meningkat karena ikan merupakan sumber protein termurah. Ikan kembung (Rastrelliger spp.) adalah salah satu jenis ikan laut yang pemasarannya tersebar luas dan digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Ikan kembung bisa berperan sebagai hospes perantara dalam siklus hidup cacing-cacing tertentu. Manusia yang mengkonsumsi ikan mentah atau kurang masak beresiko terinfeksi larva Anisakidae yang dapat menyebabkan Anisakiasis. Anisakiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing dari famili Anisakidae dan tergolong zoonosis yang berbahaya. Sumber infeksi utama pada manusia karena mengkonsumsi ikan mentah yang tidak disimpan dalam freezer lemari pendingin, ikan asin yang tidak sempurna penggaramannya dan ikan asap yang tidak sempurna pengasapannya.

Mengingat kemungkinan risiko penularan Anisakiasis melalui ikan kembung (Rastrelliger spp.) yang banyak dikonsumsi masyarakat maka diperlukan penelitian untuk mengidentifikasi keberadaan larva Anisakidae pada sampel ikan kembung selanjutnya pula dipelajari pengaruh waktu penyimpanan pada suhu pembekuan dan penggaraman terhadap daya tahan hidup larva Anisakidae pada daging ikan kembung (Rastrelliger spp.) sebagai dasar untuk merancang program pengendalian Anisakiasis.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan larva Anisakidae pada ikan kembung dari pelabuhan rakyat Muara Angke Jakarta, serta ketahanan hidup larva tersebut di dalam filet ikan pada suhu pembekuan -2 oC dan -20 oC serta penggaraman 25%. Rancangan percobaan penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama isolasi larva cacing (stadium infektif) dari sampel ikan untuk mengumpulkan/koleksi larva cacing Anisakidae pada ikan kembung (Rastrelliger spp.) yang diperoleh dari pelabuhan rakyat Muara Angke Jakarta, serta tahap kedua uji ketahanan hidup larva dalam filet ikan kembung yang diawetkan dengan pembekuan dan penggaraman. Pada tahap pertama dilakukan pemeriksaan keberadaan larva Anisakidae terhadap 104 ekor sampel ikan kembung yang didapatkan dari nelayan di pelabuhan rakyat Muara Angke Jakarta. Pemeriksaan larva cacing dilakukan dengan membedah ikan dan memeriksa organ pencernaan dan rongga abdomennya. Larva yang ditemukan pada setiap sampel diisolasi dan dicatat lokasi/habitatnya. Selanjutnya larva disimpan dalam NaCl 0.9% sebelum digunakan untuk penelitian tahap kedua.

(5)

yaitu penyimpanan dalam suhu pembekuan – 2 oC dan – 20 oC selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam dan 168 jam (7 hari) serta penggaraman 25% selama 6 jam, 12 jam dan 24 jam dan 48 jam. Pada setiap akhir periode perlakuan dilakukan pengamatan terhadap kondisi larva yang diklasifikasikan sebagai larva hidup dan larva mati. diperiksa organ pencernaan dan ototnya untuk melihat adanya larva Anisakidae. Larva yang didapat selanjutnya dimasukkan dalam filet ikan yang disimpan dengan tiga perlakuan yaitu suhu pembekuan -2 oC dan -20 oC serta penggaraman 25%.

Hasil dari penelitian ini menemukan infeksi larva Anisakidae pada ikan kembung dari pelabuhan rakyat Muara Angke dengan prevalensi 58.7% dan intensitas 3 larva per ekor ikan. Famili Anisakidae yang berhasil dikoleksi adalah 191 ekor yang terdiri dari 3 spesies yaitu Anisakis simplex (70.8%), Pseudoterranova sp. (16.7%) dan Contracaecum sp. (12.5%). Sebagian besar larva yang diisolasi berasal dari organ pencernaan dan di sekitar rongga abdomen yaitu pada mesenterium dan permukaan organ viseral (47.6%), hati (29.8%), rongga abdomen (15.7%), dan usus (6.9%). Persentase ketahanan hidup larva Anisakidae di dalam fillet ikan kembung (Rastrelliger spp.) setelah penyimpanan beku -2 oC menurun secara linear, dengan waktu pembekuan 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 168 jam. Persamaan regresi yang menggambarkan persentase ketahanan hidup (y dalam %) dan lama penyimpanan (x dalam jam) yakni y=113 - 0.428x dengan nilai (R2=0.82, P<0.05). Persentase ketahanan hidup larva Anisakidae di dalam fillet ikan kembung (Rastrelliger spp.) setelah penyimpanan beku -20 oC menurun secara linear pada waktu penyimpanan beku 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 168 jam. Persamaan regresi yang menggambarkan persentase ketahanan hidup (y dalam persen) dan waktu penyimpanan (x dalam jam) yakni y=124 - 0.724x dengan nilai (R2=0.92, P<0.05) sedangkan analisis terhadap ketahanan hidup setelah proses penggaraman 25% menurun secara linear, dari waktu penggaraman dari 6 jam hingga 48 jam. Persamaan regresi yang menggambarkan persentase ketahanan hidup (x dalam persen) dan waktu penggaraman (y dalam jam) yakni y=54.8 - 1.32x dengan nilai (R2=0.67, P<0.05).

Penurunan suhu penyimpanan menurunkan secara signifikan persentase ketahanan hidup larva Anisakidae. Pada penyimpanan beku -2 oC selama 168 jam sebanyak 40% larva masih bertahan hidup, sedangkan pada saat yang sama semua larva yang disimpan pada -20 oC telah mati. Pada perlakuan penggaraman 25% semua larva telah mati setelah disimpan selama 24 jam. Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa ikan mentah atau kurang masak yang disimpan beku -2 oC selama 168 jam belum aman untuk dikonsumsi jika pengolahannya tidak tepat dan pemasakkaanya tidak sempurna.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(7)

KEMBUNG (

Rastrelliger

spp

.

)

LA ODE BALADIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

(8)

Judul Tesis : Studi Ketahanan Hidup Larva Anisakidae dengan Suhu

Pembekuan dan Penggaraman pada Ikan Kembung

(Rastrelliger spp.)

Nama : La Ode Baladin

NIM : B 054050081

Disetujui

Komisi Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D Ketua

drh. R. Roso Soejoedono, MPH, DEA Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Studi Ketahanan

Hidup Larva Anisakidae dengan Suhu Pembekuan dan Penggaraman pada Ikan

Kembung (Rastrelliger spp.)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D

dan drh. R. Roso Soejoedono, MPH, DEA selaku pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis

sejak awal usulan penelitian hingga selesainya tesis ini, serta Bapak Dr. drh.

Denny Widaya Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi KMV yang banyak

memberi saran dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Disamping itu penghargaan penulis sampaikan penghargaan kepada Ibu Dr.

drh. A. Winny Sanjaya, MS, Ibu Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS dan

Ibu drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D beserta staf yang telah berkenaan memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menggunakan laboratorium selama pelaksanaan

penelitian ini. Terima kasih pula yang sebanyak-banyaknya kepada pak Sulaeman,

ibu Djulaeha, pak Tedi Subarkah dan pak Yahendra yang telah banyak membantu

kerja penulis di laboratorium.

Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis kembalikan segala urusan, dan

hanya Allahlah yang akan memberikan balasan yang setimpal atas semua

kebaikan yang telah diberikan.

Amin ya Allah, ya Rabbal Alamiin.

Bogor, J u l i 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Raha Kabupaten Muna pada tanggal 12 Desember

1973 dari ayah La Ode Ndoasa (almarhum) dan ibu Wa Ode Nuriba. Penulis

merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) PPNI

Kendari yang selanjutnya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan bekerja

sebagai Perawat di Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Muna.

Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada Akademi Keperawatan

Depkes Kendari pada tahun 1997 dan lulus tahun 2000 selanjutnya pada tahun

2004 penulis lulus pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas

Haluoleo Kendari.

Ketertarikan penulis berawal ketika menyusun program perencanaan

kesehatan bidang pemberantasan penyakit menular dan didorong oleh keinginan

yang kuat untuk mempelajari penyakit menular infeksi pada manusia yang

bersumber dari hewan maka penulis memutuskan untuk melanjutkan pendidikan

pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) di Fakultas

Kedokteran Hewan (FKH) IPB Bogor.

Selama mengikuti program S2, kehausan akan organisasi tidak menyurutkan

niat penulis untuk berpartisipasi pada Musyawarah Kabupaten Persatuan Perawat

Nasional Indonesia (PPNI) dan Alhamdulillah penulis dipercayakan dan terpilih

sebagai ketua umum periode tahun 2007 – 2012.

Penulis menikah pada tahun 1995 dengan Nina S La Ede dan telah

dikaruniai 4 (empat) orang putra putri yaitu Sazkia Anissa, Al Ostaf Muhammad,

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Deskripsi Ikan Kembung ... 5

Komposisi dan Nilai Gizi Ikan Kembung... 6

Proses Perubahan pada Ikan... 6

Pola Migrasi Mamalia Laut sebagai Inang Definitif Cacing Anisakidae.... 7

Morfologi dan Karakteristik Larva Anisakidae... 8

Siklus Hidup Larva Anisakidae... 9

Prevalensi dan Intensitas Larva Anisakidae... 11

Penyakit pada Manusia dan Pengendaliannya ... 13

Kemampuan Hidup Larva Anisakidae pada Suhu Dingin dan Suhu Beku14 BAHAN DAN METODE ... 15

Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Rancangan Percobaan ... 15

Koleksi dan Identifikasi Larva ... 17

(12)

xi

xi

Identifikasi Larva ... 22

Ketahanan Hidup Larva dengan Suhu Pembekuaan ... 28

Ketahanan Hidup Larva dengan Proses Penggaraman 25% ... 34

Pengamatan pH ... 36

SIMPULAN ... 39

SARAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(13)

Halaman 1. Komposisi dan nilai gizi ikan kembung (dalam 100 gram daging) ... 6

2. Penyimpanan larva Anisakidae pada suhu pembekuan dan penggaraman

berdasarkan lama penyimpanan ...16

3. Jumlah larva Anisakidae menurut lokasi parasit pada organ ikan

kembung (Rastrelliger spp.)...24

4. Hasil pengamatan larva Anisakidae pada penyimpanan -2 oC

berdasarkan lama penyimpanan ...28

5. Hasil pengamatan larva Anisakidae pada penyimpanan -20 oC

berdasarkan lama penyimpanan ...30

6. Hasil pengamatan larva Anisakidae pada penggaraman 25%

berdasarkan lama penyimpanan ...34

7. Hasil pengamatan perubahan pH pada ikan pada berbagai penyimpanan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Morfologi larva Anisakidae ... 9

2. Siklus hidup larva Anisakidae... 11

3. Prosedur identifikasi larva dengan menggunakan pewarnaan minyak

cengkeh... 20

4. Sampel ikan yang dipersiapkan untuk dicobakan pada perlakuan

penyimpanan suhu pembekuan dan penggaraman... 21

5. Infeksi larva Anisakidae pada ikan kembung (Rastrelliger spp.)

menurut spesiesnya... 22

6. Larva Anisakidae berdasarkan spesiesnya... 23

7. Sejumlah larva berdasarkan lokasi pada organ ikan... 26

8. Rata-rata intensitas larva Anisakidae pada ikan kembung (Rastrelliger

spp.) menurut panjang ikan... 27

9. Ketahanan hidup larva pada penyimpanan suhu pembekuan -2 oC

terhadap waktu 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 168 jam... 29

10. Ketahanan hidup larva pada penyimpanan suhu pembekuan -20 oC

terhadap waktu 24 jam, 48 jam, 72jam dan 168 jam... 31

11. Beberapa kerusakan pada membran, usofagus, intestinal, pada larva

cacing Anisakidae pada proses pembekuan dan penggaraman... 33

12. Ketahanan hidup Larva pada penggaraman 25% terhadap waktu 6 jam,

(15)

Halaman 1. Sejumlah ikan yang dicobakan larva Anisakidae pada penyimpanan

-2 oC dan -20 oC dan penggaraman 25% berdasarkan

ukurannya……….. 46

2. Hasil pengolahan data terhadap ketahanan hidup larva pada

penyimpanan suhu pembekuan -2 oC……….... 47

3. Hasil pengolahan data terhadap ketahanan hidup larva pada

penyimpanan suhu pembekuan -20 oC……….. 48

4. Hasil pengolahan data terhadap ketahanan hidup larva pada proses

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan ikan sebagai salah satu

sumber protein hewani utama. Sumbangan protein dari ikan terhadap konsumsi

protein hewani nasional lebih besar (57.3%) dibandingkan dengan protein hewani

yang lain seperti daging (27.3%), telur (10.9%) dan susu (4.5%) (Deptan 1990).

Tingkat konsumsi ikan meningkat karena ikan merupakan sumber protein hewani

termurah. Ikan kembung (Rastrelliger spp.) adalah salah satu jenis ikan laut yang

pemasarannya tersebar luas dan digemari oleh sebagian besar masyarakat

Indonesia. Ikan kembung biasanya dimasak dan dihidangkan dalam bentuk ikan

bakar, ikan goreng, ikan gule, atau bentuk masakan lainnya.

Seperti jenis ikan lainnya, ikan kembung termasuk bahan makanan yang

mudah rusak apabila proses penanganan dan penyimpanannya tidak tepat.

Sebelum diolah ikan biasanya disimpan dalam beberapa cara, tergantung

kebiasaan dan kemampuan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang memiliki

lemari es (refrigerator) menyimpan ikan dalam lemari es atau freezer untuk

beberapa hari dan bagi masyarakat yang tidak memilikinya menyimpan ikan pada

suhu kamar untuk beberapa waktu sebelum dimasak. Cara lain yang banyak

dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk mengawetkan ikan yaitu dengan

penggaraman.

Daging ikan yang dikonsumsi dalam keadaan matang tidak akan

menimbulkan masalah kesehatan, tetapi bila dikonsumsi dalam keadaan kurang

matang atau mentah maka kemungkinan adanya larva cacing zoonosis khususnya

larva Anisakidae akan berdampak pada kesehatan. Pada suku-suku tertentu di

Indonesia, terdapat jenis makanan berbahan daging ikan yang dikonsumsi dalam

keadaan tidak dimasak, cukup dengan memberi cuka atau asam beserta

bumbu-bumbu secukupnya, misalnya na niura di daerah Tapanuli dan lawara di Sulawesi

Selatan. Bangsa-bangsa lain juga mengenal hidangan-hidangan ikan mentah

seperti somfak di Thailand, sashimi di Jepang dan caviar di Siberia (Muller 1975).

Ikan kembung bisa berperan sebagai hospes perantara dalam siklus hidup

(17)

spp.) cacing masih dalam stadium larva, namun bila manusia makan daging ikan

mentah atau kurang masak, larva cacing dapat masuk ke tubuh manusia pada

mukosa lambung dan usus halus akan tetap hidup namun tidak mampu

berkembang menjadi dewasa dan tidak dapat hidup seperti cacing lainnya (Yman

2003).

Anisakiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing dari famili

Anisakidae dan tergolong zoonosis yang berbahaya. Sumber infeksi utama pada

manusia karena mengkonsumsi ikan mentah yang tidak disimpan dalam freezer

lemari pendingin, ikan asin yang tidak sempurna penggaramannya dan ikan asap

yang tidak sempurna pengasapannya (Acha dan Szifres 2003). Infeksi parasit pada

manusia akan menimbulkan reaksi alergis yang meliputi urtikaria, anafilaksis,

dermatitis, gastroenteritis, sampai gejala asma (Bircher et al. 2000). Pada

anisakiasis lambung (gastric anisakiasis) gejala-gejala muncul 12 – 24 jam

setelah mengkonsumsi ikan mentah atau kurang masak yang meliputi nyeri pada

daerah epigastrium disertai mual dan muntah. Anisakiasis usus (intestinal

anisakiasis) terjadi setelah 7 hari setelah masa inkubasi larva yang ditandai oleh

nyeri yang hebat pada perut bagian bawah, mual, muntah, demam, diare dan

kadang-kadang ada darah dalam faeses (Ortega dan Cocera 2000).

Kejadian anisakiasis pada manusia pertama kali dilaporkan tahun 1968 yaitu

160 kasus ditemukan di Belanda, sehingga sejak saat itu ikan wajib dibekukan

(freezing) selama 24 jam sebelum dipasarkan untuk mengurangi kejadian

anisakiasis pada manusia. Jepang merupakan negara dengan angka prevalensi

tertinggi kasus anisakiasis yaitu 487 kasus terjadi selama tahun 1976 dan rata-rata

infeksi tertinggi pada kelompok umur 20-50 tahun, sedangkan di Korea Selatan

pada tahun 1989–1992 ditemukan 107 kasus. Kasus paling banyak disebabkan

oleh Anisakis simplex dan sisanya adalah Pseudoteranova sp.(Acha dan Szyfres

2003).

Belum banyak informasi tentang kejadian penyakit Anisakiasis di Indonesia.

Studi seroepidemiologi terhadap 244 pasien yang berkunjung di Rumah Sakit

Sidoarjo menunjukkan 11% seropositif terhadap antigen Anisakis sp. (Uga et al.

1996). Pengamatan pada ikan di beberapa perairan Indonesia menunjukkan

(18)

3

3 Sunda (67%), Laut Bali (67%) dan Laut Nusa Tenggara Timur (17%), ikan Tuna

di Laut Bali (67%) dan Laut Nusa Tenggara Timur (17%) dan ikan Kerapu di

Selat Sunda (25%), Laut Bali (43%) dan Laut Nusa Tenggara Timur (17%)

(Hariyadi 2006).

Pada era globalisasi batas antar negara akan semakin kabur dan mobilitas

manusia semakin cepat. Bangsa-bangsa lain yang datang ke Indonesia tentu saja

juga membawa kebiasaan dan kebudayaanya, termasuk kebiasaan dan budaya

makan. Seiring dengan hal itu di Indonesia khususnya Jakarta, semakin banyak

restoran-restoran asing yang menghidangkan daging ikan mentah atau setengah

matang yang cepat atau lambat akan berpeluang timbulnya kasus penyakit

parasiter khususnya Anisakiasis pada manusia.

Hasil penelitian Adams et al (1999) menunjukkan bahwa ikan yang

mengandung larva Anisakissimplex yang dimasak dengan oven microwave adalah

rata-rata ketahanan hidupnya adalah 31% pada suhu 60 oC, 11% pada suhu 65 oC,

dan 3% pada suhu 74 oC serta 0% pada suhu 77 oC. Pada penelitian Dong et al.

(2003) larva Anisakidae dapat terbunuh semua pada tekanan high-hydrostatic 200

Mpa dengan suhu 0–15 oC selama 10 menit. Pada penelitian Adams et al. (2005)

yang lain menemukan bahwa ketahanan hidup larva Anisakis simplex dengan

pembekuan -20 oC selama 60 jam mampu membunuh semua larva. Hasil

Penelitian di atas menunjukkan bahwa dengan pemanasan 74 oC daging ikan

belum terbebas dari larva cacing Anisakis simplex jika dikonsumsi.

Mengingat kemungkinan risiko penularan Anisakiasis melalui ikan kembung

(Rastrelliger spp.) yang banyak dikonsumsi masyarakat maka diperlukan

penelitian untuk mengidentifikasi keberadaan larva Anisakidae pada sampel ikan

kembung selanjutnya pula dipelajari pengaruh waktu penyimpanan pada suhu

pembekuan dan penggaraman terhadap daya tahan hidup larva Anisakidae pada

daging ikan kembung (Rastrelliger spp.) sebagai dasar untuk merancang program

pengendalian Anisakiasis.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

1. Mengidentifikasi keberadaan larva Anisakidae pada sampel ikan kembung

(19)

2. Mempelajari dampak penyimpanan beku dan penggaraman terhadap

ketahanan hidup larva Anisakidae pada daging ikan kembung (Rastrelliger

spp.).

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

keberadaan larva Anisakidae pada ikan kembung (Rastrelliger spp.) dan pengaruh

waktu penyimpanan pada suhu pembekuan dan penggaraman terhadap daya tahan

hidup larva. Selanjutnya diharapkan tersedia bahan pangan dari daging ikan yang

aman untuk dikonsumsi agar terhindar dari penyakit parasit yang ditimbulkan

akibat mengkonsumsi daging ikan mentah atau kurang masak.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis Penelitian ini adalah

1. Teridentifikasinya beberapa larva Anisakidae dari sampel ikan kembung yang

dikoleksi dari pelabuhan rakyat Muara Angke Jakarta.

2. Suhu penyimpanan beku -2 oC, -20 oC dan penggaraman 25% mempengaruhi

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Ikan Kembung

Ikan kembung(Rastrelliger Spp) merupakan spesies dengan populasi yang

terbanyak yang hidup hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Oleh

karenanya ikan kembung sangat mudah didapat di pasaran dengan harga yang

relatif terjangkau dan banyak dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Indonesia.

(Ditjen Perikanan 1990).

Klasifikasi ikan kembung adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Percomorphi

Famili : Scombridae

Genus : Rastrelliger

Ciri-ciri ikan kembung ini meliputi badan tidak langsing, pendek, gepeng,

tapisan insang halus berjumlah 29-34 buah, dan terdapat pada bagian bawah busur

insang pertama. Sisik pada garis rusuk 120-131 buah. Panjang usus 3-3.4 kali

panjang badan. Sirip punggung pertama berjari-jari lemah 12 buah. Di belakang

sirip punggung dan sirip dubur terdapat 5 jari-jari lepas (filet) (Saanin 1984).

Ikan kembung termasuk ikan pemakan plankton halus dan habitatnya

mendekati pantai serta membentuk gerombolan besar. Ikan kembung dapat

mencapai panjang 30 cm, namun umumnya 15-20 cm. Ikan kembung berwarna

biru kehijauan bagian atas, putih perak bagian bawah, totol-totol hitam pada

bagian punggung (diatas garis rusuk). Sirip punggung pertama kuning keabuan,

dengan pinggiran gelap. Sirip dada, perut kuning maya-maya, sedikit gelap dan

lain-lain sirip kekuningan (Ditjen Perikanan 1990).

Menurut Ditjen Perikanan (1990) daerah penyebaran ikan kembung meliputi

pantai Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut

Jawa, Selat Malaka, Muna-Buton, Arafuru. Ikan kembung merupakan spesies

epipelagic dan neritic yaitu ikan yang hidup pada permukaan laut, bergerombol

dan menyukai daerah dengan suhu permukaan minimum 17 oC, suhu optimum

(21)

Komposisi dan Nilai Gizi Ikan Kembung

Ikan kembung mengandung beberapa jenis senyawa kimia, antara lain yang

dominan yaitu air, protein, lemak dan mineral. Senyawa kimia yang bernilai gizi

yaitu protein, lemak dan mineral sedangkan air merupakan penyusun terbesar

yang kurang mempunyai nilai gizi. Selain senyawa bergizi tersebut, ikan

mengandung vitamin yang mempunyai nilai gizi yang cukup berarti. Komposisi

dan nilai gizi ikan kembung tercantum pada Tabel 1.

Ikan kembung termasuk jenis ikan mackerel. Ikan mackerel digolongkan

sebagai ikan kategori B yaitu mengandung minyak sedang (medium oil) 5-15%

dan berprotein tinggi (high protein) 15-20%. Namun juga dapat dikatakan tipe C

yaitu mengandung minyak tinggi (high oil) lebih dari 15% (Stansby 1982).

Proses Perubahan pada Ikan

Proses perubahan pada tubuh ikan terjadi karena adanya aktivitas enzim,

mikroorganisma, dan kimiawi (Hadiwiyoto 1993). Akibat dari ketiga perubahan

ini berbeda-beda menurut jenis ikan. Ikan-ikan yang berdaging putih yang

mempunyai kadar lemak rendah, proses oksidasi tidak begitu merupakan masalah

yang serius selama penyimpanan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan

fisik maupun kimiawi berlangsung cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya

mengarah ke pembusukan.

Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi ikan kembung (dalam 100 gram daging)

Kandungan Jumlah

Sumber : Hardinsyah dan Briawan (1990)

Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu seri perubahan kimiawi

(22)

7

7 sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan

glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan

menurun diikuti pula dengan penurunan jumlah ATP serta jaringan otot tidak

mampu mempertahankan kekenyalannya.

Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja

secara aktif tetapi sistim kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ

pengontrol tidak berfungsi lagi. Akibatnya enzim ini dapat merusak organ tubuh

lain. Peristiwa ini disebut autolisis dan berlangsung setelah ikan melewati fase

rigor mortis. Ciri terjadinya perubahan secara autolisis ini adalah dengan

dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir (Martin et al. 1986).

Pola Migrasi Mamalia Laut sebagai Inang Definitif Cacing Anisakidae

Mamalia laut seperti Lumba-lumba dan Paus merupakan inang definitif dari

cacing Anisakidae. Walaupun cacing ini merupakan parasit yang lazim ditemukan

dalam tubuh beberapa mamalia laut, pola migrasi dari Lumba-lumba ataupun Paus

dapat menjadi sarana penyebaran cacing parasitik tersebut kepada satwa lainnya.

Perairan Indonesia di sekitar Taman Nasional Komodo, pulau Alor, pulau Antar,

dan Lembata, Nusa Tenggara Timur merupakan jalur lintasan ikan Paus dari

Samudra Pasifik dan perairan Timur Indonesia ke Samudra Indonesia dan juga

sebaliknya melewati daerah ini disamping satwa setempat (residen) yang

menggunakan jalur lintasan ini sebagai daerah jelajah mereka (Kahn 2001;

Pet-Soede 2002).

Infestasi dan sebaran parasit ini pada ikan sangat terkait erat dengan

ketahanan inang definitifnya yaitu mamalia laut. Daya tahan inang yang rendah

akan meningkatkan infestasi parasit cacing pada ikan yang mengakibatkan

kerusakan jaringan tubuh ikan. Dalam ekosistim laut, satwa yang menempati

posisi atas dalam piramida makanan memiliki risiko infestasi yang tinggi oleh

berbagai macam parasit apabila sumber pakan (mangsa) mereka telah terinfeksi

oleh parasit.

Dengan karakteristik parasit cacing dan reaksi terhadap perubahan

lingkungan yang berbeda-beda, cacing parasit nematoda memiliki potensi sebagai

(23)

sebagai bio-indikator kondisi perairan dan juga status kesehatan satwa liar itu

sendiri.

Morfologi dan Karakteristik Larva Cacing Anisakidae

Famili Anisakidae sering disebut juga sebagai kelompok cacing anisakis

yang sebenarnya terdiri dari beberapa spesies. Sejauh ini spesies-spesies yang

sudah dilaporkan menginfeksi manusia adalah Anisakis simplex, Pseudoterranova

sp.dan Contracaecum sp. Kadang-kadang spesies Contracaecum sp. disebut juga

sebagai spesies Hysterothylscium. Dari keempat spesies ini yang paling banyak

menginfeksi manusia adalah Anisakis simplex (Sakanari dan McKerrow 1989;

Miyazaki 1991).

Keterkaitan antara panjang larva A. Simplex terhadap usia ikan telah

dilaporkan oleh Strømnes dan Andersen (2003) bahwa sejumlah larva 3 A.

simplex memiliki panjang lebih dari 28 mm dan terus bertambah panjangnya

seiring dengan bertambahnya usia ikan.

Larva Anisakis simplex mempunyai panjang 11.2–34.5 mm, lebar 0.44–0.55

mm usofagusnya relatif panjang dan disertai oleh jaringan kelenjar, tidak

mempunyai apendiks atau sekum, bibirnya tidak jelas, giginya menonjol ke depan

dan mempunyai saluran pencernaan yang sederhana yaitu usofagus, ventrikulus

dan usus halus (intestine) sedangkan Pseudoterranova sp mempunyai usofagus,

venrikulus, usus halus (intestine) dan sekum secara langsung berada pada bagian

anteriornya dengan total panjangnya 25–50 mm dan lebar 0.3–1.2 mm

sebagaimana terlihat pada Gambar 1 (Hurst 1984; Sakanari dan McKerrow 1989).

Berbeda dengan ukuran cacing dewasa anisakis mempunyai ukuran panjang untuk

cacing dewasa jantan yaitu 38-60 mm dan untuk cacing dewasa betina yaitu 45-

(24)

9

9 Gambar 1 Morfologi larva Anisakidae. A–E Larva 3 Anisakis simplex, F–J Larva

3 Pseudoterranova. A dan F dilihat dari anterior dan lateral; B dan G kepala dilihat dari lateral; C dan H kepala dilihat dari sagital; D dan I dilihat dari posterior dan lateral; E dan J ekstremitas posterior (mukron). LT (gigi); EP(ekskresi); I (intestin); IC (intestinalsekum); O (usofagus); VN (ventrikulus) (Hurst 1984).

Siklus Hidup Larva Anisakidae

Laporan menyebutkan bahwa angka infeksi pada Lumba-lumba bisa

mencapai 70% dan jumlah cacing pada seekor ikan Lumba-lumba bisa mencapai

1.200 ekor cacing. Survei yang dilakukan oleh Beron-Vera et al. (2001) pada

Lumba-lumba Commerson (Cephalorhynchus commersonii) di perairan Atlantik

Selatan menunjukkan bahwa nematoda dari spesies Anisakis memiliki prevalensi

yang tinggi (100% di Patagonia bagian tengah dan 87% di Tiera del Fuego)

dengan rata-rata intensitas yang berbeda (21 di Patagonia dan 9 di Tiera del

Fuego). Dengan demikian, nematoda zoonotik seperti Anisakis sp. memiliki

potensi untuk dijadikan indikator perairan, atau kondisi kesehatan satwa liar yang

(25)

Telur yang keluar bersama tinja hospes definitifnya akan menetas di air.

Larva stadium kedua yang keluar dari telur akan ditelan oleh hospes perantara

pertama lalu berkembang menjadi larva stadium ketiga awal. Hospes perantara

pertamanya adalah udang Thysanoessa dan Euphausia. Bila hospes perantara ini

dimakan oleh hospes perantara kedua, di dalam tubuhnya larva berkembang

menjadi larva stadium ketiga lanjut. Hospes perantara kedua dan hospes

parateniknya meliputi ikan (pisces) laut, cumi-cumi dari berbagai jenis, dan

membentuk rantai penularan satu dengan yang lain sedemikian kompleksnya.

Kedua kategori hospes ini (hospes perantara kedua dan paratenik) agak sulit

dibedakan, namun keduanya memegang peranan penting sebagai sumber infeksi

pada manusia. Diantaranya yang penting adalah: ikan pollack alaska, tengiri laut,

ikan hering, ikan forel (trout), ikan berkepala merah, ikan mackerel, ikan bonito

dan sebagainya. Larva terutama berparasit pada permukaan organ-organ di rongga

abdomen, demikian juga pada otot (Sakanari dan McKerrow 1989; Miyazaki

1991).

Cacing parasitik dari tiga perairan yang berbeda di Indonesia bagian selatan

telah diisolasi dan tercatat memiliki resiko zoonosis yaitu dari perairan Bali

adalah Anisakis sp., Pseudoterranova sp., dan Echinochasmus sp., dari perairan

Selat Sunda adalah Serrasentis sp. Bulbosona sp. dan Anisakis sp.

Pseudoterranova sp dan dari perairan Nusa Tenggara Timur genus Capillaria sp

(Hariyadi 2006).

Parasit yang masuk ke tubuh manusia adalah larva stadium ketiga yang

masuk bersama daging ikan yang dimakan. Dalam tubuh manusia larva akan

hidup dan pada umumnya tetap sebagai larva stadium ketiga, namun

kadang-kadang juga berkembang hingga larva stadium keempat atau larva yang sedang

berganti kulit. Dalam hal ini manusia berperan sebagai hospes paratenik.

Kebanyakan larva menyerang sub mukosa namun bisa juga mencapai organ-organ

di rongga abdomen (Miyazaki 1991).

Infeksi cacing parasitik akibat predasi dan juga ingesti larva telah dipelajari

dalam penelitian Køie (2001) yang menunjukkan bahwa jenis ikan Gasterosteus

aculeatus terinfeksi cacing Anisakis sp. akibat memakan inang (krustasea atau

(26)

11

11 melakukan enkapsulasi di jaringan otot ikan Gasterosteus aculeatus dan

Plathicthys flesus (ikan sebelah) dimana larva tersebut dapat bertahan hidup

sampai 2 tahun.

Gambar 2 Siklus hidup larva Anisakidae

Berdasarkan siklus hidup pada Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut

(a) telur anisakis dewasa dikeluarkan dari tubuh ikan mamalia laut melalui faeses.

Telur menetas menjadi larva (b) dimakan oleh udang Thysanoessa dan Euphausia

(c). Ikan dan cumi-cumi (d) menjadi terinfeksi setelah makan udang. Manusia

terinfeksi (e) jika makan ikan atau cumi mentah atau kurang masak (Sakanari dan

McKerrow 1989).

Prevalensi dan Intensitas Larva Anisakidae

Tingkat penularan suatu parasit pada ikan dinyatakan dalam prevalensi dan

intensitas. Prevalensi menggambarkan besarnya presentase ikan yang terserang

parasit pada suatu populasi ikan, sedangkan intensitas menggambarkan

(27)

suatu parasit dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti jenis ikan, ukuran ikan,

umur ikan, jenis kelamin ikan, waktu dan tempat serta kondisi perairan tempat

ikan itu berada. Intensitas larva nematoda yang tinggi dalam tiap gram daging

ikan disebabkan oleh kondisi sistim pertahanan inang (IL-4 dan IL-10) yang

menyebabkan larva Anisakidae bermigrasi ke luar saluran cerna dan memilih

jaringan lemak di mesenterium usus untuk bertahan hidup dan tumbuh (Schopf et

al. 2002; Stromnes dan Andersen 2003). Lokasi mesenterium ini berdekatan

dengan daging (otot) di sekeliling abdomen.

Dikatakan pula perubahan fauna parasit pada ikan bukan hanya disebabkan

oleh peningkatan daya tahan tubuh ikan (imunitas ikan), tetapi juga akibat faktor

ekologis seperti perubahan diet ikan dan migrasi ikan. Namun demikian secara

umum parasit lebih banyak ditemukan pada anak ikan baik jenis maupun besarnya

populasi parasit pada individu ikan. Hal ini beralasan mengingat anak ikan

mempunyai tubuh yang lebih lunak, rentan terhadap perubahan nutrisi dan

lingkungan selain daya resistensi masih rendah akibat sistim imunitas yang belum

berkembang (Hadiroseyani 1992).

Menurut Rocka (2004) dan Roepstorff et al. (1993) bahwa larva parasitik

nematoda stadium dewasa pada ikan mamalia laut pada umumnya ditemukan pada

usus, mesenterium dan otot ikan, larva anisakis terdapat juga di dalam daging ikan

(flesh), distribusi larva anisakis dalam jaringan ikan horse-mackerel adalah pada

rongga perut 61.2%, organ viseral 37% dan jaringan otot 1.8%, menurut laporan

Adroher et al. (1995) bahwa prevalensi infeksi anisakis menurut lokasi parasit

dalam jaringan ikan adalah rongga perut 83%, organ viseral 45.6% dan jaringan

otot 3.3%.

Cacing parasitik nematoda dapat menginfeksi semua jenis ikan dengan

variasi intensitas yang beragam, trematoda hanya menginfeksi ikan ekor kuning

dan kerapu dengan pengecualian pada beberapa ikan tuna dan acanthocephala

hanya menginfeksi ikan tuna, ini menunjukkan bahwa banyaknya nematoda dan

acanthocephala sangat bervariasi (Hariyadi 2006 ). Menurut laporan Nabib &

Pasaribu (1989) bahwa variasi intensitas disebabkan oleh banyaknya parasit

(28)

13

13 Penyakit pada Manusia dan Pengendaliannya

Anisakiasis dapat terjadi secara klinis dalam beberapa bentuk setelah larva

menembus jaringan mukosa usus berdasarkan penyebabnya, bentuk Anisakiasis

yang disebabkan oleh Pseudoterranova sp. kasus infeksinya pada umumnya tidak

menunjukkan gejala tetapi kadang-kadang larvanya bisa ditemukan ketika larva

hidup keluar melalui muntah atau dalam faeses.

Bentuk-bentuk invansif larva dapat menembus lambung atau sub mukosa

usus halus menyebabkan edema, erosi, ulser dan perdarahan. Gejala-gejala

Anisakiasis lambung terlihat 12 – 24 jam setelah mengkonsumsi ikan yang masih

mengandung larva hidup, yaitu tiba-tiba terjadi nyeri pada daerah epigastrium,

mual dan muntah. Gambaran klinis Anisakiasis gastrik mirip dengan peptik ulser,

tumor gaster, gastritis akut, kolesistitis dan gejala-gejala patologis gastro intestinal

yang lain (Acha dan Szyfres 2003). Masa inkubasi Anisakiasis intestinal adalah 7

hari dan menunjukkan beberapa gejala antara lain rasa sakit pada perut bagian

bawah, mual, muntah, demam, diare, dan adanya darah dalam faeses (Ortega dan

Cocera 2000).

Untuk mendiagnosa Anisakiasis dapat ditentukan dengan melihat

gejala-gejala klinis yang meliputi urtikaria akut, anafilaksis, mual dan muntah. Apabila

tidak menemukan adanya gejala-gejala klinis tersebut diagnosa dapat dilakukan

dengan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan

immunodiagnostik jika larva tidak dapat ditemukan di lambung dan usus halus

(Ortega dan Cocera 2000).

Sumber infeksi utama pada manusia adalah mengkonsumsi ikan mentah,

ikan penggaraman, dan pengasapan yang tidak sempurna serta tidak disimpan

dalam lemari pendingin (refrigerator dan freezer). Selanjutnya infeksi dapat

dicegah dengan tidak mengkonsumsi daging ikan mentah atau kurang masak.

Sebagian besar larva Anisakidae yang berbahaya bagi manusia mati jika disimpan

pada temperatur -20 oC selama 24-72 jam, ikan dimasak pada 70 oC atau

penggaraman dengan konsentransi garam yang merata pada semua permukaan

(29)

Kemampuan Hidup Larva Anisakidae pada Suhu Dingin dan Suhu Beku Proses pendinginan dan pembekuan banyak diaplikasikan untuk pengawetan

produk pangan segar dan olahan dengan tujuan untuk memperpanjang umur

simpannya. Pengawetan pada suhu rendah terjadi karena adanya penghambatan

aktivitas mikroorganisma, enzim dan reaksi kimia dan biokimia yang berperan

dalam kerusakan produk pangan. Pendinginan umumnya digunakan untuk

mengawetkan produk segar, seperti sayuran dan buah-buah, sedangkan

pembekuan digunakan untuk mengawetkan daging dan ikan segar dan produk

olahannya. Pembekuan (freezing) adalah penyimpanan bahan pangan di bawah

titik bekunya, dimana melibatkan proses perubahan fase air dari cair menjadi es

dan kristal es. Proses pembekuan dapat mencapai suhu -18 sampai -40 oC.

Menurut Palm et al. (1994) dalam Rocka (2004) prevalensi dan intensitas

infeksi pada ikan dengan P. decipiens di Laut Weddell lebih rendah dibandingkan

dengan dari Bagian Utara hal ini kemungkinan disebabkan oleh cacing

dipengaruhi oleh suhu dingin pada permukaan laut sehingga perkembangan telur

lebih lambat, temperatur air di bawah 0 oC menghambat L3 dalam ikan.

Menurut Wharton dan Aalders (2002) dan Doyle (2003) pembekuan

makanan yang dikonsumsi mentah seperti ikan dan daging lain pada temperatur

-20 oC selama 15 jam atau lebih dapat membunuh atau menginaktifkan beberapa

jenis parasit ikan. Penelitian Hilderbrand et al. (2003) dan penelitian Noble et al.

(1989) menunjukkan bahwa pembekuan pada temperatur -20 oC selama 24 jam

mampu membunuh larva anisakis. Pembekuan dengan temperatur yang lebih

rendah yaitu -35 oC selama 15 jam sudah dapat membunuh semua larva anisakis

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

dan Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan,

Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor, selama 7 bulan mulai bulan Desember

2006 sampai dengan Juni 2007.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama isolasi larva

cacing (stadium infektif) dari sampel ikan untuk mengumpulkan/koleksi larva

cacing Anisakidae pada ikan kembung (Rastrelliger spp.) yang diperoleh dari

pelabuhan rakyat Muara Angke Jakarta, serta tahap kedua uji ketahanan hidup

larva dalam filet ikan kembung yang diawetkan dengan pembekuan dan

penggaraman (Tabel 2).

Pada tahap pertama dilakukan pemeriksaan keberadaan larva Anisakidae

terhadap 104 ekor sampel ikan kembung yang didapatkan dari nelayan di

pelabuhan rakyat Muara Angke Jakarta. Pemeriksaan larva cacing dilakukan

dengan membedah ikan dan memeriksa organ pencernaan dan rongga

abdomennya. Larva yang ditemukan pada setiap sampel diisolasi dan dicatat

lokasi/habitatnya. Selanjutnya larva disimpan dalam NaCl 0.9% sebelum

digunakan untuk penelitian tahap kedua.

Dalam uji ketahanan hidup larva dibuat sebanyak 36 filet ikan kembung

yang bebas larva cacing. Di dalam masing-masing filet dimasukkan 3 – 5 ekor

larva Anisakidae hidup dan aktif yang dikoleksi dari percobaaan tahap pertama.

Larva tersebut ditempatkan sepanjang bagian filet atau diantara filet secara

horisontal.

Selanjutnya filet-filet tersebut secara acak dibagi menjadi 3 perlakuan yaitu

penyimpanan dalam suhu pembekuan -2 oC dan -20 oC selama 24 jam, 48 jam, 72

jam dan 168 jam serta penggaraman 25% selama 6 jam, 12 jam, 24 jam dan 48

jam. Pada setiap akhir periode perlakuan dilakukan pengamatan terhadap kondisi

(31)

Pada saat yang sama dilakukan pengamatan terhadap pH filet ikan menurut

metode Lukman et al. (2007) yaitu sebelum pengukuran, pH meter dikaliberasi

dengan menggunakan larutan standar ber pH 4.0 dan pH 7.0. Sebanyak 5 gram

contoh daging ikan ditambahkan 50 ml aqudest steril kemudian diblender dalam

stomacher selama 1 menit (60 detik). Kemudian gelas elektrode dimasukkan di

dalam ekstrak tersebut, setelah elektrode pH meter dimasukan ke dalam contoh,

dibiarkan beberapa waktu sampai nilai pH terbaca konstan. Pengukuran pH

dilakukan tiga kali pada tempat daging ikan yang berbeda.

Nilai pH diperoleh dari rata-rata ketiga hasil pengukuran. Setiap selesai

pencelupan atau pengukuran pada daging ikan, gelas elektrode dibilas secara

seksama dengan akuades, kemudian dikeringkan dengan kertas tisue. Kemudian

larva yang telah diamati difiksasi dalam alkohol 70% untuk diidentifikasi lanjutan

terhadap spesies larva.

Tabel 2 Penyimpanan larva Anisakidae pada suhu pembekuan dan penggaraman berdasarkan lama penyimpanan

Cara Penyimpanan Larva Anisakidae

Suhu Pembekuan Penggaraman

(32)

17

17 Koleksi dan Identifikasi Larva

Ikan yang akan diperiksa ditimbang beratnya dan diukur panjang serta

tebalnya lalu dibedah dengan membuat sayatan pada bagian ventral ikan. Sayatan

dimulai dari kloaka ke arah anterior sampai operkulum untuk memaparkan organ

pencernaan dan insang. Selanjutnya tubuh ikan disayat dari depan sampai ekor.

Sayatan dibuat sedemikian rupa sampai pisau menyentuh tulang-tulangnya agar

sisi daging yang telah tersayat itu nantinya dapat dibuka sehingga bentuk ikan

menjadi satu lembar. Dengan menggunakan kaca pembesar dilakukan pengamatan

untuk menemukan adanya larva di rongga abdomen dan organ pencernaan.

Dengan menggunakan metode Adams et al. (1999), organ pencernaan dan

peritoneum serta otot ikan di sekitar abdomen dikeluarkan dari dalam tubuh

dengan cara memisahkan antara usus, lambung, hati dan insang sebelum

dimasukkan dalam cawan petri berisi NaCl 0.9%. Organ pencernaan dibuka dan

dilakukan pengerokan mukosa dan otot sebelum diperiksa dengan mikroskop

dissecting untuk menemukan larva Anisakidae.

Larva Anisakidae yang ditemukan dicuci dan disimpan cawan petri berisi

NaCl 0.9%. Kondisi larva diperiksa dibawah mikroskop dan hanya larva yang

masih hidup, aktif serta kondisi morfologinya sempurna yang akan digunakan

untuk percobaan tahap kedua. Mengetahui apakah larva masih hidup larva cacing

Anisakidae diberikan rangsangan dengan sentuhan pinset. Larva hidup

memberikan reaksi terhadap rangsangan pinset atau forsep sedangkan larva mati

tidak memberikan reaksi atau kaku.

Identifikasi spesies larva yang telah digunakan dalam uji ketahanan hidup

selanjutnya diawetkan dalam etanol 70%. Larva yang telah diawetkan diwarnai

dengan minyak cengkeh. Pewarnaan KOH-minyak cengkeh dilakukan dengan

prosedur yaitu spesimen direndam dalam larutan KOH 1% (bubuk KOH

dilarutkan dalam akuades) selama 1-3 menit sampai kutikula/lapisan luar

spesimen terlihat agak melunak dan tembus pandang. Kemudian larva

dipindahkan ke dalam minyak cengkeh selama 1–3 menit sampai organ-organ

tubuh terlihat berwarna lebih jelas. Selanjutnya dilakukan dehidrasi spesimen

dengan alkohol bertahap (70%, 85%, 95%) sediaan dilekatkan (mounting)dengan

(33)

Identifikasi spesies larva Anisakidae menurut deskripsi Health Canada’s

(1995) berdasarkan pada ciri warna, ukuran dan morfologi pencernaan yaitu larva

tiga (L3) Anisakis simplex berwarna putih kecil dengan panjang 9-36 mm, struktur

pencernaan terdiri dari usofagus, ventrikulus, dan usus halus. Larva stadium tiga

(L3) Pseudoterranova berwarna coklat dengan panjang 9-58 mm dan pada bagian

anteriornya mempunyai intestinal caecum. Sedangkan larva stadium tiga (L3)

Contracaecum berwarna hijau kecoklat-coklatan dengan panjang 7-30 mm pada

bagian anterior ada intestinal caecum dan pada bagian posterior nampak

ventrikulus appendix.

Pembekuan

Filet ikan yang akan dibekukan dikemas dalam kantung plastik kecil

sebelum disimpan. Pada penyimpanan -2 oC ikan dimasukan ke dalam freezer dari

lemari pendingin rumah tangga. Pengawetan ikan dengan pembekuan -20 oC

menggunakan mesin pembeku freezer biomedical model MDF – 436.

Penggaraman

Garam yang digunakan dalam penelitian ini adalah garam dapur (NaCl)

yang dibeli dari pasar tradisional di pelabuhan rakyat Muara Angke dan paling

banyak digunakan oleh masyarakat dalam pengawetan ikan. Proses penggaraman

ikan menggunakan sistem penggaraman kering 25% dengan menggunakan

keranjang yang tembus air, agar nantinya air yang berasal dari penggaraman dapat

terkuras sampai tuntas dengan langkah-langkah Irawan (1995) yaitu menyiapkan

filet ikan yang hendak digarami. Kemudian ikan diletakan satu persatu di atas

landasan kayu, satu persatu pula garam digosokan ke seluruh tubuh ikan jadi

seluruh tubuh ikan baik bagian luar dilumuri dengan garam. Selanjutnya memberi

lapisan garam pada dasar keranjang kemudian meletakan ikan-ikan yang telah

dilumuri garam di atas lapisan garam yang ada di dasar keranjang kemudian di

atasnya kembali diberi lapisan garam dan perlakuan dengan penggaraman 25%

dan dijemur dibawah sinar matahari serta diamati ketahanan hidup larvanya

(34)

19

19 Analisis Statistika

Analisis untuk identifikasi larva dianalisis secara deskriptif yaitu dengan

menyajikannya dalam bentuk tabel dan grafik sedangkan untuk analisis ketahanan

hidup larva menggunakan regresi linear sederhana. Suhu, penggaraman dan lama

penyimpanan sebagai variabel independen dan persentase ketahanan hidup larva

sebagai variabel dependen dengan minitab 14 pada tingkat kepercayaan 95% (F <

(35)

Gambar 3 Prosedur identifikasi larva dengan menggunakan pewarnaan minyak cengkeh (A) bahan-bahan yang digunakan (B) sediaan dilekatkan (mounting) dengan entellan pada kaca obyek (C) mikroskop video mikro meter untuk identifikasi

A

B

(36)

21

21 Gambar 4 Sampel ikan yang dipersiapkan untuk dicobakan pada perlakuan

penyimpanan suhu pembekuan dan penggaraman (A) sampel ikan yang dibedah dari kloaka ke arah anterior (B) persiapan filet yang akan dimasukan larva hidup (C) filet ikan yang akan dicobakan pada beberapa metode penyimpanan

B

(37)

Identifikasi Larva

Dari pemeriksaan terhadap sampel ikan kembung (Rastrelliger spp.) yang

didapatkan dari nelayan di Pantai Jakarta ditemukan adanya infeksi larva

Anisakidae dengan prevalensi 58.7%. Rataan intensitas infeksi 3 larva per ekor

ikan dengan kisaran jumlah larva cacing yang ditemukan pada setiap ekor ikan

antara 1 – 7 ekor.

Dari 191 larva Anisakidae yang diteliti telah berhasil diidentifikasi

setidaknya tiga spesies yaitu Anisakis simplex (70.8%), Pseudoterranova sp.

(16.7%) dan Contracaecum sp. (12.5%) sebagaimana yang terlihat pada Gambar

5. Temuan ini sejalan dengan temuan Sakanari dan McKerrow (1989) dan

Miyazaki (1991) yang menyatakan bahwa famili Anisakidae sering disebut juga

sebagai kelompok cacing anisakis yang sebenarnya terdiri dari beberapa spesies.

Sejauh ini spesies-spesies yang sudah dilaporkan menginfeksi manusia

adalah Anisakis simplex, Pseudoterranova sp. dan Contracaecum sp.

Kadang-kadang spesies Contracaecum disebut juga sebagai spesies Hysterothylscium.

Identifikasi spesies larva Anisakidae menurut deskripsi Health Canada’s (1995)

berdasarkan pada ciri warna, ukuran dan morfologi pencernaan (Gambar 6).

(38)

23

23 Gambar 6 Larva Anisakidae berdasarkan spesiesnya (A) Anisakis simplex, (B)

Pseudoterranova sp.(C) Contracaecum sp (Pembesaran 40x). A

B

(39)

Tabel 3 Jumlah larva Anisakidae menurut lokasi parasit pada organ ikan kembung (Rastrelliger spp.)

Lokasi Jumlah Larva

Anisakidae

Prevalensi (%)

Hati

Rongga abdomen

Mesenterium dan dinding viseral Usus

Tingginya angka prevalensi larva anisakis simplex dalam penelitian ini yang

mencapai 70.8% dibandingkan dengan spesies-spesies yang lain merupakan suatu

indikasi bahwa hal ini perlu mendapatkan perhatian karena dari ketiga spesies dari

famili Anisakidae yang paling banyak menginfeksi manusia adalah Anisakis

simplex (Miyazaki 1991).

Larva Anisakidae ditemukan dan diisolasi pada organ pencernaan dan

rongga abdomen yang meliputi hati, peritoneum, mesenterium dan dinding organ

viseral serta dalam usus. Sebaran larva di setiap organ bervariasi yaitu

mesenterium dan dinding viseral (47.6%), kemudian hati (29.8%), rongga

abdomen (15.7%) dan usus 6.9% (Tabel 3). Pada rongga abdomen larva

menempel pada peritoneum. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya larva

cacing Anisakidae dalam otot/filet, namun seringkali larva Anisakidae ini terlihat

menempel membentuk seperti kista pada permukaan otot disekitar rongga

abdomen atau organ peritoneum.

Hasil penelitian ini yang tidak menemukan adanya larva dalam otot sejalan

dengan temuan larva anisakis yang relatif sedikit dalam otot pada ikan Barracouta

oleh Wharton et al. (1999) yaitu 0.3% dan ikan horse-mackerel oleh Roepstorff et

al. (1993) dan Adroher et al. (1995) yaitu 1.8%. Temuan yang terbanyak pada

mesenterium dan peritoneum yaitu 88.3%. Kemudian jika membandingkan

keberadaan larva pada otot hypaxial dan epiaxial ditemukan hanya ada satu

anisakis sp. dan satu pseudoterranova sp. di dalam otot epiaxial selebihnya

terdapat pada otot hypaxial (Hereas et al. 2000 ; Levsen et al. 2004).

Tingginya jumlah larva pada mesenterium dan dinding viseral dibandingkan

dalam organ pencernaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Schopf et al.

(40)

25

25 yang menyebabkan larva Anisakidae bermigrasi ke luar saluran cerna dan memilih

jaringan lemak di mesenterium usus dan dinding viseral untuk bertahan hidup dan

tumbuh.

Lokasi mesenterium berdekatan dengan daging (otot) di sekeliling abdomen

sehingga larva ditemukan pada otot di sekitar abdomen sesuai juga dengan hasil

penelitian Hurst (1984) Sakanari dan McKerrow (1989) melaporkan bahwa dalam

tubuh ikan larva cacing Anisakidae ini terlihat melingkar dalam suatu kista yang

mengandung jaringan ikan dan menempel pada permukaan organ-organ perut.

Meskipun sebagian besar larva ditemukan pada rongga abdomen dan lebih

sedikit ditemukan pada otot daging kondisi ini cukup mempengaruhi kualitas dan

keamanan pangan bersumber dari ikan (Gambar 7). Oleh karena itu penanganan

yang tepat dengan cara mengeluarkan insang dan organ pencernaan serta

membersihkan rongga abdomen dan di sekelilingnya sebelum diolah untuk

konsumsi. Bagi sebagian orang yang mengkonsumsi ikan mentah atau kurang

masak sebaiknya tidak mengkonsumsi daging di sekitar rongga abdomen untuk

menghindari risiko zoonosis.

Parasit yang masuk ke tubuh manusia adalah larva stadium ketiga yang

masuk bersama daging ikan yang dimakan. Dalam tubuh manusia larva akan

hidup dan pada umumnya tetap sebagai larva stadium ketiga, namun

kadang-kadang juga berkembang hingga larva stadium keempat atau larva yang sedang

berganti kulit. Dalam hal ini manusia berperan sebagai hospes paratenik.

Kebanyakan larva menyerang sub mukosa namun bisa juga mencapai organ-organ

(41)

Gambar 7 Sejumlah larva berdasarkan lokasi pada organ ikan yaitu pada rongga abdomen (A), hati (B) dan permukaan organ pencernaan (C)

B

(42)

27

Gambar 8 Rata-rata intensitas larva Anisakidae pada ikan kembung (Rastrelliger spp.) menurut panjang ikan

Hasil pengamatan terhadap panjang dan berat badan ikan menunjukkan

bahwa intensitas infeksi larva Anisakidae tertinggi ditemukan pada ikan kembung

dengan kisaran panjang badan 18 – 19.5 cm dengan rata-rata intensitas 4 ekor

larva dalam tiap ekor ikan (Gambar 8). Intensitas infeksi sedikit lebih rendah pada

ikan-ikan dengan panjang badan yang lebih tinggi. Fenomena ini menunjukkan

bahwa intensitas infeksi tampaknya tidak terkait dengan ukuran tubuh ikan

kembung.

Keberadaan larva pada ikan mungkin lebih dipengaruhi oleh pola migrasi

mamalia laut sebagai inang definitif larva. Pada beberapa ikan kembung yang

diamati terdapat kelimpahan parasit yang lebih banyak jika menemukan udang

sebagai makanan ikan dalam saluran pencernaan ikan terutama pada lambung dan

usus. Hal ini terkait dengan siklus hidup larva yaitu telur cacing Anisakidae yang

keluar bersama tinja mamalia laut seperti ikan Lumba-lumba dan Paus akan

menetas di air (Sakanari dan McKerrow 1989). Larva stadium kedua yang keluar

dari telur akan ditelan oleh hospes perantara pertama lalu berkembang menjadi

larva stadium ketiga awal. Hospes perantara pertamanya adalah udang

Thysanoessa dan Euphausia. Bila hospes perantara ini dimakan oleh hospes

(43)

ketiga lanjut. Hospes perantara kedua dan hospes parateniknya meliputi ikan laut,

cumi-cumi dari berbagai jenis, dan membentuk rantai penularan satu dengan yang

lain sedemikian kompleksnya. Kedua kategori hospes ini (hospes perantara kedua

dan paratenik) agak sulit dibedakan, namun keduanya memegang peranan penting

sebagai sumber infeksi pada manusia.

Ketahanan Hidup Larva dengan Suhu Pembekuan

Untuk menganalisis ketahanan hidup larva, ikan yang dicobakan dipilih dari

ukuran atau karakteristik yang hampir sama (Lampiran 1). Hasil uji ketahanan

hidup larva Anisakidae dalam filet ikan kembung yang disimpan dalam kondisi

suhu pembekuan -2 oC disajikan dalam Tabel 4.

Semua larva Anisakidae masih dapat bertahan hidup setelah disimpan dalam

freezer dari lemari pendingin pada suhu -2 oC selama 24 jam. Selanjutnya

persentase larva yang hidup semakin menurun seiring dengan bertambahnya

waktu penyimpanan yaitu rata-rata 93.3% (48 jam) dan rata-rata 87% (72 jam).

Pada akhir percobaan sebanyak rata-rata 40% larva masih hidup setelah disimpan

selama 168 jam .

Tabel 4 Hasil pengamatan larva Anisakidae pada penyimpanan -2 oC berdasarkan lama penyimpanan

(44)

29

29 Persentase ketahanan hidup larva Anisakidae di dalam fillet ikan kembung

(Rastrelliger spp.) setelah penyimpanan beku -2 oC menurun secara linear, dengan

waktu pembekuan 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 168 jam (Gambar 9). Persamaan

regresi yang menggambarkan persentase ketahanan hidup (y dalam %) dan lama

penyimpanan (x dalam jam) yakni y=113 - 0.428x dengan nilai (R2=0.82,

P<0.05).

Semua larva Anisakidae masih dapat bertahan hidup setelah disimpan dalam

freezer pada suhu -20 oC selama 24 jam. Selanjutnya persentase larva yang hidup

semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan sebagaimana

tergambar dalam Tabel 5 yaitu rata-rata 93.3% (48 jam) dan rata-rata 75% (72

jam). Pada akhir percobaan semua larva telah mati, sedangkan pada penelitian lain

Adams et al. (2005) melaporkan bahwa ketahanan hidup larva Anisakis simplex

dengan pembekuan -20 oC selama 60 jam dapat membunuh semua larva .

Lama Penyimpanan (Jam)

Gambar 9 Ketahanan hidup larva pada penyimpanan suhu pembekuan -2 oC terhadap waktu 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 168 jam.

y=113-0.428x R2

(45)

Tabel 5 Hasil pengamatan larva Anisakidae pada penyimpanan -20 oC berdasarkan lama penyimpanan

Cara Penyimpanan larva Anisakidae Lama

Persentase ketahanan hidup larva Anisakidae di dalam fillet ikan kembung

(Rastrelliger spp.) setelah penyimpanan beku -20 oC menurun secara linear pada

waktu penyimpanan beku 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 168 jam (Gambar 10).

Persamaan regresi yang menggambarkan persentase ketahanan hidup (y dalam

persen) dan waktu penyimpanan (x dalam jam) yakni y=124 - 0.724x dengan nilai

(46)

31

Gambar 10 Ketahanan hidup larva pada penyimpanan suhu pembekuan -20 oC terhadap waktu 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 168 jam.

Kematian larva dalam proses pembekuan terjadi akibat kerusakan struktur

internal larva yang diperlihatkan pada kerusakan usofagus dan usus dari larva.

Menurut Deardorff dan Throm (1988) hal ini terjadi karena pembekuan

mengakibatkan perubahan bentuk cairan intraseluler larva menjadi kristal es.

Kerusakan lain juga terjadi pada membran larva yang mengakibatkan

berkurangnya cairan pada larva sebagai akibat meningkatnya konsentrasi cairan

terlarut pada larva (Gambar 11 A dan B).

Proses pembekuan yang disebabkan penurunan suhu ditandai oleh dengan

semakin meningkatnya suhu pembekuan maka mempercepat pembentukan es

sehingga air akan ditarik dalam cairan sel daging ikan yang mengandung kadar air

antara 60–80% dan cairan itu akan semakin menjadi kental dan dapat merubah

cairan tubuh ikan menjadi kristal-kristal es sehingga kegiatan larva cacing akan

terganggu dan sulit menyerap makanan.

Larva Anisakidae lebih sensitif terhadap kondisi pembekuan (freezing)

dibandingkan dengan Trichinella dimana kondisi suhu dan lama penyimpanan

yang diperlukan untuk membunuh larva Trichinella spiralis yaitu -24 oC selama

20 hari dan -29 oC selama 12 hari (Rieman dan Bryan 1979).

y=124-0.724x R2

(47)

Menurunnya ketahanan hidup larva setelah penyimpanan 72 jam dan 168

jam terjadi setelah dalam proses pembekuan pada ikan kembung yakni panas

terenyahkan dari ikan, mengakibatkan suhu menurun hingga jauh di bawah 0 oC.

Menurut Ilyas (1983) proses pembekuan pada ikan melalui tiga tahap yaitu

pertama berlangsung cepat mencapai sedikit di bawah 0 oC kedua tahap

penahanan panas antara -1 oC hingga -6 oC (wilayah kritikal) bagian terbesar air

(80–90%) diubah jadi kristal es ketiga penurunan suhu relatif cepat mencapai titik

pembekuan akhir yang sama dengan suhu penyimpanan beku (-18 oC atau lebih

rendah) suhu turun cepat karena sisa air atau panas pada ikan tinggal sedikit.

Ketahanan hidup larva pada -2 oC sampai dengan 168 jam kemungkinan

disebabkan oleh bahwa pada penyimpanan pada -2 oC menurut Ilyas (1983) hanya

mampu membekukan cairan yang ada dalam tubuh ikan sebesar 61%. Masih ada

39% cairan yang ada dalam tubuh ikan yang belum diubah menjadi kristal-kristal

es yang dapat dijadikan larva sebagai media makanan. Sebaliknya pada

penyimpanan -20 oC dapat mengubah 90% cairan dalam tubuh ikan menjadi

kristal-kristal es, sehingga larva akan sulit menyerap makanan dalam tubuh ikan

(48)

33

33 Gambar 11 Beberapa kerusakan pada kutikula/membran (c/m), usofagus (u),

intestinal (i), pada larva Anisakidae karena proses pembekuan -2 oC (A), -20 oC (B), dan Penggaraman 25% (C) serta tanpa perlakuan (D) (Pembesaran 40x)

A

B

C

D

c/m i

u

c/m

i

u

u

i c/m

i

u

(49)

Ketahanan Hidup Larva dengan Proses Penggaraman 25%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan waktu penggaraman terhadap

ketahanan hidup larva Anisakidae ikan kembung (Rastrelliger spp.) menyebabkan

ketahanan hidup larva menurun ditunjukkan dengan persentase kematian yang

meningkat. Pada waktu penggaraman 6 dan 12 jam larva Anisakidae pada ikan

kembung (Rastrelliger spp.) masih mampu bertahan hidup yakni dengan

persentase masing-masing rata-rata 53.3% dan rata-rata 46.7%, sementara untuk

waktu penggaraman 48 dan 72 jam, semua larva Anisakidae ikan kembung

(Rastrelliger spp.) telah mati sebagaimana terlihat dalam Tabel 6.

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) selama proses penggaraman 25%

telah terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan pengeluaran cairan dari

dalam tubuh ikan karena terjadi perbedaan konsentrasi. Cairan ini dengan cepat

akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan

dengan keluarnya cairan ini dalam tubuh ikan, partikel garam memasuki tubuh

ikan.

Tabel 6 Hasil pengamatan larva Anisakidae pada penggaraman 25% berdasarkan lama penyimpanan

Cara Penyimpanan larva Anisakidae Lama

(50)

35

35 Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan tersebut

semakin lambat dengan menurunnya konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan

meningkatnya konsentrasi garam di dalam tubuh ikan, bahkan akhirnya

pertukaran garam dan cairan tersebut berhenti sama sekali setelah terjadi

keseimbangan antara konsentrasi garam di dalam tubuh ikan dengan konsentrasi

garam di luar tubuh ikan.

Analisis terhadap ketahanan hidup Gambar 12 larva menunjukkan bahwa

presentase ketahanan hidup larva Anisakidae di dalam filet ikan kembung

(Rastrelliger spp.) setelah proses penggaraman 25% menurun secara linear, dari

waktu penggaraman dari 6 jam hingga 48 jam. Persamaan regresi yang

menggambarkan persentase ketahanan hidup (x dalam persen) dan waktu

penggaraman (y dalam jam) yakni y=54.8 - 1.32x dengan nilai (R2=0.67, P<0.05).

Lama Penyimpanan (Jam)

Gambar 12 Ketahanan hidup larva pada penggaraman 25% terhadap waktu 6 jam, 12 jam, 24 jam dan 48 jam.

(51)

Dengan penggaraman 25% pada ikan kembung ini sampai dengan 48 jam

dimana ikan dijemur di bawah sinar matahari langsung sampai kering untuk

membantu menurunkan kadar air sehingga menyebabkan air yang berada di dalam

tubuh ikan akan semakin kental dan kadar proteinnya menggumpal serta sel-sel

daging ikan mengkerut. Proses osmosis yang terjadi pada daging ikan juga terjadi

pada larva-larva Anisakidae sehingga mengakibatkan terjadinya plasmolisis yaitu

berkurangnya kadar air yang ada pada larva sehingga lama kelamaan larva

tersebut akan mati (Gambar 11 C).

Ketahanan hidup larva selama 6 sampai 12 jam kemungkinan disebabkan

oleh belum terjadinya plasmolisis secara sempurna baik pada ikan maupun pada

larva itu sendiri sehingga pada waktu pengamatan tersebut masih ada larva yang

masih bertahan hidup.

Pengamatan pH

Dari pengamatan perubahan pH didapatkan hasil bahwa ketiga jenis

perlakuan pembekuan -2 oC dan -20 oC serta penggaraman 25% meningkatkan

nilai pH pada daging ikan. Pada penyimpanan -20 oC selama 24 jam dari pH 6.6

naik menjadi 6.8, 6.8 dan 6.9 pada penyimpanan selama 48 jam, 72 jam dan 7 hari

ternyata kenaikan pHnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyimpanan -2

o

C dan penggaraman 25% sebagaimana terlihat dalam Tabel 7.

Perubahan pH ini berkaitan dengan perubahan rigormortis pada ikan yang

merupakan akibat dari suatu seri perubahan kimiawi yang kompleks di dalam otot

ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai

oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat.

Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun diikuti pula dengan

penurunan jumlah ATP serta jaringan otot tidak mampu mempertahankan

kekenyalannya.

Menurut Ilyas (1983) pada fase rigor mortis maksimum pH menurun sampai

sekitar 6.2 sampai 6.6. Adapun nilai pH mula-mula pada ikan laut sekitar 6.1

sampai 7.0. Tinggi rendahnya pH ikan mula-mula sangat tergantung pada jumlah

glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan.

(52)

37

37 laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa menguap (volatile base). Setelah fase rigor

mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung, maka pH daging ikan naik

mendekati netral, lalu sekitar 7.5 sampai 8.0 atau dapat lebih tinggi bila

pembusukan telah sangat parah, hal ini disebabkan senyawa-senyawa yang

bersifat basa. Oleh karena itu mula-mula pH naik dengan perlahan dan semakin

banyak senyawa-senyawa basa yang terbentuk maka semakin cepat kenaikan pH

itu (Hadiwiyoto 1993).

Kenaikan pH dalam penelitian ini menurut Ashie et al. (1996) berhubungan

dengan perubahan suhu, penurunan suhu yang cepat melalui pembekuan

(freezing) sampai dibawah -2 oC dan penggaraman 25% menghambat rusaknya

senyawa nitrogen untuk mengurangi pembusukan dimana sebelumnya telah

terjadi penurunan pH akibat dekomposisi (penguraian) nitrogen. Tetapi pada

kondisi seperti ini akan meningkatkan akumulasi amoniak dalam daging ikan

sehingga dapat mengakibatkan peningkatan pH karena bersifat basa.

Tabel 7 Hasil pengamatan perubahan pH pada ikan pada berbagai penyimpanan berdasarkan lamanya penyimpanan

Pengamatan pH

Suhu Pembekuan Penggaraman

Gambar

Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi ikan kembung (dalam 100 gram daging)
Gambar 1  Morfologi larva Anisakidae. A–E Larva 3 Anisakis simplex, F–J Larva 3 Pseudoterranova
Gambar 2  Siklus hidup larva Anisakidae
Tabel 2  Penyimpanan larva Anisakidae pada suhu pembekuan dan penggaraman berdasarkan lama penyimpanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jadi pada triwulan I 2011 dari perhitungan Z-Scorenya menghasilkan nilai Z yang sebesar -1.39 yang berarti bahwa nilai Z&lt;1,88 dan perusahaan mengalami kebangkrutan

Sesuai dengan tugas fungsi dan tata kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Lombok Barat, maka maksud dibuatnya Renstra Tahun 2015-2019 adalah memberi arah

musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing – masing pihak memberikan kontribusi

Perhatian Berwirausaha Iluni Prodi D3 Jurusan KK FT UNP Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh kategori skor tentang minat berwirausaha dengan sub indikator

Tidak terdapat pengaruh interaksi antara perlakuan pupuk organik dan NPK majemuk pada semua peubah yang mungkin disebabkan tanaman kelapa sawit belum mampu merespon

Hasil olah data DiD menunjukkan Neraca Pembayaran yang signifikan dan positif berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia di negara OKI dan Non OKI, sementara

Sehingga, manfaat lain dari penggunaan metode ARCH-GARCH dan metode ARIMA dalam memprediksi nilai IHSG, selain membantu investor mengambil keputusan dalam waktu

Dari studi bahasa pada zaman Yunani ini kita mengenal nama beberapa kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa ini, seperti