• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Simpanan Karbon Organik Ekosistem Mangrove Di Areal Perangkap Sedimen-Pesisir Cagar Alam Pulau Dua Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Simpanan Karbon Organik Ekosistem Mangrove Di Areal Perangkap Sedimen-Pesisir Cagar Alam Pulau Dua Banten"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON ORGANIK EKOSISTEM

MANGROVE DI AREAL PERANGKAP SEDIMEN-PESISIR

CAGAR ALAM PULAU DUA BANTEN

TYAS AYU LESTARI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Simpanan Karbon Organik Ekosistem Mangrove di Areal Perangkap Sedimen-Pesisir Cagar Alam Pulau Dua Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016 Tyas Ayu Lestari NIM P052130211

(4)

Mangrove di Areal Perangkap Sedimen-Pesisir Cagar Alam Pulau Dua Banten. Dibimbing oleh M. YANUAR J. PURWANTO dan IETJE WIENTARSIH.

Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) merupakan kawasan lindung yang tengah dipertahankan keberadaannya. Sejak terjadinya perubahan iklim, ancaman kenaikan muka air laut mulai terjadi di kawasan pesisir CAPD. Tahun 2009, masyarakat dan LSM/ NGO disana melakukan upaya perlindungan pesisir dengan memasang perangkap sedimen dari jaring ikan. Upaya tersebut mengalami beberapa kali pemasangan dengan bentuk perangkap yang berbeda, yaitu jaring ikan, pagar bambu, dan terakhir karung yang berisi pasir ditumpuk menyerupai benteng. Upaya pemasangan perangkap sedimen berhasil melindungi pesisir dan hutan mangrove CAPD dari ancaman kenaikan muka air laut dan abrasi.

Keuntungan lain yang dirasakan dari pemasangan perangkap sedimen adalah terbentuknya tanah timbul yang kemudian ditumbuhi vegetasi mangrove jenis Avicennia marina secara alami. Kondisi tanah timbul yang semakin stabil berpotensi menyimpan sejumlah karbon organik pada tanah timbul yang berupa sedimen maupun pada vegetasi mangrove yang tumbuh di sana. Karbon yang tersimpan pada sedimen dan vegetasi mangrove di sana dapat membantu menurunkan laju emisi gas rumah kaca (GRK) dalam rangka mengurangi pemanasan global akibat perubahan iklim. Berdasarkan fakta tersebut, tujuan penelitian adalah 1) menghitung jumlah total simpanan karbon (karbon vegetasi Avicennia marina dan sedimen) di area perangkap sedimen; 2) menentukan persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbon Avicennia marina

yang tumbuh di area perangkap sedimen; dan 3) menentukan strategi pengelolaan perangkap sedimen agar sedimen dan vegetasi mangrovenya tetap terjaga.

(5)

dimaksud adalah tinggi total (Tt) sebagai x1 dan diameter setinggi dada/ DBH

sebagai x2. Model persamaan alometrik yang dibangun sebanyak 40 model, 20

model dalam bentuk regresi linier sederhana dan 20 model lainnya merupakan model dalam bentuk logaritmik linier untuk menduga biomassa. Model persamaan allometrik untuk menduga massa karbon dikerjakan sama seperti mencari model persamaan allometrik untuk biomassa. Analisis terakhir dalam penelitian ini adalah mencari strategi pengelolaan perangkap sedimen di lokasi tersebut menggunakan teknik strentghs, weaknesses, opportunities, and threats atau SWOT. Teknik tersebut pada dasarnya mencari faktor dan faktor eksternal yang kemudian dilakukan pembobotan dan rating untuk memperoleh skor atau total nilai dari masing-masing faktor. Hasil akhirnya akan diketahui kondisi eksisting di lokasi penelitian serta strategi yang tepat untuk mengelola perangkap sedimen disana.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ekosistem mangrove yang berada di areal yang dipasang perangkap sedimen mampu menyimpan karbon total sebanyak 158.55 ton C atau 180.17 ton C/ha. Vegetasi mangrove menyimpan sebesar 31.52 ton C atau 35.82 ton C/ha dan dari sedimen menyimpan sebesar 127.03 ton C atau 144.35 ton C/ha. Total emisi karbondioksida (CO2) yang dapat

diserap sebanyak 581.88 ton CO2 atau 661.22 ton CO2/ha. Persamaan alometrik

terpilih untuk menduga biomassa Avicennia marina yang memiliki tinggi total 0-500 cm dan diameter batang ≤ 5 cm adalah Log Y = -7.42 + 1.79 (Log Tt) + 0.264 (Log DBH). Persamaan terpilih untuk menduga biomassa akar, batang, cabang, dan daun, yaitu Log Yakar = -8.37 + 1.94 (Log Tt), Log Ybatang = -8.83 + 1.99 (Log

Tt) + 0.419 (Log DBH), Log Ycabang = -8.63 + 2.01 (Log Tt), dan Log Ydaun =

-7.73 + 1.63 (Log Tt). Persamaan alometrik terpilih untuk menduga massa karbon Avicennia marina yang memiliki tinggi total 0-500 cm dan diameter batang ≤ 5 cm adalah Log Y = -8.20 + 1.92 (Log Tt) + 0.327 (Log DBH). Persamaan alometrik untuk massa karbon akar, batang, cabang, dan daun adalah Log Yakar =

-9.11 + 2.04 (Log Tt), Log Ybatang = -8.89 +2.06 (Log Tt) + 0.467 (Log DBH), Log

Ycabang = -9.41 + 2.13 (Log Tt), dan Log Ydaun = -8.46 + 1.64 (Log Tt).

Posisi pengelolaan perangkap sedimen saat ini berada pada kuadran IV, yaitu pada kondisi stabilitas (hati-hati). Kondisi ini menunjukkan bahwa strategi pemasangan perangkap sedimen di lokasi penelitian sudah tepat untuk meredam bencana (abrasi, gelombang tinggi, dan rhob) seperti tujuan awal pemasangannya. Namun, masih diperlukan upaya penguatan dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada untuk mengurangi ancaman yang muncul. Penguatan tersebut tertuang dalam strategi pengelolaan Weaknesses-Threats (W-T) melalui pembuatan tata aturan yang jelas tentang batasan wilayah tanah timbul hasil pemasangan perangkap sedimen, kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di lokasi penelitian, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem pesisir dalam meredam berbagai bencana.

(6)

TYAS AYU LESTARI. Estimation of The Ecosystem Mangrove Carbon Organic Storage in Sediment Trap Area-Pulau Dua Nature Reserve Banten. Superviseds by M.YANUAR J. PURWANTO and IETJE WIENTARSIH.

Pulau Dua Nature Reserve (CAPD) is a protected area that is the center maintained. Several years since the threat of sea level rise due to climate change began to occur in coastal CAPD. In 2009, society and non gouverment organisation (NGO) there efforts coastal protection by installing sediment traps from fishing nets. Sediment traps undergone several modification, that is fishing nets, bamboo fence, and the sack filled with sands stacked to resempble a fortress. These efforts succeeded protecting coastal CAPD and mangrove forest from the threat sea level rise and abrasion.

Another advantages of sediment traps is formed accretion area. The accretion area overgrown Avicennia marina naturally. Accretion area (sediment) and mangrove vegetation (Avicennia marina) potentially save carbon storage. Carbon storage at the sediment and mangrove vegetation can help lower emisis the greenhouse (GHG) to reduce global warming due to climate change. Based on the fact, the research has been done with the aims to 1) calculate the total carbon storage from vegetation mangrove Avicennia marina and sediment in the sediment traps area; 2) determine the allometric equations model for estimating biomass and carbon mass Avicennia marina in the sediment traps area; and 3) determine the sediment traps management strategies based on research result.

The research was conducted at the coastal CAPD and sample analysis was conducted at the Laboratory Kimia Kayu Forestry Faculty of Bogor Agricultural University and Laboratory Kimia Tanah-Cimanggu Bogor from February to September 2015. Sediment sample taken by drilled based on depth gradient, which is 0-10 cm, 10-50 cm, 50-100 cm, 100-200 cm, 200-300 cm, and 300-400 cm at 12 sampling points. Avicennia marina sample taken by destructive sampling (removing all parts of tree) based height gradient, which is 0-100 cm, 101-200 cm, 201-300 cm, 301-400 cm, and 401-500 cm. Vegetation sample taken as many as 30 trees. The sediment samples were analyzed by several test, which is the determination of bulk density (BD) test, determination of soil organic (% C-organic), and dry weight of the samples. The vegetation samples were analyzed by several tests, which is determination of moisture content, dry weight or biomass, volatile matter content, ash content, and % C-organic. All the information then analyzed to obtained the value of carbon storage both in sediments and mangrove vegetation. The information of biomass and carbon mass of vegetation Avicennia marina obtained from laboratory then used to find of allometric equation models. Allometric equation models were constructed consisting of two types models, that is linier regression models (Y = a + bx) and logarithmic linier models (Log Y = a + b Log x) with one or two variables. The variables is total height (Tt) as x1 and

diameter breast hight (DBH) as x2. Allometric equation models were built as

(7)

then analyzed to look for sediment traps management strategies. Analysis was performed using strength, weaknesses, opportunities, and threats techcnique or SWOT. The technique is basically looking for internal (strengths and weaknesses) and external factors (opportunities and threats). After further the internal and external factor were known to be weight and ratting to got score or total value of each factors. The last will be known the best of strategies to manage the mangrove ecosystem at the sediment trap.

The research result revealed that: 1) mangrove ecosystems at the sediment traps can stored as much total carbon 158.55 tons C or 180.17 tons C/ha. Mangrove vegetation can stored 31.52 tons C or 35.82 tons C/ha and sediment can stored 127.03 tons C or 144.35 tons C /ha. Total emissions of carbon dioxide (CO2) which can be absorbed as much as 581.88 tons of CO2 or 661.22 tons of

CO2/ha. Allometric equations for estimating biomass elected Avicennia marina

which has a total of 0-500 cm height and trunk diameter ≤ 5 cm is Log Y = -7.42 + 1.79 (Log Tt) + 0.264 (Log DBH). The equation was chosen to estimate the biomass of roots, trunk, branches, and leaves are Log Yroots = -8.37 + 1.94 (Log

Tt), Log Ytrunk = -8.83 + 1.99 (Log Tt) + 0.419 (Log DBH), Log Ybranches = -8.63 +

2.01 (Log Tt), and Log Yleaves = -7.73 + 1.63 (Log Tt). Allometric equation was

chosen to estimate the mass of carbon Avicennia marina which has a total of 0-500 cm height and trunk diameter ≤ 5cm is Log Y = -8.20 + 1.92 (Log Tt) + 0.327 (Log DBH). Allometric equations for the carbon mass of roots, trunk, branches and leaves are Log Yroots= -9.11 + 2:04 (Log Tt), Log Ytrunk = -8.89 +2.06 (Log Tt)

+ 0467 (Log DBH), Log Ybranches = -9.41 + 2.13 (Log Tt), and Log Yleaves = -8.46

+ 1.64 (Log DBH).

Now, the position of the management of sediment traps are in quadrant IV, namely the stability condition (be careful). This condition indicates that the strategy of trapping sediment in the study site was appropriate for reducing disasters (abrasion, high waves, and rhob) as the original purpose of installation. However, it still needs strengthening in a way to minimize the weaknesses that exist to mitigate emerging threats. Strengthening is contained in management strategies Weaknesses-Threats (W-T) through the creation of system clear rules on the restriction of land arising results trapping sediment, policy management of mangrove ecosystems in the study site, as well as increased public awareness of the importance of coastal ecosystems in reducing disasters.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB,

(9)

PENDUGAAN

SIMPANAN KARBON ORGANIK EKOSISTEM

MANGROVE DI AREAL PERANGKAP SEDIMEN PESISIR

CAGAR ALAM PULAU DUA BANTEN

TYAS AYU LESTARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat dan ridho-Nya maka pelaksanaan penelitian serta penulisan karya ilmiah yang berjudul Simpanan Karbon Ekosistem Mangrove di Areal Perangkap Sedimen Pesisir Cagar Alam Pulau Dua Banten dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S dan Prof. Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. M.Sc selaku komisi pembimbing atas semua arahan, bimbingan, dan segala bentuk dukungannya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku perwakilan dari Prodi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dan juga selaku pimpinan sidang ujian tesis atas saran dan masukan bagi penulis dan perbaikan karya ilmiah ini.

3. Seluruh dosen dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB atas semua dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan studi.

4. Direktur Wetlands International Indonesia (WII), Bapak I Nyoman Suryadiputra atas ijin dan bantuannya untuk pelaksanaan penelitian di lokasi kerja WII.

5. Kedua orang tua dan mertua: Ayahanda Ujang Sukanta dan Ibunda Nuryati, Ayahanda Asep Rahmat dan Ibunda Wawat Suparti, Adinda Irmayanti serta seluruh keluarga yang turut membantu dukungan moril dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

6. Suami Aswin Rahadian, dan ananda Ashagiselva Tasmira Rahadian atas segala doa, bantuan, dan semangat selama penyusunan karya ilmiah dari awal sampai akhir.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan PSL IPB angkatan 2013 atas segala kebersamaan, kekompakan, persahabatan, dan kekeluargaannya.

8. Pihak-pihak lainnya yang telah membantu pelaksanaan studi, penelitian, dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

(14)

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Mangrove 6

Mangrove Jenis Avicennia marina 7

Sedimen 8

Perangkap Sedimen 9

Biomassa dan Massa Karbon Mangrove 11

Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomassa dan Massa Karbon pada

Mangrove 12

3 METODE 13

Waktu dan Lokasi Penelitian 13

Alat dan Bahan 14

Metode Pengumpulan Data 15

Metode Analisis Data 16

4 GAMBARAN UMUM 23

Kondisi Umum 23

Sejarah Tanah Timbul 29

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 30

Simpanan Karbon Vegetasi Avicennia marina 30

Simpanan Karbon pada Sedimen 46

Strategi Pengelolaan Perangkap Sedimen 51

6 SIMPULAN DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 60

(15)

DAFTAR TABEL

1 Berbagai persamaan alometrik untuk menduga biomassa vegetasi

mangrove 13

2 Contoh tabel IFAS/ EFAS dalam analisis swot 22 3 Matriks analisis SWOT untuk strategi pengelolaan perangkap sedimen 23 4 Hasil analisis kualitas air secara in-situ di sekitar lokasi penelitian 28 5 Jumlah vegetasi Avicennia marina dan luasannya di lokasi penelitian 32 6 Kadar air Avicennia marina di lokasi penelitian 33 7 Biomassa Avicennia marina dalam satu pohon 33 8 Kadar zat terbang Avicennia marina a di lokasi penelitian 36 9 Kadar abu Avicennia marina di lokasi penelitian 36 10 Kadar C-organik Avicennia marina di lokasi penelitian 38 11 Massa karbon Avicennia marina dalam satu pohon 38 12 Hasil perhitungan biomassa Avicennia marina menggunakan

persamaan alometrik terpilih 44

13 Hasil perhitungan biomassa Avicennia marina a menggunakan

berbagai persamaan alometrik 44

14 Perbandingan hasil biomassa dengan berbagai persamaan

alometrik berdasarkan selang ketinggian 44

15 Perbandingan hasil biomassa dengan berbagai persamaan

alometrik berdasarkan setiap bagian Avicennia marina 44 16 Hasil perhitungan massa karbon Avicennia marina menggunakan

persamaan alometrik terpilih 45

17 Hasil perhitungan massa karbon Avicennia marina menggunakan

berbagai persamaan alometrik 45

18 Perbandingan hasil massa karbon dengan berbagai persamaan

alometrik berdasarkan selang ketinggian 46

19 Perbandingan hasil massa karbon dengan berbagai persamaan

alometrik berdasarkan setiap bagian Avicennia marina 46 20 Hasil analisis bulk density, % C-organik, dan massa karbon sedimen

di lokasi penelitian 48

(16)

1 Kerangka pikir penelitian 5 2 Contoh perangkap sedimen dengan struktur keras 10 3 Penjerapan sedimen menggunakan perangkap sedimen berstruktur 10

4 Perangkap sedimen dari jaring ikan 14

5 Perangkap sedimen dari pagar bambu 14

6 Perangkap sedimen dari karung berisi pasir 15 7 Peta sebaran titik pengambilan sampel sedimen 16

8 Matriks internal-eksternal 22

9 Lokasi penelitian berupa tanah timbul hasil perangkap sedimen 24 10 Foto udara area perangkap sedimen yang ditumbuhi Avicennia marina 25 11 Hamparan pantai berlumpur hasil perangkap sedimen di pesisir CAPD 26

12 Pola arus permukaan wilayah Teluk Banten 26

13 Material sedimen yang terangkut oleh arus sejajar pantai 27 14 Peta distribusi kelas tinggi vegetasi Avicennia marina 32 15 Biomassa total Avicennia marina yang tumbuh di lokasi penelitian 34 16 Massa karbon total Avicennia marina yang tumbuh di lokasi penelitian 38 17 Hubungan tinggi total dengan biomassa total 40 18 Hubungan tinggi total dengan massa karbon total 41

19 Hubungan DBH dengan biomassa total 41

20 Hubungan dDBH dengan massa karbon total 41

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perangkap sedimen di lokasi penelitian dari tahun 2011-2014 68 2 Persamaan alometrik untuk menduga biomassa Avicennia marina

berdasarkan kelas ketinggian 68

3 Persamaan alometrik untuk menduga biomassa Avicennia marina

berdasarkan bagian tumbuhan 69

4 Persamaan alometrik untuk menduga massa karbon

Avicennia marina berdasarkan kelas ketinggian 69

5 Persamaan alometrik untuk menduga massa karbon

Avicennia marina berdasarkan bagian tumbuhan 70

6 Matriks W-T (Weaknessess-Threats) strategi pengelolaan perangkap

sedimen di lokasi penelitian 71

7 Data dan hasil analisis bagian akar dari Avicennia marina 72 8 Data dan hasil analisis bagian batang dari Avicennia marina 72 9 Data dan hasil analisis bagian cabang dari Avicennia marina 73 10 Data dan hasil analisis bagian daun dari Avicennia marina 74 11 Hasil analisis biomassa. massa karbon, dan serapan karbondiokasida (CO2) 75

12 Data dan informasi sedimen/ substrat lumpur 75

13 Hasil analisis bulk density (BD) dan % c-organik sedimen/ substrat lumpur 77 14 Pengambilan sampel sedimen dan vegetasi Avicennia marina 78

15 Analisis sampel di laboratorium 79

(18)
(19)
(20)
(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim menjadi isu yang berkembang dengan cepat dan mempengaruhi kebijakan global dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Perubahan iklim merupakan perubahan pada unsur-unsur iklim, baik karena variabilitas alam atau akibat aktifitas manusia dalam kurun waktu yang panjang (IPCC 2001). Perubahan iklim disebabkan oleh parameter iklim yang berubah, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi antara jangka waktu lima puluh sampai seratus tahun. Perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan antropogenik melalui pemakaian bahan bakar fosil dan alih fungsi lahan. Perubahan iklim menyebabkan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi yang dipicu oleh kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer seperti karbondioksida (CO2) dan metana

(CH4) sehingga terjadi pemanasan global. Pemanasan global terjadi akibat adanya

efek rumah kaca karena menyerap cahaya infra-merah yang dipantulkan balik oleh bumi dari matahari. Panas yang terperangkap ini selanjutnya menyebabkan peningkatan suhu bumi (Widiatmaka 2013).

Robert (2011) dalam Widiatmaka (2013) menyatakan bahwa gas CO2

memberikan kontribusi yang paling besar terhadap efek rumah kaca. Konsentrasi CO2 di atmosfer ditambah dengan kemampuan memanaskannya maka CO2

memberikan sumbangan sekitar 55%. Komponen GRK lain yang mengisi atmosfer adalah metana sebanyak 17%, nitrat oksida 7%, dan gas-gas lain termasuk chlorofluorocarbon (CFC) sebesar 21%. Karbondiokasida juga memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan siklus karbon. Karbon di atmosfer digunakan dalam proses fotosintesis untuk membuat bahan makanan baru bagi tanaman. Secara global. Hal tersebut merupakan transfer karbon secara besar-besaran dari atmosfer ke bagian lain, yaitu tanaman. Proses fotosintesis ini dapat menyerat 120 PG C/tahun dari atmosfer dan kurang lebih 610 PGC dapat disimpan dalam tanaman dalam kurun waktu tertentu. Selain dalam proses fotosintesis, karbon di dunia juga tersimpan dalam beberapa kantong karbon (carbon pool), diantaranya kerak bumi, laut, atmosfer, dan ekosistem darat (terestrial). Karbon di atmosfer merupakan kantong karbon yang memiliki peran paling penting dalam menjaga kestabilan suhu bumi karena karbon di atmosfer sangat peka terhadap perubahan. Kepekaan tersebut akan berimbas pada efek rumah kaca dan perubahan iklim. Karbon yang tersimpan di atmosfer sebanyak 750 PGC sedangkan karbon yang tersimpan pada kerak bumi, laut, dan ekosistem darat berturut-turut sebesar 1x108 PGC, 3.8x104 PGC, dan 1.5x103 PGC. Selain di atmosfer, simpanan karbon yang tak kalah penting berada pada ekosistem darat karena akan mempengaruhi laju percepatan emisi karbon ke atmosfer jika tidak dijaga dengan baik. Perubahan sedikit saja terutama jumlah yang diemisikan lebih besar dibandingkan yang tersimpan akan mempengaruhi suhu permukaan bumi dan pada akhirnya kebijakan global juga akan berubah. Berbeda dengan karbon pada kerak bumi dan lautan yang lebih banyak tersimpan di bagian dasar sehingga potensi penyimpanannya lebih besar dibandingkan pelepasannya karena berada pada kedalaman yang tinggi (dasar kerak bumi dan lautan).

(22)

UNFCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) di Copenhagen pada Desember 2009, Indonesia mengumumkan komitmennya untuk mengurangi emisi karbon hingga 26% sampai tahun 2020 dengan upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Komitmen Indonesia tersebut tertuang dalam Pepres Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Perpres Nomor 71 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Pertimbangan untuk menurunkan GRK didasarkan kepada posisi geografis Indonesia yang sangat rentan terhadap berbagai bencana diantaranya diakibatkan oleh perubahan iklim. Berbagai bencana tersebut sudah dirasakan oleh masyarakat yang berada di daerah pesisir terutama kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut merupakan ancaman yang paling berbahaya karena menyebabkan peningkatan potensi banjir rhob dan erosi pantai.

Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) merupakan kawasan lindung seluas 30 ha dan sebagian besar wilayahnya merupakan hutan mangrove. Ancaman paling tinggi bagi keberadaan hutan mangrove disana adalah kenaikan muka air laut. Hasil analisis Sualia (2011) menunjukkan bahwa pada kenaikan air laut setinggi 50 cm maka kawasan CAPD akan terendam kurang lebih seluas 10 ha. Ancaman kenaikan muka air laut akan sangat dirasakan ketika musim angin barat (sekitar bulan Januari-Maret) karena kawasan pesisir CAPD akan mengalami penggerusan dan luasannya sedikit demi sedikit berkurang. Padahal, hutan mangrove disana memberikan banyak manfaat bagi kesatuan ekosistem mangrove, diantaranya sebagai benteng pertahanan pesisir dan habitat berbagai keanekaragaman hayati, khususnya burung air. Jika keberadaan ekosistem mangrove di CAPD terganggu maka ketahanan pesisir terhadap berbagai bencana perubahan iklim akan berkurang.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi hampir setiap tahun, pada tahun 2011, masyarakat dan Kelompok Pecinta Alam Pesisir Pulau Dua (KPAPPD) bekerja sama dengan Wetlands International Indonesia (WII) dan Yayasan Lahan Basah Indonesia (YLBI) mulai membuat perangkap sedimen untuk melindungi keberadaan ekosistem mangrove di CAPD dari ancaman kenaikan muka air laut. Perangkap dibuat untuk melindungi pesisir CAPD dan hutan mangrove yang tumbuh disana. Selain itu, pemasangan perangkap sedimen secara tidak langsung akan melindungi ekosistem yang berada di belakang CAPD seperti kawasan tambak dan pemukiman. Perangkap sedimen yang dibuat mengalami beberapa kali perubahan karena berbagai alasan terutama disebabkan oleh kejadian alam. Awalnya, perangkap sedimen dibuat dari jaring ikan namun tidak bertahan lama karena hanyut terbawa gelombang. Selanjutnya, perangkap sedimen dibuat dari pagar bambu. Pagar tersebut menyerupai benteng yang bersifat permeabel sehingga air laut dapat keluar masuk ketika terjadi pasang dan surut sehingga proses fisiologi pada hutan mangrove tetap terjadi. Teknik tersebut cukup berhasil sehingga banyak sedimen yang terperangkap dan mulai ditumbuhi oleh vegetasi Avicennia marina secara alami sekitar tahun 2012. Untuk melindungi vegetasi mangrove yang tumbuh, perangkap sedimen kemudian dipagari dengan karung berisi pasir.

(23)

pesisir tidak ikut tergerus gelombang. Selain itu, hutan mangrove yang berada di CAPD juga ikut terlindungi. Dampak lain yang dirasakan dari tanah timbul yang sudah stabil tersebut mulai ditumbuhi vegetasi Avicennia marina secara alami. Dampak tidak langsung yang dirasakan dari pemasangan perangkap sedimen berupa jasa lingkungan, yaitu sejumlah karbon yang berasal dari vegetasi mangrove dan sedimen yang terperangkap mulai tersimpan. Hasil penelitian Donato et al. (2012) menunjukkan bahwa ekosistem mangrove merupakan salah satu hutan yang menyimpan karbon paling tinggi di kawasan tropis, yaitu sekitar 1.023 Ton C/ha atau setara dengan 3.751 Ton CO2/ha. Hasil tersebut diperoleh

dari pengukuran biomassa pohon, kayu mati, dan kandungan karbon tanah di 25 hutan mangrove sepanjang kawasan Indo-Pasifik. Sumber karbon ekosistem mangrove di Indo-Pasifik dua kali lebih tinggi dibandingkan hutan dataran tinggi di daerah tropis dan sub-tropis. Page et al. (2010) dan Hooijer et al. (2006) dalam Kauffman dan Donato (2012) menyatakan bahwa proporsi terbesar dari sumber karbon ini berasal dari karbon di bawah permukaan tanah (belowground). Tanah yang terdapat pada ekosistem mangrove kaya akan bahan organik dan sangat rentan melepaskan GRK jika terganggu. Jika mereka terdegradasi maka akan berpotensi mengemisikan karbon. Deforestasi mangrove diperkirakan menyebabkan emisi sebesar 0.02-0.12 Pg karbon/tahun yang setara dengan 10% emisi dari deforestasi global.

Sampai saat ini, penelitian mengenai simpanan karbon organik pada ekosistem mangrove di area perangkap sedimen belum pernah dilakukan. Berbagai penelitian simpanan karbon lebih banyak berada pada kawasan inti mangrove baik pada vegetasinya saja maupun pada sedimennya saja secara terpisah. Isu penelitian simpanan karbon pada area perangkap sedimen sangat menarik dikarenakan oleh tujuan utama dari pemasangan adalah untuk melindungi hutan mangrove dan pesisir di CAPD. Namun, pada akhirnya pemasangan perangkap sedimen tersebut memberikan manfaat penting lainnya berupa jasa lingkungan yang dapat membantu dalam mengurangi emisi GRK secara langsung dan secara tidak langsung membantu pemerintah RI merealisasikan komitmennya mengurangi emisi GRK global. Informasi yang dihasilkan dapat menjadi kajian baru bagi ilmu pengetahuan dalam rangka upaya pengurangan emisi GRK sekaligus mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir. Selain itu, informasi yang dihasilkan dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan kegiatan rehabilitasi di daerah pesisir menggunakan teknik yang sama dengan kondisi lingkungan yang menyerupai Teluk Banten dengan manfaat yang lebih besar.

Perumusan Masalah

(24)

di sana. Upaya tersebut tidak bertahan lama karena perangkap sedimen dari bahan jaring ikan tidak sanggup menahan gelombang air laut yang tinggi kemudian hilang. Perangkap sedimen selanjutnya dibuat dari bahan bambu yang dipasang menyerupai pagar. Perangkap sedimen dari bambu bersifat permeabel sehingga air laut saat pasang surut dapat keluar masuk areal yang dipasang perangkap sedimen serta hutan mangrove yang berada di CAPD. Upaya tersebut cukup berhasil karena areal pesisir CAPD mulai terlindungi dari ancaman kenaikan muka air laut dan abrasi. Untuk lebih melindungi kondisi tersebut, selanjutnya perangkap sedimen dilindungi oleh karung berisi pasir yang ditumpuk menyerupai benteng.

Keuntungan langsung yang dirasakan selama kurun waktu kurang lebih 3 tahun adalah kondisi pesisir CAPD mulai stabil dan sedimen yang terperangkap mulai ditumbuhi vegetasi Avicennia marina secara alami. Kondisi tersebut berpotensi menyimpan sejumlah karbon organik, baik yang berasal dari vegetasi maupun dari sedimen. Keuntungan secara tidak langsung tersebut dapat berkontribusi pada penurunan emisi GRK dimana berdasarkan hasil penelitian Donato et al. (2012), hutan mangrove mampu menyimpan karbon 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan tipe hutan lainnya. Sampai saat ini, penelitian yang berfokus pada perhitungan simpanan karbon organik pada ekosistem mangrove di areal yang dipasang perangkap sedimen belum pernah dilakukan. Penelitian yang telah adalah perhitungan simpanan karbon pada vegetasi mangrove jenis tertentu (aboveground carbon) dan karbon tanah secara terpisah (belowground carbon). Oleh karena itu, isu ini menarik jika diteliti karena diharapkan dapat menjadi informasi baru bagi ilmu pengetahuan. Selain itu, hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim terutama yang berhubungan dengan perlindungan pesisir dan ekosistem mangrove (Gambar 1), Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan penelitian dianataranya adalah

1. Berapa jumlah total simpanan karbon (karbon vegetasi Avicennia marina dan sedimen) di area perangkap sedimen?

2. Bagaimana persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbon Avicennia marina yang tumbuh di area perangkap sedimen?

3. Bagaimana strategi pengelolaan perangkap sedimen agar sedimen yang terperangkap dan vegetasi mangrove yang tumbuh di lokasi penelitian tetap terjaga?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya maka tujuan dari penelitian adalah:

1. Menghitung jumlah total simpanan karbon organik (karbon vegetasi Avicennia marina dan sedimen) di area perangkap sedimen.

2. Menentukan persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbon Avicennia marina yang tumbuh di area perangkap sedimen.

(25)

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi:

1. Ilmu pengetahuan dengan memberikan referensi pendugaan dan kuantifikasi cadangan karbon melalui pengembangan persamaan alometrik dan melengkapi varian persamaan alometrik yang belum terakomodasi pada persamaan alometrik yang tersedia saat ini.

2. Masyarakat dengan memberikan pemahaman akan pentingnya ekosistem mangrove terhadap ketahanan pesisir.

3. Pemerintah dan pihak terkait dengan memberikan referensi data dan informasi simpanan karbon pada ekosistem mangrove khususnya di area perangkap sedimen, memberikan pembelajaran pengetahuan lokal yang aplikatif, dan memberikan dampak penting pagi pengembangan kebijakan.

Ruang Lingkup Penelitian

(26)

Simpanan karbon organik yang dihitung berasal dari vegetasi Avicennia marina yang tumbuh alami dan sedimen/lumpur yang terjerap disana. Informasi mengenai simpanan karbon vegetasi ditunjang oleh informasi hasil pencarian persamaan alometrik untuk menduga nilai biomassa dan massa karbon dari Avicennia marina. Hasil penelitian yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mencari strategi paling baik untuk menjaga perangkap sedimen tersebut agar tetap dapat melindungi pesisir secara umum dan menjaga sedimen serta vegetasi Avicennia marina agar tetap baik secara khusus.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Mangrove

Kata mangrove berasal dari mangue (bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati zona intertidal dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang dibatasi oleh pasang surut (Moore 1977 dalam Kordi 2012). Menurut Kartawinata (1979) dalam Setyawan et al. (2003) hutan mangrove dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai hutan bakau. Padahal, bakau adalah nama generik anggota genus Rhizophora (Widodo 1987 dalam Setyawan et al. 2003). Hutan mangrove merupakan sebuah sistem yang sangat produktif terdiri dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang beradaptasi dengan kehidupan di sepanjang pantai. Mereka mengekspor sejumlah detritus yang membantu kelangsungan hidup ekosistem lepas pantai (Snedaker dan Brown 1981). Komunitas mangrove terdiri atas tumbuhan, hewan, dan mikroba namun tumbuhan memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup komunitas ini.

Mangrove tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Kordi 2012). Mangrove banyak dijumpai di daerah pesisir yang terlindungi dari gempuran ombak dan di daerah yang landai. Mereka tidak akan tumbuh di pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat. Hal tersebut disebabkan oleh pada lokasi-lokasi tersebut sulit terjadi pengendapan lumpur dan pasir yang akan menjadi substrat tempat pertumbuhan mangrove. Mangrove akan tumbuh subur di daerah muara sungai atau estuari yang merupakan daerah tujuan akhir berbagai partikel organik maupun endapan lumpur yang terbawa dari hulu akibat adanya erosi (Gunarto 2000 dalam Kastolani dan Setiawan 2013).

(27)

karena terdiri dari lebih dari 40 spesies sedangkan yang berada di kawasan Atlantik hanya berjumlah 12 spesies. Ekosistem mangrove di wilayah Indonesia terpencar di beberapa daerah dan lebih banyak terpusat di Papua.

Di Indonesia, mangrove tumbuh pada berbagai substrat, seperti lumpur, pasir, terumbu karang, dan kadang kala tumbuh pada batuan. Namun, substrat mangrove yang paling baik adalah pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang dan selalu mendapat pasokan air tawar (Setyawan et al. 2003). Substrat akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove dan juga zonasi. Zonasi pada mangrove dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu gelombang yang menentukan frekuensi genangan, salinitas yang berkaitan dengan osmosis mangrove, substrat, pengaruh darat, dan keterbukaan terhadap gelombang yang menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan (Sukardjo 1993 dalam Kordi 2012). Menurut Watson (1928) dalam Anwar et al. (1984) dalam Kordi (2012) menyebutkan bahwa zonasi mangrove dibagi menjadi lima kategori berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu (1) Zona yang paling dekat dengan laut banyak ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia, (2) Zona selanjutnya berada pada substrat yang sedikit lebih tinggi banyak ditumbuhi Bruguiera cylindrica, (3) Zona ketiga yang lebih mengarah ke daratan banyak dihuni oleh Rhizophora, Bruguiera parviflora, dan Xylocarpus granatum, (4) Zona terakhir yang berada semakin dekat dengan daratan banyak dihuni oleh jenis Bruguiera gymnorrhiza, (5) Zona peralihan ke arah daratan biasanya banyak djumpai jenis Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccencis, Intsia bijuga, Ficus retusa, rotan, pandan dan nibung pantai, serta Oncosperma tigillaria,

Mangrove memiliki manfaat dan peran dalam kaitannya dengan ekologi dan sosial ekonomi. Fungsi mangrove secara ekologi diantaranya menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi mangrove yang tidak kalah penting adalah untuk sekuestrasi karbon, membentuk daratan baru, menjaga kealamian habitat, sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk tempat mencari makan, sumber keanekaragaman biota akuatik dan non akuatik, serta sumber plasma nutfah. Secara sosial ekonomi, mangrove memiliki manfaat sebagai bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto 2004). Ekosistem mangrove juga memiliki memiliki manfaat berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu, bahan pangan, sumber obat-obatan, kawasan wisata, pengambangan ilmu dan teknologi, serta akuakultur.

Mangrove Jenis Avicennia marina

(28)

berkadar garam tinggi (Afzal et al. 2011). Jenis ini merupakan kosmopolitan yang terdistribusi luas di daerah pesisir tropis dan subtropis. Afrika, Asia, Amerika Selatan, Australia, Polynesia, dan Selandia baru merupakan wilayah-wilayah yang banyak ditemui jenis Avicennia marina.

Avicennia marina merupakan pohon yang tumbuh tegak ataupun menyebar dan dapat mencapai ketinggian 30 meter. Jenis ini memiliki perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk menyerupai pensil. Bandaranayake (1999) menyebutkan bahwa daun Avicennia marina tumbuh berhadap-hadapan, bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik, dan ujungnya tumpul serta memiliki pangkal yang rata. Bagian atas permukaannya ditutupi bintik-bintik kelenjar yang berbentuk cekung. Bagian bawah daunnya berwarna putih yang bercampur dengan warna abu-abu muda. Selain itu, daunnya berbentuk elips, bulat memanjang, dan bulat telur terbalik dengan ujung meruncing sampai menyerupai bentuk bulat (Noor et al. 2006). Batangnya mengeluarkan getah dan memiliki rasa yang pahit. Kulit kayunya memiliki warna hijau keabu-abuan dan terkelupas sedangkan ranting muda serta tangkainya memiliki warna kuning muda dan tidak berbulu. Bunganya berwarna kuning dengan kelopak bunga pendek dan pucat (Bandaranayake 1999). Noor et al. (2006) menjelaskan bahwa bunganya menyerupai trisula dan bergerombol. Bunga ini muncul di bagian tandan, berbau menyengat, dan memiliki nektar yang banyak. Buahnya berbentuk kotak, berkatup, berbiji dan berkecambah sebelum rontok (Bandaranayake 1999). Avicennia marina memiliki beberapa manfaat, diantaranya sebagai obat untuk kulit terbakar. Resin yang keluar dari kulit kayunya digunakan sebagai alat kontrasepsi. Buahnya dapat dimakan dan kayunya dapat digunakan sebagai bahan kertas yang memiliki kualitas tinggi. Selain itu, daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak

Sedimen

Sedimen pada ekosistem mangrove merupakan padatan tersuspensi yang masuk ke area pesisir melalui muara sungai, pengerukan material, dan resuspensi sedimen bagian bawah oleh gelombang dan kapal-kapal (Holeman 1968, Laronne dan Mosley 1982, Wolanski 1994 dalam Fukurawa dan Wolanski 1996). Mekanisme sedimentasi pada area mangrove didominasi oleh proses hidrodinamik yang merupakan bagian dari proses biologi berlawanan di daerah lepas pantai (Ayukai dan Wolanski 1996 dalam Fukurawa dan Wolanski 1996). Proses hidrodinamik terdapat arus sungai yang berlawanan dan sirkulasi baroklinik serta kerusakan yang disebabkan oleh flok (Gibbs 1985, Woodroffe 1985, Dyer 1986, Wolanski et al. 1988, Wolanski 1995, Wolanski et al. 1995, Wolanski dan Gibbs 1995, Mazda et al. 1995 dalam Fukurawa dan Wolanski 1996).

(29)

terhambat. Ketika pasang, ombak akan membawa partikel debu ke daerah belakang mangrove dan ketika surut maka berbagai partikel tersebut akan tertarik kembali bersama dengan air laut yang tertarik ke laut. Partikel pasir akan terlebih dahulu mengendap karena ukurannya jauh lebih besar. Arus yang kuat akan mempertahan partikel dalam suspensi lebih lama dibandingkan arus yang lemah. Selain faktor arus, faktor letak dan lokasi kawasan mangrove juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya substrat (Arif 2003 dalam Indah et al. 2009).

Pada umumnya, sedimen terdiri dari unsur pasir, liat, dan debu. Perpaduan liat dan debu akan menghasilkan tekstur sedimen yang baik sedangkan debu yang bercampur dengan liat dan pasir akan menghasilkan lumpur. Menurut Keersebilck (1983) dalam Indah et al. (2009), tanah-tanah pada hutan mangrove merupakan tanah yang belum matang. Tanah mangrove dicirikan dengan aluvial hidromorf atau tanah liat laut yang merupakan hasil endapan. Endapan terbentuk di air yang tenang dan memiliki struktur tanah yang sama sekali belum berkembang dan masih memiliki konsistensi lumpur yang sangat lembek. Endapan tersebut mengandung banyak sekali partikel zat padat yang terbawa dari aliran sungai menuju laut dan berlangsung secara lambat. Agregasi butir tanah yang mudah terurai atau terdispersi oleh air menyebabkan tanahnya menjadi berlumpur.

Perangkap Sedimen

Perangkap sedimen merupakan sebuah alat yang digunakan untuk melindungi garis pantai dan ekosistem pesisir yang bersifat alami maupun buatan. Masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai alat pemecah ombak (APO). Perangkap sedimen banyak digunakan untuk melindungi pesisir dan ekosistem mangrove karena pada awalnya alat ini banyak digunakan untuk memecah gelombang laut agar kekuatannya lebih kecil ketika sampai ke daratan. Gelombang yang datang dari laut lepas akan mengalami difraksi dan refleksi setelah mengenai perangkap sedimen ini. Ketika gelombang yang terdifraksi datang maka kemungkinan sedimen akan terbawa ke daerah yang terlindungi. Sementara itu, ketika galombang terefleksi maka energi gelombang akan berkurang karena mengenai perangkap sedimen atau APO ini (Yulistiyanto 2009). Perangkap sedimen yang bersifat alami diantaranya mangrove. Melalui perakaran mangrove, sedimen tersuspensi masuk ke area pesisir melalui aliran sungai lalu terjadi pengerukan material dan terjadi resuspensi sedimen bawah permukaan melalui ombak (Holeman 1968, Laronne dan Mosley 1982, Wolanski 1994 dalam Fukurawa dan Wolanski 1996). Hutan mangrove juga diyakini memiliki posisi yang cukup penting sebagai penjerap sedimen tersuspensi. Mekanisme penjerapan sedimen disebabkan oleh mikro turbulensi yang tinggi dan ditimbulkan oleh aliran pasang surut di sekitar vegetasi mangrove. Penjerapan sedimen akan meningkatkan luasan habitat mangrove. Sistem perakaran dan batang yang berada di atas tanah akan meningkatkan proses pengendapan sedimen (Fukurawa dan Wolanski 1996 dalam Adame et al. 2010).

(30)

dua macam berdasarkan strukturnya, yaitu struktur keras (hard structure) dan struktur lunak (soft structure). Perangkap sedimen berstruktur keras terbuat dari bahan keras, seperti semen, beton, batu, dan sebagainya. Jenis ini ini dibuat sebagai benteng perlindungan garis pantai dari abrasi air laut. Namun, jenis ini memiliki kekurangan yaitu ketika gelombang laut mengenai alat tersebut maka gelombang akan menjadi lebih besar karena memantul pada struktur keras. Akibatnya, gelombang akan membawa lebih banyak sedimen ke arah laut. Ketika air laut mengalami kondisi pasang surut, sedimen yang terbawa ke laut tidak akan terbawa kembali ke pantai karena terhalang oleh struktur keras tersebut. Hamparan lumpur akan menjadi curam, membentuk cekungan dan bertebing (Gambar 2).

Gambar 2 Contoh perangkap sedimen dengan struktur keras (LGF Team 2012)

Gambar 3 Penjerapan sedimen menggunakan perangkap sedimen berstruktur lunak (Winterwerp et al. 2014)

(31)

sederhana berdasarkan informasi kearifan lokal setempat dan dibantu oleh perkembangan ilmu pengetahuan terkini. Struktur ini mengadopsi sistem kerja perakaran mangrove yang permeabel sehingga dapat dilalui air dan padatan tersuspensi berupa sedimen. Teknologi ini sudah berhasil diterapkan di rawa-rawa negara Belanda dan Jerman. Sistem kerja alat ini adalah mengembalikan sedimen yang terbawa ke laut. Agitasi dasar laut (ditunjukkan dengan tanda panah yang menunjuk pada lingkaran) untuk meningkatkan konsentrasi sedimen di bagian depan. Konstruksi biasanya dibuat tipis dan sempit di atas sedimen sehingga gelombang dapat dipecah dan energinya berkurang (Winterwerp et al. 2014).

Biomassa dan Massa Karbon Mangrove

Biomassa dan massa kabon merupakan dua unsur penting yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Biomassa sebagian besar terdiri atas karbon (C), yaitu sebanyak 45-50% bahan kering tanaman (Brown 1997). White dan Olasket (1981) menyatakan bahwa biomassa tersusun terutama oleh senyawa penyusun karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) yang dihasilkan melalui proses fotosinstesis tanaman. Tumbuhan melalui proses fotosintesis menyerap CO2 di udara kemudian mengubahnya menjadi karbohidrat

yang akan disebarkan ke seluruh bagian tumbuhan dan akhirnya ditimbun dalam daun, batang, ranting, bunga, dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tumbuhan dinamakan proses sekustrasi (C-Sequestration). Oleh karena itu, pengukuran C yang tersimpan pada bagian tubuh tumbuhan yang berupa biomassa menggambarkan banyaknya karbondioksida (CO2) di atmosfer yang

diserap oleh tumbuhan tersebut. Sedangkan pengukuran C yang tersimpan pada bagian tumbuhan yang telah mati (nekromas) menggambarkan CO2 yang tidak

dilepaskan ke udara lewat pembakaran. Karbon pada tanaman akan terdistribusi menjadi dua bagian, yaitu karbon yang akan menjadi energi untuk proses fisiologis tanaman dan karbon yang akan masuk ke dalam struktur tumbuhan dan menjadi bagian dari tumbuhan.

Biomassa terbagi menjadi dua kategori, yaitu biomassa yang berada di atas tanah (batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah) dan biomassa di bawah tanah (akar). Biomassa sendiri diartikan sebagai jumlah total bahan organik yang hidup terdapat pada pohon dan dinyatakan dalam berat kering oven per unit area, misalnya ton/ha (Brown 1997). Jumlah biomassa ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah diameter, tinggi tanaman, kerapatan kayu, dan kesuburan tanah (Kusmana et al. 1992 dalam Heriyanto dan Subiandono 2012). Pada hutan mangrove, jumlah biomassa sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim yang meliputi curah hujan dan suhu udara (Kusmana et al. 1992). Jumlah biomassa pada hutan tersebut akan mempengaruhi jumlah simpanan karbonnya. Pada hutan mangrove, simpanan karbon terdistribusi pada empat kantong karbon, yaitu biomassa atas permukaan (aboveground), biomassa bawah permukaan (belowground), bahan organik mati, dan karbon organik tanah. Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa C tersimpan pada tiga komponen pokok, yaitu:

(32)

tanaman semusim.

b) Nekromas. Nekromas merupakan masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun- daunan yang telah gugur (serasah) yang belum terlapuk.

c) Bahan organik tanah. Bahan organik tanah terdiri dari sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikelnya biasanya lebih kecil dari 2 mm.

Mangrove sebagai salah satu ekosistem kunci dalam mitigasi perubahan iklim melalui penurunan laju deforestasi dapat dimanfaatkan sebagai penyimpan karbon (Kauffman et al. 2011 dalam Gang Wang et al. 2013). Ekosistem ini secara ekologis berbeda dan memiliki simpanan karbon yang bervariasi (Kristense et al. 2008 dalam Gang Wang et al. 2013). Menurut Donato et al. (2012) dalam Tai Tue et al. (2014), hutan mangrove dapat menyimpan sampai 1.023 Mg C/ha yang merupakan penyerap karbon paling penting di daerah tropis. Studi terbaru menunjukkan bahwa simpanan karbon pada hutan mangrove 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan hutan terestrial (Adame et al. 2013; Donato et al. 2011; dan Kauffman et al. 2011 dalam Tai Tue et al. 2014).

Pengukuran biomassa dan massa karbon dapat dilakukan melalui beberapa cara, Sutaryo (2009) menyebutkan bahwa perkiraan biomassa dapat dilakukan melalui empat pendekatan, yaitu:

a) Sampling dengan pemanenan. Metode ini dilakukan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akar kemudian mengeringkan dan menimbang berat biomassanya. Metode ini relatif akurat namun cukup mahal dan memakan waktu.

b) Sampling tanpa pemanenan. Metode ini dilakukan tanpa melakukan pemanenan bagian tumbuhan, yaitu dengan mengukur tinggi dan/ atau diameter pohon menggunakan persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa.

c) Pendugaan melalui penginderaan jauh. Penggunaan metode ini tidak dianjurkan terutama untuk kegiatan skala kecil. Hal tersebut dikarenakan teknologi ini relatif mahal dan membutuhkan keahlian khusus yang tidak semua orang dapat melakukannya.

d) Pembuatan model. Model digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengen frekuensi dan intensitas pengamatan in-situ atau penginderaan jauh yang terbatas. Model empiris ini berdasarkan pada jaringan dari sampel plot yang diukur berulang sehingga memiliki estimasi biomassa yang telah menyatu melalui persamaan alometrik yang dapat dikonversi menjadi biomassa (Australian Greenhouse Office 1999 dalam Sutaryo 2009).

Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomassa dan Massa Karbon pada Mangrove

(33)

organisme. Model alometrik yang dibangun berupa persamaan alometrik yang menggambarkan hubungan diameter dan tinggi pohon dengan berat kering keseluruhan (biomassa). Komiyama et al. (2005) dalam Santos et al. (2014) menyatakan bahwa metode alometrik yang menggunakan persamaan alometrik untuk menduga sebagian atau seluruh biomassa dari pohon menggunakan perhitungan dimensi yaitu diameter setinggi dada/ diameter breast high (DBH) dan tinggi pohon.

Secara umum, persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbon adalah Y = a + bx. Nilai Y merupakan nilai biomassa atau massa karbon yang diukur, x adalah parameter dari yang diukur baik berupan diameter dan/atau tinggi tumbuhan, a adalah nilai perpotongan sumbu vertikan Y, dan b adalah kemiringan (slope) atau koefisien regresi. Berbagai persamaan alometrik untuk menduga biomassa pada veegtasi mangrove disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Berbagai persamaan alometrik untuk menduga biomassa vegetasi mangrove

No Persamaan Jenis Lokasi Sumber

1 AGB = 0.140 DBH2.40 Avicennia germinans French Guyana Fromard et al.

(1998)*

2 AGB = 0.140 DBH2.54 Avicennia germinans Guadeloupe, French Antilles

Imbert dan Rollet (1989)*

3 AGB = 0.102 DBH2.50 Laguncularia racemosa French Guyana Fromard et al.

(1998)*

4 AGB = 0.209 DBH2.24 Laguncularia racemosa Guadeloupe, French

Antilles

Imbert dan Rollet (1989)*

5 AGB = 1.178 DBH2.47 Rhizophora granatum Guadeloupe, French

Antilles

Imbert dan Rollet (1989)*

6 AGB = 0.0823 DBH2.59 Xylocarpus granatum Australia Barat Clough dan

Scott (1989)*

9 AGB = 0.1848 (DBH)2.3524 Avicennia marina Indonesia

Dharmawan dan Siregar (2008)

10 BGB = 0.1628 (DBH)1.7939 Avicennia marina Indonesia

Dharmawan dan Siregar (2008)

11 Btotal = 0.2905 (DBH)2.2598 Avicennia marina Indonesia

Dharmawan

(34)

a.Pesisir Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) Banten yang ditumbuhi mangrove atau lebih tepatnya di area perangkap sedimen.

b.Laboratorium Kayu dan Kimia Hasil Hutan-Fakultas Kehutanan IPB dan

c. Laboratorium Kimia-Balai Penelitian Tanah.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian adalah global positioning system (GPS), kantong plastik berbagai ukuran, golok, karung, timbangan, kalkulator, drone, bor tanah, oven, cawan porselen, tally sheet, meteran, alat tulis, kamera, peralatan laboratorium, dan perangkap sedimen yang sudah dipasang sejak tahun 2011, yaitu perangkap sedimen dari jaring ikan (Gambar 4), perangkap sedimen dari pagar bambu (Gambar 5), dan perangkap sedimen dari karung berisi pasir (Gambar 6). Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian adalah sedimen (lumpur), vegetasi mangrove Avicennia marina (akar, batang, ranting, dan daun), peta kerja, dan berbagai data sekunder yang mendukung informasi di lokasi penelitian.

Gambar 4 Perangkap sedimen dari jaring ikan (Hasil penelitian 2015)

(35)

Gambar 6 Perangkap sedimen dari karung berisi pasir (Hasil penelitian 2015)

Metode Pengumpulan Data

Jenis dan Sumber Data Penelitian

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan dan laboratorium. Data sekunder diperoleh dari penelusuran studi pustaka dan informasi dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian. Data primer yang diambil di lapangan berupa dimensi pohon (diameter batang setinggi dada/Diameter Breast High (DBH) dan tinggi total pohon) dan informasi mengenai bagian-bagian dari Avicennia marina (akar, batang, cabang, dan daun) yang meliputi berat basah di lapangan, berat kering tanur (BKT) sebagai nilai biomassa, kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, persentase karbon organik, dan kandungan massa karbonnya. Informasi mengenai sedimen yang diambil meliputi bulk density (BD), berat basah di lapangan, berat kering tanur (BKT) sebagai nilai biomassa, kadar air, persentase karbon organik, kandungan massa karbon, dan serapan karbondioksida (CO2). Data sekunder yang diambil meliputi kondisi arus, pasang surut, dan

kondisi umum lokasi penelitian, serta berbagai informasi pendukung lainnya yang menunjang informasi penelitian terutama yang berkaitan dengan strategi pengelolaan pesisir dan ekosistem mangrove.

Pengambilan Sampel Vegetasi Mangrove (Dharmawan dan Siregar 2008)

(36)

• Seluruh sampel Avicennia marina yang akan diambil diukur diameter dan tingginya.

Avicennia marina yang sudah diukur diameter dan tingginya selanjutnya ditebang dan dipisahkan bagian-bagiannya. Bagian-bagian tersebut ditimbang untuk mengetahui berat basahnya.

• Sebanyak 200 gram untuk setiap bagian Avicennia marina yang ditebang diambil dan dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk diukur berat keringnya di laboratorium.

• Nilai berat kering dan basah selanjutnya akan digunakan untuk mencari biomassaa Avicennia marina.

Pengambilan Sampel Sedimen (Kauffman dan Donato 2012)

Sampel sedimen diambil pada 12 titik sampling (Gambar 7). Sampel diambil berdasarkan kelas kedalaman, yaitu 0-10 cm, 10-50 cm, 50-100 cm, 100-200 cm, 100-200-300 cm, dan 300-400 cm. Donato dan Kauffman (2012) menyatakan bahwa kedalaman 10-300 cm kaya akan bahan organik sehingga hal tersebut dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan sampel. Sampel sedimen yang sudah diambil selanjutnya dibungkus menggunakan alumunium foil dan kantong plastik untuk menghindari kontaminasi mikroba dan penguapan air yang berlebihan. Sampel yang telah dibungkus selanjutnya ditimbang berat basah lapangannya.

Gambar 7 Peta sebaran titik pengambilan sampel sedimen

Metode Analisis Data

Pengukuran Massa Karbon Vegetasi Avicennia marina

(37)

C-organik) yang terdiri dari dua tahapan; yaitu penentuan kadar zat terbang dan kadar abu, serta yang terakhir adalah penghitungan massa karbonnya. Penentuan kadar air dari Avicennia marina dilakukan dengan memanaskan bagian-bagian dari Avicennia marina, yaitu akar, batang, cabang, dan daun yang sebelumnya sudah disegmentasi. Langkah pertama yang dilakukan adalah memanaskan cawan yang akan digunakan untuk memanaskan bagian-bagian sampel tersebut. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Selanjutnya, cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1-2 gram dari sampel (bagian Avicennia marina) yang akan dihitung kadar airnya dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan ditimbang sebagai berat awal (B0). Setelah itu,

sampel di oven selama kurang lebih 3 jam pada suhu 105 oC. Setelah 3 jam, cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali beratnya. Persen kadar air selanjutnya dhitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

Kadar Air = ( − �)

� % (Haygreen dan Bowyer 1982)... (1)

Dimana: Kadar Air = Kadar air (%)

B0 = Berat awal sampel (gram)

BK = Berat kering sampel (gram)

Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam menghitung karbon vegetasi Avicennia marina adalah penentuan berat jenis (BJ) sampel. Berat Jenis Avicennia marina diukur berdasarkan hubungan antara berat kering kayu dengan volume awalnya. Volume sampel diukur secara gravimetri dengan menimbang air saja yang dituangkan ke dalam gelas piala dan menimbang air yang ditambahkan potongan kayu dalam gelas piala. Selisih antara berat air dan potongan kayu dengan berat air saja merupakan volume dari kayu tersebut. Sampel yang telah diukur volumenya selanjutnya dikeringkan menggunakan oven selama 2 hari dengan suhu kurang lebih 102 oC hingga diperoleh berat yang konstan. Selanjutnya sampel didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Hasil penimbangan dinyatakan sebagai berat kering tanur (BKT). Oleh karena itu, berat jenis kayu Avicennia marina ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

Berat Jenis (BJ) : �� ( )

� � ( ) ... (2) Dimana: BJ = Berat jenis (gram/cm3 )

BKT = Berat kering tanur (gram) V = Volume kayu (cm )

Berat Kering Tanur = BKT =

+ %� (Haygreen dan Bowyer 1982) ... (3) Dimana: BKT = Berat kering (gram)

BB = Berat basah (gram) %KA = Persen kadar air (%)

(38)

bagian dari Avicennia marina baik batang, cabang, akar, dan daun yang sudah dikeringkan menggunakan oven. Hasil berat kering yang diperoleh merupakan nilai biomassa atau dinyatakan dengan BKT. Biomassa total merupakan hasil dari penjumlahan seluruh biomassa dari setiap bagian pohon.

Biomassa total = Ba + Bb + Bc + Bd ... (4)

Dimana: Ba = Biomassa akar (gram) Bb = Biomassa batang (gram) Bc = Biomassa cabang (gram) Bd = Biomassa daun (gram)

Penentuan biomassa menggunakan pendekatan model matematis dihitung berdasarkan hubungan antara biomassa dengan dimensi pohon, yaitu tinggi total dan dimeter setinggi dada. Model penduga biomassa yang dipilih untuk menghitung biomassa Avicennia marina merupakan model penduga yang memiliki nilai R2 paling tinggi dan ragam (s) paling rendah serta validasinya memenuhi kaidah persayaratan. Secara umum, model penduga biomassa Avicennia marina yang digunakan dan perhtungan validasinya adalah:

Biomassa (B) = f (DBH dan h) ... (5) Dimana: Biomassa = Ton

DBH = Diameter setinggi dada orang dewasa (meter) h = Tinggi pohon (meter)

Validasi model dilakukan dengan melakukan uji Chi-Square, uji simpangan agregat (SA), uji simpangan rata-rata (SR), dan uji rata-rata bias absolut (MAEj). Uji Chi-square (x2hitung) untuk menguji perbedaan nilai dugaan

dengan nilai aktualnya. apabila nilai x2hitung ≤ x2tabel (α, n-1) maka hasil dugaan

dianggap signifikan tidak berbeda nyata dari hasil perhitungan sebenarnya. Chi-square dihitung berdasarkan persamaan:

...(6) Dengan kaidah keputusan:

x2hitung≤ x2tabel (α, n-1) : TerimaH0

x2hitung > x2tabel (α, n-1) : Tolak H0

H0 : Nilai dugaan tidak berbeda nyata dengan nilaiaktualnya

H1 : Nilai dugaan berbeda nyata dengan nilai aktualnya

(39)

... (7) Uji validasi terakhir adalah melakukan perhitungan rata-rata bias absolut (MAE). Uji ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan simpangan suatu nilai dugaan terhadap nilai sebenarnya. Nilai MAE diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan persamaan:

...(8) Dimana:

MAEj : Mean average error (rata-rata bias absolut) persamaan ke-j (ton/pohon)

eij : Simpangan biomassa ke-i dan pada persamaan ke-j

Yai : Nilai aktual (ton)

Yti : Nilai dugaan (ton)

Nj : Jumlah data rumus ke-j

Langkah keempat yang dilakukan adalah penentuan persentase karbon organik (% C-organik). Nilai % C-organik dari setiap bagian Avicennia marina diperoleh setelah mengetahui kadar zat terbang dan kadar abunya. Penentuan kadar zat terbang dimulai dengan memotong sampel menyerupai batang korek api untuk bagian akar, batang, dan cabang sementara daun dicincang halus. Sampel yang sudah dipotong selanjutnya dimasukkan ke dalam oven selama 48 jam pada suhu 80 oC. Sampel yang sudah kering selanjutnya digiling dan disaring menggunakan saringan berukuran antara 40-60 mesh. Sampel yang sudah berbentuk serbuk selanjutnya diambil sebanyak 2 gram dan dimasukkan kedalam cawan porselen bertutup. Cawan porselen yang berisi sampel selanjutnya di keringkan di dalam tanur dengan suhu 950 oC selama 2 menit. Setelah 2 menit, sampel didinginkan di dalam deksikator dan ditimbang kembali beratnya. Kadar zat terbang dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

Kadar Zat Terbang = − % (ASTM 1990a) ..(9)

Sisa sampel yang digunakan dalam penentuan kadar zat terbang dimasukkan kembali ke dalam tanur selama 6 jam dengan suhu 900 oC. Setelah itu, sampel didinginkan di dalam deksikator dan ditimbang sampai beratnya konstan dan dinyatakan dengan berat kadar abu. Kadar abu dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

Kadar Abu = % (ASTM 1990b) ... (10)

Setelah kadar zat terbang dan kadar abu diketahui maka persentase karbon organik (% C-organik) dihitung berdasarkan pengurangan kadar zat terbang dan kadar abu yang terdapat dalam sampel (SNI 06-3730-1995). Secara matematis, persentase C-organik disajikan dengan perhitungan sebagai berikut:

(40)

Langkah kelima yang dilakukan adalah menentukan massa karbon dari Avicennia marina. Massa karbon dari Avicennia marina dihitung menggunakan dua metode, yaitu metode perhitungan langsung berdasarkan perkalian antara biomassa pohon dengan % C-organik dan perhitungan menggunakan pendekatan model matematis. Persamaan matematis untuk menghitung massa karbon Avicennia marina adalah sebagai berikut:

Massa Karbon (C) = Biomassa x % C-Organik ... (12) Penghitungan massa karbon Avicennia marina menggunakan pendekatan model matematis dihitung berdasarkan hubungan antara massa karbon dengan dimensi pohon, yaitu tinggi dan dimeter setinggi dada. Model penduga massa karbon yang dipilih untuk menghitung massa karbon Avicennia marina merupakan model penduga yang memiliki nilai R2 paling tinggi dan ragam (s) paling rendah. Secara umum, model penduga massa karbon Avicennia marina yang digunakan adalah:

Massa Karbon (C) = f (DBH dan h) ... (13) Dimana: Massa karbon = Ton

DBH = Diameter setinggi dada orang dewasa (meter) h = Tinggi pohon (meter)

Selain nilai karbon, serapan karbondioksida (CO2) yang dapat diambil oleh

Avicennia marina juga dihitung. Perhitungan serapan CO2 diperoleh dari hasil

konversi kadar karbon yang diperoleh sebelumnya. Nilai serapan CO2 tersebut

diperoleh dengan mengalikan kadar karbon dengan rasio berat molekul CO2

terhadap berat molekul C. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

CO2 = ���� � � (Dharmawan 2010) ... (14)

Dimana: Mr CO2 = Berat molekul relatif senyata CO2 (44)

Ar C = Berat molekul relatif atom C (12)

Pengkuran Karbon Organik Sedimen

Karbon organik yang terdapat dalam sedimen diukur melalui tiga tahapan, yaitu penentuan Bulk Density (BD), % C-organik, dan massa karbon dari sedimen. Penentuan BD mengacu pada metode Kauffman dan Donato (2012). Bulk density dari substrat lumpur dianalisis dengan cara mengeringkan sampel pada suhu 105

o

C selama kurang lebih 48 jam. Nilai BD diperoleh dengan cara membagi berat sampel setelah dikeringkan dengan volume sampel. Perhitungan secara matematis untuk mencari BD adalah sebagai berikut:

Bulk Density =

� (Kauffman dan Donato 2012) .. (15)

Dimana: Bulk Density = Kadar isi substrat lumpur (gram/cm3) M = Massa sampel yang dikeringkan (gram) V = Volume sampel (cm3)

(41)

sedimen. Persentase nilai karbon organik dihitung menggunakan metode Walkley dan Black. Tanah yang akan dihitung % C-organiknya terlebih dahulu ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Selanjutnya, tanah tersebut ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N dan dihomogenisasi. Tahap selanjutnya

adalah menambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat dan didiamkan selama 30 menit.

Setelah 30 menit, campuran larutan diencerkan dengan akuades dan dibiarkan sampai dingin untuk selanjutnya didiamkan selama satu hari. Setelah satu hari, tingkat absorbansi dari sampel diukur menggunakan spektrofototmeter menggunakan panjang gelombang 561 nm. Sebelum melakukan pengukuran sampel, terlebih dahulu dilakukan pengukuran larutan standar dengan konsentrasi 0 dan 250 ppm. Kadar % C-organik dihitung menggunakan persamaan:

% C-organik = − , �... (16)

Dimana: % C-organik = Persentase kadar karbon organik (%) [Larutan satndar] = Konsentrasi larutan standar (250 ppm) Langkah terakhir yang dilakukan untuk menghitung karbon sedimen adalah menentukan massa karbon dari sedimen. Penentuan massa karbon sedimen mengacu pada metode Kauffman dan Donato (2012). Parameter yang digunakan dalam menghitung kadar karbon substrat lumpur adalah luas lahan (A). Kedalaman substrat mangrove (h), Bulk Density (BD), dan % C-organik. Secara matematis, kadar karbon substrat lumpur dihitung berdasarkan persamaan:

KCT = A x h x BD x % ...(17) Dimana: KCT = Kandungan karbon organik tanah (gram/m3)

A = Luas lahan (m2)

h = Kedalaman substrat lumpur (m) BD = Bulk density (gram/cm3)

% C = Persentase karbon organik (%)

Analisis Strategi Pengelolaan Perangkap Sedimen dengan SWOT

Gambar

Gambar 2  Contoh perangkap sedimen dengan struktur keras (LGF Team 2012)
Tabel 1  Berbagai persamaan alometrik untuk menduga biomassa vegetasi mangrove
Gambar 5  Perangkap sedimen dari pagar bambu (Hasil penelitian 2015)
Gambar 7  Peta sebaran titik pengambilan sampel sedimen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fluks Bentik dan Potensi Laju Aktivitas Bakteri Terkait Siklus Nitrogen pada Sedimen Perairan Mangrove Karangantu dan Pulau Dua,

Pengaruh Kerapatan Mangrove terhadap Laju Sedimen Transpor di Wilayah Pesisir Desa Pulau Sembilan Kabupaten Langkat Sumatera Utara.. Dibimbing oleh YUNASFI dan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fluks Bentik dan Potensi Laju Aktivitas Bakteri Terkait Siklus Nitrogen pada Sedimen Perairan Mangrove Karangantu dan Pulau Dua,