• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian pengembangan industri pangan berbasis buah buahan unggulan di provinsi Sulawesi Selatan ditinjau dari aspek kelayakan dan strategi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian pengembangan industri pangan berbasis buah buahan unggulan di provinsi Sulawesi Selatan ditinjau dari aspek kelayakan dan strategi"

Copied!
250
0
0

Teks penuh

(1)

UNGGULAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

DITINJAU DARI ASPEK KELAYAKAN DAN

STRATEGI PENGEMBANGAN

RINDAM LATIEF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Pengembangan

Nama : Rindam Latief

NIM : P09600001

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS., Dipl. Ing., DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Rizal Syarief, DESS Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi, dalam bentuk salinan cetakan dan/atau dokumen pendukung, yang berjudul :

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PANGAN BERBASIS BUAH-BUAHAN UNGGULAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DITINJAU DARI ASPEK KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

merupakan hasil karya sendiri di bawah bimbingan H. Musa Hubeis sebagai ketua komisi, H. Rizal Syarief dan Sugiyono sebagai anggota komisi, dan belum pernah diserahkan untuk pencapaian prestasi akademik apapun melalui perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang dipergunakan dalam penyusunan disertasi ini, telah dinyatakan secara jelas dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2006

(4)

Persembahan untuk kedua orang tua yang tiada lelah mendoakan, Serta isteri dan anakku tercinta yang penuh keikhlasan mendukung dan berkorban :

(5)

KAJIAN PENGEMBANGAN

INDUSTRI PANGAN BERBASIS BUAH-BUAHAN

UNGGULAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

DITINJAU DARI ASPEK KELAYAKAN DAN

STRATEGI PENGEMBANGAN

RINDAM LATIEF

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pangan

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan berkat rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi berjudul “Kajian Pengembangan Industri Pangan Berbasis Buah-Buahan Unggulan Di Provinsi Sulawesi Selatan Ditinjau dari Aspek Kelayakan dan Strategi Pengembangan”. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dari hati terdalam kepada Komisi Pembimbing, yaitu Bapak Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing., DEA, Bapak Prof. Dr. Ir. H. Rizal Syarief, DESS dan Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc., atas bimbingan dan perhatian yang diberikan sejak perencanaan penelitian sampai pada penyusunan disertasi ini.

Pelaksanaan penelitian ini melibatkan banyak pihak sebagai responden pakar atau nara sumber, diantaranya para akademisi, birokrat dan praktisi yang berada di Makassar, Surabaya dan Bogor. Nara sumber tersebut, diantaranya Bapak Dr. Ir. Amran Laga, MS, Bapak Dr. Basri Rizak, MS, Bapak A.M. Yamin, SE, MS, Bapak Ir. Muhammad Riqab, Bapak Ir. Amin Ishak, M.Sc, Bapak Drs. Gazali, MS, Ir. Santy Afrina, Bapak Ir. Adi Widjaja, serta Bapak Dr. Ir. Sobir, MS. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih pula kepada para responden yang telah menyediakan waktu untuk memberikan data, informasi dan bahan serta diskusi-diskusi untuk kepentingan penyusunan disertasi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Sobir, MS, atas kesediaannya menjadi penguji pada ujian tertutup, serta Bapak Prof. Dr.Ir. H. Roedhy Poerwanto, M.Sc dan Ibu Dr.Ir. Hj. Delima Hasri Azahari, MS, selaku penguji pada ujian terbuka.

Kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Program Studi Ilmu Pangan, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, serta seluruh pejabat, dosen dan karyawan yang terlibat, penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu dan pelayanan administratif yang diberikan selama menempuh pendidikan program doktor.

Kepada sahabat dan teman diskusi yang telah memberikan semangat, Dr. Ir. Hj. Giyatmi, MS, Dr.Ir. Sahrial, MS, serta Dr.Ir. Husein Syam, MP, penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan. Secara khusus, disampaikan pula terima kasih kepada Bapak Ir. H. Agus Arifin Nu’mang, MS, atas segala dukungan dan motivasi yang telah diberikan. Ungkapan tulus dan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Akhir kata, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

(7)

RIWAYAT HIDUP

RINDAM LATIEF, dilahirkan di Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan pada tanggal 2 Maret 1964 dari ayah purnawirawan TNI-AD bernama H. A. Latief dan ibu Hj. Suhaeni Patawari. Penulis adalah anak kedua dari delapan bersaudara.

Pendidikan Dasar diselesaikan penulis pada SD Negeri 89 Sabbangparu, Wajo dan tamat pada tahun 1976, kemudian melanjutkan pendidikan pada SMP Negeri 1113 Sabbangparu, Wajo dan tamat pada tahun 1979/1980. Pendidikan selanjutnya dijalani di SMA Negeri 3 Ujung Pandang dan tamat tahun 1983. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin. Pada tahun kedua, penulis menetapkan pilihan pada Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, hingga lulus pada tahun 1987. Tahun 1990, penulis melanjutkan pendidikan di Strata Dua pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada Mei 1993. Pada tahun 2000, penulis kembali melanjutkan pendidikan di Strata Tiga pada Program Studi Ilmu Pangan dengan bidang kajian Manajemen Industri Pangan.

(8)

RINDAM LATIEF, 2006. Kajian Pengembangan Industri Pangan Berbasis Buah-Buahan Unggulan Di Provinsi Sulawesi Selatan. Ditinjau dari Aspek Kelayakan dan Strategi Pengembangan. Di bawah bimbingan H. MUSA HUBEIS, sebagai Ketua Komisi, dengan anggota H. RIZAL SYARIEF dan SUGIYONO.

Industri pangan buah-buahan unggulan merupakan salah satu industri hasil pertanian yang menunjukkan perkembangan positif. Namun demikian, terdapat sejumlah persoalan yang menghambat perkembangannya, baik pada tingkat usaha tani maupun tingkat industri pengolahan.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun struktur sistem yang mempengaruhi kelayakan dan strategi pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), serta mengidentifikasi dan merumuskan pola keterkaitan dari faktor-faktor yang berpengaruh. Secara khusus, tujuan adalah : (1) melakukan identifikasi dan pemilihan prioritas buah unggulan dan produk unggulan, (2) pemetaan potensi dan lokasi sentra produksi buah unggulan setiap wilayah (daerah), (3) menyusun pohon industri buah unggulan, (4) menentukan pusat industri pengolahan, (5) menganalisis kelayakan usaha tani primer buah unggulan dan industri pengolahan produk unggulan, serta (6) menyusun strategi pengembangan industri pengolahan pangan berbasis buah-buahan unggulan.

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu (1) pemilihan prioritas

buah-buahan unggulan dengan metode Proses Hirarki Analitik (PHA), (2) pemetaan potensi buah unggulan, (3) penyusunan pohon industri buah

unggulan melalui pendapat pakar dan studi pustaka terbaru, (4) pemilihan prioritas produk unggulan dengan metode PHA, (5) penentuan pusat industri pengolahan dengan teknik analisis klaster, (6) analisis kelayakan usaha dengan kriteria kelayakan keuangan, dan (7) analisis strategi pengembangan menggunakan metode Matrice d,Impacts Croisés-Multiplication Appliqúée à un Classement

(MIC-MAC), Systémes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC) dan PHA.

Berdasarkan hasil pendapat pakar, diantara berbagai jenis buah-buahan yang banyak diusahakan oleh masyarakat di Provinsi Sulsel, buah jeruk keprok Siem dan jeruk Selayar, serta jeruk besar Pangkajene menjadi buah unggulan untuk dikembangkan. Sedangkan produk unggulan dari buah jeruk tersebut adalah sari buah (jus). Kawasan pengembangan buah jeruk dapat dipetakan berdasarkan potensi dan lokasi sentra produksi, serta agroekologis tanaman. Sedangkan pusat industri pengolahan, serta pusat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi berbasis buah jeruk, di Luwu Utara dan di Bantaeng.

Analisis kelayakan keuangan usaha tani jeruk keprok Siem dengan jumlah tanaman 400 pohon per hektar, menunjukkan nilai NPV Rp. 123.109.946, IRR 23,12%, Net B/C 1,77 dan PBP 6,1 tahun. Sedangkan untuk jeruk besar

Pangkajene dengan jumlah tanaman 200 pohon per hektar, yaitu NPV Rp. 140.003.397, IRR 23,34%, Net B/C 2,08 dan PBP 6,0 tahun. Analisis

(9)

dengan kapasitas produksi 300.000 l/tahun atau 1.000 l/hari (skala kecil), adalah NPV Rp. 3.922.471.114, IRR 21,34%, Net B/C 1,99, PBP 6,1 tahun dan layak dengan risiko rendah. Sedangkan untuk produksi sari buah jeruk keprok Siem dengan kapasitas produksi 450.000 l/tahun atau 1.500-1.600 l/hari (skala menengah), adalah : NPV Rp. 13.483.109.719, IRR 25,68%, Net B/C 2,73, PBP 6,4 tahun dan layak dengan risiko usaha tinggi.

Analisis kelayakan keuangan produksi sari buah jeruk besar Pangkajene dengan kapasitas produksi 300.000 l/tahun atau 1.000 l/hari (skala kecil) adalah NPV Rp. 1.050.682.541, IRR 16,70%, Net B/C 1,27, PBP 6,1 tahun dan layak dengan risiko rendah. Sedangkan untuk produksi sari buah jeruk besar Pangkajene dengan kapasitas produksi 450.000 l/tahun atau 1.500-1.600 l/hari (skala menengah) adalah NPV Rp. 3.891.637.628, IRR 19,48%, Net B/C 1,50, PBP 6,9 tahun dan layak dengan risiko usaha tinggi.

Analisis struktural sistem dengan metode MIC-MAC, berhasil mengidentifikasi 19 peubah yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan industri pangan buah unggulan, dan 8 peubah (lahan usaha tani; kebijakan nasional; kecenderungan global; keadaan daerah kawasan; pengaruh ekonomi, teknologi dan informasi; sarana (prasarana) dan teknologi usaha tani; kelembagaan dan kemitraan; dan kebijakan Perda) merupakan peubah eksplikatif. Dari analisis prospektif ditunjukkan bahan pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan, diprediksi pada 15 tahun mendatang dengan subsistem usaha tani akan mampu berkembang menjadi usaha tani modern, produktif, komersial dan berkelanjutan. Sedangkan subsistem industri pengolahan skala kecil diprediksi lebih lambat 5 tahun bila dibandingkan dengan skala menengah atau besar. Selanjutnya, sintesis strategi pengembangan industri pangan dalam bentuk skenario normatif berdasarkan metode SMIC. Strategi disintesis berdasarkan 10 peubah kunci keberhasilan pengembangan industri pangan, yaitu pewilayahan sentra produksi, infrastruktur wilayah, status orgaware, status

infoware, mutu kebijakan, mutu penyelenggaraan Pemda, status technoware, status humanware dan jaringan kerjasama, serta kerjasama teknologi.

(10)

RINDAM LATIEF, 2006. Study of prime fruits-based food industry development in

the province of South Sulawesi, viewed from feasibility aspect and development

strategy. Under the supervision of H. MUSA HUBEIS, the head of commission, and

H. RIZAL SYARIEF and SUGIYONO, the members.

Food industry of prime fruits is one of cash crop industries which are

developing rapidly. Nevertheless, there are some problems both in cultivation and in

processing industries.

This research was aimed at designing a system structure which influenced

feasibility and strategy of prime fruits-based food industry development in the

province of South Sulawesi, identifying and formulating an interrelated pattern of

influential factors. The aims further detailed as follows: (1) identifying and selecting

the priority for prime fruits and products; (2) mapping the potencies and locations of

the production center for prime fruits in each area or region; (3) arranging trees of

prime fruit industries; (4) determining a center for a processing industry;

(5) analyzing the feasibility of primary agribusiness in prime fruits and processing

industries for prime products; and (6) formulating the strategy of prime fruits-based

food processing industry development.

The research was conducted in several stages: (1) selecting the priority for

prime fruits using the method of Analytical Hierarchical Process (AHP); (2) mapping

the potencies of prime fruits; (3) arranging trees of prime fruit industry by means of

interviewing experts and studying the latest references; (4) selecting the priority for

prime products using the AHP method; (5) determining a center for processing

industry using the cluster analysis technique; (6) analyzing business feasibility using

the criteria of financial feasibility; (7) analyzing the development strategy using the

method of

Matrice d

,

Impacts Croisés-Multiplication Appliqúée à un Classement

(MIC-MAC),

Systémes et Matrices d’Impacts Croisés

(SMIC) and AHP.

Based on the result of interviewing experts, among the different kinds of fruit

mostly cultivated by the people of South Sulawesi, Siem (

Citrus reticulata

), Selayar

(

C

.

reticulata

), and Pangkajene (

C

.

grandis

) became prime fruits to be developed.

Meanwhile, the prime product of the citrus is juice. Regional development for citrus

was mapped based on potency and location of the production center and

agro-ecological plant. In the meantime, the center for citrus-based development and

processing industry was in North Luwu and Bantaeng.

(11)

with a production capacity of 300,000 liter annually or

1,000 liter/day (small scale)

was NPV Rp. 3,922,471,114, IRR 21.34%, Net B/C 1.99, PBP 6.1 years and it was

feasible with low risk. Meanwhile, to produce the juice of Siem (

C. reticulata

) with

a production capacity of 450,000 liter annually or 1,500-1,600 liter/day

(medium

scale) required NPV Rp. 13,483,109,719, IRR 25.68%, Net B/C 2.73, PBP 6.4 years

and it was feasible with high-risk business.

Financial feasibility analysis of producing the juice of Pangkajene

(

C. grandis

) with a production capacity of 300,000 liter annually or

1,000 liter/day

(small scale) was NPV Rp. 1,050,682,541, IRR 16.7%, Net B/C 1.27, PBP 6.1 years

and it was feasible with low risk. In the meantime, to produce the juice of

Pangkajene (

C. grandis

) with a production capacity of 450,000 liter annually or

1,500-1,600 liter/day (medium scale) required NPV Rp. 3,891,637,628, IRR 19.48%,

Net B/C 1.50, PBP 6.9 years and it is feasible with high-risk business.

Analysis of system structure using MIC-MAC method was successful in

identifying 19 parameters essential for the success of prime fruits-based food industry

development, and 8 parameters (land; national policy; global trend; regional situation;

effects of economy, technology and information; facility/infrastructure and

agricultural technology; institution and partnership; and regional regulation) were

explicative. Prospective analysis was revealed that prime fruits-based food industry

development in the next 15 years would become a subsystem of agricultural efforts

which potentially develop into agricultural endeavors which are modern, productive,

commercial, and sustainable. On the other hand, the sub-system of small-scaled

processing industry was predicted to be 5 years later compared to medium or large

scaled industries. The synthesis of development strategy of food industry in form of

normative scenario was based on SMIC. Desensitized strategy was based on 10 key

parameters of the success in developing food industry, that is, segmenting production

centers, regional infrastructure, orgaware status, infoware status, quality policy,

quality of regional development performance, technoware status, humanware status,

cooperation network, and technological cooperation.

The types of strategy which were able to strengthen the prime fruits-based

food industry in the province of South Sulawesi are (1) revitalizing production

centers; (2) strengthening and integrating existing processing industries; (3)

supporting new investment; and (4) managing business partnership and technical

cooperation.

Keywords: Food industry, South Sulawesi, Citrus

sp.,

financial feasibility, system,

development strategy

.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA... 8

Keragaan Pengembangan Komoditas Hortikultura ... 8

Komoditas Unggulan... 14

Produk Agroindustri Unggulan ... 18

Industri Pangan ... 20

Pendekatan Sistem dan Pengambilan Keputusan... 23

Penyusunan Skenario ... 40

Analisis Kelayakan Usaha ... 42

Analisis Klaster ... 47

Konsep Strategi ... 51

Hasil Penelitian Terdahulu ... 53

Kebijakan Pembangunan Provinsi Sulsel ... 53

METODOLOGI PENELITIAN ... 56

Kerangka Pemikiran Penelitian... 56

Waktu dan Tempat Penelitian ... 58

Pengumpulan Data dan Informasi... 59

Pengolahan dan Analisis Data ... 59

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

Pemilihan Prioritas Buah-buahan Unggulan ... 64

Pemetaan Potensi Buah Unggulan ……… 73

Penyusunan Pohon Industri Buah Unggulan ... 88

(13)

Analisis Strategi Pengembangan ... 124

KESIMPULAN DAN SARAN ... 160

Kesimpulan ... 160

Saran ... 161

DAFTAR PUSTAKA ... 163

LAMPIRAN... 172

(14)

No. Teks Halaman

1. Perkembangan produksi hortikultura pada tahun 2000-2004 .. ... 9

2. Nilai PDB subsektor hortikultura pada tahun 2000-2004... 9

3. Perkembangan ekspor dan impor buah-buahan Indonesia pada ... tahun 1999-2004 ... 10

4. Jumlah tenaga kerja subsektor hortikultura pada tahun 2000-2004... 11

5. Ketersediaan buah-buahan dan sayuran pada tahun 2001-2004 ... 11

6. Tanaman buah unggulan dan wilayah pengembangan ... 15

7. Abstraksi sistem hirarki keputusan ... 35

8. Intensitas nilai kriteria pendapat pada proses PHA ... 37

9. Tahapan penelitian, aktivitas dan metode yang digunakan ... 58

10. Daftar kriteria pemilihan prioritas buah unggulan... 64

11. Matriks antara buah-buahan unggulan lokal dan unggulan nasional... pada wilayah pengembangan Provinsi Sulsel ... 65

12. Potensi dan luas areal jenis buah-buahan di Provinsi Sulsel ... 65

13. Daftar urutan prioritas buah unggulan ... 66

14. Daftar urutan prioritas kriteria buah unggulan... 66

15. Deskripsi singkat jeruk keprok Siem dan jeruk Selayar ... 68

16. Deskripsi singkat jeruk besar Pangkajene Putih dan Merah ... 69

17. Potensi dan lokasi sentra produksi buah jeruk di Provinsi Sulsel... 74

18. Rekapitulasi data dan informasi aktivitas usaha tani buah jeruk ... setiap sentra produksi... 83

19. Penanganan buah jeruk masing-masing sentra produksi ... 84

20. Rekapitulasi data dan informasi agroekologis tanaman jeruk setiap ... sentra produksi ... 86

21. Daftar kriteria pemilihan prioritas produk unggulan ... 103

22. Daftar urutan prioritas produk unggulan ... 104

23. Daftar urutan prioritas kriteria produk unggulan ... 104

24. Jenis produk sari buah menurut kandungan TPT dan sari buah ... 106

25. Bobot kriteria penentuan pusat industri pengolahan... 108

26. Jarak antara titik pusat klaster dengan titik pusat seluruh anggota ... 109

(15)

29. Hasil analisis keuangan usaha tani jeruk keprok Siem dan jeruk...

besar Pangkajene... 117

30. Ekspor dan impor jeruk olahan Indonesia pada ... tahun 2000-2005 ... 119

31. Data dan informasi, serta asumsi untuk analisis keuangan produksi.... sari jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene ... 120

32. Hasil analisis keuangan produksi sari buah jeruk keprok Siem... dan jeruk besar Pangkajene... 121

33. Hasil analisis sensivitas produksi sari buah jeruk keprok Siem... skala kecil dan menengah ... 122

34. Hasil analisis sensivitas produksi sari buah jeruk besar Pangkajene... skala kecil dan menengah ... 122

35. Waktu panen berbagai jenis buah-buahan unggulan di Provinsi ... Sulsel... 124

36. Daftar peubah sistem pengembangan industri pangan buah jeruk... 125

37. Karakteristik peubah sistem pengembangan industri pangan ... buah jeruk... 128

38. Peubah masukan sistem pengembangan industri pangan... berbasis buah-buahan unggulan ... 128

39. Peubah pengendali sistem pengembangan industri pangan ... buah jeruk... 129

40. Daftar kejadian hipotesis... 131

41. Tahapan evolusi karakteristik infrastruktur wilayah... 133

42. Tahapan evolusi karakteristik pewilayahan sentra produksi... 134

43. Tahapan evolusi karakteristik status technoware... 135

44. Tahapan evolusi karakteristik status humanware ... 135

45. Tahapan evolusi karakteristik status orgaware... 136

46. Tahapan evolusi karakteristik status infoware ... 137

47. Tahapan evolusi karakteristik status jaringan kemitraan ... 137

48. Tahapan evolusi karakteristik status kerjasama teknologi... 138

49. Tahapan evolusi karakteristik status mutu kebijakan ... 139

50. Tahapan evolusi karakteristik status mutu penyelenggaraan... Pemda... 139

51. Daftar peubah kunci keberhasilan pengembangan industri ... pangan beserta kriteria pengukuran ... 144

(16)
(17)

No. Teks Halaman

1. Peta jalan pengembangan jeruk tahun 2005-2010 ... 21

2. Model Masukan-Lingkungan-Proses-Luaran dari penanganan industri pengolahan pangan ... 23

3. Bagan motor-respon menurut metode MIC-MAC... 28

4. Grafik pembandingan klasifikasi langsung dengan klasifikasi... MIC-MAC pada kasus peubah motor ... 30

5. Tahapan kerja metode MIC-MAC ... 32

6. Formulasi matriks pendapat individu... 36

7. Kerangka manajemen strategik... 52

8. Diagram alir tahapan penelitian pengembangan industri pangan buah.. unggulan... 63

9. Peta potensi dan lokasi sentra produksi ... 75

10. Sentra produksi buah jeruk di Kabupaten Luwu Utara... 78

11. Sentra produksi buah jeruk di Kabupaten Pangkep ... 79

12. Sentra produksi buah jeruk di Kabupaten Bantaeng... 80

13. Sentra produksi buah jeruk di Kabupaten Bulukumba ... 81

14. Sentra produksi buah jeruk di Kabupaten Selayar ... 82

15. Peta agroekologis tanaman jeruk ... 87

16. Pohon industri buah jeruk keprok Siem ... 90

17. Pohon industri jeruk besar ... 91

18. Proses produksi sari buah jeruk ... 93

19. Proses produksi pektin buah jeruk ... 99

20. Proses produksi jelli buah jeruk ... 100

21. Proses produksi selai buah jeruk... 101

22. Proses produksi minyak esensial jeruk ... 102

23. Dendogram daerah sentra produksi buah jeruk ... 109

24. Rantai pemasaran jeruk keprok Siem di Provinsi Sulsel ... 112

25. Rantai pemasaran jeruk besar asal Pangkep Provinsi Sulsel ... 113

26. Diagram motor-respon sistem pengembangan industri pangan... buah jeruk... 127

(18)

30. Model struktural pengembangan subsistem industri pengolahan... 147 31. Peta jalan pengembangan industri pangan berbasis buah jeruk ...

(19)

No. Teks Halaman

1. Hasil penelitian terdahulu .. ... 173

2. Peta sentra kawasan pengembangan jeruk di Provinsi Sulsel... 174

3. Daftar responden pakar ... 175

4. Kuesioner penelitian identifikasi peubah sistem ... 176

5. Kuesioner peluang kejadian tunggal ... 185

6. Indikator tahap evolusi peubah sistem industri pangan berbasis ... buah unggulan ... 194

7. Daftar kriteria pemilihan prioritas buah unggulan ... 195

8. Keadaan topografi di Provinsi Sulsel... 197

9. Ketinggian daerah pegunungan di Provinsi Sulsel ... 197

10. Pohon industri buah-buahan ... 198

11. Daftar kriteria pemilihan prioritas produk unggulan ... 199

12. Matriks pendapat agregat untuk penentuan pusat industri... pengolahan ... 200

13. Analisis keuangan usaha tani jeruk keprok Siem... 201

14. Analisis keuangan usaha tani jeruk besar Pangkajene. ... 205

15a. Analisis keuangan produksi sari buah jeruk keprok Siem ... 209

15b. Analisis keuangan produksi sari buah jeruk keprok Siem ... 213

16a. Analisis keuangan produksi sari buah jeruk besar Pangkajene... 217

16b. Analisis keuangan produksi sari buah jeruk besar Pangkajene... 221

17. Daftar peubah sistem yang memuat daftar lengkap sistem ... pengembangan industri pangan buah jeruk... 225

18. Matriks hubungan kontekstual antar peubah sistem ... 229

19. Hasil klasifikasi langsung peubah motor dan respon pada matriks ... pangkat 1 ... 230

20. Hasil klasifikasi tidak langsung peubah motor dan respon hasil ... stabilisasi matriks pada matriks pangkat 5... 221

21. Hubungan kontekstual kejadian hipotesis... 232

(20)

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan jenis tanaman hortikultura. Di antara jenis tanaman hortikultura yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah buah-buahan. Kenyataan ini, didukung oleh potensi alam dengan iklim dan ketinggian yang memungkinkan musim panen berbeda antar daerah. Selain itu, Indonesia juga mempunyai potensi lahan ± 9,7 juta Ha, serta potensi lebih 6.000 sumber plasma nutfah buah-buahan yang bervariasi dan memungkinkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber tetua untuk pemuliaan (Poerwanto, 2000).

Sebagai negara tropis, buah-buahan Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif, baik peningkatan konsumsi maupun kuantitas. Komoditi ini, semakin digemari oleh masyarakat luas, karena memiliki citarasa yang khas dan kesan menyegarkan. Selain itu, buah-buahan menjadi sumber vitamin dan mineral yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM).

(21)

Tingginya permintaan pasar, baik dikonsumsi segar maupun sebagai bahan baku industri pangan, serta potensi peningkatan nilai tambah telah menjadi peluang bagi pengembangan agrobisnis buah-buahan dan sumber pertumbuhan baru ekonomi dewasa ini. Industri pangan adalah industri yang mengolah komoditas pangan yang bersumber dari hasil-hasil pertanian (misal, buah-buahan) menjadi produk olahan (misal, makanan dan minuman) hingga perdagangan dan distribusinya. Industri ini memiliki berbagai keunggulan (misal, penyediaan lapangan kerja, bahan baku berbasis lokal, skala usaha, pasar lokal, substitusi produk impor dan ragam produk). Dalam operasionalisasinya, sesuai komoditas yang digunakan industri pangan dapat dikategorikan berskala usaha kecil hingga besar. Skala usaha tersebut sangat ditentukan oleh ketersediaan dan produktivitas lahan (sentra produksi). Terkait dengan kenyataan tersebut, yang akan difokuskan dalam penelitian ini adalah ketersediaan bahan baku yang berbasis lokal.

Di sisi lain, pengembangan agrobisnis buah-buahan menghadapi kendala atau kelemahan, yakni (1) daya saing lemah, (2) varietas beragam, (3) jumlah perusahaan pemuliaan dan pembibitan belum memadai dan tidak profesional, (4) teknologi produksi dan pascapanen belum lengkap dan tidak tepat, (5) penyediaan modal yang kurang dan bunga bank tinggi, (6) kemampuan dan

pengetahuan petani yang masih rendah, (7) kelembagaan di tingkat petani, (8) sistem pemasaran (prasarana dan sarana, efisiensi, informasi dan diferensiasi harga), dan (9) kelembagaan riset dan pengembangan yang kurang (Poerwanto, 2000). Kelemahan tersebut mengakibatkan akhir-akhir ini, laju impor Indonesia untuk komoditas buah-buahan lebih tinggi bila dibandingkan dengan peningkatan ekspornya. Tahun 2004 ekspor buah-buahan Indonesia sebesar 210.500.808 kg dengan nilai US$ 122.836.691. Sedangkan nilai impor pada tahun yang sama lebih tinggi, yakni 393.353.172 kg dengan nilai US$ 224.589.553 (BPS, 2004). Keadaan ini mengindikasikan bahwa agrobisnis buah-buahan Indonesia belum berkembang secara baik.

(22)

perlu dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif, melalui pengembangan antar sektor yang terpadu dan keterkaitan kuat hulu dan hilir. Strategi pengembangan yang tepat akan menghasilkan buah-buahan tropika Indonesia dapat menjadi andalan ekspor, pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan pemulihan ekonomi rakyat.

Di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), secara keseluruhan sektor pertanian masih mendominasi struktur perekonomian. Tahun 1994, pemerintah provinsi menyusun strategi dasar pembangunan sektor pertanian yang disebut Tri Konsep, meliputi (1) pewilayahan komoditas, (2) petik olah jual, dan (3) perubahan pola pikir. Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian, meningkatkan pendapatan petani, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan penerimaan devisa. Selanjutnya, untuk mempertajam strategi dan program pembangunan, dikembangkan Gerakan Peningkatan Produksi Ekspor Dua Kali Lipat (Grateks-2) dan Gerakan Masyarakat untuk Padi, Palawija dan Jagung (Gema Palagung). Namun demikian, pelaksanaan gerakan masyarakat tersebut mengalami berbagai masalah, misalnya pengembangan komoditas tidak tepat dan bersifat sektoral (tidak terpadu), pola yang tidak jelas dan tidak fokus. Kondisi ini menyebabkan pengembangan komoditas memiliki nilai tambah dan daya saing rendah (Pemprov Sulsel, 2004). Haeruman (1997), menyatakan dalam rangka memanfaatkan keunggulan komparatif daerah dan penghapusan kemiskinan, dilakukan upaya regionalisasi pertanian, meliputi (1) program pewilayahan

komoditi, (2) program peningkatan pendapatan petani kecil, dan (3) pengembangan pusat-pusat produksi. Selanjutnya, dijelaskan bahwa untuk

(23)

seharusnya mengembangkan komoditas pertanian sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, metodologi penentuan komoditas dan produk unggulan, serta wilayah pengembangan agroindustri suatu daerah memerlukan acuan dan konsensus yang jelas. Hal ini terkait dengan pengambilan keputusan pada pengembangan agroindustri banyak diwarnai oleh pengaruh birokrasi, misalnya perbedaan kriteria yang digunakan antar instansi. Akibatnya, muncul bias terhadap komoditas dan produk yang diunggulkan pada suatu wilayah.

Sejalan dengan penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, terbuka peluang dan sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk menggali dan memanfaatkan sumber daya daerah masing-masing. Dalam hal ini, prioritas utama yang tepat dalam pengembangan ekonomi daerah adalah pembangunan sektor pertanian, karena terkait dengan kegiatan ekonomi rakyat banyak. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 pemerintah Provinsi Sulsel menyusun konsep pemberdayaan ekonomi rakyat, yakni Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas). Gerakan ini merupakan kerjasama saling mendukung antara Pemda, Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Riset dan Pelatihan, Perbankan serta Swasta dalam suatu program perekonomian yang jelas, terfokus, berkeadilan, terukur dan berkesinambungan. Secara umum, tujuan gerakan tersebut adalah untuk memperkuat struktur perekonomian daerah, terciptanya iklim investasi yang kondusif dan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Pemprov Sulsel, 2004).

(24)

Pemprov Sulsel menyusun strategi pendekatan klaster industri melalui sentra pengembangan komoditi, yakni (1) buah markisa di Tana Toraja (Tator), Enrekang dan Gowa, (2) buah mangga di Maros, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Barru, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Luwu, (3) buah jeruk di Luwu Utara, Pangkep, Bulukumba dan Bantaeng. Namun demikian, pengembangan industri pengolahan pangan tersebut memiliki sejumlah permasalahan, diantaranya (1) dukungan pemodalan yang kurang, (2) kemampuan SDM rendah, (3) kemampuan manajemen terbatas, (4) penguasaan teknologi pengolahan masih rendah, (5) jaringan pemasaran yang lemah, dan (6) kesadaran pelestarian lingkungan hidup rendah (Disperindag, 2005).

Penelitian tentang komoditas buah-buahan di Provinsi Sulsel telah banyak dilakukan, diantaranya adalah buah markisa (Intan, 1994; Latief, 1996), buah jeruk manis (Saptana dan Noekman, 1994) dan buah jeruk besar Pangkajene (Munir dan Latief, 1998), akan tetapi penelitian-penelitian tersebut umumnya hanya menyangkut aspek tertentu dan belum bersifat menyeluruh, serta terpadu. Hasil penelitian demikian tidak dapat langsung digunakan sebagai dasar pengembangan agroindustri pangan, dalam hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor (Gumbira dan Intan, 2001a).

(25)

yang berorientasi penguatan kemampuan nasional. Untuk mendukung kebijakan tersebut, diprioritaskan terwujudnya kemandirian dan ketahanan pangan serta peningkatan daya saing produk; revitalisasi terhadap nilai kearifan lokal; meningkatkan jaringan kemitraan dengan lembaga terkait baik nasional maupun internasional; serta proses implementasi (translation) pengetahuan global (global knowledge) ke dalam situasi lokal setempat (site specifics), dengan kriteria (1) kemanfaatan dan keuntungan (beneficial and profitability) dari komoditas unggulan (misal, tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, perkebunan, perikanan, hasil laut serta ternak besar dan kecil), (2) keberlanjutan (sustainability), (3) keamanan dan mutu (safety and quality), (4) diversifikasi dan penciptaan nilai tambah (diversification and adding value), (5) pengembangan pasar (market development), dan (6) pendayagunaan lahan marginal yang kurang subur (Anonim, 2005).

Berdasarkan pada potensi, keadaan usaha pertanian buah-buahan, perkembangan hasil penelitian terdahulu, serta kebijakan Iptek nasional maka diperlukan suatu kajian mendalam tentang bagaimana kelayakan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan yang terintegrasi dan terkait kuat antara hulu dan hilir, sebagai salah satu upaya untuk pembangunan ekonomi daerah ?. Selain itu, diperlukan pula analisis strategi pengembangan yang tepat sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi pengambil keputusan. Selanjutnya, didasarkan atas adanya interaksi atau saling keterkaitan antara satu komponen (elemen) dengan komponen lain dan faktor (peubah) yang dinamis dalam pemenuhan kebutuhan, maka pemecahannya dilakukan dengan pendekatan sistem. Pendekatan sistem adalah suatu metodologi pemecahan masalah bersifat menyeluruh dan terpadu (holistic), berorientasi tujuan (cybernetics)dan bersifat operasional (effective).

(26)

berperan dalam pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan ?; dan (4) Bagaimanakah penyusunan strategi pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan dan unsur-unsur peluang serta tantangan, yang mendukung rekomendasi dan penerapan lain terkait dengan perubahan situasional ?.

Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah :

1. Menyusun struktur sistem yang mempengaruhi kelayakan dan strategi pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan.

2. Mengidentifikasi dan merumuskan pola keterkaitan dari faktor-faktor yang berpengaruh dalam strategi pengembangan industri pangan berbasis buah-buah unggulan.

Secara khusus, tujuan penelitian adalah :

1. Melakukan identifikasi dan pemilihan prioritas buah unggulan dan produk unggulan.

2. Pemetaan potensi dan lokasi sentra produksi buah unggulan setiap wilayah (daerah), menyusun pohon industri dan menganalisis kelayakan usaha tani primer, serta pengembangan industri pengolahan produk unggulan.

(27)

Keragaan Pengembangan Komoditas Hortikultura

Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan biofarmaka, merupakan komoditas yang prospektif untuk dikembangkan. Keadaan ini didukung adanya potensi SDA, SDM, ketersediaan teknologi dan potensi pasar, baik domestik maupun luar negeri yang semakin meningkat. Selain itu, dengan semakin meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, mendorong peningkatan kemampuan daya beli, kesadaran dan preferensi permintaan terhadap komoditas hortikultura, untuk diversifikasi konsumsi dan perbaikan gizi. Pembangunan dan pengembangan subsektor hortikultura diharapkan menghasilkan peningkatan luas areal tanam, peningkatan produksi, perbaikan mutu, peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), peningkatan kemampuan SDM dan peningkatan nilai ekonomi produk.

1. Potensi dan Produksi

Ditinjau dari dukungan SDA, Indonesia mempunyai potensi sangat besar. Kondisi agroekologis yang bervariasi memungkinkan ketersediaan berbagai jenis lahan, daya dukung (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability), dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis tanaman hortikultura. Selain itu, ketersediaan lahan-lahan potensial yang mencakup lahan tegalan (kebun), lahan terlantar, lahan pasang surut, lahan perkebunan terlantar dan sebagian lahan sawah dapat diusahakan menjadi lahan pengembangan secara tumpang sari maupun pergiliran tanaman. Perkembangan produksi hortikultura menunjukkan peningkatan rataan 9,21% per tahun. Perkembangan produksi hortikultura tahun 2000-2004 disajikan pada Tabel 1.

(28)

perbedaan musim serta iklim antar waktu dan antar daerah, menyebabkan terjadi perbedaan jenis dan waktu panen. Khusus untuk buah-buahan, peningkatan produksi terlihat dari ketersediaan yang melimpah di pasar tradisional, harga yang relatif stabil dan kontinu sepanjang tahun.

Tabel 1. Perkembangan produksi hortikultura pada tahun 2000-2004

Produksi (Ribuan Ton) Komoditas

2000 2001 2002 2003 2004

Buah-buahan 8.378 9.959 11.664 13.551 14.365

Sayuran 7.559 6.920 7.145 8.575 8.715

15*) 20*) 18*) 16*) 16*)

102.7741) 113.9421) 118.8551) 115.7391) 119.3281)

7542) 4272) 1.1892) 6682) 6902)

Tanaman Hias

- - - 2.5533) 2.6503)

Biofarmaka 193 208 203 229 241

Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005.

Keterangan :*) Bunga melati, (1) Satuan tangkai (krisan, mawar, sedap malam, anyelir dan gerbera), (2) Satuan pohon (palem) dan (3) Satuan batang (dracaena).

2. Produk Domestik Bruto

Sumbangan subsektor hortikultura terhadap PDB (berdasarkan harga berlaku) sejak tahun 2000-2004 meningkat rataan 6,08% per tahun. Nilai ekonomi PDB disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai PDB subsektor hortikultura pada tahun 2000-2004

Tahun Nilai (Rp.Trilium)

2000 41,73 2001 47,52 2002 51,00 2003 53,89 2004 55,79 Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005.

(29)

untuk konsumsi rumah tangga, permintaan pasar domestik berasal dari pasar swalayan, industri pariwisata (hotel dan restoran) dan industri pengolahan pangan. Selain permintaan pasar domestik, permintaan untuk pasar ekspor juga terbuka lebar. Ekspor dan impor buah-buahan tropis Indonesia berfluktuasi. Walaupun demikian, rataan pertumbuhan ekspor 2,82% dengan nilai rataan 0,69%. Sedangkan pertumbuhan impor 37,98% dengan nilai rataan 38,26%. Perkembangan volume dan nilai ekspor-impor buah-buahan Indonesia disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan ekspor dan impor buah-buahan Indonesia pada tahun 1999-2004

Ekspor Impor Tahun

Volume (Kg) Nilai (US$) Volume (Kg) Nilai (US$)

1999 264.955.554 132.967.838 110.409.321 61.352.034

2000 187.344.905 94.703.116 246.621.488 145.057.885

2001 188.040.173 100.629.327 250.624.963 147.103.077

2002 225.367.780 138.373.394 274.783.344 220.253.270

2003 189.648.224 131.500.808 228.648.866 195.006.043

2004 210.182.344 122.836.691 393.353.172 224.589.553

Pertumbuhan

(%) 2,82 0,69 37,98 38,26

Sumber : BPS, 2004.

Kegiatan ekspor produk hortikultura Indonesia, sebenarnya telah mendapat tempat di pasar internasional dan menjadi peluang yang menarik. Namun demikian, ekspor produk hortikultura masih menghadapi hambatan, misalnya belum memenuhi Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Sanitary and Phytosanitary Measures (SPSM) (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2004a). Dalam halini, SPO sistem budidaya dan penanganan pascapanen buah jeruk segar, meliputi (1) tingkat produksi, (2) panen, dan (3) pascapanen (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2002a)

3. Tenaga Kerja

(30)

Tabel 4. Jumlah tenaga kerja subsektor hortikultura pada tahun 2000-2004 Tahun Jumlah tenaga kerja (orang)

2000 2.450.382 2001 2.410.291 2002 2.731.205 2003 2.950.282 2004 3.068.293 Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005.

4. Ketersediaan Buah-buahan

Ketersediaan buah-buahan dan sayuran per kapita nasional mengalami peningkatan. Namun demikian, nilai tersebut belum menunjukkan tingkat konsumsi, karena komoditas ini mudah mengalami kerusakan dan kehilangan sekitar 20%. Ketersediaan buah-buahan dan sayuran tingkat nasional disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Ketersediaan buah-buahan dan sayuran pada tahun 2001-2004

Tahun Buah-buahan

(kg/kapita/tahun) Sayuran (kg/kapita/tahun)

2001 43 28

2002 50 29

2003 52 31

2004 54 33

Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005.

5. Perbenihan

(31)

32 varietas tanaman buah-buahan, 28 varietas sayuran dan 1 varietas tanaman hias (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005).

6. Organisme Pengganggu Tanaman

Jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) yang menjadi prioritas penanganan adalah Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) dan penyakit

Diplodia pada tanaman jeruk, lalat buah pada beberapa jenis buah-buahan dan sayuran, penyakit layu pisang, ulat daun rambutan, lalat penggorok daun (Lyriomiza sp) dan siput panjang pada sayuran. Diperkirakan kerugian serangan OPT sekitar 30 milyar rupiah setiap tahun (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005).

7. Kelembagaan Usaha

Pengembangan usaha hortikultura, selain pewilayahan komoditas untuk pengembangan kawasan, juga dikembangkan jejaring pelaku agrobisnis antar dan inter sentra produksi dan sentra pemasaran, misalnya Kawasan Agrobisnis Sayuran Sumatera (KASS), Kahorti Krakatau (Lampung, Banten, Jawa Barat dan DKI) dan Kahorti Jabalsuka (Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara). Kelembagaan usaha ini dilengkapi dengan Forum Informasi dan Komunikasi. Selain itu, pada tingkat operasional dibentuk berbagai Assosiasi Produsen Komoditi, misalnya bawang merah, jamur, paprika, mangga, melon dan anggrek. Lembaga lain yang menjadi pendukung, misalnya Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Produksi Hortikultura (LSSM-Horti) untuk menyiapkan perusahaan atau kelompok usaha memperoleh sertifikasi sistem mutu Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005).

8. Strategi Pengembangan Usaha

(32)

prasarana relatif lengkap dan produk ditujukan untuk pasar swalayan, pasar khusus dan ekspor. Pembinaan kelompok ini dilakukan untuk adopsi teknologi maju sesuai SPO dan penerapan GAP. Dalam hal ini, untuk menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan perdagangan internasional, termasuk SPS. Pengembangan produksi pada kedua skala usaha tersebut, dilakukan dengan membentuk sentra-sentra produksi komoditi sejenis yang sesuai dengan kondisi agroekologis dan permintaan pasar. Selain itu, diprioritaskan untuk terbentuknya kebun komersial yang didukung oleh ketersediaan alat dan mesin pertanian, mulai dari penyiapan lahan sampai tahap pascapanen (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005).

9. Tantangan dan Hambatan

Pengembangan komoditas hortikultura diharapkan selain untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, juga untuk meningkatkan perolehan devisa negara. Dalam hal ini, beberapa tantangan yang harus dikembangkan, (1) lahan-lahan potensial yang tersedia cukup luas, namun tingkat kesuburannya rendah, ketersediaan air kurang dan status kepemilikannya kurang jelas, (2) penggunaan teknologi produksi, sarana dan prasarana petani masih sederhana, dan (3) kelembagaan sistem produksi belum efektif, terutama aspek pemasaran. Sedangkan hambatan dan masalah yang dihadapi, umumnya berkaitan teknik produksi, penanganan pascapanen dan pemasaran hasil masih tradisional.

10. Pengembangan Sentra Produksi Buah-buahan

(33)

kecamatan mencakup satu atau beberapa desa yang berdampingan merupakan kesatuan kumpulan kebun-kebun kecil (5-10 Ha). Kumpulan kecil (agregat), merupakan gabungan lahan petani (0,25-2 Ha) (Winarno, 2001).

Menurut Winarno (2001), pengembangan SPBT ke depan dilakukan dengan pendekatan agrobisnis yang mandiri, menjadi Kawasan Agrobisnis Buah Unggulan Tropika (KABUT). Orientasi kawasan ini, adalah pengembangan sarana dan prasarana, produksi, pengolahan dan pemasaran.

Komoditas Unggulan

Pemilihan komoditas unggulan pada suatu wilayah (daerah) memiliki arti strategis. Dalam hal ini, pemilihan komoditas unggulan diarahkan kepada jenis komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif, kompetitif dan dapat diusahakan secara efisien.

Menurut Bantacut (1997), penetapan komoditas unggulan merupakan langkah awal dan penting dalam upaya membangun agroindustri unggul yang mempunyai struktur kuat dan tangguh dalam bersaing. Struktur kuat adalah adanya keterkaitan antara sektor hulu dan hilir yang memiliki keunggulan kompetitif sesuai keunggulan komparatif. Oleh karena itu, komoditas unggulan hendaknya terpilih berdasarkan peluang pasar (permintaan) dan kemampuan produksi (penawaran).

(34)

unggul, tetapi tidak diminati oleh pasar, maka dapat dikelompokkan sebagai komoditas potensial. Sebaliknya, jika komoditas yang diminati pasar, tetapi tidak dapat diproduksi secara sinambung ditinjau dari karakteristik wilayahnya.

[image:34.612.135.497.411.617.2]

Ditjen Bina Produksi Hortikultura (2001a), menetapkan komoditas unggulan nasional dan daerah mengacu pada kriteria (1) besarnya pangsa pasar, (2) keuntungan kompetitif, (3) nilai ekonomi, (4) sebaran wilayah produksi, dan (5) kesesuaian agroekologis. Sebagai contoh tanaman buah unggulan nasional terdiri atas mangga, manggis, jeruk, salak, rambutan, durian dan pisang. Sedangkan buah unggulan daerah adalah duku, klengkeng, nangka, apel, sirsak, belimbing, jambu, semangka, blewah, nenas, markisa, sawo, anggur dan pepaya. Selanjutnya, buah unggulan lokal di Provinsi Sulsel, meliputi (1) jeruk keprok Siem, jeruk Selayar dan jeruk besar Pangkajenene, (2) mangga, (3) manggis, (4) pisang, (5) durian, (6) markisa, dan (7) rambutan (Distan TPH, Provinsi Sulsel, 2005). Secara nasional, tanaman buah unggulan dan wilayah pengembangannya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Tanaman buah unggulan dan wilayah pengembangan

Komoditas Wilayah pengembangan utama

Mangga Jabar, Jateng, Jatim, D.I Yogyakarta, NAD, Sumut, Sumbar, Sulteng, Sulsel, Bali, NTB dan NTT.

Manggis Sumut, Jabar, Bali, Sulsel, Sumbar, Riau, Jateng dan Jatim. Jeruk Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Sumbar, Jambi, Sultra, Sulsel,

Bali, NTT, Kalbar dan Kalsel.

Salak Jateng, D.I Yogyakarta, Jatim, Sumut, Sulut, Sulsel, Maluku, Bali dan NTB.

Rambutan Jabar, Jateng, Jatim, NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel, Bali dan NTB.

Durian Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu, Jabar, Jateng, Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Kaltim.

Pisang Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalsel, Kaltim dan Bali.

Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2001a.

(35)

ketergantungan atas impor (subtitusi impor), (4) masyarakat telah memahami teknologi budidaya dan pascapanen, dan (5) komoditas yang dikembangkan hanya satu dalam satu klaster. Sedangkan kriteria dan persyaratan lain suatu komoditas dapat dikategorikan unggul menurut Ditjen IHPK dalam Kustanto (1999) adalah :

1. Ketersediaan pasokan bahan baku secara kontinu. Dalam hal ini, proses pemilihan komoditas unggulan memerlukan analisis terhadap potensi areal yang tersedia, maupun yang dihasilkan per tahun.

2. Nilai ekonomis bahan baku. Dalam hal ini, nilai jual komoditas perkebunan didasarkan pada produksi per tahun dan harga jual.

3. Keterkaitan dengan pendapatan rakyat. Adanya pengaruh langsung kepada pendapatan rakyat, yakni memberikan pengaruh sangat besar pengelolaan komoditas tersebut dilakukan oleh rakyat selaku pemilik. Sebaliknya, akan kecil bila pengelolaannya dilakukan oleh swasta besar dan rakyat hanya berperan sebagai buruh.

4. Mempunyai kesempatan untuk diversifikasi produk. Dalam hal ini, diperoleh nilai yang tinggi, apabila komoditas tersebut dapat diproduksi menjadi bentuk produk hilir dengan nilai tambah tinggi.

5. Penyebaran lokasi. Dikatakan mempunyai nilai relatif kecil, apabila penyebarannya terlalu luas, sehingga akan mempersulit dalam pengumpulan komoditas tersebut.

6. Kemungkinan intensifikasi dan ekstensifikasi. Dikatakan mempunyai nilai besar, apabila dapat dilakukan intensifikasi dan peluasan areal.

7. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dapat mengunggulkan komoditi tertentu, dan memberikan nilai besar bila komoditi yang dipilih tersebut memang dianjurkan oleh pemerintah.

(36)

1. Kesesuaian agroekologis. Komoditas yang dikembangkan mengacu pada kesesuaian SDA (jenis dan kesuburan tanah, ketinggian tempat, curah hujan, ketersediaan pengairan dan topografi).

2. Kontinuitas pasokan bahan baku. Dalam hal ini, adanya peluang intensifikasi dan ekstensifikasi, jumlah tanaman, produktivitas dan diversifikasi.

3. Penyebaran lokasi. Penyebaran yang terlalu luas, akan meningkatkan biaya pengumpulan sehingga menekan harga jual.

4. Peningkatan pendapatan rakyat. Pengelolaan komoditas akan memberikan peningkatan pendapatan rakyat.

5. Budidaya. Dalam hal ini, pengembangan budidaya dapat dilakukan berdasarkan pada penggunaan varietas unggul, benih dan bibit sehat, adopsi teknologi budidaya yang spesifik lokasi, pengendalian OPT dan pupuk organik. Selain itu, terdapat peluang menerapkan GAP.

6. Alat dan mesin pertanian (Alsintani). Penggunaan alsintani yang tepat guna spesifik lokasi, tersedia dan harga terjangkau oleh petani.

7. Pascapanen. Dalam hal ini, penerapan teknologi pascapanen yang tepat, sarana yang tersedia dan dapat menghasilkan komoditas sesuai dengan standar mutu.

8. Permodalan. Akses mendapatkan modal untuk menunjang pengelolaan komoditas lebih mudah dengan suku bunga terjangkau, dan peluang untuk asuransi pertanian.

9. Pangsa pasar. Kemampuan pasar dalam menyerap komoditas dan produk, meliputi volume, tingkat mutu, harga, tata niaga dan tingkat persaingan diantara pelaku pasar.

10.Kelembagaan. Penguatan kelembagaan melalui koordinasi dan pembinaan di tingkat petani secara bottom-up sangat penting untuk meningkatkan posisi tawar, nilai tambah dan efisiensi bisnis.

(37)

12.Produk. Mempunyai kesempatan untuk diversifikasi, mempunyai nilai tambah tinggi pada produk hilir.

13.Keamanan. Komoditas dapat diproduksi melalui budidaya aman dan ramah lingkungan (penggunaan pestisida kimia seminimal mungkin, penggunaan agen hayati dan pertanian organik), serta sertifikasi produk.

IIustrasi komoditas unggulan adalah budidaya salak pondoh di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Buah salah pondok yang mempunyai rasa manis segar, dibudidayakan oleh kurang lebih 4.000 petani dalam areal 1.600 Ha, yang tergabung dalam Koperasi Gamadin. Kapasitas produksi buah 2.250 ton setiap minggu dari 3 juta rumpun pohon atau 9 juta pohon. Pemasaran salak pondok ditujukan pada pasar lokal, seperti pasar swalayan Hero Supermarket dan pasar ekspor ke negara Malaysia, Singapura, Inggris, Arab Saudi dan Jepang. Usaha pembudidayaan salak pondoh dikembangkan melalui kemitraan petani dengan PT. Sarana Yogya Ventura. Petani salak berhasil meningkatkan penghasilannya sebesar Rp. 2 juta setiap bulan dari areal 2.000 m2(Yani, 1997). Peningkatan kesejahteraan petani salak pondoh ini didukung oleh adanya kebijakan pemerintah melalui Instalasi Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian (IP2TP) dan keterlibatan tenaga ahli dari PT. Komoditas unggulan lain adalah paprika yang dikembangkan oleh PT. Saung Mirwan (Asnawi, 2000), buah nenas dan pisang (Gumbira dan Intan, 2001a); Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan (SPAKU) mangga gedong gincu di Indramayu, Cirebon dan Majalengka (Wardani, 1997).

Produk Agroindustri Unggulan

(38)

kriteria-kriteria tertentu. Menurut Ditjen IDKM (2005), kriteria produk (komoditi) pangan unggulan, yaitu (1) memiliki kekhasan, (2) tersedianya bahan baku dan pembantu (penolong), (3) teknologi dan peralatan mudah, (4) pasar prospektif, dan (5) modal terjangkau. Selain itu, kriteria produk agroindustri unggulan menurut Ditjen IHPK dalam Kustanto (1999) adalah :

1. Kondisi bahan baku. Hal ini menjabarkan lebih rinci tentang kondisi komoditas unggulan terpilih yang mampu menciptakan kesinambungan dalam pengembangan agroindustri.

2. Pohon industri dan pemanfaatannya. Informasi mengenai produk turunan yang dapat dihasilkan dari komoditas unggulan, termasuk pemanfaatan setiap produk agroindustri.

3. Kondisi agroindustri dari komoditas pertanian unggulan saat ini. Industri yang telah ada dan akan dikembangkan di suatu daerah studi, mencakup prospek dan permasalahan yang dihadapi.

4. Peluang pasar. Prospek kebutuhan akan produk agroindustri yang akan diunggulkan, baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

5. Teknologi yang dipakai. Dalam hal ini, perlu dipertanyakan, apakah teknologi yang dipakai untuk memproduksi tersedia ?, dan apabila produk yang akan dikembangkan berada pada tahap skala laboratorium, maka diartikan bahwa teknologi belum terjamin.

6. Penyebaran tenaga kerja. Dalam hal ini, perlu dipertanyakan, apakah agroindustri yang akan dikembangkan memerlukan tenaga kerja banyak atau sedikit ?, dan apabila memerlukan tenaga kerja yang banyak, maka tahap penilaian akan memberikan nilai yang besar pula.

7. Dampak ganda terhadap produk lain. Dalam hal ini, perlu dipertanyakan, apakah pendirian agroindustri memerlukan penunjang dari industri lainnya ?. 8. Dampak lingkungan. Dalam hal ini, perlu dipertanyakan, apakah agroindustri

tersebut cukup ramah lingkungan atau menggunakan teknologi bersih ?. 9. Kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, kemungkinan adanya kebijakan

(39)

Ilustrasi produk agroindustri unggulan adalah industri pengolahan kelapa sawit, yaitu Crude Palm Oil (CPO). Produk ini memiliki produk turunan misalnya oleochemical, sabun (deterjen), pelumas dan bahan bakar yang memiliki nilai tambah tinggi. Ilustrasi lain adalah komoditas buah-buahan dalam hal ini, buah jeruk. Buah jeruk dan hasil olahannya cukup menguntungkan untuk dikembangkan sebagai produk agroindustri unggulan. Jika diusahakan dengan baik, dapat meningkatkan pendapatan petani dan menumbuh-kembangkan perekonomian regional. Hasil olahan buah jeruk, misalnya sari murni (jus), konsentrat, sirup, tepung sari, jam, jelli, marmalade, cuka, pektin dan minyak esensial. Namun demikian, pengembangan buah jeruk dan hasil olahannya sebagai produk unggulan buah tropis memerlukan waktu panjang sehingga memerlukan panduan melalui peta jalan (roadmap). Sebagai contoh, pengembangan agroindustri buah jeruk keprok Siem pada kurun waktu lima tahun mendatang diarahkan untuk (1) mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, (2) memenuhi kebutuhan bahan baku industri, (3) substitusi impor, dan (4) pasar ekspor (Balitbang Pertanian, 2005). Peta jalan pengembangan jeruk tahun 2005-2010 disajikan pada Gambar 1.

Industri Pangan

(40)

Kedua unggulan tersebut, terkait erat dengan faktor seperti SDM, SDA, teknologi, skala ekonomi dan diferensiasi produk, yang dapat dibedakan dari fokusnya.

Kegiatan-kegiatan dalam industri pangan yang berorientasi pada profesionalisme (

Pasar ekspor

Subtitusi impor

Industri olahan

Pasar dalam negeri

Kebun besar

Kebun kecil

Pelayanan informasi pasar dan promosi

Pemberdayaan kelembagaan usaha petani

Pengelolaan pascapanen

Penerapan SPO

Penyediaan bibit bermutu

Pembangunan prasarana

Pewilayahan komoditas

Pengusaha/investor jeruk

RUTRW

Kebijakan

Instansi terkait Pasar

Produksi

Kegiatan

Dukungan

[image:40.612.86.508.157.656.2]

2005 2010

(41)

Kegiatan-kegiatan dalam industri pangan yang berorientasi pada profesionalisme (profesi dan keterampilan), efisiensi, efektivitas dan produktivitas memerlukan suatu perangkat kerja holistik (menyeluruh) dan terpadu melalui pendekatan manajemen industri pangan (sistem dan manajemen produksi). Perangkat manajemen industri pangan, dalam operasionalnya terkait dengan prinsip-prinsip manajemen umum (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol), teknologi manajemen (teknik pengambilan keputusan atau sistem), metode analisis manajemen (konsep mutu, produktivitas dan strategi), pola manajemen (model Barat atau Timur) dan kegiatan produksi (bahan baku, proses, mesin atau peralatan, produk, SDM, organisasi internal, dana dan pasar) (Hubeis, 2000a). Ilustrasi pendekatan manajemen pada industri pangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Secara rinci profil penggolongan industri pengolahan pangan (Hubeis, 2000a) seperti berikut :

1. Status usaha : permodalan, badan hukum, manajemen industri dan keterlibatan dalam organisasi dan perijinan.

2. Permodalan : sumber dan struktur.

3. SDM: jumlah tenaga kerja dan tingkat pendidikan.

4. Kondisi produksi : penggunaan bahan, proses dan peralatan, jenis produk dan potensi omzet, konstruksi bangunan dan limbah.

5. Kondisi energi : perusahaan listrik negara, gas dan generator. 6. Sarana air : perusahaan air minum, sungai dan sumur.

7. Kondisi higiene dan sanitasi : lingkungan sarana pengolahan, gudang bahan kemasan.

8. Sarana dan prasarana : telepon, internet, faks, alat angkut dan lain-lain. 9. Keadaan pasar : lokal dan ekspor.

10.Pemasaran : cara pembayaran dan pemasaran.

(42)

UMPAN BALIK

(Kebutuhan, ketersediaan dan mutu)

Pencapaian profil-profil tersebut membutuhkan dukungan dari berbagai fungsi seperti kepemimpinan, teknis, keuangan, komersial, sosial dan administratif. Selain itu, diperlukan pula sistem dan manajemen produksi.

Pendekatan Sistem dan Pengambilan Keputusan

Pola pikir kesisteman merupakan pendekatan ilmiah dalam pengkajian yang memerlukan analisis berbagai hubungan yang relevan, pelengkap dan terpercaya. Menurut Manetsch and Park dalam Eriyatno (1998), sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sistem dapat pula diartikan sebagai totalitas hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional dan matra dimensional, terutama dimensi ruang dan waktu (Eriyatno, 1998).

Pendekatan sistem adalah metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif dalam memecahkan masalah dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini, permasalahan yang menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya harus

LINGKUNGAN Ekosistem

Globalisasi ekonomi Kebijakan pemerintah Iklim usaha

MASUKAN Bahan pangan SDM

Teknologi Kelembagaan Lokasi Pembiayaan Infrastruktur

PROSES Penanganan segar Transformasi bentuk danperlakuan

[image:42.612.127.507.79.305.2]

LUARAN Profil produk Profil usaha Jaringan usaha

(43)

memiliki karakteristik yang kompleks, dinamis dan stokastik. Tiga pola pikir yang menjadi acuan dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, adalah (1) sibernetik (cybernetic) yang berorientasi kepada tujuan, (2) holistik (holistic) adalah cara pandang yang menyeluruh terhadap sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang mengutamakan hasil guna yang operasional dan dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno, 1998). Oleh karena itu, analisis permasalahan dengan pendekatan sistem ditandai dengan mencari dan mengidentifikasi faktor-faktor penting yang ada untuk mendapatkan solusi, serta penggunaan model kuantitatif untuk membantu permasalahan yang bersifat rasional.

Menurut Austin (1992), dalam pembahasan keterkaitan sistematik suatu agroindustri diperlukan perencanaan dan pengoperasian terpadu. Sebagai ilustrasi, analisis proyek agroindustri sebagai suatu sistem, dalam pembahasannya memfokuskan kepada empat jenis keterkaitan, yakni (1) keterkaitan rantai produksi, (2) keterkaitan kebijakan makro-mikro, (3) keterkaitan kelembagaan, dan (4) keterkaitan internasional.

Keterkaitan rantai produksi adalah mengkaji tentang aliran bahan (komoditas dan produk), mulai dari usaha tani (petani) sampai konsumen. Keterkaitan kebijakan makro-mikro berhubungan dengan pengaruh kebijakan makro pemerintah terhadap operasi agroindustri. Keterkaitan kelembagaan meliputi hubungan antara organisasi-organisasi yang beroperasi dan berinteraksi dengan rantai produksi. Sedangkan keterkaitan internasional adalah saling ketergantungan pasar nasional dan internasional yang mempengaruhi fungsi proyek agroindustri bersangkutan.

(44)

sistem pakar (expert system). Untuk mempermudah penelusuran sistem dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penunjang keputusan (Decision Support System) yang menghubungkan antara basis model dan basis data dengan pengambil keputusan atau pengguna.

Teknik pengambilan keputusan dapat dikembangkan melalui pendekatan berikut : (1) pendekatan statistika (statistic approach) dengan metode deskriptif dan inferensia, (2) pendekatan berencana (planned approach) dengan metode riset operasi seperti linear programming, integer dan non-linear programming, dan (3) pendekatan sistem atau model (system modelling) dengan metode penelusuran seperti Interpretative Structural Modelling (ISM), Prose Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process atau AHP) dan model simulasi (Eriyatno, 1998).

Menurut Eriyatno (1998), untuk penelitian sistem sosial dalam perencanaan strateginya menggunakan metode holistik berorientasi pada metode penelusuran daripada penguraian. Dalam hal ini, berbagai teori dikembangkan untuk perencanaan strategis, dimana informasi kualitatif dan normatif mendominasi masukan kebijakan. Teori integratif dan interdisiplin yang bersifat holistik dari ilmu sistem adalah, Sistem Pakar, Total System Intervention (TSI), Soft System Methodology (SSM), Matrice d,Impacts Croisés-Multiplication Appliqúée à un Classement (MIC-MAC), Viable System Model (VSM) dan ISM. Metodologi holistik dimulai dengan mendefinisikan sistem total, struktur, batasan dan keterkaitan dengan sistem lain. Alat strukturisasi yang banyak dikembangkan untuk hubungan tidak langsung antar sub unsur menggunakan analisis MIC-MAC, dan untuk hubungan langsung antar sub unsur digunakan teknik ISM. 1. Matrice d,Impacts Croisés-Multiplication Appliqúée á un Classement

(45)

biner dan skala berjenjang. Selain itu, metode ini digunakan untuk mendefinisikan batasan sistem dan menentukan peubah kunci melalui analisis struktural dari sistem yang dipelajari. Identifikasi seluruh peubah (aspek politik, ekonomi, teknologi, psikologi, sosiologi, ekologi dan lain-lain) yang mencirikan sistem dari fenomena yang diamati (intern) dan lingkungannya (ekstern), dilakukan oleh kelompok panel dan teknik brainstorming.

MIC-MAC pada dasarnya adalah matriks struktural sebab akibat. Matriks ini digunakan untuk menganalisis hubungan antar peubah pada sistem yang dikaji dan sekaligus merinci posisi peubah serta menyusunnya ke dalam bentuk hirarki peubah (Hubeis, 1991). Analisis peubah sistem dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan klasifikasi langsung, hubungan antar peubah diperoleh secara langsung dari hasil identifikasi berdasarkan pendapat pakar (expert survey). Sedangkan berdasarkan klasifikasi tidak langsung, hubungan antar peubah diperoleh dari hasil operasi penggandaan matriks terhadap dirinya sendiri. Matriks struktural MIC-MAC disusun dari unsur-unsur yang

menggambarkan hubungan antar peubah sistem. Jika dari suatu sistem teridentifikasi n peubah, maka dapat dibentuk suatu matriks bujur sangkar M1 n x n, yang terdiri dari n baris dan n lajur, seperti berikut :

dimana, aij adalah unsur matriks pada baris ke-i dan lajur ke-j. Unsur matriks ini menunjukkan hubungan antar peubah sistem. Unsur a23 menunjukkan hubungan antara peubah 2 dengan peubah 3. Matriks bujur sangkar M1 n x n, terdapat n2 unsur yang berarti ada n2 hubungan antar peubah sistem.

Penggandaan matriks bujur sangkar M1 n x n dengan dirinya sendiri menghasilkan matriks M2, yaitu :

M1 n x n =

a11 a12 a13 … a1n

a21 a22 a23 … a2n

a31 a32 a33 … a3n

…. … … … …

(46)

atau

Selanjutnya penggandaan matriks bujur sangkar M2 n x n dengan dirinya sendiri, menghasilkan matriks M3 .

Seterusnya, untuk :

atau

Proses penggandaan matriks dianggap selesai jika telah tercapai kestabilan matriks yang ditunjukkan oleh konsistensi unsur-unsur matriks, dimana posisi unsur-unsur matriks pada penggandaan ke-t sama dengan posisi pada penggandaan ke-(t-1). Saat kestabilan tercapai, dapat diidentifikasi pola hubungan antar peubah matriks berdasarkan klasifikasi tidak langsung.

Indentifikasi hubungan antar peubah secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan data kategorik dengan skala biner (0 dan 1) atau skala berjenjang (0-5). Data kategori 0 menunjukkan tidak ada hubungan, sedangkan kategori 1 menunjukkan ada hubungan. Sedangkan pada skala berjenjang, data kategori 1 sampai 5 menunjukkan intensitas hubungan (dari sangat lemah untuk 1, sampai sangat kuat, untuk 5) Untuk unsur-unsur matriks aij yang memiliki indeks yang sama (i = j) yang terletak pada diagonal utama diberi nilai 1. Unsur-unsur ini menunjukkan hubungan antar peubah yang sama.

Klasifikasi peubah dilakukan berdasarkan kategori motor (driven power) dan respon (dependence). Peubah xk dikategorikan motor jika : M1 n x n =

a11 a12 a13 … a1n

a21 a22 a23 … a2n

a31 a32 a33 … a3n

…. … … … …

an1 an2 an3 … ann

a11 a12 a13 … a1n

a21 a22 a23 … a2n

a31 a32 a33 … a3n

…. … … … ….

an1 an2 an3 … ann

M2 n x n = M1n x n X M1 n x n

M3 n x n = M2 n x n X M2 n x n

= (M1 n x n X M1 n x n) x (M1 n x n X M1 n x n)

(47)

Σakj > ΣΣaij/n untuk i,j = 1,2,3, …n dan dikategorikan respon, jika : Σaik >

ΣΣaij/n untuk i,j = 1,2,3, …n. Dengan menggunakan kategori motor-respon tersebut, dapat dibangun Bagan Motor-Respon menurut ranking peubah berdasarkan derajat motor dan respon yang dimilikinya (Gambar 3). Bagan tersebut menjelaskan kedudukan sejumlah peubah pada sistem yang dikaji (Hubeis, 1991).

Peubah yang memiliki derajat kurang motor dan kurang respon dikelompokkan sebagai peubah bebas (Sektor 1). Peubah-peubah ini menyusun kecenderungan ketidakterkaitan atau memiliki hubungan yang lemah terhadap sistem (Hubeis, 1991).

Peubah yang kurang motor dan sangat respon dikelompokkan sebagai peubah hasil (Sektor 2). Peubah-peubah ini tidak dapat secara langsung menjelaskan pengaruhnya terhadap sistem, tetapi seringkali berperan sebagai pelaku utama di dalam sistem. Selain itu, peubah ini seringkali dapat dijelaskan oleh peubah labil pada Sektor 3 dan peubah eksplikatif pada Sektor 4 (Hubeis, 1991).

Gambar 3. Bagan Motor-Respon menurut metode MIC-MAC (Hubeis, 1991)

Peubah yang sangat motor dan sangat respon, dikelompokkan sebagai peubah labil (Sektor 3). Peubah pada kelompok ini merupakan suatu obyek yang menarik, karena memberikan pengaruh ketidakstabilan terhadap sistem.

Peubah Eksplikatif

(Sektor 4)

Peubah Labil (Sektor 3)

Peubah Bebas (Sektor 1)

Peubah Hasil (Sektor 2)

Motor

(48)

Seluruh aktivitas peubah labil akan mempengaruhi peubah-peubah pada sektor lainnya dan sekaligus memberikan umpan balik terhadap peubah labil itu sendiri. Akibat karakter tersebut, maka peubah labil sering dijadikan sebagai peubah kunci dalam analisis (Hubeis, 1991).

Peubah yang sangat motor dan kurang respon, dikelompokkan ke dalam peubah eksplikatif (Sektor 4). Peubah ini bersifat menerangkan dan tetap berada di dalam sistem. Peubah eksplikatif juga mempunyai kemungkinan untuk mengukur aktivitas langsung dari pelaku sistem, sebagai suatu beda intesitas hubungan (Hubeis, 1991).

Melalui metode MIC-MAC, hirarki peubah dapat diklasifikasikan atas klasifikasi langsung dan tidak langsung. Klasifikasi langsung menggambarkan hubungan hirarki secara langsung antara suatu peubah terhadap peubah lainnya, tanpa memperhatikan pengaruh tidak langsung di antara peubah-peubah tersebut. Sedangkan klasifikasi tidak langsung menggambarkan hubungan hirarki yang terbentuk secara tidak langsung (MIC-MAC), dimana hubungan hirarki suatu peubah terhadap peubah lainnya didasarkan pada pengaruh lintas dan umpan balik, melalui perantaraan suatu peubah lainnya yang bersifat transitif (Hubeis, 1991).

Pembandingan hirarki peubah berdasarkan klasifikasi langsung dan tidak langsung, memberikan kajian yang menarik tentang evolusi sistem. Pengkajian ini dapat menunjukkan kecenderungan pergeseran hirarki peubah, karena pengaruh peubah lainnya. Menurut Godet dalam Hubeis (1991), sekitar 10-20% peubah akan mengalami pergeseran posisi atau mempunyai hirarki klasifikasi tidak langsung yang berbeda dari klasifikasi langsungnya. Ilustrasi pembandingan dari klasifikasi langsung dan tidak langsung dapat disajikan dalam bentuk grafik (Gambar 4) (Hubeis, 1991).

(49)

lurus atau diagonal dari grafik yang bersangkutan (serupa dengan konsep r = 1 pada analisis korelasi).

Jika titik-titik atau pe

Gambar

Tabel 6.  Tanaman buah unggulan dan wilayah pengembangan
Gambar 1.  Peta jalan pengembangan jeruk tahun 2005-2010        Kegiatan-kegiatan dalam industri pangan yang berorientasi pada                                   (Balitbang Pertanian, 2005)
Gambar 2. Model Masukan-Lingkungan-Proses-Luaran dari penanganan                    industri pengolahan pangan (Hubeis, 2000a)
Gambar  5. Tahapan kerja metode MIC-MAC (Hubeis, 1991)
+7

Referensi

Dokumen terkait