• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bio konversi Anaerobik Berbagai Ukuran Sampah Kota Dalam Sistem Lisimeter untuk Produksi Biogas dan Pupuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bio konversi Anaerobik Berbagai Ukuran Sampah Kota Dalam Sistem Lisimeter untuk Produksi Biogas dan Pupuk"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

BIO-KONVERSI ANAEROBIK BERBAGAI UKURAN

SAMPAH KOTA DALAM SISTEM LISIMETER UNTUK

PRODUKSI BIOGAS DAN PUPUK

DAMSIR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Bio-konversi Anaerobik Berbagai Ukuran Sampah Kota Dalam Sistem Lisimeter untuk Produksi Biogas dan Pupuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Damsir

(4)

DAMSIR. Bio-konversi Anaerobik Berbagai Ukuran Sampah Kota Dalam Sistem Lisimeter untuk Produksi Biogas dan Pupuk. Dibimbing oleh SUPRIHATIN, MUHAMMAD ROMLI, MOHAMAD YANI dan ARIE HERLAMBANG.

Proses biokonversi anaerobik sampah kota menghasilkan gas metana yang akan mengakibatkan emisi rumah kaca dan berdampak pada perusakan lingkungan. Selain itu produksi lindi dan kompos anaerobik akan menjadi polutan yang berbahaya apabila langsung dikembalikan pada lingkungan. Akan tetapi gas metana berpotensi sebagai energi terbarukan sedangkan lindi dan kompos anaerobik yang dihasilkan mempunyai potensi untuk dijadikan pupuk bagi kegiatan pertanian. Secara umum penelitian ini bertujuan mendapatkan kinerja proses biokonversi sampah organik terhadap produksi biogas, material padatan dan lindi dalam lisimeter. Adapun tujuan khusus adalah (1) Menganalisis pengaruh ukuran bahan pada kinerja bio-konversi bahan organik menjadi biogas dalam lisimeter terkendali. (2) Menganalisis karakteristik lindi bagi kemungkinan pemanfaatannya sebagai pupuk cair untuk pertanian. (3) Menganalisis karakteristik bahan kompos hasil proses anaerobik bagi kemungkinan pemanfataanya sebagai pupuk organik untuk pertanian.

Tahapan karakteristik proses bio-konversi berbagai ukuran sampah kota menjadi biogas dalam lisimeter dilakukan dengan cara pengujian proses bio-konversi. Sampah organik hasil pemilahan dipotong-potong menggunakan mesin pemotong kemudian diayak sesuai ukuran perlakuan yaitu A=(< 0.1 cm), B=(0.1 – 0.9 cm), C=(1.0 – 1.9 cm), D=(2.0 – 2.9 cm), dan E=(Bentuk asli) kemudian dimasukkan dalam tabung lisimeter. Parameter pengujian yaitu: (1) volume biogas, (2) produksi gas meliputi konsentrasi metana (CH4), karbondioksida

(CO2), hidrogen Sulfida (H2S), nitrogen Oksida (N2O), oksigen (O2), (3) penurunan tinggi timbunan sampah, (4) produksi lindi , dan (5) Bulk Density.

Tahapan karakteristik lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota dan potensi pemanfaatan menjadi pupuk cair dalam lisimeter dilakukan dengan cara melakukan pengujian lindi selama waktu proses bio-konversi 150 hari meliputi kadar tembaga (Cu), seng (Zn), krom heksavalen (Cr), kadmium (Cd), mercuri (Hg), timbal (Pb),Total Kjeldahl Nitrogen (TKN), BOD, COD, fosfat, kalium, ammonium (NH4-N) menggunakan metode APHA ed. 21, 2005. Potensi pemanfaatan polutan sebagai pupuk cair dibandingkan dengan standar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 1995 pada BOD, COD dan amonia, sedangkan potensi unsur hara untuk tanaman dan logam berat dibandingkan dengan Permentan No. 70 Tahun 2011.

Tahapan karakteristik kompos anaerobik dan potensi pemanfaatan menjadi pupuk organik dalam lisimeter dilakukan dengan pengamatan meliputi kualitas kompos anaerobik selama waktu proses bio-konversi 150 hari di laboratorium. Parameter yang dianalisis meliputi pH, C/N Ratio, Total Solid (TS), Volatil Solid (VS), kadar air, nitrit (NO2-N), suhu dan kadar abu. Potensi pemanfaatan kompos anaerobik sebagai pupuk organik dibandingkan dengan Permentan No. 70 Tahun 2011 tentang persyaratan pupuk organik.

(5)

padatan. Kerapatan bahan (Bulk Density) berada pada kisaran 0.4-0.6 g/cm3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran bahan dan kadar air bahan mempengaruhi produksi biogas. Semakin kecil ukuran bahan maka semakin tinggi produksi biogas dan semakin tinggi kadar air bahan maka akan semakin rendah volume biogas yang dihasilkan. Produksi metan (CH4) awal penelitian mendominasi pada lisimeter A sedangkan karbondioksida (CO2) mendominasi produksi biogas pada awal penelitian pada lisimeter B, C, D, dan E. Penurunan timbunan tertinggi pada ukuran bahan sampah asli (perlakuan E) dan terendah pada ukuran bahan A (<0.1 cm). Produksi lindi mengindikasikan bahwa semakin besar ukuran bahan sampah kota dan semakin tinggi kandungan kadar air maka akan semakin cepat produksi lindi akan tetapi produksi biogas akan semakin rendah.

Berbagai ukuran sampah kota menunjukkan pola yang hampir sama yaitu terjadi penurunan nilai BOD selama proses bio-konversi. Nilai BOD semua perlakuan belum memenuhi standar untuk dikembalikan pada lingkungan. Nilai COD untuk semua perlakuan belum memenuhi standar baku untuk dikembalikan ke lingkungan. Nilai TKN menunjukkan semakin bertambahnya waktu maka nilai TKN menjadi semakin kecil. Nilai TKN pada akhir proses bio-konversi anaerobik menunjukkan nilai yang tinggi. Nilai TKN yang tinggi mengindikasikan kandungan nitrogen yang tinggi dan berpotensi untuk dikembalikan ke lingkungan untuk kegiatan pertanian.

Semakin lama waktu maka semakin kecil kandungan ammonium (NH4-N) yang didapat akibat dari peroses konversi ammonium menjadi senyawa nitrogen yang lebih sederhana. Bakteri anaerobik selama proses konversi unsur hara membentuk asam organik yang dapat meningkatkan K+. Kandungan fosfat lindi masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan Kepmentan No.70 Tahun 2011. Kadar Logam berat Hg, Cd, Cr, Zn, Cu dan Pb dalam lindi yang dianalisis pada semua perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 Tahun 2011.

Kompos anaerobik berbagai ukuran sampah kota pada masing masing perlakuan menunjukkan pH yang optimal dimulai sejak awal proses sampai akhir proses bio-konversi. Kadar air kompos anaerobik belum memenuhi standar untuk dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk pupuk organik. Perubahan senyawa nitrit yang terjadi pada proses kompos anaerobik menunjukkan pola yang hampir sama yaitu terjadi kenaikan sampai hari ke 30 dan selanjutnya terjadi penurunan. Proses penguraian bahan organik pada proses kompos anaerobik semua perlakuan meningkatkan kadar abu seiring berjalannya waktu. Penurunan nilai C/N menunjukkan perbedaan pada tiga bulan pertama, dimana pada kompos anaerobik bahan ukuran terkecil (A (<0.1 cm)) terjadi penurunan C/N yang cukup besar dibandingkan pada ukuran bahan yang lebih besar. Total Solid (TS) selama proses bio-konversi pada berbagai perlakuan memperlihatkan kecenderungan menurun. Begitu juga kondisi Voltil Solid (VS) mempunyai kecenderungan semakin menurun. Menurunnya kadar TS tersebut merupakan indikator terjadinya bio-konversi secara enzimatis dan aktivitas asidogenesis yang merubah fraksi padatan menjadi fraksi kompos anaerobik.

(6)

DAMSIR. Anaerobic Bio-conversion of Various Size of Municipal Solid Waste In Lysimeter Systems for Biogas and Fertilizer Production. Guided by

SUPRIHATIN, MUHAMMAD ROMLI, MOHAMAD YANI dan ARIE HERLAMBANG.

Anaerobic processing of municipal waste will produce methane gas which contributes to green house gas emission and environmental degradation. The production of leachate and anaerobic compost will pollute when discharged directly back to the environment. However, methane gas has the potential as renewable energy while leachate and anaerobic compost may be suitable for fertilizer in various agricultural activities. In general, this study aimed to get the performance of the bioconversion of organic waste for biogas production, solid materials and leachate in lisimeter. The specific objectives are (1) to analyze the influence of the size of the material on the performance of bio-conversion of organic material into biogas in a controlled lisimeter. (2) to analyze the characteristics of the leachate for the possibility of its use as a liquid fertilizer for agriculture. (3) Analyze the characteristics of the compost material for a possible result of anaerobic processes as organic fertilizer for agriculture.

Characterization of bioconversion of various municipal waste sizes into biogas in lysimeter was conducted by testing the bioconversion process. Organic waste was then cut using cutting machine and sieved according to treatment size, namely A=(<0.1 cm), B=(0.1 – 0.9 cm), C=(1.0 – 1.9 cm), D=(2.0 – 2.9 cm), dan E=(original) then filled to lysimeter tube. Testing parameter were: (1) Biogas volume (2) Gas production including Methane (CH4),Carbondioxide (CO2),

Hydrogen Sulfide (H2S), Nitrogen Oxide (N2O), and Oxygen (O2) (3) Rate of heap

height decrease (4) Leachate production rate, and (5) Bulk density.

Caharacterization of leachate as result of anaerobic bioconversion of municipal waste and evaluation of its potential as liquid fertilizer were conducted by sampling the leachate from 5 lysimeter containing various sizes municipal waste from previous phase. The analysis including copper (Cu), zinc (Zn), hexavalent chromium (Cr), cadmium (Cd), Mercury (Hg), lead (Pb), TKN, BOD, COD, Phosphate, Kalium, Ammonium (NH4-N)using method ofAPHA ed. 21,2005.

The potency of utilization of pollutant as liquid fertilizer was compared with standard from Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kep.51/MENKLH/10/1995 on BOD, COD and ammonia while the potency of nutrients for plants and heavy metal standard refer to Permentan No. 70/Permentan/SR.140/10/2011.

Characterization of anaerobic compost and potency for utilization as organic fertilizer in lysimeter were conducted by Samples then packed in plastic bag and analysed in Teknologi Manajemen Lingkungan IPB laboratory. Observation on the anaerobic compost after 150 days of biodegradation including

pH, C/N Ratio, Total Solid (TS), Volatile Solid (VS), water content, Nitrite (NO2

-N), temperature dan total ashes. Potency for utilization of anaerobic compost as organic fertilizer was refered to SK Permentan No. 70 Tahun 2011 regarding the standard of organic fertilizer.

(7)

beginning of evaluation, methane (CH4) production was dominating the lysimeter

A, while CO2 dominating the biogas production at the beginning of evaluation in

lysimeter B, C, D and E. Rate of head hight decrease was observed highest at original material size (E) and lowest at <0.1 cm form (A). Leachate production rate indicates that bigger size and higher water content will increase the leachate production rate, but the biogas production is lower.

Various municipal waste sizes shows relatively similar pattern of BOD decrease in biodegradation process. BOD value of all treatment is higher than standard based on Kep.51/MENKLH/10/1995 and is not suitable for directly discharged to the environment. Smaller material size shows similar degradation pattern as bigger size waste in term of COD. As in BOD, degradation of organic substance into simpler compound will lower COD value. Longer time of degradation will result in higher COD decrease. COD value of all treatment is higher than standard based on Kep.51/MENKLH/10/1995. For liquid fertilizer however, there is no requirement on COD standard. Value of TKN is decreasing over time. The decrase of TKN happened due to the decrease of organic nitrogen compound such as ammonia and nitrite. The longer time given for anaerobic fermentation, the lower ammonia (NH4-N) obtained, due to further degradation

process. The decrease in ammonium content was followed by increase of nitrate and nitrite content due to nitrification process anaerobically. Degradation of kalium at various waste sizes shows similar pattern, increased sharply in the first month of process. The decrease of leachate phosphate shows similar pattern at various waste sizes. Heavy metal content Hg, Cd, Cr, Zn, Cu and Pb is also within standard. It could be concluded that leachate could be discharged to environment as liquid fertilizer. However, BOD, COD and NH4-N needs further treatment.

Anaerobic compost at various sizes has optimum pH throughout the process. The value of pH of all treatment is within standard and requires no further treatment (4.98- 6.91). Further treatment is required to manage water content for organic fertilizer. The temperature of anaerobic compost at various size of waste in lysimeter shows similar pattern, fluctuative decrease in first week, then stabile until end of process. Nitrite content change in anaerobic compost process shows similar patterns increased at the first 30 days then decreased untik the end of process. Degradation process of organic matter at anaerobic compost process in all treatment is increasing the ash content over time. Ash content is observed highest at <0.1 cm material. Material is easier to be degraded in powder form. Comparison of C/N value decrease shows significant different in the first 3 month, where at powder material the decrease in C/N value is highest compare to bigger size of waste. This may happened due to decrease of carbon material or increase in nitrogen compound. Decrease of CO2 happened due to

ammonium compound not fully volatilized. Total solid (TS) throughout biodegradation process is showing decreasing trend, similar to Volatile solid (VS). Decrease of TS indicates the enzymatic bioconversion and acidogenesys activity that change the solid fraction into anaerobic compost. Biodegradability of waste is highly affected by percentage of solids (TS andVS) degraded anaerobically in certain period of time.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

BIO-KONVERSI ANAEROBIK BERBAGAI UKURAN

SAMPAH KOTA DALAM SISTEM LISIMETER UNTUK

PRODUKSI BIOGAS DAN PUPUK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS

(Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB) 2. Dr Ir Wahyu Purwanta, MT.

(Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)

Komisi Sidang Promosi : 1. Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS

Luar Pembimbing (Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB) 2. Dr Ir Wahyu Purwanta, MT.

(11)

Sistem Lisimeter untuk Produksi Biogas dan Pupuk

Nama : Damsir

NIM : F361100161

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Suprihatin, Dipl Eng Ketua

Prof Dr Ir Muhammad Romli, MSc.St Anggota

Dr Ir Mohamad Yani, M Eng Anggota

Dr Ir Arie Herlambang, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Prof Dr Ir Machfud, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, Msc.Agr

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah bio-konversi anaerobik berbagai ukuran sampah kota dalam sistem lisimeter untuk produksi biogas dan pupuk. Penelitian ini diperlukan untuk memecahkan permasalahan sampah kota untuk diolah menjadi produk yang bermanfaat yaitu biogas dan pupuk.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Suprihatin, Dipl Eng, Prof Dr Ir Muhammad Romli, MSc.St, Dr Ir Mohamad Yani, M Eng, dan Dr Ir Ari Herlambang, MSc yang telah banyak membimbing, memberikan masukan dan saran dalam penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS dan Dr Ir Wahyu Purwanta, MT selaku penguji luar komisi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen DIKTI – Kemendiknas yang telah memberikan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dan bantuan pendanaan melalui Skim Hibah Doktor Tahun 2015. Terima kasih juga disampaikan kepada Yayasan Tri Dharma Lampung yang telah memberikan bantuan pendanaan selama penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga disampaikan kepada Laboratorium Teknologi Manajemen Lingkungan (TML), Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas bantuan analisis pengujian sampel dan diskusi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Balai Teknologi Lingkungan PUSPITEK BPPT yang telah memberikan dukungan sarana dan peralatan selama penulis melakukan penelitian. Semoga penulis diberi kemudahan dan disertasi ini berguna untuk kita semua.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

Kerangka Umum Penelitian 3

Kebaruan Penelitian (Novelty) 4

2 KARAKTERISTIK PROSES BIO-KONVERSI BERBAGAI UKURAN

SAMPAH KOTA MENJADI BIOGAS DALAM LISIMETER 5

Pendahuluan 5

Bahan dan Metode 7

Metode Penelitian 7

Hasil dan Pembahasan 9

Kesimpulan 19

3 KARAKTERISTIK LINDI HASIL BIO-KONVERSI ANAEROBIK

SAMPAH KOTA DALAM LISIMETER DAN POTENSI PEMANFAATAN

MENJADI PUPUK CAIR 20

Pendahuluan 20

Bahan dan Metode 21

Hasil dan Pembahasan 22

Karakteristik Lindi 22

Kesimpulan 31

4 KARAKTERISTIK KOMPOS ANAEROBIK DAN POTENSI

PEMANFAATAN MENJADI PUPUK ORGANIK DALAM LISIMETER 32

Pendahuluan 32

Bahan dan Metode 33

Hasil dan Pembahasan 34

Kesimpulan 40

5 KESIMPULAN UMUM DAN SARAN 41

Simpulan 41

Saran 42

LAMPIRAN 49

(14)

1. Spesifikasi peralatan lisimeter 8 2. Perlakuan berbagai ukuran bahan sampah organik dan lambang dalam

lisimeter 8

3. Karakteristik awal sampah kota sebagai bahan yang diujicobakan 10 4. Kondisi awal sampah organik pada berbagai ukuran sampah dalam

lisimeter 10

5. Perbandingan volume biogas dan kadar air pada berbagai perlakuan 12 6. Produksi gas H2S, N2O, dan O2 pada lisimeter A, B, C, D dan E selama

proses bio-konversi 15

7. Parameter Metode Analisis kualitas air lindi hasil bio-konversi

anaerobik 21

8. Produksi lindi per kilogram sampah 22

9. Perbandingan parameter analisis komposisi lindi dan persyaratan

Permentan No.70 Tahun 2011 27

10. Kandungan logam berat lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota 29

11. Kualitas kompos anaerobik yang dianalisis 33

12. Profil perubahan nilai pH kompos anaerobik berbagai ukuran sampah

kota 34

13. Penuruanan kadar air berbagai ukuran sampah kota selama proses

konversi 35

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka umum proses penelitian bio-konversi anaerobik berbagai

ukuran sampah kota dalam sistem lisimeter 4

2. Skema peralatan utama lisimeter yang dipakai dalam penelitian 7 3. Pengujian proses bio-konversi berbagai ukuran sampah kota dalam

lisimeter. 9

4. Akumulasi volume biogas berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter

selama proses bio-konversi. 11

5. Produksi gas CH4 pada lisimeter A, B, C, D dan E selama proses

bio-konversi. 13

6. Produksi gas CO2 pada lisimeter A, B, C, D dan E selama proses

bio-konversi. 14

7. Penurunan tinggi timbunan pada berbagai ukuran sampah kota dalam

lisimeter selama proses biokonversi. 16

8. Produksi lindi berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter selama

proses biokonversi. 18

9. Konversi BOD lindi sampah kota selama proses bi-okonversi. 23 10. Konversi COD lindi pada sampah kota selama proses bio-konversi

anaerobik. 24

11. Konversi TKN lindi berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter

selama proses biokonversi. 25

12. Konversi Ammonium (NH4-N) lindi berbagai ukuran sampah kota

(15)

selama proses biokonversi. 27 14. Konversi fosfat lindi berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter

selama proses biokonversi. 28

15. Profil perubahan suhu pada kompos anaerobik berbagai ukuran sampah

kota selama proses konversi. 36

16. Perubahan senyawa nitrit berbagai ukuran sampah kota pada proses

kompos anaerobik. 37

17. Peningkatan kadar abu kompos anaerobik berbagai ukuran sampah

kota. 38

18. Nilai C/N rasio berbagai ukuran sampah kota selama proses

bio-konversi. 39

19. Nilai total solid (TS) berbagai ukuran sampah kota selama proses

bio-konversi. 39

20. Nilai volatil solid (VS) berbagai ukuran sampah kota selama proses

kompos anaerobik. 40

DAFTAR LAMPIRAN

1. Prosedur analisis lindi dan kompos anaerobik 49

2. Persyaratan teknis pupuk organik cair berdasarkan Permentan No.70

Tahun 2011. 53

3. Persyaratan teknis pupuk organik padat berdasarkan Permentan No.70

Tahun 2011 54

4. Rekapitulasi hasil pengamatan biogas 55

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertambahan jumlah penduduk yang tinggi di kota menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Persoalan yang sering muncul adalah banyaknya perkampungan kumuh dan perumahan liar dipinggir-pinggir kota dan masalah sampah (Visvanathan et al 2007). Penanganan sampah khususnya di kota-kota besar di Indonesia merupakan salah satu masalah di perkotaan yang sampai saat ini belum terpecahkan oleh sebagian besar Pemerintah Kota. Pertambahan penduduk yang menyebabkan peningkatan aktivitas produksi dan konsumsi telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah.

Saat ini andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah sampah adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). TPA merupakan satu-satunya pilihan untuk pembuangan limbah akhir

(final disposal site). Namun di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya pengoperasian TPA yang seadanya telah memberi dampak lingkungan seperti timbulnya bau, vektor penyakit, lindi, biogas serta masalah estetika lingkungan. Di Indonesia sendiri, hampir 95% TPA yang ada masih menggunakan metode pembuangan terbuka (open dumping ). Berdasar Undang Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, TPA open dumping harus segera digantikan dengan sanitary landfill atau controlled landfill pada tahun 2013. Namun pada kenyataannya hingga saat ini metode tersebut belum sepenuhnya diterapkan karena berbagai alasan seperti sulitnya mencari tanah penutup, kurangnya alat berat, sumberdaya manusia dan pada akhirnya pembiayaan sektor persampahan yang masih belum menjadi prioritas.

Dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya diperoleh pengetahuan bahwa biogas yang dihasilkan dari TPA, utamanya CH4 sebenarnya memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi. Hal ini seperti yang diterapkan di TPA Grasbrook Landfill di Kanada, Mardel Plata di Argentina serta TPA Bantar gebang di Indonesia. Bahkan dalam perkembangannya kini, sebagai upaya memaksimalkan produk biogas, konsep sanitary landill telah berkembang menjadi bioreactor landfill suatu process based landfill. Dengan demikian berbagai penelitian terkait pemanfaatan biogas TPA ini bertujuan bagi diperolehnya teknik yang lebih efektif dan efisien, hemat energi dan ramah lingkungan. Adapun media untuk penelitian suatu process based landfill ini digunakan lysimeter yang terkendali.

(18)

Mengingat bahwa biogas, material padatan dan juga lindi memiliki potensi untuk dimanfaatkan maka suatu penelitian komprehensif tentang ketiga materi tersebut perlu dilakukan mengingat masih minimnya data-data terkait khususnya di wilayah tropis seperti di Indonesia. Melalui penelitian ini, kemanfaatan dari ketiga materi tersebut dikaji melalui sebuah lisimeter terkendali untuk mengetahui karakteristik proses dan produk yang ada.

Beberapa peneliti yang telah melakukan uji lisimeter antara lain Reinhart dan Yousfi (1996) yang merancang lisimeter untuk memaksimalkan infiltrasi air ke dalam limbah dan meminimalkan migrasi lindi ke lingkungan bawah permukaan tanah serta pemanfaatan terintegrasi biogas, lindi dan kompos. Visvanathan et al. (2007) melakukan uji lisimeter untuk membandingkan pengendalian kondisi kelembaban sampah, pengendalian lindi dan sirkulasinya, pengukuran konsentrasi gas di setiap ketinggian dan produksi gas pada fungsi waktu. Sedangkan Swati et al. (2010) melakukan pengamatan terhadap perubahan suhu dan fisik serta komposisi limbah sebagai fungsi waktu. Hasil penelitian-penelitian tersebut telah memberi gambaran rentang optimum dari beberapa parameter kunci bagi terjadinya proses biokimia dalam suatu TPA

Sebagai suatu faktor penentu, ukuran bahan sampah juga merupakan faktor kunci dalam proses bio-konversi anaerobik. Kecepatan mikroba dalam memanfaatkan umpan sangat tergantung kandungan nutrisi utama dan ukuran partikel bahan. Semakin kecil ukuran bahan baku yang digunakan, proses konversi akan semakin cepat karena bidang permukaan bahan yang kontak dengan mikroorganisme semakin luas. Begitu juga sebaliknya, untuk bahan baku yang berukuran besar (Sudradjat 2006). Melalui penelitian ini masalah ukuran bahan sampah organik akan dieksplorasi lebih jauh, disamping karakteristik bahan padatan dan lindi sebagai upaya pemanfaatan keduanya.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan mendapatkan kinerja proses biokonversi sampah organik terhadap produksi biogas, material padatan dan lindi dalam lisimeter sebagai dasar perancangan suatu TPA sampah yang ramah lingkungan.

Adapun tujuan khusus penelitian adalah;

1. Menganalisis pengaruh ukuran bahan pada kinerja bio-konversi bahan organik menjadi biogas dalam lisimeter terkendali.

2. Menganalisis karakteristik lindi bagi kemungkinan pemanfaatannya sebagai pupuk cair untuk pertanian.

(19)

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah secara teoritis berkontribusi dalam ilmu dan teknologi pengelolaan lingkungan khususnya proteksi lingkungan (udara, tanah dan air). Sedangkan bidang produksi pertanian adalah pada keberadaan sumber pupuk organik baru.

Manfaat praktis adalah pada pengembangan pengelolaan TPA sampah yang mengintegrasikan upaya pencegahan emisi GRK, pencemaran udara, tanah dan air tanah dengan upaya mendapatkan energi alternatif (biogas) serta pemanfaatkan material organik dan lindi sebagai pupuk. Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dari pengelolaan sampah yang bekelanjutan. Penelitian ini juga diharapkan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui publikasi nasional maupun international.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi;

1. Proses dekomposisi anaerobik sampah kota dalam lisimeter pada berbagai ukuran.

2. Hasil proses produksi biogas, lindi dan kompos anaerobik dalam lisimeter. 3. Analisis potensi pemanfaatan produk-produk bio-konversi anaerobik sampah

kota sebagai sumber energi terbarukan dan pupuk organik.

Kerangka Umum Penelitian

Penelitian ini didasari pada kenyataan bahwa banyak TPA sampah di Indonesia yang belum terkelola dengan baik serta menimbulkan masalah lingkungan. Proses bilogis yang terjadi dalam timbunan sampah di TPA telah mengakibatkan terjadinya emisi GRK dan juga lindi yang mencemari tanah dan air permukaan. Menurut Karnchanawong dan Yongpisalpop (2009) pencemaran yang diakibatkan oleh lindi akibat pengelolaan yang kurang memadai menyebabkan lindi yang masuk ke badan air di sekitar TPA masih mengandung polutan. Ditambah pula oleh proses pembusukan sampah menghasilkan timbunan padatan organik dan melepaskan gas metana yang potensial meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfir (IPCC 2001). Komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi GRK menjadi 26% di tahun 2020 dari sektor limbah telah tertuang dalam dokumen Rencana Aksi Nasional penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK).

(20)

Kebaruan Penelitian (Novelty)

Kebaruan yang didapat dalam penelitian ini adalah pada proses biokonversi anaerobik dilakukan karakterisasi proses biokonversi berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter, diperoleh ukuran bahan yang tepat untuk proses tersebut. Proses biokonversi dipengaruhi oleh kadar air bahan sehingga diperoleh kadar air pada berbagai ukuran bahan yang diujicobakan. Disamping itu dilakukan pengukuran penurunan tinggi timbunan berbagai ukuran sampah pada proses anaerobik. Informasi ini berguna untuk perancangan pengelolaan sampah organik terutama pada pengaturan pengoprasian digester pada TPA.

(21)

2

KARAKTERISTIK PROSES BIO-KONVERSI BERBAGAI

menganut prinsip kumpul-angkut-buang, tanpa adanya pemrosesan di tiap tingkatan sumber sampah. Sistem ini bertumpu pada keberadaan TPA sebagai andalan dalam pengelolaan sampah. Karena tingginya kandungan bahan organik dalam sampah, sebagian besar sampah yang dibuang ke TPA mengalami konversi secara anaerobik dan mengasilkan gas yang dikenal sebagai biogas (landfill gas). Biogas merupakan campuran gas metana, karbon dioksida, dan sebagian kecil gas lainnya. Karena jumlah dan komposisinya, biogas berdampak negatif baik dalam skala lokal maupun global. Pada skala lokal biogas menimbulkan bau busuk dan pencemaran udara sekitar TPA yang disebabkan oleh senyawa-senyawa kelumit seperti hidrogen sulfida (H2S), ester, terpen, merkaptan dan FFA (Lombard 2008).

Dalam skala global, metana yang merupakan komponen utama biogas (50-70%) merupakan gas rumah kaca yang memiliki kekuatan efek rumah kaca 20-30 kali lebih besar dibandingkan dengan karbondioksida (Porteous 1992). Emisi metana dari TPA / landfill secara global mencapai 20-60 teragram (Tg). Negara berpenduduk besar dengan sistem / teknologi pengelolaan sampah masih sederhana, seperti China, Brasilia, India, dan Indonesia, adalah kontributor utama emisi metana dari landfill (Robinson et al. 2003; Thorneloe et al. 2002). Biogas dari TPA tersebut memiliki nilai kalor dan dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya energi terbarukan yang memiliki nilai ekonomi (Visvanathan dan Trankler 2008; World Bank 2008).

Konversi organik sampah menjadi energi alternatif dalam kondisi terkendali dapat dipandang sebagai pendekatan penyediaan energi alternatif dan manajemen sampah yang layak secara teknis, sosial dan ekonomis. Metode daur-ulang ini tidak hanya memberikan keuntungan teknis dalam pengelolaan lingkungan, tetapi juga mimiliki implikasi ekonomis. Hal ini dimungkinkan tidak hanya karena dihasilkannya produk yang bernilai ekonomi berupa biogas untuk energi listrik dan pupuk organik, tetapi juga manfaat finansial melalui mekanisme perdagangan gas rumah kaca (CDM/clean development mechanism).

(22)

kebutuhan pangan. Hal ini menyebabkan Indonesia menghadapi tantangan semakin berat untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah isu strategis tersebut di atas (masalah energi) adalah pemanfaatan sumberdaya (bahan organik dalam sampah) yang selama ini belum dikelola secara maksimum. Sampah diproduksi dalam jumlah melimpah di wilayah padat penduduk, dan menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Di sisi lain, sampah mengandung bahan organik dalam porsi tinggi dan merupakan suatu potensi sumberdaya untuk memproduksi energi alternatif terbarukan (biogas).

Implementasi suatu pendekatan integratif antara perwujudan ketahanan energi dan pengelolaan lingkungan diharapkan mampu menciptakan win-win solution bagi isu strategis tersebut. Konversi bahan organik pada sampah untuk pembangkitan energi terbarukan dalam suatu sistem yang sesuai berpotensi menjawab persoalan tersebut. Tahapan proses konversi bahan organik dalam sampah menjadi sumber energi terbarukan merupakan tahapan kunci, sehingga tahapan tersebut dipilih sebagai fokus penelitian ini. Penelitian ini diharapakan dapat menghasilkan suatu sistem pengelolaan sampah organik untuk membantu mengatasi masalah energi, sekaligus berkontribusi dalam pemecahan masalah lingkungan. Pemecahan permasalahan tersebut secara terintegrasi dan sinergis satu sama lain dapat dijadikan sebagai point orisinalitas dan kreativitas penelitian ini.

Di TPA porsi bahan organik seperti karbohidrat dan protein dalam sampah terkonversi oleh mikroba terutama bakteri. Pada proses konversi secara biologis, mikroba mengkonsumsi bahan organik biodegradable sebagai sumber energi dan mengkonversinya menjadi senyawa yang lebih sederhana dan energi untuk pertumbuhan dan reproduksinya. Pada kondisi dimana tersedia oksigen, proses perombakan berlangsung secara aerobik dan dihasilkan produk akhir berupa karbon dioksida dan air. Pada kondisi tidak tersedia oksigen, proses perombakan sampah berlangsung secara anaerobik dan dihasilkan produk akhir berupa metana dan karbon dioksida. Proses perombakan sampah secara anaerobik di TPA merupakan proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa tahapan proses yang melibatkan berbagai jenis mikroba yang berbeda setiap tahapnya (Naegele et al. 2014; Boenke et al. 1993).

Mikroba membutuhkan berbagai nutrisi utama dari bahan berupa karbon sebagai sumber energi dan pembangun tubuh, nitrogen menciptakan stabilisasi kondisi lingkungan yang optimum bagi pertumbuhan mikroba dan fosfat sebagai makromineral pembangun tubuh. Ketiga nutrisi utama tersebut lebih cepat pengaruhnya apabila bahan dikecilkan ukurannya (Menardo el al. 2012). Romli et al. (2012) pengecilan ukuran bahan yang dilakukan dengan cara mencacah jerami dan sayuran dengan ukuran sekitar 0.5-1 cm dan diberi perlakuan mikroorganisme pada konsentrasi 16 ml inokulum/ 100 g mampu meningkatkan produksi biogas yang lebih tinggi. Pengecilan ukuran berpengaruh terhadap aksesibilitas bahan baik selama pra-perlakuan biooksidasi dalam digester (Menardo el al., 2012). Berdasarkan uraian tersebut dalam penelitian ini dikaji pengaruh berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter dalam memproduksi biogas.

(23)

Bahan dan Metode

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah sampah organik (didominasi sampah pasar berupa sayuran dan makanan serta sampah rumah tangga) berbagai ukuran dan kotoran sapi sebagai starter. Alat yang digunakan adalah 5 buah lisimeter tipe 208, mesin pemotong sampah, ayakan, timbangan, penampung gas, Gas Chromatography GHG 450 tipe Varian, termometer, bilah bambu, meteran, bor listrik, syringe 10 ml dan peralatan gelas standar laboratorium.

Skema alat utama berupa lisimeter dan spesifikasi ditampilkan pada Gambar 2 dan Tabel 1 di bawah ini.

Metode Penelitian

Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara grab sampling. Sampel yang digunakan adalah sampel sampah kota yang terdapat di TPS Gunung Sindur Kota Tanggerang Selatan, Banten, Indonesia. Sampel diambil dari lima titik pengambilan kemudian sampel ditimbang sebanyak 50 kg. Pemilahan sampel dilakukan berdasarkan perbedaan jenis sampah yaitu sampah anaorganik dan

Tampak depan Tampak samping

Penampung gas

(24)

organik. Selanjutnya, sampah organik hasil pemilahan dipakai untuk bahan percobaan di dalam lisimeter.

Tabel 1 Spesifikasi peralatan lisimeter

No Spesifikasi Lisimeter Tipe 208

1. Tinggi 2 meter

Pengujian Pengaruh Ukuran Sampah Pada Proses bio-konversi

Eksperimen difokuskan pada kajian pra-perlakukan fisik terhadap bahan. Sampah organik hasil pemilahan dipotong potong menggunakan mesin pemotong kemudian diayak sesuai ukuran perlakuan kemudian dimasukkan dalam tabung lisimeter. Secara lengkap pengujian proses bio-konversi ditampilkan pada Tabel 2 dan Gambar 3. Tabel 2 menunjukkan jenis pra-perlakukan fisik yang dikaji. Selanjutnya Input kotoran sapi dilakukan sebagai starter sebanyak 1 l pada masing masing lisimeter. Sebelum dimasukkan dalam lisimeter, kotoran sapi diencerkan menggunakan air dengan perbandingan 1:1 agar lebih cepat tercampur dengan bahan sampah. Pada Gambar 3 pengujian dilakukan terhadap beberapa parameter uji yaitu: (1) Volume biogas diukur setiap hari dengan cara mengamati akumulasi peningkatan nilai volume pada gas holder yang dipasang pada lisimeter selama proses bio-konversi, (2) Produksi gas dilakukan dengan cara mengambil sampel biogas dari selang gas holder pada hari ke 30, 60, 90, 120, dan 150 menggunakan

shiring 10 ml dengan cara disuntikkan kedalam selang keluar gas dan kemudian

Sampel gas diuji di laboratorium dengan metode Gas Chromatography

(25)

cara memasukkan bilah kedalam lisimeter kemudian dicatat besaran penurunan dengan satuan cm, (4) Produksi lindi diukur selama proses bio-konversi dengan cara mengeluarkan lindi dari kran bawah lisimeter dan ditampung dalam ember kemudian diukur volumenya dengan gelas ukur selama proses bio-konversi, (5) Bulk Density dihitung menggunakan rumus bobot sampah organik dibagi volume sampah dalam tabung lisimeter.

Analisis Data

Data yang diperoleh berupa hasil pengukuran volume biogas (l), konsentrasi kandungan biogas (CH4, CO2, H2S, N2O, O2) dalam satuan persen, penurunan timbunan (cm), pH, bulk density (g/cm3), komposisi sampah organik dan anorganik (%), dan produksi lindi (l) dilakukan analisis secara deskriptif menggunakan tabel dan grafik.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Sampah Kota Sebagai Bahan pengujian

Sampah Kota yang digunakan adalah sampah organik hasil pemilahan berdasarkan organik dan anorganik. Karakteristik awal sampah kota sebagai bahan yang diuji cobakan dalam lisimeter disajikan pada Tabel 3. Sedangkan Kondisi awal sampah organik pada berbagai ukuran dalam lisimeter pada Tabel 4.

(26)

Tabel 3 Karakteristik awal sampah kota sebagai bahan yang diujicobakan

Tabel 3 tersebut diatas menunjukkan bahwa sampah kota mengandung sampah organik lebih tinggi dibandingkan sampah anorganik. Sampah organik pada kisaran 71.0-82.6% atau rata rata 76.12%. Sedangkan Sampah anorganik pada kisaran 17.4-29.0% atau rata rata 23.88%.

Tabel 4 Kondisi awal sampah organik pada berbagai ukuran sampah dalam perlakuan A(72.47%) lebih rendah dibandingkan perlakuan B(79.67%), C(80.25%), D(82.91%) dan E(86.6%). Hal ini disebabkan oleh terjadi kehilangan kadar air bahan pada saat proses pengecilan ukuran. Proses pengecilan ukuran bahan menjadi bahan yang lebih kecil terjadi penguapan kadar air yang lebih tinggi sehingga menyebabkan kadar air bahan menjadi lebih rendah.

Kerapatan bahan (Bulk Density) berada pada kisaran 0.401-0.642 g/cm3. Bulk Density bahan pada perlakuan A(0.642 g/cm3) lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan B(0.613 g/cm3), C(0.576 g/cm3), D(0.532 g/cm3), dan E(0.401 g/cm3). Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran bahan maka Bulk Density akan semakin tinggi. Ukuran bahan yang lebih besar menyebabkan penumpukan bahan lebih renggang sehingga Bulk Density menjadi lebih rendah, begitu pula sebaliknya pada ukuran bahan yang lebih kecil penumpukan bahan terjadi lebih sempit dan menyebabkan Bulk Density lebih tinggi.

(27)

melaporkan bahwa sampah organik adalah sumber yang terbaik untuk produksi biogas terutama pada proses hidrolisis.

Proses Bio-konversi Bahan Organik Sampah Menjadi Biogas Produski Biogas

Akumulasi volume biogas selama proses bio-konversi ditampilkan pada Gambar 4 sedangkan perbandingan kadar air berbagai perlakuan ditampilkan pada Tabel 5. Produksi biogas maksimum dihasilkan pada perlakuan A(11.77 L/kg TS). Semua perlakuan pola produksi dimulai pada hari ketiga terus naik hingga hari ke 60 dan terus bertahan sampai akhir proses bio-konversi kecuali pada perlakuan E(1.00 L/kg TS) yang tetap meningkat sampai akhir bio-konversi.

Hasil pengamatan akumulasi volume biogas mengindikasikan bahwa ukuran bahan dan kadar air bahan mempengaruhi produksi biogas. Semakin kecil ukuran bahan maka semakin tinggi produksi biogas yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran bahan mempengaruhi produksi biogas sampah kota. Kondisi ini dikarenakan proses hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis dipengaruhi oleh luasan permukaan bahan, semakin kecil permukaan bahan maka proses metanogenesis semakin cepat sehingga produksi biogas yang dihasilkan semakin tinggi. Ukuran yg semakin kecil juga mempersempit ruang antar bahan sehingga keberadaan oksigen jadi menipis dan mempercepat proses methanogenesis.

Pada tahap hidrolisis terjadi pemecahan yang cepat dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana (monomer) pada ukuran bahan yang kecil. Senyawa kompleks ini, antara lain protein, karbohidrat, dan lemak, dimana dengan bantuan eksoenzim dari bakteri anaerob, senyawa ini akan diubah menjadi monomer (Deublein et al. 2008). Selain itu, terjadi pula pertumbuhan dan perkembangan sel bakteri. Pembentukan asam-asam organik tersebut terjadi dengan bantuan bakteri, seperti Pseudomonas, Eschericia, Flavobacterium, dan Alcaligenes (Hambali et al. 2007).

(28)

Tabel 5 Perbandingan volume biogas dan kadar air pada berbagai perlakuan

Perlakuan Padatan awal (TS) (kg)

Kadar air awal (%)

Volume biogas (L)

Produksi Biogas (L/kg TS)

A 27.60 72.47 325.000 11.77

B 38.50 79.67 228.000 5.92

C 35.50 80.25 103.225 2.90

D 37.40 82.91 52.730 1.40

E 41.30 86.60 41.340 1.00

Keterangan: A: < 0.1 cm, B: 0.1-0.9 cm, C: 1.0-1.9 cm, D: 2.0-2.9 cm, E: Bentuk asli.

Tahap asetogenesis bahan ukuran kecil juga terjadi lebih cepat ditandai oleh asam organik rantai pendek yang dihasilkan dari tahap koversi dan asam lemak yang berasal dari hidrolisis lemak akan dikonversi menjadi asam asetat, H2, dan CO2 oleh bakteri asetogenik. Pada fase ini, mikroorganisme homoasetogenik akan mengurangi H2 dan CO2 untuk diubah menjadi asam asetat (Deublein et al. 2008). Proses pembentukan asam-asam organik dalam proses biokonversi diuraikan pada reaksi di bawah ini.

1. Acid forming bacteria menguraikan senyawa glukosa

a. C6H12O6 + 2H2O 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2 (asam asetat)

b. C6H12O6 CH3CH2CH2COOH + 2CO2 + 2H2 (asam butirat) c. C6H12O6 + 2H2 2CH3CH2COOH + 2H2O (asam propionat) 2. Acetogenic bacteria menguraikan asam propionat dan asam butirat

a. CH3CH2COOH CH3COOH + CO2 + 3H2 (asam asetat) b. CH3CH2CH2COOH 2CH3COOH + 2H2 (asam asetat)

Pada tahap metanogenessis didominasi oleh perkembangan sel mikroorganisme dengan spesies tertentu yang menghasilkan gas metana sebagai komponen utama biogas. Bakteri yang berperan dalam proses ini, antara lain

Methanococcus, Methanobacillus, Methanobacterium, dan Methanosarcina. Terbentuknya gas metana terjadi karena adanya reaksi dekarboksilasi asetat dan reduksi CO2 (Hambali et al. 2007). Proses tahap metanogenesis pembentukan biogas secara umum ditampilkan pada reaksi dibawah ini.

1. Acetoclastic methane menguraikan asam asetat

CH3COOH CH4 + CO2 (metana) 2. Methane bacteria mensintesa hidrogen dan karbondioksida

(29)

Semakin rendah kadar air maka proses asidogenesis akan semakin cepat sehingga proses metanogenesis akan lebih cepat dan produksi biogas yang dihasilkan akan semakin tinggi. Fantozzi and Buratti (2011) melaporkan hasil penelitian bahan sampah slury menghasilkan produksi biogas maksimum bila dibandingkan dengan bahan sampah asli. Visvanathan and Trankler (2008) menyatakan bahwa kadar air mempengaruhi proses dekomposisi secara biologis, terutama dalam hal pencampuran (mixing), ketersediaan nutrien dan menjaga agar suhu konstan. Kadar air yang sesuai dan tidak berlebihan penting untuk proses biokonversi metan karena berfungsi sebagai pelarut nutrien bagi mikroorganisme sebelum diasimilasi. Penelitian tentang kadar air optimum pada proses bikonversi anaerobik belum ada akan tetapi asumsi-asumsi bahwa kadar air maksimal pada proses anaerobik berada pada kisaran dibawah 90%.

Kadar air yang optimal selain mempermudah pergerakan bakteri tetapi juga mempengaruhi transpor massa dalam sampah kering serta keseimbangan produksi

volatile fattyacids oleh bakteri asidogenik dan konversi asam menjadi metan oleh bakteri metanogen (Kafle et al. 2013; Thorneloe et al. 2002).

Komposisi Biogas

Produksi CH4 selama proses bio-konversi ditampilkan pada Gambar 5 dan produksi CO2 pada Gambar 6. Pada lisimeter A sejak hari pertama penelitian produksi gas CH4 mendominasi dan memuncak pada hari ke 30 kemudian menurun sampai akhir proses bio-konversi. Selanjutnya pada hari ke 60 dominasi CH4 digantikan oleh CO2 dan terus meningkat kemudian menurun kembali pada hari ke 90 dan meningkat kembali pada akhir proses bio-konversi. Pada lisimeter B produksi CO2 terlihat sejak hari pertama percobaan dan terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi CH4. Sampai hari ke 30 dominasi produksi CO2 maksimum setelah itu menurun kembali dan digantikan dominasi oleh produksi CH4 maksimum melampaui produksi CO2 pada hari ke 60 kemudian terus menurun sampai akhir proses bio-konversi.

(30)

Pada lisimeter C memperlihatkan karbondioksida mendominasi produksi pada awal penelitian hingga hari ke 60 mencapai maksimum kemudian diikuti dominasi kenaikan produksi CH4 melampaui CO2 hingga hari ke 90 kemudian menurun hingga akhir proses bio-konversi. Lisimeter D terlihat bahwa pada awal percobaan produksi biogas didominasi konsentrasi CO2 sampai hari ke 30 kemudian terus menurun hingga akhir penelitian. Selanjutnya dominasi produksi CH4 sejak hari ke 65 dan terus memuncak pada hari 90 kemudian terus menurun hingga akhir proses bio-konversi. Sedangkanpada lisimeter E produksi CO2 terlihat mendominasi sejak hari pertama percobaan sampai hari ke 89. Pada hari ke 90 produksi CO2 tertingi setelah itu menurun kembali dan dominasi produksi digantikan oleh CH4 melampaui produksi CO2 pada hari ke 90 kemudian terus naik sampai hari 120 (Data pada Lampiran 4).

Produksi metan (CH4) pada awal penelitian mendominasi pada lisimeter A yang ditunjukkan oleh reaksi asam asetat berubah menjadi CH4. Karbondioksida (CO2) mendominasi produksi biogas pada awal penelitian pada lisimeter B, C, D, dan E yang ditunjukkan oleh reaksi yang terjadi pada proses asetogenesis yang merubah asam organik menjadi karbon diokasida (CO2). Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran bahan yang lebih kecil pada bio-konversi anaerobik mempercepat proses hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis. Proses ini dapat terlihat pada perlakuan A (<0.1 cm) yang menghasil produksi metana paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain pada hari ke 30. Ketersediaan CO2 yang tinggi dan cepat mendorong bakteri methanogen lebih cepat memproduksi metana (CH4) karena ketersedian substrat dalam proses anaerobik dalam bentuk CO2 yang cukup. Bi-okonversi anaerobik sampah organik memproduksi gas yang lebih tinggi pada fase awal bio-konversi (Romli et al. 2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi biogas antara lain ukuran bahan, rasio C/N (karbon : nitrogen), temperatur, perbandingan air dan bahan padat, jenis bakteri serta pH substrat (Vega

et al. 2014; Timothy 1998).

(31)

Bahan bahan yang berukuran kecil dapat mempercepat proses konversi melalui peningkatan luas permukaan untuk aktifitas mikroba merombak sel substrat. Ukuran bahan yang terlalu besar menyebabkan luas permukaan yang dimetabolisme lebih sempit sehingga proses berlangsung metabolisme oleh bakteri menjadi semakin lambat atau terhenti sama sekali. Sejalan dengan teori terdahulu bahwa dalam proses penguraian secara anaerobik, bakteri yang bekerja adalah bakteri anaerobik seperti methanothrix dan methanosarcinae (Li J et al. 2013). Bakteri ini tidak memerlukan suplai oksigen dan bahkan harus tidak ada udara dalam menguraikan polutan di air limbah. Bakteri ini tumbuh dan berada dalam media tumbuh bakteri dalam bak anaerobik. Polutan organik yang diuraikan oleh bakteri anaerobik akan berubah menjadi gas metan, CO2 dan H2S (Li J et al. 2013; Indira, 2007). Felik et al. (2012) melaporkan periode rentang hari ke 7 sampai hari ke 30 merupakan waktu regenerasi bakteri metanogen merombak asam asetat menjadi gas CH4. Untuk mengubah asam organik menjadi CH4 dan CO2, digunakan bakteri metanogenik seperti Bacillus perfrijius dan Metanobacterium omeliaskii (Visvanathan and Trankler 2008).

Tabel 6 Produksi gas H2S, N2O, dan O2 pada lisimeter A, B, C, D dan E selama proses bio-konversi

Ukuran bahan Kandungan (%) Bio-konversi pada hari ke-

30 60 90 120 150

Secara umum kecenderungan produksi H2S pada semua perlakuan menunjukkan pola yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar N2O dan O2.

(32)

yang berlangsung sangat sedikit ruang dalam bahan yang mengandung oksigen sehingga konsentrasi N2O dan O2 menjadi rendah. Adani et al. (2008) biogas terdiri dari beberapa gas seperti gas methan (CH4) 55% - 75%, karbondioksida (CO2) 25% - 45%, nitrogen oksida (N2O) 0% - 0,3%, hidrogen (H2) 1% - 5%, oksigen (O2) 0,1% – 0,5%, hidrogen sulfida (H2S) 0% - 3%.

Hidrogen sulfida diproduksi dalam jumlah kecil pada konversi anaerobik, sedangkan produksi N2O dan O2 lebih kecil dibandingkan H2S. Konversi yang dilakukan oleh mikroorganisme dari bahan-bahan organik dalam lingkungan anaerobik hanya dapat disempurnakan oleh mikroorganisme yang dapat menggunakan molekul-molekul lain selain oksigen sebagai akseptor hidrogen (Xi

et al. 2014; Stafford et al. 1980).

Penurunan Tinggi Timbunan Sampah Kota

Pengukuran penurunan tinggi timbunan berbagai ukuran sampah organik pada proses anaerobik berguna untuk menentukan besaran penurunan timbunan dari waktu ke waktu. Informasi ini dibutuhkan untuk perancangan pengelolaan sampah organik terutama pada pengaturan pengoprasian waktu digester pada TPA. Gambar 7 menampilkan grafik penurunan timbunan berbagai ukuran sampah kota selama proses bio-konversi. Dari Gambar 7 tersebut terlihat bahwa penurunan tinggi timbunan paling besar pada lisimeter E. Pola ini menunjukkan bahwa penurunan timbunan tertinggi pada ukuran bahan sampah asli (perlakuan E) dan terendah pada ukuran bahan A (<0.1 cm) (perlakuan A). Fenomena ini mendiskripsikan bahwa proses bio-konversi sampah oleh mikroba terutama bakteri dipengaruhi oleh kadar air bahan. Semakin tinggi kadar air bahan maka akan semakin tinggi porsi bahan organik dalam sampah terkonversi oleh mikroba terutama bakteri.

(33)

Selain kandungan air kerapatan bahan (Bulk Density) dalam lisimeter juga mempengaruhi penurunan timbunan sampah. Kerapatan bahan yang cukup longgar pada lisimeter E mengakibatkan proses bio-konversi pada tahapan hidrolisis menjadi CO2 dan H2O berlangsung lebih cepat sehingga penurunan timbunan menjadi lebih tinggi. Disamping itu juga terlihat semakin kecil ukuran bahan maka penurunan timbunan akan semakin rendah ditunjukkan pada lisimeter A. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kerapatan bahan dalam lisimeter dipengaruhi oleh ukuran bahan. Semakin kecil ukuran bahan maka kerapatan bahan akan semakin tinggi dan akan menyebabkan penurunan timbunan semakin rendah.

Penurunan timbunan sampah kota menunjukkan perbedaan masing masing perlakuan yang diamati. Kecenderungan yang terlihat semakin besar ukuran bahan sampah maka penurunan timbunan akan semakin tinggi disebabkan oleh kadar air bahan dan proses bio-konversi serta kepadatan bahan. Chauzy et al. (2005) melaporkan bahwa proses bio-konversi anaerobik dipengaruhi oleh input dan kepadatan bahan dalam suatu bioreaktor. Pada proses konversi secara biologis, mikroba mengkonsumsi bahan organik biodegradable sebagai sumber energi dan mengkonversinya menjadi senyawa yang lebih sederhana dan energi untuk pertumbuhan dan reproduksinya.

Pada kondisi tidak tersedia oksigen, proses perombakan sampah berlangsung secara anaerobik dan dihasilkan produk akhir berupa metana dan karbondioksida. Proses perombakan sampah secara anaerobik merupakan proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa tahapan proses yang melibatkan berbagai jenis mikroba yang berbeda setiap tahapnya. Proses stabilisasi sampah dalam suatu proses anaerobik terjadi dalam lima fase, yaitu fase lag, fase transisi, fase pembentukan asam, fase pembentukan metana, dan fase maturasi. Setiap fase ditentukan oleh karakteristik air lindi (leachate) ( Menardo et al. 2014;Shearer 2001)

Produksi Lindi Selama Proses Bio-konversi

Produksi lindi berbagai ukuran sampah kota disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa pada awal proses bio-konversi volume lindi naik dengan tajam sampai hari ke 30 yang kemudian berjalan lambat pada masing masing lisimeter. Kenaikan volume menandakan adanya konversi bahan organik oleh mikroorganisme karena mikroorganisme menggunakan nutrisi dalam bahan sebagai energi.

(34)

Suprihatin et al. (2008) menyatakan bahwa kadar air dan ukuran bahan merupakan unsur penting dalam proses konversi anaerobik. Air lindi dapat digolongkan sebagai senyawa yang sulit terdegradasi karena mengandung bahan-bahan polimer (makro molekul) dan bahan-bahan organik sintetik. Lombard (2008) menyatakan bahan organik yang terdapat dalam lindi sangat sulit untuk terdegradasi secara biologis. Akan tetapi proses degradasi sampah menghasilkan lindi yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Nurhasanah (2012) terdapat beberapa hara tanaman, baik berupa hara makro seperti: nitrat (NO3-), amonium (diindikasikasikan oleh NH3), phosfat (PO43-), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan Sulfat (SO42-); hara mikro seperti : besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu) dan seng (Zn) ditemukan di dalam lindi.

Semakin besar ukuran bahan maka akan semakin tinggi volume lindi yang hasilkan. Hal ini disebabkan oleh bahan sampah yang masih asli memiliki kandungan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan bahan yang sudah dikecilkan ukurannya. Bahan yang dikecilkan ukurannya terjadi kehilangan air sebelum dimasukkan ke dalam lisimeter. Sedangkan bahan sampah asli kehilangan air relatif lebih kecil sehingga proses dekomposisi akan lebih sempurna. Selain itu kadar air bahan awal menentukan volume lindi yang dihasilkan, kadar air bahan pada lisimeter E menunjukkan kadar air tertinggi pada awal penelitian. Mulasari et al. (2014) melaporkan sampah yang menumpuk akan terdekomposisi dan akan menghasilkan cairan yang disebut lindi. Komposisi lindi sampah dipengaruhi oleh jenis dan sampah yang tertimbun, parameter kimia yang terdapat dalam sampah, mikroba yang berperan, keseimbangan air di tempat pembuangan sampah. Kandungan N, P, K dalam lindi ini dipergunakan sebagai indikator ketersediaan nutrisi bagi bakteri dalam lindi.

(35)

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan:

1. Proses bio-konversi berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter berbeda pada masing masing perlakuan. Perlakuan A (< 0.1 cm) mengandung kadar air terendah yaitu sebesar 72.47% sedangkan perlakuan E (Ukuran asli) mengandung kadar air tertingi 86.6%. Semakin rendah kadar air bahan maka produksi biogas semakin tinggi yang terlihat pada perlakuan A sebesar 11.77 L/kg TS dan terendah pada perlakuan E sebesar 1.0 L/kg TS.

2. Produksi gas CH4 mendominasi awal proses pada lisimeter A (< 0.1 cm), sedangkan produksi CO2 awal proses bio-konversi mendominasi pada lisimeter B (0.1 - 0.9 cm), C (1.0 - 1.9 cm), D (2.0 - 2.9 cm), dan E (Ukuran asli).

3. Produk konversi yang dihasilkan berupa akumulasi volume biogas semakin tinggi apabila ukuran bahan sampah semakin kecil.

(36)

3

KARAKTERISTIK LINDI HASIL BIO-KONVERSI

ANAEROBIK SAMPAH KOTA DALAM LISIMETER DAN

POTENSI PEMANFAATAN MENJADI PUPUK CAIR

Pendahuluan

Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah merupakan suatu tempat pembuangan sampah bagi penduduk kota. Setiap hari berbagai jenis sampah penduduk diangkut dari bak-bak sampah yang terdapat di kota, kemudian ditumpuk di TPA. Beberapa bahan organik yang ada di TPA sampah yang bersifat mudah terurai (biodegradable) umumnya tidak stabil dan cepat menjadi busuk karena mengalami proses konversi menghasilkan zat-zat hara, zat-zat kimia toksik dan bahan-bahan organik sederhana, selanjutnya akan menimbulkan bau yang menyengat dan mengganggu (Samorn et al. 2002). Lindi terbentuk di setiap lokasi pembuangan sampah (Amuda 2005). Pembentukan lindi merupakan hasil dari infiltrasi dan perkolasi (perembesan air dalam tanah) dari air hujan, air tanah, air limpasan atau air banjir yang menuju dan melalui lokasi pembuangan sampah (Karnchanawong dan Yongpisalpop 2009). Lindi memiliki karakteristik tertentu, hal ini disebabkan limbah yang dibuang pada lokasi pembuangan sampah berasal dari berbagai sumber yang berbeda dengan tipe limbah yang berbeda pula.

Menurut Fairus et al. (2011) komposisi lindi tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik sampah (organik, anorganik), tetapi juga mudah tidaknya konversi (larut/tidak larut), kondisi tumpukan sampah (temperatur, pH, kelembaban, umur), karakteristik sumber air (kuantitas dan kualitas air yang dipengaruhi iklim dan hidrogeologi), komposisi tanah penutup, ketersediaan nutrien dan mikroba, serta kehadiran inhibitor. Iklim merupakan faktor penting yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas lindi. Hujan menjadi fase transport untuk pencucian dan migrasi kontaminan dari tumpukan sampah dan memberikan kelembaban yang dibutuhkan untuk aktivitas biologis. Demikian hal nya dengan umur tumpukan sampah, juga mempengaruhi kualitas lindi dan gas yang terbentuk. Perubahan kualitas lindi dan gas menjadi parameter utama untuk mengetahui tingkat stabilisasi tumpukan sampah (Qdais dan Alsheraideh 2008).

(37)

sampah tetap berada di wilayahnya.

Suprihatin et al. (2008) menyatakan bahwa kadar air dan ukuran bahan merupakan unsur penting dalam proses konversi anaerobik. Air lindi dapat digolongkan sebagai senyawa yang sulit terkonversi karena mengandung bahan-bahan polimer (makro molekul) dan bahan-bahan organik sintetik. Sedangkan Lombard (2008) menyatakan bahan organik yang terdapat dalam lindi sangat sulit untuk terkonversi secara biologis. Akan tetapi proses konversi sampah menghasilkan lindi yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk cair.

Tujuan tahapan penelitian adalah menganalisis karakteristik lindi selama proses bio-konversi dalam lisimeter dan menganalisis potensi polutan dalam lindi untuk dimanfaatkan menjadi bahan bermanfaat sebagai pupuk cair.

Bahan dan Metode

Bahan dan Peralatan

Bahan utama dalam penelitian ini adalah sampel lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota dalam lisimeter pada berbagai ukuran yaitu A=(A (<0.1 cm)) B=(0.1 cm – 0.9 cm), C= (1.0 cm – 1.9 cm), D=(2.0 cm – 2.9 cm), dan E=(Ukuran Asli). Peralatan yang digunakan adalah Atomic Absorption Spectroscopy (AAS), UV-Vis Spektrofotometer, TOC-Analyzer, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), COD apparatus, BOD apparatus/BOD meter, DO, DHL, pH- meter, Mikroskop dengan image processing, peralatan sampling air/air limbah, dan peralatan laboratorium standar lainnya.

Metode

Penelitian dilaksanakan di dua tempat yaitu Balai Teknologi Lingkungan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, BPPT Serpong sebagai tempat bio-konversi anaerobik sampah kota dalam lisimeter, sedangkan analisis kualitas lindi dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Manajemen Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Parameter pengujian sampel dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Parameter Metode Analisis kualitas air lindi hasil bio-konversi anaerobik No Parameter (mg/l) Metode Analisis

(38)

Produksi Lindi

Produksi lindi berbagai ukuran sampah kota disajikan pada Tabel 8. Dari Tabel 8 terlihat bahwa laju produksi lindi berbeda pada masing masing perlakuan. Produksi lindi mengindikasikan bahwa ukuran bahan sampah kota lisimeter E lebih tinggi dibandingkan dengan A, B, C, dan D. Semakin besar ukuran bahan maka akan semakin tinggi produksi lindi yang hasilkan. Hal ini disebabkan oleh bahan sampah yang masih asli memiliki kandungan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan bahan yang sudah dikecilkan ukurannya. Bahan yang dikecilkan ukurannya terjadi kehilangan air sebelum dimasukkan ke dalam lisimeter. Sedangkan bahan sampah asli kehilangan air relatif lebih kecil sehingga proses dekomposisi berlangsung lebih sempurna. Selain itu kadar air bahan awal menentukan produksi lindi yang dihasilkan, kadar air bahan pada lisimeter E menunjukkan kadar air bahan tertinggi pada awal penelitian. Sedangkan lisimeter A kadar air bahan terendah.

Tabel 8 Produksi lindi per kilogram sampah Perlakuan Kadar air

Menurut Nurhasanah (2012) terdapat beberapa hara tanaman, baik berupa hara makro seperti: nitrat (NO3-), ammonium (diindikasikasikan oleh NH3), phosfat (PO43-), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan Sulfat (SO42-); hara mikro seperti : besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu) dan seng (Zn) ditemukan di dalam lindi. Mulasari et al. (2014) melaporkan sampah yang menumpuk akan terdekomposisi dan akan menghasilkan cairan yang disebut lindi. Komposisi lindi sampah dipengaruhi oleh jenis dan sampah yang tertimbun, parameter kimia yang terdapat dalam sampah, mikroba yang berperan, keseimbangan air di tempat pembuangan sampah. Kandungan N, P, K dalam lindi ini dipergunakan sebagai indikator ketersediaan nutrisi bagi bakteri dalam lindi.

Karakteristik Lindi

Konversi BOD (Biological Oxigen Demand) Lindi

(39)

oleh mikroorganisme menjadi zat lain yang lebih sederhana. Penurunan terlihat pada semua perlakuan yang menggunakan berbagai ukuran sampah kota, yang menurun hingga akhir proses. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh adanya bakteri asam laktat (Lactobacillus sp) yang terdapat dalam sampah organik. Doorn et al. (2006) menyatakan senyawa asam laktat dapat mempercepat perombakan bahan organik dalam proses bio-konversi anaerobik sampah organik. Takwayana (2012) bahwa mikroorganisme merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti CO2 dan NH3. Konversi senyawa organik menurunkan nilai BOD (Avlenda 2009). Chen et al. (2008) menyatakan ada dua tahapan yang terjadi pada proses dekomposisi bahan organik yaitu tahap pertama konversi bahan organik menjadi bahan anorganik, kemudian tahap ke dua bahan anorganik yang tidak stabil dioksidasi menjadi bahan anorganik yang stabil seperti ammonia menjadi nitrit dan nitrat (nitrifikasi).

Disamping itu, menurut Rafizul dan Alamgir (2012) proses anaerobik sampah kota dalam lisimeter akan terjadi pencucian BOD dari bahan seiring berjalannya waktu. Semakin lama waktu proses anaerobik dan semakin banyak proses konversi bahan mengakibatkan tingkat penurunan BOD semakin mendekati nilai ambang batas yang aman untuk dikembalikan pada lingkungan. Oleh karenanya, selama proses anaerobik berlangsung, nilai BOD menjadi berfluktuasi setiap saat sebagai akibat bahan tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Bahan organik dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi sel-sel tubuh maupun senyawa lain yang relatif tidak berbahaya dan sebagian lagi menjadi bahan yang mudah menguap, diantaranya CO2. Pemanfaatan bahan organik dalam limbah cair yang diproses menjadi sel-sel mikroorganisme mengakibatkan jumlah mikroorganisme dalam limbah cair tersebut juga mengalami fluktuasi (Traversi et al. 2015). Pada akhir proses nilai BOD semua perlakuan belum memenuhi standar untuk dikembalikan pada lingkungan, karena kandungan BOD dari semua perlakuan masih lebih tinggi dibandingkan dengan standar berdasarkan

(40)

kegiatan industri golongan I adalah 50 mg/L dan golongan II adalah 150 mg/L. Namun untuk keperluan pupuk cair tidak ada persyaratan dari sisi parameter BOD.

Konversi COD (Chemical oxigen Demand) Lindi

Konversi COD lindi pada sampah kota selama proses bio-konversi anaerobik ditunjukkan pada Gambar 10. Penurunan nilai COD pada semua ukuran bahan sampah kota menujukkan pola yang serupa. Ukuran bahan sampah yang berukuran lebih kecil menunjukkan proses konversi dengan pola yang sama bila dibanding ukuran sampah yang lebih besar dalam menurunkan nilai COD.

Sebagaimana parameter BOD, proses pemecahan atau konversi senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana menurunkan nilai COD (Saidu et al. 2013;Reinhart 1996). Semakin lama lindi mengalami proses konversi maka semakin besar pula penurunan COD. Akan tetapi konsentrasi COD untuk semua perlakuan setelah hari ke 120 cenderung mendatar. Hal ini memperlihatkan bahwa konversi bahan organik berlangsung lambat akibat dari aktivitas mikroorganisme yang terkandung dalam lindi mengalami kejenuhan akan nutrien yang ditandai oleh stabilnya nilai COD sampai akhir proses biokonversi (Chen et al. 2008). Pada akhir proses biokonversi nilai COD untuk semua perlakuan belum memenuhi standar baku untuk dikembalikan ke lingkungan, yang ditunjukkan oleh nilai COD lindi yang memiliki nilai lebih tinggi bila dibandingkan dengan standar limbah cair Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 1995 yaitu sebesar 200 mg/l. Standar untuk pupuk cair tidak mempersyaratkan batasan COD.

Konversi Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) Lindi

Konversi TKN lindi berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter ditampilkan pada Gambar 11. Konversi TKN selama proses bio-konversi anaerobik menghasilkan senyawa nitrat setelah berakhirnya proses. Dari gambar terlihat bahwa nilai TKN menunjukkan semakin bertambahnya waktu maka nilai

Gambar

Gambar 3   Pengujian proses bio-konversi berbagai ukuran sampah kota dalam
Gambar 5 Produksi gas CH4 pada lisimeter A, B, C, D dan E selama
Gambar 6   Produksi gas CO2 pada lisimeter A, B, C, D dan E selama
Gambar 7  Penurunan tinggi timbunan pada berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter selama proses biokonversi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi selain itu juga dapat diajukan beberapa interpretasi yang juga bersifat asumsi atau kesimpulan, yang belum dapat dikukuhkan dengan pengukuran; yaitu bahwa

Selain itu, melihat pengaruh audit dan sanksi serta pengiriman Surat Teguran dan Surat Klarifikasi berpengaruh signifikan negatif, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan

Dari pemaparan siswa berkemampuan tinggi pada soal 1 sampai nomor 7 siswa memenuhi indikator pemahaman konsep berdasarkan dalil kekontrasan dan variasi yaitu siswa dapat

Berdasarkan hasil observasi ke lapangan dengan menggunakan kuesioner di SMAN 31 Jakarta dengan responden 72 siswa dan 4 guru (100%), diketahui 95% (67 siswa) mendukung ide

Sinyal televisi hitam putih merupakan tegangan tangga antara level hitam (0) dan level putih (1), untuk itu problem utama konsep dasar ditemukannya televisi

boarding school. Pada sub sistem sosial perubahan terjadi pada tata tertib yang harus ditaati peserta didik menjadi dua unit, yakni tata tertib dari sekolah dan

Efektivitas Metode Rapat Komite dalam Komunikasi Horizontal pada Event National Basketball League (NBL) PT Deteksi Basket Lintas (DBL) Indonesia. Penelitian ini mengungkap

Oleh itu, wajar satu kajian perlu dijalankan bagi mengetahui tahap pengetahuan dalam pengamalan inovasi dan sejauh mana tahap penilaian pensyarah terhadap faktor