• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediction of Subclinical Mastitis in Bovine Based on Composition of Somatic Cell Count During Colostrum Period

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prediction of Subclinical Mastitis in Bovine Based on Composition of Somatic Cell Count During Colostrum Period"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN

BERDASA

D

IN

N MASTITIS SUBKLINIS PADA SAP

ASARKAN KOMPOSISI SEL SOMA

DALAM MASA KOLOSTRUM

MAYA MASITA NOVIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Berdasarkan Komposisi Sel Somatik dalam Masa Kolostrum adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

ABSTRACT

MAYA MASITA NOVIANTI. Prediction of Subclinical Mastitis in Bovine Based on Composition of Somatic Cell Count During Colostrum Period. Under direction of MIRNAWATI B. SUDARWANTO and ETIH SUDARNIKA.

The somatic cell count (SCC) in bovine milk is an indicator of udder health and milk quality. The objectives of this research were to study the relationship between composition of somatic cells during colostrum period with SCC and subclinical mastitis in normal lactation. Individual cell populations, i.e., macrophages, lymphocytes and neutrophils were identified and their relationship to subclinical mastitis. Subclinical mastitis can be predicted by the composition of somatic cells in colostrum period. The correlation between composition of somatic cells in colostrum period and subclinical mastitis in normal lactation were high significant. The number of neutrophils in colostrum since day-4 postpartum can be a useful method of assessing udder health or subclinical mastitis.

(4)

iv

RINGKASAN

MAYA MASITA NOVIANTI. Pendugaan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Berdasarkan Komposisi Sel Somatik dalam Masa Kolostrum. Dibimbing oleh MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan ETIH SUDARNIKA.

Mastitis merupakan salah satu kendala yang dihadapi pada peternakan sapi perah. Mastitis terdiri atas mastitis klinis dan subklinis. Prevalensi kejadian mastitis subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai 85% sedangkan di daerah kabupaten Bogor pada tahun 1995 mencapai 87.10%. Kerugian yang dialami berupa penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9–45.5% yang disertai penurunan pendapatan peternak. Kerugian lain adalah penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40%, penyimpangan komposisi yang akan berpengaruh terhadap kualitas produk olahannya. Peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal adalah biaya tambahan yang harus dikeluarkan peternak. Kasus mastitis sekitar 97-98% merupakan mastitis subklinis, sedang 2-3% merupakan kasus mastitis klinis yang terdeteksi.

Tindakan pencegahan selama ini menjadi alternatif terbaik dalam upaya penanggulangan mastitis subklinis. Kajian tentang perlunya pendugaan terhadap mastitis subklinis agar tindakan pencegahan dapat dilaksanakan sebagai suatu hal yang penting dan dibutuhkan. Penelitian mengenai pendugaan kejadian mastitis subklinis dapat dilakukan dengan mengetahui komposisi sel somatik pada awal laktasi atau masa kolostrum. Melalui pendugaan tersebut diharapkan dapat diketahui gambaran sel somatik pada laktasi normal dan diprediksi kemungkinan kejadian mastitis subklinis.

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama adalah penentuan standar komposisi sel somatik pada sampel positif dan negatif mastitis subklinis. Tahap ini bertujuan menentukan standar komposisi sel somatik yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Hasil pengujian menunjukkan standar komposisi sel somatik yang digunakan adalah untuk kelompok positif mastitis subklinis, jumlah neutrofil 30-90%, limfosit 20-40% dan makrofag 20-36%. Komposisi sel somatik untuk kelompok negatif mastitis subklinis adalah neutrofil 3-26%, limfosit 16-28% dan makrofag 35-79%.

Penelitian tahap kedua dilakukan dengan menentukan komposisi sel somatik pada masa kolostrum. Penelitian tahap ini bertujuan untuk menentukan ada tidaknya perubahan komposisi sel somatik selama masa kolostrum dan korelasinya dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Hasil penelitian menunjukkan perubahan komposisi sel somatik selama masa kolostrum. Sampel yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal umumnya mengalami peningkatan jumlah neutrofil selama masa kolostrum atau jumlah neutrofil lebih dari 10%.

(5)

antara jumlah dan perubahan komposisi sel somatik selama masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal.

Simpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara komposisi neutrofil dan limfosit pada masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal, sehingga mastitis subklinis pada laktasi normal dapat diprediksi berdasar komposisi sel somatik pada masa kolostrum. Neutrofil pada masa kolostrum merupakan penduga paling baik bagi kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Hasil uji korelasi juga menunjukkan sejak hari ke-4 sampai akhir masa kolostrum, neutrofil dapat digunakan sebagai penduga kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal.

(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PENDUGAAN MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH

BERDASARKAN KOMPOSISI SEL SOMATIK

DALAM MASA KOLOSTRUM

MAYA MASITA NOVIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

(9)

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Diketahui :

Tanggal Ujian : 05 Juli 2011 Tanggal Lulus :

Judul Tesis : Pendugaan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Berdasarkan Komposisi Sel Somatik dalam Masa Kolostrum

Nama : Maya Masita Novianti

NIM : B251090031

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto Ketua

Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si Anggota

Ketua Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

(10)

1

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Pendugaan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Berdasarkan Komposisi Sel Somatik dalam Masa Kolostrum, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto, selaku ketua pembimbing dan Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, yang dengan tulus memberikan bimbingan, nasehat, dorongan semangat serta rela mengorbankan waktu selama penelitian sampai penulisan tesis. Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi yang telah meluangkan waktu untuk menelaah tesis ini.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku ketua Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor beserta seluruh staf pengajar yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran dalam menyampaikan ilmu, bimbingan dan arahan selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada kepala dan staf pengajar di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor atas ijin, pengertian dan dorongan semangat maupun bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si yang telah membantu dalam penelitian, memberi semangat dan masukan-masukan dalam penelitian ini. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada teman-teman seperjuangan, khususnya drh. Andreas Iwan S dan rekan-rekan KMV 2008, KMV 2010 atas kekompakan, kesetiakawanan dan dukungannya.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada tenaga penunjang pendidikan Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bagian Mikrobiologi Medik dan Patologi Klinik, Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan, penelitian dan penulisan tesis.

Kepada ayahanda, ibunda, adik di Sragen dan seluruh keluarga di Bogor, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya, atas doa restu, bimbingan, didikan, dorongan semangat dan kasih sayangnya yang diberikan selama ini.

Akhirnya dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, tulisan ini dipersembahkan kepada suami tercinta Rangga Bandanaji dan putra tercinta Muhammad Firsha Bandanaji atas segala do’a, pengertian, kesabaran, dorongan semangat yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

(11)

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan saran yang bermanfaat demi kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Juli 2011

(12)

3

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Nopember 1985 di Sragen, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sriyono dan Ibu Darmiyatun. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SD Negeri 1 Bendungan, pendidikan lanjutan menengah pertama pada tahun 2001 di SLTP Negeri 1 Sragen dan pendidikan menengah utama pada tahun 2004 di SMU Negeri 1 Sragen.

(13)

DAFTAR ISI

Anatomi Ambing dan Mekanisme Pertahanannya ……… Mastitis Subklinis ………... Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis Subklinis ………. Deteksi Mastitis Subklinis ………... Jumlah dan Komposisi Sel Somatik ……….…. Leukosit ……….

Waktu dan Tempat Penelitian ……… Metode Penelitian ……….. Penelitian Tahap I ………. Pengambilan Sampel dan Pengujian Mastitis Subklinis ….… Penghitungan Jumlah Sel Somatik dalam Susu ………... Pembuatan Phosphate-Buffer Saline (PBS) ……….. Preparasi Sampel ………..……….

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol …….. Jumlah Sel Somatik pada Kelompok Kontrol ………... Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol ………. Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal..

(14)

5

Korelasi Antara Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Jumlah Sel Somatik pada laktasi

Normal... 28

PEMBAHASAN ……… 30

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol …….. Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal.. Korelasi antara Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Jumlah Sel Somatik pada laktasi Normal ………..

30 33

35

SIMPULAN DAN SARAN ……….. 39

Simpulan ………..……….. Saran ………..…………

39 39

DAFTAR PUSTAKA ……… 40

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Efek mastitis subklinis terhadap komposisi susu ……… 5

2 Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu ……… 15

3 Rataan dan simpangan baku jumlah sel somatik pada kontrol positif

dan negatif (n=20) …..……… 20

4 Rataan dan simpangan baku komposisi sel somatik pada kontrol

positif dan negatif (n=20) …..……… 20

5 Selang kepercayaan bagi rataan komposisi sel somatik pada kelompok kontrol positif dan negatif dibandingkan dengan

pustaka………... 21

6 Komposisi sel somatik (%) pada sampel yang mengalami mastitis subklinis dan tidak mengalami mastitis subklinis pada masa

kolostrum dan laktasi normal ………. 22

7 Hasil uji korelasi Pearson antara komposisi sel somatik pada masa

(16)

7

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Faktor hewan, lingkungan dan mikroorganisme yang

mempengaruhi kemunculan mastitis ………... 7

2 Skema pembentukan sel darah ………... 10

3 Perbedaan bentuk leukosit …..………... 14

4 Komposisi sel somatik pada kontrol positif dan negatif …………. 21 5 Perubahan komposisi sel somatik pada sampel yang mengalami

mastitis subklinis pada laktasi normal ... 23 6 Perubahan komposisi sel somatik pada sampel yang tidak

mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal………... 23 7 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml

(dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi neutrofil pada

masa kolostrum hari ke-1 sampai 8 …... 25

8 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml (dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi limfosit pada masa kolostrum hari ke-1 sampai 8 ……….………...

26

9 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml (dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi makrofag pada

masa kolostrum hari ke-1 sampai 8 ………... 27

10 Diagram pencar korelasi komposisi neutrofil pada masa

kolostrum dengan jumlah sel somatik pada masa laktasi normal ... 29 11 Hasil uji sampel susu menggunakan pereaksi IPB-1 a: (-) mastitis

subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis ………... 31 12 Sel somatik yang tampak dengan pewarnaan Breed a: (-) mastitis

subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis …….……… 31

13 Jenis sel somatik yang terdapat dalam sampel kolostrum dan susu

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan alir penggitungan komposisi sel somatik menurut

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan produksi susu nasional sangat dibutuhkan berkaitan dengan peningkatan konsumsi protein asal hewan untuk mengimbangi bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani. Tahun 2011 pemerintah mentargetkan peningkatan konsumsi susu oleh masyarakat dari 10 kg/kapita/tahun menjadi 23 kg/kapita/tahun (Kemenperin 2011). Produksi susu dalam negeri hanya mampu mencukupi 30% dari kebutuhan konsumen. Produksi susu yang belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen di Indonesia antara lain disebabkan populasi ternak yang masih kurang dan produksi susu per ekor yang belum optimum (Sudarwanto 1999). Jenis ternak sebagai penghasil susu juga masih sangat terbatas.

Sapi perah merupakan satu diantara komoditas ternak penting sebagai penghasil susu yang utama. Susu yang dihasilkan sangat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat, khususnya pemenuhan kebutuhan protein hewani. Ditinjau dari menajemen produksi, peternakan sapi perah masih belum menghasilkan produksi yang optimal karena berbagai kendala. Mastitis merupakan salah satu kendala yang dihadapi. Mastitis atau radang ambing merupakan penyakit yang bersifat kompleks yang dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri, trauma dan kesalahan manajemen. Kualitas susu dan mastitis adalah dua hal yang berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat. Pengaruh kejadian mastitis adalah terhadap produksi susu dan komposisi susu (Sudarwanto 1999).

(19)

dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal adalah biaya tambahan yang harus dikeluarkan peternak (Seegers et al. 2003).

Mastitis subklinis biasanya berlangsung lama dan berulang. Penyebab mastitis subklinis adalah interaksi antara kondisi ternak, agen penyebab yang berupa mikroorganisme, dan lingkungan (Sudarwanto 1999). Mikroorganisme penyebab utama mastitis subklinis adalah bakteri yang didominasi Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Escherichia coli, beberapa jenis kapang, khamir dan virus (Marogna et al. 2010). Sumber berbagai mikroorganisme tersebut dan penularannya disebabkan rendahnya sanitasi kandang, pekerja dan peralatan. Sanitasi dan kondisi kesehatan hewan yang buruk merupakan faktor utama terjadinya mastitis subklinis.

Kasus mastitis sekitar 97-98% merupakan mastitis subklinis sedang 2-3% merupakan kasus mastitis klinis yang terdeteksi, sehingga sering digambarkan sebagai fenomena gunung es di bawah laut, dimana kejadian kasusnya tinggi, tapi tidak diketahui karena tanpa gejala klinis. Mastitis subklinis baru diketahui bila telah menjadi bentuk yang klinis atau penurunan produksi susu yang mencolok. Kejadian mastitis subklinis tanpa disertai gejala klinis dan perubahan fisik susu dapat dideteksi melalui penurunan jumlah produksi dan peningkatan jumlah sel somatik. Jumlah sel somatik dalam susu merupakan parameter penting untuk deteksi mastitis subklinis (Sudarwanto 1999).

(20)

3

Pendugaan kejadian mastitis subklinis dapat dilakukan dengan mengetahui jumlah dan komposisi sel somatik pada awal laktasi atau masa kolostrum. Melalui pendugaan tersebut diharapkan dapat diketahui gambaran sel somatik pada laktasi normal dan diprediksi kemungkinan kejadian mastitis subklinis. Pendugaan terhadap kejadian mastitis subklinis dapat membantu peternak untuk lebih intensif dalam melakukan pencegahan sehingga kerugian dapat ditekan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Menguji komposisi sel somatik dalam kolostrum.

2. Memprediksi kejadian mastitis subklinis berdasarkan komposisi sel somatik dalam kolostrum.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang deteksi dini mastitis subklinis melalui pendugaan komposisi sel somatik. Kejadian mastitis subklinis yang diketahui dari awal diharapkan dapat lebih cepat diantisipasi dan dapat dilakukan upaya pencegahan yang lebih intensif untuk meminimalisasi kerugian akibat mastitis subklinis.

Hipotesis

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Ambing dan Mekanisme Pertahanannya

Ambing merupakan bagian tubuh ternak yang berperan dalam sintesis dan sekresi susu. Ambing sapi terdiri dari dua bagian yaitu kiri dan kanan yang dipisahkan jaringan ikat yaitu ligamentum suspensorium. Kedua bagian ambing tersebut dibagi menjadi kuartir depan dan belakang yang dipisahkan oleh sekat sulcus intermamaria. Setiap kuartir memiliki satu puting. Adanya sekat antar kuartir membuat antar kuartir tidak berhubungan secara langsung sehingga infeksi kelenjar susu mungkin terbatas pada satu kuartir saja (Subronto 2003).

Ambing secara alami juga mempunyai perangkat pertahanan mekanis yaitu ujung puting susu yang dikenal dengan ductus papillaris. Permukaan saluran terdiri dari epitel pipih berlapis yang mengandung lemak dan protein yang bersifat bakterisidal. Perangkat pertahanan seluler berupa sel darah putih yang memilki kemampuan fagositosis. Apabila fagositosis tidak mampu menghentikan infeksi maka akan terjadi peradangan yang diikuti mobilisasi sel darah putih yang lebih banyak (Akers et al. 2006). Tingkat pertahanan ambing mencapai titik terendah pada saat setelah pemerahan, karena saluran susu pada puting masih terbuka dan memungkinkan berbagai macam bakteri patogen masuk dalam ambing. Sel darah putih, antibodi dan enzim juga ikut terperah sehingga sistem pertahanan sangat kurang (Lindmark-Mansson et al. 2006).

Mastitis Subklinis

Mastitis adalah peradangan pada ambing yang berasal dari bahasa Yunani yaitu mastos yang berarti ambing dan itis yang berarti peradangan (Subronto 2003). Pengertian mastitis sering pula dinyatakan dengan adanya peradangan pada ambing yang disertai dengan perubahan fisik, kimia, mikrobiologi dan kenaikan sel somatik terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai dengan perubahan patologi jaringan ambing (Faul 1971 yang dikutip oleh Ananto 1995).

(22)

5

subklinis adalah peradangan interna jaringan ambing tanpa disertai gejala klinis baik pada susu maupun ambingnya, namun terjadi peningkatan jumlah sel radang, ditemukan mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1999). Pada umumnya mastitis subklinis akan berlanjut menjadi mastitis kronis yang kadang-kadang didahului oleh munculnya mastitis akut maupun sub-akut yang dapat menimbulkan terbentuknya jaringan ikat pada ambing (Holtenius et al. 2004).

Mastitis subklinis adalah peradangan ambing yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi pada pemeriksaan susu secara mikroskopik terdapat peningkatan jumlah sel somatik lebih besar dari 400 000 sel setiap ml susu (Sudarwanto et al. 2006; IDF 1999). Sapi yang menderita mastitis subklinis mengalami penurunan produksi kualitas dan komposisi susu. Perubahan komposisi susu yang terjadi menurut Blowey dan Edmonson (1995) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Efek mastitis subklinis terhadap komposisi susu

No Komponen Perubahan yang terjadi

1. Total protein Menurun

2. Kasein Menurun

3. Laktosa Menurun

4. Bahan kering tanpa lemak Menurun

5. Lemak Menurun

6. Kalsium, Kalium dan Fosfor Menurun

(23)

Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis Subklinis

Mastitis subklinis di Indonesia mencapai 97% dari keseluruhan kejadian mastitis. Mastitis subklinis merupakan penyakit kompleks yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, khamir dan kapang (Subronto, 2003). Proses terjadinya mastitis senantiasa dikaitkan dengan tiga faktor yakni ternak, penyebab peradangan (80-90% disebabkan oleh mikroorganisme) dan lingkungan (Sudarwanto 1999). Risiko untuk menderita mastitis senantiasa terletak pada keseimbangan ketiga faktor tesebut. Sapi mudah menderita mastitis bila kondisi sapi menurun akibat cekaman lingkungan yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh sapi (Kleinschroth et al. 1994 yang dikutip dalam Sudarwanto 1999).

Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi kejadian mastitis subklinis meliputi pakan, perkandangan, jumlah sapi dalam satu kandang, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pakan yang mengandung estrogen, misalnya jenis daun clover dan jagung maupun konsentrat yang berjamur telah terbukti memudahkan terjadinya mastitis subklinis. Kandang yang berukuran sempit menyebabkan sapi-sapinya berdesakan. Apabila ada salah satu yang terinfeksi maka penularan akan lebih mudah terjadi. Kandang yang lembab serta kotor akan memudahkan terjadianya radang ambing (Subronto 2003).

(24)

7

Proses peradangan dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting yang terbuka setelah proses pemerahan. Mikroorganisme berkembang dalam ambing, menyebar ke alveoli dan menyebabkan kerusakan pada susu yang dihasilkan. Mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing dapat merusak membran sel dalam ambing akibat reaksi peradangan dan invasi mikroorganisme. Infeksi akut dapat merangsang pembentukan jaringan ikat pada ambing yang menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada ambing (Holtenius et al. 2004).

Gambar 1 Faktor hewan, lingkungan dan mikroorganisme yang mempengaruhi kemunculan mastitis (Raza 2009).

Jenis mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis adalah bakteri (80%). Bakteri penyebab mastitis subklinis antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Escherichia coli, Klebsiella spp dan Bacillus sp. Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis. Bakteri ini dapat berpindah antar kuartir selama pemerahan sehingga terjadi proses penularan (Marogna et al. 2010).

Deteksi Mastitis Subklinis

Mastitis subklinis tidak disertai gejala klinis sehingga deteksi cukup sulit dilakukan dan diperlukan uji atau pemeriksaan khusus. Peningkatan jumlah sel radang atau jumlah sel somatik merupakan indikator yang baik dalam

Ternak

(25)

pemeriksaan mastitis subklinis (Sudarwanto et al. 2006). Diagnosa mastitis subklinis juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologis (Schalm et al. 1971). Sudarwanto et al. (1993) menyatakan bahwa deteksi mastitis subklinis didasarkan pada pemeriksaan sampel susu dan perubahan komposisi susu.

Penghitungan jumlah sel somatik dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penghitungan secara langsung artinya diketahui jumlah sel somatik yang sesungguhnya menggunakan metode Breed, Coulter Counter dan Fossomatik (Sudarwanto 1999). Penghitungan secara tidak langsung, berdasarkan reaksi kimia dapat diperkirakan jumlah sel somatik dalam susu. Beberapa metode untuk mendeteksi jumlah sel somatik secara tidak langsung diantaranya California Mastitis Test (CMT), Whitesite Test (WST) (Schalm et al. 1971) dan IPB-1 yang mulai dikembangkan oleh Sudarwanto sejak tahun 1985 (Sudarwanto 1999).

Deteksi mastitis subklinis yang mulai banyak digunakan di Indonesia adalah pereaksi IPB-1. Penggunaan metode ini dianggap mempunyai kelebihan antara lain sangat mudah, cepat, memiliki kepekaan (sensitifitas) 91.7% dan kekhasan (spesifisitas) 96.8% (Sudarwanto dan Sudarnika 2008a). Parameter lain yang digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis adalah perubahan pH dan perubahan elektrolit dalam susu (Sudarwanto 1998).

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik

(26)

9

Jumlah sel somatik biasanya digunakan untuk mengukur produksi dan kualitas susu. Sel somatik secara sederhana berasal dari tubuh dan ditemukan dalam jumlah rendah pada susu. Mayoritas sel somatik adalah leukosit dan beberapa sel epitel. Sel epitel merupakan bagian normal dari fungsi tubuh dan diperbarui dalam proses fisiologis tubuh. Leukosit berperan dalam mekanisme pertahanan untuk melawan penyakit atau infeksi dan memperbaiki jaringan yang rusak. Jumlah sel somatik yang tinggi menunjukkan terjadinya infeksi yang menurunkan kualitas susu. Parameter yang paling mendasar untuk mendeteksi mastitis subklinis adalah jumlah sel somatik (Rice dan Bodman 1997). Jumlah batas sel somatik dalam susu normal menurut IDF (1999) dan SNI Nomor 3141.1 Tahun 2011 tentang Susu Segar adalah 400 000 sel per ml.

Leukosit

Leukosit adalah komponen aktif sistem pertahanan tubuh yang sebagian dibentuk dalam sum-sum tulang dan sebagian lagi di dalam organ limfoid. Leukosit mampu keluar dari pembuluh darah dan menuju ke jaringan yang membutuhkannya. Leukosit berfungsi untuk kekebalan tubuh baik spesifik maupun non spesifik. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral terhadap zat-zat asing, bahan toksik dan berbagai penyebab infeksi (Tizard 2000).

Berdasarkan bentuk inti sel, leukosit dapat dibagi menjadi mononuklear dan polimorfonuklear. Leukosit mononuklear memiliki inti tunggal dan tidak bersegmen. Monosit dan semua limfosit termasuk dalam leukosit mononuklear. Leukosit polimorfonuklear memiliki inti yang bervariasi. Neutrofil, eosinofil dan basofil termasuk dalam leukosit polimorfonuklear (Guyton dan Hall 1997).

(27)

Gambar 2 Skema pembentukan sel darah (Wright 2001).

Monosit dan Makrofag

Monosit merupakan leukosit agranulosit dan merupakan leukosit dengan ukuran sel terbesar dan sitoplasma yang lebih banyak dibandingkan sitoplasma pada limfosit besar. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang belakang yang akan masuk ke dalam jaringan dalam bentuk makrofag. Monosit merupakan makrofag yang belum matang. Apabila monosit masuk ke jaringan maka akan berubah menjadi makrofag bebas dalam pertahanan jaringan melawan agen infeksi seperti benda asing, sel mati, bakteri dan membantu membersihkan sel-sel yang rusak (Dellman dan Eurell 1998).

(28)

11

penyembuhan, makrofag membersihkan sisa-sisa jaringan yang mengalami kerusakan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang merangsang perbaikan jaringan (Jain 1993).

Monosit merupakan prekursor makrofag jaringan dan memiliki inti sel yang pleomorfik. Monosit maupun makrofag memiliki bentuk yang sama yaitu inti sel panjang, melipat di tengahnya seperti tapal kuda dan sedikit berlobus dengan sitoplasma yang besar. Makrofag berakumulasi di daerah peradangan dan penghancuran jaringan sebagai respon terhadap faktor-faktor kemotaktik tertentu. Substansi bakteri berupa lipid atau kaya akan lipid dan lipopolisakarida dari bakteri Gram negatif, substansi terlarut dari limfosit T, neutrofil dan sel tumor merupakan faktor kemotaktik bagi makrofag (Dellman dan Eurell 1998). Presentase makrofag akan meningkat jika sistem pertahanan neutrofil gagal mengeliminasi infeksi atau netrofil banyak yang mati sehingga menghasilkan bahan yang bersifat kemotaktik bagi makrofag (Sladek et al. 2006).

Limfosit

Limfosit merupakan sel yang tidak bergranul dan di bentuk di dalam limpa, kelenjar limfe, timus, sumsung tulang, tonsil, dan bursa fabrisius. Limfosit sangat berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi sebagai sel efektor khusus menanggapi antigen yang terkait pada makrofag. Beberapa limfosit berperan dalam membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Limfosit dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur, surface markers yang berkaitan dengan sifat imunologis, siklus hidup dan fungsinya (Junguera 1977).

(29)

Jumlah limfosit di dalam peredaran darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat produksi, resirkulasi, dan penggunaan atau penghancuran limfosit. Tingginya limfosit diperedaran darah (limfositosis) dapat terjadi karena fisiologis, reaktif dan proliferatif (Jain 1993). Jumlah limfosit akan mengalami penurunan pada ambing yang mengalami peradangan (Gargouri et al. 2008).

Neutrofil

Neutrofil merupakan sel granulosit polimorfonuklear darah yang diproduksi di sumsum tulang. Sitoplasma pada neutrofil tidak berwarna, dan hal ini membedakan neutrofil dengan eosinofil dan basofil. Neutrofil adalah sel pertahanan pertama terhadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil dibentuk di sumsum tulang dan dikirim ke pembuluh darah dalam keadaan matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam sirkulasi pembuluh darah (Jain 1993).

Neutrofil mempunyai fungsi dalam memfagositosis dan membunuh organisme, melokalisir dan membatasi penyebaran mikroorganisme sampai sel darah putih yang lain seperti limfosit dan makrofag, menghancurkan dan memindahkan agen asing tersebut. Setelah melakukan fagositosis, sel neutrofil akan menjadi tidak aktif dan mati. Proses penghancuran benda asing atau mikroorganisme dengan proses fagositosis oleh neutrofil yaitu partikel tersebut terkurung dalam sitoplasma neutrofil dan ditempatkan dalam fagosom (Dellman dan Eurell 1998). Asam amino D oksidase dalam granula azurofilik pada neutrofil berperan dalam pencernaan dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis akan dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida yang bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya (Leeson 1990).

(30)

13

Eosinofil

Eosinofil adalah sel yang besar dengan sitoplasma banyak mengandung granula dan akan tampak merah jika diwarnai dengan pewarnaan yang basa. Sel ini dibentuk di dalam sumsum tulang, sangat motil dan bersifat fagositik. Eosinofil berperan dalam reaksi alergi, serangan parasit dan jumlahnya akan terus meningkat selama serangan alergi. Fungsi lainnya yaitu mengendalikan dan mengurangi hipersensitifitas. Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah besar dan bermigrasi ke jaringan pada penderita infeksi parasit (Dellman dan Eurell 1998).

Eosinofil berperan penting dalam menyerang dan menghancurkan parasit cacing serta dalam beberapa reaksi hipersensitivitas. Mekanismenya adalah dengan cara melekatkan diri pada parasit, kemudian melepaskan bahan-bahan yang membunuh parasit tersebut. Eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan yang mengalami alergi (Ganong 1996).

Basofil

Ukuran basofil lebih besar dibandingkan neutrofil. Bentuk sel tidak teratur dengan inti sitoplasma tampak biru jika diwarnai dengan pewarnaan yang bersifat asam. Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang. Peningkatan jumlah basofil merupakan indikasi adanya peradangan akut yang menyebabkan hipersensitivitas dan adanya infeksi saluran pernapasan serta kerusakan jaringan yang hebat. Basofil berperan penting pada reaksi hipersensitivitas akut (Ganong 1996).

(31)

Gambar 3 Perbedaan bentuk leukosit (Sheppard et al. 2007).

Kolostrum

Kolostrum merupakan susu yang dihasilkan pada akhir masa kebuntingan sampai beberapa hari setelah kelahiran. Kolostrum mamalia memiliki warna kekuningan dengan konsistensi kental. Kolostrum mensuplai berbagai faktor kekebalan, faktor pertumbuhan dengan kombinasi zat gizi (nutrien) yang sempurna (Fuquay et al. 2002). Lebih dari 90 bahan bioaktif alami terkandung di dalam kolostrum yang bekerja secara sinergis dalam memulihkan dan menjaga kesehatan tubuh hewan neonatal. Kolostrum juga mengandung limfosit, monosit, neutrofil serta protein terutama albumin dan globulin. Kolostrum juga mengandung vitamin A, E, karoten dan riboflavin dengan konsentrasi tinggi (Frandson 1992; Thapa 2005). Pada sapi, kolostrum berperan dalam proses transfer kekebalan pasif yang diperoleh pedet dari induk, karena fetus tidak mendapatkan transfer antibodi sewaktu dalam kandungan induk (Toelihere 2006).

Komponen lain yang terdapat di dalam kolostrum adalah immunoglobulin, laktoferin, transferin, glikoprotein, laktalbumin, oligosakarida dan sitokin. Immunoglobulin adalah glikoprotein plasma yang berperan menghantarkan tanggapan kekebalan pada organisme tinggi. Laktoferin adalah antioksidan alami yang paling kuat dalam mencegah radikal bebas. Transferin mengikat dan mengangkut zat besi (Fe) dan oligosakarida yang merupakan sakarida dari karbohidrat yang mengikat bakteri penyerang dinding usus dan esofagus

Limfosit

Leukosit polimorfonuklear

Eosinofil Monosit

(32)

15

(Sokolowska et al. 2007). Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu menurut Kehoe et al. (2007) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu normal

Komponen Kolostrum Susu

Bahan kering (g/l) 245 122

Abu (g/l) 18 7

Energi (MJ/l) 6 2.8

Lemak (g/l) 64 39

Protein (g/l) 133 32

Asam amino essensial (mmol/l) 390 ND

Asam amino nonesensial (mmol/l) 490 ND

Imunoglobulin G (g/l) 81 <2

Laktoferin (g/l) 1.84 ND

Hormon pertumbuhan ( g/l) 1.4 <1

(33)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 sampai Maret 2011. Tempat penelitian adalah Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner serta Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, dan Kawasan Usaha Ternak Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Penelitian tahap pertama meliputi pengambilan sampel susu sapi pada laktasi normal dari sapi yang negatif dan positif menderita mastitis subklinis untuk menentukan standar komposisi sel somatik dalam susu atau sebagai kontrol positif dan negatif. Tahap kedua meliputi pengambilan dan analisis komposisi sel somatik pada kolostrum. Penelitian tahap ke tiga adalah pengambilan sampel susu dari sapi yang sama dengan sampel kolostrum pada laktasi normal untuk mengetahui kondisi mastitis atau tidak, menganalisis jumlah dan komposisi sel somatik serta menentukan korelasi komposisi sel somatik pada masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis.

Penelitian Tahap I

Pengambilan Sampel dan Pengujian Mastitis Subklinis

(34)

17

Kontrol positif adalah sampel susu dari ternak yang mengalami mastitis subklinis dan menghasilkan gumpalan dengan kriteria positif 3 pada uji IPB-1. Sampel susu diperah secara aseptis dan dimasukkan dalam tabung steril yang dilengkapi tutup alumunium foil. Sampel disimpan dalam cool box (<10 ºC) untuk menghindari kerusakan yang dapat terjadi pada susu selama transportasi dan sebelum dianalisis.

Penghitungan Jumlah Sel Somatik dalam Susu

Pemeriksaan jumlah sel somatik dilakukan dengan metode Breed (Sudarwanto et al. 2006). Sebuah gelas objek dibersihkan dengan alkohol 70% dan diletakkan di atas kertas cetakan dengan pola bujursangkar seluas 1 x 1 cm2. Sampel susu dihomogenkan, dipipet dan diteteskan sebanyak 0.01 ml tepat di atas kertas pola. Sampel susu kemudian disebarkan seluas 1 cm2 dengan ose. Preparat kemudian dikering udarakan kemudian difiksasi dengan api Bunsen. Pewarnaan Breed dilakukan dengan merendam gelas objek dalam eter alkohol selama 2 menit dan digoyang-goyangkan untuk melarutkan lemak susu. Preparat selanjutnya diwarnai dengan methylen blue Löffler selama 1-2 menit. Preparat kemudian dibilas dengan air dan dimasukkan dalam alkohol 96% untuk menghilangkan sisa zat warna kemudian dikeringkan. Jumlah sel somatik dihitung menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 × dan diamati sebanyak 30 lapang pandang. Jumlah sel somatik diperoleh dengan rumus :

Jumlah Sel Somatik (JSS) = F x B

F : faktor mikroskop (yaitu 400 000 pada mikroskop model Olympus tipe C030) B : rataan jumlah sel somatik dari 30 lapang pandang

Penghitungan Komposisi Sel Somatik

a. Pembuatan Phosphate-Buffer Saline (PBS)

Pembuatan PBS dilakukan dengan melarutkan NaCl 7.65 gram, Na2HPO4

0.73 gram dan KH2PO4 0.21 gram dalam 300 ml aquades. Larutan dihomogenkan

(35)

tinggi. Larutan PBS dicek pH nya sekitar 7.4 ±0.2 kemudian disterilisasi dengan autoclave dengan suhu 121 ºC selama 15 menit.

b. Preparasi Sampel

Penghitungan komposisi sel somatik dilakukan sesuai metode yang dikembangkan Lindmark-Manson et al. (2006). Preparasi sampel dilakukan dengan mengambil susu sebanyak 20 ml dan dihomogenkan dengan 20 ml phosphate-buffer saline (PBS) pada pH 7.4. Larutan kemudian disentrifus dengan kecepatan 3500×g selama 10 menit pada suhu 4 ºC. Supernatan dipisahkan dan kedalam persipitatnya ditambahkan 1.6 ml PBS kemudian kembali disentrifus dengan kecepatan 3500×g selama 10 menit pada suhu 4 ºC. Supernatan kembali dipisahkan secara hati-hati dan sel diencerkan dengan 0.6 ml TSB.

c. Pewarnaan Sampel

Sampel sebanyak 10µl diratakan pada gelas objek dan dikering udarakan. Sampel kemudian direndam dalam metanol selama 5-7 menit dan dikering udarakan kembali. Preparat kemudian direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 45 menit kemudian dibilas dengan aquadest. Preparat dikering udarakan dan diamati di bawah mikroskop komposisi sel somatik yang terdiri dari makrofag, limfosit, polimorfonuklear neutrofil (PMN), eosinofil dan basofil. Komposisi sel somatik tersebut dinyatakan dalam persen.

Hasil penelitian Tahap I dijadikan sebagai standar atau pembanding jumlah dan komposisi sel somatik pada penelitian tahap selanjutnya.

Penelitian Tahap II

Pengambilan Sampel Kolostrum

(36)

19

setiap kuartir. Sampel susu diperah secara aseptis dan dimasukkan dalam tabung steril yang dilengkapi tutup alumunium foil. Sampel disimpan dalam cool box (<10 ºC) untuk menghindari kerusakan yang dapat terjadi pada susu selama transportasi dan sebelum dianalisis.

Sampel dianalisis komposisi sel somatiknya. Penghitungan jumlah sel somatik dan komposisinya dilakukan dengan metode yang sama pada penelitian tahap 1.

Penelitian Tahap III

Susu dari sapi yang diambil sampelnya pada masa kolostrum diambil kembali pada waktu laktasi normal yaitu sekitar 90 hari setelah melahirkan. Sampel susu diperah secara aseptis dan dimasukkan dalam tabung steril yang dilengkapi tutup alumunium foil. Sampel disimpan dalam cool box (<10 ºC).

Sampel diuji menggunakan pereaksi IPB-1 serta dianalisis jumlah dan komposisi sel somatik dengan metode preparasi dan pewarnaan yang sama dengan metode pada penelitian tahap I. Hasil penelitian tahap II dan tahap III dibandingkan kemudian dihitung nilai korelasinya.

Analisis Data

Data yang digunakan sebagai standar atau kontrol positif dan negatif diduga selang kepercayaannya untuk mengetahui nilai tengah jumlah dan komposisi sel somatik. Data yang diperoleh dari penelitian tahap II dan III dianalisis dengan korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara komposisi sel somatik pada masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Data juga disajikan secara deskriptif dalam bentuk grafik.

(37)

HASIL

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Jumlah Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Pengujian awal dalam penelitian ini adalah penentuan standar komposisi sel somatik sampel susu dari ternak yang mengalami mastitis subklinis (kontrol positif) dan tidak (kontrol negatif). Sampel diambil pada laktasi normal. Penentuan kejadian mastitis subklinis atau tidak dilakukan dengan uji menggunakan pereaksi IPB-1. Nilai positif dan negatif ditentukan berdasarkan massa kental yang terbentuk antara reagen dengan sampel susu. Sampel yang mengalami mastitis subklinis memiliki jumlah sel somatik yang lebih tinggi (Sudarwanto dan Sudarnika 2008b). Sampel yang mengalami mastitis subklinis mempunyai jumlah sel somatik > 400 000 sel somatik/ml (IDF 1999).

Tabel 3 Rataan dan simpangan baku jumlah sel somatik pada kontrol positif dan negatif (n=20)

Kelompok Hasil uji IPB-1 Jumlah sel somatik

(sel somatik/ml)

Kontrol positif (+) 3 1 812 000 ± 272 254

Kontrol negatif (-) 240 000 ± 106 227

Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Jenis sel somatik yang teridentifikasi pada kelompok kontrol baik positif maupun negatif adalah leukosit yang terdiri atas neutrofil, limfosit dan monosit.

Tabel 4 Rataan dan simpangan baku komposisi sel somatik pada kontrol positif dan negatif (n=20)

Kelompok Komposisi sel somatik (%)

Neutrofil Limfosit Makrofag

Kontrol positif 56 ± 7 8 ± 2 36 ± 6

(38)

Komposisi neut

Keterangan: a) Gargouri b) Kelly et

neutrofil pada kelompok kontrol positif lebih omposisi limfosit dan makrofag pada kelompok

da kontrol negatif.

omposisi sel somatik pada kontrol positif dan

kepercayaan bagi rataan komposisi sel somatik positif dan negatif dibandingkan dengan pustaka

Hasil pengujian (%) Pustaka

ayaan komposisi sel somatik tersebut digunaka n mastitis subklinis pada laktasi normal.

(39)

kecuali komposisi limfosit pada sampel negatif. Hal tersebut menunjukkan metode penghitungan komposisi sel somatik yang ada layak digunakan dalam penelitian ini. Pendugaan kejadian mastitis subklinis pada masa laktasi normal dilakukan berdasarkan selang kepercayaan yang ada pada pustaka.

Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal

Sampel kolostrum tidak dianalisis jumlah sel somatiknya, melainkan komposisinya saja. Berikut disajikan komposisi sel somatik yang diamati pada masa kolostrum yaitu hari ke-1 sampai 8 setelah beranak dan pada laktasi normal yaitu 90 hari setelah beranak (Tabel 6). Pengamatan dilakukan pada dua kelompok yaitu susu asal ambing yang mengalami mastitis subklinis dan tidak, pada laktasi normal. Penentuan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal dilakukan dengan penggunaan pereaksi IPB-1 dan metode Breed.

Tabel 6 Komposisi sel somatik (%) pada sampel yang mengalami mastitis subklinis dan tidak mengalami mastitis subklinis pada masa kolostrum dan laktasi normal

Hasil uji pada laktasi normal

Jenis sel somatik

Hari ke-

Masa kolostrum Laktasi

normal

1 2 3 4 5 6 7 8 90

Mastitis subklinis

Limfosit 16.8 15.4 14.5 13.9 13.2 12.3 11.9 11.5 7.4

Monosit 57.6 56.3 55.2 53.6 52.4 51.3 50.9 50.0 37.7

Netrofil 25.7 28.3 30.3 32.6 34.4 36.4 37.2 38.5 54.9

Tidak mastitis subklinis

Limfosit 25.7 24.7 24.2 24.0 23.5 24.0 24.2 25.0 21.7

Monosit 65.5 66.7 67.0 66.0 66.7 65.8 66.2 66.8 65.2

(40)

23

Gambar 5 Perubahan komposisi sel somatik pada sampel yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal.

Gambar 6 Perubahan komposisi sel somatik pada sampel yang tidak mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal.

Gambar 5 dan 6 menunjukkan komposisi sel somatik yang diamati selama masa kolostrum dan laktasi normal. Kelompok sampel asal ambing yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal memiliki kecenderungan peningkatan jumlah neutrofil selama masa kolostrum, sedangkan jumlah limfosit dan makrofag mengalami penurunan. Kelompok sampel asal ambing yang tidak

0

(41)

mengalami mastitis subklinis (Gambar 6) menunjukkan jumlah neutrofil, limfosit, dan makrofag yang relatif tetap selama masa kolostrum.

(42)
(43)
(44)

27

Gambar 9 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml (dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi makrofag pada masa kolostrum hari ke-1 sampai 8.

(45)

Berdasarkan selang kepercayaan yang ada, maka penduga selang yang paling tepat untuk menentukan jumlah sel somatik adalah jumlah neutrofil pada selang 30-90% bagi sampel positif dan 3-26% bagi sampel negatif. Penduga jumlah sel somatik berdasarkan jumlah limfosit adalah 20-40% bagi sampel positif dan 16-28% bagi sampel negatif. Penduga jumlah sel somatik berdasarkan jumlah makrofag adalah pada selang kepercayaan 20-36% bagi sampel positif dan 35-79% bagi sampel negatif

Korelasi Antara Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Jumlah Sel Somatik pada Laktasi Normal

Untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara komposisi dan jumlah sel somatik pada masa kolostrum maupun laktasi normal diuji dengan korelasi Pearson. Dari hasil pengujian tersebut diharapkan dapat diketahui hubungan komposisi sel somatik pada masa kolostrum dengan jumlah sel somatik pada laktasi normal sehingga dapat ditentukan pada hari tertentu selama masa kolostrum, pendugaan pandugaan mastitis subklinis pada laktasi normal dapat dilakukan.

Tabel 7 Hasil uji korelasi Pearson antara komposisi sel somatik pada masa kolostrum terhadap jumlah sel somatik pada laktasi normal

Jenis sel somatik

Hari ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

Neutrofil 0.204 0.100 0.178 0.387* 0.462* 0.530* 0.603* 0.745*

Limfosit -0.163 0.132 0.242 0.311* 0.331* 0.395* 0.393* 0.655*

Makrofag NA NA NA NA NA NA NA NA

*

terdapat korelasi yang nyata (P< 0.05) antara komposisi dan jumlah sel somatik NA: nilai korelasi tidak dapat dihitung karena nilai makrofag konstan (not available)

(46)

29

kejadian mastitis subklinis dapat diduga dari komposisi sel somatik. Jenis sel somatik yang dapat digunakan menduga mastitis subklinis adalah neutrofil. Neutrofil mempunyai nilai korelasi yang paling tinggi dibanding limfosit dan makrofag. Korelasi antara neutrofil pada masa kolostrum dan jumlah sel somatik pada laktasi normal disajikan pada Gambar 14.

Gambar 10 Diagram pencar korelasi komposisi neutrofil pada masa kolostrum dengan jumlah sel somatik pada masa laktasi normal.

Gambar 10 menunjukkan neutrofil pada rentang 0-10% belum dapat mendeskripsikan dengan baik kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Presentase neutrofil >10% pada masa kolostrum dapat menunjukkan dengan jelas terjadinya mastitis subklinis pada laktasi normal.

(47)

PEMBAHASAN

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam susu karena adanya infeksi pada ambing sehingga terjadi perpindahan leukosit ke jaringan ambing. Sel epitel merupakan bagian dari fungsi tubuh yang dilepaskan dan diperbaiki dalam proses tubuh yang normal sehingga keberadaan sel epitel pada susu tidak menunjukkan hal yang berarti (Lindmark-Mansson et al. 2006). Leukosit merupakan komponen kekebalan tubuh dan dikenal sebagai komposisi utama sel somatik bahkan identik dengan sel somatik. Pengujian sel somatik merupakan indikator yang baik dalam pemeriksaan mastitis subklinis (Sudarwanto et al. 2006). Pemeriksaan sel somatik dapat dilakukan secara tidak langsung dengan IPB-1 maupun secara langsung menggunakan metode Breed dengan pewarnaan methylen blue Löffler.

(48)

31

a b

Gambar 11 Hasil uji sampel susu menggunakan pereaksi IPB-1 a: (-) mastitis subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis.

Hasil perhitungan jumlah sel somatik berdasar IPB-1 (Tabel 3) menunjukkan sampel (-) memiliki rataan 240 000 ± 106 227 sel somatik/ml dan sampel (+) 3 memiliki rataan sel somatik 1 812 000 ± 272 254 sel somatik/ml. Berdasarkan hasil pewarnaan Breed, maka jenis sel somatik yang dapat diamati dari sampel baik pada sampel positif maupun negatif adalah leukosit. Sel epitel tidak terlihat karena terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit. Pewarnaan dengan metode Breed bukan merupakan pewarnaan spesifik untuk melihat sel epitel. Keberadaan sel epitel juga bukan merupakan indikator kejadian mastitis subklinis.

a b

Gambar 12 Sel somatik yang tampak dengan pewarnaan Breed a: (-) mastitis subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis.

(49)

dilakukan dengan metode pewarnaan Giemsa. Pewarnaan Giemsa memiliki prinsip reaksi zat warna dengan sifat asam, basa atau netral berbagai jenis enzim yang terdapat pada granula azurofilik pada leukosit. Hasil pewarnaan Giemsa menunjukkan jenis leukosit yang dapat diamati pada kedua kelompok adalah neutrofil, limfosit dan makrofag. Basofil dan eosinofil tidak ditemukan karena jumlahnya sangat kecil dalam darah, apalagi dalam susu. Basofil ditemukan ketika terjadi peradangan akut dan eosinofil ditemukan ketika terjadi infeksi parasit (Ganong 1996), sehingga biasanya tidak ditemukan pada sampel mastitis subklinis yang terutama disebabkan mikroorganisme.

a b c

Gambar 13 Jenis sel somatik yang terdapat dalam sampel kolostrum dan susu (a): neutrofil; (b): limfosit dan (c): makrofag.

Pengujian komposisi jumlah sel somatik (Tabel 4) pada sampel negatif menunjukkan jenis sel somatik yang paling banyak adalah makrofag (64%), limfosit (22%) dan neutrofil (14%). Hasil tersebut menunjukkan nilai yang masih sesuai dengan pernyataan Kelly et al. (2000). Komposisi jumlah sel somatik (Tabel 4) pada sampel positif didominasi oleh neutrofil (56%), makrofag (36%) dan limfosit (8%). Hasil tersebut menunjukkan nilai yang sesuai dengan pernyataan Gargouri et al. (2008).

(50)

33

pereaksi IPB-1 yang bereaksi dengan inti sel somatik terutama neutrofil (Sudarwanto 2006).

Peningkatan jumlah sel somatik dalam susu mengindikasikan terjadinya mobilisasi sel somatik dari jaringan karena adanya gangguan pada ambing. Neutrofil yang merupakan sistem pertahanan pertama merupakan komponen leukosit yang pertama mengalami peningkatan jumlah dalam jaringan ketika terjadi infeksi terutama oleh mikroorganisme. Tingginya jumlah sel somatik dalam susu akan diikuti peningkatan enzim proteolitik dan lipolitik (Lindmark-Mansson et al. 2006), sehingga mempengaruhi kualitas susu terutama jika diolah menjadi keju dan mentega. Penurunan produksi sapi yang mengalami mastitis subklinis terjadi karena kerusakan sel epitel oleh aktivitas mikroorganisme terutama bakteri sehingga kemampuan produksinya menurun.

Berdasarkan komposisi sel somatik pada kelompok kontrol tersebut, maka dilakukan uji-t untuk menentukan kisaran atau range komposisi sel somatik. Selang kepercayaan 95% untuk kisaran komposisi sel somatik yang terdiri atas neutrofil, limfosit dan makrofag (Tabel 5) menunjukkan selang yang sesuai dengan pernyataan Kelly et al. (2000) dan Gargouri et al. (2008), kecuali kriteria untuk sampel negatif berdasar jumlah limfosit.

Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal

(51)

pada kolostrum dinilai lebih efektif untuk menentukan kejadian mastitis subklinis daripada penghitungan jumlah sel somatik pada kolostrum.

Dari sampel yang ada menunjukkan masa kolostrum belangsung 6-8 hari. Perbedaan masa kolostrum antar sapi dipengaruhi beberapa faktor antara lain karakteristik dan fisiologi individu, jenis pakan, jumlah laktasi dan lama masa kering kandang (Pritchett et al. 1991). Berakhirnya masa kolostrum ditandai dengan hasil uji alkohol yang negatif pada sampel susu. Tingginya kandungan protein terutama kasein, albumin dan imunoglobulin serta pH kolostrum yang lebih rendah daripada susu normal membuat hasil uji lakohol positif. Kandungan kalsium dan magnesium dalam jumlah tinggi, akan terkoagulasi dengan penambahan alkohol 70% (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Semakin betambah hari setelah melahirkan komposisi kolostrum akan berubah sesuai komposisi pada susu normal.

Jenis sel somatik yang terdapat dalam kolostrum sama dengan jenis sel somatik pada susu laktasi normal yaitu neutrofil, limfosit dan makrofag. Selain secara alami jumlah sel somatik yang tinggi dalam kolostrum, komposisi sel somatik yang tidak seimbang terutama jumlah neutrofil yang tinggi, mengindikasikan terjadinya mastitis subklinis pada masa kering kandang (Pantoja et al. 2009).

Komposisi sel somatik pada masa kolostrum dikelompokkan berdasar jumlah sel somatik hasil konfirmasi mastitis subklinis pada laktasi normal atau 3 bulan setelah beranak. Berdasarkan Gambar 5, kelompok sapi yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal mengalami peningkatan jumlah neutrofil selama masa kolostrum. Hasil tersebut menunjukkan berkembangnya infeksi pada ambing yang masih terjadi sampai laktasi normal dan masih adanya mobilitas leukosit ke ambing. Komposisi limfosit dan makrofag menurun selama masa laktasi yang menunjukkan adanya infeksi oleh mikroorganisme dan dampak dari peningkatan neutrofil. Hasil tersebut sesuai pernyataan Reber et al. (2008a) dan Reber et al. (2008b) bahwa pada 10 hari setelah beranak, jumlah limfosit dan makrofag akan menurun, kemudian akan meningkat pada susu yang normal.

(52)

35

cenderung menurun selama masa kolostrum dengan rataan 9 ± 1 %, sesuai dengan pernyataan Hagemann et al. (2009). Hasil konfirmasi neutrofil pada laktasi normal menunjukkan terjadi peningkatan dibandingkan dengan pada akhir masa kolostrum, namun jumlah tersebut masih termasuk kriteria sampel yang tidak mengalami mastitis subklinis. Peningkatan jumlah neutrofil pada laktasi normal tersebut mengindikasikan kemungkinan dapat terjadi mastitis subklinis pada laktasi normal apabila prosedur sanitasi dan manajemen peternakan tidak dilaksanakan dengan baik.

Berdasarkan komposisi neutrofil selama masa kolostrum, ambing yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal memiliki jumlah sel somatik yang lebih tinggi daripada ambing yang tidak mengalami mastitis subklinis. Peningkatan komposisi neutrofil pada akhir masa kolostrum pada ambing yang mengalami mastitis subklinis juga lebih tingi.

Korelasi Antara Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Jumlah Sel Somatik pada Laktasi Normal

Hasil analisa korelasi menunjukkan terdapat hubungan antara komposisi sel somatik selama masa kolostrum dan jumlah sel somatik sebagai indikasi kejadian mastitis subklinis pada masa laktasi normal (Tabel 7), sehingga kejadian mastitis subklinis pada masa laktasi normal dapat diduga berdasar komposisi sel somatik pada masa kolostrum. Jika komposisi sel somatik pada masa kolostrum ada pada selang nilai yang menunjukkan positif mengalami mastitis subklinis, maka diduga akan terjadi mastitis subklinis pada laktasi normal. Menurut Gargouri et al. (2008) selang nilai standar yang digunakan untuk menunjukkan sampel berasal dari sapi yang positif mengalami mastitis subklinis adalah makrofag 32-36%, limfosit 20-40%, neutrofil (PMN) 30-90%.

(53)

utama mastitis subklinis. Neutrofil mempunyai fungsi dalam memfagositosis dan membunuh organisme, melokalisasi dan membatasi penyebaran mikroorganisme sampai sel darah putih yang lain seperti limfosit dan makrofag, menghancurkan dan memindahkan agen asing tersebut (Dellman dan Eurell 1998).

Limfosit juga dapat digunakan sebagai kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal, tetapi tidak sebaik neutrofil, karena berdasar uji statistik nilai korelasinya lebih rendah daripada neutrofil. Limfosit lebih berperan dalam pertahanan humoral dan pembetukan antibodi spesifik (Jain 1993) sehingga ketepatannya lebih rendah dibandingkan dengan neutrofil ketika digunakan untuk menduga jumlah sel somatik yang meningkat karena infeksi mikroorganisme. Limfosit jumlahnya akan menurun ketika terjadi infeksi mikroorganisme yang dapat ditanggulangi neutrofil.

Makrofag tidak dapat digunakan sebagai penduga jumlah sel somatik karena nilai korelasinya tidak dapat ditentukan. Hal tersebut disebabkan semua sampel baik kolostrum maupun laktasi normal dikategorikan positif berdasar komposisinya. Selain itu, presentase makrofag akan meningkat jika sistem pertahanan netrofil gagal mengeliminasi infeksi atau netrofil banyak yang mati sehingga menghasilkan bahan yang bersifat kemotaktik bagi makrofag (Sladek et al. 2006). Selama neutrofil masih mampu mengatasi infeksi yang terjadi yang dimanifestasikan dengan peningkatan jumlahnya, maka jumlah makrofag maupun limfosit akan turun. Hasil tersebut juga menunjukkan neutrofil merupakan indikasi yang lebih baik daripada makrofag dalam kejadian infeksi yang disebabkan mikroorganisme.

(54)

37

kuartir mengalami mastitis subklinis dengan rata-rata sel somatik 1 134 634 ± 515 811 sel/ml.

Gambar 10 menunjukkan korelasi yang positif antara jumlah neutrofil pada masa kolostrum dan jumlah sel somatik pada laktasi normal. Peningkatan jumlah neutrofil sebanding dengan peningkatan jumlah sel somatik. Komposisi neutrofil pada rentang 0-10% belum dapat mendeskripsikan dengan baik kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Presentase neutrofil >10% pada masa kolostrum dapat menunjukkan dengan jelas terjadinya mastitis subklinis pada laktasi normal. Hasil pengujian menunjukkan semua sampel dengan komposisi neurofil >10% atau mengalami peningkatan jumlah neutrofil selama masa kolostrum menunjukkan hasil positif mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal.

Tingginya jumlah neutrofil pada awal laktasi dapat mengindikasikan terjadinya mastitis subklinis yang terjadi pada masa kering kandang. Kejadian mastitis subklinis pada masa kering kandang mencapai 63% dari kasus mastitis subklinis yang ada pada peternakan dengan sanitasi yang baik (Pantoja et al. 2009). Mastitis subklinis dapat terjadi pada masa kering kandang karena pada masa tersebut kondisi fisiologis sapi menurun dan lebih mudah stres terutama apabila komposisi pakan tidak diperhatikan dengan baik. Pada masa kering kandang terkadang masih terdapat sisa susu dalam ambing yang tidak dikeluarkan secara sempurna karena tatacara pemerahan yang kurang tepat. Sisa susu tersebut membuat kondisi ambing lebih lembab. Otot-otot sphincter pada ambing juga longgar dan kemampuan menutupnya juga berkurang karena aktivitas produksi dan pemerahan masa laktasi. Hal tersebut membuat lubang puting terbuka sehingga berbagai mikroorganisme dapat masuk ke dalam puting dan menimbulkan mastitis subklinis (Subronto 2003). Kejadian tersebut membuat berkembangnya berbagai studi dan upaya pencegahan mastitis subklinis melalui terapi antibiotik khusus pada masa kering kandang.

(55)

mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal. Peningkatan jumlah neuterofil dan penurunan limfosit serta makrofag pada masa laktasi normal (90 hari) dapat dijadikan indikasi kemungkinan peningkatan neutrofil dan sel somatik setelah hari ke-90 atau indikasi kemungkinan kejadian mastitis subklinis, sehingga peternak harus tetap waspada untuk mencegah terjadinya mastitis subklinis. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa mastitis subklinis tidak hanya terjadi pada masa kering kandang maupun awal laktasi tetapi juga terjadi pada 90 hari pertama masa laktasi bahkan sepanjang waktu (Schrick et al. 2001).

Hasil uji korelasi Pearson (Tabel 7) juga menunjukkan pendugaan mastitis subklinis dapat dilihat dari komposisi neutrofil dalam kolostrum mulai hari ke-4 sampai hari ke-8 (P<0.05). Nilai korelasi paling tinggi adalah pada hari ke-8, namun tidak semua sapi mencapai hari ke-8 masa kolostrumnya. Sampel yang ada menunjukkan masa kolostrum berlangsung 6-8 hari, umumnya 7 hari. Hasil tersebut menunjukkan pengambilan sampel kolostrum dapat dilakukan pada hari ke-4, 5 atau 6 setelah beranak.

(56)

39

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa sel somatik terutama leukosit dapat ditemukan dalam sampel kolostrum. Komposisi sel somatik yang ditemukan baik pada sampel kolostrum maupun susu pada laktasi normal adalah neutrofil, limfosit dan makrofag. Keberadaan leukosit yang berlebihan dalam susu mengindikasikan adanya gangguan pada ambing yang menyebabkan mobilisasi leukosit ke jaringan.

Hasil penelitian menunjukkan terjadinya perubahan komposisi sel somatik pada masa kolostrum yang berkorelasi dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Terdapat hubungan antara neutrofil dan limfosit pada masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal, sehingga mastitis subklinis pada laktasi normal dapat diprediksi berdasar komposisi sel somatik pada masa kolostrum. Jenis sel somatik yang paling baik untuk menduga mastitis subklinis pada laktasi normal adalah neutrofil.

Hasil pengujian menunjukkan susu dalam kondisi normal memiliki komposisi neutrofil 3-26%, limfosit 16-28% dan makrofag 35-79%. Tingginya jumlah neutrofil pada awal laktasi menunjukkan kejadian mastitis subklinis yang mulai terjadi pada masa kering kandang. Hasil pengujian terhadap sampel negatif mastitis subklinis pada laktasi normal juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah neutrofil. Hal tersebut mengindikasikan kejadian mastitis subklinis juga dapat terjadi pada masa laktasi normal. Hasil uji korelasi menunjukkan sejak hari ke-4 sampai akhir masa kolostrum, neutrofil dapat digunakan sebagai penduga kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal.

Saran

(57)

2. Perlu dilakukan penelitian sejenis dengan pengembangan metode misalnya penggunaan flow cytometry untuk menghitung komposisi sel somatik, terutama pada sampel dengan jumlah sel somatik yang rendah untuk mendukung hasil yang ada dengan aplikasi yang lebih sederhana.

(58)

41

DAFTAR PUSTAKA

Ananto D. 1995. Prevalensi mastitis subklinis di beberapa kecamatan di Kabupaten DATI II Bogor dengan menggunakan pereaksi IPB-1 dan Breed. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Akers RM, Capuco AV, Keys JE. 2006. Mammary histology and alveolar cell differentiation during late gestation and early lactation in mammary tissue of beef and dairy heifers. Livestock Sci 105: 44–49.

Blowey R, Edmonson P. 1995. Mastitis Control In Dairy Herds: An Illustrated and Practical Guide. New York: Farming Pr.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia Nomor 3141.1 Tahun 2011 tentang Susu Segar. Jakarta: BSN.

Dellman DH, Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-5. New York: Wolsters Kluver.

Frandson, RD. 1992. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ed Ke-4. New York: Lea and Febiger.

Fuquray J, Fox P, Roginski H. 2002. Encyclopedia of Dairy Sciences. Ed ke-4. New York: Academic Pr.

Ganong WF. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Brahm U, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology. Gargouri A, Houda H, Abdelfettah EF. 2008. Total and differential bulk cow

milk somatic cell counts and their relation with lipolysis. Livestock Sci 113: 274–279.

Guyton CA, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi. Ed ke-9. Irawati S, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Hagemann A, Boulaaba A, Klein G. 2009. Durchflusszytometrische Detektion von bovine Kolostralmilchzellen während der ersten Laktationstage. Hannover: Institut für Lebensmittelqualität und-sicherheit.

Holtenius K, Waller KP, Gustavsson BE, Holtenius P, Sandgren CH. 2004. Metabolic parameters and blood leukocyte profiles in cows from herds with high or low mastitis incidence. Vet J 168: 65–73.

Gambar

Gambar 1 Faktor hewan, lingkungan dan mikroorganisme yang mempengaruhi kemunculan mastitis (Raza 2009)
Gambar 2  Skema pembentukan sel  darah (Wright 2001).
Gambar 3  Perbedaan bentuk leukosit (Sheppard et al. 2007).
Tabel 2  Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu normal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan Persepsi AP terhadap pentingnya pemahaman AP pada aspek syariah dalam rangka Efisiensi aktivitas audit entitas syariah berpengaruh secara langsung yang berarti bahwa

Berdasarkan hasil analisis mengenai Implementasi Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Bambe Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik dari pemaparan

To find the market value proportion of debt, simply multiply the price of the firm’s bonds by multiply the price of the firm’s bonds by the number outstanding. This is equal to

Umumnya dipakai untuk mencetak pengunaan sticker yang terpasang dikaca, acrylik, triplek, di mobil dan lain sebagainya yang pada permukaan datar. Bahan jenis ini halus, tipis

Sistem pasar monopolistik cenderung sangat terbatas dalam melakukan improvisasi teknologi dan inovasi dikarenakan jika pada saat mendapat laba yang tinggi maka akan banyak

Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir Program Studi D3 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W4, 2017 2nd International ISPRS Workshop on PSBB, 15–17 May

Namun Pendapat Hakim Pengadilan Agama Kendal ini tetap mencerminkan nilai manfaat yaitu memberikan pembelajaran bagi seorang perempuan yang masih lajang agar tidak