• Tidak ada hasil yang ditemukan

Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

AGUSRINAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

(4)

Nasional Wakatobi. Dibimbing oleh NYOTO SANTOSO dan LILIK BUDI PRASETYO.

Ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis sumber daya alam yang menjadi target konservasi di Taman Nasional Wakatobi. Mangrove merupakan sumber daya yang menyediakan berbagai jenis produk dan pelayanan lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut, mengurangi tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi, dan pembersih air dari polutan. Mengingat ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang penting, maka kerusakan pada ekosistem ini harus dikelola secara benar agar fungsinya dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu metode yang biasa digunakan untuk kajian degradasi ekosistem mangrove adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis deforestasi dan tingkat degradasi mangrove, komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove, korelasi antara ukuran tubuh kepiting bakau (Scylla serrata) dengan tingkat kerusakan mangrove dan merumuskan faktor penyebab serta upaya pengendalian degradasi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juli 2014 di Pulau Kaledupa, Taman Nasional Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui pengambilan titik koordinat dan citra satelit, analisis vegetasi, pengukuran morfometrik kepiting bakau dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan sejak ditetapkan sebagai taman nasional pada 1996, telah terjadi deforestasi mangrove sebesar 214.04 ha sampai tahun 2014. Deforestasi mangrove terbesar terjadi di Desa Lewuto, sedangkan deforestasi mangrove terkecil terjadi di Desa Tanomeha. Dengan metode SIG, luasan mangrove rusak di Pulau Kaledupa mengalami peningkatan dari 39.12 ha pada 1996 menjadi 41.33 ha pada 2014. Luasan mangrove yang tidak rusak mengalami penurunan dari 938.91 ha pada 1996 menjadi 722.66 ha pada 2014. Berdasarkan metode teristris, ekosistem mangrove dalam kondisi rusak. Komunitas mangrove di Pulau Kaledupa disusun oleh 8 jenis. Jenis mangrove dengan INP tertinggi pada empat desa sampling bervariasi, yaituRhizophora apiculataBl. (Tanomeha), Rhizophora mucronata Lamk. (Balasuna), Ceriops tagal (Perr.) C. B. Rob. (Lewuto) dan Sonneratia alba Smith (Horuo-Tampara). Tingkat kerusakan mangrove memiliki korelasi yang negatif dengan ukuran tubuh kepiting bakau (Scylla serrata). Faktor-faktor penyebab degradasi meliputi faktor ekonomi, pendidikan dan keterampilan serta lemahnya pengawasan dari pihak yang berwenang. Strategi pengendalian degradasi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa adalah dengan memanfaatkan status ekosistem mangrove sebagai daerah konservasi untuk menjaga kelestarian mangrove sehingga berpotensi untuk dijadikan daerah ekowisata dan memberdayakan masyarakat untuk menyediakan bibit mangrove melalui pembentukan kebun bibit.

(5)

National Park. Supervised by NYOTO SANTOSO and LILIK BUDI PRASETYO.

Mangrove ecosystem is one type of natural resource conservation target in Wakatobi National Park. Mangrove provides various types of products and environmental protection services such as protection against abrasion, sea water intrusion control, reducing the strong winds, reducing high and flow velocity waveform, recreation and cleaning water from pollutants. Because of he mangrove ecosystem have important functions, degradation in these ecosystem must be properly managed in order functions can be used optimally. One method that is commonly used to study the degradation of mangrove ecosystems is Geographic Information System.

Aims of this study were to analyze the level of deforestation and degradation of mangrove, the mangrove species composition and diversity, the correlation between body size mangrove crab (Scylla serrata) with the degradation level of mangrove and to formulate the causes as well as efforts to control the degradation of mangrove ecosystems in Kaledupa Island, Wakatobi National Park.

The research was conducted in July 2014 at Kaledupa Island, National Park Wakatobi, Southeast Sulawesi Province. Field data collection is done by taking coordinate points and satellite imagery, vegetation analysis, measurements of mangrove crab morphometric and interview.

The results of study showed since declared a national park in 1996, there has been a mangrove deforestation by 214.04 ha untill 2014. The largest mangrove deforestation occurred in Lewuto Village, while smallest deforestation in Tanomeha Village. SIG method showed that was damaged mangrove area in Kaledupa increased from 39.12 ha in 1996 to 41.33 ha in 2014. As for the undamaged mangrove area decline of 938.91 ha in 1996 to 722.66 ha in 2014. Based on the teristris method, mangrove ecosystem in Kaledupa are in a damaged condition. Mangrove communities in Kaledupa composed by eight species. Mangrove species with the highest IVI in four sampling villages varied, namely Rhizophora apiculataBl. (Tanomeha), Rhizophora mucronata Lamk. (Balasuna), Ceriops tagal (Perr.) B. C. Rob. (Lewuto) and Sonneratia alba Smith (Horuo-Tampara). Mangrove damage level had a negative correlation with morphometric of mud crab (Scylla serrata). Causal factors of degradation include economic factors, education and skills, and weak of supervision of the authorities. Strategies to control the mangrove ecosystems degradation in Kaledupa Island were to utilize mangrove ecosystem status as a conservation area to preserve the mangrove so the potential to be used as an attractive eco-tourism area and should empower communities to provide mangrove seedlings through the establishment of nurseries.

(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NRP : P052120051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Nyoto Santoso, MS Ketua

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhannahu atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nyoto Santoso, MS dan Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSi selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, saudara serta seluruh keluarga, atas segala doa dan motivasinya. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan untuk seluruh rekan-rekan yang telah memberi bantuan berupa saran dan pemikiran. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu di Laboratorium Biologi Universitas Haluoleo, Laboratorium Analisis Spasial Institut Pertanian Bogor dan Balai Taman Nasional Wakatobi

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015

(11)

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Kerangka Pemikiran 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Ekosistem Mangrove 5

Degradasi Hutan 6

Kepiting Bakau (Scylla serrata) 7

Sistem Informasi Geografi (SIG) 8

Degradasi Ekosistem Mangrove Menggunakan SIG 9

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11

Letak Geografis 11

Iklim 12

Jumlah Penduduk 13

Pendidikan 14

Pekerjaan Penduduk 14

4 METODE PENELITIAN 16

Tempat dan Waktu Penelitian 16

Instrumen Penelitian 16

Rancangan Penelitian 17

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 18

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 25

Deforestasi Hutan Mangrove di Pulau Kaledupa 25

Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa 27

Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Mangrove 31

Korelasi antara Ukuran Morfologi Kepiting Bakau dengan

Tingkat Kerusakan Mangrove 38

Faktor Penyebab dan Strategi Pengendalian Degradasi Mangrove 39

6 KESIMPULAN DAN SARAN 45

Kesimpulan 45

Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 46

LAMPIRAN 51

(12)

2 Data curah hujan Kabupaten Wakatobi antara tahun 1993 - 2002 13 3 Jumlah penduduk Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan 13 4 Persentase tingkat pendidikan penduduk menurut kecamatan di

Kabupaten Wakatobi 14

5 Persentase jenis pekerjaan penduduk menurut kecamatan 15

6 Matriks penelitian 17

7 Sistem penilaian dengan bantuan teknologi GIS dan inderaja 21 8 Sistem penilaian dengan cara teristris (survei lapangan) 22 9 Kriteria baku kerusakan mangrove berdasarkan Kepmen LH No.

201 tahun 2004 23

10 Matriks SWOT 24

11 Perubahan luasan tutupan mangrove (ha) di Pulau Kaledupa 25 12 Rincian luas mangrove yang rusak di Pulau Kaledupa 28 13 Skor tingkat degradasi mangrove berdasarkan metode teristris 30 14 Skor tingkat degradasi mangrove berdasarkan Kepmen LH

No. 201 tahun 2004 30

15 Komposisi jenis mangrove di Desa Tanomeha 31

16 Kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif dan indeks

nilai penting vegetasi mangrove di Desa Tanomeha 32

17 Komposisi jenis mangrove di Desa Balasuna 32

18 Kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif dan indeks

nilai penting vegetasi mangrove di Desa Balasuna 33

19 Komposisi jenis mangrove di Desa Lewuto 34

20 Kerapatan relatif, frekuensi relatif dan indeks nilai penting

vegetasi mangrove di Desa Lewuto 34

21 Komposisi jenis mangrove di Desa Horuo-Tampara 35 22 Kerapatan relatif, frekuensi relatif dan indeks nilai penting

vegetasi mangrove di Desa Horuo-Tampara 35

23 Korelasi antara morfometrik kepiting bakau dengan tingkat

kerusakan mangrove 38

24 Matriks perhitungan nilai SWOT 41

25 Matriks SWOT strategi pengendalian degradasi mangrove 43

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir kerangka pemikiran 4

2 Siklus hidup kepiting bakau 8

3 Lokasi penelitian 16

4 Model transek dan plot-plot pengamatan vegetasi mangrove 18 5 Penentuan posisi pengukuran lingkar batang vegetasi

mangrove setinggi dada (dbh) : a. Vegetasi tanpa percabangan dan tanpa akar tunjang atau banir b. Vegetasi dengan berbagai

(13)

Pulau Kaledupa 29 8 ) (’), dan (b) indeks kemerataan jenis

(e) vegetasi mangrove pada berbagai strata pertumbuhan 36

9 Diagram SWOT pengendalian degradasi mangrove 42

DAFTAR LAMPIRAN

1 Citra satelit tahun 1996 dan 2014 yang diunduh dari situs USGS

(United States Geological Survey) 51

2 Hasil analisis vegetasi mangrove pada tiap desa sampling 52 3 Analisis SWOT strategi pengendalian degradasi mangrove di Pulau

Kaledupa 59

4 Data pengukuran morfometrik kepiting bakau (Scylla serrata) dalam

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan konservasi perairan laut (marine conservation area ), dengan luas 1 390 000 ha, ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Keppts-VI/1996. Pulau-pulau yang menyusun kawasan ini berjumlah 48 buah pulau. Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka semua pulau pada kawasan Taman Nasional Wakatobi tergolong ke dalam pulau kecil.

Potensi sumber daya laut Kepulauan Wakatobi cukup tinggi, terutama sumber daya terumbu karang. Wilayah ini terletak pada Pusat Segitiga Karang Dunia (oral Tri angle Center), memiliki jumlah keanekaragaman hayati kelautan

tertinggi di dunia (750 jenis karang dari 850 jenis karang dunia), 900 jenis ikan dunia dengan 46 diversitas teridentifikasi. Taman Nasional Wakatobi memiliki terumbu karang seluas 90 000 hektar dan Atol Kaledupa sepanjang 48 km, yang merupakan atol terpanjang di dunia. Persentasi tutupan karang hidup antara 36.51 – 52.86%, (Dhewani et al. 2006). Panorama bawah laut dengan keindahan ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman biotanya, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu daerah kunjungan wisata, baik dalam maupun luar negeri, terutama bagi para pencinta wisata menyelam.

Ekosistem Kepulauan Wakatobi juga rentan terhadap berbagai gangguan, terutama akibat praktik pengelolaan sumber daya laut yang tidak ramah lingkungan. Beberapa hal yang mengancam kegiatan pengelolaan sumber daya laut di Kepulauan Wakatobi adalah perilaku masyarakat yang merusak terumbu karang, penggunaan bom ikan, penambangan batu karang, penambangan pasir, dan eksploitasi mangrove.

Ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis sumber daya alam yang menjadi target konservasi, dari berbagai potensi sumber daya alam yang ada di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Berdasarkan hasil penelusuran literatur, bermacam-macam karakter ekologi mangrove pada berbagai negara dan daerah pantai di Indonesia sekarang telah banyak dikaji oleh para ahli. Namun demikian ternyata aspek ekologi mangrove pada pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum banyak diungkap. Selama ini penelitian terkait Taman Nasional Wakatobi, seperti COREMAP (2001), Dhewani et al. (2006), Hidayati et al. (2007), dan Mufti (2009), lebih banyak mengamati ekologi terumbu karang (coral reef), sosial ekonomi masyarakat dan nilai ekonomi sumber daya.

(15)

kata lain, ekosistem mangrove menyediakan berbagai jenis produk dan jasa yang berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional, maupun nasional serta sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat sekitar hutan. Semua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut kalau keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumber dayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai sumber daya renewable

dan penyangga sistem kehidupan jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove dapat berlangsung tanpa gangguan. Proses ekologi dalam ekosistem mangrove akan terganggu jika salah satu komponennya hilang. Gunarto (2004) menyatakan bahwa mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter serta agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, ikan, kepiting pemakan detritus dan bivalvia juga ikan pemakan plankton sehingga mangrove berfungsi sebagai biofilter alami.

Alasan pemilihan Pulau Kaledupa sebagai lokasi penelitian dibandingkan pulau-pulau yang lain di Kabupaten Wakatobi adalah keberadaan mangrove terluas dan terpadat berada di pulau ini. Ekosistem mangrove juga sebenarnya terdapat di Pulau Wangi-Wangi tapi luasannya kecil. Karena besarnya luasan ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa, maka terjadi pula eksploitasi oleh masyarakat seperti konversi lahan menjadi permukiman dan kebun rakyat serta penebangan batang mangrove untuk kayu bakar dan kontruksi bangunan. Eksploitasi ini tidak diimbangi dengan daya resilience ekosistem mangrove karena tidak didukung oleh kondisi substrat yang didominasi oleh substrat pasir. Substrat jenis ini menyebabkan pertumbuhan mangrove di Pulau Kaledupa tidak sebaik dan secepat pertumbuhan mangrove di pulau-pulau besar seperti di Pulau Sulawesi. Rusaknya ekosistem mangrove akibat eksploitasi tentu saja akan berpengaruh terhadap kehidupan biota yang berhabitat di dalamnya. Salah satu biota yang sensistif terhadap kerusakan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata).

Kepiting bakau sangat menggantungkan semua aktivitasnya pada ekosistem mangrove. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan spesies yang khas berada di kawasan bakau. Pada tingkat juvenil, kepiting bakau jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenil kepiting bakau lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur laut yang menjorok kedaratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau. Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Ketika matahari akan terbit kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam (nokturnal). Dalam mencari makan kepiting bakau lebih suka merangkak. Kepiting lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan dan udang-udangan. Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (omnivorous)

danpemakan bangkai (scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya memakan plankton (Soim 1999). Kerusakan mangrove akan menyebabkan kepiting bakau tidak bisa mencari makan dengan bebas. Selain itu, kepiting dikenal sebagai hewan yang memiliki mobilitas yang tinggi.

(16)

secara tuntas dan dikelola secara benar agar fungsinya dapat dimanfaatkan secara optimal bagi sistem penyangga kehidupan dan keberlanjutan tipe-tipe ekosistem lainnya yang sustainabilitasnya berkaitan dengan eksistensi ekosistem mangrove. Salah satu metode yang biasa digunakan untuk kajian degradasi ekosistem mangrove adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi. Sistem Informasi Geografi (SIG) atauGeographic Information System(GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus & Wiradisastra 2000).

Perumusan Masalah

Keberadaan mangrove di Taman Nasional Wakatobi sedikit banyak terancam akibat aktivitas manusia seperti konversi menjadi lahan pemukiman dan pengambilan batang mangrove untuk kayu bakar. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Jika hal ini dibiarkan maka degradasi ekosistem mangrove akan mengancam eksistensi ekosistem mangrove beserta seluruh biota di dalamnya. Dari hal-hal tersebut, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana deforestasi dan tingkat degradasi mangrove di Pulau Kaledupa? 2. Bagaimana komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove di Pulau

Kaledupa?

3. Bagaimana korelasi antara ukuran tubuh kepiting bakau (Scylla serrata) dengan tingkat kerusakan mangrove.

4. Apa faktor penyebab dan bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengendalikan degradasi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa?

Kerangka Pemikiran

(17)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis deforestasi dan tingkat degradasi mangrove di Pulau Kaledupa. 2. Menganalisis komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove di Pulau

Kaledupa.

3. Menganalisis korelasi antara ukuran tubuh kepiting bakau (Scylla serrata) dengan tingkat kerusakan mangrove.

4. Merumuskan faktor penyebab dan upaya pengendalian degradasi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.

2. Sebagai informasi tentang deforestasi dan tingkat degradasi mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.

3. Sebagai dasar bagi pemerintah daerah terkait kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Wakatobi.

4. Sumber literatur bagi penelitian selanjutnya yang relevan.

Ekosistem Mangrove

Manfaat Ekologi Manfaat Fisik Manfaat Sosial Ekonomi

Berbagai Jenis Eksploitasi Mangrove oleh Masyarakat Tingkat Kebutuhan

Masyarakat yang Tinggi

Kurangnya Informasi Tentang Laju Perubahan Luasan

Degradasi Mangrove

Strategi Pengendalian Degradasi

- SIG

(18)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove

Definisi Mangrove

Definisi mangrove telah banyak dilaporkan oleh para ahli, antara lain Macnae (1968); Chapman (1976); Lear & Turner (1977); Steenis (1978); Odum (1982); Soerianegara (1982); Tomlinson (1986); Nybakken (1988). Mangrove digunakan untuk menunjukkan tumbuhan golongan pohon dan semak yang telah mengembangkan adaptasi pada lingkungan pasang surut air laut (intertidal). Mangrove merupakan hutan dengan pohon-pohon yang selalu hijau, toleran terhadap kadar garam tinggi, tumbuh subur pada pantai yang terlindung dari hempasan ombak besar, muara-muara sungai, dan delta pada negara-negara tropis dan sub tropis.

Steenis (1978) berpendapat bahwa, mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Sumber daya mangrove adalah: (1). Satu atau lebih tumbuhan khas mangrove (exclusive mangrove) yang hanya tumbuh di habitat mangrove, (2). Satu atau lebih tumbuhan yang berasosiasi dengan tumbuhan khas mangrove, tetapi tumbuhan tersebut hidupnya tidak terbatas di mangrove, (3). Biota (hewan) darat dan laut yang berasosiasi dengan habitat mangrove, dan (4). Berbagai proses esensial yang berperan penting dalarn memelihara kelestarian fungsi hutan mangrove. Nybakken (1988) menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Kusmana (2002) mendefinisikan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas di daerah pasang surut.

Bioekologi Mangrove

Ekosistem mangrove telah banyak dikaji oleh para ilmuwan (misalnya: Field et al. 1995; Dahdouh-Guebas et al. 2001). Vegetasi mangrove telah mengembangkan pola adaptasi secara morfologi dan fisiologi untuk hidup pada daerah pasang surut (intertidal). Pola adaptasi yang dikembangkan oleh vegetasi mangrove terhadap lingkungan pasang surut, yang mudah dikenali adalah sistem akar udara. Fungsi utamanya adalah untuk pertukaran gas, memperkokoh tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Terdapat perbedaan struktur akar napas antar jenis yang berbeda. Misalnya akar udara pada

Avicennia spp., akar pancang pada Sonneratia spp., akar lutut pada Bruguiera

spp., akar papan pada Xylocarpus spp., dan akar tunjang pada Rhizophora spp. (Tomlinson 1986).

(19)

efisien. Pada familia Rhizophoracea, misalnya Rhizophora spp., Bruguiera spp. danCeriopsspp. mempunyai mekanisme adaptasi dengan karakter biji (propagul) bersifatvivipary, yaitu biji telah berkecambah dan berkembang ketika buah masih menempel pada pohon induk, atau dapat dipadankan sebagai tumbuhan yang melahirkan. Pada marga lain, misalnya Aegiceras, Avicennia, dan Nypa bersifat

cryptovivipary(Bariket al. 1996).

Fungsi Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove memiliki sejumlah fungsi penting, baik dalam skala lokal maupun nasional. Banyak nelayan, petani dan penduduk pedesaan hidupnya bergantung pada ekosistem mangrove, untuk memenuhi berbagai keperluan, baik berupa produk kayu (misalnya kayu bangunan, kayu bakar, dan arang kayu), maupun hasil non-kayu (seperti bahan makanan, atap rumah, pakan ternak, alkohol, gula, obat-obatan dan madu). Mangrove dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber penghasil tanin (FAO 1994). Nilai ekonomi hutan mangrove di Teluk Kotania Provinsi Maluku, pada tahun 1999 mencapai Rp. 64.8 milyar atau Rp. 60.9 juta/ha (Supriyadi & Wouthuyzen 2005).

Fungsi penting lain dari ekosistem mangrove adalah kedudukan ekosistem mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan ekosistem laut dan darat. Hutan mangrove menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar, terutama bentuk serasah. Serasah mangrove merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan di dalam hutan mangrove. Serasah tersebut akan mengalami dekomposisi akibat aktivitas mikroorganisme. Hasil dekomposisi ini akan menjadi sumber nutrisi fitoplankton dalam kedudukannya sebagai produsen primer, dan kemudian zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energi utama, dalam kedudukannya sebagai konsumen primer. Zooplankton akan dimakan oleh crustaceae dan ikan-ikan kecil, selanjutnya jenis-jenis ini merupakan sumber energi bagi tingkat yang lebih tinggi dalam rantai makanan. Bahan organik yang dihasilkan oleh hutan mangrove, akan memberikan sumbangan pada rantai makanan di perairan pantai dekat hutan mangrove, sehingga perairan pantai disekitar hutan mangrove mempunyai produktivitas yang tinggi (Lear & Turner 1977). Berbagai jenis ikan baik yang komersial maupun non-komersial juga bergantung pada keberadaan ekosistem mangrove (FAO 2007).

Degradasi Hutan

Menurut Lamb (1994), degradasi hutan memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik di mana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan di mana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi.

(20)

semena-mena merupakan degradasi lahan. Selain itu tidak terkendali dan tidak terencananya penebangan hutan secara baik merupakan bahaya ekologis yang paling besar. Kerusakan lahan atau tanah akan berpengaruh terhadap habitat semua makhluk hidup yang ada di dalamnya dan kerusakan habitat sangat berpengaruh terhadap kelangsungan makhluk hidup yang disangganya. Menurut Angelsen (2010), degradasi adalah perubahan di dalam hutan yang merugikan susunan atau fungsi tegakan hutan atau kawasan hutan sehingga menurunkan kemampuannya untuk menyediakan berbagai barang atau jasa. Dalam hal

Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), degradasi paling mudah diukur dalam hal berkurangnya cadangan karbon di hutan yang dipertahankan sebagai hutan.

Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Kepiting bakau (Scylla serrata) juga dikenal dengan sebutan kepiting lumpur termasuk ke dalam kelas Crustaceae, ordo Decapoda, famili Portunidae

dan genus Scylla (Warner 1977). Kepiting bakau/kepiting lumpur (mud crab) ini dapat hidup pada berbaga ekosistem. Sebagian besar siklus hidupnya berada di perairan pantai meliputi muara atau estuarin, perairan bakau dan sebagian kecil di laut untuk memijah. Jenis ini biasanya lebih menyukai tempat yang agak berlumpur dan berlubang-lubang di daerah hutan mangrove. Disebutkan juga bahwa beberapa jenis kepiting yang dapat dimakan ditemukan hidup melimpah di perairan estuarin dan kadang-kadang terlihat hidup bersama dengan Portunidae

lainnya dalam satu kawasan. Selanjutnya Moosa (1985) menyatakan bahwa distribusi kepiting menurut kedalaman hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0– 32 meter dan sebagian kecil hidup di laut dalam. Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting melakukan perkawinan di perairan bakau, setelah selesai maka secara perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak atau sekitar perairan pantai yangberlumpur dan memiliki organisme makanan berlimpah (Kasry 1991).

(21)

Gambar 2 Siklus hidup kepiting bakau (Kasry 1991)

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan jenis yang khas berada di kawasan bakau. Pada tingkat juvenil, kepiting bakau jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenil kepiting bakau lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur laut yang menjorok kedaratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau. Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Ketika matahari akan terbit kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam (nocturnal). Dalam mencari makan, kepiting bakau lebih suka merangkak. Kepiting lebih menyukai makanan alami berupa alga, bangkai hewan dan udang-udangan. Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (omnivorous) dan pemakan bangkai (scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya memakan plankton (Soim 1999).

Sistem Informasi Geografi (SIG)

(22)

keunggulannya, serta memberikan kemungkinan untuk meningkatkan keakurasian dan efisiensi dalam penyediaan data dan informasi dengan dukungan frekuensi yang cukup tinggi. Hal ini merupakan sebuah terobosan dalam aspek inventori dan monitoring.

Menurut Prahasta (2001), ada beberapa alasan mengapa perlu menggunakan SIG, di antaranya adalah: 1) SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi, 2) SIG dapat digunakan sebagai alat bantu interaktif yang menarik dalam usaha meningkatkan pemahaman mengenai konsep lokasi, ruang, kependudukan, dan unsur-unsur geografi yang ada dipermukaan bumi, 3) SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data, 4) SIG memiliki kemampuan menguraikan unsur-unsur yang ada dipermukaan bumi kedalam beberapa layer ataucoverage data spasial, 5) SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atributnya, 6) semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif, 7) SIG dengan mudah menghasilkan peta-peta tematik, 8) semua operasi SIG dapat di-costumizedengan menggunakan perintah-perintah dalam bahasa script, 9) perangkat lunak SIG menyediakan fasilitas untuk berkomunikasi dengan perangkat lunak lain, 10) SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang spasial dan geoinformatika.

Barus & Wiradisastra (2000) juga mengungkapkan bahwa SIG adalah alat yang handal untuk menangani data spasial, di mana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan.Sarana utama untuk penanganan data spasial adalah SIG. SIG didesain untuk menerima data spasial dalam jumlah besar dari berbagai sumber dan mengintergrasikannya menjadi sebuah informasi, salah satu jenis data ini adalah data pengindraan jauh. Penginderaan jauh mempunyai kemampuan menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah besar.

Degradasi Ekosistem Mangrove Menggunakan SIG

(23)

Hutan mangrove dan ekosistem di sekitarnya telah sering mengalami perusakan dan degradasi seiring dengan bertambahnya penduduk dan kebutuhan akan peningkatan ekonomi yang didapat dari hutan mangrove. Keserakahan dan ketidaktahuan akan fungsi hutan mangrove oleh manusia, telah menyebabkan kerusakan hutan mangrove hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (Budhimanet al. 2001).

(24)

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis

Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis kawasan Taman Nasional Wakatobi terletak di sebelah timur Pulau Buton, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Muna, Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Buton, dan Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores. Pembentukan pulau-pulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang berlangsung sejak zaman dulu hingga sekarang (Daly et al. 1991). Ketiga lempeng ini mengakibatkan tekanan dan tarikan, baik dari arah barat-timur maupun utara-selatan. Lempeng dasar dari kepulauan Wakatobi merupakan pecahan lempeng dasar yang berasal dari Papua Nugini. Dasar dari lempeng ini tidak berasal dari vulkanik dan selama ini tidak pernah tercatat adanya aktivitas vulkanik di daerah Wakatobi (Halminton 1979).

Luas wilayah Kabupaten Wakatobi adalah sekitar 19 200 km², terdiri dari daratan seluas ± 823 km² atau hanya sebesar 3.00 persen dan luas perairan (laut) ± 18 377 km2 atau sebesar 97.00 persen dari luas Kabupaten Wakatobi. Atas dasar kondisi tersebut, maka potensi sektor perikanan dan kelautan serta sektor pariwisata berbasis wisata laut/bahari menjadi sektor andalan daerah Kabupaten Wakatobi. Kabupaten Wakatobi terdiri dari 8 kecamatan, yaitu Kecamatan Wangi-Wangi, Wangi-Wangi Selatan, Kaledupa, Kaledupa Selatan, Tomia, Tomia Timur, Binongko dan Kecamatan Togo Binongko.

Pulau Kaledupa sebagai lokasi penelitian terdiri atas Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan dengan rincian luas sebagaimana yang terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas Pulau Kaledupa berdasarkan kecamatan

No. Desa/Kelurahan Luas (Km2) Persentase (%)

A Kecamatan Kaledupa

1 Horuo 7.00 15.38

2 Sombano 7.00 15.38

3 Lau-Lua 2.50 5.49

4 Samabahari 1.50 3.30

5 Ambeua 2.13 4.68

6 Lagiwae 0.98 2.15

7 Ollo 4.00 8.79

8 Buranga 2.14 4.70

9 Balasuna 3.75 8.24

10 Mantigola Makmur 1.50 3.30

11 Balasuna Selatan 2.25 4.95

12 Ollo Selatan 2.00 4.40

(25)

No. Desa/Kelurahan Luas (Km2) Persentase (%)

A Kecamatan Kaledupa

14 Lewuto 3.00 6.59

15 Ambeua Raya 2.37 5.21

16 Kalimas 2.52 5.54

Total 45.50 100.00

B Kecamatan Kaledupa Selatan

1 Tampara 6.00 10.26

2 Kasuari 5.06 8.65

3 Pajam 7.00 11.97

4 Sandi 6.50 11.11

5 Langge 5.00 8.55

6 Tanomeha 3.69 6.31

7 Lentea 11.00 18.80

8 Darawa 5.50 9.40

9 Peropa 6.44 11.01

10 Tanjung 2.31 3.95

Total 58.50 100.00

A + B 104.00 200.00

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi 2014

Secara geografis kondisi bentang alam daratan pulau-pulau di kawasan Taman Nasional Wakatobi relatif kering, bergelombang dan berbukit-bukit. Jenis tanahnya bervariasi dari batuan kapur, pasir putih, dan tanah lempung. Tanah di daerah ini kurang begitu subur untuk usaha bercocok tanam. Peta geologi Lembar Kepulauan Tukang Besi Sulawesi Tenggara skala 1 : 25 000 tahun 1994 menunjukkan bahwa secara umum formasi geologi Wakatobi dikelompokkan ke dalam formasi geologi Qpl dengan jenis bahan induk yaitu batu gamping coral. Beberapa vegetasi yang bisa ditanam atau bisa tumbuh antara lain jambu mete, kelapa, ubi kayu, dan jagung. Tanaman keras yang umum tumbuh di wilayah ini adalah pohon asam (Tamarindus indicus) (Jamili 2010).

Iklim

(26)

Tabel 2 Data curah hujan Kabupaten Wakatobi antara tahun 1993 - 2002

Bulan Tahun Jumlah

(cm)

Rerata (cm) 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02

Jan. 121 131 343 150 37 8 182 269 X 102 1 343 149.22 Feb. 185 145 188 62 42 67 76 250 X 303 1 318 146.44 Mar. 141 185 78 18 7 175 115 170 148 127 1 164 116.40 Apr. 399 119 77 29 34 416 363 188 - 211 1 836 204.00 Mei 103 29 78 37 10 180 123 167 60 X 787 87.44 Juni 280 - 55 65 20 336 - 235 132 X 1 123 160.43 Juli 38 - 15 14 3 241 7 X 31 X 349 49.86 Agt. 40 - 0 6 - 9 12 3 X X 70 11.67 Sep. - - - 6 - - 4 4 X X 14 4.67 Okt. - - - 21 - 20 29 113 X X 183 45.75 Nov. 10 95 55 38 6 106 X 169 X X 479 68.43 Des. 159 38 223 108 54 X X 238 X X 820 136.67 Sumber: Data stasiun klimatologi kelas 1 Panakukang Maros diacu dalam stasiun maritim Kendari

(2006)

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2013 tercatat sebanyak 16 969 jiwa dengan rincian 7 924 jiwa penduduk laki-laki dan 9 045 jiwa penduduk perempuan. Secara lengkap, data jumlah penduduk ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah penduduk Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan

No. Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk (Jiwa) Total

(Jiwa)

Kepadatan (Jiwa/Km2)

A Kaledupa Laki-Laki Perempuan

1 Horuo 440 437 877 125.14

2 Sombano 330 325 655 93.57

3 Lau-Lua 284 282 566 226.4

4 Samabahari 636 648 1284 855.33

5 Ambeua 314 396 710 332.86

6 Lagiwae 202 238 440 448.98

7 Ollo 264 292 556 139

8 Buranga 236 273 509 237.85

9 Balasuna 318 368 686 182.93

10 Mantigola Makmur 354 366 720 480

11 Balasuna Selatan 183 237 420 186.67

12 Ollo Selatan 318 365 683 341.5

13 Waduri 231 251 482 560.46

14 Lewuto 233 229 462 154

15 Ambeua Raya 311 321 632 266.67

(27)

No. Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk (Jiwa) Total (Jiwa)

Kepadatan (Jiwa/Km2)

Total 4 887 5 301 10 188 223.91

B Kaledupa Selatan

1 Tampara 376 455 831 138.5

2 Kasuari 186 245 431 85.18

3 Pajam 299 367 666 95.14

4 Sandi 469 583 1052 161.85

5 Langge 420 516 936 187.2

6 Tanomeha 317 361 678 183.74

7 Lentea 238 278 516 46.91

8 Darawa 247 318 565 102.73

9 Peropa 223 277 500 77.64

10 Tanjung 262 344 606 262.34

Total 3 037 3 744 6 781 115.91

A + B 7 924 9 045 16 969 163.16

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi 2014

Pendidikan

Menurut BPS Kabupaten Wakatobi (2014), sebagian besar penduduk masih berpenidikan rendah. Sebesar 79.13% penduduk Kabupaten Wakatobi masih berpendidikan SD ke bawah (Tabel 4). Persentase ini hampir sama di semua kecamatan yang ada, sehingga secara umum kondisi pendidikan di seluruh kecamatan (termasuk Kecamatan Kaledupa) relatif sama. Hal ini diduga berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, serta akses terhadap pendidikan yang masih rendah.

Tabel 4 Persentase tingkat pendidikan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Wakatobi

Tingkat Pendidikan

Persentase per Kecamatan (%) Wakatobi

Wangi-Wangi Kaledupa Tomia Binongko

Tidak/belum sekolah

50.09 51.50 50.00 48.14 50.02

SD 29.97 25.54 25.66 34.71 29.11

SLTP 12.02 12.05 12.96 12.65 12.30

SLTA 6.91 9.78 9.93 3.97 7.53

Diploma 0.53 0.58 0.71 0.28 0.54

S1 0.48 0.55 0.75 0.25 0.51

Jumlah 100 100 100 100 100

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi 2014

Pekerjaan Penduduk

(28)

ini tergambar dari besarnya proporsi angkatan kerja yang bekerja sebagai petani tanaman pangan yang masih dominan.

Tabel 5 Persentase jenis pekerjaan penduduk menurut kecamatan

Pekerjaaan Persentase Jenis Pekerjaan per Kecamatan (%)

Wakatobi

Wangi-Wangi

Kaledupa Tomia Binongko

Petani tanaman pangan

55.5 26.2 55.8 38.9 48.1

Petani perkebunan 2.7 8.7 0.4 0.3 3.1

Peternak 0.1 - 0.1 0.3 0.1

Petani lainnya 1.2 1.2 0.2 0.7 1.0

Nelayan 14.0 47.0 8.1 2.2 17.7

Pengrajin 0.6 3.5 0.9 5.7 1.8

Pedagang 11.1 4.0 19.5 10.1 11.2

Pekerja jasa 4.7 6.7 10.0 8.8 6.6

Sopir/ojek 3.3 0.7 2.2 17.9 4.2

Lainnya 6.8 2.0 2.8 15.1 6.2

Jumlah 100 100 100 100 100

(29)

4 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pelaksanan penelitian ini pada bulan Juli 2014.

Gambar 3 Lokasi penelitian

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini meliputi laptop dengan aplikasi ArcGIS 9.1, Erdas Imagine 9.1, foto citra landsat tahun 1996 dan 2014, peta administrasi Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan, masyarakat, mangrove, kepiting, buku identifikasi mangrove, kalifer, tali rafia, meteran roll, meteran kain, thermometer, pH meter, salinometer dan alat tulis menulis.

Balasuna Horuo-Tampara

Tanomeha Lewuto

4 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pelaksanan penelitian ini pada bulan Juli 2014.

Gambar 3 Lokasi penelitian

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini meliputi laptop dengan aplikasi ArcGIS 9.1, Erdas Imagine 9.1, foto citra landsat tahun 1996 dan 2014, peta administrasi Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan, masyarakat, mangrove, kepiting, buku identifikasi mangrove, kalifer, tali rafia, meteran roll, meteran kain, thermometer, pH meter, salinometer dan alat tulis menulis.

Balasuna Horuo-Tampara

Tanomeha Lewuto

4 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pelaksanan penelitian ini pada bulan Juli 2014.

Gambar 3 Lokasi penelitian

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini meliputi laptop dengan aplikasi ArcGIS 9.1, Erdas Imagine 9.1, foto citra landsat tahun 1996 dan 2014, peta administrasi Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan, masyarakat, mangrove, kepiting, buku identifikasi mangrove, kalifer, tali rafia, meteran roll, meteran kain, thermometer, pH meter, salinometer dan alat tulis menulis.

Balasuna Horuo-Tampara

(30)

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei lapangan. Jenis penelitian ini meliputi penelitian eksploratif dan deskriptif. Matriks hubungan antara tujuan penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan dan analisis data serta keluaran dari penelitian ini disajikan pada Tabel 6.

(31)

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Mangrove

Titik pengamatan ditempatkan pada 4 titik ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa, yaitu di Desa Tanomeha (I), Desa Balasuna (II), Desa Lewuto (III) dan Desa Tampara-Horuo (IV). Pada setiap desa dibuat masing-masing dua transek

pengamatan. Panjang transek bervariasi antar desa, yaitu berkisar antara 202 m –

526 m. Pada setiap garis transek dibuat plot pengamatan berukuran 10 x 10 m. Plot-plot pengamatan diletakkan secara kontinu pada sisi kiri dan sisi kanan

sepanjang garis transek. Jumlah total plot pengamatan pada empat titik

pengamatan adalah 165 plot.

Keterangan : T : Tree/pohon dbh > 20 cm, P : Pole/tihang dbh 10– 19 cm, Sp : Sapling/sapihan, tinggi > 1,5m dan dbh < 10 cm, Sd : seedling/semai, tgb < 1,5m

Gambar 4 Model transek dan plot-plot pengamatan vegetasi mangrove

Data vegetasi diperoleh melalui pengamatan lapangan yang dilakukan pada setiap plot. Data yang dikumpulkan adalah jenis-jenis mangrove, diameter, tinggi dan jumlah inividu untuk semua strata pertumbuhan yaitu pohon, tihang, sapihan, dan semai. Dalam penelitian ini yang dimaksud pohon adalah semua vegetasi

mangrove dengan diameter batang setinggi dada (dbh)> 20 cm, tihang dbh 10

(32)

memiliki banir/tunjang dengan ketinggian lebih dari 130 cm di atas pengukuran tanah, pengukuran dilakukan 20 cm di atas banir; (3) vegetasi yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm di atas permukaan tanah, maka pengukuran diameter dilakukan setinggi 130 cm (vegetasi dianggap satu), sedangkan apabila tinggi percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah, pengukuran dilakukan terhadap semua cabang (vegetasi dianggap sebanyak cabang); (4) apabila setengah atau lebih bagian tajuk masuk ke dalam plot, maka pengukuran dilakukan, namun apabila sebaliknya pengukuran tidak dilakukan; (5) khusus vegetasi sapihan dan semai tidak dilakukan pengukuran diameter, hanya dihitung jumlah individunya. Model pengukuran dbh disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Penentuan posisi pengukuran lingkar batang vegetasi mangrove setinggi dada (dbh) : a. Vegetasi tanpa percabangan dan tanpa akar tunjang atau banir b. Vegetasi dengan berbagai variasi percabangan dan akar tunjang atau banir

Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dengan rumus-rumus sebagai berikut:

b. Kerapatan Relatif (Kr) 100%

jenis

f. Dominansi Relatif (DR) 100%

jenis

h. Keanekaragaman (Diversity) indeks Shannon-Wienner (1949) dalam

Barbouret al. (1987) yaitu :

= -∑ ( )( )

Dengan Pi = ni/N Basal Area

memiliki banir/tunjang dengan ketinggian lebih dari 130 cm di atas pengukuran tanah, pengukuran dilakukan 20 cm di atas banir; (3) vegetasi yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm di atas permukaan tanah, maka pengukuran diameter dilakukan setinggi 130 cm (vegetasi dianggap satu), sedangkan apabila tinggi percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah, pengukuran dilakukan terhadap semua cabang (vegetasi dianggap sebanyak cabang); (4) apabila setengah atau lebih bagian tajuk masuk ke dalam plot, maka pengukuran dilakukan, namun apabila sebaliknya pengukuran tidak dilakukan; (5) khusus vegetasi sapihan dan semai tidak dilakukan pengukuran diameter, hanya dihitung jumlah individunya. Model pengukuran dbh disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Penentuan posisi pengukuran lingkar batang vegetasi mangrove setinggi dada (dbh) : a. Vegetasi tanpa percabangan dan tanpa akar tunjang atau banir b. Vegetasi dengan berbagai variasi percabangan dan akar tunjang atau banir

Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dengan rumus-rumus sebagai berikut:

b. Kerapatan Relatif (Kr) 100%

jenis

f. Dominansi Relatif (DR) 100%

jenis

h. Keanekaragaman (Diversity) indeks Shannon-Wienner (1949) dalam

Barbouret al. (1987) yaitu :

= -∑ ( )( )

Dengan Pi = ni/N Basal Area

memiliki banir/tunjang dengan ketinggian lebih dari 130 cm di atas pengukuran tanah, pengukuran dilakukan 20 cm di atas banir; (3) vegetasi yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm di atas permukaan tanah, maka pengukuran diameter dilakukan setinggi 130 cm (vegetasi dianggap satu), sedangkan apabila tinggi percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah, pengukuran dilakukan terhadap semua cabang (vegetasi dianggap sebanyak cabang); (4) apabila setengah atau lebih bagian tajuk masuk ke dalam plot, maka pengukuran dilakukan, namun apabila sebaliknya pengukuran tidak dilakukan; (5) khusus vegetasi sapihan dan semai tidak dilakukan pengukuran diameter, hanya dihitung jumlah individunya. Model pengukuran dbh disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Penentuan posisi pengukuran lingkar batang vegetasi mangrove setinggi dada (dbh) : a. Vegetasi tanpa percabangan dan tanpa akar tunjang atau banir b. Vegetasi dengan berbagai variasi percabangan dan akar tunjang atau banir

Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dengan rumus-rumus sebagai berikut:

b. Kerapatan Relatif (Kr) 100%

jenis

f. Dominansi Relatif (DR) 100%

jenis

h. Keanekaragaman (Diversity) indeks Shannon-Wienner (1949) dalam

Barbouret al. (1987) yaitu :

= -∑ ( )( )

(33)

Keterangan := keanekaragaman jenis

ni = jumlah individu suatu jenis N = jumlah total seluruh jenis.

Analisis Deforestasi dan Tingkat Degradasi Mangrove

Dalam penelitian ini digunakan data Landsat Thematic Mapper (TM) dan Landsat Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) dari beberapa tahun akuisisi. Citra satelit dipilih dengan mempertimbangkan tutupan awan yang paling sedikit dengan tujuan untuk memudahkan dalam proses analisis citra. Citra Landsat TM dan ETM+ diperoleh dari hasil unduhan pada United States Geological Survey

(USGS). Citra satelit landsat yang digunakan dalam penelitian ini ada dua citra pada dua tahun akuisisi yang berbeda, yaitu tahun 1996 dan 2014. Pemilihan data citra pada tahun tersebut didasarkan pada tujuan penelitian untuk membandingkan kondisi ekosistem mangrove pada awal penetapan Kabupaten Wakatobi sebagai taman nasional dan kondisi ekosistem mangrove pada masa kini.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu, (1) metode pengolahan citra, (2) metode survei lapang (ground check) di lapangan, dan (3) metode analisis data. Hasil klasifikasi citra pada pengolahan data digunakan untuk sebagai peta ground check di lapangan. Selanjutnya, data dari lapangan dan hasil pengolahan citra dianalisis untuk mendeteksi perubahan yang terjadi pada luas penutupan dan tingkat degradasi mangrove di lokasi penelitian. Klasifikasi penutup lahan dilakukan dengan klasifikasi multispektral. Metode klasifikasi yang digunakan yaitu kemiripan maksimum dengan input citra digital landsat terkoreksi dengan band multispektal (band 1,2,3,4,5 dan 7). Metode klasifikasi kemiripan maksimum merupakan metode supervised classification sehingga diperlukan training area dalam proses klasifikasi. Hasil analisis citra tahun 1996 dibandingkan dengan tahun 2014 untuk melihat deforestasi mangrove di Pulau Kaledupa. Untuk menentukan kerapatan tajuk mangrove dilakukan dengan analisis NDVI. Analisis NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) vegetasi mangrove dilakukan dengan memunculkan RGB (Red Green Blue) dengan band 3, band 4 dan band 5. Langkah ini bertujuan membedakan vegetasi mangrove dengan tumbuhan terestial yang lainnya. Kemudian dalam algoritm ditentukan indeks NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) (Hartoko dan Helmi 2008) dengan memasukkan (input) rumus matematis sebagai berikut:

NDVI = (untuk Landsat 5)

NDVI = (untuk Landsat 8)

Pengambilan data di lapangan meliputiground check, analisis vegetasi dan wawancara. Ground check dilakukan dengan mengambil titik koordinat pada 35 titik yang meliputi permukiman, ekosistem mangrove, perkebunan, lahan terbuka, hutan dan laut. Data titik koordinat dijadikan sebagai titik acuan dalam metode

(34)

Selanjutnya untuk menentukan tingkat degradasi mangrove, digunakan dua kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2005) dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 (2004) seperti yang ditampilkan pada Tabel 7, 8 dan 9.

Tabel 7 Sistem penilaian dengan bantuan teknologi GIS dan inderaja

No. Kriteria Bobot Skor Penilaian

1 Jenis penggunaan lahan (Jpl) 45 a. 3 : hutan (kawasan berhutan) b. 2 : tambak tumpangsari,

perkebunan

c. 1 : pemukiman, industri, tambak

non-tumpangsari, sawah, tanah kosong

2 Kerapatan tajuk (Kt) 35 a. 3 : kerapatan tajuk lebat (70 –

100%, atau 0.43≤NDVI≤ 1.00) b. 2 : kerapatan tajuk sedang (50–

69%, atau 0.33 20≤ ≤

0.42)

c. 1 : kerapatan tajuk jarang (<50%, atau -1.0 ≤ ≤

0.32) 3 Ketahanan tanah terhadap abrasi

(Kta)

20 a. 3 : jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung)

b. 2 : jenis tanah peka erosi (tekstur campuran)

c. 1 : jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir)

Berdasarkan tabel di atas, total nilai skoring (TNS1) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

TNS = (Jpl x 45) + (Kt x 35) + (Kta x 20)

Dari total nilai skoring (TNS), selanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai berikut:

(35)

Tabel 8 Sistem penilaian dengan cara teristris (survei lapangan)

No. Kriteria Bobot Skor penilaian

1 Tipe penutupan dan penggunaan lahan (Tppl)

30 a.5 : hutan mangrove murni b.4 : hutan mangrove bercampur

tegakan hutan lain

c.3 : hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpangsari, atau areal tambak tumpangsari murni

d.2 : hutan mangrove bercampur dengan penggunaan lahan non-vegetasi (pemukiman, tambak nontumpangsari,dsb)

e.1 : areal tidak bervegetasi 2 Jumlah Pohon/ha

Total nilai skoring (TNS) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(36)

Berdasarkan total nilai skoring (TNS) tersebut, tingkat kekritisan lahan mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

•Nilai 100–200 : rusak berat •Nilai 201–300 : rusak •Nilai > 300 : tidak rusak

Tabel 9 Kriteria baku kerusakan mangrove berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004

Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (pohon/ha)

Baik Sangat Padat ≥ 1

Sedang ≥ - < 75 ≥ 1 000 - < 1 500

Rusak Jarang < 50 < 1 000

- Penutupan: perbandingan antara luas area penutupan jenis I (Ci) dan luas total

area penutupan untuk seluruh jenis (ΣC) :

RCi= (Ci/ΣC) x 100

Ci=ΣBA/A

dimana, BA =πDBH2/4 (dalam cm2),π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBHadalah diameter batang pohon dari jenis I, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH/π (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.

- Kerapatan : perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Σn):

Rdi= (ni/Σn) x 100

Korelasi Morfometrik Kepiting dan Tingkat Kerusakan Mangrove

Data dikoleksi dari 9 nelayan penangkap kepiting. Penangkapan kepiting bakau menggunakan alat tangkap berupa perangkap (bubu) yang terbuat dari kerangka bambu. Bubu merupakan alat tangkap statis yang pengoperasiaanya diletakkan di semak dan lumpur pada area mangrove. Bubu yang digunakan diisi dengan ikan-ikan kecil ataupun udang sebagai umpan untuk menarik kepiting agar masuk ke dalam bubu. Kepiting yang tertangkap dalam satu bubu bisa lebih dari satu ekor. Penentuan kepiting yang diukur dilakukan secara acak terhadap seluruh hasil tangkapan. Jumlah kepiting yang diambil untuk diukur berjumlah 40 ekor kepiting dewasa. Pengambilan data morfometrik kepiting bakau dilakukan menggunakan meteran dan kalifer dengan mengukur bagian-bagian kepiting yaitu karapaks dan capit.

Faktor Penyebab dan Strategi Pengendalian Degradasi Mangrove

(37)

melalui reduksi data, penyajian data dan verifikasi data sebelum dideskripsikan (Sugiyono 2011).

Formulasi strategi merupakan langkah untuk menentukan alternatif strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa. Untuk mengetahui bagaimana upaya dan strategi dalarn pengelolaan hutan mangrove di Pulau Kaedupa dianalisis dengan pendekatan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats). Model-model analisis yang dipakai dalam mengolah data yang telah terkumpul adalah matriks IFAS dan matriks EFAS, sedangkan untuk menganalisis hasil pengolahan data tersebut digunakan model matriks SWOT (Rangkuti 1997).

Tabel 10 Matriks SWOT

IFAS EFAS

Strenghts(S) Weaknesses(W)

Opportunities(O) Strategy

S - O

Strategy

W–O

Threats(T) Strategy

S - T

Strategy

W–T Keterangan :

IFAS :Internal Strategic Factor Analysis

(38)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Deforestasi Hutan Mangrove di Pulau Kaledupa

Analisis deforestasi hutan mangrove di Pulau Kaledupa dilakukan pada dua tahun pengamatan, yaitu tahun 1996 dan 2014 dengan rentang waktu 18 tahun. Tujuannya adalah untuk melihat perubahan luasan ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa pada awal penetapan Kabupaten Wakatobi sebagai taman nasional yaitu pada tahun 1996 dan kondisi ekosistem mangrove pada masa kini. Data citra yang digunakan adalah Landsat 5 TM dan Landsat 8 ETM+. Untuk mengetahui perubahan luasan hutan mangrove di Pulau Kaledupa dari kedua tahun pengamatan, digunakan data luas hutan mangrove tahun 1996 sebagai nilai awal atau nilai dasar. Perubahan tutupan mangrove ini disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 6.

Tabel 11 Perubahan luasan tutupan mangrove (ha) di Pulau Kaledupa

Desa Luas 1996 Luas 2014 Perubahan Persentase Keterangan

Tanomeha 323.91 275.74 48.17 14.87 Berkurang

Balasuna 155.16 114.57 40.59 26.16 Berkurang

Lewuto 152.55 101.59 50.96 33.41 Berkurang

Horuo-Tampara 346.41 272.09 74.32 21.45 Berkurang

Total 978.03 763.99 214.04 21.89 Berkurang

(39)

Gambar 6 Perubahan tutupan dan sebaran mangrove di Pulau Kaledupa pada tahun 1996 dan 2014

Berdasarkan analisis citra dengan metodesupervised classification, terjadi perubahan luasan tutupan mangrove yang signifikan antara tahun 1996 dan 2014. Tabel 10 menunjukkan bahwa secara keseluruhan terjadi deforestasi mangrove pada selang waktu tahun 1996 sampai tahun 2014 di Pulau Kaledupa. Artinya sejak ditetapkan sebagai taman nasional, telah terjadi deforestasi sebesar 214.04 ha atau sebesar 21.89 % dari luas mangrove pada tahun 1996. Deforestasi Gambar 6 Perubahan tutupan dan sebaran mangrove di Pulau Kaledupa pada

tahun 1996 dan 2014

Berdasarkan analisis citra dengan metodesupervised classification, terjadi perubahan luasan tutupan mangrove yang signifikan antara tahun 1996 dan 2014. Tabel 10 menunjukkan bahwa secara keseluruhan terjadi deforestasi mangrove pada selang waktu tahun 1996 sampai tahun 2014 di Pulau Kaledupa. Artinya sejak ditetapkan sebagai taman nasional, telah terjadi deforestasi sebesar 214.04 ha atau sebesar 21.89 % dari luas mangrove pada tahun 1996. Deforestasi Gambar 6 Perubahan tutupan dan sebaran mangrove di Pulau Kaledupa pada

tahun 1996 dan 2014

(40)

mangrove terbesar terjadi di Desa Lewuto dengan persentase hilangnya tutupan mangrove sebesar 33.41 %, sedangkan deforestasi mangrove dengan luasan terkecil adalah di Desa Tanomeha dengan persentase luas hutan mangrove yang hilang adalah 14.87 %. Deforestasi di Pulau Kaledupa masih lebih rendah jika dibandingkan dengan yang terjadi di tempat lain. Hidayah & Wiyanto (2013) melaporkan bahwa hutan mangrove di Kabupaten Sidoarjo mengalami pengurangan luas total dari 1 236.42 ha pda tahun 2002 menjadi 1 203.35 ha pada tahun 2010.

Fenomena tersebut juga mengindikasikan belum ada dampak yang positif dari penetapan nasional terhadap kelestarian ekosistem mangrove. Barulah pada tahun 2013 pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi mulai mengimplementasikan peraturan secara tegas kepada warga yang kedapatan melakukan eksploitasi mangrove melalui Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi No. 31 Tahun 2013 tentang PPLH Kabupaten Wakatobi. Bahkan ada beberapa warga yang sempat ditahan akibat melakukan pelanggaran.

Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa

Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang telah dilaksanakan akan berpengaruh cukup besar terhadap perubahan tatanan lingkungan berupa menurunnya kualitas lingkungan, degradasi lingkungan/kerusakan lingkungan serta berkurangnya sumber daya alam maupun perubahan tata guna lahan (Sukojo & Susilowati 2003). Sedangkan menurut (Luqmanet al. 2013), fungsi lingkungan pantai di beberapa daerah telah menurun atau rusak di mana banyaknya kepentingan yang menyebabkan kawasan mangrove mengalami perlakuan yang melebihi kemampuan untuk mengadakan permudaan, pengalihan penggunaan lahan dari tanah timbul menjadi pemukiman. Selain itu, kurang adanya usaha yang signifikan dalam melakukan rehabilitasi mangrove yang telah mengalami kerusakan.

Untuk menentukan tingkat degradasi mangrove di Pulau Kaledupa, maka digunakan dua kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2005), yaitu (1) dengan bantuan teknologi GIS dan inderaja (2) cara teristris (survei lapangan).

Tingkat Degradasi Ekosistem Mangrove dengan SIG

Penentuan tingkat kerusakan mangrove dengan metode SIG menggunakan tiga parameter, yaitu jenis penggunaan lahan (Jpl), kerapatan tajuk (Kt) dan ketahanan tanah terhadap abrasi (Kta). Hasil analisis tingkat degradasi ekosistem mangrove dengan metode SIG ditampilkan pada Gambar 7.

(41)

Tabel 12 Rincian luas mangrove yang rusak di Pulau Kaledupa

Tahun Desa

Luas Mangrove per Kategori (Ha)

Persentase Mangrove Rusak

(%)

Rusak Tidak Rusak

1996

Tanomeha 27.73 296.18 8.56

Balasuna 2.43 152.73 1.57

Lewuto 2.6 149.95 1.71

Horuo-Tampara 6.36 340.05 1.83

Total 39.12 938.91 4.00

2014

Tanomeha 31.31 244.43 11.36

Balasuna 2.42 112.15 2.11

Lewuto 2.91 98.68 2.86

Horuo-Tampara 4.69 267.4 1.73

Total 41.33 722.66 5.41

Sumber: Hasil analisis 2015

(42)
(43)

Tingkat Degradasi Ekosistem Mangrove dengan Metode Teristris

Penilaian tingkat degradasi eksosistem mangrove secara teristris (survei lapangan) di Pulau Kaledupa diklasifikasikan berdasarkan 5 parameter, yaitu tipe penutupan dan penggunaan lahan (Tppl), jumlah pohon/ha (N), permudaan/ha (Np), lebar jalur hijau mangrove (L), dan tingkat abrasi (A). Secara rinci, hasil skoring dengan metode teristris disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Skor tingkat degradasi mangrove berdasarkan metode teristris

Desa Tppl N Np L A Total Klasifikasi

Tanomeha 60 25 20 75 50 230 Rusak

Balasuna 90 25 20 75 50 260 Rusak

Lewuto 120 25 20 75 50 290 Rusak

Horuo-Tampara 60 25 20 75 50 230 Rusak

Sumber: Hasil analisis 2015

Tipe penutupan dan penggunaan lahan pada empat titik pengamatan bervariasi, mulai dari hutan mangrove bercampur dengan tegakan lain sampai yang bercampur dengan permukiman. Jumlah pohon dan permudaan per hektar diberi skor 1 karena jumlahnya < 1 000 pohon/ha, < 2 000 semai/ha dan < 1 000 pancang/ha. Untuk lebar jalur hijau mangrove diberi skor 5 karena lebar jalur hijau di empat titik pengamatan adalah > 100 % 130 x PPS. Untuk laju abrasi masih berada di kisaran 0 – 1 m/tahun menurut informan yang diwawancarai. Ekosistem mangrove di empat titik pengamatan berada pada kondisi yang rusak.

Tabel 14 Skor tingkat degradasi mangrove berdasarkan kriteria Kepmen LH No. 201 tahun 2004

Desa

Penutupan (%)

Kerapatan

(Pohon/ha) Kategori

Tanomeha 5.13 492.50 Rusak (Jarang)

Balasuna 11.16 173.33 Rusak (Jarang)

Lewuto 3.48 65.00 Rusak (Jarang)

Horuo - Tampara 5.72 190.00 Rusak (Jarang)

Sumber: Hasil analisis 2015

Sama dengan metode teristris berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tahun 2005, tingkat degradasi mangrove berdasarkan kriteria Kepmen LH No. 201 tahun 2004 pada empat desa pengamatan di Pulau Kaledupa berada pada kondisi yang rusak. Jika kondisi ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa akan hilang pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu perhatian yang lebih dari masyarakat setempat serta pemerintah daerah untuk merehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa secara intensif.

(44)

lapang) menunjukkan bahwa desa yang termasuk dalam kategori rusak yaitu: Desa Karang Anyar, Suwaan, Langpanggang dan Desa Pangpajung. Untuk kategori rusak berat terdapat di Desa Modung, serta yang termasuk kategori tidak rusak yaitu Desa Patengteng.

Secara umum ada dua faktor penyebab meningkatnya tingkat degradasi di ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa, yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alam yang paling berperan dalam degradasi mangrove di Pulau Kaledupa adalah kondisi substrat campuran yang peka erosi sehingga menyulitkan tumbuhan mangrove untuk berkembang dengan baik. Menurut Pradana et al.

(2013), pemangsaan oleh gastropoda dan krustasea pada propagul baik yang baru jatuh maupun yang sudah dibibitkan menjadi penghambat dalam proses regenerasi tumbuhan mangrove itu sendiri. Sedangkan faktor manusia adalah banyaknya kegiatan-kegiatan manusia yang mengeksploitasi mangrove untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memperhatikan kelestarian dari mangrove tersebut.

Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Mangrove

Ekosistem Mangrove Desa Tanomeha

Hasil pengamatan terhadap komposisi jenis mangrove di Desa Tanomeha disajikan pada Tabel 15. Jumlah jenis mangrove yang ditemukan di Desa Tanomeha sebanyak enam jenis yang termasuk ke dalam empat familia. Vegetasi mangrove di Desa Tanomeha didominasi oleh familia Rhizophoraceae yang terdiri atas Bruguiera gymnorrhiza L., Rhizophora apiculata Bl. dan Rhizophora mucronataL. (Tabel 15).

Tabel 15 Komposisi jenis mangrove di Desa Tanomeha

Familia Jenis

Avicenniaceae

Meliaceae

Rhizoporaceae*

Sonneratiaceae

Avicennia marinaF.

Xylocarpus granatumK.

Bruguiera gymnorrhizaL.

Rhizophora apiculataBl.

Rhizophora mucronataL.

Sonneratia albaS.

Keterangan: *Familia yang mendominasi

Melalui Tabel 16 ditunjukkan bahwa pada strata pohon, jenis B. gymnorrhiza memiliki dominansi relatif dan nilai penting yang paling tinggi, dibandingkan dengan jenis lainnya. Pada strata tihang, sapihan dan semai, jenisR. apiculata mendominasi daripada jenis-jenis yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pada strata tihang, sapihan dan semai, jenis R. apiculata memegang peranan penting untuk menjaga stabilitas komunitas mangrove di Desa Tanomeha.

(45)

Tabel 16 Kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting vegetasi mangrove di Desa Tanomeha

Strata Pertumbuhan Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

Pohon B. gymnorrhiza 16.67 17.65 32.34 66.66

S. alba 25 17.65 23.89 66.53

R. apiculata 20.83 23.53 16.25 60.62

R. mucronata 12.5 17.65 10.16 40.31

A. marina 16.67 11.76 11.57 40

X. granatum 8.33 11.76 5.78 25.88

Tihang R. apiculata 32.35 33.33 19.64 85.32

B. gymnorrhiza 23.53 19.05 30.23 72.81

R. mucronata 20.59 23.81 25.6 69.99

S. alba 8.82 9.52 14.44 32.79

A. marina 11.76 9.52 8.74 30.03

X. granatum 2.94 4.76 1.35 9.06

Sapihan R. apiculata 95.11 79.07 - 174.18

R. mucronata 3.76 16.28 - 20.04

B. gymnorrhiza 1.13 4.65 - 5.78

Semai R. apiculata 67.92 60 - 127.92

R. mucronata 22.64 26.67 - 49.31

B. gymnorrhiza 9.43 13.33 - 22.77

S. alba 9.43 13.33 - 22.77

Ekosistem Mangrove Desa Balasuna

Hasil pengamatan terhadap komposisi jenis mangrove di Desa Balasuna disajikan pada Tabel 17. Jumlah jenis mangrove yang ditemukan di Desa Balasuna sebanyak tujuh jenis yang termasuk ke dalam tiga familia. Vegetasi mangrove di Desa Balasuna didominasi oleh familia Rhizophoraceae yang terdiri atasB. gymnorrhiza,Ceriops decandra G.,Ceriops tagalP., R. apiculatadanR. mucronata.

Tabel 17 Komposisi jenis mangrove di Desa Balasuna

Familia Jenis

Avicenniaceae

Rhizoporaceae*

Sonneratiaceae

A. marina

B. gymnorrhiza C. decandra C. tagal R. apiculata R. mucronataL

S. alba Keterangan: *Familia yang mendominasi

Referensi

Dokumen terkait

Internship ialah peringkat transisi profesional yang bertujuan untuk mengaitkan pengalaman amalan profesional pelajar dengan tugas guru permulaan. Pelajar dikehendaki

Sebagai salah satu objek penciptaan dalam film fiksi “Toilet” ini, mahasiswa merupakan tokoh utama dalam cerita, di mana pengembangan cerita dan konflik yang

Untuk mengatasi permasalahan pada koperasi KPDK 12 Juli maka solusi yang diusulkan pada proyek akhir yaitu menyediakan aplikasi penjualan online produk koperasi KPDK 12

Survei awal penelitian menunjukkan bahwa para guru memiliki indikasi tingkat keterikatan kerja (lack of work engagement) yang rendah , kurang pemaknaan kerja sebagai

Permasalahan dalam penelitian ini adalah, apakah kemampuan membaca dan menulis permulaan di kelas I SDN 2 Wombo dapat ditingkatkan dengan menggunakan kartu huruf siswa

Meskipun pembelajaran REACT memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa, namun masih ada siswa yang merasa kurang memahami materi kelarutan dan hasil kali

kebersihan, dan kualitas hasil kerja mereka dalam bertugas, menunjukkan hasil yang positif, sehingga sekolah maupun pihak CV Bintang Karya Putera merasa nyaman

Judul : PENGARUH KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KEBIJAKAN HUTANG, DAN INVESTMENT OPPORTUNITY SET TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR