• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejahatan Pelanggaran Perikanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kejahatan Pelanggaran Perikanan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1. Klasifikasi Kejahatan dan Pelanggaran di Sektor Kelautan dan Perikanan Berdasarkan Pasal 103 UU Perikanan membagi 2 (dua) kategori tindak pidana di bidang perikanan, yakni: kejahatan dan pelanggaran. Adapun yang termasuk dalam kategori kejahatan adalah tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94. Sedangkan kategori pelanggaran terdapat dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100. Penulis akan memaparkan Pasal-Pasal tersebut:

a) Kejahatan

i. Pasal 84 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

Pasal 84 ayat (2): Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

Pasal 84 ayat (3): Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2)

pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

ii. Pasal 85: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

iii. Pasal 86 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 86 ayat (2): Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 86 ayat (3): Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 86 ayat (4): Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaanperikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatanmanusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4),dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dandenda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratusjuta rupiah).

(3)

masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

v. Pasal 91: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

vi. Pasal 92: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). vii. Pasal 93 ayat (1): Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan

kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 93 ayat (2): Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

viii. Pasal 94: Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

b) Pelanggaran

(4)

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 87 ayat (2): Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ii. Pasal 89: Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang

tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

iii. Pasal 90: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayahRepublik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda palingbanyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

iv. Pasal 95: Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulusebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana denganpidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

v. Pasal 96: Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

vi. Pasal 97 ayat (1): Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(5)

Pasal 97 ayat (3): Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). vii. Pasal 98: Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

viii. Pasal 99: Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

ix. Pasal 100: Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

(6)

2. Pencemaran Laut

Laut adalah fenomena alam yang tersusun dalam suatu sistem yang kompleks, terdiri atas komponen-komponen sumber daya alam hayati dan non hayati dengan keragaman dan memiliki nilai ekonomi. Setiap sumber daya laut tersusun sebagai suatu ekosistem dengan karakteristik tertentu. Interaksi antar ekosistem membentuk suatu keseimbangan laut seperti kehidupan biota laut tergantung dari keselamatan tempat berkembangnya biota tersebut. Perusakan karang laut oleh kegiatan siesmic

untuk tujuan pencarian sumber-sumber minyak dan gas bumi di dasar laut akan berpengaruh terhadap ekosistem karang, dan menganggu ekosistem mangrove jika terjadi pencemaran minyak yang akan sulit dibersihkan.1

a. Definisi Pencemaran

Otto Soemarwoto sebagimana dikutip oleh Siahaan2 merumuskan penyebab terjadinya pencemaran, yakni:

1. Karena lebih besarnya kecepatan produksi suatu zat dari pada kecepatan penggunannya atau degradasinya secara kimia fisik. Bahan sintetis misalnya yang dalam proses degradasi pada lingkungan hidup sering berjalan sangat lamban, oleh karena bahan itu merupakan bahan asing dan baru dimana belum ada organisme dapat menggunakannya dalam metabolisme;

1 Muhammad Muhdar, Disertasi, 2010, Pengaturan Polluter Pays Principle dalam Penyelesaian Pencemaran Laut yang Bersumber dari Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm.53

(7)

2. Proses biologi yang membentuk atau mengkonsentrasikan zat pencemar tertentu. Jenis mikroba misalnya dapat membentuk racun asam bonkrek pada tahun bongkrek dalam beberapa bahan makanan manusia ataupun ternak.

3. Berdasarkan proses fisika kimia non biologi. Proses ini dapat terjadi tanpa pengaruh langsung oleh manusia seperti pencemaran yang berasal dari gunung berapi, kebisingan pabrik atau kendaraan;

4. Terjadinya kecelakaan yang dapat melepaskan zat-zat tertentu kedalam lingkungan. Hal ini dapat terjadi secara perlahn. Misalnya kecelakaan atau kebocoran tanker di lepas pantai yang melepaskan minyak ke perairan sekitar. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), pengertian pencemaran lingkungan hidup diartikan sebagai “masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”

(8)

oksigen terlarut, karbondioksida bebas, warna dan kekeruhan, jumlah padatan, nitrat, amoniak, fosfat, daya hantar listrik, dan klorida3.

Menurut Komar Kantaatmadja4, “pencemaran laut dimaksudkan sebagai terjadinya perubahan pada lingkungan laut yang terjadi sebagai akibat dimasukannya oleh manusia secara langsung ataupun tidak langsung bahan-bahan atau energi kedalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat yang demikian buruknya sehingga merupakan kerugian bagi kekayaan hayati, bahan terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut yang wajar, pemburukan daripada kualitas laut yang menurunkan kualitas tempat pemukiman dan rekreasi.”

Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UNCLOS, definsi pencemaran yakni “ pollution of the marine environement means the introduction by man, directly or indirectly, of

substances or energy into the marine environment (including estuaries) which results

in or is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and

marine life, hazard to human health, hidrance to marine activites, including fishing

and other legitimate use of the sea, impairmnet of quality for use of sea water and

reduction of amenities”.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Definisi pencemaran laut yakni: “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak berfungsi lagi dengan baku mutu lain dan/atau fungsinya.”

3 Philip Kristanto, 2004, Ekologi Industri, LPPM Universitas Kristen Petra, Surabaya, hlm.73.

(9)

b. Sumber Pencemaran Laut

Timagenis mengelompokan 5 (lima) sumber pencemaran laut yang terdiri atas:

land-based pollution, ship generated pollution, dumping at sea, pollution from the

exploration and explotation of the sea bed and pollution from the air5. Jika dilihat dari

penyebabnya dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yakni berasal dari kegiatan (operatonal pollution), pencemaran yang disebabkan karena kecelakaan (accidental pollution), pencemaran yang disebabkan pembuangan limbah (pollution from waste disposal). Meskipun demikian, sumber pencemaran di laut bukan satu-satunya berasal dari minyak karena masih ada sumber lain seperti pembuangan aspal dan tar, bahkan dari organic tissue dapat mermproduksi hydrocarbons6. Lebih lanjut Davis

menguraikan bahwa “....the vast majority of hydrocarbons in costal marine environments is, however, the result of pollution from offshore drilling, faulty

pipelines, and ship accidents.”7

Sumber pencemaran dari kegiatan eksploitasi MIGAS yang telah memasuki fase keekonomian adalah kegiatan eksploitasi, kegiatan untuk menghasilkan MIGAS dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya8.

5 GR. J. Timagenis, 1980, International Control of Marine Pollution, New York: Oceana Publications, p.16.

6 Richard A.Davis, 1996, Oceanography, An Introduction to the Marine Environment, Brown Publishers, Iowa, p.406.

7 Ibid.

(10)

1. Pengelolaan dan Prinsip Sumberdaya Perairan Laut

Berdasarkan Pasal 1 angka (7), definisi pengelolaan perikanan adalah “semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.”

Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal berkelanjutan, dan terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, serta harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal ditambah peran serta masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya perairan laut yang baik dan tepat guna dapat mendatangkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Pengelolaan sumberdaya laut dapat membantu penghasilan/ekonomi masyarakat setempat karena akan adanya lapangan pekerjaan baru dari pengelolaan yang baik tersebut. Menurut Rahardjo Adisasmita9 diperlukannya pendekatan yang serasi yang berorientasi kepada:

a. Pemanfaatan sumberdaya perairan laut berdasarkan mekanisme pasar (demand and market driven) sehingga tidak terjadi perusakan;

b. Menerapkan prinsip 3E (ekonomis, efisien, dan efektif) agar pemanfaatan sumberdaya perairan laut dilakukan secara optimal;

(11)

c. Pemanfaatan sumberdaya perairan laut berorientasi kepada masa depan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang;

d. Perencanaan dan pembangunan sumberdaya perairan laut dilakukan dari bawah (bottom-up planning and development) agar sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat;

e. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya perairan laut dilakukan secara terpadu, komperehensif, multi sektoral, spasial, partisipatif, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan

Pengelolaan sumberdaya laut harus didasarkan dengan prinsip-prinsip yakni10: a. Pengelolaan sumberdaya perairan laut secara optimal dan berkelanjutan.

Pengelolaan ini dilakukan sebaik mungkin sehingga tidak melampaui daya dukung wilayah, tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, dan pemanfaatanya dapat diselenggarakan dalam jangka panjang;

b. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Pengelolaan sumberdaya perairan laut ditujukan untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat demi terselenggaranya pembangunan untuk seluruh golongan masyarakat, jadi tidak boleh terkosentrasi pada beberapa kelompok tertentu saja.

c. Didasari oleh prinsip ekonomi, efisien, dan efektif. Ekonomis berarti bahwa semua masukan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan harus dilaksanakan dengan biaya serendah mungkin. Efisien berarti bahwa semua

input/masukan dialokasikan sedemikian rupa hingga menghasilkan output dengan biaya terendah (leastcost combination), dan efektif berarti bahwa output yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan (desired outcomes).

(12)

2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Terkait Konservasi dan Perlindungan Lingkungan Hidup

Berdasarkan Pasal 1 angka (8) UU Perikanan definisi konservasi sumber daya ikan adalah “upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.”

Berdasarkan Pasal 7 UU Perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki wewenang memberikan penetapan untuk mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan seperti: jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan RI; jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan, persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan11.

Penulis paparkan beberapa Peraturan Menteri KKP yang berhubungan dengan pelestarian, pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di sektor kelautan dan perikanan:

a. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia 714

Berdasarkan Pasal 3 Permen 4/2015 mengatur bahwa “setiap orang baik perorangan atau korporasi dilarang menangkap ikan di WPP 714, namun bagi yang sudah memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) sebelum peraturan ini terbit, masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya. wilayah WPP 714 meliputi Laut Banda dan Teluk Tolo merupakan daerah pemijahan (breeding

(13)

ground), dan daerah bertelur (spawning ground) sehingga perlu dilakukan larangan penangkapan ikan.

b. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Cantrang

Peraturan Menteri tersebut diatur bahwa setiap orang dilarang menggunakan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls), dan alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) di seluruh wilayah NKRI.

c. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 54 Tahun 2014 tentang Pelarangan Bongkar Alih Muatan di Tengah Laut (Transhipment)

Berdasarkan Pasal 41 ayat (4) UU Perikanan diatur bahwa “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal penangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin.”

(14)

tangkapan yang ditanda tangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan12.

Pelaksanaan transhipment wajib dilakukan dengan mendaratkan ikan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal.13 Jika terdapat kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melanggar ketentuan, maka akan dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIPI dan SIKPI.

Menteri KKP mengeluarkan Permen KKP 54/2014 untuk menindaklanjuti dan melaksanakan ketentuan Pasal di UU Perikanan yang mengatur tentang

transhipment. Permen KKP 54/2014 memberikan kelonggaran salah satunya adalah kapal-kapal pengangkut ikan harus memiliki awak pemantau/observer

dalam setiap kali beroperasi;

d. Peraturan Menteri Nomor 56/Permen-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Peraturan tersebut mengatur bahwa moratorium berlaku untuk kapal yang pembangunannya dilakukan di luar negeri dengan kapasitas diatas 30 Gross Ton (GT). Selama moratorium diberlakukan, Pemerintah tidak akan menerbitkan izin kapal baru berupa Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP), serta menangguhkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan

(15)

(SIKPI) kepada 1132 kapal buatan luar negeri dengan kapasitas diatas 30 gross ton (GT).

Menteri KKP mengeluarkan peraturan bahwa kapal asing tidak lagi boleh menangkap ikan di perairan Indonesia. Menteri KKP menyatakan bahwa sudah cukup dulu saat Pemerintah memberikan izin kapal asing namun dengan kompensasi yang murah. Pemilik kapal asing ada yang memanipulasi ukuran kapal dan memalsukan perizinan. Misalnya, hanya satu kapal yang diizinkan namun yang masuk sepuluh kapal14.

e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/PERMEN-KP/2015 tentang Rencana Strategis Kementrian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019

Bentuk tindak lanjut dan pelaksanaan Rencana Strategis Kementrian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019 , maka KKP mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25/PERMEN-KP/2015 tentang Rencana Strategis Kementrian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019, yang selanjutnya disebut Renstra KKP.

Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa laut adalah masa depan pradaban bangsa. Hal tersebut menunjukan bahwa laut tdak boleh dipunggungi, sudah saatnya bangsa Indonesia melihat laut sebagai sumber kehidupan manusia. Oleh sebab itu, pembangunan kelautan dan perikanan harus dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mengubah suatu keadaan menjadi keadaan yang lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan secara

14 Odelia Sinaga dalam artikel tanggal 11 Oktober 2016 berjudul “Menteri Susi: Tak Ada Lagi Izin untuk Kapal Asing”, diakses dari

(16)

optimal, efisien, efektif, dan akuntabel, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

3. Manajemen Sumberdaya Perairan Laut yang Komprehensif

Manajemen komprehensif adalah memilih alternatif langkah pembinaan dan pengembangan yang terbaik bagi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan laut dalam segala aspek dan tujuan pengelolaan untuk mendukung pembangunan sumberdaya kelautan secara optimal dan berkelanjutan.

Manajemen komprehensif sangat diperlukan oleh karena beberapa faktor seperti dibawah ini15:

a. Memberikan arah pencapaian sasaran dan tujuan pengelolaan sumberdaya perairan laut yang optimal dan berkelanjutan;

b. Membantu memikirkan kepentingan berbagai pihak sehingga dapat memberikan manfaat serentak dan serempak kepada seluruh kelompok atau unsur pembangunan masyarakat;

c. Pencegahan dan antisipasi terjadinya setiap perubahan internal dan kecendrungan eksternal baik secara global/nasional;

d. Berhubungan dengan efisiensi dan efektivitas secara perspektif adalah bagaimana mendorong keseimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perairan laut secara efektif dan efisien.

Sistem manajemen komprehensif meliputi multi sektor, multi bidang, dan multi aspek harus dilakukan dengan identifikasi berbagai komponen sehingga

(17)

membentuk suatu sistem yang rasional, capable and implementable16. Manajemen

pengelolaan sumberdaya perairan laut harus terus memperhatikan analisis lingkungan, baik internal berupa kekuatan dan kelemahan, maupun eksternal berupa peluang dan ancaman supaya dapat memilih strategi kebijakan dan langkah pembinaan dan pengembangan yang tepat dan serasi.

Sistem manajamen komprehensif juga harus memperhatikan pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya perairan laut, meliputi fungsi dari instansi yang menangani masalah pemanfaatan pengelolaan sumberdaya perairan laut, dan harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perairan laut.17

a. Perizinan SIUP

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 UU Perikanan, definisi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) adalah “izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.”

Setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap. Izin usaha perikanan tangkap meliputi: (a). surat izin perikanan yang diterbitkan dalam bentuk SIUP; (b). izin penangkapan ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIPI; (c). izin kapal pengangkut ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIKPI18. SIUP tersebut terdiri dari: (a). SIUP perorangan; (b). SIUP Perusahaan; (c). SIUP Penanaman Modal.

b. Perizinan SIPI

16 Ibid, hlm.92. 17 Ibidi, hlm.93.

(18)

Berdasarkan Pasal 1 angka 17, definsi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. Namun berdasarkan Pasal 27 ayat (5) kewajiban memilki SIPI tidak berkau bagi nelayan kecil.

Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) diatur bahwa “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI.

Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) diatur bahwa “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI.”

Berdasarkan Pasal 27 ayat (3) diatur bahwa “setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli.

SIPI terdiri dari: (a). SIPI untuk kapal penangkap ikan yang dioperasikan secara tunggal; (b). SIPI untuk kapal penangkap ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan; (c). SIPI untuk kapal pendukung operasi penangkapan ikan; (d). SIPI untuk kapal latih atau penelitian/eksplorasi perikanan19.

c. Perizinan SIKPI

Berdasarkan Pasal 1 angka 18 UU Perikanan, definisi Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) adalah “izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkutan ikan.” Namun berdasarkan Pasal 28 ayat (4)

(19)

kewajiban memiliki SIKPI tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.”

Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU Perikanan diatur bahwa “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI;

Berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU Perikanan diatur bahwa “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendara asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI.”

Berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UU Perikanan diatur bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib membawa SIKPI asli.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU Perikanan, setiap orang/korporasi melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Menteri KKP, beberapa diantaranya seperti: (a). jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; (b). persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; (c). sistem pemantauan kapal perikanan; (d). jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia20.

SIKPI terdiri dari: (a). SIKPI untuk kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan muat; (b). SIKPI untuk kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan muat; (c). SIKPI untuk kapal pengangkut ikan dengan pola kemitraan; (d). SIKPI untuk kapal pengangkut ikan tujuan eskpor; (e). SIKPI untuk

(20)

kapal pengangkut ikan berbendera asing yang diageni oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan; (f). SIKPI untuk kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang diageni oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan21.

d. Kewajiban Pendaftaran Kapal

Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU Perikanan diatur bahwa “kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Repulik Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.” Berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Pendaftaran dilengkapi dengan dokumen yang berupa: (a). bukti kepemilikan; (b). identitas pemilik; (c). surat ukur. Jika kapal perikanan tersebut telah terdaftar maka berdasarkan Pasal 36 ayat (4) akan diberikan surat tanda kebangsaan.

Sedangkan kapal perikanan yag dibeli atau diperoleh dari luar negeri berlaku ketentuan Pasal 36 ayat (3) bahwa “pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen sebagaimana ayat (2) harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal.

Pemerintah Indonesia mengatur tentang perlindungan lingkungan hidup didominasi oleh peraturan yang bersifat command and control. Hal tersebut ditandai dengan adanya persyaratan standar tertentu, pemberian izin, dan sanksi bagi yang melanggar. Salah satu peraturan perundang-undangan yang merealisasikan command and control adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Laut. PP Pengendalian PKLT tidak mengatur secara spesifik tentang sanksi administrasi, namun merumuskan upaya perlindungan laut

(21)

seperti penentuan baku mutu laut, pengawasan, dan kebijakan pelaporan bagi pelaksana kegiatan yang memanfaatkan wilayah laut kepada instansi yang berwenang.

Berdasarkan Pasal 43 diatur bahwa “setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya.”

1. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup di Sektor Kelautan dan Perikanan Pengaturan instrumen ekonomi dalam UUPPLH 2009 dapat dilihat sebagai wujud pembangunan berkelanjutan yakni memberikan perlindungan pada lingkungan hidup melalui pendekatan yang sejalan dengan kadiah pasar ekonomi, sehingga upaya pengelolaan lingkungan hidup tidak mengganggu pertumbuhan sektor ekonomi makro, dan usaha.

Pencemaran lingkungan, eksploitasi yang tidak ramah lingkungan, membahayakan biota laut tergolong dalam ‘perhitungan biaya sosial’. Jika Pemerintah ingin menegakkan pembangunan dengan ciri solidaritas antargenerasi, maka sudah sewajar, dan sepantasnya jika biaya pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh generasi masa kini, pelaku usaha saat ini, dibayar pula oleh penyebab pencemaran masa kini.22

Struktur biaya produksi tidak hanya memuat pengeluaran yang perlu untuk keperluan perusahaan secara mikro, namun juga harus mempertimbangkan biaya yang diderita masyarakat akibat perbuatan perusahaan itu. Besarnya biaya eksternal bagi perusahaan perlu diketahui, untuk ditetapkan kemudian siapa pemikul biaya ini, apakah perusahaan, masyarkat, ataupun Pemerintah? Apakah biaya tersebut dibayar masing-masing, ataupun bersama-sama secara gotong royong? Hal tersebut sangat

(22)

penting diketahui bahwa setiap perubahan lingkungan perlu biaya oleh karena itu perlu ditetapkan kemudian cara pemikulan dan tanggung jawab biayanya.23

(1) Peraturan Gubernur Aceh Nomor 23 Tahun 2016 tentang Kriteria dan Tata Cara Pemberian Insentif Pengelelolaan Lingkungan Hidup di Aceh

a. Penerima Insentif

Pemerintah Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 23 Tahun 2016 tentang Kriteria dan Tata Cara Pemberian Insentif Pengelolaan Lingkungan Hidup di Aceh, selanjutnya disebut Pergub Aceh 23/2016 sebagai acuan pemberian insentif sebagai penghargaan bagi setiap orang yang telah berhasil melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup di Aceh.

Adapun definisi insentif pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 1 angka (12) Pergub Aceh 23/2016 adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan yang diberikan kepada setiap orang yang telah berhasil melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dengan baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 10 Pergub Aceh 23/2016 Pendanaan untuk realisasi Pergub Aceh ini bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA), dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Pergub Aceh 23/2016 diatur bahwa Pemberi insentif pengelolaan lingkungan hidup adalah Pemerintah Aceh. Ayat (2) mengatur bahwa yang dapat menerima insentif tersebut adalah

(1) Kabupaten/kota;

Pengertian kabupaten/kota berdasarkan Pasal 1 angka (5) Pergub Aceh 23/2016 adalah Bagian dari provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi

(23)

kewenangan khususu untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.

(2) Instansi pemerintahan; (3) Mukim;

Pengertian mukim berdasarkan Pasal 1 angka (6) Pergub Aceh 23/2016 adalah kesaturan masyarakat hukum dibawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imeuim mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung dibawah camat.

(4) Gampong;

Pengertian gampong berdasarkan Pasal 1 angka (7) Pergub Aceh 23/2016 adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada dibawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

(5) Perseorangan;

(6) Kelompok masyarakat;

(7) Lembaga swadaya masyarakat; (8) Fasilias pendidikan sekolah; (9) Fasilitas pelayanan kesehatan; (10) Dunia usaha.

Bentuk pemberian insentif yang diberikan oleh Pemerintah Aceh berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Pergub Aceh 23/2016 ialah (1). Dana pembinaaan; (2). Dana stimulus; (3). Imbal jasa lingkungan; (4). Pengurangan/keringanan/pembebasan biaya retribusi; (5). Barang; (6). Insentif lainnya. Pasal 5 ayat (2) mengatur bahwa bentuk insentif lainnya adalah (1). Penghargaan dalam bentuk sertifikat/piagam/piala/publikasi; (2). Kemudahan perizinan; dan/atau (3). Peningkatan kapasitas dalam bentuk studi banding/magang/pelatihan.

(24)

Berdasarkan Pasal 7 Pergub Aceh 23/2016 Kriteria calon penerima insentif pengelolaan lingkungan hidup di Aceh ialah sebagai berikut :

(1) berkedudukan dan/atau berkegiatan di Aceh;

(2) memiliki program kegiatan di bidang lingkungan hidup dan mendapat persetujuan/rekomendasi dari pejabat yang berwenang di Aceh;

(3) program yang dilaksanakan bermanfaat dan berdampak positif bagi masyarakat; (4) program yang dilaksanakan sesuai dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup; (5) berwawasan lingkungan dan berkesinambungan; dan

(6) upaya pengelolaan lingkungan hidup telah dilakukan paling kurang 1 (satu) tahun.

c. Tata Cara Pemberian Insentif

Pemberian insentif pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan tata cara sebagai berikut :

(1) Calon penerima insentif dapat mengajukan usulan atau diusulkan kepada Pemerintah Aceh.

(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada angka 1, memuat : a) profil calon penerima insentif;

b) lingkup kegiatan; dan

c) perkembangan kegiatan dalam bentuk laporan.

(3) Dalam proses pemberian insentif Pemerintah Aceh menetapkan Tim Verifikasi dan Penilaian Kegiatan Pemberian Insentif dengan Keputusan Gubernur berdasarkan usulan Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.

(4) Tim Verifikasi dan Penilaian Kegiatan Pemberian Insentif terdiri dari :

a) SKPA yang melaksanakan urusan pemerintahan dibidang lingkungan hidup; b) SKPA atau unit kerja teknis terkait;

c) Perguruan Tinggi;

d) Lembaga Swadaya Masyarakat bidang lingkungan; e) Media Masa; dan

(25)

(5) Tim Verifikasi dan Penilaian Kegiatan Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada angka (4) bertugas :

a) menyusun acuan teknis penilaian dan verifikasi pemberian insentif;

b) melakukan verifikasi usulan dan pengecekan kelengkapan persyaratan yang harus dipenuhi; c. melakukan penilaian terhadap masing-masing kriteria secara terukur; c) menggunakan matrik penilaian untuk menentukan bentuk dan besaran pemberian

insentif;

d) menetapkan urutan penerima insentif;

e) menetapkan bentuk dan besaran insentif yang akan diberikan;

f) menyampaikan rekomendasi kepada Kepala SKPA yang melaksanakan urusan pemerintahan dibidang lingkungan hidup untuk ditetapkan menjadi penerima insentif, termasuk bentuk dan besaran insentif yang a

g) kan diterima;

h) mengumumkan penerima insentif ke media massa, dan

Referensi

Dokumen terkait

Compared to the genre of modern Arab historiography discussed earlier, it appears that the Tārīkh al-Tashrī‘ genre in the early colonial period also carried out the same

Isi buku siswa terdiri dari: tujuan pembelajaran, pengetahuan dasar yang memuat contoh-contoh hal sederhana dalam kehidupan sehai-hari yang ada kaitannya dengan

Jurnal internasional yang berjudul “Strategic Magagement and The Philosophy of Science : The case for a constructivist methodology” yang ditulis oleh Raza Mir

Dalam penelitian ini pembuatan desain pembelajaran bermuatan nilai dengan model pembelajaran kooperatif inkuiri difokuskan pada topik hukum- hukum dasar kimia,

Dalam penelitian ini akan dianalisa kestabilan dari model matematika pada permasalahan pengendalian hama terpadu yang secara kimia dilakukan dengan penyemprotan

memahami, mengaplikasikan menganalisa, mengsintesis, dan mengevaluasi terhadap suatu materi yang berkaitan dengan kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan dengan penjelasan

Dengan demikian, komitmen politik akan mengalami konkretisasi di dalam praktik demokratisasi politik, di mana sosok perempuan tidak lagi hanya sebagai “objek” pemenuhan suara

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurhidayati dan Bahar (2018) tentang dukungan keluarga meningkatkan kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana