• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFIKASI HERBISIDA AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN KERING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFIKASI HERBISIDA AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN KERING"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

EFIKASI HERBISIDA AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN KERING

Oleh

ANGGI VIDYA NINGRUM

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Jurusan Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

EFIKASI HERBISIDA AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN

KERING

Oleh

Anggi Vidya Ningrum

Dalam budidaya tebu masalah utama yang dihadapi adalah tingkat kompetisi

tanaman dengan gulma. Fase kritis tanaman tebu terhadap gulma berlangsung

sekitar tiga bulan. Pengendalian gulma sejak awal pertanaman tebu merupakan

upaya untuk menunjang pertumbuhan tanaman tebu. Pengaplikasian herbisida

pratumbuh merupakan salah satu cara pengendalian guna menekan tingkat

kompetisi tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui daya

kendali herbisida ametrin terhadap pertumbuhan gulma golongan daun lebar dan

rumput serta gulma dominan pada budidaya tebu lahan kering, pengaruh herbisida

ametrin terhadap pertumbuhan tanaman tebu, dan tingkat toksisitas herbisida

ametrin terhadap tanaman tebu.

Percobaan ini dilakukan di Desa Hajimena Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung

dari bulan Oktober 2012 sampai Januari 2013. Rancangan perlakuan terdiri dari

ametrin 1,5 kg/ha; ametrin 2,0 kg/ha; ametrin 2,5 kg/ha; ametrin 3,0 kg/ha;

(3)

dalam rancangan acak kelompok (RAK). Setiap perlakuan diulang empat kali.

Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlet dan aditivitas diuji dengan uji Tukey,

selanjutnya data dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan nilai tengah diuji

dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) herbisida ametrin dosis 2,5 kg/ha mampu

menekan pertumbuhan gulma total dan daun lebar pada pertanaman tebu hingga

12 minggu setelah aplikasi (MSA), (2) pada 12 MSA perlakuan dosis 3,0 kg/ha

menghasilkan pertumbuhan tebu yang lebih baik dalam populasi dibandingkan

penyiangan mekanis, dan (3) herbisida ametrin dengan dosis 1,5 kg/ha hingga 3,0

kg/ha tidak meracuni tanaman tebu.

Kata kunci : ametrin, gulma, tebu.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ... xix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Landasan Teori ……… 5

1.4 Kerangka Pemikiran ... 7

1.5 Hipotesis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu ... 10

2.2 Pengendalian Gulma Pada Pertanaman Tebu ... 11

2.3 Herbisida Ametrin ... 13

2.4 Fitotoksisitas ... 15

III. METODELOGI PERCOBAAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

3.2 Bahan dan Alat ... 16

3.3 Metode Penelitian... 16

3.4Pelaksanaan Penelitian ... 17

3.4.1 Pembuatan Petak ………... 17

3.4.2 Penanaman Tebu ………... 18

3.4.3 Aplikasi Herbisida ……….. 19

3.4.4 Penyiangan Mekanis ……….. 19

3.4.5 Pengambilan Sampel Gulma ……….. 19

3.5 Pengamatan ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Bobot Kering Gulma Total ... 24

4.2 Bobot Kering Gulma Pergolongan ... 25

4.2.1 Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar ... 25

4.2.2 Bobot Kering Gulma Golongan Rumput ... 27

(7)

4.3.1 Bobot Kering Gulma Croton hirtus ... 29

4.3.2 Bobot Kering Gulma Richardia brasiliensis ... 30

4.3.3 Bobot Kering Gulma Brachiaria mutica ... 32

4.3.4 Bobot Kering Gulma Spigelia anthelmia ... 33

4.3.5 Bobot Kering Gulma Synedrella nodiflora ... 34

4.3.6 Bobot Kering Gulma Celosia argentea ... 36

4.4 Jenis dan Tingkat Dominansi Gulma ... 37

4.5 Perubahan Komunitas ... 41

4.6 Tinggi Tanaman ... 42

4.7 Persentase Perkecambahan ... 44

4.8 Populasi Tanaman ... 45

4.9 Fitotoksisitas Herbisida ... 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perlakuan herbisida ametrin ………... 17

2. Bobot kering gulma total (g/0,5 m2) ………... 24

3. Bobot kering gulma daun lebar (g/0,5 m2) ……….. 26

4. Bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5 m2) ……… 28

5. Bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5 m2) ………. 29

6. Bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5 m2) ...………. 31

7. Bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5 m2) …….………. 32

8. Bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5 m2) …….………. 33

9. Bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5 m2) …….…….. 35

10. Bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5 m2) ……..….…….. 37

11. Jenis dan tingkat dominansi gulma (%) pada 4 MSA …………... 39 12. Jenis dan tingkat dominansi gulma (%) pada 8 MSA …………... 40

13. Jenis dan tingkat dominansi gulma (%) pada 12 MSA …………... 41 14. Koefisien komunitas gulma akibat aplikasi herbisida ametrin …... 42

15. Tinggi tanaman tebu (cm) ……… 43

16. Persentase perkecambahan (%) ……… 44

(9)

18. Bobot kering gulma total (g/0,5 m2) pada 4 MSA ……….. 52

19. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulmatotal (g/0,5m2)pada

4MSA ……… 52

20. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 4 MSA ……… 52

21. Bobot kering gulma total (g/0,5 m2) pada 8 MSA ……… 53

22. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma total (g/0,5m2)

pada 8MSA ……….….... 53

23. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 8 MSA ………….…. 53

24. Bobot kering gulma total (g/0,5 m2) pada 12 MSA ………... 54

25. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 12 MSA ………... 54

26. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 4 MSA …... 54

27. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma golongan daun lebar

(g/0,5m2)pada 4MSA ……… 55

28. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar

pada 4 MSA ... 55

29. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 8 MSA …... 55

30. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5m2)

pada 8 MSA ………... 56

31. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar pada 8 MSA .. 56

32. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 12 MSA …… 56

33. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5m2)

pada 12 MSA ………... 57

34. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar pada 12 MSA .. 57

(10)

36. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5m2) pada 4 MSA ………... 58

37. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 4 MSA ... 58

38. Bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5 m2) pada 8 MSA …... 58

39. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5m2)

pada 8 MSA …..………... 59

40. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 8 MSA .... 59

41. Bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5 m2) pada 12 MSA …... 59

42. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5m2)

pada 12 MSA ………..………... 60

43. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 12 MSA .. 60

44. Bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5 m2) pada 4 MSA …………. 60

45. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5m2)

pada 4 MSA ……….………... 61

46. Analisis ragam bobot kering gulma Croton hirtus pada 4 MSA ... 61

47. Bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5 m2) pada 8 MSA …………. 61

48. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5m2)

pada 8 MSA ………... 62

49. Analisis ragam bobot kering gulma Croton hirtus pada 8 MSA ... 62

50. Bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5 m2) pada 12 MSA …….….. 62

51. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5m2)

pada 12 MSA …..………... 63

52. Analisis ragam bobot kering gulma Croton hirtus pada 12 MSA ... 63

(11)

54. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5m2) pada 4 MSA …...…….………... 64

55. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis

pada 4 MSA ………... 64

56. Bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5 m2) pada 8 MSA …. 64

57. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5m2)

pada 8 MSA …...………... 65

58. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis

pada 8 MSA ……….. 65

59. Bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5 m2) pada 12 MSA … 65

60. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5m2)

pada 12 MSA …...………... 66

61. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis pada 12 MSA..66

62. Bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5 m2) pada 4 MSA ……….. 66

63. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5m2)

pada 4 MSA ………... 67

64. Analisis ragam bobot kering gulma Brachiaria mutica pada 4 MSA ….... 67

65. Bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5 m2) pada 8 MSA ………… 67

66. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5m2)

pada 8 MSA ……..………... 68

67. Analisis ragam bobot kering gulma Brachiaria mutica pada 8 MSA ……. 68

68. Bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5 m2) pada 12 MSA ………. 68

69. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5m2)

pada 12 MSA ……..…..………... ... 69

70. Analisis ragam bobot kering gulma Brachiaria mutica pada 12 MSA …. 69

(12)

72. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5m2) pada 4 MSA ……..…..………... 70

73. Analisis ragam bobot kering gulma Spigelia anthelmia pada 4 MSA .... 70

74. Bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5 m2) pada 8 MSA …….. 70

75. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5m2)

pada 8 MSA …...…..………... 71

76. Analisis ragam bobot kering gulma Spigelia anthelmia pada 8 MSA ... 71

77. Bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5 m2) pada 12 MSA ……. 71

78. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5m2)

pada 12 MSA ……...………... 72

79. Analisis ragam bobot kering gulma Spigelia anthelmia pada 12 MSA ... 72

80. Bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5 m2) pada 4 MSA …….. 72

81. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5m2)

pada 4 MSA ……..…..………... 73

82. Analisis ragam bobot kering gulma Synedrella nodiflora pada 4 MSA …. 73

83. Bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5 m2) pada 8 MSA …...…. 73

84. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5m2)

pada 8 MSA ……...…..………... 74

85. Analisis ragam bobot kering gulma Synedrella nodiflora pada 8 MSA …. 74

86. Bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5 m2) pada 12 MSA ...…... 74

87. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5m2)

pada 12 MSA …...…..………... 75

88. Analisis ragam bobot kering gulma Synedrella nodiflora pada 12 MSA ... 75

89. Bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5 m2) pada 8 MSA ……... 75

90. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5m2)

pada 8 MSA ……....…..………... 76

(13)

92. Bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5 m2) pada 12 MSA …….. 76

93. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5m2) pada 12 MSA ……....………... 77

94. Analisis ragam bobot kering gulma Celosia argentea pada 12 MSA ... 77

95. Persentase perkecambahan tebu (%) pada 2 MSA …….……….. 77

96. Analisis ragam persentase perkecambahan tebu (%) pada 2 MSA ……... 78

97. Persentase perkecambahan tebu (%) pada 4 MSA …..……….. 78

98. Analisis ragam persentase perkecambahan tebu (%) pada 4 MSA …...…. 78

99. Tinggi tanaman tebu (cm) pada 4 MSA …..……….………. 79

100. Transformasi √√√ (x+0,5) tinggi tanaman tebu (cm) pada 4 MSA ... 79

101. Analisis ragam tinggi tanaman tebu (cm) pada 4 MSA …………... 79

102. Tinggi tanaman tebu (cm) pada 8 MSA ……….……… 80

103. Analisis ragam tinggi tanaman tebu (cm) pada 8 MSA …………... 80

104. Tinggi tanaman tebu (cm) pada 12 MSA ……….……….. 80

105. Analisis ragam tinggi tanaman tebu (cm) pada 12 MSA …………... 81

106. Populasi tanaman tebu pada 4 MSA ……….………. 81

107. Analisis ragam populasi tanaman tebu pada 4 MSA …………..…... 81

108. Populasi tanaman tebu pada 8 MSA ………..………. 82

109. Analisis ragam populasi tanaman tebu pada 8 MSA …………..…... 82

110. Populasi tanaman tebu pada 12 MSA ………..………..……. 82

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Rumus bangun herbisida ametrin ………... 14

2. Tata letak percobaan ………... 18

3. Titik pengambilan sampel gulma ………... 20

4. Gulma Croton hirtus …………..……….. 30

5. Gulma Richardia brasiliensis ……….. 31

6. Gulma Brachiaria mutica ………. 32

7. Gulma Spigelia anthelmia ……… 34

8. Gulma Synedrella nodiflora ………. 36

9. Gulma Celosia argentea ………... 37

10. Perlakuan ametrin dosis 1,5 kg/ha pada 2 MSA ………... 83

11. Perlakuan ametrin dosis 2,0 kg/ha pada 2 MSA ………... 83

12. Perlakuan ametrin dosis 2,5 kg/ha pada 2 MSA ………... 84

13. Perlakuan ametrin dosis 3,0 kg/ha pada 2 MSA ………... 84

14. Perlakuan mekanis pada 2 MSA ………... 85

15. Perlakuan kontrol pada 2 MSA ………. 85

16. Perlakuan ametrin dosis 1,5 kg/ha pada 4 MSA ………... 86

17. Perlakuan ametrin dosis 2,0 kg/ha pada 4 MSA ………... 86

(15)

19. Perlakuan ametrin dosis 3,0 kg/ha pada 4 MSA ………... 87

20. Perlakuan mekanis pada 4 MSA ………... 88

21. Perlakuan kontrol pada 4 MSA ………. 88

22. Perlakuan ametrin dosis 1,5 kg/ha pada 8 MSA ………... 89

23. Perlakuan ametrin dosis 2,0 kg/ha pada 8 MSA ………... 89

24. Perlakuan ametrin dosis 2,5 kg/ha pada 8 MSA ………... 90

25. Perlakuan ametrin dosis 3,0 kg/ha pada 8 MSA ………... 90

26. Perlakuan mekanis pada 8 MSA ……… 91

27. Perlakuan kontrol pada 8 MSA ………. 91

28. Perlakuan ametrin dosis 1,5 kg/ha pada 12 MSA ………... 92

29. Perlakuan ametrin dosis 2,0 kg/ha pada 12 MSA ………... 92

30. Perlakuan ametrin dosis 2,5 kg/ha pada 12 MSA ………... 93

31. Perlakuan ametrin dosis 3,0 kg/ha pada 12 MSA ………... 93

32. Perlakuan mekanis pada 12 MSA ……… 94

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting

sebagai bahan pembuatan gula yang sudah menjadi kebutuhan industri dan rumah

tangga. Hal ini dikarenakan dalam batangnya terkandung 20% cairan gula (Royyani

dan Lestari, 2009). Produksi gula Indonesia tidak mengalami perkembangan yang

berarti semenjak tahun 1995 hingga tahun 2010. Hal ini dapat dilihat pada data yang

dirilis oleh Badan Pusat Statistik tahun 2012 yang menunjukkan bahwa produksi gula

tebu di Indonesia pada tahun 1995 sebesar 2,1 juta ton sedangkan produksi tahun

2010 hanya 2,3 juta ton. Hal ini menyebabkan pemerintah harus melakukan impor

gula sebesar 240.000 ton untuk mencukupi kebutuhan gula (BPS, 2012). Dalam

menyikapi masalah tersebut pemerintah melakukan berbagai upaya guna menekan

impor gula di Indonesia.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi gula

dalam negeri adalah upaya ekstensifikasi dan intensifikasi. Upaya ekstensifikasi yang

dilakukan pemerintah adalah melakukan perluasan areal pertanaman tebu yang pada

(17)

2

429.000 ha (BPS, 2012). Akan tetapi upaya pemerintah untuk meningkatkan

produktivitas gula menghadapi berbagai macam kendala.

Salah satu kendala yang dihadapi adalah permasalahan budidaya. Dalam budidaya

tebu masalah utama yang dihadapi adalah tingkat kompetisi tanaman dengan gulma.

Gulma merupakan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang tidak akan pernah

hilang dari pandangan petani, penyuluh, peneliti, dan pengambil kebijakan karena

keberadaannya lebih banyak merugikan daripada memberikan keuntungan. Oleh

sebab itu, manusia selalu berusaha mengelolanya.

Pengelolaan gulma sudah lama dikenal oleh petani seiring dengan dimulainya

bercocok tanam (Klingman dan Ashton, 1975 dalam Lamid, 1996). Kerugian

terhadap tanaman budidaya bervariasi, tergantung dari jenis tanaman budidaya ,

iklim, jenis gulma, dan tentu saja praktek pertanian (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).

Menurut Moenandir (1990), penurunan hasil pertanian yang disebabkan oleh gulma

dapat mencapai 20 — 80% bila gulma tidak dikendalikan.

Menurut Kuntohartono dalam Alfredo (2012), kerugian yang ditimbulkan oleh

keberadaan gulma pada pertanaman tebu yaitu dapat menurunkan bobot tebu berkisar

6-9% dan penurunan rendemen sebesar 0,09 %. Keberadaan gulma pada tanaman

tebu dapat menurunkan produksi sebesar 15 – 53,7%. Menurut Kropff dalam

Sembodo dkk. (1996), agar tanaman tebu tumbuh dengan baik, tebu memerlukan

(18)

3

itu, diperlukan upaya pengendalian gulma guna menekan tingkat kompetisi antara

gulma dan tanaman.

Salah satu cara pengendalian gulma yang dilakukan adalah secara kimiawi dengan

menggunakan herbisida. Herbisida adalah senyawa kimia peracun gulma (Triharso,

1994) atau menurut Moenandir (1993), herbisida adalah bahan kimia yang dapat

mengendalikan pertumbuhan gulma sementara atau seterusnya bila diperlukan pada

ukuran yang tepat. Salah satu herbisida yang digunakan pada pertanaman tebu adalah

ametrin.

Ametrin merupakan herbisida selektif untuk mengendalikan gulma pada tanaman

nanas, tebu, pisang, jeruk, singkong, kopi, teh, kakao, kelapa sawit, dan bukan lahan

pertanian(Tomlin, 2009). Ametrin telah lama digunakan pada pertanaman tebu

dikarenakan herbisida ini memiliki fitotoksisitas yang rendah. Ametrin merupakan

herbisida yang sistemik dan selektif. Herbisida ini diabsorbsi oleh akar dan daun yang

ditranslokasikan secara akropetal di dalam xilem serta terakumulasi dalam meristem

pucuk (Tomlin, 2009). Herbisida ametrin telah lama digunakan pada pertanaman

tebu.

Walaupun ametrin telah lama digunakan pada budidaya tebu, pembuatan formulasi

baru masih terus dilakukan oleh formulator pestisida. Sebelum herbisida dengan

formulasi baru ini layak dipasarkan maka perlu dilakukan pengujian. Oleh karena itu,

herbisida ametrin ini perlu diuji kembali. Sifat kimia herbisida tidak hanya

(19)

4

menentukan pula tingkat keracunan (toksisitas) pada organisme nontarget misalnya

tanamannya, daya tahan herbisida untuk tetap dalam keadaan aktif dalam tanah atau

tumbuhan (persistensi), serta tingkah laku dan nasib herbisida di lingkungan

(Sembodo, 2010).

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan pertanyaan untuk menjawab

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana daya kendali herbisida ametrin terhadap pertumbuhan gulma pada

budidaya tebu lahan kering?

2. Bagaimana pengaruh herbisida ametrin terhadap pertumbuhan tanaman tebu?

3. Bagaimana tingkat toksisitas herbisida ametrin terhadap tanaman tebu?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah disusun tujuan penelitian sebagai

berikut:

1. Mengetahui daya kendali herbisida ametrin terhadap pertumbuhan gulma pada

budidaya tebu lahan kering.

2. Mengetahui pengaruh herbisida ametrin terhadap pertumbuhan tanaman tebu.

(20)

5

1.3 Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah

dikemukakan, penulis menggunakan landasan teoritis sebagai berikut :

Di dalam pertumbuhan atau perkecambahan biji gulma, ada faktor seperti dormansi

serta beberapa faktor penting untuk perkecambahan yaitu air, gas (CO2 dan O2), suhu,

dan cahaya (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Perkecambahan didefinisikan sebagai awal

dari pertumbuhan suatu biji atau organ perbanyakan vegetatif. Bagi kebanyakan biji

tanaman pangan tahapan proses perkecambahan bermula segera setelah tanam dan

berlanjut hingga kecambah muda muncul di permukaan tanah. Namun keadaan ini

sangat berbeda pada biji-biji dan organ perbanyakan vegetatif gulma karena pada

gulma biji-biji dan bagian vegetatif ini mempunyai periode istirahat yang lebih

dikenal sebagai dormansi (Sastroutomo, 1990).

Untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, gulma pada hakikatnya juga

membutuhkan nutrisi dalam jumlah banyak. Persaingan untuk nutrisi, antar tanaman

dan gulma tergantung pada kadar nutrisi yang terkandung dalam tanah dan tersedia

bagi keduanya, dan tergantung pula pada kemampuan tanaman dan gulma menarik

masuk ion-ion tersebut (Moenandir, 1993).

Gulma sering dikonotasikan ke dalam kompetisi atau campur tangannya terhadap

aktivitas manusia/pertanian. Dalam pertanian gulma tidak dikehendaki karena: a)

(21)

6

matahari, dan ruang hidup; (b) menurunkan mutu hasil akibat kontaminasi dengan

bagian-bagian gulma; (c) mengeluarkan senyawa allelopati yang dapat mengganggu

pertumbuhan tanaman; (d) menjadi inang bagi hama dan patogen yang menyerang

tanaman; (e) mengganggu tata guna air; dan (f) secara umum meningkatkan biaya

usaha tani (Sukman dan Yakup, 2002).

Menurut Sembodo (2010), ada enam metode pengendalian gulma yaitu (1) preventif

atau pencegahan; (2) mekanik/fisik; (3) kultur teknik/ekologik; (4) hayati; (5) kimia;

dan (6) terpadu. Pada budidaya tanaman tebu yang biasanya dilakukan pada lahan

yang luas. Metode yang paling banyak digunakan adalah metode kimiawi dengan

menggunakan herbisida. Menurut Barus (2007), metode ini dianggap lebih praktis

dan menguntungkan dibandingkan dengan metode yang lain, terutama jika ditinjau

dari segi kebutuhan tenaga kerja yang lebih sedikit dan waktu pelaksanaan yang

relatif singkat.

Pengendalian gulma yang dilakukan sejak dini akan menunjang pertumbuhan dan

produksi tebu secara optimal. Salah satu cara pengendalian gulma tersebut adalah

dengan menggunakan herbisida pratumbuh (Sembodo dkk.,1996). Herbisida

pratumbuh dilakukan pada permukaan tanah atau air sebelum gulma tumbuh. Kondisi

tanaman bisa belum ditanam, sudah ditanam, belum tumbuh, atau sudah tumbuh.

Herbisida yang digunakan dikenal juga sebagai herbisida residual. Herbisida yang

diaplikasikan akan membentuk lapisan tipis pada permukaan tanah. Akar atau tajuk

(22)

7

saat menembus lapisan herbisida dan akan teracuni. Pada budidaya tanaman tebu

contoh penggunaan herbisida pratumbuh adalah ametrin, diuron, 2,4-D amina,

imazapik, dan metribuzin (Sembodo, 2010).

Ametrin adalah bahan aktif yang termasuk dalam kelompok triazin. Herbisida ini

diaplikasikan secara pra dan pasca tumbuh. Cara kerja herbisida ini menghambat

fotosintesis terutama dalam fotosistem II pada saat pecahnya air (Tjitrosoedirdjo et

al., 1984). Menurut Ashton dan Craft (1982) dalam Agustanti (2006), gulma yang dapat dikendalikan oleh herbisida ametrin antara lain : Borreria alata, Cleome

ruditospermae, Ipomea triloba, dan Digitaria ciliaris.

1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, maka disusunlah kerangka

pemikiran untuk memberikan penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah.

Gulma adalah tumbuhan yang merugikan manusia. Hal ini dikarenakan tumbuhan ini

tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki. Gulma mempunyai beberapa ciri yang

khas yaitu pertumbuhannya cepat, daya saing tinggi, toleransi tinggi terhadap suasana

lingkungan yang ekstrim, mempunyai daya berkembang biak secara vegetatif atau

generatif maupun keduanya, dan bijinya mempunyai sifat dormansi yang

memungkinkan untuk bertahan hidup yang lama dalam kondisi yang tidak

(23)

8

Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma dapat berupa penurunan produksi dan kualitas

produk akibat kompetisi tanaman dalam mendapatkan ruang, air, hara, cahaya, dan

CO2. Persaingan antara tanaman dengan gulma menyebabkan penurunan produksi

yang cukup besar. Selain itu gulma juga dapat meningkatkan biaya produksi dan

menurunkan efisiensi penggunaan lahan, serta menjadi inang hama dan penyakit.

Untuk itu perlu adanya pengendalian gulma pada pertanaman tebu.

Pengendalian gulma adalah upaya yang dilakukan untuk menekan pertumbuhan

gulma tetapi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya. Awal pertumbuhan

tebu merupakan periode kritis terhadap kompetisi dengan gulma, karena pada saat itu

tanaman tebu sangat membutuhkan unsur hara, air, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh

yang cukup untuk proses perkecambahan dan pembentukan anakan (tunas). Pada

periode kritis ini tebu harus bebas dari gulma, sehingga dengan adanya penekanan

pertumbuhan gulma dapat menurunkan tingkat kompetisi antara gulma dan tanaman.

Metode pengendalian yang cukup efektif pada pertanaman tebu yang luas yaitu

pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Pengendalian secara

kimiawi banyak digunakan dikarenakan pengendalian ini efisien dalam tenaga kerja,

waktu, dan biaya. Untuk mencegah adanya gulma hingga tanaman tebu melewati

masa kritis selama tiga bulan maka digunakan herbisida pratumbuh.

Herbisida pratumbuh pada budidaya tebu diberikan pada saat tanaman tebu belum

berkecambah. Herbisida ini diaplikasikan melalui tanah. Salah satu bahan aktif

(24)

9

ametrin masuk kedalam jaringan tumbuhan diserap bersamaan dengan unsur hara

melalui akar yang kemudian terangkut melalui pembuluh xilem. Herbisida ametrin

diabsorbsi oleh akar dan ditranslokasikan ke daun. Ametrin berperan sebagai

penghambat transfer elektron pada fotosistem II sehingga aliran energi terhambat dan

terjadi penumpukan elektron berenergi tinggi yang membentuk radikal bebas. Hal ini

menyebabkan kerusakan kloroplas yang menimbulkan gejala klorosis dan nekrosis

daun. Aplikasi herbisida ametrin pada masa awal pertumbuhan tanaman tebu tidak

menyebabkan terjadinya fitotoksisitas terhadap tanaman tebu. Herbisida ametrin

tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman tebu sehingga herbisida ametrin dapat

dijadikan alat pengendali gulma pada masa awal pertumbuhan tanaman tebu.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang dikemukakan maka hipotesis dalam penelitian

ini adalah :

1. Herbisida ametrin mampu mengendalikan pertumbuhan gulma pada budidaya tebu

lahan kering.

2. Herbisida ametrin tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman tebu.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Tebu

Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula.

Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk

jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai dapat dipanen mencapai

kurang lebih satu tahun. Klasifikasi tanaman tebu adalah :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum L. (Tarigan dan Sinulingga, 2006).

Tebu mempunyai akar serabut yang panjangnya dapat mencapai satu meter. Sewaktu

tanaman masih muda atau berupa bibit, ada dua macam akar yaitu akar setek dan akar

tunas. Akar setek/bibit tumbuh dari setek batangnya. Akar ini tidak berumur panjang

(26)

11

Akar ini berumur panjang dan tetap ada selama tanaman masih tumbuh (Tim Penulis

Penebar Swadaya, 2000).

Dalam masa pertumbuhannya tanaman tebu membutuhkan banyak air, sedangkan

ketika tebu akan menghadapi waktu masak menghendaki keadaan kering sehingga

pertumbuhannya terhenti. Apabila hujan turun terus menerus akan menyebabkan

tanaman tebu rendah rendemennya. Jadi jelas bahwa tebu selain memerlukan daerah

yang beriklim panas, juga diperlukan adanya perbedaan yang nyata antara musim

hujan dan musim kemarau (Notojoewono (1967) dalam Haryanti, 2008).

2.2 Pengendalian Gulma pada Pertanaman Tebu

Pengendalian gulma (weed control) dapat didefinisikan sebagai proses membatasi

gulma sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan

efisien. Pengendalian gulma pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengubah

keseimbangan ekologis yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma, tetapi

tidak berpengaruh negatif terhadap tanaman budidaya (Sukman dan Yakup, 2002).

Pada budidaya tebu, herbisida yang banyak digunakan adalah herbisida pratumbuh.

Penyemprotan herbisida pratumbuh adalah proses aplikasi yang dilakukan sebelum

gulma, tanaman, atau keduanya tumbuh. Penyemprotan dilakukan dengan harapan

tebu yang masih kecil dapat berkembang dengan maksimal tanpa adanya gangguan

gulma (Indarto dkk., 2003). Fase kritis tanaman tebu berlangsung sekitar 3 bulan

(27)

12

matahari menjadi terhalang untuk sampai ke permukaan tanah dan membuat gulma

menjadi tertekan pertumbuhannya (Indarto dkk., 2003). Pengaplikasian herbisida

secara pratumbuh menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan produksi tebu.

Menurut Soediatso dalam Agustanti (2006), pada areal pertanaman tebu lahan kering

terdapat beberapa gulma dominan diantaranya gulma golongan daun lebar : Borreria

alata, Centrosema pubescens, Ageratum conyzoides, Phyllanthus amarus,

Stachytarpeta indica, dan Hyptis brevipes. Gulma golongan rumput yaitu : Digitaria sanguinalis, Echinochloa crusgalli, Paspalum conjugatum, dan Axonopus

compressus sedangkan dari golongan teki : Cyperus rotundus dan Cyperus iria. Selain itu menurut Indarto dan Sembodo (2002), gulma yang menjadi masalah utama

pada perkebunan tebu antara lain : Borreria alata, Mikania micrantha, Mimosa

invisa, Dactyloctenium aegyptium, Panicum repens, dan Cyperus rotundus. Sedangkan menurut penelitian Wijaya, et al., (2012), Dactyloctenium aegyptium,

Boreria alata, Cynodon dactylon dan Cleome rutidospermae merupakan beberapa gulma yang menjadi masalah utama di perkebunan tebu di Lampung.

Barus (2003) menyatakan bahwa berdasarkan pengaruhnya terhadap tanaman

perkebunan, gulma dibedakan menjadi gulma kelas A, B, C, D, dan E. gulma yang

digolongkan ke dalam kelas A adalah jenis-jenis gulma yang sangat berbahaya bagi

tanaman perkebunan sehingga harus diberantas secara tuntas. Gulma kelas B adalah

jenis-jenis gulma yang merugikan tanaman perkebunan sehingga perlu dilakukan

(28)

13

yang merugikan tanaman perkebunan dan memerlukan tindakan pengendalian, namun

tindakan pengendalian tersebut tergantung pada keadaan. Gulma kelas D adalah

jenis-jenis gulma yang kurang merugikan tanaman perkebunan. Gulma kelas E adalah

jenis-jenis gulma yang pada umumnya bermanfaat bagi tanaman perkebunan karena

dapat berfungsi sebagai pupuk hijau.

Menurut Komisi Pestisida (2011), herbisida yang digunakan pada budidaya tebu

adalah 2,4-D, ametrin, parakuat, metribuzin, amonium glufosinat, diuron,

sulfentrazon, monoamonium glifosat, klomazon, oksifluorfen, dan imazapik.

2.3 Herbisida Ametrin

Ametrin merupakan herbisida golongan methiltio -s - triazine yang termasuk

anggota kelompok herbisida triazin. Herbisida ini diaplikasikan sebagai herbisida

pratumbuh maupun pascatumbuh. Absorbsi terjadi lewat akar dan daun yang

ditranslokasikan secara akropetal di dalam xilem serta terakumulasi dalam meristem

pucuk. Herbisida ini aktif di dalam tanah selama 11 – 110 hari. Bakteri mampu

mendegradasi herbisida ini (Tomlin, 2009). Di dalam tubuh tumbuhan herbisida

ametrin ini mengalami degradasi yang terkadang sangat intensif sehingga tanaman

resisten terhadap herbisida ini (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Herbisida golongan

triasin tidak mudah menguap (volatile) dan tidak terdekomposisi oleh cahaya

(29)

14

N N N

CH3S NHCH2CH3

NHCH(CH3)2

Menurut Agustanti (2006), herbisida ametrin mematikan tumbuhan dengan

menghambat proses fotosintesis yaitu pada reaksi Hill. Menurut Ashton dan Craft

(1973) dalam Agustanti (2006), akibat dari gangguan reaksi Hill tersebut, tumbuhan

tidak membentuk karbohidrat sehingga terjadi kekurangan persenyawaan gula untuk

proses metabolisme selanjutnya. Menurut Sembodo (2010), pola kerja herbisida

ametrin dari golongan triazin adalah menghambat proses fotosintesis dengan cara

mengikat elektron pada fotosistem II dalam skema Z sehingga pembentukan ATP dan

NADPH2 terganggu. Rumus bangun ametrin tertera pada gambar 1 dengan rumus

molekul

Gambar 1. Rumus Bangun Herbisida Ametrin (Tomlin, 2009).

Menurut Tomlin (2009), ametrin bersifat selektif dan sistemik dan digunakan untuk

mengendalikan gulma rerumputan dan daun lebar seperti pada pertanaman tebu

dengan dosis 2-4 kg/ha. Selain itu menurut Komisi Pestisida (2011), ametrin mampu

mengendalikan gulma golongan daun lebar: Ageratum conyzoides, Borreria alata,

Cleome rutidosperma, Synedrella nodiflora. Gulma golongan rumput: Paspalum

(30)

15

rotundus. Sedangkan menurut penelitian Alfredo (2013), ametrin dengan dosis 1 kg/ha mampu menekan pertumbuhan gulma golongan daun lebar: Croton hirtus,

Ipomoea triloba, Mimosa invisa, dan Richardia brasiliensis pada pertanaman tebu hingga 12 minggu setelah aplikasi (MSA). Namun tidak mampu menekan

pertumbuhan gulma Brachiaria mutica.

2.4 Fitotoksisitas

Fitotoksisitas adalah tingkat keracunan tanaman pokok yang disebabkan oleh aplikasi

herbisida. Menurut Djojosumarto (2008) ametrin merupakan herbisida yang sangat

selektif bagi tanaman tebu sehingga tidak meracuni tanaman tebu. Hal ini sejalan

dengan penelitian Fitra (2001) dimana herbisida ini tidak berpengaruh terhadap

fitotoksisitas tanaman, persentase perkecambahan, populasi tanaman, dan tinggi

(31)

III. METODELOGI PERCOBAAN

3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Universitas Lampung. Penelitian ini dilakukan

pada bulan Oktober 2012 sampai Januari 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu tebu varietas RGM 97-10120, pupuk NPK Phonska,

Urea, dan herbisida Ametrex 500 SC (bahan aktif ametrin).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain knapsack sprayer, nozzle

merah, pipet tetes, gelas ukur, kertas label, ember, kored, cangkul, kuadran,

timbangan, dan oven.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri

dari enam perlakuan dengan empat ulangan. Masing-masing perlakuan tertera dalam

(32)
[image:32.612.112.504.114.283.2]

17

Tabel 1. Perlakuan herbisida ametrin.

No Perlakuan Dosis Formulasi

l/ha

Dosis Bahan Aktif kg/ha

1 Ametrin 3 1,5

2 Ametrin 4 2,0

3 Ametrin 5 2,5

4 Ametrin 6 3,0

5 Penyiangan mekanis - -

6 Kontrol - -

Herbisida yang diuji adalah herbisida ametrin dan sebagai pembanding yang

digunakan untuk melihat pengaruh herbisida terhadap tanaman tebu adalah

pengendalian gulma secara mekanis. Untuk menilai pengaruh penggunaan herbisida

terhadap pertumbuhan gulma digunakan perlakuan kontrol. Homogenitas ragam diuji

dengan uji Bartlett, aditivitas data diuji dengan uji Tukey, dan jika asumsi terpenuhi

maka data akan dianalisis dengan sidik ragam serta uji perbedaan nilai tengah

perlakuan akan diuji dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembuatan petak

Lahan penelitian disiapkan dengan pembajakan dan penggaruan sehingga tanah

menjadi gembur. Petak percobaan dibuat sebanyak 24 petak yang dibagi dalam 4 blok

(33)

18

U

baris tanaman tebu dengan ukuran petak 10 m x 5 m. Jarak antar satuan petak 0,5 m.

Tata letak percobaan terdapat pada gambar 2.

U1 U2 U3 U4

Gambar 2. Tata letak percobaan.

3.4.2 Penanaman Tebu

Penanaman dilakukan dengan cara membuat alur (kairan) dan tebu ditanam di alur

menggunakan bahan tanam setek dua mata tunas dengan kepadatan 10 mata tunas per

meter. Penanaman dilakukan menggunakan sistem single row dengan jarak antar

baris 1 meter.

P1 P2 P6 P5 P4 P3

P3 P5 P6

P1 P2 P6 P4 P3 P6

P5 P1

(34)

19

3.4.3 Aplikasi herbisida

Aplikasi herbisida dilakukan dengan menggunakan knapsack sprayer setelah

pengolahan lahan dan pada saat dua hari setelah setek tebu ditanam. Sebelum

dilakukan aplikasi knapsack sprayer dikalibrasi dengan metode luas untuk

mendapatkan volume semprot. Metode luas dilakukan dengan menghitung jumlah air

yang digunakan untuk menyemprot satu petak percobaan yaitu dengan menghitung

jumlah air pada tangki sebelum aplikasi kemudian dikurangi dengan sisa air setelah

aplikasi. Volume semprot yang dihasilkan sebesar 400 l/ha. Penyemprotan herbisida

dilakukan pada pagi hari dengan mempertahankan nosel pada ketinggian 40-50 cm di

atas permukaan tanah sehingga menghasilkan lebar bidang semprot 2 m. Aplikasi

dilakukan sepanjang juring tanaman.

3.4.4 Penyiangan mekanis

Penyiangan mekanis (perlakuan 5) dilakukan dengan membersihkan gulma pada

petak percobaan dengan cangkul dan kored. Penyiangan mekanis dilakukan pada saat

4 dan 8 minggu setelah aplikasi (MSA).

3.4.5 Pengambilan sampel gulma

Pengambilan sampel gulma dilakukan sebanyak 3 kali pada 4, 8, dan 12 MSA. Gulma

diambil dengan menggunakan kuadran berukuran 50 cm x 50 cm pada titik

(35)

20

2

1

3

3

2 1 5

m

10 m

U

Gambar 3. Titik pengambilan sampel gulma.

Keterangan :

1 : titik pengambilan sampel gulma pada 4 MSA

2 : titik pengambilan sampel gulma pada 8 MSA

3 : titik pengambilan sampel gulma pada 12 MSA

: barisan tanaman tebu

3.5 Pengamatan

Variabel pengamatan yang diamati pada penelitian ini meliputi bobot kering gulma,

fitotoksisitas, persentase perkecambahan, populasi dan tinggi tanaman.

3.5.1 Bobot Kering Gulma

Gulma pada petak contoh yang masih segar dipotong tepat pada permukaan tanah

kemudian dipilah-pilah menurut spesiesnya kemudian dioven dengan suhu 80 0

selama 48 jam dan ditimbang bobot kering gulma. Data bobot kering gulma ini

(36)

21

dominansi mutlak suatu spesies

dominansi mutlak semua spesies x 100%

Frekuensi mutlak suatu spesies

Frekuensi mutlak semua spesies x 100% gulma tiap golongan, dan gulma dominan. Selain itu, data bobot kering gulma

tersebut digunakan untuk menghitung SDR dengan rumus :

Dominansi Nisbi (DN) :

Frekuensi Nisbi (FN) :

Nilai Penting (NP) : DN + FN

SDR : NP/2

Keterangan :

Dominansi Mutlak : bobot kering gulma tertentu

Frekuensi Mutlak : jumlah petak contoh yang terdapat gulma tertentu

Nilai SDR yang didapatkan akan digunakan untuk menghitung nilai koefisien

komunitas (C) dengan rumus:

C = (2W)/(a+b) x 100 %

Keterangan :

C = koefisien komunitas

W = jumlah komunitas dari dua nilai terendah yang dibandingkan untuk

masing-masing komunitas

a = jumlah dari seluruh nilai SDR pada komunitas I

b = jumlah dari seluruh nilai SDR pada komunitas II (kontrol)

Jika nilai C lebih dari 75% maka dua komunitas yang dibandingkan dianggap

(37)

22

komunitas terjadi pada lahan penelitian diketahui dengan membandingkan tiap petak

percobaan yang diaplikasi herbisida dengan petak kontrol.

3.5.2 Populasi Tanaman

Pengamatan populasi tanaman diamati pada 2, 4, 6, 8, dan 12 MSA. Pengamatan

populasi tanaman dilakukan dengan menghitung jumlah tanaman yang terdapat pada

3 baris tengah tanaman dari 5 baris tanaman pada setiap petak percobaan.

3.5.3 Tinggi Tanaman

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada 4, 8, dan 12 MSA dengan cara mengukur

tinggi tanaman dari permukaan tanah hingga daun terpanjang. Sampel tanaman

adalah yang terletak pada tiga barisan tengah tanaman sebanyak 10 tanaman per

satuan petak percobaan.

3.5.4 Fitotoksisitas Herbisida

Daya racun herbisida terhadap tanaman diamati secara visual pada 4,8, dan 12 MSA

dan ditentukan penilaian sebagai berikut :

0 : tidak ada keracunan ; 0 – 5% bentuk dan atau warna daun tidak normal

1 : keracunan ringan ; > 5 – 10% bentuk dan atau warna daun tidak normal

2 : keracunan sedang ; > 10 – 50 % bentuk dan atau warna daun tidak normal

3 : keracunan berat ; > 50 – 75% bentuk dan atau warna daun tidak normal

(38)

23

Pengujian daya racun herbisida terhadap tanaman tebu dengan membandingkan

keadaan tanaman tebu pada petak yang diuji dan penyiangan secara mekanis

(39)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

(1) Herbisida ametrin dosis 2,5 kg/ha mampu menekan pertumbuhan gulma total

dan daun lebar pada pertanaman tebu hingga 12 minggu setelah aplikasi

(MSA).

(2) Pada 12 MSA perlakuan dosis 3,0 kg/ha menghasilkan pertumbuhan tebu

yang lebih baik dalam populasi dibandingkan penyiangan mekanis.

(3) Herbisida ametrin dengan dosis 1,5 kg/ha hingga 3,0 kg/ha tidak meracuni

tanaman tebu.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan kombinasi bahan aktif

misalnya diuron pada pertanaman tebu. Hal ini dikarenakan diuron merupakan

herbisida yang mampu mengendalikan gulma daun lebar dan rumput sehingga

(40)

PUSTAKA ACUAN

Agustanti, V. M. F. 2006. Studi Keefektifan Herbisida Diuron dan Ametrin Untuk Mengendalikan Gulma Pada Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum, L) Lahan Kering. Skripsi. IPB. Bogor.

Alfredo, N., N. Sriyani, dan D.R.J. Sembodo. 2012. Efikasi Herbisida Pratumbuh Metil Metsulfuron Tunggal dan Kombinasinya dengan 2,4-D, Ametrin, dan Diuron Terhadap Gulma Pada Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering. Jurnal Agrotropika. 17(1): 29-34.

Apriani, E. 2011. Efikasi Herbisida Ametrin terhadap Gulma Umum pada Budidaya Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.). SKRIPSI. UNILA.

LAMPUNG.

BPS. 2012. Produksi Gula di Indonesia. http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 9 September 2012.

Barus, E. 2003. Pengendalian Gulma Di Perkebunan : Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta. 103 hal.

---. 2007. Pengendalian Gulma Di Perkebunan : Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta. 105 hal.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. 340 hal.

Fitra, G. 2001. Efikasi Herbisida Ametrin, Ametrin + Dikamba Amina, dan Ametrin+2,4 D Amina terhadap Gulma pada Pertumbuhan Awal Tanaman Tebu (Saccharum officinarum, L). SKRIPSI. UNILA. LAMPUNG.

(41)

49

Haryanti, V. 2008. Analisa Sistem Pemanenan Tebu (Saccharum offcinarum, L.) yang Optimal di PG Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Indarto dan D.R.J, Sembodo. 2002. Aplikasi herbisida patumbuh pada tiga varietas tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Agrotropika. 7(1): 4-9.

Indarto, D.R.J, Sembodo, dan D. Mawardi. 2003. Aplikasi metribuzin (sencor 480 SC) sebagai herbisida pratumbuh pada pertanaman tebu lahan kering. Prosiding Simposium Nasional dan Kongres PERAGI VII. Hal. 297-301. Komisi Pestisida. 2011. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Departemen

Pertanian. Jakarta. 879 hal.

Lamid, Z. 1996. Perkembangan Pengelolaan Gulma Dewasa Ini Di Indonesia. Prosiding II Konferensi HIGI XIII dan Seminar Ilmiah HIGI. Bandar Lampung 5-7 November. Hal 337-346.

Manan,A. 2011. Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia, dan Kombinasi Pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51169/F11ama_B AB%20I%20Pendahuluan.pdf?sequence=5. Diakses pada tanggal 9 September 2012.

Moenandir, J. 1988. Ilmu Gulma dalam Sistem Pertanian. Jakarta. Rajawali Press. 159 hal.

---. 1990. Fisiologi Herbisida. Jakarta. Rajawali Press. 139 hal.

---. 1993. Persaingan Gulma dengan Tanaman Budidaya. Jakarta. Rajawali Press. 102 hal.

Puspitasari, K., H.T. Sebayang, dan B. Guritno. 2013. Pengaruh Aplikasi Herbisida Ametrin dan 2,4 D dalam Mengendalikan Gulma Tanaman Tebu

(Saccharum officinarum L.). Jurnal Produksi Tanaman. 1(2):72-80.

Rasobayo, R.P. 2010. Daya Kendali Piroksasulfon dan Kombinasinya dengan Atrasin Secara Pratumbuh terhadap Gulma pada Budidaya Tanaman Tebu (Saccharum officinarum, L). Skripsi. UNILA. Lampung. Royyani, M.F dan Lestari V.B. 2009. Peran Indonesia dalam Penciptaan

(42)

50

Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 217 hal.

Sembodo, D.R.J. 1999. Kinerja Herbisida Imazapik (Cadre 240 AS) untuk

Mengendalikan Gulma Tebu Lahan Kering. Prosiding II Konferensi HIGI XIV, Medan 20-22 Juli. Hal 331-333.

---. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta. 168 hal.

Sembodo, D.R.J, H. Susanto, A.T. Lubis, M.Utomo, H.Suprapto, dan R. Subiantoro 1996. Uji Efikasi Herbisida Klomazon dan Sulfentrazon pada Tanaman Tebu Lahan Kering. Prosiding II Konferensi HIGI XIII dan Seminar Ilmiah HIGI. Bandar Lampung 5-7 November. Hal 557-568.

Sukman, Y. dan Yakup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 128 hal.

Sukma, M. 2011. Pengaruh Herbisida pada Gulma dan Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Tebu (Saccharum officinarum, L) Var. PS 951.

http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/30656/5/pengaruh-herbisida-pada-gulma-dan-pertumbuhan-vegetatif-tanaman-tebu-(ringkasan).pdf. Diakses pada tanggal 15 September 2012.

Sriyani, N. 2012. Mekanisme Kerja Herbisida. Bahan Mata Kuliah Herbisida Lingkungan. Fakultas Pertanian- Universitas Lampung. 27 hal.

Suryaningsih, M.Joni, dan A.A.K. Darmadi. 2011. Inventarisasi Gulma Pada Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Lahan Sawah Kelurahan Padang Galak, Denpasar Timur, Kodya Denpasar, Provinsi Bali. Jurnal Simbiosis. 1 (1): 1-8.

Tarigan, B. Y. dan J. N. Sinulingga, 2006. Laporan Praktek Kerja Lapangan di Pabrik Gula Sei Semayang PTPN II Sumatera Utara. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tim Penulis Penebar Swadaya, 2000. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmodjo ( Eds). 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Kerjasama Biotrop Bogor – PT. Gramedia. Jakarta. 225 hal.

(43)

51

Triharso, 1994. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta. 362 hal.

Gambar

Gambar
Tabel 1. Perlakuan herbisida ametrin.

Referensi

Dokumen terkait

Proses- proses masuknya bahasa asing ke Indonesia yang semakin berkembang menjadi bahasa lain yang digunakan secara aktif belum dapat dikatakan sebagai sebua

itu, guna memberi perkembangan yang baik bagi urban toys di Indonesia khususnya di Yogyakarta perlu melakukan pengarsipan terhadap para kreator di Yogyakarta guna mendapat data

Biasanya sebuah halaman web pada awalnya disusun sebagai sarana promosi, karena media promosi di web lebih murah dan efektif dibandingkan media promosi

Oleh sebab sikap yang skriptualis bahkan literalis inilah, dalam perkembanganya salafi wahabi mengalami diversifikasi gerakan dan terkategori dalam beberapa model

Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penulis/penerbit yang telah berkenan mengalihkan hak cipta karyanya kepada Departemen Pendidikan Nasional

memperketat alur pembiayaan agar barang yang diperjualbelikan dapat dipastikan telah menjadi milik bank baik secara langsung maupun secara prinsip sebelum

Cara yang digunakan untuk mengajari anak mengembangkan kemampuan motoriknya tersebut di atas sesuai dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Bruner, yaitu jika

Jika dilihat dari faktor penyerapan pangan, sebaran kelompok kabupaten ini tidak berbeda dengan sebaran pada kelompok kabupaten rawan pangan, dimana sebagian besar kabupaten