EFIKASI HERBISIDA AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN KERING
Oleh
ANGGI VIDYA NINGRUM
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan Agroteknologi
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
EFIKASI HERBISIDA AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN
KERING
Oleh
Anggi Vidya Ningrum
Dalam budidaya tebu masalah utama yang dihadapi adalah tingkat kompetisi
tanaman dengan gulma. Fase kritis tanaman tebu terhadap gulma berlangsung
sekitar tiga bulan. Pengendalian gulma sejak awal pertanaman tebu merupakan
upaya untuk menunjang pertumbuhan tanaman tebu. Pengaplikasian herbisida
pratumbuh merupakan salah satu cara pengendalian guna menekan tingkat
kompetisi tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui daya
kendali herbisida ametrin terhadap pertumbuhan gulma golongan daun lebar dan
rumput serta gulma dominan pada budidaya tebu lahan kering, pengaruh herbisida
ametrin terhadap pertumbuhan tanaman tebu, dan tingkat toksisitas herbisida
ametrin terhadap tanaman tebu.
Percobaan ini dilakukan di Desa Hajimena Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung
dari bulan Oktober 2012 sampai Januari 2013. Rancangan perlakuan terdiri dari
ametrin 1,5 kg/ha; ametrin 2,0 kg/ha; ametrin 2,5 kg/ha; ametrin 3,0 kg/ha;
dalam rancangan acak kelompok (RAK). Setiap perlakuan diulang empat kali.
Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlet dan aditivitas diuji dengan uji Tukey,
selanjutnya data dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan nilai tengah diuji
dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) herbisida ametrin dosis 2,5 kg/ha mampu
menekan pertumbuhan gulma total dan daun lebar pada pertanaman tebu hingga
12 minggu setelah aplikasi (MSA), (2) pada 12 MSA perlakuan dosis 3,0 kg/ha
menghasilkan pertumbuhan tebu yang lebih baik dalam populasi dibandingkan
penyiangan mekanis, dan (3) herbisida ametrin dengan dosis 1,5 kg/ha hingga 3,0
kg/ha tidak meracuni tanaman tebu.
Kata kunci : ametrin, gulma, tebu.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……….. xiii
DAFTAR GAMBAR ... xix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 4
1.3 Landasan Teori ……… 5
1.4 Kerangka Pemikiran ... 7
1.5 Hipotesis ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu ... 10
2.2 Pengendalian Gulma Pada Pertanaman Tebu ... 11
2.3 Herbisida Ametrin ... 13
2.4 Fitotoksisitas ... 15
III. METODELOGI PERCOBAAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
3.2 Bahan dan Alat ... 16
3.3 Metode Penelitian... 16
3.4Pelaksanaan Penelitian ... 17
3.4.1 Pembuatan Petak ………... 17
3.4.2 Penanaman Tebu ………... 18
3.4.3 Aplikasi Herbisida ……….. 19
3.4.4 Penyiangan Mekanis ……….. 19
3.4.5 Pengambilan Sampel Gulma ……….. 19
3.5 Pengamatan ... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Bobot Kering Gulma Total ... 24
4.2 Bobot Kering Gulma Pergolongan ... 25
4.2.1 Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar ... 25
4.2.2 Bobot Kering Gulma Golongan Rumput ... 27
4.3.1 Bobot Kering Gulma Croton hirtus ... 29
4.3.2 Bobot Kering Gulma Richardia brasiliensis ... 30
4.3.3 Bobot Kering Gulma Brachiaria mutica ... 32
4.3.4 Bobot Kering Gulma Spigelia anthelmia ... 33
4.3.5 Bobot Kering Gulma Synedrella nodiflora ... 34
4.3.6 Bobot Kering Gulma Celosia argentea ... 36
4.4 Jenis dan Tingkat Dominansi Gulma ... 37
4.5 Perubahan Komunitas ... 41
4.6 Tinggi Tanaman ... 42
4.7 Persentase Perkecambahan ... 44
4.8 Populasi Tanaman ... 45
4.9 Fitotoksisitas Herbisida ... 46
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 47
5.2 Saran ... 47
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perlakuan herbisida ametrin ………... 17
2. Bobot kering gulma total (g/0,5 m2) ………... 24
3. Bobot kering gulma daun lebar (g/0,5 m2) ……….. 26
4. Bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5 m2) ……… 28
5. Bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5 m2) ………. 29
6. Bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5 m2) ...………. 31
7. Bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5 m2) …….………. 32
8. Bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5 m2) …….………. 33
9. Bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5 m2) …….…….. 35
10. Bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5 m2) ……..….…….. 37
11. Jenis dan tingkat dominansi gulma (%) pada 4 MSA …………... 39 12. Jenis dan tingkat dominansi gulma (%) pada 8 MSA …………... 40
13. Jenis dan tingkat dominansi gulma (%) pada 12 MSA …………... 41 14. Koefisien komunitas gulma akibat aplikasi herbisida ametrin …... 42
15. Tinggi tanaman tebu (cm) ……… 43
16. Persentase perkecambahan (%) ……… 44
18. Bobot kering gulma total (g/0,5 m2) pada 4 MSA ……….. 52
19. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulmatotal (g/0,5m2)pada
4MSA ……… 52
20. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 4 MSA ……… 52
21. Bobot kering gulma total (g/0,5 m2) pada 8 MSA ……… 53
22. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma total (g/0,5m2)
pada 8MSA ……….….... 53
23. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 8 MSA ………….…. 53
24. Bobot kering gulma total (g/0,5 m2) pada 12 MSA ………... 54
25. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 12 MSA ………... 54
26. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 4 MSA …... 54
27. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma golongan daun lebar
(g/0,5m2)pada 4MSA ……… 55
28. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar
pada 4 MSA ... 55
29. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 8 MSA …... 55
30. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5m2)
pada 8 MSA ………... 56
31. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar pada 8 MSA .. 56
32. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 12 MSA …… 56
33. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5m2)
pada 12 MSA ………... 57
34. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar pada 12 MSA .. 57
36. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5m2) pada 4 MSA ………... 58
37. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 4 MSA ... 58
38. Bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5 m2) pada 8 MSA …... 58
39. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5m2)
pada 8 MSA …..………... 59
40. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 8 MSA .... 59
41. Bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5 m2) pada 12 MSA …... 59
42. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5m2)
pada 12 MSA ………..………... 60
43. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 12 MSA .. 60
44. Bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5 m2) pada 4 MSA …………. 60
45. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5m2)
pada 4 MSA ……….………... 61
46. Analisis ragam bobot kering gulma Croton hirtus pada 4 MSA ... 61
47. Bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5 m2) pada 8 MSA …………. 61
48. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5m2)
pada 8 MSA ………... 62
49. Analisis ragam bobot kering gulma Croton hirtus pada 8 MSA ... 62
50. Bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5 m2) pada 12 MSA …….….. 62
51. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Croton hirtus (g/0,5m2)
pada 12 MSA …..………... 63
52. Analisis ragam bobot kering gulma Croton hirtus pada 12 MSA ... 63
54. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5m2) pada 4 MSA …...…….………... 64
55. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis
pada 4 MSA ………... 64
56. Bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5 m2) pada 8 MSA …. 64
57. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5m2)
pada 8 MSA …...………... 65
58. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis
pada 8 MSA ……….. 65
59. Bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5 m2) pada 12 MSA … 65
60. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma Richardia brasiliensis (g/0,5m2)
pada 12 MSA …...………... 66
61. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis pada 12 MSA..66
62. Bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5 m2) pada 4 MSA ……….. 66
63. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5m2)
pada 4 MSA ………... 67
64. Analisis ragam bobot kering gulma Brachiaria mutica pada 4 MSA ….... 67
65. Bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5 m2) pada 8 MSA ………… 67
66. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5m2)
pada 8 MSA ……..………... 68
67. Analisis ragam bobot kering gulma Brachiaria mutica pada 8 MSA ……. 68
68. Bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5 m2) pada 12 MSA ………. 68
69. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Brachiaria mutica (g/0,5m2)
pada 12 MSA ……..…..………... ... 69
70. Analisis ragam bobot kering gulma Brachiaria mutica pada 12 MSA …. 69
72. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5m2) pada 4 MSA ……..…..………... 70
73. Analisis ragam bobot kering gulma Spigelia anthelmia pada 4 MSA .... 70
74. Bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5 m2) pada 8 MSA …….. 70
75. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5m2)
pada 8 MSA …...…..………... 71
76. Analisis ragam bobot kering gulma Spigelia anthelmia pada 8 MSA ... 71
77. Bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5 m2) pada 12 MSA ……. 71
78. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma Spigelia anthelmia (g/0,5m2)
pada 12 MSA ……...………... 72
79. Analisis ragam bobot kering gulma Spigelia anthelmia pada 12 MSA ... 72
80. Bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5 m2) pada 4 MSA …….. 72
81. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5m2)
pada 4 MSA ……..…..………... 73
82. Analisis ragam bobot kering gulma Synedrella nodiflora pada 4 MSA …. 73
83. Bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5 m2) pada 8 MSA …...…. 73
84. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5m2)
pada 8 MSA ……...…..………... 74
85. Analisis ragam bobot kering gulma Synedrella nodiflora pada 8 MSA …. 74
86. Bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5 m2) pada 12 MSA ...…... 74
87. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Synedrella nodiflora (g/0,5m2)
pada 12 MSA …...…..………... 75
88. Analisis ragam bobot kering gulma Synedrella nodiflora pada 12 MSA ... 75
89. Bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5 m2) pada 8 MSA ……... 75
90. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5m2)
pada 8 MSA ……....…..………... 76
92. Bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5 m2) pada 12 MSA …….. 76
93. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Celosia argentea (g/0,5m2) pada 12 MSA ……....………... 77
94. Analisis ragam bobot kering gulma Celosia argentea pada 12 MSA ... 77
95. Persentase perkecambahan tebu (%) pada 2 MSA …….……….. 77
96. Analisis ragam persentase perkecambahan tebu (%) pada 2 MSA ……... 78
97. Persentase perkecambahan tebu (%) pada 4 MSA …..……….. 78
98. Analisis ragam persentase perkecambahan tebu (%) pada 4 MSA …...…. 78
99. Tinggi tanaman tebu (cm) pada 4 MSA …..……….………. 79
100. Transformasi √√√ (x+0,5) tinggi tanaman tebu (cm) pada 4 MSA ... 79
101. Analisis ragam tinggi tanaman tebu (cm) pada 4 MSA …………... 79
102. Tinggi tanaman tebu (cm) pada 8 MSA ……….……… 80
103. Analisis ragam tinggi tanaman tebu (cm) pada 8 MSA …………... 80
104. Tinggi tanaman tebu (cm) pada 12 MSA ……….……….. 80
105. Analisis ragam tinggi tanaman tebu (cm) pada 12 MSA …………... 81
106. Populasi tanaman tebu pada 4 MSA ……….………. 81
107. Analisis ragam populasi tanaman tebu pada 4 MSA …………..…... 81
108. Populasi tanaman tebu pada 8 MSA ………..………. 82
109. Analisis ragam populasi tanaman tebu pada 8 MSA …………..…... 82
110. Populasi tanaman tebu pada 12 MSA ………..………..……. 82
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Rumus bangun herbisida ametrin ………... 14
2. Tata letak percobaan ………... 18
3. Titik pengambilan sampel gulma ………... 20
4. Gulma Croton hirtus …………..……….. 30
5. Gulma Richardia brasiliensis ……….. 31
6. Gulma Brachiaria mutica ………. 32
7. Gulma Spigelia anthelmia ……… 34
8. Gulma Synedrella nodiflora ………. 36
9. Gulma Celosia argentea ………... 37
10. Perlakuan ametrin dosis 1,5 kg/ha pada 2 MSA ………... 83
11. Perlakuan ametrin dosis 2,0 kg/ha pada 2 MSA ………... 83
12. Perlakuan ametrin dosis 2,5 kg/ha pada 2 MSA ………... 84
13. Perlakuan ametrin dosis 3,0 kg/ha pada 2 MSA ………... 84
14. Perlakuan mekanis pada 2 MSA ………... 85
15. Perlakuan kontrol pada 2 MSA ………. 85
16. Perlakuan ametrin dosis 1,5 kg/ha pada 4 MSA ………... 86
17. Perlakuan ametrin dosis 2,0 kg/ha pada 4 MSA ………... 86
19. Perlakuan ametrin dosis 3,0 kg/ha pada 4 MSA ………... 87
20. Perlakuan mekanis pada 4 MSA ………... 88
21. Perlakuan kontrol pada 4 MSA ………. 88
22. Perlakuan ametrin dosis 1,5 kg/ha pada 8 MSA ………... 89
23. Perlakuan ametrin dosis 2,0 kg/ha pada 8 MSA ………... 89
24. Perlakuan ametrin dosis 2,5 kg/ha pada 8 MSA ………... 90
25. Perlakuan ametrin dosis 3,0 kg/ha pada 8 MSA ………... 90
26. Perlakuan mekanis pada 8 MSA ……… 91
27. Perlakuan kontrol pada 8 MSA ………. 91
28. Perlakuan ametrin dosis 1,5 kg/ha pada 12 MSA ………... 92
29. Perlakuan ametrin dosis 2,0 kg/ha pada 12 MSA ………... 92
30. Perlakuan ametrin dosis 2,5 kg/ha pada 12 MSA ………... 93
31. Perlakuan ametrin dosis 3,0 kg/ha pada 12 MSA ………... 93
32. Perlakuan mekanis pada 12 MSA ……… 94
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting
sebagai bahan pembuatan gula yang sudah menjadi kebutuhan industri dan rumah
tangga. Hal ini dikarenakan dalam batangnya terkandung 20% cairan gula (Royyani
dan Lestari, 2009). Produksi gula Indonesia tidak mengalami perkembangan yang
berarti semenjak tahun 1995 hingga tahun 2010. Hal ini dapat dilihat pada data yang
dirilis oleh Badan Pusat Statistik tahun 2012 yang menunjukkan bahwa produksi gula
tebu di Indonesia pada tahun 1995 sebesar 2,1 juta ton sedangkan produksi tahun
2010 hanya 2,3 juta ton. Hal ini menyebabkan pemerintah harus melakukan impor
gula sebesar 240.000 ton untuk mencukupi kebutuhan gula (BPS, 2012). Dalam
menyikapi masalah tersebut pemerintah melakukan berbagai upaya guna menekan
impor gula di Indonesia.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi gula
dalam negeri adalah upaya ekstensifikasi dan intensifikasi. Upaya ekstensifikasi yang
dilakukan pemerintah adalah melakukan perluasan areal pertanaman tebu yang pada
2
429.000 ha (BPS, 2012). Akan tetapi upaya pemerintah untuk meningkatkan
produktivitas gula menghadapi berbagai macam kendala.
Salah satu kendala yang dihadapi adalah permasalahan budidaya. Dalam budidaya
tebu masalah utama yang dihadapi adalah tingkat kompetisi tanaman dengan gulma.
Gulma merupakan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang tidak akan pernah
hilang dari pandangan petani, penyuluh, peneliti, dan pengambil kebijakan karena
keberadaannya lebih banyak merugikan daripada memberikan keuntungan. Oleh
sebab itu, manusia selalu berusaha mengelolanya.
Pengelolaan gulma sudah lama dikenal oleh petani seiring dengan dimulainya
bercocok tanam (Klingman dan Ashton, 1975 dalam Lamid, 1996). Kerugian
terhadap tanaman budidaya bervariasi, tergantung dari jenis tanaman budidaya ,
iklim, jenis gulma, dan tentu saja praktek pertanian (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).
Menurut Moenandir (1990), penurunan hasil pertanian yang disebabkan oleh gulma
dapat mencapai 20 — 80% bila gulma tidak dikendalikan.
Menurut Kuntohartono dalam Alfredo (2012), kerugian yang ditimbulkan oleh
keberadaan gulma pada pertanaman tebu yaitu dapat menurunkan bobot tebu berkisar
6-9% dan penurunan rendemen sebesar 0,09 %. Keberadaan gulma pada tanaman
tebu dapat menurunkan produksi sebesar 15 – 53,7%. Menurut Kropff dalam
Sembodo dkk. (1996), agar tanaman tebu tumbuh dengan baik, tebu memerlukan
3
itu, diperlukan upaya pengendalian gulma guna menekan tingkat kompetisi antara
gulma dan tanaman.
Salah satu cara pengendalian gulma yang dilakukan adalah secara kimiawi dengan
menggunakan herbisida. Herbisida adalah senyawa kimia peracun gulma (Triharso,
1994) atau menurut Moenandir (1993), herbisida adalah bahan kimia yang dapat
mengendalikan pertumbuhan gulma sementara atau seterusnya bila diperlukan pada
ukuran yang tepat. Salah satu herbisida yang digunakan pada pertanaman tebu adalah
ametrin.
Ametrin merupakan herbisida selektif untuk mengendalikan gulma pada tanaman
nanas, tebu, pisang, jeruk, singkong, kopi, teh, kakao, kelapa sawit, dan bukan lahan
pertanian(Tomlin, 2009). Ametrin telah lama digunakan pada pertanaman tebu
dikarenakan herbisida ini memiliki fitotoksisitas yang rendah. Ametrin merupakan
herbisida yang sistemik dan selektif. Herbisida ini diabsorbsi oleh akar dan daun yang
ditranslokasikan secara akropetal di dalam xilem serta terakumulasi dalam meristem
pucuk (Tomlin, 2009). Herbisida ametrin telah lama digunakan pada pertanaman
tebu.
Walaupun ametrin telah lama digunakan pada budidaya tebu, pembuatan formulasi
baru masih terus dilakukan oleh formulator pestisida. Sebelum herbisida dengan
formulasi baru ini layak dipasarkan maka perlu dilakukan pengujian. Oleh karena itu,
herbisida ametrin ini perlu diuji kembali. Sifat kimia herbisida tidak hanya
4
menentukan pula tingkat keracunan (toksisitas) pada organisme nontarget misalnya
tanamannya, daya tahan herbisida untuk tetap dalam keadaan aktif dalam tanah atau
tumbuhan (persistensi), serta tingkah laku dan nasib herbisida di lingkungan
(Sembodo, 2010).
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan pertanyaan untuk menjawab
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana daya kendali herbisida ametrin terhadap pertumbuhan gulma pada
budidaya tebu lahan kering?
2. Bagaimana pengaruh herbisida ametrin terhadap pertumbuhan tanaman tebu?
3. Bagaimana tingkat toksisitas herbisida ametrin terhadap tanaman tebu?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah disusun tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Mengetahui daya kendali herbisida ametrin terhadap pertumbuhan gulma pada
budidaya tebu lahan kering.
2. Mengetahui pengaruh herbisida ametrin terhadap pertumbuhan tanaman tebu.
5
1.3 Landasan Teori
Dalam rangka menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah
dikemukakan, penulis menggunakan landasan teoritis sebagai berikut :
Di dalam pertumbuhan atau perkecambahan biji gulma, ada faktor seperti dormansi
serta beberapa faktor penting untuk perkecambahan yaitu air, gas (CO2 dan O2), suhu,
dan cahaya (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Perkecambahan didefinisikan sebagai awal
dari pertumbuhan suatu biji atau organ perbanyakan vegetatif. Bagi kebanyakan biji
tanaman pangan tahapan proses perkecambahan bermula segera setelah tanam dan
berlanjut hingga kecambah muda muncul di permukaan tanah. Namun keadaan ini
sangat berbeda pada biji-biji dan organ perbanyakan vegetatif gulma karena pada
gulma biji-biji dan bagian vegetatif ini mempunyai periode istirahat yang lebih
dikenal sebagai dormansi (Sastroutomo, 1990).
Untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, gulma pada hakikatnya juga
membutuhkan nutrisi dalam jumlah banyak. Persaingan untuk nutrisi, antar tanaman
dan gulma tergantung pada kadar nutrisi yang terkandung dalam tanah dan tersedia
bagi keduanya, dan tergantung pula pada kemampuan tanaman dan gulma menarik
masuk ion-ion tersebut (Moenandir, 1993).
Gulma sering dikonotasikan ke dalam kompetisi atau campur tangannya terhadap
aktivitas manusia/pertanian. Dalam pertanian gulma tidak dikehendaki karena: a)
6
matahari, dan ruang hidup; (b) menurunkan mutu hasil akibat kontaminasi dengan
bagian-bagian gulma; (c) mengeluarkan senyawa allelopati yang dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman; (d) menjadi inang bagi hama dan patogen yang menyerang
tanaman; (e) mengganggu tata guna air; dan (f) secara umum meningkatkan biaya
usaha tani (Sukman dan Yakup, 2002).
Menurut Sembodo (2010), ada enam metode pengendalian gulma yaitu (1) preventif
atau pencegahan; (2) mekanik/fisik; (3) kultur teknik/ekologik; (4) hayati; (5) kimia;
dan (6) terpadu. Pada budidaya tanaman tebu yang biasanya dilakukan pada lahan
yang luas. Metode yang paling banyak digunakan adalah metode kimiawi dengan
menggunakan herbisida. Menurut Barus (2007), metode ini dianggap lebih praktis
dan menguntungkan dibandingkan dengan metode yang lain, terutama jika ditinjau
dari segi kebutuhan tenaga kerja yang lebih sedikit dan waktu pelaksanaan yang
relatif singkat.
Pengendalian gulma yang dilakukan sejak dini akan menunjang pertumbuhan dan
produksi tebu secara optimal. Salah satu cara pengendalian gulma tersebut adalah
dengan menggunakan herbisida pratumbuh (Sembodo dkk.,1996). Herbisida
pratumbuh dilakukan pada permukaan tanah atau air sebelum gulma tumbuh. Kondisi
tanaman bisa belum ditanam, sudah ditanam, belum tumbuh, atau sudah tumbuh.
Herbisida yang digunakan dikenal juga sebagai herbisida residual. Herbisida yang
diaplikasikan akan membentuk lapisan tipis pada permukaan tanah. Akar atau tajuk
7
saat menembus lapisan herbisida dan akan teracuni. Pada budidaya tanaman tebu
contoh penggunaan herbisida pratumbuh adalah ametrin, diuron, 2,4-D amina,
imazapik, dan metribuzin (Sembodo, 2010).
Ametrin adalah bahan aktif yang termasuk dalam kelompok triazin. Herbisida ini
diaplikasikan secara pra dan pasca tumbuh. Cara kerja herbisida ini menghambat
fotosintesis terutama dalam fotosistem II pada saat pecahnya air (Tjitrosoedirdjo et
al., 1984). Menurut Ashton dan Craft (1982) dalam Agustanti (2006), gulma yang dapat dikendalikan oleh herbisida ametrin antara lain : Borreria alata, Cleome
ruditospermae, Ipomea triloba, dan Digitaria ciliaris.
1.4 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, maka disusunlah kerangka
pemikiran untuk memberikan penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah.
Gulma adalah tumbuhan yang merugikan manusia. Hal ini dikarenakan tumbuhan ini
tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki. Gulma mempunyai beberapa ciri yang
khas yaitu pertumbuhannya cepat, daya saing tinggi, toleransi tinggi terhadap suasana
lingkungan yang ekstrim, mempunyai daya berkembang biak secara vegetatif atau
generatif maupun keduanya, dan bijinya mempunyai sifat dormansi yang
memungkinkan untuk bertahan hidup yang lama dalam kondisi yang tidak
8
Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma dapat berupa penurunan produksi dan kualitas
produk akibat kompetisi tanaman dalam mendapatkan ruang, air, hara, cahaya, dan
CO2. Persaingan antara tanaman dengan gulma menyebabkan penurunan produksi
yang cukup besar. Selain itu gulma juga dapat meningkatkan biaya produksi dan
menurunkan efisiensi penggunaan lahan, serta menjadi inang hama dan penyakit.
Untuk itu perlu adanya pengendalian gulma pada pertanaman tebu.
Pengendalian gulma adalah upaya yang dilakukan untuk menekan pertumbuhan
gulma tetapi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya. Awal pertumbuhan
tebu merupakan periode kritis terhadap kompetisi dengan gulma, karena pada saat itu
tanaman tebu sangat membutuhkan unsur hara, air, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh
yang cukup untuk proses perkecambahan dan pembentukan anakan (tunas). Pada
periode kritis ini tebu harus bebas dari gulma, sehingga dengan adanya penekanan
pertumbuhan gulma dapat menurunkan tingkat kompetisi antara gulma dan tanaman.
Metode pengendalian yang cukup efektif pada pertanaman tebu yang luas yaitu
pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Pengendalian secara
kimiawi banyak digunakan dikarenakan pengendalian ini efisien dalam tenaga kerja,
waktu, dan biaya. Untuk mencegah adanya gulma hingga tanaman tebu melewati
masa kritis selama tiga bulan maka digunakan herbisida pratumbuh.
Herbisida pratumbuh pada budidaya tebu diberikan pada saat tanaman tebu belum
berkecambah. Herbisida ini diaplikasikan melalui tanah. Salah satu bahan aktif
9
ametrin masuk kedalam jaringan tumbuhan diserap bersamaan dengan unsur hara
melalui akar yang kemudian terangkut melalui pembuluh xilem. Herbisida ametrin
diabsorbsi oleh akar dan ditranslokasikan ke daun. Ametrin berperan sebagai
penghambat transfer elektron pada fotosistem II sehingga aliran energi terhambat dan
terjadi penumpukan elektron berenergi tinggi yang membentuk radikal bebas. Hal ini
menyebabkan kerusakan kloroplas yang menimbulkan gejala klorosis dan nekrosis
daun. Aplikasi herbisida ametrin pada masa awal pertumbuhan tanaman tebu tidak
menyebabkan terjadinya fitotoksisitas terhadap tanaman tebu. Herbisida ametrin
tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman tebu sehingga herbisida ametrin dapat
dijadikan alat pengendali gulma pada masa awal pertumbuhan tanaman tebu.
1.5 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang dikemukakan maka hipotesis dalam penelitian
ini adalah :
1. Herbisida ametrin mampu mengendalikan pertumbuhan gulma pada budidaya tebu
lahan kering.
2. Herbisida ametrin tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman tebu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tebu
Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula.
Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk
jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai dapat dipanen mencapai
kurang lebih satu tahun. Klasifikasi tanaman tebu adalah :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum L. (Tarigan dan Sinulingga, 2006).
Tebu mempunyai akar serabut yang panjangnya dapat mencapai satu meter. Sewaktu
tanaman masih muda atau berupa bibit, ada dua macam akar yaitu akar setek dan akar
tunas. Akar setek/bibit tumbuh dari setek batangnya. Akar ini tidak berumur panjang
11
Akar ini berumur panjang dan tetap ada selama tanaman masih tumbuh (Tim Penulis
Penebar Swadaya, 2000).
Dalam masa pertumbuhannya tanaman tebu membutuhkan banyak air, sedangkan
ketika tebu akan menghadapi waktu masak menghendaki keadaan kering sehingga
pertumbuhannya terhenti. Apabila hujan turun terus menerus akan menyebabkan
tanaman tebu rendah rendemennya. Jadi jelas bahwa tebu selain memerlukan daerah
yang beriklim panas, juga diperlukan adanya perbedaan yang nyata antara musim
hujan dan musim kemarau (Notojoewono (1967) dalam Haryanti, 2008).
2.2 Pengendalian Gulma pada Pertanaman Tebu
Pengendalian gulma (weed control) dapat didefinisikan sebagai proses membatasi
gulma sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan
efisien. Pengendalian gulma pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengubah
keseimbangan ekologis yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma, tetapi
tidak berpengaruh negatif terhadap tanaman budidaya (Sukman dan Yakup, 2002).
Pada budidaya tebu, herbisida yang banyak digunakan adalah herbisida pratumbuh.
Penyemprotan herbisida pratumbuh adalah proses aplikasi yang dilakukan sebelum
gulma, tanaman, atau keduanya tumbuh. Penyemprotan dilakukan dengan harapan
tebu yang masih kecil dapat berkembang dengan maksimal tanpa adanya gangguan
gulma (Indarto dkk., 2003). Fase kritis tanaman tebu berlangsung sekitar 3 bulan
12
matahari menjadi terhalang untuk sampai ke permukaan tanah dan membuat gulma
menjadi tertekan pertumbuhannya (Indarto dkk., 2003). Pengaplikasian herbisida
secara pratumbuh menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan produksi tebu.
Menurut Soediatso dalam Agustanti (2006), pada areal pertanaman tebu lahan kering
terdapat beberapa gulma dominan diantaranya gulma golongan daun lebar : Borreria
alata, Centrosema pubescens, Ageratum conyzoides, Phyllanthus amarus,
Stachytarpeta indica, dan Hyptis brevipes. Gulma golongan rumput yaitu : Digitaria sanguinalis, Echinochloa crusgalli, Paspalum conjugatum, dan Axonopus
compressus sedangkan dari golongan teki : Cyperus rotundus dan Cyperus iria. Selain itu menurut Indarto dan Sembodo (2002), gulma yang menjadi masalah utama
pada perkebunan tebu antara lain : Borreria alata, Mikania micrantha, Mimosa
invisa, Dactyloctenium aegyptium, Panicum repens, dan Cyperus rotundus. Sedangkan menurut penelitian Wijaya, et al., (2012), Dactyloctenium aegyptium,
Boreria alata, Cynodon dactylon dan Cleome rutidospermae merupakan beberapa gulma yang menjadi masalah utama di perkebunan tebu di Lampung.
Barus (2003) menyatakan bahwa berdasarkan pengaruhnya terhadap tanaman
perkebunan, gulma dibedakan menjadi gulma kelas A, B, C, D, dan E. gulma yang
digolongkan ke dalam kelas A adalah jenis-jenis gulma yang sangat berbahaya bagi
tanaman perkebunan sehingga harus diberantas secara tuntas. Gulma kelas B adalah
jenis-jenis gulma yang merugikan tanaman perkebunan sehingga perlu dilakukan
13
yang merugikan tanaman perkebunan dan memerlukan tindakan pengendalian, namun
tindakan pengendalian tersebut tergantung pada keadaan. Gulma kelas D adalah
jenis-jenis gulma yang kurang merugikan tanaman perkebunan. Gulma kelas E adalah
jenis-jenis gulma yang pada umumnya bermanfaat bagi tanaman perkebunan karena
dapat berfungsi sebagai pupuk hijau.
Menurut Komisi Pestisida (2011), herbisida yang digunakan pada budidaya tebu
adalah 2,4-D, ametrin, parakuat, metribuzin, amonium glufosinat, diuron,
sulfentrazon, monoamonium glifosat, klomazon, oksifluorfen, dan imazapik.
2.3 Herbisida Ametrin
Ametrin merupakan herbisida golongan methiltio -s - triazine yang termasuk
anggota kelompok herbisida triazin. Herbisida ini diaplikasikan sebagai herbisida
pratumbuh maupun pascatumbuh. Absorbsi terjadi lewat akar dan daun yang
ditranslokasikan secara akropetal di dalam xilem serta terakumulasi dalam meristem
pucuk. Herbisida ini aktif di dalam tanah selama 11 – 110 hari. Bakteri mampu
mendegradasi herbisida ini (Tomlin, 2009). Di dalam tubuh tumbuhan herbisida
ametrin ini mengalami degradasi yang terkadang sangat intensif sehingga tanaman
resisten terhadap herbisida ini (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Herbisida golongan
triasin tidak mudah menguap (volatile) dan tidak terdekomposisi oleh cahaya
14
N N N
CH3S NHCH2CH3
NHCH(CH3)2
Menurut Agustanti (2006), herbisida ametrin mematikan tumbuhan dengan
menghambat proses fotosintesis yaitu pada reaksi Hill. Menurut Ashton dan Craft
(1973) dalam Agustanti (2006), akibat dari gangguan reaksi Hill tersebut, tumbuhan
tidak membentuk karbohidrat sehingga terjadi kekurangan persenyawaan gula untuk
proses metabolisme selanjutnya. Menurut Sembodo (2010), pola kerja herbisida
ametrin dari golongan triazin adalah menghambat proses fotosintesis dengan cara
mengikat elektron pada fotosistem II dalam skema Z sehingga pembentukan ATP dan
NADPH2 terganggu. Rumus bangun ametrin tertera pada gambar 1 dengan rumus
molekul
Gambar 1. Rumus Bangun Herbisida Ametrin (Tomlin, 2009).
Menurut Tomlin (2009), ametrin bersifat selektif dan sistemik dan digunakan untuk
mengendalikan gulma rerumputan dan daun lebar seperti pada pertanaman tebu
dengan dosis 2-4 kg/ha. Selain itu menurut Komisi Pestisida (2011), ametrin mampu
mengendalikan gulma golongan daun lebar: Ageratum conyzoides, Borreria alata,
Cleome rutidosperma, Synedrella nodiflora. Gulma golongan rumput: Paspalum
15
rotundus. Sedangkan menurut penelitian Alfredo (2013), ametrin dengan dosis 1 kg/ha mampu menekan pertumbuhan gulma golongan daun lebar: Croton hirtus,
Ipomoea triloba, Mimosa invisa, dan Richardia brasiliensis pada pertanaman tebu hingga 12 minggu setelah aplikasi (MSA). Namun tidak mampu menekan
pertumbuhan gulma Brachiaria mutica.
2.4 Fitotoksisitas
Fitotoksisitas adalah tingkat keracunan tanaman pokok yang disebabkan oleh aplikasi
herbisida. Menurut Djojosumarto (2008) ametrin merupakan herbisida yang sangat
selektif bagi tanaman tebu sehingga tidak meracuni tanaman tebu. Hal ini sejalan
dengan penelitian Fitra (2001) dimana herbisida ini tidak berpengaruh terhadap
fitotoksisitas tanaman, persentase perkecambahan, populasi tanaman, dan tinggi
III. METODELOGI PERCOBAAN
3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung
Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Universitas Lampung. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Oktober 2012 sampai Januari 2013.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu tebu varietas RGM 97-10120, pupuk NPK Phonska,
Urea, dan herbisida Ametrex 500 SC (bahan aktif ametrin).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain knapsack sprayer, nozzle
merah, pipet tetes, gelas ukur, kertas label, ember, kored, cangkul, kuadran,
timbangan, dan oven.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri
dari enam perlakuan dengan empat ulangan. Masing-masing perlakuan tertera dalam
17
Tabel 1. Perlakuan herbisida ametrin.
No Perlakuan Dosis Formulasi
l/ha
Dosis Bahan Aktif kg/ha
1 Ametrin 3 1,5
2 Ametrin 4 2,0
3 Ametrin 5 2,5
4 Ametrin 6 3,0
5 Penyiangan mekanis - -
6 Kontrol - -
Herbisida yang diuji adalah herbisida ametrin dan sebagai pembanding yang
digunakan untuk melihat pengaruh herbisida terhadap tanaman tebu adalah
pengendalian gulma secara mekanis. Untuk menilai pengaruh penggunaan herbisida
terhadap pertumbuhan gulma digunakan perlakuan kontrol. Homogenitas ragam diuji
dengan uji Bartlett, aditivitas data diuji dengan uji Tukey, dan jika asumsi terpenuhi
maka data akan dianalisis dengan sidik ragam serta uji perbedaan nilai tengah
perlakuan akan diuji dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pembuatan petak
Lahan penelitian disiapkan dengan pembajakan dan penggaruan sehingga tanah
menjadi gembur. Petak percobaan dibuat sebanyak 24 petak yang dibagi dalam 4 blok
18
U
baris tanaman tebu dengan ukuran petak 10 m x 5 m. Jarak antar satuan petak 0,5 m.
Tata letak percobaan terdapat pada gambar 2.
U1 U2 U3 U4
Gambar 2. Tata letak percobaan.
3.4.2 Penanaman Tebu
Penanaman dilakukan dengan cara membuat alur (kairan) dan tebu ditanam di alur
menggunakan bahan tanam setek dua mata tunas dengan kepadatan 10 mata tunas per
meter. Penanaman dilakukan menggunakan sistem single row dengan jarak antar
baris 1 meter.
P1 P2 P6 P5 P4 P3
P3 P5 P6
P1 P2 P6 P4 P3 P6
P5 P1
19
3.4.3 Aplikasi herbisida
Aplikasi herbisida dilakukan dengan menggunakan knapsack sprayer setelah
pengolahan lahan dan pada saat dua hari setelah setek tebu ditanam. Sebelum
dilakukan aplikasi knapsack sprayer dikalibrasi dengan metode luas untuk
mendapatkan volume semprot. Metode luas dilakukan dengan menghitung jumlah air
yang digunakan untuk menyemprot satu petak percobaan yaitu dengan menghitung
jumlah air pada tangki sebelum aplikasi kemudian dikurangi dengan sisa air setelah
aplikasi. Volume semprot yang dihasilkan sebesar 400 l/ha. Penyemprotan herbisida
dilakukan pada pagi hari dengan mempertahankan nosel pada ketinggian 40-50 cm di
atas permukaan tanah sehingga menghasilkan lebar bidang semprot 2 m. Aplikasi
dilakukan sepanjang juring tanaman.
3.4.4 Penyiangan mekanis
Penyiangan mekanis (perlakuan 5) dilakukan dengan membersihkan gulma pada
petak percobaan dengan cangkul dan kored. Penyiangan mekanis dilakukan pada saat
4 dan 8 minggu setelah aplikasi (MSA).
3.4.5 Pengambilan sampel gulma
Pengambilan sampel gulma dilakukan sebanyak 3 kali pada 4, 8, dan 12 MSA. Gulma
diambil dengan menggunakan kuadran berukuran 50 cm x 50 cm pada titik
20
2
1
3
3
2 1 5
m
10 m
U
Gambar 3. Titik pengambilan sampel gulma.
Keterangan :
1 : titik pengambilan sampel gulma pada 4 MSA
2 : titik pengambilan sampel gulma pada 8 MSA
3 : titik pengambilan sampel gulma pada 12 MSA
: barisan tanaman tebu
3.5 Pengamatan
Variabel pengamatan yang diamati pada penelitian ini meliputi bobot kering gulma,
fitotoksisitas, persentase perkecambahan, populasi dan tinggi tanaman.
3.5.1 Bobot Kering Gulma
Gulma pada petak contoh yang masih segar dipotong tepat pada permukaan tanah
kemudian dipilah-pilah menurut spesiesnya kemudian dioven dengan suhu 80 0
selama 48 jam dan ditimbang bobot kering gulma. Data bobot kering gulma ini
21
dominansi mutlak suatu spesies
dominansi mutlak semua spesies x 100%
Frekuensi mutlak suatu spesies
Frekuensi mutlak semua spesies x 100% gulma tiap golongan, dan gulma dominan. Selain itu, data bobot kering gulma
tersebut digunakan untuk menghitung SDR dengan rumus :
Dominansi Nisbi (DN) :
Frekuensi Nisbi (FN) :
Nilai Penting (NP) : DN + FN
SDR : NP/2
Keterangan :
Dominansi Mutlak : bobot kering gulma tertentu
Frekuensi Mutlak : jumlah petak contoh yang terdapat gulma tertentu
Nilai SDR yang didapatkan akan digunakan untuk menghitung nilai koefisien
komunitas (C) dengan rumus:
C = (2W)/(a+b) x 100 %
Keterangan :
C = koefisien komunitas
W = jumlah komunitas dari dua nilai terendah yang dibandingkan untuk
masing-masing komunitas
a = jumlah dari seluruh nilai SDR pada komunitas I
b = jumlah dari seluruh nilai SDR pada komunitas II (kontrol)
Jika nilai C lebih dari 75% maka dua komunitas yang dibandingkan dianggap
22
komunitas terjadi pada lahan penelitian diketahui dengan membandingkan tiap petak
percobaan yang diaplikasi herbisida dengan petak kontrol.
3.5.2 Populasi Tanaman
Pengamatan populasi tanaman diamati pada 2, 4, 6, 8, dan 12 MSA. Pengamatan
populasi tanaman dilakukan dengan menghitung jumlah tanaman yang terdapat pada
3 baris tengah tanaman dari 5 baris tanaman pada setiap petak percobaan.
3.5.3 Tinggi Tanaman
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada 4, 8, dan 12 MSA dengan cara mengukur
tinggi tanaman dari permukaan tanah hingga daun terpanjang. Sampel tanaman
adalah yang terletak pada tiga barisan tengah tanaman sebanyak 10 tanaman per
satuan petak percobaan.
3.5.4 Fitotoksisitas Herbisida
Daya racun herbisida terhadap tanaman diamati secara visual pada 4,8, dan 12 MSA
dan ditentukan penilaian sebagai berikut :
0 : tidak ada keracunan ; 0 – 5% bentuk dan atau warna daun tidak normal
1 : keracunan ringan ; > 5 – 10% bentuk dan atau warna daun tidak normal
2 : keracunan sedang ; > 10 – 50 % bentuk dan atau warna daun tidak normal
3 : keracunan berat ; > 50 – 75% bentuk dan atau warna daun tidak normal
23
Pengujian daya racun herbisida terhadap tanaman tebu dengan membandingkan
keadaan tanaman tebu pada petak yang diuji dan penyiangan secara mekanis
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
(1) Herbisida ametrin dosis 2,5 kg/ha mampu menekan pertumbuhan gulma total
dan daun lebar pada pertanaman tebu hingga 12 minggu setelah aplikasi
(MSA).
(2) Pada 12 MSA perlakuan dosis 3,0 kg/ha menghasilkan pertumbuhan tebu
yang lebih baik dalam populasi dibandingkan penyiangan mekanis.
(3) Herbisida ametrin dengan dosis 1,5 kg/ha hingga 3,0 kg/ha tidak meracuni
tanaman tebu.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan kombinasi bahan aktif
misalnya diuron pada pertanaman tebu. Hal ini dikarenakan diuron merupakan
herbisida yang mampu mengendalikan gulma daun lebar dan rumput sehingga
PUSTAKA ACUAN
Agustanti, V. M. F. 2006. Studi Keefektifan Herbisida Diuron dan Ametrin Untuk Mengendalikan Gulma Pada Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum, L) Lahan Kering. Skripsi. IPB. Bogor.
Alfredo, N., N. Sriyani, dan D.R.J. Sembodo. 2012. Efikasi Herbisida Pratumbuh Metil Metsulfuron Tunggal dan Kombinasinya dengan 2,4-D, Ametrin, dan Diuron Terhadap Gulma Pada Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering. Jurnal Agrotropika. 17(1): 29-34.
Apriani, E. 2011. Efikasi Herbisida Ametrin terhadap Gulma Umum pada Budidaya Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.). SKRIPSI. UNILA.
LAMPUNG.
BPS. 2012. Produksi Gula di Indonesia. http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 9 September 2012.
Barus, E. 2003. Pengendalian Gulma Di Perkebunan : Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta. 103 hal.
---. 2007. Pengendalian Gulma Di Perkebunan : Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta. 105 hal.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. 340 hal.
Fitra, G. 2001. Efikasi Herbisida Ametrin, Ametrin + Dikamba Amina, dan Ametrin+2,4 D Amina terhadap Gulma pada Pertumbuhan Awal Tanaman Tebu (Saccharum officinarum, L). SKRIPSI. UNILA. LAMPUNG.
49
Haryanti, V. 2008. Analisa Sistem Pemanenan Tebu (Saccharum offcinarum, L.) yang Optimal di PG Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Indarto dan D.R.J, Sembodo. 2002. Aplikasi herbisida patumbuh pada tiga varietas tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Agrotropika. 7(1): 4-9.
Indarto, D.R.J, Sembodo, dan D. Mawardi. 2003. Aplikasi metribuzin (sencor 480 SC) sebagai herbisida pratumbuh pada pertanaman tebu lahan kering. Prosiding Simposium Nasional dan Kongres PERAGI VII. Hal. 297-301. Komisi Pestisida. 2011. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Departemen
Pertanian. Jakarta. 879 hal.
Lamid, Z. 1996. Perkembangan Pengelolaan Gulma Dewasa Ini Di Indonesia. Prosiding II Konferensi HIGI XIII dan Seminar Ilmiah HIGI. Bandar Lampung 5-7 November. Hal 337-346.
Manan,A. 2011. Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia, dan Kombinasi Pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51169/F11ama_B AB%20I%20Pendahuluan.pdf?sequence=5. Diakses pada tanggal 9 September 2012.
Moenandir, J. 1988. Ilmu Gulma dalam Sistem Pertanian. Jakarta. Rajawali Press. 159 hal.
---. 1990. Fisiologi Herbisida. Jakarta. Rajawali Press. 139 hal.
---. 1993. Persaingan Gulma dengan Tanaman Budidaya. Jakarta. Rajawali Press. 102 hal.
Puspitasari, K., H.T. Sebayang, dan B. Guritno. 2013. Pengaruh Aplikasi Herbisida Ametrin dan 2,4 D dalam Mengendalikan Gulma Tanaman Tebu
(Saccharum officinarum L.). Jurnal Produksi Tanaman. 1(2):72-80.
Rasobayo, R.P. 2010. Daya Kendali Piroksasulfon dan Kombinasinya dengan Atrasin Secara Pratumbuh terhadap Gulma pada Budidaya Tanaman Tebu (Saccharum officinarum, L). Skripsi. UNILA. Lampung. Royyani, M.F dan Lestari V.B. 2009. Peran Indonesia dalam Penciptaan
50
Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 217 hal.
Sembodo, D.R.J. 1999. Kinerja Herbisida Imazapik (Cadre 240 AS) untuk
Mengendalikan Gulma Tebu Lahan Kering. Prosiding II Konferensi HIGI XIV, Medan 20-22 Juli. Hal 331-333.
---. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta. 168 hal.
Sembodo, D.R.J, H. Susanto, A.T. Lubis, M.Utomo, H.Suprapto, dan R. Subiantoro 1996. Uji Efikasi Herbisida Klomazon dan Sulfentrazon pada Tanaman Tebu Lahan Kering. Prosiding II Konferensi HIGI XIII dan Seminar Ilmiah HIGI. Bandar Lampung 5-7 November. Hal 557-568.
Sukman, Y. dan Yakup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 128 hal.
Sukma, M. 2011. Pengaruh Herbisida pada Gulma dan Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Tebu (Saccharum officinarum, L) Var. PS 951.
http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/30656/5/pengaruh-herbisida-pada-gulma-dan-pertumbuhan-vegetatif-tanaman-tebu-(ringkasan).pdf. Diakses pada tanggal 15 September 2012.
Sriyani, N. 2012. Mekanisme Kerja Herbisida. Bahan Mata Kuliah Herbisida Lingkungan. Fakultas Pertanian- Universitas Lampung. 27 hal.
Suryaningsih, M.Joni, dan A.A.K. Darmadi. 2011. Inventarisasi Gulma Pada Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Lahan Sawah Kelurahan Padang Galak, Denpasar Timur, Kodya Denpasar, Provinsi Bali. Jurnal Simbiosis. 1 (1): 1-8.
Tarigan, B. Y. dan J. N. Sinulingga, 2006. Laporan Praktek Kerja Lapangan di Pabrik Gula Sei Semayang PTPN II Sumatera Utara. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tim Penulis Penebar Swadaya, 2000. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmodjo ( Eds). 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Kerjasama Biotrop Bogor – PT. Gramedia. Jakarta. 225 hal.
51
Triharso, 1994. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta. 362 hal.