• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Lanjutan Fitotoksisitas dan Efikasi Herbisida Aminosiklopiraklor pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Belum Menghasilkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Lanjutan Fitotoksisitas dan Efikasi Herbisida Aminosiklopiraklor pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Belum Menghasilkan"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

PHYTOTOXICITY ADVANCED TEST AND HERBICIDE EFFICACY OF AMINOCYCLOPYRACHLOR IN IMMATURE OIL PALM

(Elaeis guineensis Jacq.)

By

ANISSA INDRA WATI

This research was tested to determine aminocyclopyrachlor herbicide poisoning

symptoms, the severity of toxicity of aminocyclopyrachlor herbicide in immature

oil palm as affected by different doses of herbicide, the effect of

aminocyclopyrachlor herbicides on the plant growth, and the effectiveness of

aminocyclopyrachlor herbicide in controlling weeds in immature oil palm.

The research was conducted from October 2013 – January 2014 in Rajabasa

Village, Bandar Lampung and Plant Science Laboratory, Faculty of Agriculture,

University of Lampung. The research was arranged in Randomized Completely

Block Design with 9 treatments and 4 replications. The treatments: 7,5; 15; 30;

60 g ha-1 aminocyclopyrachlor, 729 g ha-1 glyphosate, 115,2 + 64,8 g ha-1

aminopyralid + trichlopyr, 1297 g ha-1 2,4-D, mechanical control, and control.

(2)

Anissa Indra Wati

Tukey's test, and differences in the value being tested with Least Significant

Difference test at 5% level.

The results: (1) aminocyclopyrachlor 15 – 60 g ha-1 cause poisoning symptom on

immature oil palm from 2 – 10 Weeks After Application; (2) aminocyclopyrachlor

60 g ha-1 cause the highest level of toxicity compared to aminocyclopyrachlor 7,5

– 30 g ha-1, but is equivalent with three others comparator herbicides;

(3) aminocyclopyrachlor and three others comparator herbicides cause poisoning

symptom in leaf midrib, decrease the levels of green leaf midrib but not suppress

the addition of plant height; (4) aminocyclopyrachlor 15 – 60 g ha-1 suppress the

leaf midrib length equivalent to aminopiralid + trichlopyr 115,2 + 64,8 g ha-1, and

2,4-D 1297 g ha-1. Aminocyclopyrachlor 60 g ha-1 inhibit root growth of plant;

(5) aminocyclopyrachlor herbicide cannot suppress the total dry weight of weeds,

but aminocyclopyrachlor 30 and 60 g ha-1 suppress the percentage of the total

weeds cover at 4, 8, and 10 WAA. Aminocyclopyrachlor 60 g ha-1 controls the

Asystasia gangetica at 2, 4, and 8 WAA.

(3)

ABSTRAK

UJI LANJUTAN FITOTOKSISITAS DAN EFIKASI HERBISIDA AMINOSIKLOPIRAKLOR PADA KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) BELUM MENGHASILKAN

Oleh

ANISSA INDRA WATI

Penelitian dilakukan untuk mengetahui gejala keracunan herbisida

aminosiklopiraklor, tingkat keparahan keracunan herbisida aminosiklopiraklor

pada beberapa taraf dosis herbisida, pengaruh herbisida aminosiklopiraklor

terhadap pertumbuhan tanaman, dan efektivitas herbisida aminosiklopiraklor

dalam mengendalikan gulma pada piringan kelapa sawit.

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Rajabasa, Bandar Lampung dan

Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan

Oktober 2013 – Januari 2014. Penelitian disusun dalam Rancangan Kelompok

Teracak Sempurna dengan 9 perlakuan dan 4 ulangan. Susunan perlakuan:

aminosiklopiraklor 7,5; 15; 30; 60 g ha-1, glifosat 729 g ha-1, aminopiralid +

(4)

Anissa Indra Wati

Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlet, aditivitas diuji dengan uji Tukey, dan

perbedaan nilai tengah diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil taraf 5%.

Hasil penelitian: (1) aminosiklopiraklor 15 – 60 g ha-1 menyebabkan gejala

keracunan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan dari 2 – 10 MSA; (2)

aminosiklopiraklor 60 g ha-1 menyebabkan tingkat keracunan tertinggi

dibandingkan aminosiklopiraklor 7,5 – 30 g ha-1, setara dengan ketiga herbisida

pembanding; (3) herbisida aminosiklopiraklor dan herbisida pembanding

menyebabkan pelepah daun tanaman teracuni, menurunkan tingkat hijau pelepah

daun tetapi tidak menekan penambahan tinggi tanaman; (4) aminosiklopiraklor 15

– 60 g ha-1 menekan panjang pelepah daun setara dengan aminopiralid+triklopir

115,2+64,8 g ha-1 dan 2,4-D 1297 g ha-1. Aminosiklopiraklor 60 g ha-1

menghambat pertumbuhan akar tanaman; (5) herbisida aminosiklopiraklor tidak

menekan bobot kering gulma total, tetapi aminosiklopiraklor 30 dan 60 g ha-1

menekan persentase penutupan gulma total pada 4, 8, dan 10 MSA.

Aminosiklopiraklor 60 g ha-1 mengendalikan Asystasia gangetica pada 2, 4, dan 8

MSA.

(5)

UJI LANJUTAN FITOTOKSISITAS DAN EFIKASI HERBISIDA AMINOSIKLOPIRAKLOR PADA KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) BELUM MENGHASILKAN

Oleh

ANISSA INDRA WATI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

UJI LANJUTAN FITOTOKSISITAS DAN EFIKASI HERBISIDA AMINOSIKLOPIRAKLOR PADA KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) BELUM MENGHASILKAN

(Skripsi)

Oleh

ANISSA INDRA WATI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)
(8)
(9)
(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Indra Putra Subing, Kecamatan Bandar Jaya,

Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 06 Mei 1992. Penulis merupakan anak

pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Bambang Ardiansyah dan Ibu

Sulasih. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) PT. Gula

Putih Mataram, Lampung Tengah pada tahun 1998, Sekolah Dasar (SD)

diselesaikan di SDS 01 PT. Gula Putih Mataram, Lampung Tengah pada tahun

2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP PT. Gula Putih Mataram,

Lampung Tengah pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA

Sugar Group, Lampung Tengah pada tahun 2010.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa reguler Jurusan Agroteknologi Fakultas

Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2010 melalui jalur SNMPTN (Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selama menjadi mahasiswa, penulis

mengikuti UKMF LS-MATA (Lembaga Studi Mahasiswa Fakultas Pertanian),

berkesempatan menjadi asisten praktikum Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma

pada tahun 2013. Pada tahun 2014 menjadi asisten Pengelolaan Gulma

Perkebunan D3 Perkebunan dan Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pada bulan

(11)

Universitas Lampung di Desa Gunung Sangkarang, Kecamatan Blambangan

Umpu, Kabupaten Way Kanan. Pada bulan Juli 2013 penulis mengikuti kegiatan

Praktik Umum (PU) di PT. Gunung Madu Plantations, Desa Gunung Batin,

(12)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirabbilalamin

Dengan Ketulusan Hati dan Rasa Penuh Syukur, Kupersembahkan

Karya ini Kepada :

Kedua Orang Tuaku

“Ayahanda Bambang Ardiansyah dan Ibunda Sulasih”

untuk Kasih

Sayang dan D

o’

a yang Tiada Henti

Adik-adikku

Zakia Wafa Putri Karimah dan

M. Hilmi Nur Fakhreza”

yang

Menjadi Kebanggaanku

Teman dan Sahabatku yang Selalu Menemani dalama Suka Duka

(13)

Pengetahuan tidaklah cukup, kita harus mengamalkannya.

Niat tidaklah cukup, kita harus melakukannya.

(Johann Wolfgang von Goethe)

Kebanggaan terbesar adalah bukan tidak pernah gagal,

tetapi bangkit setiap kali jatuh.

(Confisius)

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan

orang tidak menyadari betapa dekatnya

mereka dengan keberhasilan,

saat mereka menyerah.

(Thomas Alfa Edison)

(14)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Rabb semesta alam atas

limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan

penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini

tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Nanik Sriyani, M.Sc., selaku Pembimbing Utama atas

kesediaannya untuk memberikan bimbingan, nasihat, kritik, dan saran yang

membangun kepada penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan

skripsi;

2. Bapak Dr. Ir. Rusdi Evizal, M.S., selaku Pembimbing Kedua atas

kesediaannya untuk memberikan bimbingan, nasihat, kritik, dan saran yang

diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi;

3. Bapak Ir. Dad Resiworo. J. Sembodo, M.S., selaku Penguji atas segala kritik

dan saran yang membangun dalam proses penyelesaian skripsi;

4. Bapak Prof. Dr. Ir.Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung;

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M. Sc., selaku Ketua Bidang Budidaya

(15)

6. Bapak Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan

Agroteknologi dan Pembimbing Akademik, untuk bimbingan dan pengarahan

yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa di Universitas Lampung;

7. Kedua orangtua dan adik-adikku tercinta untuk kasih sayang, dukungan, dan

doa yang diberikan kepada penulis;

8. Teman-teman seperjuangan, Mustajab, S.P, Nurjannah Yuliana Hastuti, S.P,

Nana Ratna Wati S.P, terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian;

9. Teman-teman AGT’10 KELAS A yang selalu menemani dalam suka dan

duka, Alawiyah, S.P, Ade Yunike Larassati, S.P, Ferdaner Humairah Fazri,

S.P, Agung Ari Brata, S.P, Bangun Ferdian, S.P, Galih Dwi Cahyo, S.P,

Novri, S.P, Septiana Triyani, S.P, Sherly Ardhani Pithaloka, S.P, Tibor Eka

Saputra, S.P dan teman semua yang tidak bisa disebutkan satu per satu;

10. Nico Alfredo, S.P, Rizka Sulung Antika, S.P, Darso Waluyo, S.P, Fernando

Iskandar Damanik, S.P, Anggi V. Ningrum, S.P, atas bantuannya selama

melakukan penelitian;

11. Mas Yono selaku tenaga kebun dan seluruh pegawai Sekolah Global Madani

untuk bantuannya selama melaksanakan penelitian;

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dan semoga

hasil penelitian bermanfaat bagi semua pihak.

Bandar Lampung, September 2014

Penulis

(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Landasan Teori ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 8

1.5 Hipotesis ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Tanaman Kelapa Sawit ... 11

2.1.1 Morfologi Kelapa Sawit ... 12

2.1.1.1 Akar ... 12

2.1.1.2 Batang ... 12

2.1.1.3 Daun ... 12

2.1.1.4 Bunga ... 13

2.1.1.5 Buah ... 13

2.1.2 Tipe Kelapa Sawit ... 14

2.2 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit ... 15

2.3 Pembibitan Kelapa Sawit ... 15

2.4 Pengendalian Gulma Pada Kelapa Sawit ... 16

(17)
(18)

xviii

4.4 Penambahan Pelepah Daun Tanaman ... 45

4.5 Pelepah Daun Tanaman Teracuni ... 47

4.6 Panjang Pelepah Daun Muda ... 48

4.7 Tingkat Hijau Daun ... 49

4.8 Bobot Kering Akar ... 51

4.9 Persentase Penutupan Gulma Total ... 52

4.10 Bobot Kering Gulma Total ... 54

4.11 Bobot Kering Gulma Asystasia gangetica ... 55

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 59

PUSTAKA ACUAN ... 60

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perlakuan herbisida. ... 31

2. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap tingkat keracunan

tanaman kelapa sawit pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 43

3. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap penambahan tinggi

tanaman kelapa sawit pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 44

4. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap penambahan pelepah

daun tanaman kelapa sawit pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 46

5. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap pelepah daun teracuni

tanaman kelapa sawit pada 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 47

6. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap panjang daun muda

tanaman kelapa sawit pada 6, 8, 10 dan 12 MSA. ... 49

7. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap tingkat hijau daun

tanaman kelapa sawit pada 4, 8, dan 12 MSA. ... 50

8. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap bobot kering akar

tanaman kelapa sawit. ... 51

9. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap persentase penutupan

gulma total pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 53

10. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap bobot kering gulma

total pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 54

11. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap bobot kering gulma

Asystasia gangetica pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 57

12. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 2 MSA. ... 66

13. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

(20)

xx 14. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 2 MSA. ... 67

15. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 4 MSA. ... 67

16. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

pada 4 MSA. ... 68

17. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 4 MSA. ... 68

18. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 6 MSA. ... 69

19. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

pada 6 MSA. ... 69

20. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 6 MSA. ... 70

21. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 8 MSA. ... 70

22. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

pada 8 MSA. ... 71

23. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 8 MSA. ... 71

24. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 10 MSA. ... 72

25. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

pada10 MSA. ... 72

26. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 10 MSA. ... 73

27. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 2 MSA. ... 73

28. Transformasi √(x+0,5) penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 2 MSA. ... 74

29. Analisis ragam transformasi √(x+0,5) penambahan tinggi tanaman

(cm) pada 2 MSA. ... 74

30. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 4 MSA. ... 75

31. Analisis ragam penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 4 MSA. ... 75

(21)

xxi 33. Analisis ragam penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 6 MSA. ... 76

34. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 8 MSA. ... 77

35. Analisis ragam penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 8 MSA. ... 77

36. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 10 MSA. ... 78

37. Analisis ragam penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 10 MSA. ... 78

38. Penambahan pelepah daun tanaman pada 2 MSA. ... 79

39. Transformasi √√√(x+0,5) penambahan pelepah daun tanaman

pada 2 MSA. ... 79

40. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) penambahan pelepah

daun tanaman pada 2 MSA. ... 80

41. Penambahan pelepah daun tanaman pada 4 MSA. ... 80

42. Transformasi √√√(x+1) penambahan pelepah daun tanaman

pada4 MSA. ... 81

43. Analisis ragam transformasi √√√(x+1) penambahan pelepah

daun tanaman pada 4 MSA. ... 81

44. Penambahan pelepah daun tanaman pada 6 MSA. ... 82

45. Transformasi √√√(x+4) penambahan pelepah daun tanaman

pada 6 MSA. ... 82

46. Analisis ragam transformasi √√√(x+4) penambahan pelepah

daun tanaman pada 6 MSA. ... 83

47. Penambahan pelepah daun tanaman pada 8 MSA. ... 83

48. Transformasi √√√(x+1) penambahan pelepah daun tanaman

pada 8 MSA. ... 84

49. Analisis ragam transformasi √√√(x+1) penambahan pelepah

daun tanaman pada 8 MSA. ... 84 50. Penambahan pelepah daun tanaman pada 10 MSA. ... 85

51. Transformasi √√√(x+5) penambahan pelepah daun tanaman

(22)

xxii 52. Analisis ragam transformasi √√√(x+5) penambahan pelepah

daun tanaman pada 10 MSA. ... 86

53. Pelepah daun teracuni pada 4 MSA. ... 86

54. Transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni pada 4 MSA. ... 87

55. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni

pada 4 MSA. ... 87

56. Pelepah daun teracuni pada 6 MSA. ... 88

57. Transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni pada 6 MSA. ... 88

58. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) jumlah daun teracuni

tanaman (pelepah) pada 6 MSA. ... 89

59. Pelepah daun teracuni pada 8 MSA. ... 89

60. Transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni pada 8 MSA. ... 90

61. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni

pada 8 MSA. ... 90

62. Pelepah daun teracuni pada 10 MSA. ... 91

63. Transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni pada 10 MSA. ... 91

64. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni

pada 10 MSA. ... 92

65. Panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada 6 MSA. ... 92

66. Analisis ragam panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada

6 MSA. ... 93

67. Panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada 8 MSA. ... 93

68. Analisis ragam panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada

8 MSA. ... 94

69. Panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada 10 MSA. ... 94

70. Analisis ragam panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada

10 MSA. ... 95

(23)

xxiii 72. Analisis ragam panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada

12 MSA. ... 96

73. Tingkat hijau daun tanaman (su) pada 4 MSA. ... 96

74. Analisis ragam tingkat hijau daun tanaman (su) pada 4 MSA. ... 97

75. Tingkat hijau daun tanaman (su) pada 8 MSA. ... 97

76. Analisis ragam tingkat hijau daun tanaman (su) pada 8 MSA. ... 98

77. Tingkat hijau daun tanaman (su) pada 12 MSA. ... 98

78. Transformasi √√√(x+0,5) tingkat hijau daun tanaman (su) pada

12 MSA. ... 99

79. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) tingkat hijau daun

tanaman (su) pada 12 MSA. ... 99

80. Bobot kering akar (g/tanaman) pada 12 MSA. ... 100

81. Analisis ragam bobot kering akar (g/tanaman) pada 12 MSA. ... 100

82. Persentase penutupan gulma total (%) pada 2 MSA. ... 101

83. Analisis ragam persentase penutupan gulma total (%)

pada 2 MSA. ... 101

84. Persentase penutupan gulma total (%) pada 4 MSA. ... 102

85. Analisis ragam persentase penutupan gulma total (%)

pada 4 MSA. ... 102

86. Persentase penutupan gulma total (%) pada 6 MSA. ... 103

87. Analisis ragam persentase penutupan gulma total (%)

pada 6 MSA. ... 103

88. Persentase penutupan gulma total (%) pada 8 MSA. ... 104

89. Analisis ragam persentase penutupan persentase gulma total (%)

pada 8 MSA. ... 104

90. Persentase penutupan gulma total (%) pada 10 MSA. ... 105

91. Analisis ragam persentase penutupan gulma total (%)

(24)

xxiv 92. Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 2 MSA. ... 106

93. Analisis ragam bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada

2 MSA. ... 106

94. Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 4 MSA. ... 107

95. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma total (g/0,25 m2)

pada 4 MSA. ... 107

96. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma

total (g/0,25 m2) pada 4 MSA. ... 108

97. Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 6 MSA. ... 108

98. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma total (g/0,25 m2)

pada 6 MSA. ... 109

99. Analisis ragam transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma

total (g/0,25 m2) pada 6 MSA. ... 109

100.Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 8 MSA. ... 110

101.Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma total (g/0,25 m2)

pada 8 MSA. ... 110

102.Analisis ragam transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma

total (g/0,25 m2) pada 8 MSA. ... 111

103.Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 10 MSA. ... 111

104.Analisis ragam bobot kering gulma total (g/0,25 m2)

pada 10 MSA. ... 112

105.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2)

pada 2 MSA. ... 112

106.Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(g/0,25 m2) pada 2 MSA. ... 113

107.Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 2 MSA. ... 113

108.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2)

pada 4 MSA. ... 114

109.Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(25)

xxv 110.Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 4 MSA. ... 115

111.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada

6 MSA. ... 115

112.Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(g/0,25 m2) pada 6 MSA. ... 116

113.Analisis ragam transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 6 MSA. ... 116

114.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada

8 MSA. ... 117

115.Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(g/0,25 m2) pada 8 MSA. ... 117

116.Analisis ragam transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 8 MSA. ... 118

117.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2)

pada 10 MSA. ... 118

118.Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(g/0,25 m2) pada 10 MSA. ... 119

119.Analisis ragam transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 10 MSA. ... 119

120.Jumlah pelepah daun kuncup tanaman kelapa sawit pada

2 – 10 MSA. ... 120

(26)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Rumus bangun aminosiklopiraklor. ... 22

2. Rumus bangun aminopiralid. ... 23

3. Rumus bangun triklopir. ... 25

4. Rumus bangun glifosat. ... 26

5. Rumus bangun 2,4-D. ... 28

6. Tata letak percobaan. ... 32

7. Denah area aplikasi herbisida. ... 34

8. Denah area pengambilan gulma. ... 39

9. Gejala keracunan perlakuan herbisida aminosiklopiraklor

60 g ha-1. ... 41

10. Kondisi awal tanaman kelapa sawit sebelum aplikasi

Herbisida. ... 124

11. Gejala keracunan tanaman kelapa sawit pada 10 MSA setelah

(27)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas

perkebunan primadona Indonesia. Di tengah krisis global yang melanda dunia

saat ini, industri sawit tetap bertahan dan memberi sumbangan besar terhadap

perekonomian negara. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang luas,

industri sawit menjadi salah satu sumber devisa terbesar bagi Indonesia.

Indonesia adalah negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua dunia

setelah Malaysia. Pada tahun 2011, Indonesia merupakan negara dengan

perkebunan sawit terluas di dunia dengan luas areal perkebunan mencapai 3,97

juta ha, dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) mencapai 7,97 juta ton. Namun

produksi Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang

mencapai 11,80 juta ton (Susila, 2011).

Setiap tahunnya terjadi peningkatan luasan areal perkebunan kelapa sawit. Sejak

tahun 2005-2010 sudah terjadi peningkatan sekitar 1439,4 ha dari 3593,4 ha

(Badan Pusat Statistik, 2012). Dengan meningkatnya luasan areal perkebunan

kelapa sawit menyebabkan kebutuhan akan bibit kelapa sawit menjadi meningkat

(28)

2

Menurut Solahudin (2004), keberhasilan pertumbuhan tanaman kelapa sawit di

lapangan sangat ditentukan oleh kondisi bibit yang ditanam. Bibit yang

pertumbuhannya baik akan memberikan tanaman yang pertumbuhannya baik pula

di lapangan. Selama proses pembibitan, tanaman belum menghasilkan serta

tanaman menghasilkan kelapa sawit, kehadiran gulma dapat menimbulkan

kerugian yaitu menurunkan produksi karena terjadi persaingan dalam

pengambilan air, unsur hara, sinar matahari, dan ruang hidup.

Untuk meningkatkan hasil produksi kelapa sawit maka diperlukan pengelolaan

gulma. Dalam usaha perkebunan, keberadaan gulma menjadi salah satu masalah

karena membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang terus menerus untuk

mengendalikannya. Salah satu metode pengendalian gulma yang umum dan

utama pada perkebunan kelapa sawit yaitu pengendalian secara kimia dengan

menggunakan herbisida, karena cara ini lebih efektif, efisien, hemat tenaga, biaya,

dan waktu (Tjitrosoedirjo et al., 1984).

Salah satu kendala dalam pertumbuhan tanaman budidaya dan kaitannya dalam

hal persaingan adalah keberadaan gulma. Gulma juga dapat menurunkan mutu

produksi, mengganggu pertumbuhan tanaman, dan meningkatkan biaya

pemeliharaan. Gulma merupakan tumbuhan yang dapat mengganggu atau

merugikan kepentingan manusia (Sembodo, 2010).

Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian

tumbuhan dan sebaliknya pada dosis rendah, herbisida tidak merusak atau

mematikan tumbuhan lain. Dengan demikian, pemilihan herbisida yang sesuai

(29)

3

penting dengan memperhatikan ada tidaknya toksisitas pada tanaman dan daya

efektivitas herbisida.

Salah satu herbisida selektif adalah herbisida aminosiklopiraklor yang merupakan

herbisida pasca tumbuh dan bersifat selektif terhadap gulma berdaun lebar.

Herbisida aminosiklopiraklor merupakan herbisida yang termasuk dalam kelas

asam karboksilat pirimidin yang memiliki struktur kimia mirip dengan asam

karboksilat piridin yang memiliki cara kerja menghambat pertumbuhan tanaman

dengan cara mengganggu keseimbangan hormon auksin (Strachan et al., 2010).

Berdasarkan uraian di atas maka penggunaan herbisida harus tepat sasaran

sehingga tidak menyebabkan keracunan (fitotoksisitas) pada tanaman budidaya.

Penggunaan herbisida harus memperhatikan efektivitas, efisiensi, dan keamanan

serta efek samping yang mungkin timbul. Oleh karena itu, uji fitotoksisitas

herbisida merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala dan tingkat

keparahan keracunan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan akibat aplikasi

herbisida tertentu.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Apakah penggunaan herbisida aminosiklopiraklor menimbulkan gejala

keracunan pada kelapa sawit belum menghasilkan?

2. Apakah penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi tingkat

keparahan keracunan kelapa sawit belum menghasilkan pada beberapa taraf

(30)

4

3. Apakah penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi

pertumbuhan tanaman pada kelapa sawit belum menghasilkan?

4. Apakah penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mengendalikan gulma pada

piringan kelapa sawit belum menghasilkan?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan,

maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui adanya gejala keracunan herbisida aminosiklopiraklor

pada kelapa sawit belum menghasilkan.

2. Untuk mengetahui tingkat keparahan keracunan herbisida aminosiklopiraklor

pada kelapa sawit belum menghasilkan pada beberapa taraf dosis herbisida

yang berbeda.

3. Untuk mengetahui pengaruh herbisida aminosiklopiraklor terhadap

pertumbuhan tanaman pada kelapa sawit belum menghasilkan.

4. Untuk mengetahui efektivitas herbisida aminosiklopiraklor dalam

mengendalikan gulma pada piringan kelapa sawit belum menghasilkan.

1.3 Landasan Teori

Kehilangan hasil yang disebabkan oleh gulma diperkirakan mencapai 20 – 30 %.

Keberadaan gulma pada areal pertanaman dapat berdampak negatif pada tanaman

karena gulma dan tanaman mempunyai kebutuhan yang sama untuk tumbuh dan

berkembang. Kebutuhan tersebut diantaranya unsur hara, air, cahaya, ruang

(31)

5

tanaman tersedia dalam jumlah terbatas, hal ini akan mengakibatkan kebutuhan

tanaman menjadi tidak optimal sehingga dapat menurunkan hasil produksi

tanaman budidaya (Moenandir, 1990).

Pengendalian gulma dengan herbisida selain relatif murah juga bertujuan untuk

mendapatkan pengendalian gulma secara selektif. Pemakaian herbisida yang

selektif terletak pada kemampuannya untuk mematikan gulma tanpa merusak

tanaman budidaya. Penggunaan herbisida yang kurang hati-hati dapat

menimbulkan abnormalitas pada pertumbuhan kelapa sawit, seperti pertumbuhan

yang terpuntir (memilin) (Agustia, 1997).

Penggunaan herbisida bertujuan untuk mendapatkan pengendalian gulma yang

selektif yaitu mematikan gulma tanpa mematikan tanaman budidaya. Selektivitas

herbisida dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis herbisida, formulasi

herbisida, volume semprot, ukuran butiran semprot dan waktu pemakaian (pra

tanam, pra tumbuh atau pasca tumbuh) (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).

Menurut Ashton dan Craft (1981), berdasarkan tingkat selektivitasannya terhadap

tanaman, maka herbisida dibagi menjadi dua yaitu herbisida selektif mempunyai

sifat dimana pada saat diaplikasi maka gulma yang ada akan mati sementara

tanaman pokoknya tetap tidak mengalami gangguan tergantung tingkat

selektivitas dari herbisida tersebut. Herbisida nonselektif tidak memungkinkan

diaplikasikan pada saat ada tanaman budidaya. Kategori selektif ada beberapa

bahan aktif yang cukup terkenal dan banyak dipergunakan oleh petani yaitu metil

(32)

6

Kategori nonselektif, paraquat dan glifosat banyak dipergunakan terutama untuk

petani lahan kering dan perkebunan.

Herbisida yang banyak digunakan oleh petani yaitu glifosat dan 2,4-D karena

memiliki daya bunuh gulma secara lebih luas, tetapi tidak meracuni tanaman. Hal

ini didukung dengan pernyataan Mulyati (2004), aplikasi herbisida glifosat 48%

dan campuran herbisida glifosat 24% + 2,4-D 12% pada semua taraf dosis tidak

menunjukkan gejala keracunan pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.

Selain itu, herbisida glifosat 16% (SPRAG 160 AS) tidak meracuni tanaman

kelapa sawit menghasilkan (Restyningsih, 2002).

Herbisida aminosiklopiraklor cepat diserap oleh daun dan akar dan

ditranslokasikan dengan baik dalam floem dan diperkirakan menumpuk di daerah

meristematik tanaman. Herbisida ini merupakan kelompok zat pengatur tumbuh

yang mempengaruhi keseimbangan hormon auksin. Herbisida tersebut cepat

diserap oleh tumbuhan melalui daun dan akar kemudian ditranslokasikan ke

jaringan meristem tumbuhan serta mengganggu kerja hormon auksin. Penyerapan

maksimum herbisida aminosiklopiraklor di jaringan tanaman hingga mengganggu

pertumbuhan yaitu 24 jam setelah aplikasi herbisida (Bukun et al., 2010).

Cara kerja herbisida aminosiklopiraklor adalah menghentikan pertumbuhan

tanaman dengan mengganggu keseimbangan hormon yang diperlukan untuk

perkembangan akar. Herbisida ini memiliki mekanisme kerja yang menargetkan

kompleks reseptor auksin. Terdapat dua proses biokimia yang terkena dampak

akibat aplikasi herbisida ini yaitu satu set protein penting untuk represi gen dan

(33)

7

tanaman yang sesuai (Finkelstein et al., 2008). Hasil penelitian Antika (2014),

herbisida aminosiklopiraklor 7,5 – 60 g ha-1 tidak menekan penambahan tinggi

bibit kelapa sawit.

Adapun penelitian tentang residu aminosiklopiraklor yaitu residu

aminosiklopiraklor pada tanaman tomat di dalam pot berkisar antara 0,5 - 8,0 ppb

(parts per billion), sementara serpihan pohon (mulsa) terkelupas mengandung

1,7 - 14,7 ppb. Residu aminosiklopiraklor dalam pot tanah di bawah mulsa

berkisar di bawah batas kuantitatif yaitu 0,63 ppb. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa aminosiklopiraklor dari serpihan kayu dapat larut ke dalam tanah sehingga

menyebabkan keracunan tanaman. Hasil ini menunjukkan bahwa pohon-pohon

yang rusak akibat aminosiklopiraklor tidak dapat digunakan untuk mulsa atau

sebagai bahan kompos (Patton et al., 2013).

Penggunaan herbisida yang kurang tepat jenis herbisida, dosis herbisida,

formulasi herbisida, volume semprot, ukuran butiran semprotan, dan waktu

pemakaian dapat menyebabkan tanaman nontarget menjadi teracuni. Penggnnaan

herbisida harus memperhatikan efektivitas, efisiensi dan keamanan serta efek

samping yang mungkin timbul. Herbisida yang dibutuhkan adalah herbisida yang

mempunyai selektivitas tinggi. Menurut Klingman et al., (1982), herbisida yang

selektif adalah herbisida yang hanya mematikan gulma dan tidak mematikan

(34)

8

1.4 Kerangka Pemikiran

Kualitas bibit kelapa sawit di lapang sangat ditentukan oleh proses pembibitan

kelapa sawit yang salah satunya ditentukan oleh pemeliharaan tanaman.

Pemeliharaan tanaman sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan bibit

kelapa sawit. Masalah yang sering dihadapi selama proses pembibitan, tanaman

belum menghasilkan serta tanaman menghasilkan kelapa sawit yaitu keberadaan

gulma. Gulma merupakan tumbuhan yang keberadaan tidak diinginkan oleh

petani dan mengurangi kualitas hasil produksi tanaman kelapa sawit.

Keberadaan gulma di pertanaman kelapa sawit menimbulkan masalah, karena

gulma memiliki potensi untuk menjadi pesaing tanaman dalam memperoleh

sarana tumbuh yang diperlukan dan menurunkan kualitas bibit. Pengelolaan

gulma yang kurang baik akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan

TBM kelapa sawit menjadi terhambat. Dengan demikian diperlukan tindakan

pengendalian gulma yang tepat sehingga tidak meracuni tanaman dan menurunkan

hasil produksi tanaman kelapa sawit.

Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah

dengan cara kimiawi yaitu menggunakan herbisida yang dianggap efektif untuk

mengendalikan gulma. Pemilihan herbisida yang tepat dan cocok digunakan pada

tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) menjadi sangat penting.

Tanaman kelapa sawit sensitif terhadap penggunaan herbisida. Herbisida yang

tidak tepat dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan

(35)

9

Herbisida merupakan bahan kimia yang dapat menghentikan pertumbuhan gulma

dan tidak menghambat pertumbuhan tanaman budidaya. Aplikasi herbisida akan

mempengaruhi satu atau lebih proses fisiologis di dalam jaringan gulma sehingga

menimbulkan gejala keracunan. Pengendalian gulma menggunakan herbisida

memiliki efek samping terjadinya keracunan tanaman kelapa sawit belum

menghasilkan.

Penggunaan herbisida pada tanaman muda yang rentan akan herbisida sehingga

pertumbuhan bibit kelapa sawit mengalami abnormalitas. Penggunaan herbisida

harus memperhatikan selektivitas herbisida tersebut supaya tidak menyebabkan

bibit kelapa sawit teracuni akibat aplikasi herbisida. MAT28 240 SL merupakan

herbisida baru berbahan aktif aminosiklopiraklor yang saat ini sedang dalam tahap

pengujian oleh PT. DuPont Crop Protection.

Aminosiklopiraklor merupakan herbisida kelas asam karboksilat pirimidin yang

cepat diserap oleh daun dan akar dan translokasi ke daerah meristematik tanaman.

Herbisida ini meniru kerja hormon auksin dengan mengganggu keseimbangan

hormon tanaman yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan akar.

Gejala keracunan tanaman akibat herbisida aminosiklopiraklor diantaranya

terjadinya penumpukan daun muda pada batang, daun tidak membuka sempurna,

dan pertumbuhan tanaman kelapa sawit kerdil.

Aminosiklopiraklor memiliki kemampuan mengendalikan gulma berdaun lebar

dan selektif terhadap gulma rumput. Pengujian tingkat keracunan herbisida

aminosiklopiraklor terhadap tanaman kelapa sawit belum menghasilkan sangat

(36)

10

efikasi herbisida terhadap keberadaan gulma, dan dosis yang efektif untuk

mengendalikan gulma di pertanaman kelapa sawit namun tidak meracuni tanaman

kelapa sawit.

1.5 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka disusun hipotesis sebagai

berikut:

1. Penggunaan herbisida aminosiklopiraklor menimbulkan gejala keracunan

pada kelapa sawit belum menghasilkan.

2. Penggunaan beberapa taraf dosis herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi

tingkat keparahan keracunan herbisida aminosiklopiraklor pada kelapa sawit

belum menghasilkan.

3. Penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi pertumbuhan

tanaman pada kelapa sawit belum menghasilkan.

4. Penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mengendalikan gulma pada

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa Sawit

Bibit kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1848 yang berasal dari

Mauritus dan Amsterdam sebanyak empat tanaman yang kemudian ditanam di

Kebun Raya Bogor dan selanjutnya disebarkan ke Deli Sumatera Utara.

Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera

Utara oleh Schad (Jerman) pada tahun 1911 (Lubis, 2008). Adapun taksonomi

kelapa sawit adalah:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Angiospermae

Sub kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Spadiciflorae

Keluarga : Palmaceae

Sub keluarga : Cocoideae

Genus : Elaeis

(38)

12

2.1.1 Morfologi Kelapa Sawit

2.1.1.1 Akar

Calon akar muncul dari biji kelapa sawit yang dikecambahkan disebut radikula,

panjangnya dapat mencapai 15 cm, dan mampu bertahan sampai 6 bulan. Akar

primer yang tumbuh dari pangkal batang (bole) ribuan jumlahnya, diameternya

berkisar antara 8 dan 10 mm, panjangnya dapat mencapai 18 cm. Akar sekunder

tumbuh dari akar primer, diameternya 2 – 4 mm. Dari akar sekunder tumbuh akar

tersier berdiameter 0,7 – 1,5 mm dan panjangnya dapat mencapai 15 cm (Lubis,

2008).

2.1.1.2 Batang

Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus (phototropi) dibungkus oleh

pangkal pelepah daun (frond base). Batang ini berbentuk silindris berdiameter

0,5 m pada tanaman dewasa, tidak memiliki kambium, dan umumnya tidak

bercabang. Pada ujung batang terdapat titik tumbuh membentuk daun-daun dan

memanjangkan batang dengan bagian bawah umumnya berukuran lebih besar

(Lubis, 2008).

2.1.1.3 Daun

Produksi pelepah pada tanaman selama setahun dapat mencapai 20 – 30 pelepah,

kemudian berkurang menjadi 18 hingga 25 pelepah tergantung umur tanaman.

Panjang pelepah daun dapat mencapai panjang 9 m, panjang pelepah dipengaruhi

(39)

13

pelepah sebanyak 40 hingga 50 buah yang diisi oleh anak daun di kiri dan kanan

tulang daun yang utama atau disebut rachis. Jumlah anak daun tiap pelepah dapat

mencapai jumlah 125 hingga 200 dengan bobot pelepah mencapai 4,5 kg bobot

kering (Lubis, 2008).

2.1.1.4 Bunga

Tanaman kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12 – 14 bulan, tetapi baru

ekonomis untuk dipanen pada umur 2,5 tahun (Lubis, 2008). Bunga kelapa sawit

merupakan monoecious, bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon.

Satu inflor dibentuk dari ketiak setiap daun setelah diferensiasi dari pucuk batang.

Jenis kelamin jantan atau betina ditentukan selama 9 bulan setelah inisiasi dalam

selang 24 bulan baru inflor bunga berkembang sempurna. Bunga-bunga betina

dalam satu inflor membuka dalam tiga hari dan siap dibuahi selama 3 – 4 hari.

Sedangkan bunga yang berasal dari inflor jantan melepaskan serbuk sarinya dalam

lima hari. Penyerbukan yang umum terjadi biasanya penyerbukan silang namun

kadang juga sendiri (Mangoensoekardjo dan Semangun, 2008).

2.1.1.5 Buah

Buah kelapa sawit adalah buah batu yang sessile drup yaitu menempel

dan menggerombol pada tandan buah. Jumlah per tandan dapat mencapai 1600,

berbentuk lonjong membulat. Panjang buah 2 – 3 cm, beratnya 30 gram.

Bagian-bagian buah terdiri atas eksokarp atau kulit buah dan mesokrap atau sabut dan biji.

(40)

14

cangkang, dan inti atau kernel. Sedangkan inti tersebut terdiri atas endosperma

dan embrio (Mangoensoekardjo dan Semangun, 2008).

2.1.2 Tipe Kelapa Sawit

Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa

sawit dibedakan menjadi Dura, Pisifera dan Tenera. Dura merupakan sawit yang

buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap dapat memperpendek umur

mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan

minyak berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga

betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah

persilangan antara induk Dura dan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab

melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis

namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul persentase daging

per buahnya dapat mencapai 90% dan kandungan minyak pertandannya dapat

mencapai 28% (Kiswanto et al., 2008).

Menurut PANECO (2010), pembagian tipe kelapa sawit didasarkan pada warna

buah (kulit, eksocarp) dan ketebalan cangkang. Berdasarkan warna buah, tipe

kelapa sawit dibedakan sebagai berikut:

1. Nigrescens: buah muda berwarna ungu kehitam-hitaman, sedangkan buah

masak jingga kehitam-hitaman.

2. Virescens: buah muda berwarna hijau, sedangkan buah masak jingga

kemerahan, tetapi ujung buah tetap hijau.

3. Albescens: buah muda berwarna keputih-putihan, sedangkan buah masak

(41)

15

2.2 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit

Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit antara 5 – 7 jam/hari.

Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500 – 4.000 mm dengan

temperatur optimal 24 – 28oC. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara

1 – 500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk

tanaman sawit sekitar 80 – 90% dan kecepatan angin 5 – 6 km/jam untuk

membantu proses penyerbukan. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah

podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial atau regosol, tanah gambut saprik,

dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk

sawit adalah 5,0 – 5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur,

datar, berdrainase (beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80

cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya

tidak lebih dari 15o (Kiswanto et al., 2008).

2.3 Pembibitan Kelapa Sawit

Pembibitan kelapa sawit dapat dilakukan dengan satu atau dua tahap kegiatan.

Pembibitan pertama yaitu kecambah kelapa sawit langsung ditanam di polibag

besar atau langsung di pembibitan utama (main nursery). Pembibitan kedua yaitu

penanaman kecambah dilakukan di pembibitan awal (prenursery) terlebih dahulu

menggunakan polibag kecil serta naungan, kemudian dipindahkan ke main

nursery ketika berumur 3 – 4 bulan menggunakan polibag yang lebih besar.

Pembibitan awal lebih banyak digunakan dan memiliki keuntungan yang lebih

besar dibandingkan dengan pembibitan utama. Jika menggunakan pembibitan dua

(42)

16

naungan. Keuntungan lainnya, penyiraman menjadi mudah, jadwal pemupukan

menjadi mudah, dan bibit terhindar dari penyinaran matahari secara langsung

sehingga risiko kematian tanaman menjadi kecil (Dalimunthe, 2009).

2.4 Pengendalian Gulma Pada Kelapa Sawit

Menurut Pahan (2008), kehadiran gulma di perkebunan kelapa sawit dapat

menurunkan produksi akibat bersaing dalam pengambilan air, hara, sinar

matahari, dan ruang hidup. Gulma juga dapat menurunkan mutu produksi akibat

terkontaminasi oleh bagian gulma, mengganggu pertumbuhan tanaman, menjadi

inang bagi hama, mengganggu tata guna air, dan meningkatkan biaya

pemeliharaan. Untuk mengurangi segala bentuk kerugian adanya gulma maka

dengan demikian diperlukan tindakan pengendalian gulma.

Selanjutnya Hakim (2007) menambahkan bahwa kelapa sawit mempunyai

masalah gulma yang tinggi sebab salah satu faktornya adalah jarak tanam tanaman

ini lebih lebar, sehingga penutupan tanah oleh kanopi lambat membuat cahaya

matahari masuk mencapai permukaan tanah yang kaya dengan potensi gulma.

Dengan demikian tujuan pengendalian gulma adalah mengurangi jumlah populasi

gulma sampai ambang batas yang tidak merugikan bagi pertumbuhan tanaman

budidaya.

Keuntungan pengendalian gulma secara kimia dibandingkan manual adalah

pekerjaan lebih cepat dan menggunakan tenaga kerja lebih sedikit, kerusakan pada

akar tanaman akibat pengendalian secara manual dapat dihindari, erosi tanah

(43)

17

Kelemahan pengendalian secara kimia adalah biaya pengendalian sangat

dipengaruhi oleh biaya herbisida, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil,

berkurangnya lapangan pekerjaan, dan adanya kemungkinan tanaman pokok

teracuni (Madkar et al., 1986).

Komposisi gulma pada suatu perkebunan tergantung pada jenis komoditas, cara

pengelolaan kebun dan kondisi lingkungan. Gulma yang biasa terdapat di

perkebunan kelapa sawit yang belum menghasilkan yaitu Chromolaena odorata

(L.), Imperata cylindrica (L.) Beauv., Axonophus compressus (SW.) P.B.,

Echinochloa colonum (I.) LK., Panicum repens L., Scleria sumatrensis Retz.,

Kyllingia monocephala Rottb., Mikania micrantha H.B.K., Ageratum conyzoides

I., Lantana camara L., Mimosa invisa Mart. Ex colla., dan Ottochloa nodosa

(Kunth) Dandy (Lubis, 2008).

2.5 Panen

Tanaman kelapa sawit mulai berbuah setelah 2,5 tahun dan masak 5,5 bulan

setelah penyerbukan. Kelapa sawit dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31

bulan, sedikitnya 60% buah telah matang panen dari 5 pohon terdapat 1 tandan

buah matang panen. Ciri tandan matang panen adalah sedikitnya ada 5 buah yang

lepas/jatuh (brondolan) dari tandan yang beratnya kurang dari 10 kg atau

sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan yang beratnya 10 kg atau lebih.

Selain itu, ada kriteria lain tandan buah yang dapat dipanen apabila tanaman

berumur kurang dari 10 tahun, jumlah brondolan yang jatuh kurang lebih 10 butir,

(44)

18

15 – 20 butir. Waktu panen yang tepat akan diperoleh kandungan minyak

maksimal, tetapi pemanenan buah kelewat matang akan meningkatkan asam

lemak bebas (ALB), sehingga dapat merugikan karena sebagian kandungan

minyaknya akan berubah menjadi ALB dan menurunkan mutu minyak.

Sebaliknya pemanenan buah yang masih mentah akan menurunkan kandungan

minyak, walaupun nilai ALB rendah. Cara pemanenan tandan buah yang matang

dipotong sedekat mungkin dengan pangkalnya, maksimal 2 cm. Tandan buah

yang telah dipanen diletakkan teratur di piringan dan brondolan dikumpulkan

terpisah dari tandan. Kemudian tandan buah atau TBS (tandan buah segar) dan

brondolan tersebut dikumpulkan di tempat pengumpulan hasil (TPH). TBS hasil

panenan harus segera diangkut ke pabrik untuk diolah lebih lanjut. Pada buah

yang tidak segera diolah, maka kandungan ALB akan semakin meningkat. Untuk

menghindari hal tersebut, maksimal 8 jam TBS setelah dipanen harus segera

diolah (Kiswanto et al., 2008).

2.6 Fitotoksisitas

Kerusakan tanaman akibat aplikasi pestisida untuk tanaman dikenal sebagai

fitotoksisitas. Fitotoksisitas biasanya muncul dalam beberapa bentuk, adapun 5

jenis kerusakan yang paling sering terjadi yaitu:

1. Terbakar, jenis kerusakan mungkin muncul di ujung daun seperti bintik-bintik

atau seluruh permukaan daun dapat terlihat seperti terbakar.

2. Nekrosis (kematian jaringan tanaman), mirip dengan terbakar dan

(45)

19

3. Klorosis (menguning atau efek pemutihan), mungkin muncul sebagai

bintik-bintik, ujung menguning, atau sebagai klorosis diseluruh daun.

4. Distorsi daun, mungkin muncul sebagai curling, kerutan, atau cupping daun.

5. Pengerdilan atau pertumbuhan abnormal lainnya.

Fitotoksisitas sangat umum menghasilkan kombinasi dari dua atau lebih dari lima

gejala tersebut di atas. Efek fitotoksisitas dapat diamati pada tanaman selama

pertumbuhan atau dapat diekspresikan pada saat panen. Gejala keracunan dapat

mempengaruhi seluruh tanaman atau bagian dari akar, tunas, daun, bunga, buah,

dan bagian tanaman lainnya (Ornamentals Northwest Archives, 1981).

Fitotoksisitas merupakan suatu sifat yang menunjukkan potensi pestisida untuk

menimbulkan efek keracunan pada tanaman yang ditandai dengan pertumbuhan

abnormal setelah aplikasi pestisida. Pestisida yang sebaiknya digunakan adalah

dengan fitotoksisitas rendah. Keracunan tanaman (fitotoksisitas) mengacu pada

penyerapan bahan kimia berbahaya ke dalam struktur penting dari jaringan

tanaman, seperti akar atau sistem reproduksi. Salah satu gejala fitotoksisitas

adalah terhambatnya pertumbuhan. Gejala keracunan tanaman kelapa sawit

akibat herbisida yaitu klorosis, kerdil, kelainan tumbuh, dan jaringan mati atau

kering. Penggunaan satu herbisida dapat menyebabkan satu atau lebih gejala

keracunan pada tanaman (Riadi, 2011).

Adapun percobaan yang dirancang untuk menentukan fitotoksisitas tiga herbisida

preemergen (herbisida oksadiason, oxyflourfen + oryzalin, dan oxyfluorfen +

pendimetalin) diterapkan pada 1, 2, atau 4 kali direkomendasikan tarif empat jenis

(46)

20

11 atau 21 ml l-1 langsung ke dedaunan dari 10 spesies pohon sawit. Dua

herbisida preemergen (oxyfluorfen + oryzalin dan pendimethalin + oxyfluorfen)

menunjukkan fitotoksisitas pada daun yang baru muncul dari semua spesies sawit

bila diterapkan pada tingkat yang direkomendasikan. Herbisida oksadiazon

toleran terhadap glifosat meskipun pengerdilan dan deformasi pada daun baru,

hampir semua pohon tumbuh dari gejala ini setelah beberapa minggu (Donselman

dan Broschat, 1981).

2.7 Herbisida

Menurut Wudianto (2006), herbisida adalah senyawa beracun yang dimanfaatkan

untuk membunuh atau mengendalikan gulma. Herbisida ini dapat mempengaruhi

satu atau lebih proses seperti proses pembelahan sel, perkembangan jaringan,

pembentukan klorofil, fotosintesis, dan sebagainya yang sangat diperlukan

tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Herbisida yang

diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian tumbuhan dan

sebaliknya pada dosis rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan dan tidak

merusak tumbuhan lainnya.

Menurut Moenandir (1993), dasar pengklasifikasian herbisida berdasarkan cara

kerja, penggunaan, cara aplikasi, struktur kimiawi, formulasi, dan selektivitas.

Berdasarkan cara kerja, herbisida dikategorikan sebagai herbisida kontak dan

sistemik. Herbisida kontak dikenal karena mengakibatkan efek bakar yang

langsung dapat dilihat terutama pada dosis tinggi, seperti asam sulfat 70%, besi

sulfat 30%, dan tembaga sulfat 40%. Herbisida kontak merusak bagian tumbuhan

(47)

21

herbisida sistemik dapat ditranslokasikan ke seluruh tubuh tumbuhan sehingga

pengaruhnya luas, jenis herbisida yang termasuk golongan ini diantaranya amitrol,

arsen, golongan triazin, substitusi urea, urasil, amida, karbamat, 2,4-D, dicamba,

dan picloram.

Menurut tipe gulma yang dikendalikan herbisida dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu herbisida selektif dan herbisida nonselektif. Herbisida selektif adalah

herbisida yang bila diaplikasikan dalam suatu komunitas campuran akan

mematikan tumbuhan atau gulma tertentu dan relatif tidak mengganggu tumbuhan

lain, sedangkan herbisida nonselektif mematikan seluruh tumbuhan (Crafts dan

Robbins, 1973).

Penggunaan herbisida harus memperhatikan efektivitas, efisiensi, dan keamanan

serta efek samping yang mungkin timbul. Herbisida yang dibutuhkan adalah

herbisida yang mempunyai selektivitas tinggi. Menurut Klingman et al. (1982),

herbisida yang selektif adalah herbisida yang hanya mematikan gulma dan tidak

mematikan tanaman pokok. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas

herbisida adalah herbisida itu sendiri (formulasi, kalkulasi, aplikasi, dan

kalibrasi); gulma sasaran; tanah (kelembaban, keremahan, sifat fisik tanah); cuaca

(suhu, cahaya, hujan); dan pelarut (kejernihan).

2.7.1 Herbisida Aminosiklopiraklor

Aminosiklopiraklor adalah herbisida asam karboksilat pirimidin yang secara

struktural mirip dengan aminopiralid. Satu perbedaan struktural antara

(48)

22

klorin pada posisi 2 karbon sedangkan aminosiklopiraklor memiliki kelompok

siklopropil. Selain itu, aminosiklopiraklor didasarkan pada cincin pirimidin (dua

atom nitrogen dalam struktur cincin) dan aminopiralid didasarkan pada cincin

piridin (satu atom nitrogen dalam struktur cincin) (Durkin, 2012).

DPX-MAT28 (MAT28) adalah herbisida berbahan aktif aminosiklopiraklor yang

sedang dalam tahap pengujian oleh PT. DuPont Crop Protection. MAT28 dengan

cepat diserap oleh daun dan akar dan translokasi ke daerah meristematik tanaman.

Aminosiklopiraklor aktif pada kebanyakan spesies gulma berdaun lebar.

Herbisida ini menghentikan pertumbuhan tanaman dengan mengganggu

keseimbangan hormon yang diperlukan untuk perkembangan akar.

Aminosiklopiraklor merupakan famili dari asam karboksilat pirimidin yang

memiliki berat molekul 213, 62 g mol-1 dengan rumus molekul C8H8ClN3O2.

Nama kimia 6-amino-5-kloro-2-cyclopropyl-4-pyrimidine carboxylic acid dengan

struktur kimia seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Rumus bangun aminosiklopiraklor (Finkelstein et al., 2008).

Adapun hasil penelitian mengenai residu herbisida aminosiklopiraklor pada

konsentrasi rendah dapat menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman seperti alfalfa,

kapas, kedelai, dan bunga matahari walaupun sudah 1 tahun herbisida tersebut

(49)

23

diperkirakan menyebabkan 25% fitotoksisitas untuk alfalfa, kapas, kedelai, dan

bunga matahari sebesar 5,4; 3,2; 2,0; dan 6,2, masing-masing penyerapan

aminosiklopiraklor yaitu 20 sampai 60 kali lebih besar dari batas deteksi (LOD)

metode analisis yang tersedia untuk analisis tanah (Strachan et al., 2011). Dengan

demikian, konsentrasi rendah aminosiklopiraklor di dalam tanah yang bertahan

dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan fitotoksisitas tanaman

nontarget.

2.7.2 Herbisida Aminopiralid

Aminopiralid adalah herbisida auksin sintetis dari famili asam karboksilat bahan

aktif piridin yang memiliki berat molekul 207,026 g mol-1 dengan rumus molekul

C6H4Cl2N2O2. Nama kimia aminopiralid adalah

4-amino-3,6-dichloropyridine-2-carboxylic acid dengan struktur kimia seperti Gambar 2. Herbisida ini bersifat

sistemik dan diaplikasikan pascatumbuh sehingga mempengaruhi proses

pertumbuhan tanaman. Aminopiralid menyebabkan gejala keracunan tanaman

seperti batang melengkung dan memutar, daun berkerut, daun sempit dengan

jaringan kalus, dan akar membesar (Dow AgroSciences, 2008).

Gambar 2. Rumus bangun aminopiralid (Dow AgroScience, 2008).

Setelah diserap, herbisida aminopiralid bergerak secara sistemik ke seluruh

(50)

24

yang tidak merata dalam pembelahan dan pertumbuhan. Aminopiralid mengikat

pada reseptor normal yang digunakan oleh hormon pertumbuhan alami tanaman,

sehingga rentan terjadi kematian spesies tanaman. Dengan demikian herbisida

aminopiralid dengan cepat diserap oleh daun dan akar tanaman. Aminopiralid

tidak beracun untuk burung, ikan, lebah madu, cacing tanah, dan invertebrata air.

Aminopiralid sedikit beracun untuk tiram timur, ganggang, dan vaskular air

tanaman. Herbisida aminopiralid berada di dalam tanah berkisar antara 32 – 533

hari, dengan rata-rata lamanya waktu yaitu 103 hari. Herbisida ini larut dalam air

dan memiliki mobilitas tinggi dengan kemampuan mencemari tanah dan air.

Aminopiralid adalah herbisida yang stabil dalam air tetapi akan memecah dengan

cepat apabila di bawah sinar matahari dengan perkiraan waktu 0,6 hari (Dow

AgroSciences, 2011).

Adapun penelitian yang dilakukan di Kanada untuk mengetahui perbedaan dalam

penyerapan, translokasi, atau metabolisme aktivitas biologis aminopiralid dan

clopiralid pada daun tanaman rossete. Translokasi clopiralid (39%) dari daun

secara signifikan lebih tinggi daripada aminopiralid (17%) dalam 192 jam setelah

perlakuan (Hour After Treatment). Translokasi clopiralid ke atas jaringan (27%)

dan akar (12%), sedangkan translokasi aminopiralid ke atas jaringan (10%) dan

akar (7%) dalam 192 jam setelah perlakuan (HAT). Hasil ini menunjukkan bahwa

struktur kimia aminopiralid mungkin menyediakan aktivitas biologis yang lebih

besar daripada clopiralid, sehingga penyerapan aminopiralid pada daun tanaman

(51)

25

2.7.3 Herbisida Triklopir

Triklopir adalah herbisida sistemik selektif untuk gulma berdaun lebar. Triklopir

mengendalikan gulma target dengan meniru hormon auksin (indole acetic acid)

tanaman sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak terkendali. Jenis

herbisida ini membunuh gulma target ketika diberikan pada dosis yang efektif

sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak terkendali dan tidak

terorganisir yang mengarah ke kematian tanaman. Triklopir memiliki berat

molekul 256,46 g mol-1 dan rumus molekul C7H4Cl3NO3. Nama kimia

[(3,5,6-trichloro-2-pyridinyl)oxy] acetic acid dengan struktur kimia seperti pada

Gambar 3. Gejala khas triklopir yaitu epinasti, tangkai batang memutar dan

membungkuk, batang bengkak, serta daun mengeriting (Antunes et al., 2004).

Konsentrasi rendah triklopir dapat merangsang RNA, DNA, dan sintesis protein

menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkendali dan pertumbuhan, dan,

akhirnya kerusakan jaringan pembuluh darah. Sebaliknya, konsentrasi tinggi

triklopir dapat menghambat pembelahan sel dan pertumbuhan (Tu et al., 2003).

(52)

26

2.7.4 Herbisida Glifosat

Herbisida glifosat merupakan golongan herbisida pascatumbuh yang bersifat

nonselektif dan bersifat sistemik yaitu herbisida ditranslokasikan dari tempat

terjadinya kontak pertama dengan tumbuhan ke bagian tubuh lainnya. Translokasi

herbisida glifosat dalam tumbuhan berlangsung secara simplastik yaitu melalui

jaringan hidup dengan pembuluh utama floem bersamaan dengan hasil fotosintesis

(Ross dan Lembi, 1985). Herbisida ini bergerak sejalan dengan arah translokasi

hasil fotosintat dan transpor dipicu adanya perbedaan nilai potensial osmotik

dalam floem antara source dan sink (Ashton dan Crafts, 1981).

Glifosat diformulasikan sebagai garam isopropilamina glifosat yang diaplikasikan

sebagai herbisida pascatumbuh. Glifosat memiliki nama kimia

N-(phosponomethyl) glycine dengan rumus molekul C3H8NO5P. Glifosat dapat

mempengaruhi pigmen sampai terjadi klorotik, pertumbuhan terhenti, dan

tumbuhan dapat mati. Herbisida ini juga menghambat lintasan biosintetik asam

amino aromatik (Triharso, 1994). Rumus bangun glifosat terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rumus bangun glifosat (Ashton dan Crafts, 1981).

Herbisida glifosat diserap melalui daun dan diangkut ke dalam semua jaringan

tumbuh. Pengaruh penyemprotan akan terlihat setelah 2 – 4 hari pada gulma

(53)

27

menghambat aktivitas enzim 5-enolpyruvylshikimic sintase asam-3-fosfat (EPSP),

yang diperlukan untuk pembentukan asam amino aromatik yaitu tirosin, triptofan,

dan fenilalanin (Miller et al., 2010).

Glifosat menghambat pemanjangan akar kecambah, karena masuknya herbisida

glifosat ke dalam tubuh tumbuhan melalui akar menghambat pertumbuhan

terutama pemanjangan akar dan mencegah pertumbuhan akar lateral (Moenandir,

1993).

Menurut Ashton dan Crafts (1981), glifosat di dalam tanah dianggap

nonfitotoksisitas atau tidak meracuni tanaman karena senyawa herbisida tersebut

terikat kuat pada partikel tanah. Pencucian herbisida glifosat oleh air hujan dalam

selang waktu 2 jam setelah aplikasi, tidak mengurangi efektivitas daya bunuh

herbisida (Girsang, 2005).

Menurut Sukman dan Yakup (1995), glifosat termasuk ke dalam golongan

herbisida sistemik yang jika diberikan pada pertumbuhan kemudian diserap oleh

jaringan daun lalu ditranslokasikan ke seluruh bagian tumbuhan seperti titik

tumbuh, akar, dan rimpang maka tumbuhan tersebut akan mengalami kematian

total.

Menurut Sastroutomo (1992), glifosat merupakan herbisida sistemik tidak selektif

termasuk golongan organofosforus yang merupakan turunan asam amino glisin.

Senyawa ini diserap melalui daun dan diangkut ke semua jaringan tumbuhan dan

(54)

28

saat pertumbuhan daun aktif sehingga dapat menyerap bahan aktif yang

ditranslokasikan ke seluruh bagian tumbuhan.

Herbisida glifosat selain menanggulangi gulma, juga memperbaiki sifat fisik dan

kimia tanah. Penggunaan herbisida isopropilamina glifosat dapat meningkatkan

laju permeabilitas, ketersediaan P dan KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah

(Lamid et al., 1996). Budidaya tanpa olah tanah dengan aplikasi herbisida

glifosat, ketersediaan N dan C organik serta mikroba tanah meningkat (Niswati et

al., 1995).

2.7.5 Herbisida 2,4-D

2,4-D adalah herbisida selektif yang cara kerjanya meniru hormon auksin

pertumbuhan (indole acetid acid), yang menyebabkan pertumbuhan tidak

terkendali dan akhirnya terjadi kematian tanaman rentan herbisida. Herbisida ini

memiliki rumus molekul C8H6Cl2O3, berat molekul 221,04 g mol-1, nama kimia

(2,4-dichlorophenoxy) acetic acid dengan struktur kimia seperti Gambar 5

(Tomlin, 2003).

Gambar 5. Rumus bangun 2,4-D (Tomlin, 2003).

Konsentrasi rendah 2,4-D dapat merangsang RNA, DNA, dan sintesis protein

menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkendali dan akhirnya kerusakan

jaringan tumbuhan. Sebaliknya, konsentrasi tinggi 2,4-D dapat menghambat

pembelahan sel dan pertumbuhan (Tu et al., 2003). Gejala keracunan tanaman C l

C l

(55)

29

yang ditimbulkan oleh herbisida 2,4-D antara lain yaitu terjadinya epinasti,

terbentuknya jaringan tumor, batang melengkung dan mudah patah, serta daun

menggulung (Sriyani, 2013).

Menurut Moenandir (1990), herbisida dengan bahan aktif 2,4-D akan

menghambat pertumbuhan gulma dengan mempercepat respirasi, menyebabkan

adanya bahan aktif dapat mempercepat kematian gulma. Cara kerja herbisida

dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan

tumbuhan. Penambahan konsentrasi herbisida mampu mempercepat proses

kematian gulma.

Zat pengatur tumbuh (ZPT) dari golongan auksin dapat meningkatkan daya

kecambah beberapa jenis tanaman. Salah satu senyawa yang tergolong auksin

adalah ZPT 2,4-D. Senyawa tersebut pada konsentrasi rendah dapat mendorong

pembelahan sel, mendorong pertumbuhan tanaman, dan meningkatkan daya

kecambah benih. Pengaruh Konsentrasi ZPT 2,4-D 0,72 ppm (part per million)

menghasilkan presentase benih berkecambah dan kecepatan benih berkecambah

tertinggi, serta jumlah akar terbanyak sedangkan konsentrasi ZPT 2,4-D 1,20 ppm

menghasilkan pertambahan tinggi terbanyak, panjang akar terpanjang, berat

basah, dan berat kering tanaman tertinggi (Podesta et al., 2008).

Hasil dari penelitian penggunaan herbisida tunggal ametrin (dosis 3 l ha-1), 2,4-D

(dosis 3 l ha-1) serta herbisida campuran 2,4-D + ametrin (dosis 2 l ha-1 + 3 l ha-1)

apabila diaplikasikan 1 kali maupun 2 kali lebih efektif mengendalikan gulma dan

mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu vegetatif tanaman tebu jika

(56)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tahap ke-2 (lanjutan) yang dilaksanakan di

Kelurahan Rajabasa, Bandar Lampung dan Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas

Pertanian Universitas Lampung dari bulan Oktober 2013 – Januari 2014. Tahap

pertama telah dilaksanakan pada bulan Februari – Mei 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian adalah tanaman kelapa sawit belum

menghasilkan berumur 16 bulan (tinggi + 140 cm), DPX-MAT28 adalah herbisida

berbahan aktif aminosiklopiraklor yang ditemukan oleh PT. DuPont Crop

Protection, kombinasi herbisida berbahan aktif aminopiralid+triklopir

(Garlon-Mix 480 EW), herbisida berbahan aktif glifosat (Round Up 486 SL), herbisida

berbahan aktif 2,4-D (Lindomin 865 SL) serta air sebagai pelarut herbisida.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah knapsack sprayer dengan

nosel berwarna kuning, klorofilmeter, gelas ukur, rubber bulb, ember plastik,

timbangan analitik, oven, pengaduk, meteran, cangkul, sabit, kuadran

(50 cm x 50 cm), patok bambu, amplop kertas, kantong plastik, alat tulis, dan alat

(57)

31

3.3 Metode Penelitian

Penelitian disusun menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Sempurna

(RKTS) dengan 9 perlakuan dan 4 ulangan. Herbisida yang diuji adalah herbisida

aminosiklopiraklor, dan sebagai pembanding digunakan herbisida glifosat,

aminopiralid+triklopir, serta 2,4-D. Masing-masing perlakuan diterapkan pada

satuan unit percobaan. Susunan perlakuan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan Herbisida

No Perlakuan Dosis bahan aktif (g ha-1)

Dosis formulasi (ml ha-1)

1 Aminosiklopiraklor 7,5 31,25

2 Aminosiklopiraklor 15 62,5

3 Aminosiklopiraklor 30 125

4 Aminosiklopiraklor 60 250

5 Glifosat 729 1500

6 Aminopiralid+Triklopir 115,2+64,8=180 375

7 2,4-D 1297 1500

8 Mekanis - -

9 Kontrol - -

Seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANARA.

Homogenitas data diuji dengan Uji Bartllet dan aditivitas data diuji dengan

Uji Tukey. Sedangkan untuk uji perbedaan nilai tengah perlakuan digunakan uji

(58)

32

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Penentuan Petak Percobaan

Penentuan petak percobaan dilakukan dengan memberi nomor perlakuan pada

patok bambu dengan menggunakan cat. Setiap satuan unit percobaan terdiri dari

satu tanaman kelapa sawit belum menghasilkan dengan rata-rata tinggi + 140 cm

dengan jarak antartanaman 2 m x 2 m. Gambar 1 merupakan skema tata letak

percobaan.

UI UII

UIV UIII

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

Keterangan:

P1 : Aminosiklopiraklor 7,5 g ha-1 P2 : Aminosiklopiraklor 15 g ha-1 P3 : Aminosiklopiraklor 30 g ha-1 P4 : Aminosiklopiraklor 60 g ha-1 P5 : Glifosat 729 g ha-1

P6 : Aminopiralid+Triklopir 115,2+64,8=180 g ha-1 P7 : 2,4-D 1297g ha-1

P8 : Mekanis P9 : Kontrol

Gambar

Gambar
Gambar 3. Rumus bangun triklopir (Antunes et al., 2004).
Gambar 4. Rumus bangun glifosat (Ashton dan Crafts, 1981).
Tabel 1. Perlakuan Herbisida
+3

Referensi

Dokumen terkait

Namun, hasil temuan dari penelitian yang dilakukan pada UMKM Kota Semarang menunjukan bahwa penetrasi pasar memiliki pengaruh positif yang lebih besar dan signifikan terhadap

Untuk maksim ketidaksantunan berbahasa berdasarkan data yang peneliti peroleh dari hasil diskusi mahasiswa hanya ditemukan 3 maksim ketidaksantunan berbahasa yaitu

adalah melihat kesesuaian isi dengan indikator dan tujuan pembuatan skala. Berdasarkan penilaian tiap kriteria tersebut, skala self- efficacy telah memenuhi kriteria baik

Selanjutnya apabila dipandang perlu, terhadap kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi di dalam wilayah kabupaten/kota dapat disusun rencana tata ruang

p. Guru menutup pelajaran dengan berdoa. Menerapkan metode Cooperative Script pada pembelajaran IPA materi perubahan pada makhluk hidup, diharapkan siswa dapat

yang terdapat dI SMP Ma’arif NU 1 Cilongok dapat mendukung pembelajaran menggunakan pendekatan Salingtemas. Lokasi yang dekat dengan kebun dan Lapangan berumput.

Beberapa saran untuk pemanfaatan, dise- minasi dan pengembangan produk lebih lanjut yaitu: (1) perangkat pembelajaran matematika siswa SMK yang dihasilkan terdiri

Artinya, mereka yang menjalankan tugas jurnalistik, tidak bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP 9 .” Secara hukum didasarkan pada pasal 50 KUHP yang