KOMPLIKASI DARI
KONDISI-KONDISI BERKELAINAN
MASALAH-MASALAH SOMATOPSIKOLOGIS
SASARAN STUDI
1. Mampu mendefinisikan dan membedakan antara masalah-masalah “somatopsikolo -gis” dan “psikosomatis”.
2. Mampu menggambarkan (a) deviasi yang berhubungan dengan ketidak-mampuan, (disability) yang pada gilirannya berkaitan dengan handikap; (b) deviasi yang berhubungan dengan handikap tanpa suatu ketidak-mampuan yang menghambat. 3. Mampu menyarankan suatu susunan lingkungan yang mungkin mengubah deviasi
yang saat ini tidak relevan menjadi suatu handikap.
4. Mampu menyebutkan dan menguraikan strategi-strategi intervensi untuk (a) menurunkan kurangnya deviasi fungsional; dan (b) menurunkan visibilitas deviasi. 5. Mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan “memperkaya stimulus dan
kesempatan-kesempatan respon”.
6. Mampu menyebutkan tiga cara di mana reaksi sosial terhadap deviasi dapat diubah secara positif.
SOMATOPSIKOLOGI
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, pertama-tama perlu membahas beberapa definisi dan konsep dasar dari “somatopsikologi,” suatu studi tentang pengaruh deviasi badaniah pada perilaku. Istilah seperti “ketidak-mampuan (disability)” dan “handikap” digunakan secara longgar oleh sebagian besar orang; malah seringkali kedua kata tersebut saling dipertukarkan. Namun demikian, para pendidik khusus dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pendidikan, penanganan, dan rehabilitasi haruslah membedakan di antara dua terminologi tersebut karena keduanya membawa implikasi bagi pendidikan dan terapi (Hamilton, 1950; Steven, 1962).
“Ketidak-mampuan / disability” dapat dijelaskan sebagai (1) suatu deviasi atau penyimpangan pada tubuh atau fungsi (2) yang berakibat adanya ketidak-sempurnaan fungsi (3) dalam pandangan kebutuhan-kebutuhan lingkungan. “Handikap” dapat digunakan untuk merujuk ke masalah-masalah, ketidak-beruntungan (disadvantages), kecaman sosial (yakni berbagai tingkatan hukuman maupun hilangnya hadiah / reward) yang diakibatkan oleh suatu disability (Steven, 1962).
Gambar 8-1 menunjukkan hubungan antara disability dan handikap. Uraian berikut akan lebih menjelaskan hubungan tersebut.
pertimbangan penting lainnya: yakni kebutuhan-kebutuhan kultural dan lingkungan. Misalnya, di antara suku-suku di Afrika panjang leher menjadi suatu perbedaan yang sangat penting. Variasi dalam warna kulit, yang mungkin nampak tidak atau sedikit memiliki kepentingan obyektif, ternyata menunjukkan signifikansi yang besar dalam budaya kita.
GAMBAR 8-1 Hubungan antara lingkungan, disability, dan handikap
Perbedaan-perbedaan individu yang sama yang terbentuk dalam lingkungan-lingkungan yang beda, karenanya, menghasilkan konsekuensi yang berbeda-beda untuk orang tersebut. “Variasi” atau “deviasi” adalah relatif terhadap konteks. Dalam budaya kita, deviasi-deviasi tertentu diberi hadiah, dan beberapa diberi hukuman, serta beberapa lagi tidak menerima konsekuensi efektif. Di dalam budaya lain, konsekuensi-konsekuensi dari deviasi yang sama boleh jadi sebaliknya. (Freedman, 1968; Goffman, 1963; Klapp, 1962; Rubington dan Weinberg, 1968).
disability”; yakni orang yang tampaknya (apperance) atau fungsinya (functioning) di
dalam suatu lingkungan (atau keduanya) menempatkan mereka pada suatu ketidak- beruntungan (disadvantage). Ketidak-beruntungan tersebut mengakibatkan hilangnya hadiah (reward), lebih sulitnya memperoleh hadiah, atau dihadapkan kepada hukuman. Pelbagai konsekuensi negatif yang berakumulasi mengakibatkan timbulnya handikap.
Seorang remaja putri Amerika yang tunanetra (tunanetra mengakibatkan suatu deviasi dalam fisik) bisa menghadapi kesulitan baik di sekolah atau di tempat kerja dan bisa menderita dikarenakan hukuman (punishment) sosial serta hilangnya hadiah (reward). Oleh karena itu, dalam budaya ini si gadis adalah seseorang yang memiliki disability serta handikap. Deviasinya berinterkasi dengan lingkungan yang pada gilirannya menghasilkan ketidak-beruntungan yang signifikan atau mencolok bagi si gadis. Kondisi tunanetra adalah suatu “deviasi” yang dapat diistilahkan sebagai suatu
“disability” dalam pandangan lingkungan si gadis tersebut. Ketidak-beruntungan yang diakibatkan, dalam konsekuensi sosial dan emosional, membentuk suatu handikap. Oleh sebab itu, “handikap” berarti menunjukkan beban yang diderita oleh individu sebagai akibat yang tidak menguntungkan dari deviasi dan lingkungan.
Sebagai suatu ilustrasi yang lain, ambil contoh seorang laki-laki dengan kaki yang lumpuh yang tidak melepaskan diri dari kursi roda. Secara umum, dalam budaya kita maupun sebagian besar budaya lain deviasi fisik seperti ini menimbulkan suatu disability dengan handikap ganda yang diakibatkannya. Namun demikian, mungkin saja
handikap bergantung tidak hanya pada deviasi, namun juga pada konteks lingkungan (Rubington dan Weinberg, 1968).