BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perilaku seksual di kalangan remaja yang yang belum menikah menunjukkan tren yang tidak sehat. Hal ini dapat dipengaruhi era globalisasi yang dianggap sebagai
bentuk modernitas bagi sebagian remaja. Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman
beralkohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan
mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas (Rachman,
2008).
Seks bebas dan kehamilan dikalangan remaja merupakan salah satu contoh
realita perilaku remaja di bidang seksual. Hal ini ditambah dengan terbatasnya pengetahuan mereka tentang sistem reproduksi, seringkali menyebabkan perbuatan coba-coba karena ingin tahu perbuatan mereka membuahkan kehamilan yang tidak
direncanakan (Tanjung, 2001).
Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan serangkaian akibat seperti
AIDS. Perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Beberapa remaja berpendapat bahwa mereka permisif terhadap
perilaku seksual pranikah. Bahkan banyak dari mereka yang sudah kehilangan keperawanan saat masih duduk di bangku sekolah (Uin, 2013).
Bagaimanapun orang tua juga memegang peranan penting didalam remaja memutuskan atau tidak melakukan hubungan seks. Penelitian pada tahun 2001 diperoleh 45% remaja mengatakan bahwa orang tua berpengaruh sangat kuat
terhadap keputusan mereka terhadap seks. Orang tua mempengaruhi keputusan remaja dalam perilaku seks dengan melalui status perkawinan orang tua, sikap,
pengawasan dan meliputi kehidupan anak-anak mereka (Maher, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi orang tua merupakan aspek yang dapat mempererat kedekatan hubungan orang tua-remaja dan sekaligus internalisasi
nilai-nilai norma, keyakinan, sikap dan harapan yang disampaikan orang tua pada remajanya (Martino, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Wiendijarti (2011) mengenai ”Komunikasi Interpersonal Orang Tua dan Anak dalam Pendidikan Seksual” di SMU Yogyakarta Kelas 2 yang berjumlah 50 orang menyebutkan bahwa dari sudut pandang remaja
sendiri, mereka mendambakan untuk memperoleh informasi tentang seks dari orangtuanya sendiri. Bagi kaum remaja pada umumnya, mereka sebagian besar
situs-situs porno di internet, pelajaran di sekolah dan hanya sedikit yang memperoleh dari orang tua.
Ketika remaja menuntut otonomi, maka orang tua yang bijaksana harus melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil
keputusan-keputusan yang masuk akal, di samping terus memberikan bimbingan untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana pengetahuan anak remajanya masih terbatas (Desmita, 2006).
Perlunya pengikatan dan pendampingan orang tua memang berat tantangannya karena seringkali remaja bersikap kritis dan cenderung menentang
pendapat orang tua, sehingga orang tua perlu membangun komunikasi dengan anak terutama masalah seksualitas dengan menyadari berbagai perubahan atau gejolak yang dialami remaja. Orang tua harus mampu memposisikan diri sebagai sahabat bagi
remaja serta perlu melakukan pengikatan emosi terhadap mereka dengan tujuan agar anak selalu merasa dekat dan aman di lingkungan keluarganya. Komunikasi orang tua
dan anak dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai dan komunikasi diantara keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi yang efektif dilandasi
adanya kepercayaan, keterbukaan dan dukungan yang positif pada anak agar anak dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orang tua (Rakhmat, 2007).
komunikasi, orangtua seharusnya menjadi sumber informasi dan pendidik utama tentang seksualitas bagi remajanya. Namun, orangtua sering menghadapi kesulitan
untuk membicarakan masalah seksual kepada remajanya, begitu pun sebaliknya (Kirby D, Miller BC, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Teguh (2012) mengenai Kesehatan Reproduksi dengan Praktik Seksual Pranikah pada Mahasiswi Kebidanan di Politeknik Kesehatan Depkes Semarang” yang berjumlah 43 orang oleh Ahmad
Teguh (2012) menyebutkan bahwa faktor yang memengaruhi perilaku seksual selain sikap remaja adalah kurangnya informasi mengenai seks peran orang tua yang kurang
dan adanya situasi yang mendukung. Untuk itu perlunya informasi tentang pemenuhan kebutuhan remaja melalui program yang tepat termasuk pendidikan dan konseling.
Komunikasi antara orang tua dengan remaja dikatakan berkualitas apabila kedua belah pihak memiliki hubungan yang baik dalam arti bisa saling memahami,
saling mengerti, saling mempercayai dan menyayangi satu sama lain (Putri, 2012). Komunikasi antara orang tua dan anak mengenai seksualitas merupakan usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisik, hubungan antar manusia,
kesehatan seksual dan konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut, sehingga timbul pengertian dan penghayatan pada remaja tentang identitas
Pembentukan sikap dapat dilakukan oleh orangtua melalui pendidikan seks untuk meningkatkan pengetahuan remaja tentang seksualitas. Remaja yang memiliki
kesulitan berkomunikasi dengan orangtuanya tentang masalah seksualitas, cenderung memiliki sikap permisif terhadap hubungan seksual (Nuranti, 2009).
Penelitian yang dilakukan Desi Kurnia Sari (2010) mengenai ”Komunikasi Orang Tua dan Perilaku Seksual Remaja Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Baturaja” Kelas 3 SMK yang berjumlah 250 orang oleh menyebutkan bahwa dalam
berkomunikasi tentang hal yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja, orangtua paling sering memberikan nasehat tentang larangan untuk tidak melakukan
hubungan seksual, namun orangtua tidak memberikan batasan yang jelas dalam pacaran. Remaja mempersepsikan sendiri pesan orangtua, bahwa batas yang tidak boleh dilakukan dalam pacaran adalah hubungan seks.
Permasalahan yang dihadapi remaja nampaknya kurang mampu ditanggapi secara empati oleh orang tua, hal ini yang kemudian menimbulkan adanya
semacam‘gap’ antara remaja dan orang tua. Orang tua dipandang kurang mampu memahami jiwa remaja, sebaliknya remaja dianggap oleh orang tua kurang bisa mengerti keadaan orang tua. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan menciptakan
komunikasi interpersonal yang efektif antara remaja dengan orangtua (Wiendijarti, 2011).
Surabaya oleh Syaifuddin Zuhri (2008) menyebutkan orang tua remaja selalu melakukan komunikasi dengan putra putri mereka, tetapi ketika topik pembicaraan
yang akan dibahas mengarah pada seksualitas remaja merasakan adanya kesenjangan dalam berkomunikasi dengan alasan merasa tabu dan sungkan bila berbicara
seksualitas dengan putra putri.
Hasil penelitian lain dalam jurnal yang berjudul ”Parental Communication and Youth Sexual Behaviour” menyebutkan telah dilakukan penelitian pada 1083
remaja dengan rentang usia antara 13-17 tahun menyatakan bahwa remaja mempunyai kemungkinan yang sangat kecil untuk melakukan pergaulan bebas jika
orang tua mereka mengajarkan dengan jelas dan benar tentang penundaan aktivitas seksual dan berbagai penyakit kelamin. Remaja yang aktif berkomunikasi dengan orang tua cenderung tidak akan melakukan perilaku seks pranikah serta akan
melakukan pembatasan kelahiran. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang tua mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mempengaruhi keputusan
perilaku seksual anak-anak mereka (Aspy, 2007).
Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Annika Joan Wood, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang asal Australia, yang hasilnya
memaparkan bahwa 30% mahasiswi sudah melakukan hubungan seks pranikah. Faktor yang banyak mempengaruhi hubungan seks tersebut karena persoalan nafsu
yang sudah menikah, serta masih banyak orang tua yang hanya melarang anaknya melakukan pergaulan bebas tanpa pernah menjelaskan dampak negatifnya (Abm,
2009).
Hal yang sama ditemukan oleh Ririn Darmasih (2011) mengenai “Kajian
Perilaku Sex Pranikah Remaja SMA di Surakarta” yang berjumlah 114 orang menyebutkan ada pengaruh secara signifikan antara peranan keluarga terhadap perilaku seks pranikah pada remaja SMA di Surakarta. Orang tua adalah tokoh
penting dalam perkembangan indentitas remaja. Orang tua dapat membangun hubungan dan merupakan sistem dukungan ketika remaja menjajaki suatu dunia
sosial yang lebih luas dan lebih kompleks.
Selain komunikasi orang tua dengan anak, salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah kontrol diri. Kontrol diri (self control)
dapat diartikan sebagai kemampuan mengatur proses fisik, psikologis, dan perilaku
dalam menghadapi stimulus sehingga dapat menghindari konsekuensi yang tidak
diinginkan (Safitri, 2007).
Menurut Safarino (1997) mengemukakan bahwa kontrol diri diperlukan untuk mengatur perilaku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan pada saat seseorang
berhadapan dengan stimulus-stimulus. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan
bahwa kontrol diri merupakan salah satu faktor dari dalam diri manusia yang sangat
penting sehingga dapat terhindar dari perilaku seksual pranikah di kalangan remaja.
Kontrol diri yang tinggi sangat dibutuhkan sehingga seorang individu tidak gampang
Dalam konsep kontrol diri pada remaja selalu diikuti dengan perilaku yang dikendalikan rasa bersalah, sebab dalam diri seseorang yang mempunyai moral yang
matang selalu ada rasa bersalah dan malu. Namun, rasa bersalah berperan lebih penting dari pada rasa malu dalam mengendalikan perlaku apabila pengendalian
lahiriah tidak ada. Hanya sedikit remaja yang mampu mencapai tahap perkembangan moral yang demikian sehingga remaja tidak dapat disebut secara tepat orang yang ”matang secara moral” (Susanti, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Iga Serpianing Aroma (2010) mengenai ” Tingkat Kontrol Diri dengan Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja” di SMK X
Kediri yang berjumlah 265 orang oleh Iga Serpianing Aroma (2010), menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat kontrol diri dengan kecenderungan perilaku kenakalan remaja. Semakin tinggi tingkat kontrol diri maka semakin rendah
pula kecenderungan perilaku kenakalan remaja, sebaliknya semakin rendah tingkat kontrol diri maka semakin tinggi kecenderungan perilaku kenakalan remajanya.
Perilaku kenakalan remaja yang menyimpang terhadap norma antara lain seks pranikah dikalangan remaja dan aborsi oleh remaja wanita dan lain sebagainya.
Penelitian lain mengenai kontrol diri yang dilakukan oleh Dini Susanti,
mahasiswa psikologi UIIS Malang tahun 2002, yang memaparkan bahwa dari keseluruhan responden sudah cukup mampu mengontrol diri mereka agar tidak
dengan jalan yang positif, dan 50% dari mereka yang mengatakan bahwa hubungan seks pranikah adalah suatu hal yang wajar dan mereka tidak mampu mengontrol diri
untuk melakukan seks pranikah karena mereka didukung oleh pergaulan (Susanti, 2002).
Perilaku negatif remaja terutama hubungannya dengan penyimpangan seksualitas seperti seks pranikah ini, banyak faktor yang mempengaruhi (internal dan eksternal). Di samping kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak mengenai
seksualitas, ada juga faktor eksternal penyebab terjadinya perilaku seks pranikah yaitu lemahnya kontrol diri remaja. Untuk itu diharapkan dengan adanya kontrol diri
remaja dan kontrol dari keluarga terutama efektivitasnya komunikasi orang tua dan anak akan mampu menjaga sikap, tanggung jawab, etika dan moralnya, serta dapat mengurangi atau mencegah terjadinya perilaku seksual pranikah di kalangan remaja.
Berdasarkan observasi peneliti terhadap SMA yang ada di Medan Tembung yang terdiri dari SMA Mulia, SMA Prasetia, SMA Teladan dan SMA Prayatna
diperoleh bahwa SMA Prayatna yang dijumpai lebih banyak yang melakukan seks pra nikah jika dibandingkan dengan SMA lain yang ada di Medan Tembung. Peneliti melaksanakan penelitian di SMA Prayatna Medan.
Peneliti mengambil lokasi penelitian di SMA Prayatna Medan, dengan alasan bahwa SMA Prayatna Medan adalah salah satu SMA yang siswanya banyak
yang dilakukan terhadap 10 orang siswa, menurut siswi tersebut bahwa mereka sekitar 30% sudah melakukan seks pra nikah. Keadaan ini terkait dengan komunikasi
orang tua dan anak yang kurang baik terutama komunikasi tentang seksual dan pendidikan seks yang kurang dari orang tua terhadap anak yang kurang di dapatkan
anak dari orang tua. Selain itu siswa SMA Prayatna kurang mengontrol diri dari dorongan seksual yang menyebabkan keinginan-keinginan yang menuntut kepuasan, sehingga sukar sekali dikendalikan, tetapi dengan jujur harus diakui bahwa remaja
kesulitan dalam mengendalikan seks pada saat berpacaran dengan lawan jenisnya. Karena
meningkatnya minat pada seks, remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi
mengenai seks.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di SMA Prayatna Medan, dengan alasan bahwa SMA Prayatna Medan adalah salah satu SMA yang siswanya banyak melakukan seks pra nikah jika dibandingkan dengan SMA lain yang ada di kota Medan. Selain itu SMA Prayatna Medan merupakan berada di pusat kota dan memiliki lingkungan sosial budaya yang berbeda-beda. Dan berdasarkan survey awal yang dilakukan terhadap 10 orang siswa, menurut siswi tersebut bahwa mereka sekitar 30% sudah melakukan seks pra nikah. Keadaan ini terkait dengan komunikasi orang tua dan anak yang kurang baik terutama komunikasi tentang seksual dan pendidikan seks yang kurang dari orang tua terhadap anak yang kurang di dapatkan anak dari orang tua. Selain itu siswa SMA Prayatna kurang mengontrol diri dari dorongan seksual yang menyebabkan keinginan-keinginan yang menuntut kepuasan, sehingga sukar sekali dikendalikan, tetapi dengan jujur harus diakui bahwa remaja
meningkatnya minat pada seks, remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi
mengenai seks.
Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa seluk-beluk tentang seks dapat
dipelajari dari orang tuanya. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi
yang mungkin dapat diperoleh, misalnya lewat internet, membahas dengan teman-teman,
buku-buku tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi,
bercumbu, atau bersenggama.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang ”Hubungan komunikasi orang tua-anak dan kontrol diri siswa dengan
perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan”.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana hubungan komunikasi orang tua-anak dan kontrol diri siswa dengan
perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan komunikasi orang
tua-anak dan kontrol diri siswa dengan perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan.
1.4. Hipotesis
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Sekolah SMA Prayatna Medan dan khususnya guru-guru sebagai informasi
upaya meningkatkan perhatian perilaku seks pranikah siswa/siswinya.
2. Bagi orang tua siswa sebagai upaya meningkatkan komunikasi mengenai
seksualitas terhadap anak untuk menurunkan perilaku seks pranikah.