PERBANDINGAN REDUPLIKASI BAHASA JAWA NGOKO DENGAN BAHASA INDONESIA
ANDRYANA SARI
ABSTRAK
Reduplikasi merupakan proses pembentukan kata dengan cara pengulangan pada kata dasar dan reduplikasi merupakan salah satu proses morfologis. Untuk menentukan bentuk reduplikasi terlebih dahulu menentukan bentuk dasarnya, misalnya kata wit (Jawa Ngoko) ‘pohon’ kemudian direduplikasi menjadi wit-wit ‘pohon-pohon’. Ataupun dengan adanya variasi fonem atau perubahan bunyi pada hasil pengulangan, misalnya pada kata mlayu ‘berlari’ menjadi mloya-mlayu ‘berlari-lari’. Selain itu juga pada kata tamu (Indonesia) menjadi tetamu karena pengulangan pada konsonan-vokal pada gugus pertama.
Untuk menentukan bahwa data-data yang terkumpul dapat diolah menjadi bentuk dan proses reduplikasi maka digunakan metode Sudaryanto (1993) dan Keraf (1997) dengan menggunakan metode agih, metode deskriptif,dan metode komparatif. Dalam penganalisisan data digunakan teori Podjosoedarmo (1981) dan Simatupang (1979).
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam
menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
baik berupa dorongan moril dan materil, nasehat dan petunjuk. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada :
1. Abi Eko Saryono dan Ummi Sufyana, kalian adalah orang tua yang luar biasa.
Pengorbanan dan kasih sayang Abi dan Ummi takkan bisa ananda balas dengan
apapun.
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.
3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. sebagai Ketua Departemen Sastra
Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis
selama menajalankan perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia.
4. Bapak Drs. Haris Sultan Lubis, M.S.P sebagai sekretaris Departemen Sastra
Indonesia.
5. Bapak Drs. Hariadi Susilo, M.Si. selaku pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Drs. T. Aiyub Sulaiman selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.
7. Bapak drs. Gustaf Sitepu, M.Hum.selaku dosem Pembimbing Akademik yang
8. Bapak/Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia yang telah mendidik
penulis selama menjadi mahasiswa serta seluruh pegawai Fakultas Ilmu Budaya
USU.
9. Adik-adik saya Putri Nadhya dan Roni Iqsal Elani, jadikanlah apa yang telah
kakak lakukan selama ini sebagai motivasi kalian dikedepannya.
10.Kakek saya M. Abbas yang telah memberikan bantuan dan dorongannya selama
penulisan skripsi ini.
11.Teman-teman stambuk 2009 yang telah memberikan bantuannya dalam
penyusunan skripsi.
12.Sahabat penulis Emma Marsella, Dita Wulandari, Riski Handayani, dan Siti Ayu
Nurhidayati yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
13.Para pengurus BTM Al-Iqbal Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah
memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis.
14.Teman-teman Sofyan 52 Fitri, Annisa, Ria, Qoriah, Tari, Putri, Gita, Indah, dan
Ika yang telah memberikan dorongan dan bantuannya selama penulisan skripsi
ini.
Akhirnya penulis mengucapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
untuk menambah pengetahuan.
Medan, 15 Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK……… i
PRAKATA……… ii
DAFTAR ISI……… iv
DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL………….………. viii
DAFTAR TABEL……… ix
BAB I PENDAHULUAN………. 1
1.1 Latar Belakan……….. 1
1.2 Rumusan Masalah……….. 6
1.3 Pembatasan Masalah……….. 7
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 7
1.4.1 Tujuan Penelitian………. 7
1.4.2 Manfaat Penelitia………... 8
1. Manfaat Teoritis……… 8
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep………. 9
2.1.1 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko.……… 9
2.1.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia………. 10
2.1.3 Bahasa Jawa Ngoko……….. 12
2.1.4 Bahasa Indonesia……….. 13
2.2 Landasan Teori………. 15
2.2.1 Morfolologi.……….. 15
2.2.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia……… 16
2.2.3 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko……… 22
2.3 Tinjauan Pustaka………. 23
BAB III METODE PENELITIA………. 25
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 25
3.1.1 Lokasi Penelitian……… 25
3.1.2 Waktu Penelitian……… 25
3.2 Sumber Data……….. 25
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………... 26
BAB IV PEMBAHASAN……… 29
4.1 Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……. 29
4.1.1 Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko……….. 29
4.1.1.1 Dwilingga……… 29
4.1.1.2 Dwilingga Salin Suara………. 32
4.1.1.3 Dwipurwa……… 34
4.1.1.4 Dwiwasana……….. 34
4.1.1.5 Dwi Dwipurwa……….. 35
4.1.1.6 Dwi Dwiwasana………. 36
4.1.1.7 Dwi Dwipurwa Salin Suara……… 36
4.1.1.8 Dwi Dwiwasana Salin Suara………. 37
4.1.2 Bentuk Reduplikasi Bahasa Indonesia……….. 38
4.1.2.1 Reduplikasi Penuh………. 38
4.1.2.2 Reduplikasi Parsial………. 39
4.2 Persamaan dan Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan
Bahasa Indonesia………... 42
4.2.1 Persamaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……….. 42
4.2.2 Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……… 42
4.3 Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……… 45
4.3.1 Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko……… 45
4.3.1.1 Dwilingga………. 45
4.3.1.2 Dwilingga Salin Suara………. 51
4.3.1.3 Dwipurwa………. 52
4.3.1.4 Dwiwasana……… 53
4.3.1.5 Dwi Dwipurwa……… 54
4.3.1.6 Dwi Dwiwasana……… 55
4.3.1.7 Dwi Dwipurwa Salin Suara……….. 55
4.3.2 Proses Reduplikasi Bahasa Indonesia………. 58
4.3.2.1 Tipe R-1 : (D + R)………. 58
4.3.2.2 Tipe R-2 : (D + Rperf)………... 59
4.3.2.3 Tipe R-3 : ((D + R) + ber-)……… 60
4.3.2.4 Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an)……… 61
4.3.2.5 Tipe R-5 : (D + (R + ber-))………. 62
4.3.2.6 Tipe R-6 : ((D + R) + meN-)…..……… 63
4.3.2.7 Tipe R-7 : (D + (R + meN-))……… 64
4.3.2.8 Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i))……… 65
4.3.2.9 Tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan)……… 65
4.3.2.10 Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i)……… 66
4.3.2.11 Tipe R-11 : ((D + R) + se-)……… 67
4.3.2.12 Tipe R-12 ; ((D + R) + ke-/(-nya))……… 68
4.3.13 Tipe R-13 : ((D + R) + ke-/-an)………. 69
4.3.16 Tipe R-16 : (D + Rp)………. 72
4.4 Persamaan dan Perbedaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia………. 73
4.4.1 Persamaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……… 73
4.4.2 Perbedaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia………. 73
BAB V SIMPULAN DAN SARAN………. 77
5.1 Simpulan………... 77
5.2 Saran………. 80
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN
D Bentuk Dasar
DL Dwilingga
DLS Dwilingga Salin Suara
DP Dwipurwa
DW Dwiwasana
DDP Dwi Dwipurwa
DDW Dwi Dwiwasana
DDPS Dwi Dwipurwa Salin Suara
DDWS Dwi Dwiwasana Salin Suara
K Konsonan
R Reduplikasi
V Vokal
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Persamaan dan Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa
Indonesia……… 44
Tabel 2 Dwilingga Sebagian Berprefiks N-……… 48
Tabel 3 Dwilingga Sebagian Berprefiks di-………... 49
Tabel 4 Dwilingga Sebagian Berprefiks ke-……….. 50
Tabel 5 Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an)……….. 61
Tabel 6 Tipe R-5 : (D + (R + ber-))………. 62
Tabel 7 Tipe R-6 : ((D + R) + meN-)……….. 63
Tabel 8 Tipe R-7 : (D + (R + meN-))………. 64
Tabel 9 Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i))………. 65
Tabel 10 Tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan)………... 65
Tabel 11 Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i)……….. 66
Tabel 12 Tipe R-14 : ((D + R)+ -an)……….. 70
Tabel 13 Persamaan dan Perbedaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……… 75
PERBANDINGAN REDUPLIKASI BAHASA JAWA NGOKO DENGAN BAHASA INDONESIA
ANDRYANA SARI
ABSTRAK
Reduplikasi merupakan proses pembentukan kata dengan cara pengulangan pada kata dasar dan reduplikasi merupakan salah satu proses morfologis. Untuk menentukan bentuk reduplikasi terlebih dahulu menentukan bentuk dasarnya, misalnya kata wit (Jawa Ngoko) ‘pohon’ kemudian direduplikasi menjadi wit-wit ‘pohon-pohon’. Ataupun dengan adanya variasi fonem atau perubahan bunyi pada hasil pengulangan, misalnya pada kata mlayu ‘berlari’ menjadi mloya-mlayu ‘berlari-lari’. Selain itu juga pada kata tamu (Indonesia) menjadi tetamu karena pengulangan pada konsonan-vokal pada gugus pertama.
Untuk menentukan bahwa data-data yang terkumpul dapat diolah menjadi bentuk dan proses reduplikasi maka digunakan metode Sudaryanto (1993) dan Keraf (1997) dengan menggunakan metode agih, metode deskriptif,dan metode komparatif. Dalam penganalisisan data digunakan teori Podjosoedarmo (1981) dan Simatupang (1979).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk
menyampaikan pendapat, ide, gagasan, maupun perasaan. Bahasa sebagai satu-satunya
alat komunikasi terbaik yang dimiliki manusia. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri
bahasa itu sendiri. Ciri-ciri bahasa menurut Chaer (2007: 56) bahwa bahasa itu adalah
sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer,
bermakna, dan produktif. Maka, dapat disimpulkan bahasa hanya dimiliki manusia
karena hewan dalam berkomunikasi memang menggunakan alat komunikasi tetapi
tidak sama dengan alat komunikasi yang dimiliki manusia. Lebah madu misalnya,
menggunakan gerak tari tertentu untuk menyampaikan berita adanya sumber madu
kepada kawan-kawannya.
Bahasa dapat dikaji dalam struktur internal dan struktur eksternal (Chaer, 1995:
1). Kajian bahasa secara internal, yaitu dengan pengkajian bahasa itu hanya dilakukan
terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, struktur
morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Kajian bahasa secara eksternal, berarti, kajian
itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang
berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu bagi bangsa Indonesia.
Dikatakan sebagai bahasa pemersatu karena sebelum bahasa Indonesia diproklamirkan
pada kongres Pemuda Indonesia di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 dan kemudian
dinyatakan sebagai bahasa negara (pasal 36 UUD 1945) rakyat Indonesia lebih suka
menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Adanya kesepakatan untuk
mempersatukan bahasa menjadi bahasa Indonesia karena adanya pemikiran beberapa
organisasi kepemudaan, seperti Budi Utomo, Jong Jawa, Jong Jong Sumatera, dan Jong
Ambon. Walaupun masing-masing dari organisasi kepemudaan ini lebih suka
menggunakan bahasa daerahnya sendiri tetapi hal ini disadari sangat menghambat
persatuan dan kesatuan bangsa yang hendak dicapai. Setelah disadari perlu adanya
media penghubung segenap pemuda-pemuda Indonesia maka diputuskanlah bahasa
Melayu digunakan sebagai bahasa pemersatu. Adanya saran tegas dari para pemuda di
Sumatera yang menyatakan agar menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pemersatu terutama bahasa Melayu Riau. Hal ini karena bahasa Melayu Riau disebut
juga Melayu Tinggi sebagai bahasa pemersatu. Alasan lain diputuskannya bahasa
Melayu sebagai bahasa pemersatu karena adanya beberapa surat kabar yang berjasa
dalam menyebarluaskan bahasa Melayu, seperti Bianglala, Bintang Timur, Kaum Muda,
Neratja, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang merupakan bahasa Melayu yang
sudah diperkaya dengan kosakata berbagai unsur bahasa baik bahasa nusantara maupun
bahasa asing. Bahasa nusantara yang mempengaruhi kosakata bahasa Indonesia
sedangkan bahasa asing yang digunakan untuk menambah kosakata bahasa Indonesia,
yaitu bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Cina, bahasa Arab, bahasa Portugal,
bahasa Parsi, bahasa Tamil, dan juga bahasa Sanskerta.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh suku Jawa. Masyarakat
ataupun suku Jawa sendiri pada masa sekarang telah tersebar di seluruh pelosok negeri
ini. Banyak pendapat dan faktor yang menjelaskan mengapa suku Jawa dapat menyebar
sampai kepelosok negeri. Salah satunya adalah pada saat penjajahan Belanda karena
pada saat itu Belanda ingin membangun dan mengembangkan potensi yang ada di
Indonesia maka Belanda pun mengirim suku Jawa yang pada saat itu adalah penduduk
terbanyak ke seluruh pelosok negeri.
Geertz (dalam Purwoko, 2008: 57) membagi bahasa Jawa menjadi tiga
perbedaan tingkat bahasa yakni: krama, madya, dan ngoko. Lain halnya dengan
Poedjosoedarmo (1968: 59), memperkenalkan tiga sub-levels lagi yaitu membagi krama
menjadi tiga sub-levels, yakni: mudha-krama, kramantara, dan wedha-krama. Tingkat
bahasa madya dibagi menjadi tiga sub-levels lain lagi, yakni: madya-krama,
madyantara, dan madya-ngoko.
Kemudian tingkat bahasa ngoko juga dibagi menjadi tiga sub-levels, yakni:
basa-antya, antya-basa, dan ngoko-lugu. Pada tahun 1937, Purwoko (2008: 57)
mengatakan dalam tingkat bahasa ngoko, dia membuat pembagian menjadi ngokolugu
dan ngokoandhap, kemudian bagian kedua ini dibagi lagi menjadi antyabasa dan
ngoko-andhap, sedangkan madya menjadi madya-ngoko, madya-antara, dan madya-krama,
dan tingkat bahasa karama menjadi mudha-krama, kramantara, wedha-krama,
krama-inggil, dan krama-désa. Jadi paling tidak bahasa Jawa memiliki sembilan tingkat bahasa
atau sepuluh tingkat bahasa yang berbeda satu sama lain.
Bahasa Jawa ngoko lebih sering dianggap sebagai media komunikasi yang
berkonotasi “kasar”, “kurang sopan”, “langsung”, “terus terang”, “mentah”, “polos”,
atau “lugu”, dari pada berkonotasi “netral” (Purwoko, 2008: 60). Hal ini terjadi karena
pengguna bahasa Jawa ngoko adalah tiyang alit (rakyat kecil) atau sering dikatakan pula
sebagai rakyat kebanyakan (Koentjaraningrat, dalam Purwoko, 2008: 8). Pada masa kini
pengguna bahasa Jawa ngoko sudah banyak tersebar di Indonesia karena terjadinya
persebaran penduduk yang dilakukan oleh Belanda kepada orang-orang Jawa atau suku
Jawa untuk dipekerjakan pada masa penjajahan. Bahasa Jawa ngoko juga dianggap
sebagai bahasa yang tidak formal karena biasanya bahasa Jawa ngoko digunakan pada
saat berkomunikasi dengan teman ataupun orang yang lebih muda.
Reduplikasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2007: 938) adalah proses
atau hasil perulangan kata atau unsur kata. Reduplikasi menurut Kridalaksana (2008:
208), adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau
gramatikal. Proses pengulangan atau reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatik,
baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak
yang diulang merupakan bentuk dasar. Misalnya kata ulang lemari-lemari dari bentuk
dasar lemari, kata ulang berjalan-jalan dibentuk dari bentuk dasar berjalan.
Reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi empat golongan
yaitu, (1) pengulangan seluruh adalah pengulangan seluruh bentuk dasar tanpa
perubahan fonem dan tidak adanya pembubuhan afiks, misalnya buku-buku,
gelas-gelas,dan lain sebagainya; (2) pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian dari
bentuk dasarnya, misalnya tersenyum-senyum dari bentuk dasar tersenyum,
ditakut-takuti dibentuk dari bentuk dasar ditakuti; (3) pengulangan yang berkombinasi dengan
proses pembubuhan afiks , maksudnya pengulangan itu terjadi bersama-sama dengan
proses pembubuhan afiks dan bersama-sama pula mendukung satu fungsi, misalnya kata
ulang sepeda-sepedaan, ada dua pilihan dalam menentukan bentuk dasarnya yaitu
pilihan pertama yaitu bentuk dasar sepeda diulang menjadi sepeda-sepeda, lalu
mendapat bubuhan afiks –an, menjadi sepeda-sepedaan dan pilihan kedua ialah bentuk
dasar sepeda diulang dan mendapat bubuhan afiks –an; dan (4) pengulangan dengan
perubahan fonem, misalnya bolak-balik, compang-camping (Ramlan, 2001: 69-75).
Reduplikasi dalam bahasa Jawa menurut Poedjosoedarmo (1979: 8) terbagi
menjadi empat golongan yaitu pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan
dibarengi bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan
pengulangan akhir (dwiwasana). Pengulangan utuh (dwilingga) merupakan bentuk yang
mempunyai frekuensi paling tinggi. Bentuk ini baik terdapat dengan kata kerja, kata
36). Misalnya takon-takon (bertanya-tanya), wong-wong (orang-orang), dan apik-apik
(baik-baik). Pengulangan utuh dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara) dapat
terjadi pada semua jenis kata, misalnya celak-celuk (memanggil-manggil),
monga-mengen (berkali-kali makan). Dwipurwa hanya dapat dibentuk dari dua suku kata saja,
misalnya njejaluk (meminta-minta). Dwiwasana (pengulangan akhir), bentuk
pengulangan ini jarang sekali dipakai, misalnya pada kata cekikikan (tertawa
terkekeh-kekeh).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka yang
menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apa perbedaan dan persamaan bentuk reduplikasi di dalam bahasa Jawa ngoko
dengan bahasa Indonesia?
2. Apa persamaan dan perbedaan proses reduplikasi bahasa Jawa ngoko dengan
1.3Pembatasan Masalah
Suatu penelitian harus dibatasi agar terarah dan tujuan penelitian tercapai dengan
baik. Maka penelitian ini pun demikian, memiliki batasan masalah. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya bahwa bahasa Jawa terbagi dalam tiga tingkatan Jawa krama,
madya, dan ngoko tetapi dalam penelitian ini hanya membahas tentang proses
pengulangan (reduplikasi) bahasa Jawa ngoko di desa Cimahi, Kecamatan Bangun
Puba, Kabupaten Deli Serdang dan membandingkannya dengan proses pengulangan
(reduplikasi) bahasa Indonesia.
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, adapun tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan reduplikasi dalam bahasa Jawa
ngoko dan bahasa Indonesia.
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan proses reduplikasi dalam bahasa Jawa
1.4.2 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Menambah pengetahuan peneliti tentang penerapan konsep dan teori penelitian
persamaan dan perbedaan proses reduplikasi bahasa Indonesia maupun bahasa
Jawa.
2. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dan pembaca dalam memahami
hasil dari penelitian reduplikasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
3. Menambah referensi bagi peneliti lain yang tertarik meneliti bahasa di bidang
morfologi khususnya tentang reduplikasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai masukan dalam bentuk referensi bagi peneliti maupun pengajar dan
pelajar mengenai bahasa di bidang morfologi tentang reduplikasi bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa ngoko.
2. Sebagai informasi bagi pemerintah daerah mengenai hasil penelitian baru, yaitu
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di
luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,
2007:588). Tujuan adanya konsep dalam penulisan ilmiah yaitu untuk dijadikan sebagai
dasar pengembangan penulisan selanjutnya. Penjabaran konsep ini dapat bersumber dari
ahli, pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti.
2.1.1 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko
Telah banyak ahli bahasa Jawa yang menulis tentang kata ulang atau reduplikasi
dalam bahasa Jawa. Uhlenbeck (dalam Poedjosoedarmo, 1981: 1) membagi reduplikasi
bahasa Jawa menjadi tiga yaitu dwi lingga (DL), dwi purwa (DP), dan dwi wasana
(DW). Selanjutnya Poedjosoedarmo (1979: 8) yang membagi reduplikasi bahasa Jawa
dalam empat golongan, yaitu pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan
perubahan bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan
pengulangan akhir (dwiwasana). Kemudian Verhaar (1990: 64) juga memiliki pendapat
dalam empat golongan, yaitu dwilingga, dwilingga salin suara, dwipurwa, dan
dwiwasana. Pembagian reduplikasi bahasa Jawa yang diungkapkan Poedjosoedarmo
inilah yang sekaligus menjadi pembahasan dalam penelitian ini.
2.1.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia
Proses reduplikasi banyak terdapat dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Sebagai
contoh dalam bahasa Inggris pada kata lamps yang berarti lampu-lampu (banyak
lampu), dan pada kata tables yang memiliki arti meja-meja. Selain itu reduplikasi juga
terdapat dalam bahasa Moru (Papua Nugini) ada kata tau yang memiliki arti orang
laki-laki diredulikasikan menjadi tatau ‘banyak orang laki-laki’; dan kata mero ‘anak
laki-laki’ direduplikasikan menjadi memero ‘banyak anak laki-laki’, tetapi bila diulang
penuh menjadi mero-mero bermakna ‘anak laki-laki kecil’ (Chaer, 2007:183).
Proses reduplikasi dapat dibagi atas dua sifat, yaitu paradigmatis (infleksional) dan
derivasional. Reduplikasi yang bersifat paradigmatis artinya tidak mengubah indentitas
leksikal, melainkan hanya memberi makna gramatikal. Misalnya, botol-botol ‘banyak
botol’ dan besar-besar ‘banyak yang besar’. Reduplikasi yang bersifat derivasional
yaitu membentuk kata baru atau kata identitas leksikalnya berbeda dengan bentuk
dasarnya. Misalnya, laba-laba dari kata dasar laba dan pura-pura dari kata dasar pura
Ramlan (2001: 63) berpendapat bahwa reduplikasi adalah pengulangan satuan
gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak.
Hasil pengulangan disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan
bentuk dasar. Bentuk reduplikasi dalam bahasa Indonesia sendiri menurut Ramlan
(2001:68-75) terbagi atas empat macam, yaitu (1) pengulangan seluruh, (2) pengulangan
sebagian, (3) pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan (4)
pengulangan dengan perubahan fonem. Pengulangan seluruh adalah pengulangan
keseluruhan pada bentuk dasar tanpa adanya perubahan afiks.
Kemudian Simatupang (1979: 16) mengatakan bahwa reduplikasi adalah proses
morfemis yang mengubah bentuk kata yang dikenainya. Simatupang juga membagi
reduplikasi bahasa Indonesia dalam tiga kelompok utama, yaitu (1) reduplikasi penuh,
(2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan (1979: 137). Teori reduplikasi
menurut Simatupang ini yang akan digunakan pada penelitian ini dan hanya membahas
2.1.3 Bahasa Jawa Ngoko
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh suku Jawa. Menurut Geertz
(dalam Purwoko, 2008: 57) membagi bahasa Jawa menjadi tiga perbedaan tingkat
bahasa yakni: krama, madya, dan ngoko. Sedangkan Poedjosoedarmo (1968: 59),
memperkenalkan tiga sub-levels lagi yaitu membagi krama menjadi tiga sub-levels,
yakni: mudha-krama, kramantara, dan wedha-krama. Sedangkan tingkat bahasa madya
dibagi menjadi tiga sub-levels lain lagi, yakni: madya-krama, madyantara, dan
madya-ngoko. Kemudian tingkat bahasa ngoko juga dibagi menjadi tiga sub-levels, yakni:
basa-antya, antya-basa, dan ngoko-lugu. Pada tahun 1937, Purwoko (2008: 57)
mengatakan dalam tingkat bahasa ngoko, dia membuat pembagian menjadi ngokolugu
dan ngokoandhap, kemudian bagian kedua ini dibagi lagi menjadi antyabasa dan
basaantya. Purwoko (2008: 58) membagi ngoko menjadi ngoko-lugu dan
ngoko-andhap, sedangkan madya menjadi madya-ngoko, madya-antara, dan madya-krama,
dan tingkat bahasa karama menjadi mudha-krama, kramantara, wedha-krama,
krama-inggil, dan krama-désa. Jadi paling tidak bahasa Jawa memiliki sembilan tingkat bahasa
atau sepuluh tingkat bahasa yang berbeda satu sama lain.
Pengguna bahasa Jawa krama (atas) biasanya adalah para priyayi atau keturunan
bangsawan, sedangkan bahasa Jawa madya (tengah) penggunanya adalah para abdi
Bahasa Jawa ngoko lebih sering dianggap sebagai media komunikasi yang
berkonotasi “kasar”, “kurang sopan”, “langsung”, “terus terang”, “mentah”, “polos”,
atau “lugu”, dari pada berkonotasi “netral” (Purwoko, 2008:60). Hal ini terjadi karena
pengguna bahasa Jawa ngoko adalah tiyang alit (rakyat kecil) atau sering dikatakan pula
sebagai rakyat kebanyakan (Koentjaraningrat, dalam Purwoko, 2008:8). Dan pada masa
kini pengguna bahasa Jawa ngoko sudah banyak tersebar di Indonesia karena terjadinya
persebaran penduduk yang dilakukan oleh Belanda kepada orang-orang Jawa atau suku
Jawa untuk dipekerjakan pada masa penjajahan. Bahasa Jawa ngoko juga dianggap
adalah bahasa yang tidak formal karena biasanya bahasa Jawa ngoko digunakan pada
saat berkomunikasi dengan orang yang seumuran, kawan akrab ataupun bawahan.
2.1.4 Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bahasa bagi bangsa Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa beranekaragamnya suku bangsa di Indonesia maka hal
itu juga berpengaruh pada bahasa yang digunakan. Maka, bahasa Indonesia di sini
bertugas sebagai alat pemersatu bahasa dan bahasa Indonesia sendiri berasal dari
bahasa Melayu.
Kosakata bahasa Indonesia selain dari kosakata bahasa Melayu juga ada sumber lain
kosakata bahasa Indonesia sperti bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta merupakan bahasa
yang datang bersama dengan penyebaran agama Hindu di Indonesia. Contoh kosakata
agama, bahtera, bumi, dan jaya. Bahasa Sanskerta juga digunakan untuk slogan,
lambang, dan semboyan. Misalnya, Bhinneka Tunggal Ika (lambang negara Republik
Indonesia), Jales Viva Jayamahe (slogan angkatan Laut), Jalesu Bhumyamcha
Jayamahe (Slogan Korps Marinir Angkatan Laut) (Chaer, 2007:14).
Selain dari bahasa Sanskerta kosakata bahasa Indonesia juga bersumber dari
bahasa-bahasa Nusantara seperti bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau, Banjar, dan lain
sebagainya. Juga bahasa asing lain seperti bahasa Parsi, bahasa Tamil, bahasa Arab,
bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Cina (Chaer, 2007:15-19).
Selain itu bahasa Indonesia juga memiliki fungsi khusus sesuai dengan kepentingan
bahasa Indonesia yaitu (1) sebagai bahasa resmi yang digunakan sebagai alat
administrasi negara yang dapat dilihat dalam surat-menyurat resmi, peraturan-peraturan,
undang-undang, pidato, dan pertemuan-pertemuan resmi, (2) sebagai bahasa persatuan,
sseperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai
macam suku dan masing-masing memiliki bahasa dan dialeknya sendiri. Maka, dalam
mengintegrasikan semua suku tersebut, bahasa Indonesia memiliki peranan penting, dan
(3) sebagai bahasa kebudayaan, yakni bahasa Indonesia berperan sebagai wadah
penampung kebudayaan. Maksudnya adalah bahasa Indonesia digunakan dalam ilmu
2.2Landasan Teori 2.2.1 Morfologi
Morfologi (KBBI, 2007:755) adalah cabang linguistik tentang morfem dan
kombinasinya. Sedangkan dalam kamus linguistik, morfologi, yaitu (1) bidang
linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya; (2) bagian dari
struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem
(Kridalaksana, 2008:159). Sedangkan menurut Ramlan (2001:21) morfologi adalah
bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk
kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata,
atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk
kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata lain, baik fungsi gramatik maupun
fungsi semantik. Seperti yang telah dijabarkan pada latar belakang bahwa morfologi
merupakan kajian bahasa secara internal atau pengkajian bahasa itu hanya dilakukan
terhadap struktur intern bahasa itu saja. Yang menjadi objek daripada morfologi yaitu
soal-soal yang berhubungan dengan bentuk kata. Perubahan-perubahan bentuk kata
menyebabkan adanya perubahan golongan dan arti kata. Misalnya saja golongan kata
sepatu tidak sama dengan golongan kata bersepatu. Kata sepatu termasuk golongan kata
2.2.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia
Menurut Simatupang (1983:19-46) reduplikasi morfemis bahasa Indonesia dapat
dibagi dalam beberapa tipe, yaitu:
1) Tipe R-1 (D + R)
R-1 ialah mengulang dasar yang monomorfemis (
sepeda-sepeda,besar-besar, dinding-dinding) dan bentuk yang polimorfemis (pendapat-pendapat,
perdebatan-perdebatan).
2) Tipe R-2 (D + Rperf)
R-2 ialah pengulangan dasar yang diikuti dengan perubahan fonem pada
konstituen ulang, dan fonem yang berubah dapat berupa hanya vokal, hanya
konsonan atau konsonan dan vokal.
Contoh : gerak-gerik, tindak-tanduk, ramah-tamah.
3) Tipe R-3 ((D + R) + ber-)
Kata ulang hasil R-3 dapat terbentuk melalui dua poses yaitu,
Contoh : ((jalan + ber-) + R) berjalan-jalan
((gerak + ber-) + R) bergerak-gerak
(b) Pengimbuhan dan reduplikasi sekaligus
Contoh: ton (*berton) berton-ton
lembar (*berlembar) berlembar-lembar
4) Tipe R-4 ((D + R) + ber-/-an)
Tipe R-4 ialah pengulangan yang diturunkan dengan imbuhan ber-/-an,
dan yang mengandung arti resiprokatif atau bersifat saling berbalasan.
Contoh : berjauh-jauhan
bersahut-sahutan
5) Tipe R-5 (D + (R + ber-))
Tipe R-5 ialah pengulangan yang hasil perulangan dari bentuk dasar
dibubuhi dengan imbuhan ber-.
6) Tipe R-6 ((D + R) + meN-)
Tipe R-6 terdapat dengan kata kerja berprefiks meN- dapat diganti oleh
di- atau ter- tergantung dari dapat tidaknya dasar diberi prefiks demikian.
Contoh : melempar-lempar, membawa-bawa, melihat-lihat.
7) Tipe R-7 (D + (R + meN-))
Tipe R-7 dapat dikenakan pada kata kerja yang dasarnya secara intrinsik
merupakan kata kerja, dan R-7 dapat dihubungkan dengan arti resiprokatif
atau kegiatan yang bertalian dengan D (bentuk dasar).
Contoh : pukul-memukul, tolong-menolong, bantu-membantu,
kait-mengait.
8) Tipe R-8 (D + (R + meN-/-i))
Tipe R-8 ialah pengulangan yang dikenakan pada kata kerja yang
terdapat pada R-7 dengan arti resiprokatif dan kata ulang yang terjadi juga
mengandung arti demikian.
9) Tipe R-9 ((D + R) + meN-/-kan)
Tipe R-9 ialah pengulanga yang terbentuk dengan mengulang bentuk
dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan meN-/-kan.
Contoh : menggerak-gerakan, membagi-bagikan, mengayun-ayunkan.
10)Tipe R-10 ((D + R) + meN-/-i)
Tipe R-10 ialah pengulangan yang terbentuk dengan mengulang bentuk
dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan meN-/-i.
Contoh : menghalang-halangi, menutup-nutupi, memukul-mukuli.
11)Tipe R-11 ((D + R) + se-)
Tipe R-11 ialah pengulangan yang diturunkan dengan prefiks se-.
12)Tipe R-12 ((D + R) + ke-/-(-nya))
Tipe R-12 ialah pengulangan yang diturunkan dengan prefiks ke-.
Contoh : ketiga-tiga(-nya), ketujuh-tujuh (-nya), kedua-dua (-nya).
13)Tipe R-13 ((D + R) + ke-/-an)
Tipe R-13 ialah pengulangan yang terbentuk dengan mengulang bentuk
dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan ke-/-an.
Contoh : kemerah-merahan, kehitam-hitaman, keibu-ibuan.
14)Tipe R-14 ((D + R) + -an)
Tipe R-14 ialah pengulangan yang diturunkan dengan sufiks –an.
Contoh : mobil-mobilan, kartu-kartuan, untung-untungan.
15)Tipe R-15 (D + (R + -em-))
tipe R-15 ialah pengulangan yang diturunkan dengan infiks -em-.
16)Tipe R-16 (D + Rp)
Tipe R-16 ialah reduplikasi parsial dimana unsur yang diulang terdiri
dari gugus konsonan vokal (KV) dari suku pertama dasar.
Contoh : tetamu, lelaki, tetangga.
17)Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan
dua bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata,
semak-belukar.
18) Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal,
adat-istiadat, alim-ulama, sebab-musabab.
Meskipun tipe reduplikasi bahasa Indonesia yang dikemukakannya cukup banyak
tetapi pada dasarnya Simatupang (1983:137) membagi reduplikasi menjadi tiga
kelompok utama, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi
2.2.3 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko
Menurut bentuknya (Poedjosoedarmo, 1981:35) kata ulang dalam bahasa Jawa dapat
dibedakan menjadi delapan macam yaitu:
(1) Kata ulang penuh atau dwilingga (DL) : siji-siji (satu-satu),
nyangking-nyangking (membawa-bawa), lunga-lunga (bepergian).
(2) Kata ulang awal atau dwipurwa (DP) : tetuku (berbelanja), reresik
(membersihkan), rerusuh (kekacauan).
(3) Kata ulang akhir atau dwiwasana (DW) : dithuthuk (dipukul), cekakak
(tertawa-tawa).
(4) Kata ulang penuh dengan perubahan suara atau dwilingga salin suara (DLS) :
celak-celuk (memanggil-manggil), mloya-mlayu (berlari ke sana ke mari),
lingak-linguk (menoleh ke kanan kiri).
(5) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir atau dwi dwipurwa (DDP) :
gegaman-gegaman (senjata-senjata), wewadi-wewadi (rahasia-rahasia),
tetuku-tetuku (membeli).
(6) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir atau dwi dwiwasana (DDW) :
pecicil-pecicil, cekikik-cekikik, pthentheng-pethentheng.
(7) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang awal dengan perubahan suara atau
dwi dwipurwa salin suara (DDPS) : tetuka-tetuku (membeli-beli),
(8) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir dengan perubahan suara atau
dwi dwiwasana salin suara(DDWS) : kela-keli (selalu hanyut), kola-kolu (selalu
tertelan), kelang-kelingan (selalu teringat).
Sedangkan reduplikasi dalam bahasa Jawa menurut Poedjosoedarmo (1979:8)
terbagi menjadi empat golongan yaitu pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh
dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan
pengulangan akhir (dwiwasana).
2.3Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki,
mempelajari dan sebagainya) (KBBI, 2007:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku
primbon (KBBI, 2007:912). Maka tinjauan pustaka dapat diartikan sebagai hal-hal
yang berhubungan dengan penelitian tersebut sebagai bahan referensi yang mendukung
penelitian.
Penelitian tentang perbandingan reduplikasi sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Seperti Ronita Rita (1997) dalam skripsinya yang berjudul Perbandingan Reduplikasi
antara Bahasa Sunda dengan Bahasa Indonesia dalam isi skripsinya tersebut beliau
menjelaskan bahwa dalam bahasa Sunda reduplikasi dibagi atas tiga yaitu dwilingga,
dwipurwa, dan dwimadya. Dan bentuk ulang bahasa Sunda tidak selamanya dapat
Begitu juga Poedjosoedarmo (1981) dalam bukunya Sistem Perulangan dalam
Bahasa Jawa membagi perulangan dalam bahasa Jawa ke dalam tiga kelas yaitu dwi
lingga, dwi purwa dan dwi wasana. Dan dalam penelitian tersebut beliau meneliti semua
tingkatan bahasa Jawa yaitu Jawa krama,madya, dan ngoko tidak terfokus pada satu
tingkatan saja.
Sibuea (2000) juga pernah meneliti tentang reduplikasi dengan judul Reduplikasi
dalam Bahasa Pesisir Sibolga dalam skripsinya tersebut beliau menjelaskan bahwa
reduplikasi dalam bahasa Pesisir Sibolga dapat ditentukan dengan reduplikasi seluruh,
reduplikasi sebagian, reduplikasi berimbuhan dan reduplikasi dengan perubahan fonem.
Selain itu juga Widyahardani (2010) meneliti tentang Perbandingan Reduplikasi
Morfemis dalam Bahasa Korea dan Bahasa Indonesia. Beliau menjelaskan bahwa
adanya persamaan reduplikasi penuh tanpa afiks antara bahasa Indonesia dan bahasa
Korea, adanya persamaan reduplikasi penuh dengan perubahan fonem baik pada vokal,
konsonan, maupun vokal dan konsonan, sedangkan perbedaannya yaitu di dalam bahasa
Indonesia terdapat reduplikasi dengan penambahan afiks sedangkan di dalam bahasa
Korea tidak, di dalam bahasa Korea tidak ada reduplikasi denngan perubahan fonem
dan penambahan afiks sedangkan di dalam bahasa Indonesia ada, dan reduplikasi dalam
bahasa Korea tidak selalu mempunyai arti, ada yang merupakan permainan kataagar
diperoleh bunyi yang padu dan padan, sebaliknya reduplikasi dalam bahasa Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1 Lokasi
Lokasi adalah letak atau tempat (KBBI, 2007:680). Lokasi penelitian ini adalah desa
Sei Cimahi, Kecamatan Bangun Purba, Lubuk Pakam.
3.1.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan April – Mei 2013, tepatnya pada tanggal
29 April – 19 Mei 2013.
3.2Sumber Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah tuturan berupa kata ulang
(reduplikasi) bahasa Jawa ngoko dari beberapa informan yang bertempat tinggal di desa
Sei Cimahi, kecamatan Bangun Purba, Lubuk Pakam. Adapun jumlah informan tersebut
adalah tiga orang yaitu Muhammad Abas (71 tahun), Rubinem (68 tahun), dan
informan peneliti juga melakukan penelitian kepustakaan (library research) dengan
mengumpulkan dari dari teks-teks ataupun wacana jawa.
3.3Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode adalah cara yang harus dilakukan dalam melakukan penelitian,
sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993:9). Sebelum
melakukan pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan observasi. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui kosakata bahasa Jawa yang diucapkan oleh informan. Kemudian,
untuk pengumpulan datanya dilakukan dengan metode simak atau “penyimakan” yaitu
penyimakan penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1933:133). Selain menggunakan metode
simak, peneliti juga menggunakan teknik catat. Teknik catat ini digunakan untuk
mencatat data-data yang terkumpul untuk selanjutnya diklasifikasikan ke dalam proses
pengulangan atau reduplikasi dalam bahasa Jawa kemudian menganalisisnya. Selain
menyimak percakapan informan, peneliti juga mencari data melalui buku yaitu berupa
3.4Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode agih. Metode agih
adalah metode yang digunakan alat penentunya justru bagian dari bahasa yang
bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Untuk memperjelas penelitian
reduplikasi anatara bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia maka digunakan juga dua
metode tambahan yaitu metode deskriptif dan metode komparatif. Metode deskriptif
yaitu meneliti bahasa berdasarkan data yang diperoleh pada masa kini. Keraf (dalam
Rita, 1997:7) mengatakan bahwa metode deskriptif adalah pencatatan yang nyata atas
struktur bahasa pada suatu lingkungan masa tertentu. Sedangkan metode komparatif
adalah metode yang digunakan dalam penelitian bahasa dengan mengadakan
perbandingan. Keraf (dalam Rita,1997:7) mengatakan metode komparatif ialah
membicarakan perkembangan struktur bahasa dengan mengadakan perbandingan antara
struktur bahasa yang satu dengan struktur bahasa yang lain. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahawa reduplikasi bahasa Indonesia terbagi atas pengulangan
seluruh, pengulangan sebagian, pengulangan kombinasi dengan proses pembubuhan
afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem. Sedangkan reduplikasi bahasa Jawa
yaitu terbagi atas pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan dibarengi
bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan pengulangan akhir
(dwiwasana). Contoh pengulangan dalam bahasa indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Pengulangan penuh
2. Pengulangan parsial
Contoh : tetamu, tetangga
3. Pengulangan berimbuhan
Contoh : kehitam-hitaman, orang-orangan, semurah-murahnya,
berjalan-jalan, mengais-kais, meminta-minta
Sedangkan untuk contoh pengulangan dalam bahasa Jawa yaitu sebagai berikut
1. Pengulangan utuh (dwilingga)
Contoh : alang-alang (ilalang), ilat-ilat (lidah-lidah), ali-ali (cincin)
2. Pengulangan utuh dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara)
Contoh : mloya-mlayu (berlari ke sana ke mari), celak-celuk
(memanggil-manggil), gelam-geleme ((mengapa) mau)
3. Pengulangan awal (dwipurwa)
Contoh : tetuku (berbelanja), njejaluk (meminta-minta), rerusuh (kekacauan)
4. Pengulangan akhir (dwiwasana)
Contoh : cekikik (tertawa terkekeh-kekeh), cengenges (mengejek),
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia 4.1.1 Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko
Telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat
empat bentuk reduplikasi yaitu, dwilingga, dwilingga salin suara, dwipurwa, dan
dwiwasana (Poedjosoedarmo, 1979:8) dan ditambah dengan empat macam bentuk
reduplikasi lainnya yaitu, dwi dwipurwa, dwi dwiwasana, dwi dwipurwa salin suara,
dan dwi dwiwasana salin suara (Poedjosoedarmo, 1979:35).
4.1.1.1Dwilingga
Dwilingga adalah bentuk perulangan dengan mengulang seluruh bentuk dasar kata.
Bentuk perulangan ini terdapat pada kata kerja, kata benda, kata sifat, kata bilangan, dan
kata keterangan.
Contoh dwilingga pada kata kerja yaitu,
lunga-lunga ‘bepergian’
nyeluk-nyeluk ‘memanggil-manggil’
Contoh dwilingga pada kata benda yaitu,
omah-omah ‘rumah-rumah’
wit-wit ‘pohon-pohon’
kali-kali ‘sungai-sungai’
Contoh dwilingga pada kata sifat yaitu,
atos-atos ‘keras-keras’
lemu-lemu ‘gemuk-gemuk’
apik-apik ‘bagus-bagus’
Contoh dwilingga pada kata bilangan yaitu,
siji-siji ‘satu-satu’
pitu-pitu ‘tujuh-tujuh’
nyewu-nyewu ‘seribu-seribu’
Contoh dwilingga pada kata keterangan yaitu,
cepet-cepet ‘cepat-cepat’
Selain dengan pengulangan penuh, dwilingga juga merupakan pengulangan
sebagian dan hal ini tergantung kepada imbuhan dan bentuk dasarnya. Misalnya saja
pada awalan, sisipan maupun akhiran.
Contoh dwilingga pada awalan yaitu,
nyangking-nyangking ‘membawa-bawa’
ngiris-iris ‘memotong-motong’
nguyak-uyak ‘mengejar terus’
diidak-idak ‘diinjak-injak’
kethuthuk-thuthuk ‘terpukul-pukul’
Contoh dwilingga pada sisipan yaitu,
pedhang-pinedhang ‘saling berpedang’
antem-ingantem ‘saling menghantam’
Contoh dwilingga pada akhiran yaitu,
wong-wongan ‘orang-orangan’
wit-witan ‘pohon-pohonan’
omah-omahan ‘rumah-rumahan’
nakon-nakoni ‘menanyai berulang kali’
Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk perulangan dwilingga merupakan perulangan
penuh dan perulangan sebagian dengan penambahan pada awalan, sisipan maupun
akhiran.
4.1.1.2Dwilingga Salin Suara
Dwilingga salin suara adalah proses perulangan penuh dengan adanya perubahan
fonem. Perubahan fonem pada perulangan selain pada vokal awal juga terdapatnya
penambahan fonem diakhir kata.
Contoh :
mloya-mlayu ‘berlari ke sana ke mari’
lora-lara ‘berkali-kali sakit’
gelam-geleme ‘(mengapa) mau’
lora-lara ‘berkali-kali sakit’
mongan-mengen ‘berkali-kali makan’
tuka-tuku ‘selalu saja membeli’
Selain dalam bentuk perulangan penuh ataupun perulangan murni bentuk
perulangan dwilingga salin suara juga dapat merupakan perulangan semu. Misalnya
pada kata kolang-kaling ‘isi buah enau’, dan pada kata ngothak-atik ‘mengerjakan atau
berfikir dengan teliti’.
Perulangan semu adalah kata ulang yang sulit menentukan bentuk dasarnya atau
dapat dikatakan bahwa kata ulang yang merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
Dwilingga salin suara merupakan kata ulang yang menunjukkan arti negatif yaitu
pembicara ingin menunjukkan perasaan tidak suka atau mungkin kemarahannya kepada
lawan bicara. Hal ini biasanya disebabkan suatu tindakan atau keadaan atau objek yang
terjadi atau muncul berulang kali, atau karena ketidaktentuan tindakan, keadaan atau
4.1.1.3Dwipurwa
Dwipurwa merupakan bentuk perulangan pada bahasa Jawa ngoko dimana unsur
yang diulang adalah gugus konsonan dan vokal (KV) pada suku kata pertama.
Contoh :
tuku tetuku ‘membeli’
resik reresik ‘membersihkan’
geni gegeni ‘memanaskan diri di dekat api’
reged rerged ‘barang-barang kotor’
tamba tetamba ‘berobat’
4.1.1.4Dwiwasana
Dwiwasana merupakan perulangan yang memiliki perbedaan dengan perulangan
dwilingga dan dwipurwa karena bentuk dasar dari perulangan dwiwasana sulit untuk
ditentukan bahkan ada kecenderungan bahwa bentuk perulangan dengan bentuk dasar
Contoh:
cekikik ‘tertawa terkekeh-kekeh’
cekakak ‘tertawa-tawa’
pethuthuk ‘membesar’
4.1.1.5Dwi Dwipurwa
Dwi dwipurwa merupakan perulangan dimana dwipurwa sebagai bentuk dasarnya.
Dwi dwipurwa dapat pula disebut sebagai dwi dwilingga karena hasil dari pengulangan
ini menjadi pengulangan utuh (penuh).
Contoh:
reresik-reresik ‘membersihkan’
tetuku-tetuku ‘membeli’
4.1.1.6Dwi Dwiwasana
Bentuk perulangan dwi dwisana yaitu bentuk perulangan dimana bentuk
dasarnya berupa dwiwasana. Jadi, dapat dikatakan bahwa bentuk perulangan dwi
dwisana sama dengan dwi dwipurwa hanya saja bentuk dasarnya berbeda.
Contoh:
pethenteng-pethentheng ‘berlagak’
cekikik-cekikikan ‘tertawa terbahak-bahak’
sethithik-sethithik ‘sedikit-sedikit’
4.1.1.7Dwi Dwipurwa Salin Suara
Bentuk perulangan dwi dwipurwa salin suara sama dengan bentuk perulangan dwi
dwipurwa hanya saja yang membedakannya adalah adanya perubahan bunyi pada hasil
perulangan.
Contoh :
tetuka-tetuku ‘berulang kali belanja’
gegena-gegeni ‘berulang kalli berdiang’
4.1.1.8Dwi Dwiwasana Salin Suara
Dwi dwiwasana salin suara merupakan bentuk perulangan dimana bentuk dasarnya
merupakan dwi dwiwasana hanya saja adanya perubahan bunyi pada hasil perulangan.
Contoh:
pethenthang-pethentheng ‘berlagak’
cekikak-cekikik ‘tertawa kecil’
4.1.2 Bentuk Reduplikasi Bahasa Indonesia 4.1.2.1Reduplikasi Penuh
Reduplikasi penuh merupakan bentuk perulangan dimana kata dasar diulang secara
keseluruhan. Bentuk dasar yang diulang dapat berupa kata dasar maupun kata
berimbuhan.
Contoh reduplikasi penuh kata dasar
meja meja-meja
botol botol-botol
sapu sapu-sapu
rumah rumah-rumah
kayu kayu-kayu
Contoh reduplikasi penuh berimbuhan
pengertian pengertian-pengertian
pertemuan pertemuan-pertemuan
4.1.2.2Reduplikasi Parsial
Reduplikasi parsial merupakan bentuk reduplikasi di mana unsur yang dulang terdiri
dari gugus KV dari suku kata pertama dasar.
Contoh:
tangga tetangga
tamu tetamu
laki lelaki
sajian sesajian
runtuhan reruntuhan
Pada reduplikasi penuh apabila kata tangga diulang maka akan menghasilkan kata
tangga-tangga yang mengandung arti yang sama, sedangkan di dalam reduplikasi
parsial apabila kata tangga direduplikasikan makan akan menghasilkan kata tetangga
yang mengandung arti ‘tak tunggal’ atau memiliki arti yang berbeda dari bentuk
4.1.2.3Reduplikasi Berimbuhan
Reduplikasi berimbuhan merupakan reduplikasi dengan tambahan imbuhan baik
awalan, akhiran maupun awalan dan akhiran yang kemudian direduplikasikan dan hasil
reduplikasi ini dapat pula dikatakan sebagai reduplikasi sebagian.
Contoh:
lari berlari-lari
batu berbatu-batu
bersalaman bersalam-salaman
bawa membawa-bawa
pukul pukul-memukul
membesar membesar-besarkan
4.1.2.4Reduplikasi Perubahan Fonem
Reduplikasi dengan perubahan fonem juga terdapat di dalam bahasa Indonesia yaitu
dengan adanya oerubahan fonem pada konstituen ulang, dan fonem yang berubah dapat
berupa hanya vokal, hanya konsonan, atau vokal dan konsonan.
Contoh:
gerak-gerik kedap-kedip
sayur-mayur kelap-kelip
cerai-berai serba-serbi
tindak-tanduk basa-basi
4.2Persamaan dan Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia
4.2.1 Persamaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia
Adapun persamaan bentuk reduplikasi pada bahasa Jawa Ngoko dengan bahasa
Indonesia yaitu pada bentuk dwilingga pada bahasa Jawa Ngoko dan reduplikasi penuh
pada bahasa Indonesia. Keduanya sama-sama membahas tentang pengulangan utuh
pada bentuk dasar. Selain itu juga terdapat pada dwipurwa dengan reduplikasi parsial
yaitu sama-sama membahas tentang adanya pengulangan dengan adanya perubahan
pada gugus KV pada pada posisi awal kata. Dwilingga salin suara dengan reduplikasi
perubahan fonem juga menunjukkan hal yang sama yaitu membahas tentang adanya
perubahan bunyi pada konstituen ulang. Persamaan bentuk reduplikasi bahasa Jawa
Ngoko dan bahasa Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
4.2.2 Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia
Selain adanya persamaan adapula perbedaan bentuk reduplikasi pada kedua bahasa
ini yaitu dapat dilihat pada dwilingga dengan reduplikasi penuh. Pada bentuk ulang
dwilingga dalam bahasa Jawa Ngoko adanya bentuk perulangan sebagian yang dapat
dilihat pada kata diidak-idak, dan ngiris-iris, sedangkan di dalam bahasa Indonesia hal
dwiwasana yang diketahui sebagai bentuk ulang dengan adanya penambahan KV pada
bentuk dasar yang diletakkan pada tengah kata dan bentuk ulang ini dapat dikatakan
sebagai kata penuh (utuh) karena sulit ditentukan bentuk dasarnya misalnya pada kata
cekikik sedangkan dalam bahasa Indonesia bentuk ulang seperti ini tidak ada. Perbedaan
Tabel 1 Persamaan dan Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa
Indonesia
Bahasa Jawa Ngoko Bahasa Indonesia Persamaan Perbedaan
Bentuk Kata Bentuk Kata
Dwilingga lunga-lunga Reduplikasi Penuh
meja-meja
ngiris-iris Reduplikasi
Berimbuhan
4.3Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia 4.3.1 Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko
4.3.1.1Dwilingga
Bentuk reduplikasi dwilingga (DL) pada bahasa Jawa ngoko dapat berupa kata
dasar, kata berimbuhan baik berupa awalan, sispan, maupun akhiran dan perulangan
sebagian.
4.3.1.1.1 Dwilingga Kata Dasar
Contoh:
lunga ‘pergi’ lunga-lunga ‘bepergian’
omah ‘rumah’ omah-omah ‘berumah tangga’
wit ‘pohon’ wit-wit ‘pohon-pohon’
apik ‘bagus’ apik-apik ‘bagus-bagus’
siji ‘satu’ siji-siji ‘satu-satu’
adoh ‘jauh’ adoh-adoh ‘jauh-jauh’
elek ‘jelek’ elek-elek ‘jelek-jelek’
mlayu ‘lari’ mlayu-mlayu ‘berlari-lari’
Dari contoh yang telah dipaparkan sebelumnya dapat dilihat bahwa ada beberapa kata
dasar yang apabila direduplikasikan secara dwilingga maka akan membentuk kata yang
baru. Misalnya, pada kata seger (KS) ‘segar’ menjadi seger-seger (KB) ‘penyegar’,
begitu pula dengan kata omah (KB) ‘rumah’ menjadi omah-omah (KK) ‘berumah
tangga’. Maka, dapat disimpulakan bahwa tidak semua hasil reduplikasi dwilingga sama
dengan bentuk dasarnya.
4.3.1.1.2 Dwilingga Berimbuhan
Dwilingga berimbuhan pada bahasa Jawa ngoko terdapat pada proses penambahan
awalan N+DL, sa+DL, penambahan akhiran DL+an, dan penambahan awalan dan
akhiran N+DL+ake, dan N+DL+i.
Contoh:
N-idaq ‘injak’ ngidak ‘mengijak’ ngidaq-ngidaq
N-iris ‘iris’ ngiris ‘mengiris’ ngiris-ngiris
N-ombe ‘minum’ ngombe ‘minum’ ngombe-ngombe
N-pacul ‘cangkul’ macul ‘mencangkul’ macul-macul
N-thuthuq ‘pukul’ nuthuq ‘memukul’ nuthuq-nuthuq
sa-kilo ‘kilo’ sakilo ‘satu kilo’ sakilo-sakilo
sa-beseq ‘besek’ sabeseq ‘satu besek’ sabeseq-sabeseq
sa-gajah ‘gajah’ sagajah ‘sebesar gajah’ sagajah-sagajah
wit-an ‘pohon’ witan ‘pepohonan’ wit-witan
N-towo-ake ‘menawar’ nawaqake ‘menawarkan’ nawaq-nawaqake
N-jupoq-ake ‘ambil’ njupoqake ‘mengambilkan’ njupoq-njupoqake
N-tuku-i ‘beli’ nukoni ‘membeli’ nukon-nukoni
N-moro-i ‘datang’ marani ‘mendatangi’ maran-marani
Pada contoh yang telah dipaparkan terlihat bahwa proses reduplikasi dwilingga (DL)
berimbuhan ada beberapa kata yang memiliki arti ‘seperti’ yaitu pada kata gajah ‘gajah’
ketika diikuti dengan imbuhan sa menjadi sagajah-sagajah yang memiliki arti sebesar
gajah-sebasar gajah. Maksud dari kata tersebut adalah mengibaratkan sebuah benda
yang memiliki besar seperti gajah. Ada pula kata yang apabila diawali dengan fonem t
maka akan menjadi fonem n misalnya pada kata tuku ‘beli’ direduplikasikan dengan
4.3.1.1.3 Dwilingga Sebagian
Kata yang mengalami DL sebagian biasanya adalah yang mendapatkan awalan N-,
di-, dan ke-.
4.3.1.1.3.1Dwilingga Sebagian Berprefiks
N-Tabel 2 Dwilingga Sebagian Berprefiks
N-Kata Dasar Bentuk Dasar DL Sebagian Berprefiks N-
iris ‘iris’ ngiris ‘memotong’ ngiris-iris ‘memotong-motong’
uyak ‘kejar’ nguyak ‘mengejar’ nguyak-uyak ‘mengejar terus’
ajak ‘mengajak’ ngajak ‘mengajak’ ngajak-ajak
‘berulang kali mengajak’
olo ‘ejek’ ngolo ‘mengejek’ ngolo-olo ‘mengejek-ejek’
idaq ‘injak’ ngidaq ‘menginjak’ ngidaq-idaq ‘menginjak-injak’
Khusus pada kata iris, uyak, ajak, dan idak dapat diulang secara penuh ataupun
4.3.1.1.3.2Dwilingga Sebagian Berprefiks
di-Adanya penambahan pada kata dasar yaitu berupa awalan di- menimbulkan dua
kemungkina proses perulangan. Pertama, bentuk dasar diulang secara penuh ataupun
kedua, bentuk dasar hanya diulang sebagian.
Tabel 3 Dwilingga Sebagian Berprefiks
di-Kata Dasar Bentuk Dasar DL Sebagian Berprefiks di-
idaq ‘injak’ diidaq ‘diinjak’ diidaq-idaq ‘diinjak-injak’
thuthuk ‘pukul’ dithuthuk ‘dipukul’ dithuthuk-thuthuk
‘dipukul berulang kali’
pacul ‘cangkul’ dipacul ‘dicangkul’ dipacul-pacul
‘dicangkul-cangkul’
uyak ‘kejar’ diuyak ‘dikejar’ diuyak-uyak
4.3.1.1.3.3Dwilingga Sebagian Berprefiks ke-
Dwilingga sebagian yang mendapat awalan ke- juga mengalami hal yang sama
dengan DL sebagian yang berprefiks di- yaitu memiliki dua kemungkinan dalam proses
perulangan, yaitu perulangan penuh ataupun perulangan sebagian.
Tabel 4 Dwilingga Sebagian Berprefiks
ke-Kata Dasar Bentuk Dasar DL Sebagian Berprefiks ke-senggol ‘sentuh’ kesenggol ‘tersentuh’ kesenggol-senggol
‘tersentuh-sentuh’
thuthuk ‘pukul’ kethuthuk ‘terpukul’ kethuthuk-thuthuk
‘terpukul-pukul’
banting ‘pelanting’ kebanting ‘terpelanting’
kebanting-banting
‘terpelanting-pelanting’
pacul ‘cangkul’ kepacul ‘tercangkul’ kepacul-pacul
‘tercangkul-cangkul’
cekel ‘tangkap’ kecekel ‘tertangkap’ kecekel-cekel
‘tertangkap-tertangkap’
seret ‘seret’ keseret ‘terseret’ keseret-keseret
4.3.1.2 Dwilingga Salin Suara
Dwilingga salin suara (DLS) merupakan pengulangan penuh pada kata dasar dengan
adanya perubahan bunyi pada vokal kata dasar tersebut.
Contoh:
mlayu ‘lari’ mloya-mlayu ‘berlari-lari’
cokot ‘gigit’ kecokat-kecokot ‘berkali-kali tergigit’
takon ‘bertanya’ tokan-takon ‘berkali-kali bertanya’
mangan ‘makan’ mongan-mengen ‘berkali-kali makan’
tubruq ‘tabrak’ ketubraq-tubroq ‘tertabrak-tabrak’
njaluk ‘minta’ njolak-njaluk ‘meminta-minta’
nangis ‘menangis’ nongas-nangis ‘berkali-kali menangis’
Reduplikasi DLS merupakan reduplikasi yang memiliki arti merupakan
ungkapan perasaan pembicara seperti marah ataupun tidak suka terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus.
Contoh dalam kalimat:
1. Bocah iku kawit mau mongan-mangan wae.
2. Wis ta meneng, aja nongas-nangis wae.
‘Sudahlah diam, jangan (berkali-kali) menangis saja’.
3. Bocah iku mloya-mlayuwae nang latar.
‘Anak itu berlari-lari saja di halaman’.
Terlihat pada contoh di atas bahwa rasa tidak suka si pembicara terhadap
perilaku seseorang yang dilakukan berulang kali.
4.3.1.3 Dwipurwa
Reduplikasi dwipurwa (DP) merupakan pengulangan KV pada gugus pertama kata
dasar. Pengulangan ini sangat jarang digunakan dalam bahasa Jawa ngoko.
Contoh:
resik reresik ‘membersihkan’
lara lelara ‘penyakit’
reged rereged ‘kotoran’
tombo tetombo ‘berobat’
Reduplikasi DP tidak memiliki arti khusus tetapi hanya ada perubahan pada jenis
kata. Misalnya, pada kata tombo ‘obat’ (KB) tetombo ‘berobat’ (KK), resik
‘bersih’ (KS) reresik ‘membersihkan’ (KK), dan lara ‘sakit’ (KS) lelara
‘penyakit’ (KB).
4.3.1.4 Dwiwasana
Dwiwasana (DW) merupakan proses perulangan yang dibentuk dengan mengulang
suku akhir kata dasar. Akan tetapi DW yang sebenarnya sulit sekali ditemukan, karena
sulit untuk membedakan DW dengan kata ulang semu. Hal ini terjadi karena tidak ada
batasan antara DW dengan kata ulang semu.
Contoh:
cengenges ‘tertawa sinis’
cekikik ‘tertawa terkekeh-kekeh’
cekakak ‘tertawa-tawa’
Adapun pola dalam DW yaitu K1V1K2V2K2V2(K3) atau dapat pula berpola
K1V1K2V2K3V3 V2K4.
Contoh:
pethentheng ‘tiba-tiba bertolak pinggang’
pethunthung ‘tiba-tiba agak membesar’
4.3.1.5 Dwi Dwipurwa
Dwi dwipurwa (DDP) merupakan perulangan penuh dengan bentuk dasar berupa
dwipurwa. Perulanag ini dapat pula digolongkan kedalam perulangan dwilingga (DL).
Contoh:
tetuku tetuku-tetuku ‘berbelanja’
4.3.1.6 Dwi Dwiwasana
Dwi dwiwasana (DDW) merupakan perulangan dengan bentuk dasar dwiwasana
(DW) dengan mengulangnya secara penuh (utuh).
Contoh:
pecicil pecicil-pecicil ‘tidak biasa diam’
pethentheng pethentheng-pethentheng ‘berlagak’
cekikik cekikik-cekikik ‘tertawa-tawa’
sethithik sethithik-sethithik ‘sedikit-sedikit’
Makna dalam perulangan ini sama dengan DL dan DDP karena melihat hasil
dari perulangan sama dengan dua perulangan tersebut.
4.3.1.7 Dwi Dwipurwa Salin Suara
Dwi dwipurwa salin suara (DDPS) merupakan perulangan dengan bentuk dasar dwi
Contoh:
tetuku-tetuku tetuka-tetuku ‘berbelanja’
teturu-teturu tetura-teturu ‘berkali-kali tidur’
beburu-beburu bebura-beburu ‘berburu terus-menerus’
gegeni-gegeni gegena-gegeni ‘berdiang-diang’
njenjaluk-njejaluk njenjulak-njejaluk ‘meminta-minta’
Makna dalam perulangan DDPS adalah rasa jengkel pembicara terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan berulang kali oleh seseorang.
Contoh dalam kalimat:
1. Bocah kok kawit mau tetura-teturu wae
‘Anak itu sejak tadi tidur-tidur saja’
2. Aja mung gegena-gegeni wae, iki wis awan.
‘Jangan berdiang-diang saja, ini sudah siang ’
3. Wiwit mau kok njenjulak-njenjaluk kalmbi anyar wae.
4.3.1.8 Dwi Dwiwasana Salin Suara
Sama halnya dengan DDPS, dwi dwiwasana salin suara (DDWS) juga merupakan
perulangan yang dibentuk dasar bentuk dasar dwi dwiwasana akan tetapi dengan adanya
perubahan bunyi.
Contoh:
pethentheng-pethentheng pethenthang-pethentheng ‘berlagak’
cekikik-cekikik cekikak-cekikik ‘tertawa kecil’
sethithik-sethithik sethithak-sethithik ‘sedikit-sedikit’
Makna dari perulangan DDWS merupakan sebuah penekanan, yaitu penekanan
4.3.2 Proses Reduplikasi Bahasa Indonesia
Adapun proses reduplikasi dalam bahasa Indonesia menurut Simatupang (1979:
19-46) terbagi atas 18 tipe, tetapi di dalam penelitian ini hanya dibahas sampai dengan 16
tipe saja.
4.3.2.1 Tipe R-1 : (D+R)
Tipe R-1 ini dapat pula disebut sebagai reduplikasi penuh karena proses dari
reduplikasi mengalami pengulangan penuh. Selain itu juga R-1 mengulang dasar
yang monomorfemis dan polimorfemis. Yang dimaksud dengan D disini adalah
dasar yang dikenai oleh reduplikasi (R).
Contoh:
rumah rumah-rumah
sepatu sepatu-sepatu
pendapat pendapat-pendapat
perdebatan perdebatan-perdebatan
hitam hitam-hitam
melihat melihat-lihat
berhenti berhenti-berhenti
seperempat seperempat-seperempat
Makna yang terkandung dari reduplikasi ini adalah suatu tindakan yang
dilakukan berulang-ulang, menyatakan suatu benda yang banyak, ukuran suatu
benda ataupun sifat benda tersebut.
4.3.2.2 Tipe R-2 : (D+Rperf)
Tipe R-2 meruakan proses pengulangan dimana adanya perubahan bunyi pada
konstituen ulang dan fonem yang berubah dapat berupa vokal, konsonan, atau konsonan
dan vokal.
Contoh:
gerak gerak-gerik
balik bolak-balik
sayur sayur-mayur
cerai cerai-berai
Terlihat pada contoh di atas bahwa bentuk dasar dari reduplikasi dengan perubahan
fonem ada kalanya terdapat pada posisi pertama dan konstituen ulangnya terdapat pada
posisi kedua, dan ada kalanya bentuk dasar terdapat pada posisi kedua dan konstituen
pada posisi pertama. Tetapi jika perubahan fonem terdapat pada gugus konsonan maka
bentuk dasar terdapat pada posisi pertama sedangkan jika perubahan fonem terdapat
pada vokal atau konsonan makan bentuk dasar tidak dapat diperkirakan.
4.3.2.3 Tipe R-3 : ((D + R) + ber-)
Ada dua kemungkinan dalam proses reduplikasi tipe R-3. Pertama, dengan proses
((D + ber-) + R ) dan kedua dengan proses (D + (R+ber-)).
Contoh proses ((D + ber-) + R):
((sepeda + ber-) + R) bersepeda-sepeda
((hektar + ber-) + R) berhektar-hektar
((pasang + ber-) + R) berpasang-pasang
((bulan + ber-) + R) berbulan-bulan
((teman + ber-) + R) berteman-teman