• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam dan negara: telah pemikiran Bahtiar Efendy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Islam dan negara: telah pemikiran Bahtiar Efendy"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

i

telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta.

Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis dengan judul “Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagaran serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi ini akan terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat; Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajorah, MA. sebagai sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Beserta seluruh staf pengajar di Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(2)

3. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Pak Amsal Bahtiar, Hamid Nasuhi, Ibu Hermawati, Masri Mansur, Chaider S Bamualim, dan Bakir Ihsan, atas motivasinya akhirnya saya bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Ayahanda Alimuddin (Almarhum) dan Ibunda Durryiha, terimakasih atas kasih sayang, bimbingan dan motivasi yang tak kenal henti dari mereka berdua sehingga penulis mampu mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal masa depan. Sebagai wujud terimakasih, penulis persembahkan skripsi ini untuk mereka berdua. Do’a ibu khususnya, senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Untuk mendiang ayah, semoga para malaikat tuhan sampaikan akan kabar bahagia ini. Trima kasih juga untuk K Harto dan adik semata wayangku Litfi Imam, teruslah berjuang sampai titik darah penghabisan. 5. Terima kasih kepada kepada orang-orang yang pernah mewarnai

kehidupanku, Aliyah, Nuri, Ratu Monesa, Devi, dan Icha. Semua orang ini sangat berpengaruh dalam mewarnai kehidupanku. Meski semua harus seperti ini, tapi paling tidak skripsi ini lahir atas inspirasimu. Untuk Nuri, teruslah berjuang di IKOHI untuk membela kaum perempuan tertindas. Untuk Icha, soga kau cepat berubah semoga sifat ABG-mu cepat hilang. Untuk Ratu Monesa, aku tunggu novelmu diluncurkan.

(3)

motivasinya, cepat cari istri dan yang penting kecilin perutnya. Teman-taman Formad, Mohang, Erik, rosi, hayat, Majdi, Anis, Ojan, Robet, dan lain sebagainya, jangan pernah menyerah menghadapi kerasnya kehidupan Jalarta.

7. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman Forsa, Inay, Aang, Oji, dan itay. Teman PST Tarbiyah, Ayu, Tika, Tuhfah, Wieji, Reni, Alimah, dan Ivah. Semuanya kau adalah bagian inspirasiku. Kritik dan Saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Akhirnya hanya do’a jualah yang dapat penulis mohonkan kepada Allah SWT. Semoga senantiasa membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Amin.

Jakarta, 20 Desember 2007

Penulis

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………i

DAFTAR ISI ………....iv

BAB I PENDAHULUAN ……….1

A. Latar Belakang Masalah ……….1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...5

C. Tujuan Penelitian ………..6

D. Metodologi Penelitian ……….6

E. Sistematika Penyususnan ………7

BAB II BIORAFI BAHTIAR EFFENDY………....9

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan ……….9

B. Karya Tulis Ilmiyah ………..12

C. Bahtiar Effendy dan Pemikirannya ………...20

BAB III DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA ………24

A. Pertautan antara Islam dan Negara……….24

B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara………..27

C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia………..35

D. “Penjinakan” Islam oleh Negara………43

1. Zaman Orde Lama ……….. 44

2. Zaman Orde Baru ………..46

BAB IV PANDANGAN BAHTIAR EFFENDY TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA ……… 50

A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara ………50

1. Generasi Baru Intelegensia Muslim ... 51

2. Keterlibatan Dalam Birokrasi ………...59

3. Gerakan Transformasi Sosial………61

(5)

1. Panggung Politik Umat Islam ………...65

C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara ……….67

1. Penerimaan terhadap Demokrasi ……….. 68

2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif ………..73

D. Catatan Kritis ………. 75

BAB V PENUTUP ………...76

A. Kesimpulan ………...76

B. Saran-saran ………77

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Hubungan antara Islam dan Negara merupakan persoalan yang hingga kini masih menjadi perdebatan aktual sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia. Perdebatan ini sebenarnya merupakan bagian dari masalah yang lebih besar tentang dimana posisi agama dalam Negara. Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia mempunyai kepentingan lebih besar ketimbang agama-agama lainnya. Salah satu alasan yang sering dikemukakan karena Islam terlanjur dipercaya pemeluknya sebagai petunjuk bagi seluruh kehidupan sosial maupun politik.

Di samping itu, pembahasan dan perdebatan di seputar hubungan agama dan negara tampaknya tidak akan pernah berakhir dalam sejarah kehidupan manusia. Banyak peneliti, baik dari kalangan Indonesianis maupun dari Indonesia yang telah melakukan kajian dan studi serius mengenai keterkaitan agama dan negara. Secara garis besar, perbincangan tentang hubugan antara agama dan negara telah melahirkan tiga ‘blok’ besar dalam kalangan peneliti.

(7)

formalis. Ketiga, ‘blok’ yang mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kedua blok di atas.1

Terlepas dari perdebatan blok-blok di atas, Islam sebagai agama yang sejak awalnya menekankan bahwa wahyu Allah itu memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai persoalan kehidupan, maka dalam perjalanan sejarah masyarakat muslim tidak pernah lepas dari masalah ini. Hal ini juga akan semakin rumit ketika dalam kenyataannya mendudukkan antara Islam dan negara dalam kehidupan sosial tidaklah gampang.

Banyak faktor yang membuat rumusan atau pola hubungan antara Islam dan negara tidak mudah. Pernah dalam tahapan sejarah, faktor tersebut dirumuskan dalam istilah-istilah seperti belum diterimanya Islam secara utuh; sekuler; ketakutan terhadap Islam, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ada sebagian orang Islam berpandangan bahwa beberapa faktor yang turut mempersulit terwujudnya hubunga Islam dan Negara yang harmonis berasal dari sisi ‘dalam’ masyarakat Islam itu sendiri.

Meskipun kecenderungan seperti itu banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan, namun tidak sedikit pula yang menganggap faktor ‘dalam’ tersebut bukan sebagai persoalan. Harus diakui, hampir semua orang Islam sepakat bahwa Islam itu satu, tetapi penafsiran terhadap semua dimensi ajaran Islam tidaklah tunggal. Beragam potret aliran maupun mazhab baik dalam soal fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti

1

(8)

bahwa Islam tidaklah monolitis.2 Inilah yang sebenarnya menjadi salah satu faktor kunci sulitnya mengurai hubungan antara Islam dan Negara.

Kompleksitas penafsiran terhadap hubungan antara keduanya akan terus menajadi perdebatan mengingat kenyataan bahwa Islam tidak mungkin bisa diterjemahkan dalam bentuknya yang tunggal. Meskipun ada benang merah yang menghubungkan penafsiran antara keduanya, namun dalam mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sangatlah bervariasi.

Dengan kata lain, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dan bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Hal inilah yang membedakan antara Islam dengan agama lain seperti agama kristen yang mengenal sistem kependetaan. Dalam Islam, setiap muslim memiliki hak dan otoritas dalam memahami agamanya. Karena kebenaran absolut hanya milik Allah, maka tak seorangpun berhak mengklaim bahwa pemahamannya paling benar dan otoritatif dibanding yang lain.

Demikian lenturnya Islam, sehingga seringkali menimbulkan dilema termasuk dalam munculnya bebagai pemikiran dan pemahaman tentang Islam yang tidak saja berbeda, namun juga bertolak belakang bahkan berbenturan.

Dalam konteks penafsiran hubungan antara Islam dan politik misalnya, terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan dalam umat Islam. Ada yang mengatakan Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Gagasan lainnya mengatakan Islam dan negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus dipisahkan. Sedangkan pandangan yang paling moderatpun juga ada. Pandangan moderat menegaskan, meski Islam dan politik merupakan persoalan yang berbeda,

2

(9)

namun keduanya mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu ada.3 Tiga tipologi pemikiran inilah yang sampai saat ini menjadi patokan untuk menjelaskan dimana seharusnya posisi agama (Islam) dalam negara.

Bahtiar Effendy, merupakan salah satu tokoh yang turut meramaikan perdebatan relasi Islam dan negara. Banyak karya dan buku telah diterbitkannya sebagai bagian kepedulian dan kontribusinya dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan perdebatan yang sudah memakan waktu ratusan tahun itu. Buku-buku Bahtiar Effendy yang secara tegas mengupas hubungan antara Islam dan Negara bisa dilihat dalam Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia.

Buku Islam dan negara ini merupakan buku yang secara lugas membahas hubungan politik Islam dan negara di Indonesia. Menurut Bahtiar Effendy, hubungan politik Islam dengan negara mengalami jalan buntu. Baik ketika Suekarno mapun rezim Sueharto berkuasa. Kedua rezim tersebut memandang Islam politik maupun partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing potensial kekuasaan yang dapat merobohkan landasar negara, Pancasila.4

Buku lain Bahtiar Effendy yang tegas menyajikan kekurang harmonisan hubungan Islam dan Negara yaitu, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi. Buku yang bertebal 294 itu memaparkan ketegangan yang terjadi antara politik Islam dan negara sepanjang Soekarno dan Soeharto menjadi Presiden. Tidak hanya itu, buku ini juga menyajikan berbagai pandangan Islam kaum muda reformis yang mencoba meredam aura Islam ideologis. Salah

3

Effendy, Jalan Tengah Politk Islam, h. 6.

4Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

(10)

satu tokoh muda itu adalah Nurcholis Madjid dengan gagasan segarnya Islam Yes, Partai Islam, No.

Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang

Tidak Mudah juga merupakan buku lain Bahtiar Effendy yang membahas secara jelas dan tajam tentang pemikiran politik Islam di Indonesia. Buku ini juga mengkaji dan mengangkat tema politik yang tidak akan pernah berhenti dan habis dibahas para pemikir dan praktisi politik seputar hubungan Islam dan dunia politik. Selain itu, buku ini juga merekam berbagai peristiwa politik di Indonesia yang berkaitan dengan masalah agama dan politik. Misalnya tentang proses transisi demokrasi, pembentukan partai politk, pemilihan umum, etika politk, dan lain sebagainya.

Selain itu, masih banyak buku lain Bahtiar Effendy yang mengupas secara tegas pasang surutnya hubungan Islam dan Negara. Di antar buku tersebut yaitu,

Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya hubungan NU, Presiden, dan

Negara, Repolitisasi Islam: Pernahkan Islam Berhenti berpolitik? dan Islam in Contemporary Indonesian Politics.

(11)

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

Agar pembahasan mengenai hubungan Islam dan Negara tidak terlalu melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsep Hubungan Islam dan negara yang ditawarkan Bahtiar Effendy dengan mengurai beberapa teori dan perspektif yang diajuakannya.

Dengan pembatasan masalah seperti itu, maka permasalahan yang akan menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas rumusan ideal yang ditawarkan Bahtiar Effendy soal hubungan Islam dan Negara. Serta melakukan alisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Mengetahui latar belakang Bahtiar Effendy dalam merumuskan hubungan antara Islam dan Negara.

2. Mengetahui faktor penyebab ketegangan antara Islam dan Negara 3. Mengetahui fluktuasi hubungan Islam dan Negara baik saat orde

lama maupun orde baru.

(12)

D. METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan satu metodologi penelitian. Yaitu studi kepustakaan.

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data melalui sumber bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis Bahtiar Effendy. Selain itu, studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan sejumlah data yang ada di media massa seperti koran, majalah, dan jurnal yang berkaitan dengan pemikiran Bahtiar Effendy soal Islam dan Negara.

2. Wawancara Tokoh

Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis juga akan melakukan wawancara langsung dengan Bahtiar Effendy selaku tokoh yang diangkat dalam skripsi ini. Dari wawancara ini diharapkan mampu menemukan pemikiran orosinil Bahtiar Effendy terkait dengan relasi Islam dan Negara.

Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan konsep ideal hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy.

(13)

for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada BAB II penulis mencoba untuk memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup, latar belakang pendidikan, karya tulis ilmiyah, serta Bahtiar Effendy dan pemikirannya

Pada BAB III, penulis akan menyajikan beberapa studi kasus soal dinamika hubungan Islam dan negara yang meliputi pertautan Islam dan negara serta ketegangan di sepurat hubungan Islam dan Negara di sejumlah negara Islam. Di BAB III ini juga, penulis sudah mulai masuk pada salah satu topik inti skripsi yaitu, Islam sebagai kekuatan ideologi politik di Indonesia, dan “Penjinakan” Islam oleh Negara baik pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Sedangkan Bab IV, penulis sudah masuk pada pokok inti tulisan ini yaitu, pemaparan Bahtiar Effendy dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan Negara di Indonesia. Serta bagaimana solusi yang ditawarkan dalam mengurai ketegangan di antara keduanya.

Bab IV diawali dengan Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara. Pada sub pokok bahasan selanjutnya, akan dipaparkan munculnya generasi baru intelegensia Muslim, keterlibatan dalam birokrasi, dan gerakan

transformasi sosial yang dilakukan umat Islam.

(14)

Bab IV ini akan diakhiri dengan catatan kritis terhadap pemikiran politik Bahtiar Effendy. Terutama catatan kritis tentang definisi Islam dan Negara menurut Bahtiar serta relevasnsi Islam dan Negara dalam konteks kehidupan bernegara saat ini di Indonesia.

(15)

BAB II

BIOGRAFI BAHTIAR EFFENDY

A. RIWAYAT HIDUP DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

Bahtiar Effendy adalah dosen mata kuliah Pemikiran Politik Barat pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Jakarta. Selain itu, dia juga dosen Program Pascasarjana UIN Jakarta, Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Bahtiar dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 10 Desember 1958. Bahtiar memulai pendidikannya dari Sekolah Dasar (SD) dan Ibtidaiyah di kampung kelahirannya. Setelah lulus SD dan Ibtidaiyah pada tahun 1970, dia kemudian melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi di Pondok Pesantren Pabelan, Mungkid, Magelang Jawa Tengah. Ketika masih duduk di kelas enam – setingkat kelas tiga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)- di Pesantren Pabelan, pada tahun 1976 hingga 1977 Bahtiar memperoleh beasiswa American Field Service (AFS) untuk belajar di Columbia Falls High School, Columbia Falls, Montana, Amerika Serikat. Yang menarik, Bahtiar adalah sedikit di antara—kalau bukan satu-satunya—santri pesantren yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS antara Indonesia-Amerika di sebuah SLTA di Columbia Falls, Montana.

(16)

Asia Foundation, antara tahun 1986-1988, dia meneruskan sekolah S-2 pada program studi Asia Tenggara di Ohio University, Athens, Ohio, AS. Atas anjuran Prof. R. William Liddle dan beasiswa dari Midwest University Consortium for Internastional Activities (MUCIA), Asia Foundation, dan Departement of Political Science OSU, dia melanjutkan pendidikannya ke Ohio State University, Columbus, Ohio, AS. Dari Universitas inilah, Pada tahun 1994, ia meraih gelar Doktor di bidang ilmu politik dengan menulis disertasi yang berjudul Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in

Indonesia. Disertasi yang berbahasa Inggris ini kemudian diterjemakah ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia yang diterjemahkan Ihsan Ali-Fauzi dan diterbirkan oleh Paramadina tahun 1998.

Selain itu, tahun 1998 Bahtiar menjabat sebagai Wakil Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia),1 juga dipercaya menjadi Ketua Dewan Akademi Program Pascasarjana UIN Jakarta dari tahun 1999 hingga sekarang, dan Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tahun 2001-2004. Tidak hanya itu, dia juga menjabat Deputy Director of the Institute for the Study and Advancement of Business Ethic, 1996-sekarang.2 Di penghujung tahun 2006, Bahtiar meraih gelar Profesornya di bidang pemikiran politik Islam dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta.

Selain aktif menjadi narasumber talkshow mengenai politik di beberapa stasiun televisi, aktif menulis artikel di berbagai surat kabar dan majalah, dia juga

1

Biorafi Bahtiar Effendy yang ditulis dalam bukunya Islam dan Negara.

2

”Islam dan Demokrasi”, artikel diakses pada tanggal 11 November dari:

(17)

telah mempublikasikan sejumlah buku yang dikarangnya, di antaranya yaitu: (1)

Merambah jalan baru Islam. Buku ini ditulis Bahtiar bersama Fachry Ali (Bandung: Mizan, 1968); (2) Islam and the State: Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia. Buku ini merupakan disertasi Bahtiar untuk meraih gelar doktornya di Ohio State University yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998); (3) Re-politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti berpolitik?; (Bandung: Mizan, 2000); (4) Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi

(Yogyakarta: Galang Press, 2001); (5) Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001; (6) Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005); (7) Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara (Jakarta: Ushul Press, 2005) (8) Islam in Contemporary Indonesian Politic (Jakarta: Ushul Press, 2005).

(18)

apakah fenomena maraknya partai Islam merupakan perwujudan dari hadirnya kembali Islam di pentas politik atau hanya sekedar repolitisasi Islam? Dalam bukunya Re-politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti berpolitik? Bahtiar dengan lugas membahas munculnya partai Islam sebagai kekuatan politik Islam di era reformasi.

B. KARYA TULIS ILMIYAH

Sebagai seorang intelektual, Bahtiar tergolong sebagai tokoh yang produktif menulis karya tulis ilmiah, baik yang berbentuk buku maupun yang berbentuk artikel yang disajikan dalam sejumlah seminar nasional maupun internasional. Karya-karya tulis ilmiah Bahtiar pada umumnya ditulis dalam bahasa Indonesia dan sedikit saja yang menggunakan bahasa asing, khususunya bahasa Inggris. Sampai saat ini, Bahtiar sedikitnya telah mempublikasikan delapan buku karya ilmiahnya dalam bahasa Indonesia dan satu buku berbahasa Inggris yang diberi judul Islam in Contemporary Indonesian Politic yang baru-baru ini diterbitkan Ushul Press, Jakarta. Ketujuh buku tersebut hampir bisa dipastikan sebagian besarnya merupakan kumpulan tulisan-tulisan Bahtiar yang dimuat di sejumlah media massa nasional maupun internasional. Hanya beberapa buku saja yang bukan merupakan kumpulan tulisan seperti Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Teologi Baru Politik Islam, Merambah Jalan Baru Islam, dan Masyarakat Agama dan Pluralisme keagamamaan.

(19)

Masa Orde Baru. Buku setebal 336 ini merupakan analisis sosial-historis mengenai kondisi masyarakat Indonesia sebelum masuk dan berkembangnya Islam hingga munculnya dinamika pemikiran Islam Indonesia. Penyelidikan dilakukan secara hati-hati mulai awal pertautan antara Islam dengan kultur dan kepercayaan masyarakat pribumi sampai perkembangan selanjutnya di mana muncul pemikiran keagamaan yang menempati mainstream modernis-tradisionalis. Kedua mainstream gerakan pemikiran ini cukup lama mewarnai perjalanan Islam Indonesia - disertai konflik dan pertentangannya di bidang sosial, budaya, dan politik - baik sebelum maupun sesudah berlangsungnya kemerdekaan.

Baru pada masa Orde Baru diketengahkan arah pemikiran Islam Indonesia dengan melihat pandangan para tokoh seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Raharjo, Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, dan sejumlah tokoh lainnya yang dinilai telah memudarkan dikotomi kaku antara modernis-tradisionalis. Hal ini disebabkan kesamaan substansial di mana keduanya tidak lagi terjebak pada aspek kecabangan (furu’iyyah) ajaran keislaman tetapi masalah universal kemanusiaan.3

Walaupun pengelompokan pemikiran konvensional seperti di atas masih cukup terasa, paling tidak, perhatian sejumlah pemikir muda masa orde baru menunjukkan kecenderungan yang sama terhadap pertautan pemikiran kemanusiaan universal yang sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada arus modernisasi, industrialisasi, dan demokratisasi yang menuntut agar melihat kembali nilai-nilai lama untuk dinyatakan urgensi dan relevansinya.

3

Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 297

(20)

Arah pemikiran mereka diikhtiarkan untuk menjawab pertanyaan apakah pemahaman tentang Islam selama ini telah mampu menjawab berbagai persoalan kemanusiaan universal, antara dunia yang terus berubah dengan hukumnya yang profan dengan agama yang suci dan sakral? Bagaimana dampak positif jawaban mereka terhadap bangsa Indonesia yang ikut merasakan persoalan tersebut? Melalui pertanyaan ini, para pemikir muda masa Orde Baru mencari formulasi pemikiran yang tepat untuk memproyeksikan masa depan umat Islam Indonesia.

Tahun berikutnya 1998, Bahtiar menerbitkan sebuah buku yang berjudul

Islam dan negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

(21)

Dua tahun berikutnya (2000), Bahtiar menerbitkan tulisan-tulisannya yang sebagian besar dimuat di media massa sejak 1995 hingga 1999. Buku yang diterbitkan Mizan ini diberi judul Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? Dari empat bab yang ada dalam buku ini, salah satu bab terpentingnya terdapat di bab pertama yang mengkaji tentang peran agama yang bukan saja berkutat pada wilayah privat, melainkan agama yang mampu memberikan jawaban atas semua persoalan yang ada. Menurut Bahtiar, berbicara tentang apa yang terjadi pada umat Islam di Indonesia, mau tidak mau harus berbicara tentang ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang selama demokrasi terpimpin hingga tampilnya rezim orde baru kedua ormas tersebut berada di bawah tekanan. Selain NU dan Muhammadiyah, ICMI juga merupakan ormas Islam yang kerap dibicarakan publik. Dalam bab ini dengan jernih Bahtiar memaparkan bagaimana ormas Islam tersebut memainkan peran penting dalam himpitan ekonomi dan politik orde baru yang beringas. Dan menjelaskan strategi apa yang digunakan ormas tersebut hingga pada detik-detik terakhir keberadaannya Islam tidak lagi dimusuhi.

Yang menarik dari buku ini adalah penjelasan di bab ketiga yang secara jelas mengupas munculnya partai-partai Islam pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Dalam pandangan sebagian kalangan, fenomena ini bisa dimaknai sebagai reingkarnasi politik Islam atau yang lumrah disebut repolitisasi Islam. Penilaian seperti itu sah saja disampaikan mengingat Islam sedari awal kelahirannya memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan politik.

(22)

menjelaskan repolitiasi Islam adalah munculnya sejumlah partai yang menggunakan simbol Islam, maka tidak menutup kemungkian yang dimaksudkan adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Akan tetapi, membandingkan apa yang muncul setelah jatuhnya Soeharto dengan apa yang pernah berkembang pada tahun 1950-an hingga 1960-an merupakan sesuatu hal yang tergesa-gesa. Bisa saja menjamurnya partai Islam sebagai bentuk perayaan euforia reforasmi semata.

Sementara di tahun 2001, Bahtiar kembali menerbitkan dua buku dengan tema yang hampir serupa: yaitu Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi dan Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan.

Kedua buku ini merupakan kumpulan artikel serius Bahtiar yang disampaikan di forum ilmiah tingkat nasional, dan semuanya berbahasa Indonesia.

Dalam buku ini, Bahtiar mengawali pembahasannya hampir sama dengan buku sebelumnya, Islam dan Negara. Menurut Bahtiar, setelah berakhirnya kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20, negara Islam seperti Turki, Malaysia, Pakistan, Maroko, Aljazair, dan Sudan mengalami kesulitan dalam mengembangkan tesis yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di negara-negara tersebut, relasi Islam dan negara-negara selalu diwarnai dengan cerita antagonisme. Sementara di Indonesia, hubungan Islam dan negara tidak jauh berbeda dengan sejumlah negara Islam tersebut. Untuk waktu yang cukup lama, hubungan keduanya mandeg bahkan bersitegang.4

Dalam konteks seperti itu, buku ini hadir untuk menjelaskan mengapa perseteruan antara Islam dan negara terjadi dalam sebuah negara yang mayoritas

4

Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi

(23)

penduduknya Islam. Adakah jalan keluar yang menghubungkan politik antara Islam dan negara yang lebih harmonis dan integratif? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu dijawab secara lugas dalam buku ini. Salah satu penjelasan yang paling mungkin dicerna adalah munculnya generasi baru Islam di era 1970-an dan 1980-an y1980-ang lebih mengedep1980-ank1980-an agenda subst1980-antif Islam d1980-an menolak p1980-and1980-ang1980-an yang legal formaslistik. Sebagai sebuah generasi baru, gerakan pemikiran baru ini dianggap potensial untuk membangun jembatan dan sintesis yang memungkinkan antar keduanya. Dengan kata lain, lahirnya generasi baru Islam ini merupakan harapan besar untuk membangun komunikasi yang mesra antara Islam dan negara. Menunjukkan bahwa politik Islam telah menemukan bentuknya yang baru dalam memperjuangkan agenda Islam.

Sementara dalam buku Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan

Bahtiar mengeksplorasi posisi dan peran agama dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan pada akhir abad ke-20. Sebuah abad yang ditandai dengan perubahan-perubahan mencengangkan di seluruh ranah kehidupan yang lebih dekenal dengan istilah globalisasi.

(24)

sehingga secara inheren berperan dalam setiap pembuatan keputusan baik politik maupun ekonomi.

Oleh sebab itu, pandangan keagamaan tidak bisa dianggap hanya beroperasi pada wilayah privat semata melainkan harus disosialisasikan guna mengoptimalkan peran dan fungsi agama (deprivatisasi agama).5 Akibatnya, agama perlu dikaji secara kontekstual melalui berbagai pendekatan sehingga mampu menjawab semua persoalan masyarakat. Di sini agama mempunyai bentuk praksis dan dinamis dengan tetap berdiri tegak di tengah arus perubahan besar dan radikal. Globalisasi kemudian diyakini tidak serta-merta mencerabut peran dan posisi agama dalam masyarakat mengingat agama merupakan domain nilai yang selalu berdialog dengan kenyataan sosial.

Dua buku lainnya - yang tentu dengan tema yang hampir sama- terbit dua tahun kemudian (2005). Kedua buku tersebut yaitu, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara serta buku Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah,

terdiri dari sejumlah tulisan-tulisan kolom yang dimuat di media massa nasional. Buku Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal ini mengkaji secara khusus sepak terjang politik Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur yang pernah menjadi presiden RI. Gus Dur dalam beberapa performa politiknya sangat kontroversial menarik untuk dikaji dalam perspektif politik dan kaitannya

5

Deprivatize merupakan istilah yang dipinjam Bahtiar dari Jose Cassanova untuk menunjukkan peran penting agama dalam kehidupan sosial politik seperti yang terjadi di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika. Lihat Bahtiar Effendy, Masayarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 6.

(25)

dengan Islam. Apalagi, Gus Dur dianggap sebagai representasi kemenangan politik Islam di jagad politik nasional.

Dalam buku yang terdiri dari tiga bab ini, Bahtiar memulai pembahasannya terutama soal hubungan Gus Dur dengan kyai, dan kalangan Nahdliyin yang selama ini menjadi basis dukungannya saat bertarung dalam dunia politik. Selain itu, Bahtiar juga membahas kebingungan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ketika mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa Gus Dur harus dilengserkan di tengah jalan oleh koalisi poros tengah.

Dalam bab lainnya juga dijelaskan mengenai pertikaian Gus Dur dengan elit politik di legislatif tentang hak interpelasi, memorandum, sidang istimewa, dan kesukannya jalan-jalan ke luar negeri. Semua ketegangan itu dengan baik di jelaskan dalam buku ini.

Sementara dalam buku Jalan Tengah Politik Islam, Bahtiar mencoba menampilkan rekam jejak peristiwa politik yang berkaitan dengan masalah agama dan politik mulai dari masalah HAM, Islam dan demokrasi, pemilihan umum, transisi demokrasi, politisasi agama, Islam dan ekstrimisme, Islam dan kekuasaan, dan tema-tama lainnya yang tidak kalah menarik juga dibahas dengan baik oleh Bahtiar. Dalam buku ini, Bahtiar sekali lagi ingin menegaskan bahwa perbincangan mengenai hubungan politik dengan agama tidak akan pernah selesai dibicarakan banyak kalangan sepanjang masa. Tema kaitan agama dan politik inilah yang selama ini menjadi fokus utama kajian dan pemikiran Bahtiar.

Setahun berikutnya (2006), Bahtiar menerbitkan buku yang diberi judul

(26)

buku yang ditulis sebelumnya semuanya berbahasa Indonesia. Di lihat dari semua judul yang ada dalam buku ini, tema yang dibahas Bahtiar tidak jauh dari apa yang ditulisnya selama ini, yaitu tentang kaitan politik antara Islam dan negara dalam konteks keindonesiaa. Seperti diulang-ulang dalam buku sebelumnya, buku ini juga membahas kembali hubungan Islam dan politik bisa jadi merupakan prsoalan yang membosankan. Bukan hanya karena alasannya yang tidak menarik, melainkan juga karena artikulasi yang dibahasnya sekedar mengulang-ngulang dari wacana yang sering dibicarakan kalangan ilmuan politik Islam.

Diawali dengan judul artikel What is Polical Islam?: An examanation of its theoretical mapping in Modern Indonesia seolah bisa ditebak apa yang akan disampaikan dalam tulisan ini. Tulisan yang ada dalam artikel ini sebenarnya merupakan salah satu bab dari disertasi yang ditulisnya guna meraih gelar doktor ilmu politik di Ohio State University. Dalam judul ini, Bahtiar memberi penjelasan tentang beberapa garis utama teori para ilmuan politik barat yang digunakan untuk melihat fenomena politik Islam kontemporer di Indonesia. Teori-teori tersebut meliputi Teori-teori dekonfessionalisasi Islam, domestikasi Islam, skismatik dan aliran, trikhotomi dan Islam kultural, dan teori Islam kultural.6

C. BAHTIAR EFFENDY DAN PEMIKIRANNYA

Secara umum buku yang ditulis Bahtiar Effendy membahas tema yang selama ini menjadi konsentrasi keilmuannya dalam bidang politik khususnya tentang hubungan antara Islam dan negara dalam konteks Keislaman dan Keindonesiaa. Seperti diakuinya, berbicara tentang kaitan Islam dan negara bisa

6

(27)

saja merupakan sesuatu yang membosankan. Bukan karena masalahnya yang kurang menarik, melainkan karena artikulasi yang disampaikan dalam perdebatan ini hanya akan mengulang apa yang telah dibahas para ilmuwan politik sebelumnya. Meski membosankan, Bahtiar mengakui bahwa pembahasan hubungan antara Islam dan negara merupakan sesuatu yang sangat menarik, dan hal ini akan menjadi objek bahasan yang tidak akan kering dibahas dan tak akan berhenti dibicarakan banyak orang. Pembahasan mengenai hubungan Islam dan negara akan terus menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Dengan demikian, topik kajian Islam dan negara akan selalu muncul di tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

a. Islam dan Negara

(28)

dalam setiap kebijakannya kedua kepala negara tersebut seringkali mendiskreditkan kelompokkan Islam. Bahkan, tidak jarang politik Islam sering dijadikan sasaran kecurigaan negara.

Bahtiar mengatakan, ketegangan antara Islam dan negara terjadi karena para aktivis politik Islam lebih mengedepankan aspek formal legalistik dalam memperjuangkan agenda politik mereka seperti keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Waktu itu, kedua rezim ini memandang politik Islam sedang dalam performa terbaiknya yang dapat mengancam landasan negara yang nasionalis. Implikasinya, banyak partai-partai yang berlandaskan Islam sering mendapat perlakuan tidak adil dari negara.

Ketegangan antara Islam dan negara terjadi sejak periode awal kemerdekaan Indoneisa dimana para aktivis politik Islam saat itu dalam artikulasi politiknya lebih mengedepankan faktor legal formalistiknya ketimbang substansi dari ajaran Islam. Akibat dari itu semua, sepanjang sejarah orde lama dan orde baru, politik Islam selalu menjadi sasaran kecurigaan dan peminggiran.

(29)
(30)

BAB III

DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

A. Pertautan Antara Islam dan Negara

Pertautan antara Islam dan negara akan terus menjadi sorotan sekaligus perdebatan pada level akademik maupun dalam wilayah praktis. Kompleksitas hubungan Islam dan negara bukan satu-satunya dasar penyebab perdebatan ini, melainkan lebih pada kenyataan bahwa Islam tidak mungkin dapat diterjemahkan dalam bentuk yang tunggal. Perdebatan di seputar apakah Islam itu hanya sebatas agama (din) atau Islam merupakan Negara (dawlah) sekaligus merupakan pokok inti perdebatan dalam hubungan Islam dan negara.

Dari segi doktrin, seringkali disebutkan bahwa ajaran Islam telah terumuskan sedemikina rupa sehingga akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman dan selalu “hadir di mana-mana” (omnipresence). Hal ini merupakan sebuah pandangan yang mengakui bahwa dimanapun, kehadiran Islam akan senantiasa memberikan pandangan moral bagi tindakan manusia. Dalam perkembangannya, ternyata pandangan semacam ini telah mendorong sebagian pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total.1

Sementara jika dipotret dari sudut pandang pemahaman pemeluknya, umat Islam mempunyai latar belakang sosial yang beragam. Secara sosiologis, dapat

1

Bahkan tidak sedikit di kalangan umat Islam yang melangkah lebih jauh dan menekankan bahwa, Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Tak diragukan lagi, mereka meyakini bahwa Islam mempunyai sifat yang sempurna dan menyeluruh sehingga Islam mencakup din, dunya, dan

dawlah. Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan Antara Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru

(31)

dirumuskan secara sederhana bahwa latar belakang sosial budaya, pendidikan, dan geografis akan berpengaruh dalam membentuk pandangan seseorang tentang bagaimana agama dan negara seharunsya berada. Dengan kata lain, situasi sosiologis, kultural, dan intelektual yang berbeda atau apa yang disebut Mohammed Arkoun2 sebagai “estetika penerimaan” sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman pemeluknya. Kecenderungan intelektual yang berbeda dapat berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai suatu doktrin. Manifestasi dari multiinterpretasi terhadap Islam tersebut yaitu munculnya berbagai mazhab fikih, teologi, dan filsafat Islam yang juga beragam. Singkatnya, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari bahkan telah menjadi keniscayaan dalam sejarah Islam.

Dalam Islam, persoalan hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga saat ini. Dalam bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam, Azyumardi Azra menuliskan, ketegangan perdebatan mengenai hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak. Setelah Perang Dunia II, lanjutnya, masyarakat di berbagai penjuru dunia, khususnya masyarakat Islam, terkesan mengalami hubungan yang canggung antara Islam dan negara atau politik pada umumnya.3

2

Mohammed Arkoun merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, di Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Salah satu pokok penting pemikiran Arkoun adalah pentingnya pembaruan pemikiran Islam. Bagi Arkoun, umat Islam masih belum beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan tidak boleh diperdebatkan lagi. Untuk itu, Arkoun menyarankan agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran al-Quran yang tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarahnya. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) cet, IJuni 2001, h. v-ix.

3

(32)

Kecanggungan hubungan Islam dan negara di atas bersumber dari kenyataan bahwa agama dalam pengertian terbatas hanya berkaitan dengan unsur ilahiah, sakral, dan suci. Sementara negara pada umumnya berkaitan dengan bidang yang lebih profan atau keduniaan. Lebih jauh lagi, Islam dipandang tidak pernah memberikan panduan praktis tentang ketatanegaraan.

Tentang hubungan Islam dan negara, Munawir Sjadzali menyebutkan sedikitnya ada tiga aliran yang menanggapinya.4 Pertama, aliran yang berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan holistik (rahmatan lil’alamin) yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Penganut aliran ini meyakini Islam sebagai suatu agama serba lengkap yang di dalamnya mencakup antara lain sistem ketatanegaraan.

Pandangan holistik terhadap Islam mempunyai implikasi yang sangat luas. Salah satu di antaranya yaitu kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertian yang literal yang hanya menekankan dimensi luarnya. Dalam contohnya yang paling ekstrim, kecenderungan seperti ini telah menghalangi kaum muslimin untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Quran sebagai instrumen ilahiah yang dapat memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.5

Aliran kedua beranggapan bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan negara karena Islam tidak mengatur aspek kehidupan bernegara dan tata pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Nabi

4

H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press) edisi ke-5, h. 1-3

5

Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru

(33)

pembawa wahyu yang tugas utamnya mengajak manusia kembali pada kehidupan yang dimuliakan Allah dan Muhammad bukanlah pemimpin negara.

Sedangkan aliran ketiga merupakan kelompok yang mencoba mendamaikan kedua pandangan di atas. Aliran ketiga ini menolak anggapan bahwa Islam merupakan sistem nilai yang serba lengkap dan mengatur hubungan kenegaraan. Juga menolak persepsi bahwa Islam sama sekali tidak mengatur hubungan ketatanegaraan. Menurut aliran ini, Islam memang tidak menyediakan sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara

Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Negara, Bahtiar Effendy mengatakan, salah satu alasan menulis buku itu karena diilhami terutama oleh fenomena mengejutkan yang terjadi di negara-negara muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, dan Aljazair tentang tidak harmonisnya hubungan Islam dan negara. Menurutnya, sejak berakhirnya kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20, negara-negara tersebut mengalami kesulitan dalam upaya mengembangkan sintesis yang memungkinkan (viable) antara praktik dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah mereka masing-masing. Di negara-negara tersebut, jika bukan konflik hubungan politik antara Islam dan Negara diwarnai ketegangan-ketegangan yang tajam. 6

Di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama Islam mengalami jalan buntu baik saat Soekarno maupun ketika Soeharto

6

(34)

berkuasa. Kedua pemimpin itu memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Degan alasan ini, selama empat dekade, kedua pemerintahan tersebut berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan partai-partai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan di Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut ‘kelompok luar’ atau kelompok minoritas. Pendek kata, Islam politik telah dikalahkan baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara simbolik. Yang lebih menyakitkan lagi, Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidak percayaan dan dicurigai sebagai anti ideologi pancasila.7

Dalam situasi seperti itu, banyak pemikir dan aktivis politik Islam memandang negara dengan rasa curiga. Bagi mereka, negara telah menerapkan kebijakan ganda terhadap Islam. Di satu pihak Islam dibiarkan bahkan didorong untuk menumbuh kembangkan dimensi ritualnya, namun pada saat yang bersamaan negara tidak membiarkan Islam berkembang secara politik.8

Banyak tokoh dan analis yang memprediksi akar terjadinya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara. Salah satu akar persoalan yang sering dikemukakan yaitu tentang watak Islam yang holistik. Sudah menjadi rahasia umum jika umat Islam percaya akan sifat Islam yang holisitk. Ada yang melihat agama sebagai sistem peradaban yang menyeluruh. Bahkan, ada yang

7

Effendy, Islam dan Negara, h. 2-3. 8

(35)

mempercayainya sebagai agama dan negara. Pandangan semcam ini mengindikasikan bahwa Islam tidak sekedar sistem ritus belaka. Bahkan lebih tegas lagi, Islam tidak mengenal pemisahan antara nilai spritual dan temporal. 9

Cara pandang terhadap Islam yang holisitk semacam ini menghasilkan dampak pemahaman keagamaan yang cenderung memahami Islam secara ‘literal’ yang hanya menekankan dimensi luarnya saja serta melupakan dimensi kontekstual ajaran Islam tersebut. Dengan kata lain, hubungan Islam dengan segala aspek kehidupan manusia harus dalam bentuk legal-formalistik yang ditandai keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi negara.

Sementara di pihak lain ada yang melihat totalitas Islam dalam dimensinya yang lebih substantif. Pandangan substantif ini lebih mengedepankan isi dari pada bentuk dalam melihat kehidupan sosial masyarakat Islam. Karena wataknya yang substansialis itu kecenderungan pandangan ini menganggap syari’ah tidak perlu diformalkan menjadi undang-undang dasar negara, yang terpenting semua aspek hukum positif yang dijalankan negara berkesesuaian dengan prinsip ajaran Islam yang holistik.

Menanggapi ketegangan ini Bahtiar Effendy mengatakan, pertama, masalah hubungan politik antara Islam dan negara muncul dan berkembang dari pandangan-pandangan yang berbeda dari kalangan pendiri Republik ini tentang cita-cita Indonesia. Kedua, antagonisme politik antara Islam dan negara yang tidak mesra tersebut tidak hanya muncul dari doktrin Islam itu sendiri, melainkan juga dari bagaimana Islam diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis, dan

9

(36)

politis. Menurut Bahtiar, adanya pandangan mengenai Islam yang legal formalistik, memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam sebuah masyarakat yang secara sosial-keagamaan sangat plural. Pada sisi lain, pandangan Islam yang substansialistik dapat memberi landasan yang penting bagi pengembangan sintesis yang sesuai antara Islam dan Negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan politik antara keduanya.10

Di Indonesia, lanjut Bahtiar Effendy, akar ketegangan hubungan politik antara Islam dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di Indonesia menjelang kemerdekaannya.11 Setelah berjuang selama empat dasawarsa merebut kemerdekaannya, untuk pertama kalinya Indonesia mengalami masalah yang sangat substansial seputar dasar negara. Pertanyaan yang kerap muncul yaitu, atas dasar apakah negara yang baru merdeka ini didasarkan? Saat itu, para wakil rakyat Indonesia terbelah atas dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganjurkan agar negara berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan tertentu. Kedua, kelompok yang menganjurkan Islam sebagai dasar negara. Dalam perkembangannya, kelompok pertama disebut sebagai kaum nasionalis sekuler sedangkan kelompok kedua dikenal dengan kelompok nasionalis Islami.12

10

Effendy, Islam dan Negara, h. 15-16. 11

Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 9. 12

(37)

Kedua aliran pemikiran tersebut masing-masing mempunyai akar dalam sejarah dan perkembangan gerakan nasionalis Indonesia pada tengah pertama abad ini. Kalangan nasionalis sekuler berpandangan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Organisasi kepemudaan ini dianggap sebagai organisasi pertama di antara bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan mempunyai makna yang cukup besar. Dari gerakan Boedi Oetomo inilah, gerakan-gerakan nasionalis sekuler lainnya muncul. Sebut saja seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Parindo), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), Partai Indonesia Raya (Parindra), dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerakan-gerakan ini lahir sebagai respons atas kolonialisme dan mencita-citakan Indonesia merdeka berdasarkan faham kebangsaan (nasionalisme).13

Dengan faham kebangsaan sebagai sentimen dan kekuatan utama, kelompok nasionalis sekuler dengan dipelopori Soekarno, kemudian mendominasi dan mengarahkan gerakan nasionalis Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Yang terjadi kemudian, dalam kadarnya yang lebih besar, ternyata kelompok ini membangun panggung konfrontasi ideologi dengan kelompok nasionalis Islami terutama dalam soal hubungan agama (Islam) dan negara dalam sebuah negara Indonesia yang akan merdeka.

Sedangkan kelompok nasionalis Islami meyakini berdirinya Sarekat Islam (SI) pada 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional Indonesia. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang ruang lingkup gerakan awalnya tidak mengarahkan perhatiannya pada seluruh rakyat Indonesia, SI sejak awal Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) cet. I, h. 8-9.

13

(38)

berdirinya diarahkan kepada rakyat jelata dengan ruang lingkup Indonesia. Pada tahun 1923 SI berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), kemudian pada tahun 1927 dirubah lagi menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Belanda (PSIHT), dan akhirnya pada tahun 1930 menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Menyusul gerakan ini, pada tahun 1932 di Sumatera didirikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan pada tahun 1938 berdiri juga Partai Islam Indonesia (PII) di Jawa.14 Semua partai ini berdasarkan Islam.

Menurut M. Natsir yang menjadi tokoh kunci kaum nasionalis Islami, bagi pergerakan-pergerakan Islam seperti PSII, Permi, dan PII, kemerdekaan tidak sekedar kemerdekaan Indonesia, melainkan juga kemerdekaan kaum muslim di seluruh Indonesia dan sekaligus kemerdekaan Islam. Bagi Natsir, cita-cita kaum muslim dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah untuk kemerdekaan Islam agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan untuk kesejahteraan dan kesempurnaan kaum muslimin serta segenap ciptaan Allah.15

Bahkan dalam banyak kesempatan, Natsir menegaskan bahwa tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia tidak akan ada. Menurutnya, Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia dan telah menghapus isolasionis pulau-pulau yang beragam. Sejalan dengan itu, ia juga menyatakan bahwa orang Islam tidak akan berhenti berjuang hingga kemerdekaan diperoleh, melainkan akan terus melanjutkan perjuangannya selama negara belum didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam.16

14

Saifuddin Anshari, M.A. h. 6.

15

(39)

Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar masalah watak nasionalisme dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Namun pada awal 1940-an, polemik di atas berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik-polemik itu menyentuh masalah yang lebih penting yakni mengenai hubungan politik antara Islam dan negara. Dalam periode ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada tokoh yang begitu sering terlibat dalam berbagai perdebatan kecuali Suekarno dan Natsir.16

Dari tulisan-tulisan awalnya mengenai Islam di tahun 1940-an, dapat diketahui bahwa Suekarno mendukung pemisahan Islam dari Negara. Dengan tegas ia menentang pandangan mengenai hubungan legal formal antara Islam dan Negara, khususnya dalam sebuah negara yang semua penduduknya tidak beragama Islam. Baginya, model negara semacam itu akan menimbulkan perasaan diskriminatif terhadap kelompok minoritas non Islam di negara tersebut.17

Kontan saja gagasan pemisahan Islam dan negara mendapat respon keras dari aktivis dan pemikir Islam, khususnya M. Natsir. Bertolak belakang dengan sikap Soekarno, Natsir menjadi corong utama paham penyatuan Islam dan negara. Seperti mayoritas umat Islam yang lain, Natsir percaya akan watak Islam yang holisitik dan hadir dalam setiap keadaan dan zaman. Natsir percaya,

16

Effendy, Islam dan Negara, h. 75. 17

Meski Soekarno beragama Islam, ia menganut faham substansialistik dengan keyakinan bahwa, lewat perwakilan yang demokratis-karena posisinya sebagai umat yang mayoritas- Islam akan mampu menyusun dan menentukan agenda-agenda negara yang pada akhirnya akan menghasilkan rumusan-rumusan kebijakan yang diresapi nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, otentisitas ‘negara Islam’ tidak pertama-pertama diditunjukkan oleh penerimaan legal formal Islam sebagai dasar ideologi dan konstitusi negara, melainkan melalui ‘api’ dan semangat Islam dalam kebijakan-kebijakan negara. Soekarno menyatakan kembali argumen pemisahan Islam dan negara pada tahun 1945 dalam sidang BPUPKI. Dalam badan itu, bersama kelompok nasionalis lainnya, ia terlibat dalam perdebatan resmi dengan kelompok Islam untuk menemukan kompromi mengenai rumusan ideologis dan pengaturan konstitusional Indonesia merdeka. Effendy, Islam dan Negara,

(40)

sesungguhnya Islam lebih dari satu sistem agama saja dan merupakan kebudayaan yang lengkap. Baginya, Islam tidak sekedar memuat praktik-praktik ibadah, melainkan juga mengandung prinsip-prisip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan masyarakat bahkan negara.

Untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara dua kelompok tersebut dalam merumuskan dasar negara untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Ahmad Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid Hasjim, dan A.A. Maramis. Panitia kecil ini menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Intinya, piagam ini mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan, bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi kalimat “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lahirnya Piagam Jakarta ini dapat dipahami sebagai bentuk kompromi antar kedua kubu yang berseberangan guna menyongsong kemerdekaan Indonesia meski sehari setelah kemerdekaan diproklamirkan, teks dalam sila ketuhanan “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” terus diperdebatkan yang mengarah pada kecenderungan untuk dihapuskan.18

Setelah memproklamirkan kemerdekaannya, selama hampir lima tahun Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang dari sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menjajah kepulauan

18

(41)

Nusantara. Selama periode ini, praktis tidak ada perdebatan serius antara aktivis Islam dengan kelompok Nasionalis. Perdebatan yang sempat menghangat seputar hubungan Islam dan negara dihentikan. Sejenak mereka bersedia melupakan perdebatan-perdebtan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada masa itu, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru merdeka dan mencegah kembali Belanda berkuasa.

Akibat tidak adanya pertikaian, kedua kelompok ini mampu mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis. Sementara kelompok nasionalis tetap memegang kemudi kekuasaan, pada saat yang bersamaan pada Desember 1949, Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Reublik Indonesia, kelompok Islam mulai memperlihatkan kekuatannya dalam kancah politik nasional. Dengan Masyumi sebagai satu-satunya kendaraan politik, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang cukup besar.

C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia

(42)

Islam menjadi sorotan utama karena menuntut disahkannya kembali tujuh kata dalam piagam Jakarta. Bahkan di masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi sampai pada masa transisi demokrasi pun, Islam tetap dianggap sebagai kekuatan politik yang cukup dominan yang memberikan aroma tersendiri dalam upaya melakukan pembaharuan.

Sementara itu, adanya dikotomi antara kelompok Islam dan nasionalis dalam perpolitikan nasional, secara tidak sengaja menempatkan Islam sebagai kekuatan politik tersendiri yang cukup signifikan di luar kekuatan politik lainnya. Dalam sub ini, penulis tidak akan mengulas secara detail mengenai kekuatan Islam sepanjang sejarah perjuangan dan pasca kemerdekaan Indonesia. Melainkan hanya sebatas memberikan cuplikan babakan sejarah tentang Islam yang cukup memainkan peran penting dalam perpolitikan Indonesia.

(43)

menanamkan benih persatuan Indonesia dan telah menghapuskan sikap-sikap isolasionis pulau-pulau yang beragam.

Pada masa awal perjuangan kemerdekaan, umat Islam menjadikan Sarekat Islam (SI) sebagai satu-satunya perwujudan dan perjuangan politik umat Islam. Bermula dari sebuah organisasi dagang Sarekat Dagang Indonesia (SDI),19 SI berkembang pesat menjadi organisasi politik nasional yang pertama di Indonesia. Perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama, melainkan juga perubahan orientasi dari komersial ke politik. Salah seorang tokoh Muslim lulusan Barat, Tjokroaminoto merupakan tokoh muslim petama yang menyatakan bahwa Islam merupakan faktor pengikat simbol nasional menuju kemerdekaan yang sempurna bagi rakyat Indonesia. SI mempunyai tujuan jangka panjang yaitu Islamisasi bagi masyarakat Indonesia. Untuk meraih cita-cita jangka jauh ini, bagi Tjokroaminoto kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang mutlak.20

Selama periode awal, SI dengan cepat mendapat respon positif dari kalangan masyarakat Indonesia. Hanya dalam beberapa tempo, SI telah berkembang dengan cepat. Salah satu ciri yang menonjol dari kemajuan SI bukan saja agenda politiknya yang berskala nasional, melainkan juga disebabkan kemampuan SI dalam menghimpun dukungan basis massa yang memutus dikotomi pengelompokan-pengelompokan sosial di masyarakat yang lokalistik. Dengan agenda politiknya yang berskala nasional itulah, SI mampu meraup dukungan dari semua kelas dan struktur sosial baik yang berada di pedesaan

19

SDI didirikan pada 11 November 1911 oleh Saman Hudi, salah seorang pedagang Muslim kaya asal Sura Karta, Jawa Tengah. Semula SDI diarahkan untuk melawan dominasi perdagangan Cina dengan mengorbankan penduduk pribumi. Sisi lain perjuangan SDI itu adalah- meski tidak secara langsung- ditujukan kepada Belanda yang memberikan prioritas dan

perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam perdagandan dan Industri. Pada 1922 SDI berganti nama menjadi SI dengan pemimpin baru H.O.S Tjokroaminoto.

20

(44)

maupun di kota. Mulai dari pedagang Islam, kalangan priyai hingga petani bergabung dalam gerakan politik nasional SI untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, SI merupakan pusat kebangkitan nasional Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Islam tetap saja menjadi kekuatan politik yang cukup dominan bahkan sangat menonjol. Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai aliran politik di Indonesia untuk dengan bebas membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh kelompok Islam. Maka pada tanggal 7-8 November 1945 melalui sebuah kongres umat Islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Masyumi. Akan tetapi, Masyumi yang dideklarasikan pada November ini bukan Masyumi buatan Jepang karena dibentuk oleh ummat Islam sendiri tanpa intervensi dari pihak luar.

Sebagaimana telah diprediksikan semula, kehadiran Masyumi mendapat sambutan hampir dari semua gerakan Islam nasional maupun lokal, yang berhaluan politik maupun keagamaan. Banyak kalangan yang memprediksi, jika pemilu dilaksanakan saat itu juga maka, bukan hal mustahil bagi Masyumi – yang saat itu merupakan gabungan dari kelompok muslim modernis seperti Muhammadiyah dan kelompok Islam tradisional seperti NU – akan keluar sebagai pemenang dalam pemilu tersebut.

Menurut Natsir, Masyumi pada periode awal pembentukannya benar-benar merupakan jumlah massa yang sangat konkret. Bila dihubungakan dengan setting

(45)

sebagai penduduk yang mayoritas. Sementara jika dilihat dari sisi lain, Munculnya Masyumi pada 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban positif ummat terhadap manifesto politik Wakil Presiden Hatta tanggal 1 November 1945 yang mendorong pembentukan partai-partai.

Setidaknya ada dua hal penting yang dihasilkan dalam kongres November 1945 tersebut. Pertama, pembentukan partai politik dengan nama Masyumi.

Kedua, selain Masyumi umat Islam tidak memiliki partai politik lain. Hasil kongres ini mendapat respon yang baik dari kalangan ulama baik yang modernis maupun yang tradisionalis, disamping juga dukungan dari pemimpin umat nonulama jawa-madura.21

Salah satu kekuatan Masyumi terletak pada organisasinya yang federatif yang di dalamnya terdapat anggota biasa (perorangan) dan anggota luar biasa (kolektif) seperti NU dan Muhammadiyah. Karena wataknya yang federatif itulah, Masyumi berhasil merangkul organisasi dan kelompok-kelompok muslim lainnya. Namun, bentuknya yang federatif ini juga merupakan kekurangan Masyumi. Dalam beberapa kesempatan, semangat lebih nononjolkan golongan mengalahkan semangat persatuan dalam partai. Pada suatu waktu semangat golongan ini begitu dominan sehingga menyulitkan partai dalam melakukan konsolidasi. Kegagalan dalam mempersatukan antar golongan tersebut ternyata telah menghadapkan Masyumi pada persoalan-persoalan yang serius, yaitu perpecahan partai. Pada 1947 PSII keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya kembali kepada partai yang independen disusul NU yang juga keluar dari Masyumi pada 1952 dan mengubah dirinya dari gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan politik. Tentu

21

(46)

saja peristiwa itu sangat mengguncang Masyumi terutama setelah NU keluar dari Masyumi.

Meski di penghujung babak perjuangannya Masyumi melemah karena konflik internal di kalangan pemimpinnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Masyumi merupakan salah satu kekuatan politik di Indonesia yang merepresentasikan kepentingan politik umat Islam secara keseluruhan. Untuk memberikan gambaran lebih jauh mengenai posisi politik Islam (Masyumi) pada masa pascarevolusi, beberapa catatan historis berikut tampaknya sangat relevan dikemukakan di sini.

Pertama, pada tahun 1950 partai partai politik di Indonesia mengalami penyegaran setalah sekian lama mengalami kelesuan pada 1949. Dalam parlemen yang baru dibentuk, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi dari 236 kursi. Kedua, dalam beberapa kesempatan Masyumi diminta untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah sistem demokrasi konstitusional (1950-1957) tiga kabinet kepemimpinannya dipercayakan kepada Masyumi; kabinet Natsir pada 1950-1951, kabiner Sukiman pada 1951-1952, dan kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956. Selain itu, ketika PNI diberi mandat untuk membentuk pemerintahan, Masyumi dan NU berperan sebagai pasangan koalisi utama. Yang terakhir, dalam pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 golongan Islam yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII, dan Perti menguasai 114 suara dari 257 kursi.22

Memasuki rezim orde baru pada 1965, banyak pemimpin Islam yang menaruh harapan besar terhadap rezim yang dipimpin Soeharto ini. Harapan itu

22

(47)

terpatri jelas dari para aktivis Islam karena selama masa demokrasi terpimpin politik Islam benar-benar dipojokkan. Tidak hanya itu, harapan besar itu juga didasarkan pada kenyataan keterlibtan aktivis politik Islam bersama militer, kelompok keagamaan, pelajar, dan mahasiswa yang berhasil mengganyang PKI dan meruntuhkan kekuasaan rezim orde lama. Meski Orde Baru membebaskan para aktivis Islam dari tahanan, khusunya dari kalangan Masyumi, namun umat Islam tidak bisa menaruh harapan besar terhadap rezim ini. Orde Baru menerapkan sistem dan kebijakan kembali ke UUD 45 dengan tegas dan kosekuen serta menindak tegas kelompok manapun tak terkecuali Islam, yang mencoba melawan Pancasila. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sayap politiknya, kelompok Islam mulai merumuskan ulang srategi politiknya yang selama dua dasawarwa awal kemerdekaan lebih mengedepankan aspek legal formal terutama keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Mengacu pada perjuangan yang legal formal itulah, arus utama politik Islam pada masa orde baru lebih bersifat substansialistik. Dengan kata lain, para aktivis Islam mulai merubah strategi perjuangannya dengan mengedepankan aspek nilai, makna dan isi, daripada bentuk dan simbol. Perubahan stategi ini tentu saja tidak muncul secara kebetulan. Melainkan kesadaran ini lahir dari sebuah refleksi perjuangan dimana ekspresi politik Islam yang lebih mengedepankan aspek legal formalistik sering menemui kendala-kendala yang bersifat kultural maupun struktural. Bahkan, dalam beberapa periode awal kemerdekaan politik Islam diperlakukan secara diskriminatif dan dimarjinalkan.

(48)

yang menguntungkan kelompok Islam. Di antara kebijakan tersebut yaitu, disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN), disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA), pembentukan ICMI, dibuatnya Kompilasi Hukum Islam, dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri mengenai BAZIS, dan dihapuskannya SDSB merupakan contoh kebijakan lain negara yang sangat menguntungkan politik Islam.26

Menurut Bahtiar, lahirnya ICMI pada Desember 1990, menunjukkan bahwa situasi politik nasional tengah berpihak pada Islam. Pada masa itu, bulan madu antara Islam dan negara dimulai. Kendatipun dalam waktu yang cukup lama Islam menjadi sasaran kecurigaan negara, namun dengan bulan madu yang sedang dirajut itu, lambat laun ketegangan antara Islam dan negara mulai terkikis. Sejak saat itu, satu persatu kepentingan Islam mulai diakomodir oleh negara, baik yang menyangkut hal-hal yang bersifat struktural maupun kultural.27

Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan lengsernya Sueharto, era ini membawa perubahan yang cukup besar terhadap iklim politik di Indonesia. Sueharto yang selama 32 tahun mengangkangi kebebasan berekspresi akhirnya dipaksa meletakkan jabatannya oleh seluruh rakyat Indonesia dengan kepeloporan gerakan mahasiswa. Tentu saja, rontoknya rezim diktator ini membawa berkah kebebasan dan euforia politik yang sangat luar biasa. Salah satu berkahnya yaitu, terbukanya pintu liberalisasi dan relaksasi politik. Dengan demikian, rakyat Indonesia merasa terbebas dari belenggu kultural maupun struktural yang selama ini menyulitkan mereka melakukan adaptasi terhadap politik nasional serta melakukan kontrol peneyelenggaraan negara.

26

Effendy, Teologi Baru Politik Islamh, h. 45. 27

(49)

Sementara euforia politik ditandai dengan munculnya puluhan partai yang tak terbayangkan dalam sejarah Indonesia modern. Seperti yang pernah dilaporkan banyak media, antara Mei sampai Oktober 1998, di tengah situasi yang tidak menentu, kita dapat menyaksikan lahirnya 181 partai politik. Dari jumlah itu, 42 partai dapat dikategorikan sebagai partai politik Islam. Mayoritas dari mereka menggunakan asas dan simbol Islam. Mungkin saja munculnya puluhan partai politik tersebut merupakan sesuatu yang menggelisahkan karena setiap kelompok akan terjebak pada imajinasi politik mereka msing-masing yang lebih mengedepankan kepentingan golongan ketimbang bersama-sama memikirkan masalah bangsa. Namun di ujung sprektrum yang lain, menjamurnya partai politik setelah ruhtuhnya tembok otoritanisme Sueharto, harus difahami sebagai ekpresi kebebasan berserikat yang selama Sueharto berkuasa tidak pernah mereka dapatkan. Termasuk di dalamnya, maraknya partai politik yang mengklaim dirinya sebagai partai Islam.

D. ”Penjinakan” Islam oleh Negara

(50)

dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan kekuatan Islam dengan serangkaian kebijakan yang diskriminatif.

A. Zaman Orde lama

Sesuai dengan watak pemikirannya yang nasionalis, Soekarno sebagai penguasa rezim Orde Lama (Orla) ingin memisahkan Islam dari negara. Menurut Soekarno, Islam dan negara merupakan dua entitas yang berbeda yang harus dipisahkan dari kehidupan politik bernegara. Islam harus berdiri sendiri dan negara berada jauh bahkan sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan Islam. Meskipun konsep Soekarno ini mengharuskan pemisahan agama dari negara, namun pada dasarnya ia tidak menolak sama sekali adanya persatuan agama dan negara. Ia berpendapat bahwa persatuan agama dan negara dalam Islam bisa berlaku jika seluruh masyarakatnya seratus persen beragama Islam dan secara murni menjalankan ajaran-ajaran Islam. Dengan kondisi masyarakat yang tidak seratus persen Islam, ia meyakini, gagasan penyatuan Islam dan negara pasti ditolak penganut agama lain.

(51)

mengalami kemunduran karena pengaruh syaikhul Islam yang sangat dominan, sementara mereka berpandangan kolot yang cenderung menghambat kemajuan.28

Selain itu, di masa Orde Lama terjadi perdebatan-perdebatan yang sangat sengit antara kubu Suekarno yang nasionalis dengan kubu M. Natsir yang agamis. Kelompok Natsir berpendapat bahwa nilai-nilai agama harus dijalankan dalam bernegara. Negara dalam bentuk apapun harus menjalankan nilai-nilai agama. Natsir berkali-kali menegaskan bahwa, Islam tidak megenal pemisahan agama dengan negara. Sementara itu, kubu Soekarno berpendirian, demi kemajuan negara agama harus terpisah dari negara. Dengan pemisahan itu, bukan saja negara yang akan semakin maju melainkan juga agama pun akan menjadi lebih maju dan merdeka. Lebih penting lagi, Soekarno beranggapan bahwa yang dikatannnya itu tidak bertentangan dengan Islam, sesuai dengan apa yang difahami, baginya Islam memiliki hukum-hukum yang luwes yang selalu dapat disesuaikan dengan zaman

Perdebatan yang dimulai sebelum pra-kemerdekaan itu memasuki babak yang tidak menemukan pangkal penyelesaiannya. Setelah Indonesia merdeka, kalagan agamis tetap mendesakkan supaya Islam dijadikan dasar negara. Yang paling krusial, perdebatan dijadikannya Islam sebagai dasar negara dibuka kembali dalam Majelis konstituante. Dalam sidang tersebut, umat Islam tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara. Namun sekali lagi, keinginan kalangan agamis ini ditolak dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Dalam konteks ini, sekali lagi kekuatan politik Islam dapat dijinakkan dalam perdebatan di konstituante.

28

(52)

B. Zaman Orde Baru

Di masa orde baru, hubungan Islam dan negara mengalami perubahan dan perkembangan yang signifakan. Pada awalnya, pemerintah orde baru menaruh kecurigaan terhadap kelompok Islam karena kemampuan Islam dalam menggerakann massa yang dalam waktu singkat dapat melawan kekuasaan orde baru. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orde baru lebih suka memperlakukan Islam sebagai agama dan sistem kepercayaan saja, ketimbang sebagai ideologi politik. Inilah yang disebut Bahtiar Effendy sebagai penjinakan idealisme dan aktivitas politik Islam .

Di antara kebijakan mencolok orde baru yang dapat menjinakkan kekuatan politik Islam adalah penetapan asas tunggal bagi seluruh partai politik dan Ormas. Kebijakan orde baru ini menandai puncak atau selesainya program de-Islamisasi politik pada masa orde baru. Pada saat itu, partai politik Islam seolah-olah sudah tamat. Setidaknya, dengan kebijakan itu secara formal semua partai politik hanya mempunyai asas tunggal tunggal pancasila dan tidak ada yang mempunyai asas agama tertentu, termasuk Islam.

(53)

Setidaknya ada tiga pola hubungan yang terjadi antara Islam dan orde baru yang berkuasa selama 32 tahun. Pertama, di tahun 70-an hubungan Islam dan orde baru bersifat konfrontatif, rivalitas atau antagonis. Dalam kurun waktu tersebut, hubungan Islam dan negara tampak renggang, bertolak belakang, bermusuhan, bahkan bertentangan. Periode ini ditandai dengan kuatnya negara yang secara ideologi politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di kalan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam analisis bivariat ini dijabarkan hasil penelitian hubunga n anta ra variabel independen yaitu pendidikan, status ekonomi dan kepatuhan konsumsi tablet Fe

Tabel 1. Hasil Penelitian Tes Bahasa.. Jurnal Edukasi Gemilang, Volume 3 No. Hal ini terlihat ada beberapa siswa yang berani mengemukakan pendapat. Ini merupakan kemajuan

Fotomikro sampel magnet sebagaimana diperoleh dalam studi ini sangat mirip dengan fotomikro magnet sinter Nd-Fe-B yang dapat dilihat dari publikasi para peneliti sebelumnya

orientasikan pada upaya memahami detail-detail hukuman tersebut, maka pembahasan pun tidak disinggung secara rinci, kecuali pada beberapa bagian yang secara sengaja dibicarakan

Dengan demikian etika kerja Islam merupakan variabel bebas yang berpengaruh secara positif, tapi tidak signifikan terhadap komitmen organisasi di Koperasi Karyawan Pura

Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) perkembangan sosial-emosional siswa di dalam pembelajaran yang tercapai, yaitu siswa menunjukkan sikap peduli,

Metode analisis data digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian agar dapat diinterpretasikan sehingga laporan yang dihasilkan dapat dipahami (Kosasih,

perekonomian masyarakat Temanggung dilakukan dengan melakukan proses pendaftaran hak paten terhadap Teh Kulit Kopi Arabika Candiroto. Perlindungan hukum untuk