HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN
PENYESUAIAN DIRI PADA PEKERJA OUTBOUND
FREELANCE PT. SELARAS INTI PRIMA INDONESIA
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh
FEBRY MILIANSYAH
NIM:
203070014514
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2011 M
Abstraksi
(A) Fakultas PsikologiUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (B) Maret 2011
(C) Febry Miliansyah : 203070014514
(D) Hubungan antara self efficacy dengan penyesuaian diri pada pekerja freelance outbound pt selaras inti prima indonesia
(E) Halaman xi+85 halaman+20 tabel+4 bagan+lampiran
(F) Keyakinan individu akan kemampuan dan kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan untuk mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Tinggi rendahnya hasil yang dicapai individu atas usahanya ikut ditentukan oleh penilaian individu akan kemampuannya untuk menyelesaikan suatu tugas. Semakin baik penilaian individu akan kemampuannya, maka individu cenderung bertambah yakin dalam menentukan hasil yang diinginkan serta merasa mampu meraihnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara self efficacy dengan penyesuaian diri pada pekerja freelance outbound pt selaras inti prima indonesia dan dapat mengetahui bagaimana cara meningkatkan self efficacy sehingga mempermudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja, dengan cara belajar dari pengalaman yang berhasil dilakukan, memahami lebih dekat kemampuan diri sendiri dan menjaga kesehatan fisik serta psikis. dengan hasil penelitian ini, dapat diketahui gambaran mengenai tingkat self-efficacy, penyesuaian diri dan produktivitas kerja dari karyawan. Sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan bagi perusahaan dalam mengelola karyawan agar dapat menghasilkan kualitas kerja yang baik serta sebagai pertimbangan untuk perusahaan dalam mengambil langkah yang tepat ketika akan mengadakan penguatan atau pengembangan sumber daya manusia.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bekerja dengan angka, yang datanya berwujud bilangan (skor atau nilai, peringkat, atau frekuensi), dianalisis dengan menggunakan statistik untuk menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian yang sifatnya spesifik dan untuk melakukan prediksi bahwa suatu variabel tertentu mempengaruhi variable yang lain (Creswell dalam Alsa, 2004). Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menemukan seberapa banyak karakteristik yang ada dalam populasi induk mempunyai karakteristik seperti yang terdapat pada sampel (creswell dalam Alsa, 2004).
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian korelasional untuk menentukan tingkat hubungan
variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Dan bertujuan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (sevilla, et al, 1993). Sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 orang yang terdiri dari 16 wanita dan 24 laki-laki.
Dari penelitian ini didapatkan hasil terdapat hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan penyesuaian diri pekerja outbound freelance pt selaras inti prima Indonesia, dilihat dari hasil hipotesis diperoleh nilai koefisien korelasi antara self efficacy dengan penyesuaian diri adalah 0,891 denga signifikansi 0,000(sig<0,05), maka 0,891>0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan penyesuaian diri pekerja out bound freelance pt selaras inti prima Indonesia.
Penelitian ini masih memerlukan penelitian lanjutan dengan penambahan responden dan akan lebih baik lagi jika responden dalam penelitian berasal dari berbagai perusahaan
(G) Bahan bacaan 10 (1886-2005) + 1 jurnal
BAB 1
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
1.1 Latar
Belakang
Setiap yang hidup memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi untuk bertahan dan
melanjutkan tugas perkembangannya. Seiring dengan perubahan zaman dan
bertambahnya usia, individu juga memiliki kebutuhan yang terus bertambah, karena
adanya sebuah tingkat kebutuhan yang harus dilalui selama hidupnya. Untuk
pemenuhan kebutuhan hidup individu harus mengunakan kemampuan, ketrampilan
ataupun keahlian yang dimilikinya dengan cara bekerja. Dengan bekerja individu
akan mendapatkan hasil berupa upah atau imbalan yang dengan hal tersebut
segala kebutuhan baik primer maupun sekunder dapat terpenuhi.
Bekerja merupakan sarana terpenting bagi individu yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupannya. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat
primer, dapat bekerja merupakan sebuah kesempatan individu untuk
mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri adalah kebutuhan untuk melakukan
pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki individu. Kebutuhan ini
mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan
secara penuh. Kebutuhan ini menekankan kebebasan dalam melaksanakan
pekerjaan (Munandar. 2001).
Strauss dan Sayless (1990), menyatakan bahwa orang bekerja pada dasarnya
bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan ini meliputi :
1. Kebutuhan Fisiologis, misalnya : kebutuhan rasa aman,
2. Kebutuhan Psikis, misalnya : kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan kerja,
3. Kebutuhan Sosial, misalnya : kebutuhan untuk membina persahabatan dengan
teman kerja.
Sebagian besar individu beranggapan tujuan pekerjaan adalah untuk mendapatkan
uang guna membeli kebutuhan sehari-hari, sehingga semakin besar gaji yang
ditawarkan semakin tertarik pula individu untuk memperoleh pekerjaan yang
ditawarkan. Hal ini menunjukkan kebutuhan individu seperti ; makan, minum,
pakaian dan perumahan akan mudah terpenuhi. Di masa sekarang, ketika
perkembangan ekonomi yang tidak menentu maka individu harus berjuang
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan yang tersedia tidak hanya pekerjaan
yang bersifat tetap, tetapi juga pekerjaan yang bersifat lepas (freelance). Bekerja
tetap atau bekerja lepas tidak masalah bagi individu, asalkan dapat menghasilkan
uang atau imbalan dan mengaktualisasikan diri.
Menyukai kebebasan merupakan salah satu alasan individu memutuskan untuk
menjadi pekerja lepas. Kesempatan untuk mendapatkan tambahan penghasilan
dan terdorong dengan keinginan yang kuat untuk mengembangkan keahlian dalam
bidang yang ditekuni juga dapat menguatkan individu untuk bekerja lepas
(htt:/kerjalepas.com/default.asp). Yang tergolong dalam kelompok ini adalah tenaga
kerja muda yang menyukai gaya hidup yang lentur atau tidak terikat dalam waktu
yang lama. Dengan ini individu memanfaatkan waktu luang (di luar jam-jam kerja
tetap) untuk mendapatkan makna yang lebih besar (Munandar, 2001).
Merekrut karyawan dengan sistem kontrak sebagai pekerja harian lepas, bukan
sebagai pekerja tetap sudah banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
bergerak pada penjualan jasa. PT. Selaras Inti Prima Indonesia (SIPI) atau lebih
dikenal dengan sebutan Selaras Outbound merupakan salah satu perusahaan
(provider Outbound) yang bergerak dalam bidang pelatihan dan pengembangan
sumber daya manusia dengan menggunakan pendekatan (metode) experiential
learning, adapun media yang digunakan bisa dialam bebas (outdoor activity) atau
media dalam ruangan (indoor activity). Selaras Outbound merupakan perusahaan
by project sehingga untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan
maka tenaga-tenaga freelance (pekerja lepas) lebih dibutuhkan dalam jumlah yang
relative banyak dibandingkan dengan pekerja tetap.
.
Pelibatan pekerja lepas pada provider outbound adalah untuk menjadi tenaga
fasilitator dan tim logistik. Fasilitator tugasnya adalah memfasilitasi jalannya
kegiatan, seperti mendampingi peserta pelatihan, memberikan instruksi mengenai
simulasi yang akan dimainkan, memimpin simulasi dan memandu jalannya
metafora atau sebuah metode penganalogian sebuah permainan dalam kegiatan
sehari-hari baik di tempat kerja maupun di kehidupan sehari-hari (Selaras
Outbound, 2007). Sedangkan tugas dari tim logistik adalah menyiapkan seluruh
perangkat pendukung simulasi selama kegiatan berlangsung.
Berbedanya situasi yang dihadapi pekerja lepas pada setiap proyek yang ditangani,
menuntut individu untuk bisa menyesuaikan diri secara baik. Crow & Crow (1956)
mengatakan jika individu sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar,maka individu tersebut akan mengalami suatu masalah dengan orang lain
atau pekerjaannya. Keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungan yang baru ditandai dengan kemampuan individu untuk memenuhi
tuntutan dan harapan perusahaan dan klien. Feldman (1989, 68) mengatakan
penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk memenuhi tuntutan dan harapan
yang diberikan oleh lingkungan dimana individu berada, dalam hal ini adalah
perusahaan dan kliennya.
Individu yang berada dalam suatu perusahaan ataupun bagian dari tim kerja harus
mempunyai usaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan perusahaan, baik
yang meliputi penyesuaian diri dengan individu lain sebagai bagian dari tim kerja
maupun iklim lingkungan kerja itu sendiri serta klien yang selalu berbeda untuk
dihadapi. Hal ini karena tiap individu berbeda, baik karakter, maupun tujuan
hidupnya. Maka diharapkan individu mampu menjelaskan dirinya dengan
lingkungan dimana individu tersebut berada (Kartono, 1994).
Memberikan pelayanan yang memuaskan merupakan kunci agar suatu perusahaan
tetap mendapatkan penilaian positif dari setiap klien yang dihadapi. Kemajuan
perusahaan tergantung pada kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia
yang ada di dalamnya. J.Winardi (2001, 3) menyebutkan kemampuan individu
sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi pencapaian target perusahaan
selain variabel - variabel lain seperti motivasi, upaya (kerja) yang dikerahkan serta
pengalaman kerja sebelumnya. Kemampuan yang dimaksud bukan hanya sekedar
kemampuan secara teknis atau fisik, namun termasuk juga kemampuan diri untuk
berpikir , berbicara atau berpendapat, mengambil keputusan dan wawasan, baik
akademis maupun non akademis, kemampuan juga didasari oleh keyakinan
individu atas kemampuan yang dimiliki atau disebut juga self-efficacy. Seperti yang
dikatakan oleh Bandura (1997, 2-3) keyakinan terhadap kemampuan diri
mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, merasa dan bertindak.
Tiap individu mempunyai pengalaman berhasil dan gagal dalam melaksanakan
tugas tertentu. Berdasarkan pegalaman yang diperoleh, individu memiliki
self-efficacy tertentu dalam mengerjakan suatu tugas. Keberhasilan yang pernah
diperoleh dengan baik akan mempengaruhi self-efficacy individu, jika bertemu
dengan tugas yang sama.
Steers & Porter (1983) dalam Kanungo (1994, 3), menjelaskan self-efficacy adalah
individu mampu menampilkan perilaku yang diinginkan dalam bekerja atau
individu dapat berperilaku sesuai dengan tuntutan pekerjaan, karena merasa
sanggup untuk melakukannya. William James (Goble, 1987, 94) menemukan
bahwa kebanyakan individu hanya menggunakan sebagian kecil dari seluruh
kemampuannya. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya rasa yakin akan potensi
atau kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Bila individu merasa yakin
akan kemampuan dan keterampilannya untuk melakukan sesuatu, maka dengan
sendirinya akan terdorong untuk berusaha mencapai hasil yang diiginkan atau
dapat dikatakan self-efficacy sangat berperan dalam pekerjaan. Seperti yang
dikemukakan Bandura (1997, 6), Keyakinan akan kemampuan diri sendiri
memainkan peran kunci dalam mencapai hasil yang diinginkan.
Dalam hal memantapkan tujuan yang telah ditargetkan oleh individu, self-efficacy
memberikan rasa yakin dan percaya diri kepada individu untuk tetap pada
tujuannya. Target yang dimiliki individu dapat mempengaruhi seberapa besar
usaha yang akan individu keluarkan. Bila individu tersebut memiliki tingkat
self-efficacy yang cukup tinggi, maka tidak akan ragu dalam menjalankannya
termasuk dalam menghadapi kesulitan. Semakin tinggi self-efficacy seseorang,
maka semakin tinggi pula tingkat ketahanannya.
Namun menurut Bandura (1997, 17) self-efficacy bersifat spesifik dalam tugas dan
situasi yang dihadapi. Individu dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada suatu
tugas tertentu, namun pada situasi dan tugas yang lain tidak. self-efficacy juga
bersifat kontekstual, artinya tergantung pada konteks yang dihadapi. Umumnya
self-efficacy akan memprediksi dengan baik suatu tampilan yang berkaitan erat
dengan keyakinan tersebut. Sedangkan kemampuan dalam menyesuaian diri
secara baik ketika berhadapan dengan klien yang berbeda adalah tuntutan dan
harapan perusahaan untuk dapat memberikan pelayanan yang bagus.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti “apakah ada hubungan antara
Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada pekerja lepas (freelance) PT. Selaras
Inti Prima Indonesia?”.
1.2. Pembatasan
Masalah
Untuk menjaga agar penelitian ini terfokus dan tidak melebar jauh, maka penulis
membatasi masalah ini menjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuan atau kompetensinya
atas kinerja tugas yang diberikan untuk mencapai sebuah tujuan dan mengatasi
hambatan.
2. Penyesuaian diri adalah usaha untuk memenuhi tuntutan dan harapan yang
diberikan oleh lingkungan dimana individu berada.
3. Subjek dalam penelitian ini pekerja out bound lepas (freelance) yaitu individu
yang pernah mengikuti training of trainer selaras outbound serta dilibatkan
dalam kegiatan-kegiatan selaras outbound sebagai fasilitator bekerja di mana
pekerjaannya tidak terikat aturan-aturan tertentu yang biasa dikenakan pada
karyawan penuh waktu di PT. Selaras Inti Prima Indonesia (SIPI).
1.3. Perumusan
Masalah
sesuai dengan latar belakang di atas, maka dapat di rumuskan masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan
penyesuaian diri?
2. Apakah ada hubungan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada
freelance outbound berdasarkan jenis kelamin, masa kerja, usia, latar belakang
pendidikan, pengalaman organisasi dan status perkawinan?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan penelitian
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
penyesuaian diri.pada freelance outbound?
3. Mengetahui apakah ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian
Diri berdasarkan pada freelance outbound berdasarkan jenis kelamin, masa
kerja, usia, latar belakang pendidikan, pengalaman organisasi dan status
perkawinan?
erharap bahwa dari penelitian yang penulis lakukan dapat
nyesuaian diri
dalam kajian psikologi khususnya di Fakultas Psikologi U I N Syarif
Hidayatullah Jakarta.
selanjutnya yang 1. Mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan
1.4.2 Manfaat penelitian
Secara teoritis, penulis b
bermanfaat, diantaranya sebagai berikut :
1. Pengembangan pengetahuan mengenai self-efficacy dan pe
2. Dapat dijadikan langkah awal dan motivasi bagi peneliti
berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan.
Secara praktis, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat; diantaranya:
1. Karyawan freelance, dapat mengetahui bagaimana cara meningkatkan self
efficacy sehingga mempermudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
tingkat self-efficacy, penyesuaian diri dan produktivitas kerja dari karyawan.
bagi perusahaan
dalam mengelola karyawan agar dapat menghasilkan kualitas kerja yang baik
untuk perusahaan dalam mengambil langkah yang
aspek ini agar tetap pada tinggat yang
diharapkan perusahaan dapat memberikan training atau pelatihan mengenai
konsep diri, self-efficacy dan penyesuaian diri serta memberikan semangat dan
ntuk dapat menjaga produktivitas kerja yang
Pada penulis
Psychologica
kerja, dengan cara belajar dari pengalaman yang berhasil dilakukan,
memahami lebih dekat kemampuan diri sendiri dan menjaga kesehatan fisik
serta psikis.
2. Perusahaan, dengan hasil penelitian ini, dapat diketahui gambaran mengenai
Sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan
serta sebagai pertimbangan
tepat ketika akan mengadakan penguatan atau pengembangan sumber daya
manusia. Untuk mendukung ketiga
motivasi kepada karyawannya u
diharapkan.
1.5 Kaidah
Penulisan
an penelitian ini, penulis menggunakan kaidah penulisan American
l Assocation (APA Style).
1.6 Sistematika
Penulisan
ermudah dalam membahas tema yang diteliti, penulis membagi
b, dengan sistematika sebagai berikut:
: Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, p Untuk memp
dalam lima ba
Bab 1
erumusan masalah,
penulisan.
Bab 2
angkut; definisi, perkembangan self-efficacy, faktor yang
ngka berfikir dan hipotesa.
atan penelitian dan metode penelitian, definisi variabel dan
variabel operasinal , pengambilan sampel; populasi dan sampel,
teknik pengambilan sampel, pengumpulan data; metode dan
instrumen penelitian, kuesioner dan teknik analisa data.
Bab 4 : Hasil penelitian yang terdiri dari : gambaran umum responden,
deskripsi hasil penelitian, pengujian hipotesis dan intrepretasi data
serta analisis faktor.
Bab 5 : Berisikan penutup yang merupakan uraian kesimpulan, diskusi dan
saran
tujuan dan manfaat penelitian, kaidah penulisan dan sistematika
: Berisikan kajian pustaka yang terdiri dari : teori self-efficacy,
meny
mempengaruhi, dimensi self-efficacy dan fungsinya.penyesuaian diri ,
menyangkut; definisi, faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dan
karakteristiknya, kera
Bab 3 : Berisikan metodologi penelitian yang terdiri dari : jenis penelitian;
pendek
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Bab 2 ini akan dibahas tentang motivasi belajar, persepsi iklim kelas,
self-efficacy, kerangka berfikir, dan diakhiri dengan perumusan hipotesa
2.1.
Self-Efficacy
2.1.1. Pengertian self-efficacy
Kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu tidak hanya didasari oleh
pengetahuan atau wawasan mengenai sesuatu hal. Bandura (1986, 392)
menyebutkan satu istilah yang merupakan media perantara antara apa yang
diketahui individu dengan perilakunya yaitu self-efficacy dan kemudian
mendefinisikannya sebagai suatu keyakinan atas kemampuan diri sendiri untuk
mengatur dan bertindak dalam menghadapi situasi tertentu.
Adapun pendapat lain dari Wilhite (1990, 696) yang mengatakan bahwa
self-efficacy merupakan tinggat dimana seseorang merasa yakin bahwa dirinya yang
menentukan hasil dari usahanya. Tinggi rendahnya hasil yang dicapai individu atas
usahanya ikut ditentukan oleh penilaian individu akan kemampuannya untuk
menyelesaikan suatu tugas. Semakin baik penilaian individu akan kemampuannya,
maka individu cenderung bertambah yakin dalam menentukan hasil yang diinginkan
serta merasa mampu meraihnya.
Penilaian mengenai kemampuan diri tersebut berkaitan dengan sikap subyektif
inidvidu, karena menilai kemampuannya berdasarkan persepsi mengenai diri
sendiri. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Brown & Brook (1990, 382) bahwa
self-efficacy merupakan penilaian yang subyektif atas kemampuan yang dimiliki
individu berkaitan dengan hal tertentu, sehingga self-efficacy tidak tergantung dari
kemampuan obyektif yang dimiliki oleh seseorang, tapi lebih berkaitan dengan
keyakinan seseorang tentang kemampuannya.
Dari beberapa pengertian mengenai self-efficacy di atas, dapat didefinisikan
bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuan dan
kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan untuk mencapai tujuan dan
mengatasi hambatan.
2.1.2. Perkembangan self-efficacy
Dari indra yang dimiliki, manusia sejak kecil sudah belajar melakukan suatu
kegiatan yang muncul di sekelilingnya, dengan melihat kemudian meniru
sehingga berhasil maupun gagal. Pengalaman belajar sosial tersebut menetapkan
pola-pola perilaku yang dibentuk sejak kecil. Aktivitas yang diajarkan orang tua
beriringan dengan berbagai pengalaman mencoba dan gagal (trial & error) atau
berhasil, membantu individu untuk secara bertahap belajar dan mengenali
perkembangan kemampuannya.
Pertumbuhan fisik dan psikis yang dilalui individu, merupakan dua mekanisme yang
mendorong perkembangan penilaian self-efficacy. Mekanisme pertama
adalah, modelling, dimana individu menggunakan suatu cara memperkirakan
kemungkinan keberhasilannya dalam suatu aktivitas. Sebagai contoh, seorang
individu beranggapan bahwa kalau individu lain dapat merebus mie sendiri, maka
individu tersebut juga dapat melakukannya. Melalui pengalaman meniru yang
memerlukan suatu kemampuan kognitif, individu dapat membandingkan
kemampuannya dengan individu lain.
Mekanisme kedua yaitu, kepekaan reaksi-reaksi internal dalam tubuh terhadap
luapan emosi, seperti tekanan darah yang meningkat, perut yang bergejolak atau
detak jantung yang menjadi cepat. Individu belajar menafsirkan perasaan-perasaan
tersebut sehingga dari ketakutan dan kecemasan, serta belajar menggunakannya
untuk mengetahui bahwa kegagalan dan keberhasilan akan dilaluinya.
Ada tiga macam lingkungan yang mempengaruhi perkembangan self-efficacy
pada diri individu, yang pertama adalah lingkungan keluarga. Keluarga
merupakan tempat awal bagi perkembangan self-efficacy individu, yaitu tempat
untuk mengembangkan, menilai serta menguji kemampuan fisik, kompetensi
sosial, kemampuan bahasa dan kemampuan kognitifnya untuk memahami dan
mengatasi berbagai situasi yang dihadapi sehari-hari. Orang tua atau keluarga
yang memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk mengungkapkan diri dapat
mempercepat perkembangan perasaan kompeten serta perkembangan kognitif dan
sosial. Namun orang tua atau keluarga yang terlalu mengekang anak-anak dengan
banyaknya aturan dapat mengakibatkan anak tidak percaya dengan kemampuan
yang dimilikinya.
Lingkungan teman sebaya juga mempengaruhi self-effikasi individu. Dalam
berinteraksi dengan teman sebaya terjadi proses belajar sosial, yaitu dengan cara
membandingkan dan meniru yang lebih mampu dan lebih berpenglaman. Dengan
bertambahnya usia, individu mulai memiliki persamaan diri dengan individu lain, hal
ini dapat menjadi bahan perbandingan bagi penilaian kemampuan dan
keterampilan dirinya.
Lingkungan sekolah juga memberikan pengaruh dalam self-efficacy individu .
Sekolah menjadi tempat penanaman self-efficacy, karena mendapatkan
pengetahuan dan dapat mengembangkan kemampuan kognitif. Dengan
kegiatan-kegiatan di sekolah, maka individu akan mengetahui sejauhmana kemampuan
kognitif yang dimiliki, sehingga mempercepat perkembangan self-efficacy.
Dari uraian di atas, jelas bahwa self-efficacy tidak terbentuk dalam waktu sesaat.
Ketiga lingkungan ini merupakan lingkungan awal individu dalam
mengembangkan self-efficacy. Begitu juga dengan keadaan dan sikap dari
individu lain yang berada di lingkungan tersebut. Apakah individu lain bersikap
mendukung atau malah menghambat berkembang self-efficacynya. Dengan kata
lain bagaimana self-efficacy dipengaruhi oleh orang lain. Hal ini dapat menjadi
penentu tinggi rendahnya tingkat self-efficacy pada individu yang terpupuk dari
masa kecil hingga dewasa (Bandura, 1986, 414).
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat
self-efficacy dalam diri individu, sebagaimana yang diuraikan oleh Bandura (1982,
240), yaitu :
a. Sifat Tugas yang Dihadapi Individu
Derajat kompleksitas dan kesulitan dari tugas yang dihadapi akan
mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuannya. Semakin
komplek dan sulit suatu tugas, individu akan semakin menilai rendah
kemampuannya. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tugas sederhana dan
mudah, maka individu akan menilai tinggi kemampuannya.
b. Insentif Eksternal
Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan
self-efficacy adalah competence cotingent incentif, yaitu insentif (reward) yang
diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan individu dalam
menguasai atau melaksanakan sesuatu.
c. Status atau Peran Individu dalam Lingkungan.
Seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat
kontrol yang lebih besar pula, sehingga dapat diharapkan akan memiliki tingkat
self-efficacy yang lebih tinggi. Sebagai contoh ; seorang pimpinan
cenderung memiliki derajat self-efficacy yang lebih tinggi dari pada bawahannya
karena pimpinan memiliki derajat yang lebih tinggi.
2.1.4 Informasi Tentang Kemampuan Diri.
Seseorang akan meningkat self-efficacy-nya jika mendapatkan informasi yang
positif tentang dirinya, begitu juga sebaliknya. Informasi mengenai kemampuan
individu dapat diperoleh melalui empat sumber (Bandura, 1986, 399-401), yaitu:
1. Pencapaian Kinerja (Enactive Attainment)
Pencapaian kinerja merupakan sumber yang paling mempengaruhi
self-efficacy, karena didasarkan pada pengalaman yang nyata dari keberhasilan
dan kegagalan yang dialami individu dalam suatu bidang. Keberhasilan
dapat meningkatkan self-efficacy, dan kegagalan yang berulang akan
menurunkannya, terutama jika kegagalan terjadi pada awal unjuk kerja dan
tidak dikarenakan usaha yang kurang atau salahnya strategi sebagai
penyebab kegagalan. Kegagalan yang dapat diatasi dengan usaha dapat
meningkatkan self-efficacy melalui pengalaman yang dapat menguasai
kesulitan yang dialami.
2 Pengalaman Orang Lain (Vicarious Experince)
Informasi yang diperoleh dari mengamati perilaku orang lain, yang serupa
baik karakter maupun tingkat kemampuannya, dapat meningkatkan
self-efficacy, walaupun pengaruhnya lebih kecil dibandingkan denganpencapaian
nyata individu. Melihat orang lain berhasil, dapat meningkatkan keyakinan
bahwa individu juga memiliki kapasitas untuk menguasai aktivitas serupa.
Begitu juga di lain pihak, melihat orang yang memiliki kompetensi sama
dengan dirinya gagal walaupun sudah berusaha keras, akan menurunkan
penilaian kemampuan dan usaha individu.
3. Persuasi Verbal (Verbal Persuation)
Persuasi verbal biasanya untuk menyakinkan individu bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk mencapai tujuannya. Informasi mengenai
kemampuan individu ini disampaikan secara verbal oleh orang yang
berpengaruh. Persuasi verbal dapat mempengaruhi individu untuk berusaha
lebih keras dalam mencoba sesuatu yang dihindari atau meneruskan tugas
tertentu yang telah lama ditinggalkan, dan meyakinkan bahwa individu
mampu menguasai tugas tersebut.
4. Keadaan Fisiologis/Emosi (Physiological State)
Informasi mengenai keadaam fisik yang diterima individu akan
mempengaruhi pandangan mengenai kemampuannya dalam mengerjakan
suatu tugas, contohnya, seorang pemain sepak bola merasa akan kalah
sebelum pertandingan karena sudah merasa lelah atau otot-ototnya kaku.
Informasi yang diperoleh melalui empat sumber ini untuk selanjutnya akan
diseleksi, ditimbang disatukan oleh individu sehingga membentuk persepsi
mengenai kemampuan yang dimilikinya. Self-efficacy individu dipengaruhi oleh
persepsi terhadap kemampuan yang dimilikinya, sejauhmana sifat atau tingkat
kesulitan tugas yang dihadapi, seperti apa insentif eksternal yang berupa reward
diberikan, bagaimana peran yang berupa tingkat kepentingan individu di dalam
lingkungan kerja, serta sejauhmana informasi yang diperoleh mengenai hasil kerja
atau keberhasilan masa lampau, pengalaman pribadi dan individu lain, anggapan
individu lain tentang diri pribadi dan penghargaan yang diberikan, juga mengenai
keadaan fisiologis dari individu yang bersangkutan. Faktor-faktor seperti sifat
tugas, insentif eksternal, peran dan informasi ini dapat mempengaruhi self-efficacy
di dalam diri individu.
Gambar 2.1
Regulation Of Cognitive Processes Through Perceived Self-Efficacy
Sumber keyakinan Pola yang berkaitan Dampak
Self Efficacy Umpan balik dengan perilaku
Pencapaian kinerja Pengalaman orang lain Persuasi verbal Keadaan fisiologis
Tinggi- “Saya tahu dapat mengerjakan
pekerjaan ini”.
Self-Efficacy
Rendah- “Saya pikir , saya tidak dapat
melakukan pekerjaan ini”.
• Pasif
• Menghindari tugas yang sulit
• Mengembangkan aspirasi yang lemah dan komitmen yang rendah
• Terfokus pada pribadi yang tidak efesien
• Jangan pernah mencoba melakukan suatu usaha yang lemah
• Berhenti atau tidak berani karena kegagalan
• Menyalahkan kegagalan pada kekurangan kemampuan atau nasib buruk
• Khawatir, mengalami tress, menjadi tertekan
• Berpikir mengenai alasan kegagalan
• Akif-memilih kesempatan yang paling baik
• Mengelola situasi-menghindari atau menetralkan kesulitan
• Menetapkan tujuan-membangun stándar
• Merencanakan, mempersiapkan, dan mempraktikkan
• Mencoba dengan keras, gigih
• Memecahkan persoalan dengan kreatif
• Belajar dari kegagalan
• Memperlihatkan keberhasilan
• Membatasi stress
Gagal Berhasil
2.1.5. Dimensi self-efficacy
Dalam pengukuran terhadap tingkat self-efficacy individu, didasarkan pada
beberapa dimensi yang mempunyai implikasi penting pada perilaku. Menurut
Bandura (1986, 396-397), dalam menilai tingkat self-efficacy individu melalui tiga
dimensi, yaitu :
a. Tingkat Kesulitan Tugas (Magnitude)
Yaitu derajat kesulitan tugas yang dirasakan mampu untuk dilakukan
individu. Seseorang dapat merasa mampu dalam melakukan tugas mulai dari
tugas yang mudah, tugas yang agak sulit sampai tugas yang sulit. Penilaian
self-efficacy pada setiap individu akan berbeda pada saat menghadapi tugas
yang bersifat mudah sekalipun. Ada individu yang memiliki self-efficacy
yang tinggi hanya pada tugas yang bersifat mudah dan sederhana, namun ada
pula yang memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang bersifat sulit dan
rumit.
b. Luas Bidang Tingkah Laku (Generality)
Yaitu situasi dalam pelaksaan tugas yang disertai perasaan yakin akan
kemampuan dirinya. Terkadang individu dapat merasa yakin akan
kemampuannya hanya pada bidang dan situasi tertentu saja atau dalam
serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi. Hal inilah yang dapat
membedakan tingkat self-efficacy yang dimiliki individu.
c. Tingkat Kekuatan (Strenght)
Yaitu kuatnya keyakinan yang dimiliki individu mengenai kemampuannya,
yang dapat tercermin melalui besarnya daya tahan dalam menghadapi
hambatan saat melaksanakan tugas. Individu yang memiliki keyakinan yang
kurang akan kemampuannya dapat dengan mudah menyerah bila menghadapi
hambatan dalam melaksanakan tugas.
Ketiga dimensi ini erat satu sama lain, tinggi rendahnya tingkat self-efficacy
individu selalu diukur dalam hubungannya dengan ketiga dimensi tersebut.
Individu dapat dikatakan memiliki self-efficacy yang tinggi apabila mampu
melakukan tugas mulai dari yang mudah hingga yang sulit, serta memiliki
keyakinan yang kuat akan kemampuannya bukan hanya dalam situasi dan aktivitas
tertentu saja, melainkan juga dalam serangkaian aktivitas dan situasi
yang bervariasi.
2.1.6. Fungsi self-efficacy
Self-efficacy setidaknya memiliki peran terhadap segala perasaan, pikiran
pengambilan keputusan maupun tindakan individu sampai dengan hasil yang
ditampilkan oleh individu. Begitu pula dalam hal berinteraksi dengan individu
lain. Peran ini dapat juga disebut dengan fungsi self-efficacy, sesuai yang
dijabarkan oleh Bandura (1986, 393-396), yaitu :
1. Pilihan Tingkah Laku (Choice Behavior)
Keputusan sehari-hari individu yang melibatkan pilihan tindakkan merupakan
bagian dari ketentuan penilaian self-efficacy pribadi. Individu cenderung
menghindari tugas dan situasi yang diyakini berada di luar kemampuannya,
namun individu mampu menangani kegiatan yang dinilainya mampu untuk
diatasi. Disaat individu mempertimbangkan untuk mencoba melakukan hal
tertentu, individu akan bertanya pada dirinya apakah mampu atau tidak untuk
melakukannya dan di sinilah self-efficacy berfungsi.
2. Usaha yang Dilakukan dan Daya Tahan
Penilaian terhadap self-efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang
akan dilakukan dan berapa lama individu mampu bertahan menghadapi segala
hambatan dan gangguan dalam melakukan suatu tugas. Semakin tinggi tingkat
self-efficacy, semakin besar usaha yang akan dilakukan dan semakin
besar daya tahan dalam menghadapi hambatan tugas.
3. Pola Berpikir dan Reaksi Emosi
Self-efficacy mempengaruhi pola berpikir dan reaksi emosi individu pada saat
mengatasi dan melakukan transaksi dengan lingkungan. Self-efficacy yang
dipersepsikan membentuk cara pikir kausal (sebab-akibat). Individu dengan
self-efficacy tinggi memusatkan perhatian pada usaha yang diperlukan sesuai
dengan tuntutan situasi dan menjadikan rintangan sebagai dorongan untuk
berusaha lebih keras. Individu akan melihat kegagalan akibat dari kurangnya
usaha. Sedangkan individu dengan self-efficacy rendah melihat kegagalan
sebagai akibat dari ketidak mampuannya.
4. Perwujudan dari Keterampilan yang Dimiliki
Tingkat keterampilan atau kemampuan yang sama pada dua individu belum
berarti dapat mewujudkan hasil yang sama pula. self-efficacy sangat berperan
dalam mewujudkan keterampilan individu. Individu dengan self-efficacy
tinggi, tidak cepat menyerah dalam menjalankan tugas dan akan terus
berusaha mengerahkan segenap kemampuan sehingga keterampilannya
tercipta.
Kaitan antara keempat fungsi self-efficacy di atas sangat erat dan saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Self-efficacy mempengaruhi pola
berpikir individu dan reaksi emosinya di saat mempertimbangkan tugas yang akan
dihadapinya dan kemudian menghasilkan pilihan tingkah laku yang juga
dipertimbangkan berdasarkan informasi atau pengetahuan tentang
kemampuannya. Setelah itu, individu akan berusaha melaksanakan tugas dengan
tingkat ketekunan yang ikut dipengaruhi oleh self-efficacy, sehingga pada
akhirnya individu dapat mewujudkan keterampilannya
2.1.7. Implikasi self-efficacy bagi para manajer
Bukti penelitian di tempat kerja mendorong para menejer untuk mempertahankan
self-efficacy, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam diri orang lain. Menurut
Kreitner dan Kinicki (2000, 87) self-efficacy memerlukan tindakan yang
konstruktif dalam setiap bidang menegerial berikut ini :
1. Perekrutan / seleksi / penugasan kerja.
Pertanyaan wawancara dapat dirancang untuk menyelidiki self-efficacy
pelamar kerja sebagai suatu dasar untuk menentukan orientasi dan kebutuhan
pelatihan yang dibutuhkan. Uji self-efficacy secara tertulis tidak berada
dalam suatu tingkat perkembangan untuk kemajuan dan valiasi.
2. Rancangan pekerjaan.
Pekerjaan yang rumit, menantang, dan mandiri cenderung meningkatkan
self-efficacy yang dapat dirasakan. Pekerjaan yang membosankan secara umum
menyebabkan hal yang sebaliknya.
3. Pelatihan dan pengembangan.
Penguatan self-efficacy para karyawan untuk tugas-tugas kunci dapat
disempurnakan melalui panduan pengalaman, pemberian nasihat atau
motivasi, dan model peran.
4. Manajemen diri.
Pelatihan manjemen diri yang sistematis, melibatkan peningkatan self-
efficacy. Individu dapat memperkirakan suatu tindakan atau pengambilan
keputusan sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.
5. Penetapan tujuan dan penyempurnaan kualitas.
Kesulitan menetapkan tujuan perlu disesuaikan dengan self-efficacy yang
dirasakan oleh individu. Dengan membaiknya self-efficacy terhadap prestasi,
tujuan dan stándar kualitas dapat dibuat sehingga lebih menantang.
6. Bimbingan.
Individu dengan self-efficacy yang rendah dan para karyawan yang
dikorbankan oleh Learned helplessnes membutuhkan banyak petunjuk yang
membangun dan umpan balik yang positif.
7. Kepemimpinan.
Bakat kepemimpinan yang dibutuhkan tampak pada saat manajemen memberi
para manajer dengan self-efficacy yang tinggi, suatu peluang memperbaiki diri
sendiri di bawah tekanan.
8. Penghargaan.
Keberhasilan yang kecil perlu dihargai sebagai batu loncatan pada suatu
self-image yang labih kuat dan prestasi yang lebih baik.
2.2.
Penyesuaian Diri
2.2.1. Pengertian penyesuaian diri
Ada beberapa definisi yang diajukan para ahli mengenai penyesuaian diri.
Menurut Feldman (1989, 68) penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk
memenuhi tuntutan dan tantangan yang diberikan oleh dunia dimana mereka
hidup. Sedangkan menurut Grasha dan Kirschenbaum (1980, 49) penyesuaian
diri mengacu pada usaha yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan lingkungan.
Penyesuaian diri ini juga memperhatikan keberhasilan dan kegagalan individu
menyesuaikan keterampilan dan kemampuannya untuk menghadapi berbagai
peristiwa dalam hidupnya. Bahkan usaha yang dilakukan untuk mencapai sesuatu
atau memenuhi kebutuhan dasar agar terbebas dari sintom-sintom masalah
kehidupan yang juga diasosiasikan dengan penyesuaian diri yang adukat.
Membedakan apakan individu melakukan penyesuaian diri yang baik atau buruk
merupakan hal yang tidak mudah. Salah satunya karena istilah penyesuaian diri
biasanya digunakan dengan cara yang berbeda.Haber dan Runyon (1984, 10)
menyebutkan tiga situasi yang menggambarkan tentang penyesuaian diri, yaitu :
1. Seseorang dikatakan dapat menyesuaikan diri ketika mampu menyesuaikan
keinginan dan harapan dari kelompoknya.
2. Mampu menyesuaikan jadwal kesehariannya dengan teratur.
3. Membiasakan diri atau belajar hidup dengan keadaan. Hal ini merupakan
penyesuaian diri yang efektif ketika keadaan yang dialami merupakan hal yang
sulit dirubah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik definisi penyesuaian diri yaitu usaha
untuk memenuhi tuntutan dan harapan yang diberikan oleh lingkungan dimana
individu tersebut berada. Penyesuaian diri yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kemapuan individu pekerja lepas dapat beradaptasi dengan kondisi kerja
yang berbeda-beda disetiap pelaksanaannya.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
Setiap individu memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengatasi berbagai
tantangan dalam hidup serta tetap bertahan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Powell (1983, 76) menyebutkan dengan istilah “resaurces”. Adanya resources ini
dan kemampuan untuk memperolehnya sangat penting dalam usaha penyesuaian
diri individu dapat berasal dari luar dan dalam diri individu.
Faktor yang berasal dari dalam diri individu antara lain :
a. Kemampuan dan Kekuatan Fisik
Secara umum kesehatan, tingkat energi dan daya kesembuan sangat
berperan bagi individu dalam meghadapi persoalan dalam hidupnya.
Individu yang sehat akan lebih mudah penyesuaian dirinya dari pada yang
sakit.
b. Kecerdasan
Kemampuan persepsi dan ingatan, analisis, penalaran (reasoning),
kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan verbal yang ada,
rata-rata berhubungan erat dengan keberhasilan dalam ketepatan pengambilan
suatu tindakan. Kemampuan ini seringkali membuat individu mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
c. Minat pada Bidang Tertentu
Suatu aktivitas, kemampuan atau hobi yang benar-benar dinikmati individu
pada saat melakukannya dapat mendatangkan ketenangan dan menjadi
penghibur bagi individu lain, karena hal ini dapat berfungsi sebagai buffer
(peran) yang dapat meminimalkan dan membantu individu dalam mentolerir
ketegangan dan kecemasan yang individu rasakan serta membantu individu
mempertahankan penyesuaian diriyang sehat.
d. Impian
Impian memberikan tujuan, kekuatan dan ketahanan dan mentoleransi
frustasi. Memiliki impian, individu mampu memusatkan diri dan
memberikan arti pada apa yang dilakukannya. Impian membuat individu
mampu berkorban, tahan bekerja dan menghadapi berbagai rintangan karena
individu tersebut berpandangan bahwa yang dilakukan adalah sesuatu yang
berharga.
e. Keyakinan
Keyakinan yang dimaksud adalah agama dan aliran-aliran kepercayaan
maupun keyakinan terhadap sesuatu yang lain. Pada saat individu
menghadapi perjuangan hidup yang sulit, bahkan pada saat impian-impian
individu telah hancur, adanya keyakinan dapat dijadikan suatu tumpuan
harapan dan tempat bergantung individu dalam bertahan dan berjuang
menghadapi permasalahan hidup.
Sedangkan faktor yang berasal dari luar diri individu antara lain :
1. Kemampuan Ekonomi dan Lingkungan yang Menguntungkan
Termasuk di dalamnya tersedianya biaya, berbagai sarana fasilitas dan
informasi yang dibutuhkan, serta efektifnya berbagai sistem dan organisasi
yang ada disekeliling individu. Tersedianya kemudahan memperoleh hal
tersebut dapat membantu individu untuk menyelesaikan banyak masalah yang
dihadapinya dan memberikan kenyamanan dalam hidup yang membantu
mempermudah penyesuaian diriyang dilakukan individu.
2. Kerja
Bekerja dapat membuat individu mampu memenuhi kebutuhan hidupnya,
seperti kebutuhan untuk bergaul, memperoleh penghargaan dan lain-lain.
Bekerja merupakan suatu kebutuhan, bila tidak bekerja individu akan merasa
bingug, bosan, tidak dapat memanfaatkan waktu, sulit menghindari masalah,
tidak percaya diri dan lain sebagainya. Hal ini dapat menghambat penyesuaian
diriindividu.
3. Adanya Jalinan Hubungan yang Supprotif
Dalam jalinan hubungan yang supportif terdapat hubungan erat yang hangat,
saling memberikan perhatian dan dukungan, perasaan-perasaan yang dapat
diekspresikan serta masalah atau konflik-konflik tidak terhambat. Pada
tingkat stress yang sama, kelompok individu yang lebih baik daripada kelompok
individu yang tidak memiliki hubugan yang supprotif.
2.2.3. Karakteristik penyesuaian diri
Haber dan Runyon (1984, 10) menyebutkan lima karakteristik yang menandakan
penyesuaian diriyang efektif, yaitu :
a. Persepsi yang Akurat Tentang Kenyataan
Salah satu aspek yang terpenting dalam mempersepsikan statu kenyataan
dengan akurat adalah kemampuan untuk mengenali konsekuensi dari suatu
tindakan dan kemampuan untuk menuntun tingkah laku agar sesuai dengan
aturan. Persepsi yang akurat tentang kenyataan juga meliputi kemampuan
untuk mengubah interpretasi mengenai suatu peristiwa.
b. Kemampuan untuk Menghadapi Stress dan Kecemasan
Penyesuaian diri yang baik apabila individu mampu mengatasi kecemasan dan
stress, yaitu dengan cara membuat tujuan hidup yang nyata atau dengan cara
membuat tujuan-tujuan jangka pendek yang lebih mudah dicapai, sehingga
dapat merasakan puas dan bahagia. Stres adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan dan menuntut individu untuk dapat menyesuaikan
diri. Tidak semua kebutuhan dan keinginan dalam hidup dapat terpenuhi, hal
inilah yang harus dapat dipahami dan diterima sehingga dapat mengatasi stres
dengan cara yang lebih positif (Atwater, 1983, 47 ).
c. Gambaran Diri yang Positif
Penilaian terhadap diri sendiri harus meliputi aspek negatif dan positif.
Individu yang mampu menyesuaikan diri tidak akan terlalu memikirkan aspek
negatif yang ada dalam dirinya melainkan berusaha untuk mengubah hal
tersebut menjadi lebih positif. Individu harus dapat mengetahui kekurangan dan
kelebihan yang dimiliki.
d. Kemampuan Mengekspresikan Emosi
Permasalahan dalam mengekspresikan emosi meliputi berlebihan atau kurang
mengontrol emosi. Terlalu berlebihan dalam mengontrol emosi
menyebabkan tumpulnya perasaan, sebaliknya kurang mengontrol emosi
menyebabkan ekspresi emosi yang kurang terarah. Keduanya dapat menjadi
masalah dalam penyesuaian diri.
e. Hubungan Interpersonal yang Baik
Manusia adalah makhluk sosial, sejak dalam tahap konsepsi manusia
membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal tersebut
dapat diwujudkan di dalam kelompok. Baik fisik, sosial maupun emosional,
individu dapat menyesuaian diri dengan baik, mampu berhubungan dengan
orang lain secara produktif dan saling menguntungkan, sebaliknya
penyesuaian diri yang buruk pada umumnya disebabkan adanya
penolakan dari diri sediri maupun orang lain. Perilaku penolakan terhadap diri
sendiri ditujukan dengan tidak menyukai diri sendiri dan merasa tidak seperti apa
yang diinginkannya. Perilaku menolak dari orang lain, misalnya konflik yang
terjadi antara individu dengan individu lain.
Sri Rahayu (1992, 34) memberikan beberapa ciri penyesuaian diri yang buruk yaitu
individu yang mempunyai kecemasan yang tinggi, ketergantungan kepada orang
lian, depresi dan tanda-tanda psikosomatik.
2.3 Pekerja
Outbound Freelance
2.2.1. Definisi Pekerja Freelance
Departemen Tenaga Kerja R.I. melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, menyatakan yang dimaksud dengan Tenaga Kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan pekerja adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dalam hal ini pekerja yang dimasud adalah pakerja yang mempunyai hubungan
kerja dengan sistem kerja lepas. Hal tersebut diatur dalam Keputusan Menteri
Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu yang tertuang dalam Bab V pasal 10, menyatakan bahwa perjanjian kerja
harian lepas dilaksanakan untuk pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal
waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat
dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
Dalam situs kerjalepas.com dituliskan bahwa kerja lepas (freelance) adalah suatu
pekerjaan di mana pekerjanya tidak terikat aturan-aturan tertentu yang biasa
dikenakan pada karyawan penuh waktu. Kerja lepas bisa dikerjakan di luar kantor.
Berbeda dengan kerja penuh waktu yang masih memiliki keterikatan dengan
perusahaan, dalam arti seorang pekerja penuh waktu tetap terikat dengan
aturan-aturan perusahaan. Seorang pekerja lepas sepenuhnya tidak terikat dengan
perusahaan. Mereka bisa datang ke kantor kapan saja mereka mau. Pekerjaan
freelance biasanya berbentuk proyek, biasanya dibuat dengan sistem tender.
(http://kerjalepas.com/default.asp)
Kerja lepas dilaksanakan sesuai aturan-aturan yang disepakati bersama antara
pihak penyedia kerja dengan pekerja lepas. Kesepakatan tersebut biasanya berisi
apa yang akan dikerjakan, target yang harus dicapai dan kapan pekerjaan tersebut
dapat diselesaikan. Karena pekerjaan lepas biasanya berbentuk proyek, maka
sistem pembayarannya biasanya menggunakan sistem borongan, dalam arti tenaga
kerja lepas baru dibayar setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. Namun ada juga
yang dibayar dengan uang muka terlebih dulu, dan sisanya dibayar setelah
pekerjaan selesai dilaksanakan. (http://kerjalepas.com/default.asp)
Pekerja lepas, memang benar-benar bekerja sebagai individu. Jika sebuah
perusahaan membeli produk atau memakai suatu jasa, maka yang akan dibayar
adalah produk atau jasa yang berikan.
Berdasarkan hasil penelitian di negara Barat, kini hampir 50% angkatan kerjanya
adalah tenaga lepas.
(http://supermilan.wordpress.com/2008/02/28/freelance-siapa-bilang-tidak-keren/) Ini merupakan indikasi bahwa kerja lepas pun potensial
untuk menjadi salah satu cara berkarya dan memperoleh penghasilan besar dari
pada bekerja tetap. Biasanya tenaga kerja lepas banyak diminati bagi mereka yang
menginginkan kebebasan, tidak suka keterikatan dan formalitas, sehingga mereka
bisa bebas bekerja secara mandiri.
2.3.2 Ciri-ciri Pekerja Lepas (freelance)
Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang tertuang dalam Bab V pasal
10, maka ciri dari pekerja lepas terlihat dari perjanjian kerjanya:
1. Dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal
waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat
dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
2. Dilakukan dengan ketentuan pekerja bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu)
hari dalam 1 (satu) bulan.
3. Apabila pekerja bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi
PKWTT.
2.3.3 Definisi Outbound
Istilah outbound dari kata outward bound, adalah istilah pelayaran yang
menandakan ketika suatu kapal keluar pelabuhan menuju laut lepas (Soukhanov,
1999). Selain itu Istilah Outbound berasal dari kata out of boundaries, berarti jauh
diluar garis batas. Hal tersebut lebih banyak mengandung pengertian bahwa
seluruh kegiatan membawa setiap persertanya kesuatu kegiatan yang ‘luar biasa’
dalam arti keluar dari zona nyaman kita (Comfort Zone) ke zona tumbuh (Growth
Zone). Karena tantangannya adalah pertumbuhan pribadi (Self Growth) & juga
kelompok (Team Growth). Pertumbuhan pribadi berkaitan dengan pengembangan
Watak (Character) & keterampilan berhubungan antar manusia (Inter-Relationship
Skill). Kedua hal tersebut sangat berkaitan dengan sikap mental (Attitude)
seseorang yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelompoknya.
(http://www.puncakview.com/obet_nusantara.htm)
Dalam proses membentuk mentalitas dasar setiap individu serta untuk membentuk
tim yang tangguh dapat dicapai melalui kegiatan Team Building dengan Metode
Experiential Learning yang mengedepankan permainan (Games) serta
menginventarisir nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Value dan Insight
Discovery) serta menghubungkannya dengan tuntutan organisasi, perusahaan dan
kehidupan peserta sehari-hari. Sedangkan pembentukan tim yang tangguh
memerlukan kualitas interaksi yang lebih banyak dan bermutu yang di dukung oleh
pengertian (Understanding), saling percaya (Trust dan Trust Worthiness), penuh
tanggung jawab (Accountability/Responsibility) serta mampu berkomunikasi secara
efektif (Communication) dan keterbukaan (Openness).
(http://www.puncakview.com/obet_nusantara.htm)
Hal utama yang diperoleh dari kegiatan outbound adalah terapi di rimba belantara
(Wilderness therapy). Penemuan program pelatihan ini merupakan hasil inovasi
seorang ahli pendidikan Jerman ”Kurt Hant”. Hant adalah seorang ahli pendidikan
terkenal yang pada saat pemerintahan Hitler tahun 1933 dideportasi ke Inggris.
Ajaran Hant dikenal dengan sistem pendidikan ”Learning by Doing”
Gass (1993) dalam buku Adventure Therapy menerangkan pendapat Kimball dan
Bacon bahwa ”Out Bound Course adalah suatu konsep pendidikan yang
menggunakan rimba belantara sebagai media terapi”, seperti gunung, hutan, rimba,
sungai, pantai dan lautan.
Berdasarkan uraian dapat disimpulkan bahwa outbound adalah sebuah konsep
pendidikan dan pelatihan yang menggunakan metode belajar dari pengalaman
dengan mengedepankan usaha olah diri (olah pikir dan olah fisik) yang
sangat bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan motivasi, kinerja dan
prestasi dalam rangka melaksanakan tugas dan kepentingan organisasi secara
lebih baik.
2.3.4 Manfaat dan Tujuan Outbound
Kegiatan belajar seperti outbound bermanfaat untuk meningkatkan keberanian
dalam bertindak maupun berpendapat, selain itu pelaksanaan kegiatan outbound
tidak selamanya dilaksanakan di luar ruang, akan tetapi dapat juga di dalam ruang.
Karena tujuan dari kegiatan outbound membentuk pola pikir yang kreatif, serta
meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual dalam berinteraksi. Kegiatan ini
akan menambah pengalaman hidup seseorang menuju sebuah pendewasaan diri.
Pengalaman dalam kegiatan outbound memberikan masukan yang positif dalam
perkembangan kedewasaan seseorang. Pengalaman itu mulai dari pembentukan
kelompok. Kemudian setiap kelompok akan menghadapi bagaimana cara berkerja
sama. Bersama-sama mengambil keputusan dan keberanian untuk mengambil
risiko. Setiap kelompok akan menghadapi tantangan dalam memikul tanggung
jawab yang harus dilalui.
2.3.5 Outbound sebagai Fenomena Psikologis
Kaplan dan Talbot (1983) mengadakan penelitan pada pengaruh psikologis
terhadap pengalaman dari wilderness, mencoba untuk mengetahui bagaimana
wilderness mempengaruhi seseorang. Dari penelitian tersebut terdapat tiga
manfaat. Pertama dimulai dengan peningkatan kesadaran akan hubungan dengan
lingkungan secara fisik dan sebuah perhatian yang terus menerus meningkat
terhadap lingkungan seseorang, meskipun tanpa disertai tindakan. Kedua,
terkadang orang-orang mendapat bahwa kehidupan sehari-hari membuat mereka
susah berkonsentrasi, untuk mengalami jiwa kerja yang tidak biasanya kerja keras,
dan menjadi mudah marah karena kebisingan dan gangguan. Itu semua mungkin
merupakan gejala dari ”sebuah kepenatan yang dipakai melewati batas efektifnya”
(Kaplan dan Talbot, h. 188). Wilderness membebaskan orang-orang dari kondisi
seperti itu dengan tuntutan fungsional pada perhatian dan lingkungan yang
menarik. Ketiga, sebagai perenungan. Hal yang dimungkinkan oleh sebuah derajat
kecocokan yang tinggi ditengah pola-pola lingkungan,
kecenderungan-kecenderungan individual, dan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk
merasakan kenyamanan dalam lingkungan. Seseorang yang dihujani dengan
bermacam-macam informasi dan tuntutan, seringkali merasa tidak mampu
melakukan apa yang diinginkan lingkungannya juga yang diinginkan dirinya. Hal
tersebut dapat menimbulkan frustasi dan stress yang mendalam yang menjadikan
seseorang mampu membayangkan situsi yang dihadapinya.
2.3.6 Fasilitator outbound sebagai pekerja lepas
Dalam pelatihan outbound para pekerja memiliki jabatan dan tanggung jawab
tertentu, diantaranya sebagai Project Leader, Project Officer, Fasilitator, Tim Medis,
Show Director, Stage Manager, Guide dan Rescue (Selaras, 2008). Umumnya para
pekerja lepas banyak direkrut untuk menjadi tenaga fasilitator.
Mereka adalah orang yang membantu dan memandu sebuah tim untuk melakukan
proses dalam menjalankan perintah untuk menyelesaikan tugas tertentu atau
tujuan tertentu.
Menurut Selaras Outbound (2007) dikatakan, bahwa rincian tugas seorang
fasilitator sebagai seorang pekerja lepas outbound, adalah:
1. Mengkoordinir dan mendampimpingi setiap tim.
2. Memimpin dan memberikan penjelasan mengenai simulasi yang akan
dimainkan,
3. Ikut memberikan motivasi dan semangat pada setiap tim dalam setiap simulasi.
4. memandu jalannya metafora atau sebuah metode penganalogian sebuah
permainan dalam kegiatan sehari-hari baik ditempat kerja maupun di kehidupan
sehari-hari.
5. Memberikan penilaian pada setiap tim yang dipeganggnya.
2.4.
Kerangka Berpikir
Self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuan dan kompetensinya atas
kinerja tugas yang diberikan untuk dapat mencapai sebuah tujuan dan mengatasi
hambatan. Besarnya usaha dan hasil yang didapat bukan hanya dipengaruhi oleh
kemampuan berdasarkan pengetahuan atau wawasan semata, namun juga
dipengaruhi oleh derajat self-efficacy individu tersebut.
Dalam menghadapi tugas, individu dengan self-efficacy tinggi akan dapat terus
meyakinkan dirinya sendiri bahwa dirinya dapat melakukan tugas lebih baik
daripada individu dengan self-efficacy rendah. Individu akan menganggap
kemampuannya sebagai satu faktor yang membantu dalam menyelesaikan tugas.
Dan kegagalan yang terjadi hanya karena kurangnya usaha yag dilakukan oleh
individu yang bersangkutan.
Self-efficacy yang tinggi akan memberikan arahan kepada individu untuk
mengambil langkah dalam menghadapi permasalahan. Pada umumnya, individu
akan bertindak untuk mencapai tujuan, jika merasa akan mendapatkan hasil dari
tindakannya tersebut. (Bandura, 1999). Keyakinan yang tinggi memberikan
kejelasan akan kemampuan yang dimiliki individu, hal ini akan memberikan
keterangan bagaimana individu harus memberikan hasil yang dituntut oleh
perusahaan.
Kemampuan untuk dapat mencapai tuntutan dari perusahan menandakan bahwa
individu tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana individu
tersebut berada. Sesuai dengan pendapat Feldman (1989), bahwa penyesuaian diri
merupakan usaha individu untuk memenuhi tuntutan dan tantangan yang
diberikan oleh dunia dimana mereka berada.
Kartono (1994) menambahkan individu yang berada dalam suatu perusahaan
ataupun bagian dari tim kerja harus mempunyai usaha untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan perusahaan, baik yang meliputi penyesuaian diri dengan individu
lain sebagai bagian dari tim kerja maupun iklim lingkungan kerja itu sendiri. Hal
ini karena setiap individu berbeda, baik karakter, maupun tujuan hidupnya. Maka
diharapkan individu mampu menjelaskan dirinya dengan lingkungan dimana
individu tersebut berada. Kemampauan untuk dapat menyesuaiakan diri
dengan lingkungan dimana individu tersebut berada. Berarti individu
dapat memenuhi tuntutan dan harapan lingkungan tersebut dan hal ini
memberikan nilai positif bagi perusahaan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu dengan self-efficacy
yang tinggi akan mampu mengarahkan tindakannya untuk dapat
menyelesaikan tugas dengan baik dan memudahkan individu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kemampuan dan keterampilan
yang dimiliki individu untuk dapat menyesuaikan diri. Berdasarkan
kerangka berpikir di atas dapat digambarkan melalui bagan sebagai
[image:57.595.90.544.85.459.2]berikut :
Gambar 2.4
Bagan Kerangka Berpikir Hubungan Self-Efficacy dengan
Penyesuaian Diri
Berdasarkan
Jenis Kelamin
Berdasarkan Masa kerja freelance
Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Kekuatan (strength)
SELF-EFFICACY Luas bidang prilaku
(Generality)
Tingkat kesulitan tugas (magnitude)
1.5 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan di atas dapat di ambil hipotesis sebagai berikut :
Hipotesis Pertama
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada hubungan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance
outbound
2. Hipotesis Nihil (Hi)
Tidak ada hubungan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada
freelance outbound
Hipotesis Kedua
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada hubungan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance
outbound terhadap masa kerja
2. Hipotesis Nihil (Hi)
Tidak ada hubungan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada
freelance outbound terhadap masa kerja
Hipotesis Ketiga
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance
outbound Berdasarkan Jenis Kelamin
2. Hipotesis Nihil (Hi)
Tidak ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada
freelance outbound Berdasarkan Jenis Kelamin
Hipotesis Keempat
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance
outbound berdasarkan usia
2. Hipotesis Nihil (Hi)
Tidak ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada
freelance outbound berdasarkan usia
Hipotesis Kelima
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance
outbound berdasarkan latar belakang pendidikan
2. Hipotesis Nihil (Hi)
Tidak ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada
freelance outbound berdasarkan latar belakang pendidikan
Hipotesis Keenam
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance
outbound berdasarkan status menikah
2. Hipotesis Nihil (Hi)
Tidak ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada
freelance outbound berdasarkan status menikah
Hipotesis Ketujuh
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada perbedaan Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance outbound
berdasarkan pengalaman organisasi
2. Hipotesis Nihil (Hi)
Tidak ada perbedaan Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance
outbound berdasarkan pengalaman organisasi
Hipotesis Kedelapan
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada freelance
outbound berdasarkan masa kerja
2. Hipotesis Nihil (Hi)
Tidak ada perbedaan antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian Diri pada
freelance outbound berdasarkan masa kerja
BAB 3
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang pendekatan dan metode penelitian, variable penelitian
dan devinisi konseptual dan definisi operasional, subjek penelitian yang terdiri dari
populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, teknik pengumpulan data yang
terdiri dari metode dan instrument penelitian, teknik analisa data yang terdiri dari
reliabilitas dan validitas alat ukur.
3.1. Jenis
Penelitian
3.1.1. Pendekatan dan metode penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis pendekatan kuantitatif. Penelitian
dengan menggunakan jenis kuantitatif adalah penelitian yang bekerja dengan
angka, yang datanya berwujud bilangan (skor atau nilai, peringkat, atau frekuensi)
yang dianalisis dengan menggunakan statistik untuk menjawab pertanyaan atau
hipotesis penelitian yang sifatnya spesifik dan untuk melakukan prediksi bahwa
suatu variabel tertentu mempengaruhi variable yang lain (Alsa, 2004). Salah satu
tujuan utamanya adalah untuk menemukan seberapa banyak karakteristik yang
ada dalam populasi induk mempunyai karakteristik seperti yang terdapat pada
sampel (Alsa, 2004).
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian
korelasional untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda
dalam suatu populasi. Dan bertujuan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan
yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (sevilla, et al, 1993).
Dalam penelitian ini akan dilihat hubungan antara variabel self-efficacy dengan
penyesuaian diri.
3.1.2. Variabel penelitian dan operasional variabel
Istilah "variabel" merupakan istilah yang tidak pernah ketinggalan dalam setiap
jenis penelitian (Suharsimi Arikunto, 2002). Sedangkan variabel penelitian adalah
suatu sifat yang dapat memiliki berbagai macam nilai, menyangkut segala
sesuatu yang menjadi obyek penelitian. Menurut Kerlinger (2000) terdapat dua
jenis variabel penelitian, yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel
terikat (dependent variable). Berikut ini akan diuraikan variabel bebas dan
variabel terikat dalam penelitian ini:
a. Variabel Bebas
Menurut Ahmadi (1991) variabel bebas (independent variable) adalah kondisi
atau karakteristik yang mempengaruhi fenomena yang diobservasi atau
variabel terikat. Variabel ini juga sering disebut sebagai variabel pengaruh
karena berfungsi mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas (independent)
yang terdapat dalam penelitian ini adalah self-efficacy.
Dengan demikian definisi variabel untuk menyatakan self-efficacy yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah hasil kognitif yang berupa
keyakinan terhadap kemampuan dan kompetensinya atas kinerja tugas yang
diberikan untuk mencapai tujuan dan mengatasi hambatan.
Self-efficacy adalah skor yang diperoleh melalui pengembangan instrumen
sebanyak 25 butir, dengan skala 1 – 4 mengenai sumber self-efficacy yang
meliputi : Tingkat kesulitan tugas; Mampu menyelesaikan tugas yang
sederhana, Mampu melakukan tugas yang sulit. Luas bidang tingkah laku;
Mampu mengatasi situasi tertentu yang spesifik, Mampu melakukan kegiatan
yang beragam. Dan Tingkat kekuatan; optimis pada diri sendiri, mampu
bertahan dalam menghadapi tantangan.
b. Variabel Terikat
Variable terikat (dependent variable) yaitu kondisi atau karakteristik yang
berubah atau muncul ketika mengintroduksi pengubah atau mengga