REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM
FILM 3 NAFAS LIKAS
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
GITA FIOLANDA GRESIA 110904104
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur peneliti panjatkan
kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya peneliti ini dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Penulisan skripsi yang berjudul “Representasi Pesan Tradisi Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas” ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan
yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya merupkan hasil pembelajaran
yang peneliti terima selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sumatera Utara. Dalam
penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat saran, bimbingan dan arahan
baik dari segi moril maupun materi serta dorongan semangan dari berbagai pihak
yang sangan berguna bagi saya.
Secara khusus saya ingin mengucapkan terimakasih kepada kedua
orangtua peneliti, Ayahanda Drs. Grensi Kembaren dan Ibunda Dra. Pesta Ria
Barus serta kedua saudara Feba Kembaren dan Gerika Kembaren yang senantiasa
mendoakan, memberikan dukungan dan nasehat yang bijaksana bagi peneliti.
Ucapan terimakasih lainnya saya ingin sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, MA selaku ketua Departemen Ilmu
Komunikasi
3. Ibu Dra. Dayana, Msi selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas
segala bantuan serta dukungannya yang sangat berguna dan bermanfaat
bagi peneliti.
4. Bapak Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, nasehat dan saran luar biasa bagi peneliti
5. Kepada Ketua Penguji dan Penguji Utama yang telah memberikan
masukan untuk perbaikan skripsi ini hingga akhirnya bisa menjadi lebih
baik lagi.
6. Seluruh Dosen dan Staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing
mulai dari semester awal hingga saya menyelesaikan perkuliahan
dikampus dengan ilmu ilmu yang luar biasa
7. Sahabat-sahabat spesial peneliti Sebrina, Putri M, Mira, Deasy, Juwita,
Putri, Henny, Retika, Sera, Febe, Fey, Nika, Anke, Redno, Tommy dan
yang lainnya yang tidak bisa peneliti sebutkan satu-persatu disini.
Terimakasih telah memberikan banyak dukungan dan bantuan kepada
peneliti.
8. Kepada David Barus yang tidak pernah jenuh memberi semangat dan
motivasi kepada peneliti.
9. Teman-teman Ilmu Komunikasi berbagai stambuk terutama teman
seperjuangan stambuk 2011 yang senantiasa menjadi teman terbaik bagi
saya dan member motivasi sehingga peneliti terus semangat mengerjakan
skripsi ini hingga selesai.
Menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini,
peneliti memohon maaf sebesar-besarnya. Dan peneliti sangat menerima kritik
dan saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan dan pendorong peneliti untuk
dapat semakin maju. Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan
kita semua. Amin.
Medan, April 2015 Peneliti
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Gita Fiolanda Gresia
NIM : 110904104
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-eksklusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas. Beserta perangkat yang ada (jika
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera
Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, untuk mengelola dalam
bentuk pangkalan data (database), merawat dan memp[ublikasikan tugas akhir
saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Medan, April 2015
REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM
FILM 3 NAFAS LIKAS
Oleh:
Gita Fiolanda Gresia
Ilmu Komunikasi
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui representasi dan makna pesan tradisi budaya karo yang terkandung dalm film 3 Nafas Likas berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada film tersebut. Film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksi nilai-nilai budaya tertentu didalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : Paradigma Konstruktivis, Komunikasi Massa, Semiotika Roland Barthes, Representasi, serta Komunikasi Antar Budaya. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level donotasi dan level konotasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa film 3 nafas likas merupakan film yang mengangkat budaya karo sebagai latar budayanya. Sekitar 10 persen adegan di film 3 Nafas Likas ini menggunakan dialog dalam bahasa karo. Segmentasi film ini adalah masyarakat yang menggemari film tokoh perjuangan dan masyarakat karo itu sendiri. Pesan yang ingin disampaikan agar penonton bisa kembali mengingat dan mengenang setiap jasa pahlawan untuk dijadikan motivasi, cerminan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak melupakan budaya yang berkembang dilingkungan kita.
Kata kunci :
REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM
FILM 3 NAFAS LIKAS
by:
Gita Fiolanda Gresia
Communication Science
ABSTRACK
This research titled “Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas
Likas”. The purpose of this research was to determine the representation and meaning of cultural messages contained in the 3 Nafas Likas movie by signs that appear in that movie. The movie as a cultural representation not only construct a particular cultural values within itself, but also about how the values are produced and how that value is consumed by people who watch the movie. In this research , researchers used some relevant theory : Constructivist Paradigm, Mass Communication, Semiotics Roland Barthes, Representation, and Intercultural Communication. This research uses a semiotic analysis of the significance of Roland Barthes form two stages (two orders of signification);; denotation and connotation, which is then divided into markers, markers, donotasi level and the level of connotation. denotation and connotation, which is then divided into markers, markers, donotasi level and the level of connotation. The results of this study found that 3 Nafas Likas movie is a movie that raised karo culture as cultural background. Approximately 10 % t of the scenes in the 3 Nafas Likas movie uses Karo language dialogue. Segmentation of this movie is the public who enjoyed the movie about leaders and karonese community. The message that the audience can remember every heroes sacrifice for our country to be used as motivation, reflection in the life of the nation by not forgetting our culture that flourished in the environment
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
ABSTRAK ... vi
BAB II PARADIGMA & TEORI KOMUNIKASI 2.1Kajian Penelitian Terdahulu ... 6
2.2Paradigma Kajian ... 9
2.3.6 Film Sebagai Representasi Budaya ... 23
2.4Semiotika ... 25
2.5.1Semiotikan Roland Barthes ... 30
2.5.2Semiotika Dalam Film ... 33
2.5.3Semiotika komunikasi Visual ... 38
2.5 Komunikasi Antar Budaya ... 46
2.5.1Unsur-Unsur Budaya ... 46
2.5.2Pesan Tradisi Budaya Dalam Suatu Film ... 48
2.7 Representasi Dalam Sebuah Film ... 49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Gambaran Umum Film 3 Nafas Likas ... 56
4.2Penyajian Data ... 57
4.3Analisis Data ... 60
4.3.1Analisis Scene Pertama ... 60
4.3.2Analisis Scene Kedua ... 66
4.3.3Analisi Scene Ketiga ... 71
4.3.4Analisis Scene Keempat ... 76
4.3.5Analisis Scene Kelima ... 81
4.3.6Analisis Scene Keenam ... 86
4.3.7Analisis Scene Ketujuh ... 90
4.4 Mitos Dan Temuan Analisis Data ... 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 100
5.2Saran ... 101
DAFTAR REFERENSI ... 103
LAMPIRAN
- Biodata Peneliti
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Teknik Dalam Pengambilan Gambar ... 45
Tabel 2 Tabel Proses Representasi fiske ... 51
Tabel 3 Teknik Dalam Menyunting Gambar ... 58
Tabel 4 Ikon Scene Pertama ... 62
Tabel 5 Ikon Scene Kedua... 67
Tabel 6 Ikon Scene Ketiga ... 72
Tabel 7 Ikon Scene Keempat... 77
Tabel 8 Ikon Scene Kelima ... 83
Tabel 9 Ikon Scene Keenam ... 87
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kategori Tipe Tanda dari Pierce ... 28
Gambar 2 Peta Tanda Roland Barthes ... 32
Gambar 3 Scene Pertama ... 60
Gambar 4 Scene Kedua ... 67
Gambar 5 Scene Ketiga ... 70
Gambar 6 Scene Keempat ... 76
Gambar 7 Scene Kelima ... 81
Gambar 8 Scene Keenam ... 87
REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM
FILM 3 NAFAS LIKAS
Oleh:
Gita Fiolanda Gresia
Ilmu Komunikasi
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui representasi dan makna pesan tradisi budaya karo yang terkandung dalm film 3 Nafas Likas berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada film tersebut. Film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksi nilai-nilai budaya tertentu didalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : Paradigma Konstruktivis, Komunikasi Massa, Semiotika Roland Barthes, Representasi, serta Komunikasi Antar Budaya. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level donotasi dan level konotasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa film 3 nafas likas merupakan film yang mengangkat budaya karo sebagai latar budayanya. Sekitar 10 persen adegan di film 3 Nafas Likas ini menggunakan dialog dalam bahasa karo. Segmentasi film ini adalah masyarakat yang menggemari film tokoh perjuangan dan masyarakat karo itu sendiri. Pesan yang ingin disampaikan agar penonton bisa kembali mengingat dan mengenang setiap jasa pahlawan untuk dijadikan motivasi, cerminan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak melupakan budaya yang berkembang dilingkungan kita.
Kata kunci :
REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM
FILM 3 NAFAS LIKAS
by:
Gita Fiolanda Gresia
Communication Science
ABSTRACK
This research titled “Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas
Likas”. The purpose of this research was to determine the representation and meaning of cultural messages contained in the 3 Nafas Likas movie by signs that appear in that movie. The movie as a cultural representation not only construct a particular cultural values within itself, but also about how the values are produced and how that value is consumed by people who watch the movie. In this research , researchers used some relevant theory : Constructivist Paradigm, Mass Communication, Semiotics Roland Barthes, Representation, and Intercultural Communication. This research uses a semiotic analysis of the significance of Roland Barthes form two stages (two orders of signification);; denotation and connotation, which is then divided into markers, markers, donotasi level and the level of connotation. denotation and connotation, which is then divided into markers, markers, donotasi level and the level of connotation. The results of this study found that 3 Nafas Likas movie is a movie that raised karo culture as cultural background. Approximately 10 % t of the scenes in the 3 Nafas Likas movie uses Karo language dialogue. Segmentation of this movie is the public who enjoyed the movie about leaders and karonese community. The message that the audience can remember every heroes sacrifice for our country to be used as motivation, reflection in the life of the nation by not forgetting our culture that flourished in the environment
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Konteks Masalah
Film 3 Nafas Likas adalah sebuah film yang menggambarkan tentang kebudayaan. Film ini merupakan sebuah film Indonesia yang diproduksi oleh Oreima Films dan diarahkan oleh peraih sutradara terbaik Piala Citra 2013, Rako
Prijanto (Sang Kiai, Ungu Violet, D'Bijis), serta berdasarkan naskah garapan
Titien Watimena. Dibintangi oleh Atiqah Hasiholan, Vino G. Bastian, Tuti
Kirana, Marissa Anita, Mario Irwinsyah. Film ini mengambil lokasi di beberapa
kota di Sumatera Utara, Jakarta dan Ottawa, Kanada. 3 Nafas Likas merupakan
film yang berdasarkan kisah nyata seorang tokoh bernama Likas Tarigan, yang
kemudian lebih dikenal sebagai Likas Gintings, istri dari Let.Jend. Djamin
Gintings. Kisah dalam film ini berlatar beberapa periode waktu, mulai dari era
1930'an hingga ke tahun 2000. Juga melalui beberapa kejadian penting di
Indonesia, mulai dari perang kemerdekaan, pergolakan revolusi di era 1960'an,
hingga masa kejayaan perekonomian Indonesia. Cerita dalam film ini berlatar di
tiga lokasi; tujuh kota di Sumatera Utara, Jakarta, hingga ke Ottawa, Kanada.
Film ini bercerita tentang seorang perempuan istimewa bernama Likas
(Atiqah Hasiholan), yang menjalani kehidupan luar biasa. Likas kemudian
berhasil meraih berbagai pencapaian dan keberhasilan, karena ia memegang teguh
tiga janji yang pernah diucapkannya kepada tiga orang terpenting dalam
hidupnya. Janji-janji itulah yang selalu berada di setiap tarikan nafasnya. Nafas
yang memberikan ruh dan semangat dalam setiap tindakan, serta keputusannya.
Keputusan yang lahir atas janjinya untuk terus berjuang dan berlandaskan
kerinduannya akan cinta. Sebuah kisah yang melontarkan sebuah pertanyaan,
Untuk Siapa Kau Bernafas?
Cerita dalam film ini berlatar di daerah Karo, Sumatera Utara mulai dari
periode waktu 1930'an hingga ke masa kini, maka tim produksi Oreima Films
melakukan riset ke beberapa kota di Sumatera Utara demi mendapatkan
keotentikan budaya, tempat dan adat istiadat seperti yang ingin ditampilkan di
yang menjadi latar kisah 3 Nafas Likas berbeda dari budaya Batak dan kota
Medan, yang selama ini sering ditampilkan di beberapa produksi.
Sekitar 10 persen adegan di film 3 Nafas Likas menggunakan dialog
dalam Bahasa Karo. Meski demikian, tim produksi berusaha sesempurna mungkin
menghadirkan budaya Karo sehingga taste-nya tidak lari dari keadaan sebenanrnya. Film ini akan mengikuti perjalanan Likas beru Tarigan, mulai dari
masa revolusi di Sibolangit, hingga kesertaannya mengikuti sang suami, Djamin
Gintings, bertugas di Ottawa, Kanada. Karena rentang periode dan banyaknya
setting tempat yang digunakan, maka tim produksi menyadari akan ada perubahan rengget (cengkok) atau bahkan kosakata.
Demi memerankan karakter yang berasal dari Karo, Atiqah Hasiholan dan
Vino Bastian melewati satu proses pelatihan bahasa, meliputi: pelatihan dialek,
aksen, hingga pelafasan untuk mendapatkan keotentikan. Setting waktu yang terbentang dari era 1930'an hingga 2000, juga membuat mereka akan melalui
beberapa fase perubahan penampilan fisik.
Film 3 nafas likas merupakan salah satu film Indonesia yang memiliki
unsur kebudayaan yang kental. Representasi budaya karo yang dihadirkan dalam
film tersebut membuat film ini terlihat lebih menarik karena film 3 nafas likas
merupakan film berunsur kebudayaan karo pertama di Indonesia. Graeme Turner
mengungkapkan bahwa film tidak hanya sekedar refleksi dari realitas.
Sebaliknya”Film lebih merupakan representasi atau gambaran dari realitas, film
membentuk dan ”menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. ” (Sobur, 2006 : 127).
Pembuatan film tidak hanya terinspirasi dari sebuah budaya namun saat ini
film justru dapat menciptakan budaya baru. Littlejohn (409:2009) menjelaskan
bahwa lingkungan tiruan yang dibentuk media memberitahu apa yang harus kita
lakukan. Lingkungan ini membentuk selera, pilihan, kesukaan, dan kebutuhan
kita. Oleh sebab itu, nilai-nilai dan perilaku sebagian besar orang sangat dibatasi
oleh “realitas” yang disimulasikan dalam media. Kita mengira bahwa kebutuhan
pribadi kita terpenuhi, tetapi kebutuhan ini sebenarnya adalah kebutuhan yang
Cerita atau skenario yang ditampilkan dalam suatu film dapat
mengekspresikan kebudayaan dan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan lain.
Koentjaranigrat (2004:2) menyebutnya sebagai unsur kebudayaan universal yang
meliputi : sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian
hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Adapun wujud budaya yaitu
kebudayaan ideal, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.
Bagaimana pun hubungan yang terjalin antara film dan budaya,
representasi di sini harus dilihat sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas.
Dalam usaha ini, film tidak akan pernah disajikan sebagai realitas aslinya. Film
sebagai repesentasi budaya hanyalah sebagai second hand reality. Maksudnya, film tersebut sudah di konstruksi oleh pembuat film, sedangkan first hand reality itu merupakan realitas yang nyata dalam masyarakat. Hal tersebut disebabkan
oleh adanya “sentuhan” dan cara pandang sutradara yang turut mempengaruhi bagaimana pesan dalam sebuah film disajikan.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode analisis
semiotika Roland Barthes. Semiotika adalah suatu bidang studi yang mempelajari
makna atau arti dari suatu tanda atau lambang (Alex Sobur, 2006 : 11). Metode
analisis semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media
dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat
tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah
membawa makna tunggal (Alex Sobur, 2002 : 95).
Fokus dalam penelitian ini adalah mengkaji aspek budaya yang
disampaikan dan tercermin dalam sebuah film. Penulis bermaksud untuk meneliti
lebih jauh lagi nilai-nilai tradisi budaya karo yang terepresentasi dalam film 3
Nafas Likas, serta apa makna tersirat dari representasi tersebut. Film 3 Nafas
Likas merupakan Film pertama di Indonesia yang mengangkat tentang Budaya
Karo. Karena itu penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai representasi
tradisi budaya karo dalam film 3 Nafas Likas.
Selain itu film 3 Nafas Likas ini juga penting untuk diteliti mengingat film
sebagai media komunikasi massa mengemban sejumlah fungsi atau peran penting.
dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalm
pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. Media
telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh
gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok
secara kolektif, media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang
diburkan dengan berita dan hiburan (McQuail (1987:83), dalam Rahmat, 2004,
Metode Penelitian Komunikasi, hlm.127).
1.2Fokus masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti
merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah representasi pesan budaya karo dalam film 3 Nafas Likas?”
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui representasi budaya karo yang ditampilkan dalam
film 3 Nafas Likas.
2. Untuk mengetahui makna pesan budaya karo yang terkandung dalam
film 3 Nafas Likas.
3. Untuk mengetahui bagaimana film 3 Nafas Likas menyerap budaya
karo sebagai realitas sosial
1.4Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah
penelitian komunikasi dan mampu memberikan konstribusi positif
terhadap perkembangan ilmu mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa ilmu
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang sudah didapat selama menjadi
mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta diharapkan
mampu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan, bahan
masukan dan referensi yang bermanfaat dalam pengembangan penelitian
Ilmu Komunikasi, khususnya bagi pengembangan penelitian yang
berkaitan dengan makna pesan budaya dalam sebuah film dan
kajian-kajian komunikai antarbudaya yang ditampilkan dalam sebuah film.
3. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pemahaman bahwa
budaya dapat direpresentasikan dalam sebuah film dan memberikan
BAB II
PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI
2.1 Kajian Penelitian Terdahulu
Kajian penelitian terdahulu merupakan salah satu referensi yang diambil
peneliti. Melihat hasil karya ilmiah para peneliti terdahulu yang mana ada
dasarnya peneliti mengutip beberapa pendapat yang dibutuhkan oleh penelitian
sebagai pendukung penelitian. Tentunya dengan melihat hasil karya ilmiah yang
memiliki pembahasan serta tinjauan yang sama.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian analisis tekstual dengan
pendekatan studi semiotika. Untuk pengembangan pengetahuan, peneliti akan
terlebih dahulu menelaah penelitian mengenai semiotika. Hal ini perlu dilakukan
karena suatu teori atau model pengetahuan biasanya akan diilhami oleh teori dan
model yang sebelumnya. Selain itu, telaah pada penelitian terdahulu berguna
untuk memberikan gambaran awal mengenai kajian terkait dengan masalah dalam
penelitian ini.
Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka pada hasil terdahulu,
ditemukan beberapa penelitian tentang representasi budaya dalam film. Berikut ini
adalah penelitian mengenai representasi budaya dalam film :
Nama : Rr. Windhy Prameswari
Metode : Kualitatif Studi Semiotika Roland Barthes
Judul Penelitian : Representasi Budaya Jepang dalam Kimono Geisha
(Analisis Semiotik pada Film “Memoirs of a Geisha”)
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang 2009
Melalui penelitian terhadap film Memoirs Of A Geisha ini, peneliti
mencoba membongkar dan memahami makna sekaligus pesan dibalik tanda-tanda
budaya yang direpresentasikan. Untuk itulah metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis semiotic dengan pendekatan subyektif interpretative.
Dimana dengan metode semiotika Roland Barthes peneliti mendapatkan peluang
pemaknaan denotasi dan konotasi dari penanda dan petanda tersebut diharapkan
dapat mengungkapkan mitos dibalik fenomena sebuah film yang luput dari
perhatian .
Representasi budaya Jepang dalam film MOG dari hasil analisis data yang
telah diteliti ternyata memiliki tendensi untuk memberikan interpretasi negatif,
dimana banyak terdapat mistifikasi didalam tayangannya. Film tersebut dinilai
sebagai sebuah kritikan keras sutradara (Amerika) dalam memandang legenda
sebuah budaya (sosok geisha) yang absurb, diperlihatkan pula bahwa mizuage
dalam budaya Jepang adalah „sesuatu‟ yang bisa diperdagangkan. Sekali lagi
penonton dihadapkan pada pilihan ambigu dengan pemahaman profesinya yang
masih saja mengambang tanpa batasan yang jelas. Selain itu terdapat pula
beberapa unsur propaganda yang dengan sengaja telah dibentuk oleh sutradara
sebagai jerat ideologi kekuasaan dan kekuatan media yang mengatur apa dan
bagaimana penonton berpikir.
Dari penelitian tersebut terdapat beberapa kesimpulan yakni dalam hal ini
Amerika tidak berusaha meluruskan anggapan miring tentang fenomena geisha,
namun sebaliknya dengan sengaja telah memberikan pandangan subyektif (dari
sudut pandang Amerika) dalam melihat budaya Jepang, dengan kata lain wacana
tentang fenomena geisha hanyalah sebuah „umpan‟ bagi media provokasi Amerika. Dengan demikian sutradara telah membentuk pesan budaya yang
homogen, dimana penonton tidak mendapatkan kesempatan dalam menilai dan
memahami makna representasinya secara sadar, wacana akan geisha dinilai
sebagai suatu kesesatan pemikiran terhadap masalah pelacuran yang legal
dilakukan oleh bangsa Jepang.
Nama : Rahmi Dafiza
Judul Penelitian : Representasi Budaya Seni Rongggeng Dalam Film
Sang Penari
Program Studi : Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro 2012
Dalam penelitian ini mengkaji tentang kebudayaan berupa tarian ronggeng
yang hampir hilang setelah kejadian keracunan massal tempe bongkrek di
tersebut meninggal yang diperankan oleh tokoh utama Prisia Nasution (Srintil).
Menurut hasil analisis peneliti dalam film ini diperoleh tanda kebudayaan yang
ditampilkan dalam bentuk adegan tari-tarian, kehidupan budayanya serta lirik
lagunya. Pada penelitian ini yang menggunakan delapan analisis semiotik Roland
Barthes dalam menganalisis tanda.
Nama : Edwina Ayu Dianingtyas
Metode yang digunakan : Kualitatif Studi Semiotika
Judul Penelitian : Representasi Perempuan Jawa
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Diponogoro 2010
Mengetahui representasi perempuan Jawa dan untuk menjelaskan
gagasan-gagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film R.A Kartini yang berkaitan
dengan persoalan Ideologi. Penelitian Edwina Ayu Dianingtyas lebih condong
meneliti ketidakadilan gender dalam budaya Jawa yang identic dengan ideology
patriaki. Ideologi patriaki dalam film R.A Kartini ditampilkan melalui budaya
poligami, penggunaan bahasa dalam kebudayaan Jawa.
Nama : PARAMESWARI PRIMADITA
Metode : Semiotika Roland Barthes
Judul Penelitian : REPRESENTASI BUDAYA MISTIS
KUNTILANAK DALAM FILM KUNTILANAK(
Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis
Yang Ada Dalam Film Kuntilanak )
Penelitian ini menaruh perhatian pada masalah budaya mistis Kuntilanak
yang ada dalam film “Kuntilanak ( 2006 )“ Budaya mistis ini adalah Mistis Non -Keagamaan yang masih sering ditemukan dalam lingkup masyarakat. Hal-hal
berbau mistis non-keagamaan yang terdapat didalam film ini antara lain;
Pesugihan, Kuntilanak, pemakai durma Jawa yang memiliki kekuatan mistis,
unsur kesuraman dan ketakutan. penafsiran terhadap mimpimimpi menurut
penafsiran Jawa. Metode dalam penelitian ini bersifat analisis semiotic, yaitu
penelitian kualitatif dengan cara merepresentasikan tanda-tanda di film
Semiotik film adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada
film ini menggunakan teori Roland Barthes mengenai mitos dan kerangka analisis
semiotik pada film menurut John Fiske. Tehnik pengumpulan data memakai
tehnik dokumentasi dan pengamatan secara langsung terhadap beberapa scene
dalam film.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa memang benar adanya
praktekpraktek, serta pemikiran dan ideology Mistis Non-Keagamaan yang
berkembang dalam masyarakat kita. Dimana praktek-praktek dan ideology
tersebut justru meng-arahkan individu pada perbuatan-perbuatan yang jauh
melenceng dari norma ke-Tuhanan, serta kemasyrakatan dan hati nurani yang ada.
Kesimpulan yang dihasilkan dari film ini masih banyaknya budaya mistisme yang
berkembang di penjuru Nusantara dan bahwa mistisme itu amat mempengaruhi
pola pikir masyarakat kita.
2.2Paradigma Konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi
yang dikembangkan tahun1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya.
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interprestasi dan
bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya.
Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang
kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalu bagaimana cara seseorang
melihat sesuatu (Morissan, 2009:107).
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan
subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak
lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan
dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru
menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta
hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol
terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu mengintrepretasikan
dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak
terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang
ada sebelumnya, yaiyu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal construct) oleh George Kelly. Iya menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut
kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya (Littlejohn
2009: 180).
Paradigma konstrukivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu
realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial
bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dama perspektif
interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam 3 jenis , yaitu interaksi simbolik,
fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial
merupakan kritik terhadapa paradigm positivis. Menurut paradigm
konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum
positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog
interpretative. Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial
dan definisi sosial (Eriyanto 2004:13)
Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai
perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena
manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial
mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut
Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak
hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang
yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu
akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.
Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan
perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan
bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap
stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga
memantapkan realitas itu secara objektif (Weber, 2006:56).
Paradigma Konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang
teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teori-teoritisi aliran konstruktivis. Littlejohn
mengatakan bahwa Paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas
bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi
dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 27).
Paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma
konstruktivis, meski sejumlah penelitian lainnya menggunakan paradigma kritis
namun paradigma konstruktivis lebih relevan jika digunakan untuk melihat
realitas signifikannya objek yang diteliti,dari paradigma konstruktivis dapat
dijelaskan melalui empat dimensi seperti diutarakan oleh (Hidayat dalam
Wibowo, 2010: 28) sebagai berikut:
1. Ontologis: relativism, relaitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh
pelaku sosial.
2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan
yang diteliti.
3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari
suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjebatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih
kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku
sosial yang diteliti.
4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan
responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode
2.3. Teori Film
2.3.1 Perkembangan Teori
Rudolph Arnheim, salah satu tokoh pemikir, mengacu kepada adanya
potensi perubahan dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan
framing, sudut kamera, dan pencahayaan. Maka, proses pengeditan menjadi akar
dari teori ini.
Lev Kuleshov melakukan eksperimen dengan mengedit rekaman
bersama-sama dengan cara yang berbeda untuk menentukan dampak pada penonton. Hal
itu menunjukkan bahwa penonton menjadi penentu hubungan dari bidikan satu ke
bidikan lainnya.
Sergei Eisenstein berpendapat bahwa potensi tertinggi dalam pengeditan
terletak pada tabrakan gambar yang berbeda untuk menghasilkan ide-ide baru.
André Bazin dan Siegfried Kracauer menjelaskan bahwa film tidak
memproduksi dunia yang telah dikenal oleh penonton, tetapi mengungkapkan apa
yang tidak diketahui sebelumnya oleh penonton. Dalam hal pengeditan, teori
realis juga tidak sepaham dengan teori formatif. Bazin percaya bahwa jika sebuah
film harus diedit, maka harus mengalami pengeditan yang berkelanjutan, di mana
tindakan pengeditan dibagi persusunannya, lalu kemudian disusun kembali. Oleh
karena itu, Bazin menyukai pendekatan sinematik yang mengambil take panjang,
yaitu membidik seluruh adegan dalam satu bidikan yang terus-menerus dengan
fokus yang nampak sama. Bazin menekankan bahwa para pembuat film harus
bebas saat membuat film dengan melakukan berbagai pendekatan sinematik,
bukan menenakankan pengeditan.
Setelah itu, banyak teori bermunculan, teori ini dikembangkan dari ilmu
sosial, misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis
oleh Jacques Lacan. Teori ini juga harus dipahami dalam konteks sejarah, bahwa
film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya tentang hak-hak sipil, hak
perempuan, dan gerakan antiperang pada zaman tersebut. Ide-ide tradisional
tentang gender dan seksualitas juga menjadi tantangan dalam film.
Hingga muncul teori baru, Teori Marxis dan Teori Film Feminis.
Marxisme merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan
pada saat itu. Marxisme mendukung untuk mengakhiri penindasan kaum miskin
dan kelas pekerja, sementara feminisme mendukung untuk mengakhiri penindasan
perempuan. Kedua perspektif tersebut digunakan dalam berbagai kritik pada film.
Teori ini dianggap dapat mendorong kelanjutan ideologi penindasan dalam
struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap sebagai koreksi dalam
perfilman.
Setelahnya, Teori Film sekali lagi berubah arah. Teori baru menolak
asumsi dasar dari teori materialis, namun secara implisit mengakui kekakuan
sistematis yang mereka bawa ke studi tentang film. Teori baru ini dicontohkan
pada karya Gilles Deleuze. Film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus
dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. Deleuze
berpendapat bahwa film sebagai gambar dan suara yang kompleks.
1930-an, Teori Formatif, yaitu:
Film bukan sekedar rekaman gambar, karena adanya potensi perubahan
dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan framing, sudut
kamera, dan pencahayaan, maka, proses pengeditan menjadi akar dari teori ini.
meskipun teori film dari masa pergantian abad melalui tahun 1930-an
berbeda-beda sesuai fokus dari tokoh pemikir masing-masing, tetapi mereka menekankan
pada perubahan sebuah film dikarenakan alat-alat yang ada.
1945-an (Setelah Perang Dunia II), Teori Realis, yaitu:
Kualitas film terletak pada kemampuannya menangkap hal-hal yang nyata
dan realis film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh penonton, tetapi
mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh penonton. pembuat
film harus bebas saat membuat film dengan melakukan berbagai pendekatan
sinematik, bukan menenakankan pengeditan.
1960-an, Teori Materialis, yaitu:
Tindakan dan kesadaran manusia dibentuk oleh materi sebagai kekuatan
pokok yang ada di luar kendali individu. Teori dikembangkan dari ilmu sosial,
misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis oleh
Jacques Lacan. film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya tentang
Setelah 1970-an, Teori Marxis dan Teori Film Feminis, marxisme
merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan tantangan
patriarki, yang sama-sama menjadi ideologi dominan dalam budaya pada saat itu
Teori ini dianggap mendorong kelanjutan ideologi penindasan dalam
struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap sebagai koreksi dalam
perfilman. 1980-an, Teori Film kembali berubah arah, yaitu:
Menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun mengakui kekakuan
sistematis film. film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus dipecahkan
untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. film sebagai gambar
dan suara yang kompleks.
2.3.2 Pengertian Film
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, film berarti (1) selaput tipis yang
dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau
untuk tempat gambaran positif (yang akan dimainkan dalam bioskop), (2) lakon
(cerita) gambar hidup (KBBI, 2002: 316). Film adalah gambar hidup dari
seonggok seluloid dan dipertontonkan melalui proyektor. Di mana sekarang
produksi film tidak hanya menggunakan pita seluloid (proses kimia) tetapi
memanfaatkan tegnologi video (proses elektonik) namun keduanya tetap sama
yaitu merupakan gambar hidup (Sumarno, 1994: 4). Film merupakan gambar
bergerak yakni bentuk dominan dari komunikasimassa visual dibelahan dunia ini.
Kemampuaan film yang melukiskan gambar hidup dan suara menjadikan daya
tarik tersendiri.
Film atau gambar hidup, bioskop dalam bahasa inggris disebut Moving Pictures, moving pictures or cinema, yaitu serentetan gambar hasil proyeksi pada film diatas layar, ialah gambar foto benda atau makluk (obyek) pada taraf-taraf
gerak yang diproyeksikan sedemikian cepatnya, sehingga menurut penangkapan
mata merupakan rentetan gerak yang tidak terputus. Pemotretan berentet ini
dilakukan tahun 1870 dan diperbaiki oleh penemuan-penemuan Thomas A.
Edision dan kakak adik Lumiere. Film bioskop ini adalah jenis film teatrikal
(threatical film) (Kusnawan, Et,al: 99). Isi dari film akan dikembangkan kalau
maksud dari film tersebut di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian film akan
sangat diterima di dalam kehidupan manusia.
Film adalah media komunikasi massa yang kedua muncul di dunia setelah
surat kabar, mempunyai masa pertumbuhan pada akhir abad ke-19. Pada awal
perkembangannya, film tidak seperti surat kabar kabar yang mengalami
unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan
surat kabar pada masa pertumbuhan pada abad ke-18 dan pemulaan abad ke-19
(Sobur, 2004: 126).
Meskipun dunia perfilman mengalami kemunduran, namun menurut Garin
Nugroho, sinema Amerika pasca 1970-an mampu mengalami kebangkitan
kembali, yang justru dibangkitkan oleh generasi televisi.
Seiring dengan kebangkitan film, maka muncul film-film yang
mengumbar seks, kriminal dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan
berbagai studi komunikasi massa. Sayangnya, perkembangan awal studi
komunikasi beberapa dekada, paradigma yang mendominasi dampak media.
Selama beberapa dekade, paradikma yang mendominasi penelitian komunikasi
tidak jauh beranjak dari “model komunikasi mekanistik”, yang pertama kali
diasumsikan oleh Shanon dan Weaver. Komunikasi selalu diasumsikan oleh
paradikma ini sebagai entitas pasif dalam menerima pengaruh dari media massa.
Film merupakan gambar bergerak yakni bentuk dominan dari komunikasi
massa visual dibelahan dunia. Film atau motion pictures ditemukan dari hasil
pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali
diperkenalkan kepada publik Amerika Serikat adalah The Life Of An American
Fireman dan film The Gread Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter
pada tahun1903 (Ardianto, 2004: 134). Tetapi The Gread Train Robbery yang
masa putarannya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita pertama, karena
telah menggambarkan situasi secara ekspresif, serta peletak dasar teknik editing
yang baik.
Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam
sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature,
lahir pula bintang film serta pusat perfilman yang terkenal sebagai Hollywood.
Griffith-lah yang teGriffith-lah membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film
The Adventure Of Dolly (1908) dan puncaknya film The Birith of a Nation (1915)
serta film Intolerance (1916). Griffith mempelopori gaya berakting yang lebih
alamiah, organisasi berita yang baik dan yang paling utama mengangkat film
sebagai media yang memiliki karakteristik unik, dengan gerakan-gerakan kamera
yang dinamis, sudut pengambilan yang baik, dan teknik editing yang baik pula
(Ardianto, 2004: 135).
Pada periode ini pula nama Mack Senneet dengan Keystone Company-nya
yang telah membuat film comedi bisu dengan bintang legendaris Charlie Caplin
apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di
Broadway Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun dalam
keadaan belum sempurna sebagaimana yang dicita-citakan. Menurut perfilman di
Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul Lely Van Java yang diproduksi di
Bandung pada tahun 1926 oleh seseorang yang bernama David. Film ini disusun
oleh Eulis Atjih produksi Kruenger Corporation pada tahun 1927/1928. Sampai
pada tahun1930 film yang disajikan masih merupakan film bisu, dan yang
mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan Cina (Effendy, 1981: 201).
Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh
Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah penulis Indonesi Saerun. Pada saat
perang Asia Timur Raya dipenghujung tahun 1941, perushaan perfilman yang
diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan kepada pemerintah
Jepang, diantaranya adalah NV. Muliti Film yang diubah nama menjadi Nippon
Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film Feature dan film Dokumenter.
Jepang telah memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun
tatkala Bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekannya, maka pada
tanggal 6 Oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi kepada
Pemerintah Republik Indonesia.
Effendy, pada Komala dalam Karlinah, dkk. (1999) menyebutkan bahwa
serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerinta militer Jepang kepada
R.M Soetarto yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6
Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia atau BFI. Bersama dengan
bergabung dengan perusahaan milik negara, yang pada akhirnya berganti nama
menjadi Perusahaan Film Nasional.
2.3.3. Jenis-jenis Film
Jenis-jenis film pada dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut:
1.Film cerita
Film cerita (story film) adalah jenis yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan
film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat dalam film
cerita biasanya berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang
dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari segi alur ceritanya maupun
dari segi gambar artistiknya. Misalnya film Janur Kuning, Serangan Umum 1
Maret dan lain sebagainya.
2.Film berita
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada
publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah
penting dan menarik. Jadi berita juga harus penting atau menarik atau penting
sekaligus menarik. Film beritanya bisu, pembaca berita yang membicarakan
narasinya. Bagi peristiwa-peristiwa tertentu, peran, kerusuhan, pemberontakan
dan lain sebagainya film berita yang dihasilkan kurang baik. Dalam hal ini
terpenting adalah peristiwanya terekam secara utuh.
3. Film dokumenter
Film dokumenter (documentary film) didevinisikan oleh Robert Flaherty sebagaimana yang dikutip oleh Andianto dan Erdinaya (2004: 137-139) adalah
karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatmen of actuality). Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyatan, maka film dokumenter
merupakan hasil interprestasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.
Misalnya, seorang sutradara ingin membuat film dokumenter mengenai para
pembatik di kota Pekalongan, maka ia akan membuat naskah yang ceritanya
bersumber pada kegiatan para pembatik seharihari dan sedikit merekayasanya
4. Film kartun
Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Dapat
dipastikan, kita semua mengenal tokoh Donal Bebek (Donald Duck), Putri Salju
(Snow White), Miki Mouse (Mickey Mouse) yang diciptakan oleh seniman
Amerika Serikat Walt Disney (Andiyanto dan Erdinaya, 2004: 139-140).
2.3.4. Unsur-unsur Film
1.Sutradara
Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang
harus tampak oleh penonton. Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif,
baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Selain mengatur laku
didepan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga mengontrol
posisi kamera beserta gerak kamera, suara dan pencahayaan. Disamping itu
sutradara menjadi penyumbang hasil akhir sebuah film.
2. Skenario
Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai
landasan bagi penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman, skenario
dinamakan jugan “shooting script” lengkap dengan dialog-dialog dan istilah teknis sebagai instruksi kepada kerabat kerja seperti juru kamera, juru suara, juru
cahaya, dan lain-lain (Effendi, 1989: 321). Skenario film disebut juga screen atau
script yang diibaratkan seperti cetak biru insinyur atau kerangka bagi tubuh
manusia.
3. Penata Fotografi
Penata fotografi atau juru kamera adalah tangan kanan dari sutradara
dalam kerja lapangan. Ia bekerja sama untuk menentukan jenis-jenis shot,
termasuk menentukan jenis-jenis lensa. Selain itu, juga menentukan diafragma
kamera dan mengatur lampu-lampu untuk mendapatkan efek pencahayaan yang
maksimal. Selain itu juga juru kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam
pelaksanaan tugasnmya, seorang juru kamera juga membuat komposisi-komposisi
4.Penata artistik
Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi
cerita film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang dimaksud setting adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita film. Oleh karena itu,
sumbangan yang dapat diberikan seorang penata artistik kepada produksi film
sangatlah penting. Seorang penata artistik boleh memiliki kecendrungan, namun
bukan gaya yang harus tunduk pada tuntunan cerita atau pengarahan sutradara.
Seorang artistik bertugas sebagai penterjemah konsep visual sutradara kepada
pengertian-pengertian visual dan segala hal yang mengelilingi aksi di depan
kamera, dilatar depan bagaimana di latar belakang.
5. Penata Suara
Sebagai media audio visual, pengembangan film sama sekali tidak boleh
hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan komponen aspek
kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya perkembangan teknologi
perekaman suara untuk film tidak bisa diabaikan. Tata suara dikerjakan di studio
suara. Tenaga ahlinya disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh
tenaga-tenaga pendamping, seperti perekaman suara di studio maupun di lapangan.
Perpaduan unsur-unsur suara ini nantinya akan menjadi jalur suara yang letaknya
bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang nantinya akan
dipersiapkan diputar di gedunggedung bioskop.
6. Penata musik
Musik sejak dahulu sangatlah penting untuk mengiringi sebuah film.
Dalam era film bisu, sudah ada usaha-usaha untuk mempertunjukan film dengan
iringan musik hidup. Para pemusik bersiap di dekat layar dan akan memainkan
musik pada adeganadegan tertentu. Perfilman Indonesia memiliki penata musik
yang handal, yaitu Idris Sardi. Beliu berulangkalin meraih piala citra untuk tata
musik terbaik. Tugas terpenting seorang penata musik adalah untuk menata
paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh
7. Pemeran
Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam
sebuah cerita film. Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas dari
tuntunan sutradara dan naskah scenario.
8. Penyuting
Penyuting disebut juga editor yaitu orang yang bertugas menyusun hasil
shoting sehingga membentuk rangkaian cerita sesuai konsep yang diinstruksikan
seorang sutradara dalam sebuah film
9. Editor
Editor bertugas menysun hasil syuting hingga membentuk rangkaian
cerita. Seorang editor berkerja dibawah pengawasan seorang sutradara tanpa
mematikan kreatifitas, sebab tugas dari seorang editor berdasarkan konsepsi.
Editor akan menyusun segala materi di meja editing menjadi pemotongan kasar
(rought cut) dan pemotongan halus (tine cut). Hasil pemotongan halus disempurnakan lagi dan akhirnya ditransfer bersama suara dengan efek-efek
transisi optik untuk menunjukkan waktu maupun adegan.
Dilihat dari segi teknis, unsur-unsur film terdiri dari:
1. Audio (Dialog dan Sound Effect)
a. Dialog berisikan kata-kata, dialog dapat digunakan untuk menjelaskan
perihal tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta.
b. Sound Effect adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatar belakangi sebuah adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah
gambar untuk membentuk nilai dramatik dan dramatika sebuah adegan
kelihatan mempunyai kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan
kekuasaannya.
3) Straight Angle, yaitu sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya ketinggalan kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara
yang gambarnya tetap. Mengesankan situasi yang normal, bila
mengambil Straight Angle secara zoom in menggambarkan ekspresi
wajah objek atau pemain dalam memainkan karakternya, sedangkan
pengambilan Straight Angle secara zoom out menggambarkan secara
menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari objek atau pemain.
b. Pencahayaan/Lighting adalah tata lampu dalam film. Ada 2 macam pencahayaan yang dipake dalam suatu produksi film yaitu Natural
Light (Matahari) dan Artifical Light (Buatan). Jenis pencahayaan
antara lain:
1) Front Lighting/cahaya depan yaitu pencahayaan yang merata dan tampak natural atau alami.
2) Side Lighting/cahaya samping Yaitu pencahayaan subjek lebih terlihat
dinamis, biasanya banyak dipake untuk menonjolkan suatu benda
karakter seseorang.
3) Back Lighting/cahaya belakang Yaitu pencahayaan yang menghasilkan
bayangan dan dimensi.
4) Mix Lighting/cahaya campuran Pencahayaan yang merupakan
gabungan dari gabungan ketiga pencahayaan sebelumnya, efek yang
dihasilkan lebih merata dan meliputi setting yang mengelilingi objek.
c. Teknik Pengambilan Gambar Pengambilan gambar atau perlakuan
kamera juga merupakan salah satu hal yang penting dalam proses
penciptaan visualisasi simbolik yang terdapat dalam film. Proses
tersebut akan dapat mempengaruhi hasil gambar yang diinginkan,
apakah ingin menampilkan karakter tokoh, ekspresi wajah dan setting
yang ada dalam sebuah film.
d. Setting Setting adalah tempat atau lokasi untuk mengambil sebuah
2.3.5. Tujuan dan Pengaruh Film
Film mempunyai tujuan, selain dapat memasukkan pesanpesan juga
mengandung unsur hiburan, informasi dan pendidikan. Film sebagai media
komunikasi mempuyai tujuan transmission of values (penyebaran nilai-nilai).
Tujuan ini disebut dengan sosialisasi. Sosialisasi ini mengacu pada cara, dimana
individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok.
Film memberikan dapat memberikan pengaruh yang sangat besar sekali
pada jiwa manusia. Dalam suatu proses menonton sebuah film, terjadi suatu gejala
yang disebut oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologi (Kusnawan, et al,
2004: 93). Alasan khusus mengapa seseorang lebih suka menonton film dari pada
membaca buku, karena di dalam film terdapat unsur usaha manusia untuk mencari
hiburan dan meluangkan waktu karena film bersifat hidup dan memikat. Alasan
utama seseorang menonton film yaitu untuk memberi nilai-nilai yang
memperkaya batin. Setelah seseorang menyaksikan film, maka seseorang tersebut
akan memanfaatkan dan mengembangkan suatu realitas rekaan sebagai bandingan
terhadap realitas kehidupan nyata yang dihadapi. Jadi film dapat dipakai penonton
untuk melihat hal-hal di dunia ini dengan pemahaman baru (Sumarno, 1996: 22).
Film sebagai salah satu media komunikasi massa yang memiliki kapasitas
untuk memuat pesan yang sama secara serempak dan mempnyai sasaran yang
beragam dari agama, etnis, status, umur, dan tempat tinggal dapat memainkan
peranan sebagai saluran penarik untuk pesan-pesan tertentu dari dan untuk
manusia. Dengan melihat film kita dapat memperoleh informasi dan gambar
tentang realitas tertentu, realitas yang sudah diseleksi (Asep S. Muhtadi dan Sri
Handayani, 2000: 95).
Film disadari maupun tidak disadari dapat mengubah pola kehidupan
seseorang. Terkadang ada seseorang yang ingin meniru gaya hidup dari meniru
kehidupan yang dikisahkan dalam sebuah film. Terkadang seseorang meniru atau
menyamakan seluruh pribadinya dengan salah seorang pemeran film. Pengaruh
sebuah film diantaranya:
1. Pesan yang terdapat dalam adegan-adegan film akan membekas dalam
jiwa penonton, gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai
2. Pesan film dengan adegan-adegan penuh kekerasan, kejahatan, dan
pornografi, apabila ditonton dengan jumlah banyak akan mengundang
keprihatinan bayak pihak. Sajian tersebut memberikan dampak buruk
dan kecemasan bagi gaya hidup manusia modern. Kecemasan tersebut
berasal dari keyakinan bahwa isi film seperti itu akan mempengaruhi
efek moral, psikologi, dan sosial yang sangat merugikan, khususnya
pada generasi muda dan akan menimbulkan anti sosial.
3. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan film yaitu imitasi atau peniruan.
Peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya
wajar dan pantas untuk dilakukan setiap orang. Jika film yang isinya
tidak sesuai dengan norma budaya bangsa (seperti seks bebas,
penggunaan narkoba) dikonsumsi oleh penonton remaja, maka remaja
generasi muda Indonesia bisa rusak (Aep Kusnawan, 2004, 95).
2.3.6 Film sebagai Representasi Budaya
Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik
atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa
di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid.
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat
melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa
kita sebut dengan kamera.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua
pengertian. Pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang
digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Kedua, film
diartikan sebagai lakon atau gambar hidup.
Film sebagai media komunikasi merupakan sebuah kombinasi antara
usaha penyampaian pesan malalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi
mengandung suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada khalayak
film.
Film merupakan media komunikasi massa memiliki beberapa fungsi
komunikasi (Effendy,212:1981) sebagai berikut :
a. Hiburan
Fungsi film sebagai hiburan bermaksud menghibur sasaran utamanya
dengan isi cerita film, geraknya, keindahannya, suara, dan sebagainya agar
penonton mendapat kepuasan psikologis. Film-film seperti inilah yang banyak
dihadirkan di bioskop-bioskop, maupun dalam format video compact disc (VCD) dan digital versatile disc (DVD). Film jenis inilah yang menjadi objek dagang para produser dan dunia industri film.
b. Pendidikan
Film pendidikan atau sering disebut film ilmiah adalah film yang berisi
uraian atau penjelasan ilmiah tentang suatu objek untuk mendapatkan
pengetahuan dengan taraf yang lebih tentang subjek tersebut.
c. Penerangan
Film penerangan adalah film yang memberikan penjelasan kepada
penonton tentang suatu hal atau masalah, agar penonton menjadi mengerti atau
paham tentang hal tersebut dan dapat melaksanakannya.
d. Propoganda
Film propaganda adalah film dengan sasaran utama untuk mempengaruhi
penonton, agar penonton merima atau menolak sesuatu ide atau barang, membuat
senang atau tidak senang kepada sesuatu , sesuai dengan keinginan si
propogandis. Film propaganda biasanya digunakan untuk kampanye politik atau
promosi barang dagangan.
Di dalam sebuah film terkandung pesan-pesan yang ingin disampaikan
oleh sutradara. Penonton harus bisa menyaring pesan dan informasi yang
terkandung dalam film tersebut. Ini menyadarkan kita bahwa apa yang disajikan
film tidak semuanya memiliki muatan positif. Merupakan tantangan tersendiri
bagi masyarakat untuk lebih cerdas memilih tontonan yang berkualitas agar tidak
Budaya dapat diciptakan dan dipelihara melalui komunikasi, termasuk
komunikasi massa. Salah satu media massa yang berperan dalam pembelajaran
budaya yaitu film. Film dapat merepresentasikan suatu budaya tertentu. Film juga
digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana
budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Melalui film sebenarnya
kita juga bisa banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana
kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan
kita menjadi paham perbedaan dalam budaya masyarakat terutama melalui film.
Representasi budaya merujuk kepada konstuksi segala bentuk media
(terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti
masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa
berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar
bergerak atau film. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas
budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah film, tapi
juga dikonstruksikan di dalam proses produksi oleh masyakarat yang
mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan dalam film tersebut.
Dalam film sebagai representasi budaya, film tidak hanya
mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga
tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi
oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses
pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai
representasi budaya.
2.4 Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau seme yang berarti „penafsir tanda‟. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi.
Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili
objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri
Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah „tanda‟ yang
diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya
sendiri. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes,
1988:179).
Semiotika didefenisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam defenisi Saussure adalah prinsip bahwa
semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang
berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara
kolektif (Piliang, 2012:300). Saussure dengan model dyadic, menyatakan bahwa tanda terdiri atas : signifier (signifiant) yaitu forma atau citra tanda tersebut, atau dengan kata lain wujud fisik dari tanda; dan signified (signifie) yaitu konsep yang direpresentasikan atau konsep mental (Birowo, 2004:45). Tanda sebagai kesatuan
yang tak dapat dipisahkan dari bidang penanda (signifier) dan bidang petanda (signified). Suatu penanda tanpa petanda tidak memiliki arti apa-apa.
Charles Sanders Pierce, pendiri semiotika modern, mendefenisikan
semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda (simbol), objek dan makna. Tanda
mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang menginterpretasikannya (interpreter). Pierce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek dengan interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda dan referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan
objek-objek yang menyerupainya dimana keberadaannya memiliki hubungan
sebab-akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan