#$%&'%
$( )*)+ ,-*)+ ( .(
(
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PERCERAIAN DI LUAR PROSEDUR PERADILAN AGAMA
DI KECAMATAN SODONGHILIR, TASIKMALAYA DAN AKIBAT HUKUMNYA
telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Desember 2008. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
pada Program Studi Konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 10 Desember 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (………...)
NIP. 150 169 102
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………...)
NIP. 150 285 972
3. Pembimbing : Dr. Yayan Sofyan, M.Ag (………...)
NIP. 150 277 911
4. Penguji I : Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (………...)
NIP. 150 210 422
5. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (………...)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat dan hidayahnya bagi
seluruh alam semesta, serta atas bimbingan rohani sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat yang di ajukan guna memperoleh
gelar sarjana Hukum Islam Jurusan Al-ahwal Asyakhsiyyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada panutan Umat Islam,
Nabi Muhammad SAW beserta Keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga
akhir zaman.
Skripsi ini juga terwujud tidak terlepas atas peran, bimbingan dan bantuan
banyak pihak dengan penuh ketulusan memberikan inspirasi, dukungan semangat
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas dengan
ganjaran yang setimpal.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan penghargaan yang setinggi-
tingginya dan rasa terima kasih kepada:
1. Prof.Dr.Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Drs.A.Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Ahwal Syakhsiyyah dan Bapak
Kamarusdiana, S.Ag., MH., Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas
3. Dr. Yayan Sofyan M.Ag, pembimbing penulis yang telah banyak memberikan kritik
dan saran sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik.
4. Bapak. Drs. Masnun, SH, Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya, dan Bapak Drs.
Ana Suryana, Kepala Kantor Urusan Agama Sodonghilir yang meluangkan
waktunya untuk bersedia melayani penulis dengan senang hati untuk diwawancarai
dengan suasana santai dan terbuka.
5. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis.
6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda Dayat dan Ibunda Kiyah, dengan
ketulusan dan kasih sayang telah mendidik penulis dengan menanamkan nilai-nilai
agama dan moral dan senantiasa berdoa untuk keberhasilan penulis. Kakak-kakak
penulis (A. Diding & Teh Enung, A Kukun & Teh Susi, A Yana) Tak lupa Mang
Uud & Bi Aroh. yang telah banyak memberikan dorongan Moril maupun Materil
untuk kesuksesan penulis.
8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, pak Mahmudin Spd.I, Afaz SHI, Isnur SHI, Helmy
Karomah SHI. Kang Uef SHI. MSi. Akmal Salim Ruhana SHI. Special Ade Liawati
CS. Meraka adalah orang-orang yang selalu memberikan keceriaan, Masukan
kepada penulis di saat penulis dilanda kesusahan kesedihan dll.
9. Teman-teman penulis di HIMALAYA Jakarta, Abdul Azis. Tatang Podonghol. Dan
tak lupa Kawan-kawan di IPPC yang tidak pernah bosan mengingatkan penulis, dan
seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Nuhun atas segala dukungan
10. Teman-teman seperjuangan di HMI, sahabat-sahabat di PMII, IMM. Terima kasi
atas pergaulannya, persahabatan dan pengertiannya.
Demikianlah penulis berharap, dengan adanya skripsi ini, semoga dapat
dijadikan bahan masukan bagi para akademisi, peneliti, dan mahasiswa yang berminat
melakukan penelitian lebih lanjut.
Sebagai manusia penulis merasa banyak sekali kekurangan dan kelemahan
dalam menguraikan skripsi ini, karena itu penulis mengharapkan saran dari pembaca
dengan harapan tulisan ini menjadi lebih baik.
Ciputat, Desember 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN ... 11
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ... 11
B. Macam-macam Perceraian dan Hukum Menjatuhkannya ... 17
C. Tata Cara Perceraian Menurut Undang-undang ... 27
D. Alasan yang Membolehkan Perceraian Menurut Undang-undang dan Akibat dari Perceraian ... 39
BAB III WILAYAH HUKUM PENGADILAN AGAMA TASIKMALAYA ... 44
A. Dasar Hukum dan Sejarah ... 44
B. Kondisi Umum Masyarakat Kecamatan Sodonghilir ... 49
BAB IV PERCERAIAN DI KECAMATAN SODONGHILIR ... 55
A. Hukum Perceraian di Luar Pengadilan ... 55
B. Perceraian di Luar Pengadilan ... 56
C. Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Luar Pengadilan Agama 59 D. Akibat Perceraian di Luar Prosedur Pengadilan Agama ... 64
E. Analisa Penulis ... 69
BAB V PENUTUP ... 72
A. Kesimpulan ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 75
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 78
A. Lampiran 1: Hasil Wawancara 1. Wawancara dengan Bapak Drs. Masnun, SH., Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya ... 78
2. Wawancara dengan Bapak Drs. Ana Suryana, Kepala KUA Kecamatan Sodonghilir ... 80
3. Wawancara dengan Bapak K. Abdul Majid, Anggota MUI Kecamatan Sodonghilir ... 82
4. Wawancara dengan Ibu Yeti ... 83
5. Wawancara dengan Ibu Evi ... 85
6. Wawancara dengan Ibu Erna ... 87
7. Wawancara dengan Ibu Andang ... 89
8. Wawancara dengan Ibu Mula ... 91
9. Wawancara dengan Bapak Suryana ... 93
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak pernah terlepas dengan
kepentingan manusia lainnya. Kepentingan yang saling berseberangan tersebut
tentunya akan menimbulkan permasalahan jika tidak diikat dalam sebuah hukum
yang harus ditaati bersama. Karena dengan sebuah hukum yang mengatur antara
kepentingan tersebut diharapkan akan tercipta sebuah ketertiban sosial, sehingga
memberikan kesejahteraan bagi sebanyak-banyaknya manusia. Demi kepentingan di
atas, maka terciptalah sebuah hukum yang mengatur setiap kegiatan manusia.
Sampai pada masalah yang paling urgen dalam hal ini adalah masalah pernikahan.
Rupanya pernikahan ini menuntut untuk di bentuknya hukum yang mengikutinya.
Seperti hubungan antara suami dan isteri, ayah dan anak, ataupun ibu dan anak
Namun demikian, lagi-lagi manusia bukan makhluk yang terbebas dari
kesalahan. Meskipun telah diatur dengan hukum sedemikian rupa masih saja kita
jumpai permasalahan-permasalahan antara manusia yang disebabkan oleh beberapa
faktor. Hal demikian bisa terjadi karena kedua belah pihak saling melalaikan
kewajibannya sehingga hak yang seharusnya didapat tidak diperoleh.
Salah satu tujuan dari adanya syari’at pernikahan adalah untuk mewujudkan
keadaan di mana suami maupun istri mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan
kebahagiaan dalam hidup. Ketenangan dan kebahagiaan ini akan tercapai apabila
kewajibannya masing-masing ketika pihak suami maupun istri ini tidak lagi
menjalankan hak dan kewajibannya, maka pintu perceraian akan terbuka lebar.
Dalam hal ini perceraian bisa diartikan sebagai jalan keluar untuk pemutusan ikatan
perkawinan yang tidak bisa dipertahankan lagi.
Perceraian merupakan suatu kata yang tidak dapat dipisahkan dari kata
perkawinan karena merupakan kelanjutan yang selalu berhubungan satu sama
lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya pasangan suami
isteri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada
kenyataannya kasih sayang itu bila tidak dirawat bisa menjadi pudar bahkan bisa
menjadi hilang menjadi kebencian. Kalau kebencian sudah datang dan suami isteri
tidak dengan sungguh-sungguh mencari jalan keluar dan memulihkan kembali rasa
kasih sayang tersebut, maka akan berakibat negatif terhadap anak keturunannya.1
perceraian diakui sebagai jalan keluar terakhir dari kemelut keluarga dan hal ini baru
diperbolehkan bila tidak ada jalan keluar lain.
Begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami isteri, maka tidak
sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk
merusak dan menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat
dibenci oleh Islam karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan
antara suami isteri.2
Perkawinan merupakan prilaku makhluk hidup agar kehidupan dalam dunia
berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia. Akan tetapi
juga pada tanaman dan hewan.
1
H. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Prenada Persada, 2000), Cet. ke-1, h. 98
2
Dalam KHI pasal 2 dinyatakan bahwa: ”perkawinan menurut hukum Islam
adalah Pernikahan yaitu akad yang kuat atau mitsâqan ghalîdan untuk mentaati
perintah Allah swt dan melaksanakannya merupakan ibadah.3 Dalam hal ini akad
perkawinan dalam Hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan
yang suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, dengan
demikian ada dimensi ibadah di dalamnya. Untuk itu perkawinan harus dipelihara
dengan baik sehingga tujuan perkawinan yakni terwujudnya keluarga yang sejahtera
lahir batin dapat terwujud.4 Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan
merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan
untuk selamanya dan seterusnya agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan
rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan
dapat memelihara anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik.
Pada dasarnya tujuan perkawinan menurut undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan:
”perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.5
Meskipun tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia (sakinah) yang kekal, namun perjalanan dan fakta sejarah menunjukan
bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapainya. Mengingat kenyataan menunjukan bahwa teramat banyak pasangan
3
Inpres R.I. No. 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, 2002, h. 14
4
Amir Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. ke-1, h. 206
5
suami istri yang perkawinannya ”terpaksa” harus berakhir di tengah jalan6 putusnya
perkawinan dapat terjadi karena berbagai hal. Baik karena meninggal dunia atau
karena faktor lain seperti: faktor biologis, psikologis, ekonomis serta perbedaan
pandangan-pandangan hidup dan sebagainya. Seringkali merupakan pemicu
timbulnya konflik dalam perkawinan. Apabila faktor-faktor tersebut dapat
diselesaikan dengan baik, maka mereka akan dapat mempertahankan mahligai
perkawinannya. Namun sebaliknya, apabila faktor-faktor tersebut tidak dapat
diselesaikan, maka akan timbul perceraian sebagai jalan terakhir yang akan
ditempuhnya.
Talak atau perceraian adalah perbuatan halal namun dibenci Allah. Oleh
karena itu, bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai pintu
darurat yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat
dipertahankan keutuhan dan kesinambungan.7
Dalam konteks keIndonesiaan perceraian sendiri diatur oleh Undang-undang
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 Tahun 1975 sebagaimana
tercantum dalam pasal 19, dan dalam KHI pasal 116. bagi kedua pasangan suami
istri yang hendak bercerai terlebih dahulu mengajukan ke Pengadilan Agama. Bagi
suami harus mengajukan permohonan izin talak, sedangkan bagi istri harus terlebih
dahulu mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Salah satu yang menjadi wewenang Pengadilan Agama adalah menangani
tentang masalah perceraian. Yang mana perceraian ini harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan Agama, atau dengan kata lain bahwa perceraian tidaklah Sah
6
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. ke-1, h. 101
7
secara hukum yang berlaku di Indonesia, apabila dilakukan di luar sidang
Pengadilan Agama, Sesuai dengan Undang-undang perkawinan, perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dalam hal ini hakim
yang berhak. Akan tetapi masih banyak fenomena yang terjadi di masyarakat,
khususnya masyarakat kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, di mana
pasangan suami istri yang melakukan perceraian tanpa melalui Pengadilan Agama,
sehingga hak-hak istri dan anak setelah perceraian nyaris diabaikan, seolah-olah
setelah perceraian itu tidak ada lagi beban yang harus di tanggung oleh suami. Hal
tersebut terjadi karena tidak ada pengawasan dan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum.
Dengan kondisi semacam ini, bagaimana akan diingkari adanya persepsi
bahwa masyarakat kita masih ada yang ketidakhormatan atas hukum (disrespecting
law), entah mengapa? Semua ini terjadi mungkin karena tidak paham akan hukum,
atau mungkin menganggap sepele terhadap sebuah perkawinan? Dengan munculnya
fenomena perceraian seperti di atas maka, penulis sangat tertarik untuk mengangkat
masalah "PERCERAIAN DI LUAR PROSEDUR PERADILAN AGAMA DI
KECAMATAN SODONGHILIR, TASIKMALAYA DAN AKIBAT
HUKUMNYA".
Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu prinsip dalam hukum perkawinan
karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga
yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia.8
Semoga tulisan yang ada dalam skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Salah satu yang menjadi wewenang Pengadilan Agama adalah masalah
perceraian. Secara tertulis masalah perceraian diatur dalam pasal 115 KHI , pasal 39
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang salah satu persyaratan untuk melakukan
perceraian yaitu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Dengan kata
lain, perceraian tidaklah sah secara hukum yang berlaku di Indonesia apabila
dilakukan di luar pengadilan.
Bila ditinjau dari ketentuan yuridis, maka fenomena cerai di bawah tangan
tentu sangat bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Dalam skripsi ini,
penulis membatasi masalah seputar fenomena cerai di bawah tangan, dan cerai yang
dimaksud adalah cerai talak dan cerai gugat. Selain itu, untuk memudahkan dalam
menyusun karya ilmiah, penulis membatasi lokasi yang akan dijadikan objek
penelitian hanya di kecamatan Sodonghilir.
2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
8
1. Apa argumentasi mereka yang cerai di luar Pengadilan Agama.
2. Kendala apa saja yang dihadapi yang bercerai di luar Pengadilan Agama.
3. Bagaimana tanggapan hakim Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Nikah, dan
Ulama setempat terhadap cerai di luar Pengadilan Agama.
C. TujuanPenelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perceraian di luar pengadilan, dan
argumentasi mereka
2. Untuk mengetahui dampak dari perceraian di luar prosedur pengadilan bagi
pelaku.
3. Untuk mengetahui tanggapan hakim Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat
Nikah dan Ulama setempat tentang perceraian di luar Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motovasi, tindakan dan lain-lain, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.9
9
Metode penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan,
mengem-bangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan dengan penyelidikan
yang kritis.
2. Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data peneltian dari
berbagai sumber, sebagai berikut:
a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan
data-data dari literatur buku atau teks-teks lain, membaca dan memahami
serta menganalisa hal yang berkaitan dengan masalah perceraian, khususnya
perceraian di luar Pengadilan Agama.
b. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data dari lapangan yang ada
relevansinya dengan skripsi ini.10 Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan wawancara langsung secara mendalam dengan pegawai
Pencatat Nikah Sodonghilir, hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya dan
ulama setempat. Juga wawancara langsung dengan pihak yang melakukan
perceraian di luar Pengadilan Agama. Selain itu, juga dilakukan observasi di
lapangan, terutama berkaitan dengan fenomena cerai di bawah tangan yang
terjadi di masyarakat Kecamatan Sodonghilir.
3. Teknik Pengumpulan Data
Seperti yang telah disebutkan di atas, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data melalui wawancara secara mendalam. Wawancara penulis
10
lakukan kepada para pejabat di lingkungan Peradilan Agama dan tokoh ulama,
yaitu kepada hakim Pengadilan Agama, Drs. Masnus, SH., Kepala KUA
Sodonghilir, Drs. Anas Suryana, anggota MUI Sodonghilir, Kiai Abdul Majid.
Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan pihak-pihak yang bercerai di
bawah tangan yang terjadi di Kecamatan Sodonghilir, di antaranya Ibu Yeni, Ibu
Andang, Ibu Evi, Ibu Mula, Ibu Erna dan Bapak Suryana.
Setelah melakukan wawancana tersebut, penulis mengubah hasil
wawancara ke dalam bahasa tulisan, untuk kemudian diklasifikasikan dan
dianalisis.
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan
skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab yaitu:
Bab Pertama, Pendahuluan, yang meliputi, latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab Kedua, Tinjauan Umum Tentang Perceraian, yang meliputi: pengertian
perceraian dan dasar hukumnya, macam-macam perceraian dan hukum
menjatuh-kannya, pemeriksaan sengketa perceraian, dan alasan yang membolehkan perceraian
menurut undang-undang dan akibat perceraian.
Bab Ketiga, Wilayah Hukum Pengadilan Agama Tasikmalaya, yang
meliputi: dasar hukum dan sejarah, dan kondisi umum masyarakat Kecamatan
Bab Keempat, Gambaran Perceraian di Luar Prosedur Pengadilan di
Kecamatan Sodonghilir, meliputi: hukum perceraian di luar pengadilan, perceraian
di luar Pengadilan di Kecamatan Sodonghilir, faktor-faktor terjadinya perceraian di
luar Pengadilan Agama di Kecamatan Sodonghilir, akibat hukumnya, dan analisa
penulis.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian Perceraian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah
atau putus.11 Cerai yang dalam bahasa Arab disebut dengan talak adalah isim
masdar dari kata “
-
-
” yang semakna dengan kata ‘ ’ dan‘
ﻝ
’ yaitu melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah Agama talak artinyamelepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan
dalam Ensiklopedi Islam Indonesia talak menurut istilah adalah melepaskan tali
perkawinan atau mengakhiri hubungan perkawinan.12
Adapun beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, di
antaranya:
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fikih al-sunnah mengartikan
talak dengan :
ﻝ
ﻝ !"# $
ﻝ
% &'(
)
13
Artinya :
“Talak adalah lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan atau hubungan suami istri”.
Sedangkan Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya, Fiqih ala
al-Mazahib al-Arba’ah mendefinisikan talak dengan “
11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. ke-1, h. 163
12
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bandung: Al-Ma’arif), 1990, Cet. ke-7, h. 9
13
#
*
ﻝ
+,ﻝ
-.
/
"
0
1
(
+
2
%
3
45
6
7
4890
)
14 Artinya :“Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan) pelepasan dengan kata-kata tertentu”.
Kemudian Abu Zakaria al-Anshari menjelaskan talak dengan “
:; ﻝ 53 % . -+,ﻝ < = &'(
)
15
Artinya”
“Melepaskan ikatan nikah dengan menggunakan lafadz talak”.
Dari beberapa definisi talak di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa talak adalah hilangnya atau lepasnya ikatan perkawinan, hanya saja ada
beberapa mainstream yang mengakibatkan perbedaan dalam mendefinisikan arti
talak. Sebagian ulama ada yang menekankan pada akibat hukum dari adanya
talak, yaitu hilangnya hubungan suami istri dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban suami istri. Sedangkan ulama yang lainnya
berorientasi pada tindakan seseorang yang bertujuan untuk melepaskan ikatan
perkawinan dengan menggunakan lafadz tertentu. Sedangkan arti mengurangi
pelepasan ikatan perkawinan yang diungkapkan oleh Abdurrahman al-Jajiri
adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya
jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi
satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu yang terjadi dalam talak
raj’i.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun
dalam putusan pemerintah N0.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
14
Abdurahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Arba’ah, (Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah al-Kubra, t.th.), jilid 4 h. 278
15
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pengertian
perceraian secara khusus, hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perceraian merupakan
salah satu sebab putusnya perkawinan. Senada dengan Kompilasi Hukum Islam
bahwa putusnya perkawinan dapat disebabkan karena perceraian dan dapat pula
terjadi karena talak.
Talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk menolak
atau menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan.16 Talak merupakan hak
cerai suami terhadap istrinya apabila ia merasa sudah tidak dapat lagi
mempertahankan perkawinannya tersebut. Sebaliknya gugatan cerai dapat
diajukan oleh istri kepada suaminya dengan alasan-alasan yang telah diatur
dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
2. Dasar Hukum Perceraian
Masalah perceraian merupakan suatu masalah yang banyak
diperbincangkan jauh sebelum adanya Undang-undang Perkawinan, karena
kenyataannya dalam masyarakat sekarang ini banyak perkawinan yang berakhir
dengan suatu perceraian dan tampaknya hal tersebut terjadi dengan mudah.
Adakalanya perceraian tersebut terjadi tanpa adanya alasan yang kuat,
hal inilah yang menyebabkan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. selain itu juga untuk mewujudkan suatu perkawinan yang bahagia,
16
kekal dan sejahtera sesuai dengan salah satu prinsip yang ada dalam penjelasan
umum Undang-undang perkawinan yaitu mempersulit terjadinya perceraian.17
Dalam hal ini agama Islam telah terlebih dahulu mengatur sedemikian
rupa masalah perceraian ini dengan menurunkan ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadits-hadits Nabi yang berkenaan dengan perceraian tersebut sehingga mempunyai
dasar hukum dan aturannya sendiri, di antaranya yaitu:
Surat al-Baqarah/2: 230
% >6 2ﻝ &'? ;@ !
1A@
<
(
B
,
-C
*
D
E
F )))
G Hﻝ
I
JKL
M
Artinya:“Kemudian jika si suami menthalaqnya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain …” (al-Baqarah/2: 230)
Surat al-Baqarah/2: 231
>N9(+
/ 4O
P% >N9-Q 6R@ > ! / >S H @ Q +,ﻝ T
U#
V 4O
P%
2Q 3" T W < @ X ﻝU ' 3 >6
< ﻝ
Y >N9-QP
F )))
G Hﻝ
I
JKZ
M
Artinya:“Apabila kamu menthalaq istri-istrimu lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiyaya mereka. Barang siapa yang berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri..." (al-Baqarah/2: 231)
Surat al-Baqarah/2: 232
> !
*/ >?-, 1/ >N9 [ ; @ > ! / >S H @ Q+,ﻝ T
U#
)))
F
G Hﻝ
I
JKJ
M
Artinya:“Apabila kamu menthalaq istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya…" (al-Baqarah/2: 232)
17
Surat al-Thalaq/65: 1
@ Q+,ﻝ T
U# &\H,ﻝ !&/]
^_ 9
G< ﻝ 90(/ T! < ﻝ >N9
T-%
F )))
:; ﻝ
I
Z
M
Artinya:“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah…" (at-Thalaq/65:1)
Selain ayat-ayat tersebut terdapat pula hadits-hadits Nabi yang dipahami
sebagai dasar hukum perceraian, antara lain:
( \N 2 6
2"/ P= >% _ <H= >=
_ 9
<!= B@ `ab
= RQ@ T
2 = _ B ﺹ
P
%
>
ﻝ
7
d
9
_
ﺹ
_ B
=
2
T
=
>
Uﻝ
X
@
6
&E
@
!
e
T
ﻝ
P
Q
-!
(
B
!
e
T
?
a
e
T
!
f
e
T
#
1
g
6
Q
X
%
<
#
1
g
hH
'
/
1
P
i
@
X
ﻝ
<
G
ﻝ
B
/
6
_
/
1
ﻝ
!
+,ﻝ
Q
F )
j 7Hﻝ E
M
18
Artinya:
“Dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya ibnu Umar telah menthalaq istrinya, sedang isrinya itu dalam keadaan haid pada masa Rasulullah saw., maka Umar Ibnu Khatab menanyakan hal yang demikian kepada Rasulullah saw, beliau bersabda: suruhlah agar merujuk istrinya itu, kemudian hendaklah ia menahan istrinya itu hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian sesudah itu jika ia mau ia boleh memegang (tetap menggaulinya) istrinya sesudah itu dan jika ia mau ia boleh menthalaqnya. Menthalaq istri agar menjalankan masa iddahnya.” (H.R. Bukhari)
h 2,= _ \Y 4k H= >% >=
I
4 -% B %/ _ 9
<!= B = :; ﻝ 1 l
d 7ﻝ > % P=
@ 4G< ( m;nﻝ
P= @;ﺥ >6 > ,
I
,ﻝ 1#
k
T! = E [ 6R@ 2 = E , [ 6 9 @ `G "/ 2 @ T !ﻝ p " l < h 4 6 B @ 9 q
<h
)
F
T Q6 E
M
19Artinya:
“Dari ibnu Abbas r.a., ia berkata : Adalah thalaq pada masa Rasulullah saw. Masa Abu Bakar dan dua tahun masa pemerintahan Umar, thalaq tiga jatuh satu, maka berkata Umar ibnu Khatab: Sesungguhnya manusia tergesa
18
Al- Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut, Darul-Fikr, 1958), Jilid 7, h. 52
19
pada urusan yang boleh mereka lakukan perlahan, lalu aku lakukan yang demikian atas mereka.” (H.R. Muslim)
Al-Qur’an dan hadits telah mengatur masalah perceraian ini dengan
sebaik-baiknya. Hal ini dapat kita lihat dengan diberikannya batasan kepada
suami yang ingin menceraikan istrinya dan merujuknya kembali. Islam
membolehkan suami merujuk istrinya sampai talak yang kedua, tetapi jika telah
sampai pada talak yang ketiga maka suami tidak mempunyai hak lagi untuk
merujuk istrinya itu, kecuali mantan istrinya tersebut telah menikah dengan pria
lain dan oleh suaminya yang kedua tersebut telah diceraikan kembali. Barulah
setelah itu suami yang pertama dapat rujuk kembali kepada mantan istrinya
tersebut.
Hal ini berbeda sekali dengan yang terjadi pada masa jahiliyyah, di mana
laki-laki boleh saja mentalak istrinya beberapa kalipun dia kehendaki. Kemudian
setiap kali akan habis masa iddahnya, maka dirujukinya kembali sehingga hal ini
terjadi berulang-ulang kali.20
B. Macam-macam Perceraian dan Hukum Menjatuhkannya
1. Macam-macam Perceraian
Menurut perspektif hukum Islam di Indonesia cerai atau talak itu terbagi
menjadi beberapa macam tergantung dari sudut pandang apa kita melihatnya.
Ditinjau dari boleh tidaknya suami kembali kepada mantan istrinya
terbagi menjadi dua macam yaitu:
a. Talak Raj’i
20
Talak raj’i menurut etimologi adalah di mana suami dapat rujuk
kembali, sedangkan menurut istilah fikih adalah talak yang dijatuhkan oleh
suami kepada istrinya yang telah betul-betul dikumpulinya, talak yang bukan
sebagai ganti mahar yang dikembalikan serta talak itu baru dijatuhkannya
sekali.21
Menurut H. A Fuad Said dalam bukunya Perceraian Menurut Hukum
Islam yang dimaksud dengan talak raj’i yaitu talak suami kepada istri yang
telah dicampuri, baik dengan sharih (terang) maupun kinayah (sindiran).22
Ditambahkan pula oleh A. Zuhdi Muhdhor bahwa talak satu atau talak dua
tersebut tanpa ada penebus talak dari istri untuk suami serta rujuknya suami
tidak perlu adanya akad baru.23
Tidak ada perbedaan dengan pengertian yang dimaksud oleh
Kompilasi Hukum Islam pasal 118 bahwa yang dimaksud dengan talak raj’i
adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri
dalam masa iddah.24
b. Talak Ba’în
Talak ba’in adalah talak untuk yang ketiga kalinya atau talak yang
dijatuhkan sebelum istri dikumpuli dan talak yang jatuh dengan tebusan oleh
21
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 58
22
H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1998), Cet. ke-30, h. 55
23
A. Zuhdi Muhdor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk), (Bandung: Al-Bayan, 1999), Cet. ke-2, h. 94
24
istri kepada suaminya (khulu). Talak ba’in ini terbagi kedalam dua macam
yaitu:
1) Talak Ba’în Shugrâ
Talak ba’in shugra yaitu talak yang kurang dari tiga kali yang tidak
boleh dirujuk, tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam masa iddah. Menurut A. Zuhdi Mudhor talak ba’in
shugra juga termasuk talak satu dan dua.25 Adapun yang termasuk talak
ba’in shugra sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 119 Kompilasi
Hukum Islam ayat 2 yaitu:
1) Talak yang terjadi qabla al-dukhul (sebelum berhubungan seksual)
2) Talak dengan tebusan atau Khulu’
3) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama26
“Talak yang terjadi qabla al-dukhul” ialah talak yang dijatuhkan
oleh suami kepada istrinya yang belum pernah dicampuri. Istri yang
demikian boleh ditalak tetapi ia tidak mempunyai masa iddah, oleh
karena itu suami dilarang rujuk kepadanya sebab rujuk itu hanya
diperbolehkan pada masa iddah. Sebagaimana ketentuan Allah dalam
surat al- Ahzab ayat 49 yang berbunyi:
T ?-" U# 9,6 > rﻝ !&/
>N9&QP 1/ 'Hh >6 >N9P
Te s ,6tPﻝ
P (
>N9(+
>N9 +P@ !" &<
4G< = > 6 >! = T -ﻝ P@
F
d (u
I
vw
M
Artinya:
25
A. Zuhdi Muhdor, Loc.Cit.
26
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menggaulinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab/33:49)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita yang dicerai sebelum
digauli tidak mempunyai masa iddah, karena itu ia tidak bisa dirujuk oleh
mantan suaminya kecuali dengan akad yang baru.
“Talak dengan tebusan atau dengan khulu’ “adalah perceraian
yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh
kepada suami dan atas persetujuan suaminya. Penyebabnya karena suami
cacat atau karena sebab yang lainnya, sedangkan tebusan tersebut bisa
juga merupakan pengembalian mahar dari istri.27
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa khulu’
ialah hak memutus akad nikah oleh istri terhadap suaminya yang terjadi
atas kesepakatan (jumlah tebusan mahar) atau perintah hakim agar istri
membayar dengan jumlah tertentu dan tidak melebihi jumlah mahar
suaminya.28 Ketentuan mengenai hal ini didasarkan pada firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang mana inti dari ayat tersebut
menjelaskan bahwa khulu’ adalah perceraian dengan tebusan
berdasarkan kesepakatan suami istri tersebut atau dalam bahasa
perundang-undangan disebut dengan gugat cerai dengan tebusan (iwadh).
27
A. Zuhdi Muhdor, Op. Cit., h. 95
28
“Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama” yaitu talak atau
perceraian yang keputusannya dijatuhkan oleh Pengadilan Agama di
mana sebelumnya salah satu pihak (suami/istri) mengajukan
permohonan/gugatan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan
untuk keperluan tersebut. Contohnya seperti perceraian yang terjadi
karena suami melanggar ta’lik talak.29
Jadi ketiga jenis talak di atas semuanya termasuk kategori talak
ba’in shugra dengan konsekuensi suami dilarang rujuk kembali kepada
mantan istrinya, akan tetapi apabila suami tersebut masih menginginkan
kembali kepada mantan istrinya, maka menurut Kompilasi Hukum Islam
suami tersebut boleh menikahinya dengan syarat harus dengan akad
nikah baru walaupun wanita tersebut belum habis masa iddah maksudnya
bila mantan suami tersebut bermaksud hendak mengadakan akad nikah
baru, maka tidak perlu menunggu sampai masa iddahnya selesai.
2) Talak Ba’în kubrâ
Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat drujuk dan tidak dapat dinikahi kembali.
Kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan
habis masa iddahnya.30
Menurut Sayuti Thalib yang termasuk talak ba’în kubrâ yaitu:
29
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke-1, h. 123-126
30
a) Talak itu berupa talak tiga
b) Perceraian karena li’an karena pasangan suami istri tersebut tidak
diperbolehkan kawin lagi untuk selamanya.31
Talak yang ketiga kalinya itu adalah talak yang peristiwanya
terjadi sebanyak tiga kali dan bukan talak yang dijatuhkan suami tiga kali
sekaligus/berturut-turut, karena dalam Kompilasi Hukum Islam ada kata
“terjadi” yang berarti ada kejadian/peristiwa talak yang mendahului talak
ketiga tersebut yaitu talak satu dan talak dua.
Di sini dapat kita lihat bagaimana kehati-hatian Kompilasi Hukum
Islam dalam menyusun redaksi tentang talak tiga, karena para ulama
fikih juga sepakat atas keharaman talak tiga yang diucapkan sekaligus.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam mengkategorikan talak tiga
yang diucapkan sekaligus, apakah jatuh talaknya atau tidak.
Implikasi yang ditimbulkan dari talak ba’in kubra ini adalah suami
tidak dapat rujuk dan tidak dapat menikahi mantan istrinya lagi, kecuali
apabila mantan istrinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain dan
kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan wanita tersebut telah
habis masa iddahnya, maka suaminya yang pertama boleh menikahi
mantan istrinya itu kembali.
Bila ditinjau dari sisi apakah talak itu sesuai dengan yang disyari’atkan
oleh agama Islam atau tidak, maka talak itu terbagi menjadi dua macam yaitu:
a) Talak Sunny
31
Talak sunny secara etimologi berarti talak sunnah atau talak yang
diperbolehkan. Menurut Sayyid Sabiq talak sunny adalah talak yang berjalan
sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang yang mentalak perempuan
yang pernah dicampurinya dengan sekali talak di masa bersih dan belum
dicampuri selama bersih itu.32
Pengertian di atas sama dengan yang dimaksud oleh Kompilasi
Hukum Islam pasal 121 mengenai talak sunny. Talak sunny dijatuhkan
sekali oleh suami atau istri yang suci dan belum dicampuri dalam waktu suci
tersebut sebagaimana firman Allah surat at-Thalaq ayat 1 yang isinya adalah
memerintahkan kepada para suami yang ingin menceraikan istri-istrinya
hendaklah pada saat yang memungkinkan istri untuk beriddah yaitu setelah
bersih atau suci dari haid atau nifas dan belum disetubuhi dalam waktu suci
tersebut.
b) Talak Bid’i
Talak bid’i adalah talak yang bertentangan dengan syar’i yaitu talak
yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam
keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut atau seorang
mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga secara
terpisah-pisah dalam satu tempat.33
2. Hukum Menjatuhkan Talak
32
Sayyid Sabiq, Op.Cit., h. 42
33
Dalam Islam, talak tidaklah disukai dan sangat dibenci oleh Allah SWT
karena dapat merusak hubungan baik dan kemaslahatan antara suami istri.
Sesuai dengan hadits Nabi SAW:
h 2 ,= _ \ Y
P= > =
I
T
2 = _ B ﺹ _ 9
h
I
= _ <,= ;?ﻝ aS%/
:; ﻝ '
F )
x x 9%/ E
M
Artinya :
“Dari Umar r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda: “sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah Talak”. (HR. Abu Daud)
Adapun Mengenai hukum menjatuhkan talak apabila dilihat dari
kemaslahatan dan kemadharatannya, maka hukum talak ada 5 (lima), yaitu:34
a. Wajib, yaitu apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan
yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim dari istri dan
dari suami (QS. 4: 35). Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa
perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib.
Jadi, jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain
keburukan, pertengkaran, perselisihan, atau bahkan menjerumuskan
keduanya dalam kemaksiatan, maka pada saat itu talak adalah wajib bagi
keduanya.
b. Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan.
Sebagai ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini
terdapat dua pendapat: pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan
karena dapat menimbulkan madharat bagi dirinya juga bagi istrinya, serta
tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Talak seperti ini haram sama seperti
tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna. Kedua,
34
menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan. Hal ini didasarkan pada
sabda Rasulullah dari Umar r.a Rasulullah SAW bersabda : Sesuatu yang
halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.
c. Mubah, yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena
buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulanya yang hanya
mendatangkan madharat dan menjatuhkan mereka dari tujuan pernikahan.
d. Sunnah, yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak
Allah Ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya, seperi shalat, puasa, dan
kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi
memaksanya, atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan
kesucian dirinya.
e. Mahzhur (terlarang), yaitu talak yang dijatuhkan ketika istri sedang haid.
Para ulama Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak seperti ini
disebut juga dengan talak bid’ah karena menyalahi sunnah Rasulullah Saw
dan mengabaikan perintah Allah SWT.35
Jumhur ulama termasuk Malikiyyah, syafi’iyyah, dan Hanabilah
menyatakan bahwa talak termasuk hal yang diizinkan, tetapi lebih baik bila tidak
melakukannya kecuali jika terpaksa, karena akan merusak hubungan kasih
sayang. Karena itu, menurut mereka hukum talak dapat berubah menjadi haram,
makruh, wajib, dan sunnah. Haram bila akibat talak itu akan mengakibatkan ia
melakukan perbuatan zina atau jika talaknya talak bid’i. makruh bila ia (suami)
sebenarnya suka dengan pernikahan itu, atau ia sedang mengharapkan
35
keturunan, atau ia tidak khawatir akan berbuat zina apabila bercerai. Wajib
apabila suami sudah tidak mampu lagi untuk memberikan nafkah, atau karena
sumpah ila’ tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan. Sunnah bila istrinya
adalah seorang yang ucapan-ucapannya kotor, sehingga ia khawatir akan
melakukan perbuatan terlarang jika masih bersamanya.36
C. Tata Cara Perceraian Menurut Undang-undang
Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang No. 01/1974 tentang
perkawinan, yakni untuk mempersulit terjadinya perceraian (pasal 39), maka
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
(Undang-undang No. 03/2006 Pasal 65, jo. Kompilasi Hukum Islam pasal 115).
Adapun tata cara atau prosedurnya dapat dibedakan menjadi dua macam:
1. Cerai Talak
Cerai talak adalah salah satu bentuk cara yang dibenarkan berdasarkan
hukum Islam dalam memutuskan akad nikah antara suami istri. (1) Apabila
suami hendak menceraikan istrinya, maka harus menempuh jalur hukum yaitu
melalui gugat permohonan ke Pengadilan Agama (PA).
Menurut ketentuan pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 07/1989
sebagai berikut: “seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak.”
36
Adapun bunyi pasal 67 huruf A Undang-undang No. 07/1989 sebagai
berikut:
“Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas,
memuat:
a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu dan termohon yaitu istri.”
Jadi talak itu tidak bisa dilakukan secara sepihak, tetapi harus bersifat
dua pihak dalam kedudukan : suami sebagai pihak “pemohon”, dan istri
sebagai pihak “termohon”.
Dalam rumusan pasal 14 PP No. 09/1975, dijelaskan pula beserta
pengadilan tempat permohonan itu diajukan, yang berbunyi:
“Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan
di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada
pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Selengkapnya, masalah tempat permohonan itu diajukan, diatur dalam
pasal 66 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang No. 07/1989 sebagai
berikut:
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (1) diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan
(3) Dalam termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,
maka pemohon diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5) Permohonan tentang pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan
harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan 37
Dengan demikian, kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam
mengadili gugat cerai talak diatur dalam pasal 66 tersebut agar gugatan tidak
salah alamat, dan gugat cerai talak harus diajukan suami kepada Pengadilan
Agama yang berpedoman kepada petunjuk yang telah ditentukan dalam
pasal 66 di atas.
Dengan memperhatikan ketentuan yang digariskan dalam pasal
tersebut, faktor utama menentukan kompetensi relatif Pengadilan Agama
dalam perkara cerai talak ini didasarkan pada “tempat kediaman termohon”,
hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada
si istri (Peraturan Menteri Agama RI No. 03/1975).
Selain itu, ayat (5) di atas memberikan peluang diajukannya kumulasi
objektif atau gabungan tuntutan. Ini dimaksudkan agar dalam mencari
37
keadilan melalui Pengadilan dapat menghemat waktu, biaya dan sekaligus
menyelesaikan perkara semua tuntutan.38
Mengenai muatan dalam permohonan tersebut, selanjutnya pasal 67
Undang-undang No. 07/1989 ini menyatakan:
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas memuat:
a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon (suami), dan termohon
(istri),
b. Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (sebagaimana yang dirinci
dalam pasal 19 PP/No. 09/1975 jo. Pasal 116 (Kompilasi Hukum Islam).
Terhadap permohonan ini, Pengadilan Agama dapat mengabulkan
atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut
dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (pasal 130 Kompilasi
Hukum Islam). Langkah selanjutnya adalah mengenai pemeriksaan oleh
pengadilan, yang diatur dalam pasal 68 UU No. 07/1989 yakni
disebutkan:
1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim
selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat permohonan
cerai talak didaftarkan di kepanitraan.
2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang
tertutup.
Dalam rumusan pasal 15 PP No. 09/1975 dinyatakan:
38
“Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang
dimaksudkan pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
memanggil."
Dalam rumusan pasal 15 PP No. 09/1975 dinyatakan:
“pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud
pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil
pengiriman surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatunya yang berhubungan dengan maksud perceraian.”
(Pasal 131 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam)
Usaha mendamaikan kedua belah pihak selain ditempuh sebelum
persidangan dimulai, setiap kali persidangan tidak menutup
kemungkinan untuk mendamaikan mereka. Karena persidangan
semacam ini tidak bisa diselesaikan dalam sekali persidangan.
Mengenai hal ini, pasal 28 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Agama
RI No. 03/1975 menjelaskan:
3) Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud
talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat
meminta bantuan kepada (BP4) setempat agar kepada suami –istri
dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
4) Pengadilan Agama setelah memperhatikan hasil usaha BP4 bahwa
adanya alasan untuk talak, maka diadakan sidang untuk menyaksikan
talak dimaksud 39
Langkah berikutnya diatur dalam pasal 70 Undang-undang No.
07/1989, sebagaimana dirinci dalam pasal 16 PP No. 09/1975:
1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka
pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, istri
dapat mengajukan banding.
3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut.
4) Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus
dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak yang
dihadiri oleh istri atau kuasanya.
5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak
datang menghadiri sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka
suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya
istri atau wakilnya.
6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan
hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri
39
atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan
secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut,
dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang
sama dan ikatan perkawinan mereka tetap utuh (lihat pasal 131 ayat
(2), (3), dan (4) Kompilasi Hukum Islam)
Selanjutnya, itu diatur dalam pasal 17 PP No. 09/1975 sebagai
berikut:
“Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirim kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.”
Isi pasal 17 PP No. 09/1975 tersebut kemudian dirinci lagi dalam
pasal 131 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
“Setelah sidang penyaksian ikrar talak, PA membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap talak yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada PPN yang mewilayahi tempat tiggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami-istri, dan helai keempat disimpan oleh PA.”
Langkah terakhir dari pemeriksaan perkara cerai talak ini ialah
penyelesaian perkara sebagaimana yang diatur dalam penjelasan pasal 71
Undang-undang No. 07/1989 tentang Peradilan Agama:
1) Panitra mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar
2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa
perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut
tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.
2. Cerai Gugat
Bentuk perceraian lain yang diatur dalam Undang-undang adalah “Cerai
gugat”. Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai gugat ini tidak banyak
perbedaan dengan cerai talak.
Undang-undang No. 07/1989, tentang Peradilan Agama dan PP No.
9/1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, tidak membedakan antara khulu’ dengan “cerai gugat”, karena
kedua-duanya merupakan perceraian yang terjadi atas permintaan istri. Jadi
dengan demikian, khulu’ termasuk kategori cerai gugat. Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 09/1975 yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan
Undang-undang No. 01/1974 tentang perkawinan dalam hal teknis, yang
menyangkut kompetensi wilayah pengadilan seperti dalam cerai talak,
mengalami sedikit perubahan dalam Undang-undang No. 07/1989. tentang
Peradilan Agama perubahan dimaksud terlihat pada:
Pertama, dalam pp No. 09/1975 gugatan perceraian bisa diajukan oleh
suami atau istri, maka dalam Undang-undang No. 07/1989 dan Kompilasi
Hukum Islam, gugatan perceraian diajukan oleh istri (atau kuasanya).
Kedua, pada prinsipnya pengadilan tempat mengajukan gugatan
perceraian menurut PP No. 09/1975 diajukan di pengadilan yang mewilayahi
Kompilasi Hukum Islam ialah di pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman
penggugat40
Oleh sebab itu Undang-undang No. 07/1989 memberikan penjelasan
dengan selengkap-lengkapnya mengenai tata cara cerai gugat dalam pasal- pasal
yang berkenaan dengan hal tersebut. Pasal 73 misalnya, menyatakan:
i. gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tepat kediaman bersama tanpa izin
tergugat.
ii. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat.
iii. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada PA Jakarta
Pusat.
Asas pemeriksaan cerai gugat pada prinsipnya tunduk sepenuhnya
kepada tata tertib yang diatur dalam Hukum Acara perdata, dalam hal ini HIR
atau RBG. Namun demikian, khusus untuk perkara perceraian, Undang-undang
No. 07/1989 mengatur asas tersendiri. Di samping asas dan tata cara
pemeriksaan perkara cerai gugat tunduk sepenuhnya pada ketentuan hukum
acara perdata serta ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-undangNo.
40
07/1989 ini, tata tertib pemeriksaan juga harus berpedoman pada asas-asas
umum baik yang diatur dalam Undang-undang No. 14//1975, maupun asas-asas
yang dicantumkan dalam UU No. 07/1989 ini. Adapun mengenai asas-asas yang
menjadi pedoman pemeriksaan perkara cerai gugat sama dengan asas umum
yang berlaku dalam pemeriksaan perkara cerai talak. Karenanya, masalah ini
tidak akan diuraikan lagi pada bagian ini.
Namun demikian, pada bagian ini akan dikemukakan secara ringkas
apa-apa yang menjadi asas umum dimaksud yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim
Mengenai hal ini, dapat dilihat dalam ketentuan pasal 80 ayat (1)
Undang-undang No. 07/191989 yang menjelaskan:
“pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh majelis hakim
selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di
kepanitraan”
2. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup
Meskipun sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian tersebut
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 81 Undang-undang No.
07/1989 jo. Pasal 146 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Perceraian
dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 81 ayat (2) dan pasal
3. Pemeriksaan di sidang pengadilan dihadiri suami istri atau wakil yang
mendapat kuasa khusus dari mereka.
Hal ini menjadi faktor penting bagi lancarnya pemeriksaan perkara di
persidangan. Karena itu pasal 142 Kompilasi Hukum Islam menegaskan:
1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri
atau mewakilkan kepada kuasanya.
2) Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan
hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
4. Upaya mendamaikan diusahakan selama proses pemeriksaan berlangsung.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 82 ayat (4). Hakim yang memeriksa gugatan
perceraian berusaha mendamaikan, dan usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Setelah perkara gugatan perceraian diputuskan dalam sidang terbuka
untuk umum, salinan putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Pasal
147 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
“Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitra Pengadilan Agama
menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau
kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing yang
bersangkutan.”41
Undang-undang No. 01/1974 tentang perkawinan serta PP No. 09/1975
tentang peraturan pelaksanaan undang-undang perkawinan, menyatakan bahwa
terjadinya perceraian adalah terhitung mulai saat pernyataan perceraian itu
41
dinyatakan oleh suami dalam sidang Pengadilan Agama yang diadakan untuk
menyaksikan perceraian itu. Dan dalam hal terjadinya gugatan perceraian, maka
perceraian terjadi terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Putusan Pengadilan Agama dianggap telah mempunyai kekuatan hukum
tetap apabila telah diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Putusan
yang demikianlah yang diberikan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri (PN) dan
pengukuhan ini bersifat administratif dan tidak bernilai yuridis. Namun apabila
dimintakan banding oleh salah satu pihak atas putusan Pengadilan Agama itu,
maka putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum dan belum dapat
dikukuhkan. Demikian juga jika dimintakan kasasi.42
D. Alasan yang Membolehkan Perceraian menurut Undang-undang dan Akibat
dari Perceraian
1. Alasan yang Membolehkan Perceraian Menurut Undang-undang
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 ayat (2)
menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Kemudian
mengenai alasan perceraian itu dijelaskan lebih rinci oleh Peraturan Pemerintah
RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan, yaitu pada pasal 19 yang berbunyi:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
42
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman dan penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.43
2. Akibat-akibat Perceraian
Dengan adanya putusan Perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama, bukan berarti masalah perceraian ini selesai, akan tetapi masih ada
akibat-akibat hukum lainnya yang ditimbulkan dari perceraian tersebut yaitu
menyangkut masalah anak-anak, hubungan suami istri dan harta kekayaan
mereka.
a. Mengenai anak-anak
Dalam hal anak-anak yang masih menyusui kepada ibunya, apabila
terjadi perceraian maka ibunya tetap berhak untuk menyusui dan memelihara
anak itu, kemudian ayahnya juga tetap berkewajiban untuk memberi nafkah
43
pemeliharaan dan pendidikan anaknya dari bayi hingga dewasa dan dapat
mandiri.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga telah
mengatur masalah ini yang dimuat dalam pasal 41 yaitu :
1) Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi
keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan
istri.
b. Mengenai Hubungan Suami Istri
Bagi pasangan yang telah bercerai, maka haram bagi mereka untuk
melakukan hubungan suami istri, selain itu mantan suami juga berkewajiban
untuk memberikan mut’ah yang pantas kepada mantan istrinya tersebut.
Mut’ah yang diberikan oleh mantan suami tersebut dapat berupa barang atau
Kompilasi Hukum Islam juga telah mengatur masalah ini secara
mendalam yang dimuat dalam pasal 149 yaitu :
1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.
2) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
3) Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya, dan separuh apabila
qabla al-dukhul.
4) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
c. Mengenai Harta Bersama
Islam tidak mengenal adanya percampuran antara harta kekayaan
suami istri yang telah ada sebelum pernikahan. Harta kekayaan tersebut tetap
menjadi milik masing-masing pihak selama mereka tidak menentukan lain.
Apabila selama perkawinan mereka memperoleh harta, maka harta tersebut
dinamakan harta syirkah yaitu harta yang menjadi milik bersama suami istri,
oleh karena itu dalam Islam ada harta suami istri yang telah dicampur dan
ada juga harta yang tidak dicampur.
Dalam hal harta kekayaan yang bercampur yang didapatkan selama
perkawinan karena usaha bersama suami istri, menjadi milik bersama dari
suami istri dan digunakan untuk kepentingan bersama. Kemudian apabila
salah satu pihak meninggal dunia, maka harta bersama tersebut dibagi dua
antara suami istri. Masalah yang berhubungan dengan harta kekayaan suami
istri ini telah diatur oleh Kompilasi Hukum Islam secara mendalam yang
BAB III
WILAYAH HUKUM PENGADILAN AGAMA TASIKMALAYA
A. Dasar Hukum dan Sejarah
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Tasikmalaya
Pengadilan Agama Tasikmalaya dibentuk berdasarkan penetapan
Menteri Agama No. 06/47.
2. Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Tasikmalaya44
No Nama Gol.
Terakhir
Pendidikan Terakhir
Tahun Menduduki Jabatan
1 RH.Abu Bakar - - -
2 RH. Usman - - -
3 KH. Moh. Sayuti - - -
4 RHA. Dasuki - - 1950
5 AA. Yunus - Ponpes 1955-1957
6 KH. Endang Djarkasih - Ponpes 1957-1963
7 RM. Syarif Ishak - Ponpes 1963-1964
8 KHM. Musa - Ak.B. Arab 1964-1978
9 Drs. Elon Dahlan - Sarjana 1978-1981
10 Umar Mansur Syah, SH - Sarjana 1981-1989
11 Drs. H. Ahmad Sudja’i IV/a Sarjana 1989-1995
12 Drs. HR. Muhamad IV/a Sarjana 1995-1997
13 Moh. Saleh Kastiwa, SH. VI/a Sarjana 1997-2000
14 Drs. Memet M. Soleh, SH. VI/a Sarjana 2000-2001
15 Drs. H.I. Nurchalis, Sy. SH. VI/c Sarjana 2001-2004
16 H. Didin Fathudin, SH.MH. VI/c Sarjana 2004-2006
17 Drs. Mahmud Yunus,MH. VI/c Sarjana 2006-Sekarang
44