Syamsul Haq : Keberadaan SKB 5 Menteri Dibandingkan Dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Dan UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, 2008.
USU Repository © 2009
KEBERADAAN SKB 5 MENTERI DIBANDINGKAN
DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13
TAHUN 2003 DAN UU HAK ASASI MANUSIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
SKRIPSI
Diajukan Memenuhi Tugas akhir Perkuliahan Untuk Mendapatkan
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Syamsul Haq
050200207
Bidang Hukum Perburuhan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS HUKUM
NIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI I. PENULIS :
NAMA : SYAMSUL HAQ
NIM : 050200207
JURUSAN : HUKUM PERBURUHAN
JUDUL SKRIPSI : KEBERADAAN SKB 5 MENTERI DIBANDINGKAN
DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003 DAN UU HAK ASASI MANUSIA NOMOR 39 TAHUN 1999
II. DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI : 1. PEMBIMBING I
NAMA : KELELUNG BUKIT, SH
NIK :130 365 211
TANDA TANGAN :
2. PEMBIMBING II
NAMA : SURIA NINGSIH, SH, M.HUM
NIK : 131 676 489
TANDA TANGAN :
KETUA JURUSAN DEPARTEMEN HAN
131 410 462
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi dalam rangka melaksanakan tugas akhir sebagai
mahasiswa program S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi
ini dimaksudkan sebagai sarana mengembangkan wawasan penulis di bidang hukum
pada umumnya dan bidang hukum perburuhan pada khususnya serta penerapannya pada
masalah-masalah yang nyata di lapangan.
Skripsi penulis ini berjudul “KEBERADAAN SKB 5 MENTERI
DIBANDINGKAN DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN
2003 DAN UU HAK ASASI MANUSIA NOMOR 39 TAHUN 1999”. Dalam
menyelesaikan tulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH MS, Selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Kelelung Bukit SH, Selaku Ketua Jurusan Hukum Perburuhan pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen
Pembimbing I Penulis.
4. Ibu Suria Ningsih SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis..
5. Bapak dan Ibu Dosen dan sekaligus Staf Administrasi di Fakultas Hukum
6. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda
dan ibunda tercinta yang telah memberikan segalanya kepada penulis sehingga
penulis mampu menjadi seorang sarjana, semoga kasih sayang mereka tetap
menyertai penulis.
7. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada kakak, abang serta adik
penulis yang telah banyak memberikan dorongan atas selesainya penulisan skripsi
ini.
8. Buat rekan-rekanku yang se-almamater yang telah memberikan dorongan nasehat
dan dorongan yang membangun, semoga kita selalu bersama-sama dalam suka dan
duka.
Demikian penulis ucapkan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Oktober 2008
Penulis
A. Latar Belakang Pemilihan Judul 1
B. Perumusan Masalah 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 10
D. Keasliaan penulisan 11
E. Metode Penulisan
1. Metode Penulisan 12
2. Data yang Digunakan 13
3. Teknik Pengumpulan Data 13
4. Analisis Data 14
F. Sistematika Penulisan 15
BAB II TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN
A. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan 17
2. Asas dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan 19
3. Sifat Hukum Ketenagakerjaan 20
4. Subjek Hukum Ketenagakerjaan 21
B. Syarat-Syarat Kerja
1. Jaminan Perlindungan Buruh 46
2. Jaminan Upah Buruh 48
3. Lembur dan Cuti 51
4. Jaminan Sosial Tenaga kerja 55
D. Hak-hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Hak dan Kewajiban Pemerintah Menurut UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia 59
BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP SKB 5 MENTERI
B. Isi SKB 5 Menteri. 67
C. Pandangan Pakar Terhadap SKB 5 MENTERI 69
D. Jam kerja dan Cuti Menurut Undang-Undang
No.13 tahun 2003 75
BAB IV PEMBAHASAN
A. Perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang
ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 78
B. Pandangan Buruh terhadap SKB 5 Menteri 81
C. Perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang Hak
Asasi Manusia No.39 tahun 1999 82
D. Kelemahan dan kekurangan SKB 5 Menteri. 84
E. Kesepakatan Kerja antara Serikat Buruh dan Majikan
dalam Solusi SKB 5 Menteri 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 86
B. Saran 87 C. Lampiran
ABSTRAKSI
Dalam penulisan skripsi ini mengambil judul ”Keberadaan SKB 5 Menteri
Dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Dan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999”, dimana penulis akan
memberikan uraian terhadap dikeluarkannya SKB 5 Menteri kemudian membandingkan
berdasarkan Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari
peran tenaga kerja yang ada di sektor-sektor industri. Agar tenaga kerja tersebut dapat
bekerja dengan baik, tenang dan aman, maka tenaga kerja tersebut perlu mendapatkan
perlindungan hukum. Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi pekerja adalah
sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan seperti mengenai jaminan upah yang memadai dan juga upah lembur
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Semakin pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia membuat semakin tinggi
juga permintaan akan listrik yg diperlukan untuk menjalankan mesin ataupun untuk
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pemerintah harus meyediakan pasokan listrik yg
cukup agar perindustrian dan perekonomian Indonesia dapat berkembang dengan pesat.
Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah yaitu Menteri Perindustrian, Menteri
Energi dan Sumber Daya mineral, Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi,Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat keputusan yg dikenal
Sehubungan dengan dikeluarkannya SKB 5 Menteri tersebut, penulis dalam
penulisan skripsi ini ingin memaparkan Sejauh mana SKB 5 Menteri dapat di terapkan
dalam industri dan untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dari dikeluarkannya
SKB 5 Menteri tersebut, dan juga memaparkan kelemahan-kelemahan yang terdapat
dalam SKB 5 Menteri tersebut serta membandingkan apakah isi SKB 5 Menteri itu
bertentangan dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia..
Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis melakukan metode penulisan
yang bersifat deskriptif (descriptive researh) yang bertujuan untuk melukiskan tentang
suatu hal tertentu didaerah tertentu dan pada saat tertentu, yang mana dalam teknik
pengumpulan data dilakukan dalam 2 (dua) teknik, yaitu: Library Research ( Penelitian
Kepustakaan), dan Field Research (Penelitian Lapangan).
Dari hasil penelitian dalam penulisan skripsi ini, penulis dapat menyimpulkan,
bahwa dengan dikeluarkannya SKB 5 menteri tersebut menyebabkan pergeseran waktu
libur bagi pekerja/buruh dan dengan di efektifkannya hari sabtu dan minggu sebagai
hari kerja sedikit banyaknya akan mengganggu kenyamanan umat beragama tertentu
yang aktifitas beragamanya dilakukan di hari minggu.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan judul
Di zaman penjajahan Belanda ekonomi Indonesia adalah ekonomi kolonial,
kedudukan ekonomi Indonesia ketika itu ialah: 1) sebagai sumber bahan mentah; 2)
sebagai sumber tenaga buruh yang murah; 3) sebagai pasar buat menjual hasil-hasil
produksi negeri-negeri kapitalis; 4) sebagai tempat investasi (penanaman) modal asing.
Ini berarti bahwa Indonesia tergantung dari export bahan-bahan mentah (timah, bauksit,
karet, dll. hasil perkebunan, dsb.) dan import barang keperluan hidup (textil, sepatu,
sepeda, dsb.).
Susunan ekonomi kolonial mengakibatkan Indonesia tidak mempunyai industri
sendiri yang bisa mengerjakan bahan mentahnya guna memenuhi kebutuhan Indonesia,
di lapangan ekonomi Indonesia tergantung dari luar negeri, dengan demikian tidak
mungkin ada perkembangan modal nasional dan industri nasional.
Ekonomi kolonial ini dipertahankan oleh imperialis Belanda dengan bantuan
penanam modal asing lainnya di Indonesia dengan suatu politik kolonial yang dalam
prakteknya bersifat setengah-fasis. Politik kolonial ini ditujukan untuk menindas
gerakan Rakyat yang menuntut kemerdekaan sebagai jaminan guna penyusunan
ekonomi nasional. Terutama gerakan buruh dan Partai Komunis Indonesia, sebagai
Pada tahun 1930 (statistik Hindia Belanda), penduduk Indonesia yang hidup dari
upah berjumlah lebih kurang 6.000.000 (enam juta) orang. Dalam jumlah ini sudah
dimasukkan buruh musiman (seizoen arbeiders) yang sangat besar jumlahnya dan
bekerja di perkebunan-perkebunan atau di pabrik-pabrik gula. Buruh musiman ini
umumnya terdiri dari buruh tani dan tani miskin, yaitu penduduk desa yang sama sekali
tidak mempunyai tanah garapan atau mempunyai tanah tetapi sangat sedikit.
Di antara 6 juta kaum buruh itu, antara lain terdapat setengah juta buruh modern terdiri dari: 316.200 buruh transport, 153.100 buruh pabrik dan bengkel, 36.400 buruh tambang timah kepunyaan pemerintah dan partikulir, 17.100 buruh tambang batubara kepunyaan pemerintah dan partikulir, 29.000 buruh tambang minyak, 6.000 buruh tambang emas dan perak kepunyaan pemerintah dan partikulir. Selainnya adalah buruh pabrik gula, buruh perkebunan, berbagai golongan pegawai negeri (termasuk polisi dan tentara), buruh industri kecil, buruh lepas dsb. Perlu diterangkan bahwa yang terbesar ialah jumlah buruh industri kecil (2.208.900) dan buruh lepas (2.003.200)1
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang,
dimana seluruh sektor pembangunan terus ditingkatkan. Dalam pembangunan ini terjadi
proses perubahan dari negara agraris menuju negara industri. Dengan pembangunan
juga diupayakan agar dapat meningkatkan pendapatan negara dan pendapatan
masyarakat melalui industri yang menghasilkan prosuk-produk ekspor dan dapat
menampung tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Semakin besar industri
tersebut semakin besar juga tenaga kerja yang dapat di tampung. .
Dari angka-angka ini jelaslah bagi kita, bahwa merupakan bagian yang sangat
kecil dari buruh Indonesia (setengah juta) yang sudah berhubungan dengan alat-alat
produksi modern, sedangkan bagian terbesar belum berhubungan dengan alat-alat
produksi modern dan masih erat hubungannya dengan pertanian.
1
Pembangunan dalam suatu negara tentu saja tidak terlepas dari pada
perekonomian suatu negara itu sendiri, yang pada hakekatnya pembangunan itu adalah
merupakan suatu cara atau dasar untuk memperkuat perekonomian negara yang
bersangkutan.
Di setiap negara di dunia ini selalu berusaha untuk meningkatkan
perekonomiannya melalui suatu kegiatan pembangunan secara terus-menerus dan
berkelanjutan. Dan apabila terjadi suatu penurunan pembangunan atau terjadinya
penghentian pembangunan tersebut maka akan terasa akibat yang berlangsung terhadap
keadaan perekonomian negara itu.
Adapun pembangunan yang terus menerus ditingkatkan adalah untuk menaikkan
tingkat pendapatan atau menaikkan tingkat kehidupan rakyat, apabila tingkat
pendapatan atau tingkat penghidupan rakyat rendah maka akan sangat berpengaruh
terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi negara itu sendiri. Oleh karena itu apabila tingkat
pendapatan rakyat rendah harus segera diatasi dengan memperbesar atau meningkatkan
dengan cara memajukan produksi nasional. Dengan peningkatan produksi nasional agar
berhasil adalah tergantung kepada tersedianya faktor-faktor produksi yang dapat
digerakkan di negara tersebut, karena faktor-faktor produksi merupakan syarat utama
dalam kelangsungan pelaksanaan pembangunan. Setiap negara di dunia ini mempunyai
corak ekonomi yang berbeda-beda dalam melaksanakan pembangunannnya, namun
tujuannya adalah tetap sama yaitu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat atau dengan
perkataan lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya (Income Percapita) bagi
seluruh penduduk, sehingga akan terwujud ke suatu arah akan terpenuhinya kebutuhan
Berdasarkan uraian dalam situs apindo mengenai daya produktivitas Indonesia
dan negara-negara ASEAN diuraikan bahwa, dengan adanya pembangunan sudah tentu
akan mendorong timbulnya berbagai macam usaha seperti mendirikan atau
pengusahaan. Baik yang didirikan oleh pemerintah maupun pihak swasta, dengan
Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Dengan berdirinya perusahaan-perusahaan tersebut maka akan menimbulkan adanya
suatu kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat. Dengan kata lain
perusahaan-perusahaan tersebut otomatis akan membutuhkan tenaga kerja yang akan turut berperan
dalam menjalankan perusahaan tersebut. Maka dengan demikian para anggota
masyarakat yang semula hanya hidup dengan pekerjaan yang tak tetap dan hidup
sebagai pengangguran sudah dapat memiliki pekerjaan.
Sebuah proses industri akan berjalan apabila telah terdapat unsur-unsur yang
memungkinkan terlaksanakan kegiatan industri, seperti adanya pengusaha sebagai
pemilik modal dan pekerja yang akan melaksanakan apa yang menjadi bidang garapan
industri tersebut. Dalam kaitan ini pengusaha dan pekerja akan saling bekerja sama
untuk mewujudkan terlaksananya kegiatan industri melalui hubungan kerja.
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja
dapat terjadi setelah diadakan perjanjian antara pengusaha dan pekerja, dimana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha tersebut dengan menerima
upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja
dengan membayar upah. Perjanjian yang demikian disebut Perjanjian Kerja
Pengawasan biasanya dilakukan ditempat kerja dengan melihat dan memeriksa
langsung syarat-syarat kerja, waktu kerja, waktu kerja lembur, pekerja/buruh wanita dan
pengawasan ini menjamin terlaksananya hak-hak pekerja atau buruh yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan bagi pengusaha, pengawasan merupakan
sarana untuk memperoleh penjelasan dari pihak yang berwenang dan kompeten tentang
kewajibannya menurut aturan yang berlaku.
Dalam perjanjian kerja akan disepakati tentang berapa lama pekerja akan
mengikatkan diri dengan pengusaha dalam melakukan hubungan kerja. Oleh karena itu
pekerja tidak boleh melakukan pekerjaannya sekehendak hati, begitu pula pengusaha
tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup. Hal ini untuk memberikan
jaminan bahwa hak pribadi manusia tetap diperhatikan. KUH Perdata tidak mengatur
lebih jauh pengertian “waktu tertentu“. KUH Perdata hanya mengatur tentang
keadaan-keadaan dimana suatu hubungan kerja dapat berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal
1603(e) ayat 1, Pasal 1603(j) dan Pasal 1603(k) KUH Perdata yaitu sebagai berikut:
a. Jika habis waktunya seperti yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam
peraturan undang-undang atau jika semua itu tidak ada, menurut kebiasaan.
b. Jika pekerja telah meninggal dunia
c. Jika pekerja telah meninggal dunia, kecuali jika dari perjanjian dapat
disimpulkan sebaliknya2
2
. Soedharyo Soimin, SH, KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, Hlm 401 dan 4003
.
Sedangkan dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 59, menyatakan
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dalam Undang-undang HAM dikatakan bahwa, hak asasi manusia adalah
sesuatu hak yang diberikan oleh Tuhan dari sejak lahir. Hak merupakan sesuatu yang
layak di terima oleh setiap manusia. Seperti mendapat pekerjaan dan penghidupan yang
layak, hak memeluk agama, dan hak untuk mendapat pengajaran. Hak selalu beriringan
dengan kewajiban-kewajiban, ini merupakan sesuatu yang harus kita lakukan bagi
bangsa, negara, dan kehidupan sosial.
Hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi
sering terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Sudah sangat
jelas bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan
penghidupan yang layak, akan tetapi pada kenyataannya banyak warga negara yang
belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya. Semua itu terjadi
karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan hak daripada
kewajiban. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang
berkepanjangan. Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu
dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus
dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang
berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat
akan aman sejahtera.
Dalam praktek, pengaturan hak dan kewajiban khususnya yang berkaitan dengan persyaratan kerja tidaklah sederhana. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor. Pertama, tidak mungkin mengatur semua persyaratan kerja kedalam peraturan perundang-undangan. Kedua, adanya kepentingan yang berbeda dalam proses perumusan perjanjian kerja3
Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah yaitu Menteri Perindustrian, Menteri
Energi dan Sumber Daya mineral, Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat keputusan yg dikenal
dengan SKB 5 Menteri. Dalam SKB 5 Menteri bertujuan untuk : .
Menurut Saifudiendjsh dalam tulisannya yang berjudul upah dan pesangon buruh,
bahwa faktor tenaga kerja sangat memegang peranan yang penting dalam jalur
pembangunan di perusahaan atau pabrik. Apabila seorang bekerja pada suatu pabrik
atau perusahaan dengan suatu hubungan kerja maka sudah barang tentu akan timbul
berbagai masalah yang menyangkut hubungan buruh dengan pihak perusahaan yang
antara lain mengenai upah, jam kerja, cuti, jaminan sosial, keselamatan kerja, dan lain
sebagainya. Jelasnya akan timbul masalah tentang syarat-syarat kerja dan kondisi kerja
yang menyangkut pihak buruh dan pihak pengusaha.
Semakin pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia membuat semakin tinggi
juga permintaan akan listrik yg diperlukan untuk menjalankan mesin ataupun untuk
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pemerintah harus meyediakan pasokan listrik yg
cukup agar perindustrian dan perekonomian Indonesia dapat berkembang dengan pesat.
3
A Mengatasi ketidakseimbangan pasokan listrik PT. PLN dengan kebutuhan listrik
sektor Industri.
B. Menghindari pemadaman listrik sehingga sektor Industri dapat melakukan
Operasi dengan baik.
Di dalam Situs Kapan lagi.com diuraikan bahwa, surat Keputusan Bersama
(SKB) lima menteri yang mengatur pergeseran hari libur, SKB tersebut mulai
diberlakukan tanggal 21 Juli 2008. Keputusan tersebut diberikan, karena sesuai dengan
perhitungan matematis, bahwa daya listrik di Indonesia terutama Jawa Bali tidak ada
kekurangan, hanya perlu pengaturan pada saat beban puncak. Pada Senin hingga Jumat,
khususnya listrik Jawa Bali kekurangan daya hingga 600 megawatt (mw), sebaliknya,
pada Sabtu dan Minggu, justru kelebihan daya hingga 1.000 MW. Dengan pengaturan
tersebut, maka kelebihan daya 1.000 mw bisa terserap dengan baik, tanpa harus
mengganggu jam kerja industri. Ketentuan tersebut akan berlangsung hingga
terbangunnya power plan pada sekitar Maret - april 2009, dengan tambahan daya 2.000
MW.
Sejalan dengan uraian yang dituangkan dalam media ekonomi bisnis Indonesia
bahwa, Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri terkait himbauan pemerintah
melaksanakan penghematan energi listrik berefek pada sektor industri. SKB yang
ditandatangani 5 menteri itu adalah Menteri Negara BUMN, Menteri Negara Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyepakati untuk
penghematan energi sektor industri agar dapat mengalihkan pola jam kerja pada hari
Sabtu dan Minggu atau perusahaan yang menggunakan listrik PLN untuk industri yang
Menurut hendy herdiman, pemadaman listrik dan pengalihan waktu kerja akan
berdampak pada jadwal produksi. Apalagi jika perusahaan tersebut sangat terpaku pada
'delivery due date'. Berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan dengan
mundurnya jadwal produksi. Berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan karena
harus merubah media pengiriman/ekspor barang dari jalur laut menjadi jalur udara
karena terbentur jadwal pengiriman yang sudah tidak bisa ditunda lagi. Apalagi jika
melihat pasal 7 yang berisi kewenangan PT PLN untuk mengenakan sanksi berupa
pemutusan aliran listrik sementara bagi perusahaan industri yang tidak melaksanakan
ketentuan pasal 2 peraturan bersama. Padahal selama ini PLN yang sering lebih
diuntungkan setiap bulannya. Lalu pada saat terjadi krisis listrik perusahaanlah yang
diberi sanksi hal ini sangat tidak adil, Perubahan jam kerja yang mewajibkan pekerja
untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu untuk mengganti hari kerja biasa yang
diliburkan karena adanya jadwal pemadaman listrik, jika dilihat dari segi jumlah jam
kerja tidak ada yang dirugikan.
Namun secara psikologis pekerja dirugikan karena selama ini secara umum, hari
Sabtu dan Minggu merupakan 'weekday' atau saatnya pekerja beristirahat atau
melakukan aktivitas sosial dalam keluarga dan masyarakat. kemudian ada berjuta-juta
anak-anak kaum pekerja yang harus kecewa setiap Sabtu dan Minggu karena tidak bisa
lagi bercengkerama dengan kedua orang tuanya pada kedua hari tersebut, karena pada
hari biasa (Senin-Jumat) anak-anak ini harus tetap bersekolah.
Menurut Menakertrans Erman Suparno, pengalihan hari kerja dengan tetap
masuk pada hari Sabtu dan Minggu lebih pada esensi pengaturan waktu libur pekerja
dan menyeimbangkan surplus listrik Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk
Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi manusia No 39
tahun 1999.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah ;
1. Apakah SKB 5 Menteri dapat memenuhi kehendak para buruh?
2. Apakah SKB 5 Menteri tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Apakah SKB 5 Menteri tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
C. Tujuan dan Manfaat penulisan 1. Tujuan Penulisan
Secara umum, tujuan penulis melakukan pembahasan dan menguraikannya
dalam skripsi ini adalah untuk menjawab pemasalahan yang timbul dari skripsi ini yaitu;
b. Sejauh mana SKB 5 menteri dapat di terapkan dalam industri ?
c. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dari dikeluarkannya SKB5
Menteri tersebut?
d. Untuk mengetahui kelemahan dari SKB 5 Menteri tersebut di bandingkan
dengan Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dan
2. Manfaat Penulisan
Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat
memperoleh penjelasan tentang hak dan kewajiban buruh dalam undang-undang
ketenagakerjaan No 13 tahun 2003.
Selain itu, pembahasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis dalam
bidang ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perburuhan, dimana penulis
berusaha melakukan pembahasan tentang di keluarkannya SKB 5 Menteri apakah
mewakili keinginan para pekerja/buruh itu sendiri, dalam hal ini tentunya secara
spesifik penulis menyoroti mengenai dampak yang di timbulkan SKB 5 Menteri
tersebut terhadap pekerja/buruh dilihat dari Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13
tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No 39 tahun 1999.
Secara praktis, kegunaan dari pembahasan yang penulis laksanakan selain
menambah pengetahuan penulis sendiri tentang hak dan kewajiban buruh dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, apa peranannya bagi karyawan
dan perusahaan, pembahasan yg penulis lakukan juga dapat bermanfaat sebagai bahan
acuan ataupun literatur bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya
yang ingin mengetahui dan mendalami masalah-masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
Kemudian, dari pembahasan ini dapat juga penulis ketahui kendala-kendala yang
timbul dalam lingkungan suatu perusahaan dalam kaitannya di keluarkannya SKB 5
Menteri tersebut.
D. Keaslian penulisan
Skripsi ini merupakan skripsi asli yang diangkat berdasarkan pemikiran
Penulis telah menelusuri terhadap judul skripsi hukum perburuhan di fakultas hukum
Universitas Sumatera Utara dan di berbagai fakultas hukum universitas swasta lainnya
di kota Medan dan penulis belum pernah melihat ada penulis sebelumnya yang
mengangkat topik permasalahan yang sama dengan penulis.
Hal ini menurut hemat penulis dikarenakan masih barunya permasalahan
mengenai SKB 5 Menteri, sedangkan penulis ingin membandingkan SKB 5 Menteri
dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak
Asasi Manusia No. 39 tahun 1999.
Jadi dapat disimpulkan bahwa skripsi ini murni dan asli dari hasil pemikiran dari
penulis sendiri dan bukan di dasarkan dari penulis-penulis terdahulu.
E. Metode Penulisan
Metode penelitian ini bersifat deskriptif (desciptive researh). Menurut Bambang
Waluyo, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan
tentang suatu hal tertentu di daerah tertentu dan pada saat tertentu. Namun, secara
khusus, menurut jenis, sifat dan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian hukum
empirik atau dikenal juga penelitian hukum sosiologis. “Penelitian hukum empirik
didasarkan atas data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai
sumber pertama melalui penelitian”
1. Metode Penelitian
4
4
Abdul Muis, SH. MS, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode penelitian Hukum, FH-USU, Medan, 1990.
. hal pertama yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah menginventarisasi hukum perburuhan, khususnya Undang-Undang
Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39
Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan Waktu Kerja Pada Sektor Industri di
Jawa-Bali. Untuk efektifitas dari perbandingan tersebut, maka dibutuhkanlah data
primer dari lapangan, yaitu pengusaha, buruh dan masyarakat.
2. Data Yang Digunakan
Suatu penulisan dan pembahasan atas suatu masalah yang sedang di teliti
membutuhkan data-data yang merupakan alat untuk melakukan penyelidikan dan
analisa suatu masalah. Data-data juga diperlukan untuk menguraikan masalah yang
sedang di teliti. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan (field
research)
2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui literatur-literatur hukum,
hasil-hasil penelitian maupun peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan masalah penelitian ini.
1. Library Research (Penelitian Kepustakaan)
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) tenik pengumpulan
data, yaitu :
Library Research adalah penelitian melalui perpustakaan dengan cara membaca,
menafsirkan, mempelajari, mentransfer dari buku-buku, makalah-makalah seminar,
Peraturan-Peraturan dan bahan perkuliahan penulis sendiri yang menurut penulis
2. Field Research (Penelitian Lapangan)
Field Research adalah penelitian yang dilakukan dengan melihat langsung
kondisi yang sebenarnya di lapangan melalui wawancara kepada pengusaha dan
pekerja/buruh serta mengambil bahan-bahan tulisan yang berupa data-data yang dapat di
gunakan untuk mendukung penulisan skripsi ini.
Setelah diperoleh data dari lapangan dengan lengkap, maka tahap berikutnya
adalah mengolah dan menganalisis data. Data dianalisis dengan metode pendekatan
yang bersifat analitis deskriptif dan metode induksi dan deduktif, tergantung data yang
dianalisis dengan pendekatan yuridis sosiologis.
4. Analisis Data
Analitis deskriptif maksudnya bahwa penulis semaksimal mungkin berupaya
untuk memaparkan data-data yang sebelumnya terjadi dilapangan.
Metode deduktif artinya analitis didasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13
tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999 dijadikan
sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data
yang diperoleh dari penelitian.
Metode induktif artinya data-data yang khusus mengenai perbandingan SKB 5
Menteri dengan Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 dan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999, akan ditarik kesimpulan yang akan
Pendekatan secara sosiologis maksudnya bahwa pendekatan yang dilakukan
adalah berusaha meneliti bagaimana efektifitas (daya laku) Peraturan di dalam
masyarakat.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman materi maupun bentuk dari penulisan skripsi
ini, maka penulis membuat sistematika penulisan yang sekaligus merupakan gambaran
isi skripsi, yaitu sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab yang pertama ini diuraikan tentang hal-hal yang bersifat umum
dan dibagi dalam beberapa sub bab, antara lain : Latar Belakang Pemilihan
Judul, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan Dan Sistematika
Penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM KETENAGA KERJAAN
Dalam bab yang kedua ini akan diuraikan tentang : Hukum Ketenagakerjaan
Di Indonesia yang di dalamnya membahas mengenai pengertian Hukum
Ketenagakerjaan, Asas dan Tujuan Hukum Ketengakerjaan, Sifat Hukum
Ketenagakerjaan dan Subjek Hukum Ketenagakerjaan. Syarat-Syarat Kerja
yang di dalamnya membahas mengenai Perjanjian Kerja Sebagai Awal
Hubungan kerja, Peraturan-Peraturan Tentang Hubungan Kerja,
Syarat-Syarat Kerja Sebagai Akibat Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial
Pancasila. Hak-Hak dan Kewajiban Buruh menurut Undang-Undang
Perlindungan, Pengupahan dan Lembur, Kesejahteraan dan Waktu Istirahat,
dan terakhir Hak-Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Hak dan Kewajiban
Pemerintah menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP SKB 5 MENTERI TENTANG
MENGOPTIMALKAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN
WAKTU KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI
Dalam bab yang ketiga ini akan diuraikan tentang : Latar belakang
timbulnya SKB 5 Menteri, Isi SKB 5 Menteri, Pandangan Pakar terhadap
SKB 5 Menteri, Jam kerja dan Cuti menurut UU No. 13 tahun 2003.
BAB IV PEMBAHASAN
Dalam bab yang keempat ini akan diuraikan tentang : Perbandingan SKB 5
Menteri dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Pandangan Buruh
terhadap SKB 5 Menteri, Perbandingan SKB 5 Menteri Dengan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999, Kelemahan dan kekurangan
SKB 5 Menteri, kesepakatan Kerja antara Serikat Buruh dan Majikan dalam
Solusi SKB 5 Menteri.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab terakhir ini penulis akan memuat kesimpulan penulis tentang apa
yang dibahas dalam bab-bab terdahulu dan sumbangan pikiran dan
BAB II
TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN
A. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia 1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Hukum ketenagakerjaan/perburuhan merupakan spesies dari genus hukum pada
umumnya. Sebagai bagian dari hukum pada umumnya memberikan batasan pengertian
hukum ketenagakerjaan/perburuhan tidak terlepas dari pengertian hukum pada
umumnya. Berbicara tentang batasan hukum, para ahli pada saat ini belum menemukan
batasan yang baku serta memuaskan semua pihak tentang hukum. Hal ini disebabkan
karena hukum memiliki bentuk dan cakupan yang sangat luas. Bentuk dan cakupan
yang luas ini menjadikan hukum dapat diartikan dari berbagai sudut pandang yang
berbeda5
5
Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Raja Grafindo Persadi, Jakarta, h.20.
.
Untuk memberikan pengertian dari hukum ketenagakerjaan, kita harus kembali
kepada pendapat para sarjana. Imam Soepomo dalam bukunya “Pengantar Hukum
Perburuhan” mengemukakan pendapat beberapa ahli mengenai hukum ketenagakerjaan,
yaitu:
1. Menurut Moleenaar:
Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku
yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha,
antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja dengan
2. Menurut M.G.Levenbach:
Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja,
dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan
penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
3. Menurut N.E.H.Van Esveld:
Hukum Ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan
dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh
swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung-jawab dan resiko sendiri6
“Imam Soepomo sendiri memberikan pengertian Hukum Perburuhan
(Ketenagakerjaaan) adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak
tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah"
.
7
Dari unsur diatas terlihat bahwa substansi hukum perburuhan hanya menyangkut
peraturan yang mengatur hubungan hukum seorang yang disebut buruh dan bekerja
pada orang lain disebut majikan (bersifat keperdataan), dimana tidak ada diatur
hubungan hukum diluar hubungan kerja. Konsep ini sesuai dengan pengertian buruh
didalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan .
Mengkaji pengertian yang diberikan Imam Soepomo tampak jelas bahwa hukum
perburuhan setidak-tidaknya mengandung unsur:
1. Himpunan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis);
2. Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa;
3. Seseorang bekerja pada orang lain;
4. Upah.
6
. Sendjun H.Manulang, 1988, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.1.
7
Perburuhan. Dalam undang-undang ini buruh diartikan sebagai barang siapa yang
bekerja pada majikan dengan menerima upah. Sedangkan majikan adalah orang/atau
badan hukum yang mempekerjakan buruh.
Jika kita meneliti Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, maka kita tidak akan mendapati 1 Pasal pun yang memberikan
defenisi mengenai hukum ketenagakerjaan/perburuhan. Tetapi dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan ini dapat kita ambil batasan bahwa
hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga
kerja baik sebelum bekerja (pre employment), pada saat bekerja (during employment)
dan sesudah bekerja (post employment). "pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas
dari hukum perburuhan yang selama ini kita kenal ruang lingkupnya hanya berkenaan
dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam hubungan kerja saja"8
8
. Lalu Husni, 2003, Op.Cit, h.23-24.
.
2. Asas dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
Pasal 3 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas
keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai asas pembangunan nasional,
khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan
Dalam berbagai pihak, yaitu antara Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/Buruh.
Oleh karenanya pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk
kerjasama yang saling mendukung. "Asas hukum ketenagakerjaan adalah asas
keterpaduan melalui asas Koordinasi Fungsional Lintas Sektoral Pusat dan Daerah"9
Menurut Sendjun H. Manulang, Hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat perdata
(privat) dan dapat bersifat publik. Dikatakan Hukum Perburuhan bersifat Perdata karena
dalam Hukum Ketenagakerjaan hubungan antara para pihak, yaitu Pengusaha dan .
Adapun yang menjadi tujuan hukum ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003,yaitu:
a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan;
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya;
Menurut Bahder Johan Nasution, Tujuan yang hendak dicapai dalam hubungan
industrial adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan cara menciptakan
ketenangan bekerja dan berusaha yang dilandasi dengan prinsip kemitraan dan
keseimbangan, berasaskan kekeluargaan dan gotong-royong serta musyawarah untuk
mufakat.
3. Sifat Hukum Ketenagakerjaan
9
pekerja/buruh bersifat privat. Hubungan ini bersifat Privat dimana mereka para pihak
sepakat untuk mengadakan perjanjian yang kita kenal dengan nama Perjanjian Kerja.
Perjanjian Kerja ini sendiri tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ketiga tentang Hukum Perikatan (verbitenisen recht). Disamping bersifat
privat, hukum ketenagakerjaan/Perburuhan bersifat publik. Pertama dalam hal-hal
tertentu negara atau pemerintah turut campur dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya masalah-masalah PHK, Kedua, adanya sanksi/hukuman didalam setiap peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan10
.
Tujuan campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan ini adalah untuk
mewujudkan hubungan industrial yang adil, karena peraturan perundang-undangan
ketenakerjaan memberikan hak-hak bagi buruh/pekerja sebagai manusia utuh sehingga
harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak dan
sebagainya. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan pengusaha/
majikan yakni kelangsungan hidup perusahaan.
Sifat publik dari hukum perburuhan dapat dilihat dari :
1. Adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan dibidang
perburuhan/ketenagakerjaan;
2. Ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standart upah (upah
minimum)11
Pihak dalam hukum ketenagakerjaan sangat luas, yaitu tidak hanya
pengusaha/buruh saja tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait. Luasnya para pihak ini .
4. Subjek Hukum Ketenagakerjaan
10
. Sendjun H Manulang, 1988, Op.Cit, h.2.
11
terjadi karena masing-masing pihak yang terkait dalam hubungan industrial saling
berinteraksi sesuai dengan posisinya dalam menghasilkan barang dan/atau jasa12.
Adapun yang menjadi subjek dalam Hukum Perburuhan,antara lain:
1. Pekerja/buruh
Semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada perorangan maupun pada
badan hukum disebut sebagai buruh. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) (a)
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Dalam pasal ini buruh diartikan sebagai “Barang siapa yang bekerja pada majikan
dengan menerima upah”. Setelah lahirnya Undang-Undang nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh disandingkan dengan istilah pekerja. Istilah
pekerja dan buruh secara yuridis sebenarnya adalah sama dan tidak ada perbedaan
diantara keduanya. Kedua kata tersebut dipergunakan dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan, dimana kedua istilah ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Pasal 1 butir 3 Undang-Undang
Ketenagakerjaan menyebutkan “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dalam defenisi pekerja/buruh yang
diberikan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini terdapat dua unsur yaitu unsur orang
yang bekerja dan unsur menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Dalam perkembangannya, istilah majikan ini tidak sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi
2. Pengusaha
12
sebagai pihak yang selalu berada diatas sebagai lawan atau kelompok penekan buruh. Adanya konotasi negatif seperti ini membuat konsep majikan kurang diterima secara yuridis. Pekerja/buruh dan majikan adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Oleh karena itu istilah majikan lebih tepat jika disebut dengan Pengusaha13
1. Berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja. .
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang lahir belakangan seperti
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang JAMSOSTEK, Undang-Undang Nomor
25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sendiri mengunakan istilah Pengusaha. Pasal 1 angka 5
Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 menjelaskan:
“ Pengusaha adalah : a. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan diluar
Wilayah Indonesia”.
Dalam menjalankan suatu industri pengusaha juga memiliki hak dan kewajiban
yaitu:
HAK PENGUSAHA
2. Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerja, termasuk pemberian sanksi
3. Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja
4. Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha
13
KEWAJIBAN PENGUSAHA
1. Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban
menurut agamanya
2. Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu,
kecuali ada ijin penyimpangan
3. Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
4. Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib
membuat peraturan perusahaan
5. Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi
6. Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah
mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
7. Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek
Selain pengertian pengusaha, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga memberi
pengertian pemberi kerja yakni “orang perorangan, pengusaha, badan hukum atau
Badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain"14. Pengaturan istilah pemberi kerja ini muncul untuk menghindari
orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai pengusaha
khususnya bagi sektor informal.
Dasar hukum pembentukan serikat pekerja/buruh diatur dalam Pasal 104 ayat(1)
Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Dalam pasal ini disebutkan
bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
3. Serikat pekerja/buruh
14
pekerja/serikat buruh”. Hak berserikat bagi pekerja/buruh ini secara global diatur dalam
Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tahun 1948 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding
Bersama (Convention Concorning Fredom of Association and Protection of The Rights
to Organise). Karena kondisi dalam negara kita yang sedang dilanda berbagai gejolak
pada saat pertama sekali konvensi ini diterbitkan, pemerintah pada awalnya
meratifikasi konvensi ini dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang yaitu
Keppres No.83 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.87 tahun 1948.
Konvensi ini pada hakekatnya memberikan jaminan yang seluas-luasnya kepada
organisasi pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya dan untuk bergabung dengan
federasi-federasi, konfederasi dan organisasi apapun dan hukum negara tidak boleh
menghalangi jaminan berserikat bagi pekerja/buruh sebagaimana diatur oleh konvensi
tersebut.
Hak menjadi anggota serikat pekerja/buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh.
hak ini jugalah yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang mulai berlaku sejak
ditetapkan pada tanggal 4 agustus 2000.
Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak ada satu pasal pun yang
memberikan defenisi mengenai pengertian asosiasi pengusaha. Demikian pula dalam
berbagai literatur-literatur hukum perburuhan, tidak ada juga ditemukan mengenai
defenisi asosiasi pengusaha. Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengisyaratkan
bahwa pengusaha dapat membentuk dan menjadi anggota asosiasi pengusaha15
15
. Lihat isi Pasal 105 UU Ketenagakerjaan
.
Namun demikian, kita dapat memberikan defenisi asosiasi pengusaha dari
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 5.
Dalam Pasal ini disebutkan:
“Pengusaha adalah:
a. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia“.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan:
“Perusahaan adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
Dari dua batasan yang telah diberikan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan di
atas, dapat kita ambil kesimpuan bahwa asosiasi pengusaha adalah kumpulan atau
gabungan dari beberapa orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri atau bukan milik sendiri ataupun mewakili perusahaan yang
berkedudukan di luar negeri.
Organisasi pengusaha di Indonesia sebenarnya telah tumbuh sejak zaman
Belanda. Beberapa organisasi pengusaha yang telah ada pada saat itu misalnya
Nederlandsche Indische Maatschappij Voor Nijverheid yang didirikan tahun 1853,
Indische Landbouw Genootschap didirikan pada tahun 1871 dan Kamers Van
Koophandel En Nijverheid In Nederlandsche Indische tahun 1863. Sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi setelah proklamasi kemerdekaan, organisasi pengusaha dan
berkembang sangat pesat. Pada sektor atau bidang-bidang tertentu selalu dibentuk
organisasi pengusaha secara sendiri-sendiri. Keseluruhan organisasi pengusaha itu
kemudian berafilasi menjadi bagian dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN).
Organisasi pengusaha yang bergerak dibidang sosial ekonomi termasuk
ketenagakerjaan yang dibentuk, yang sekarang ini dikenal dengan nama Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO). Semula APINDO adalah organisasi dibidang sosial
ekonomi yang bernama Stichting Centraal Social Werkgevers Overleg (SCSWO) yang
kemudian namanya diubah menjadi Yayasan Badan Permusyawaratan Urusan Sosial
Pengusaha di Indonesia (YBPUSA).
Melalui MUNAS pertama di Jogjakarta tanggal 15-16 januari 1982, nama ini
Indonesia (PUSPI), lalu pada MUNAS kedua di Surabaya tanggal 29-31 januari 1985
nama PUSPI diganti dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)“16
KADIN pada awalnya dikenal dengan nama Kamers Van Koophandel en
Nijverhaid in Nederlandsche Indische yang dibentuk berdasarkan Besluit Gubernur
Jendral tanggal 29 oktober 1863. Setelah Indonesia merdeka dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah No.11 tahun 1956 tentang Dewan dan Majelis Perniagaan dan Perusahaan.
Selanjutnya untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan
pembangunan nasional, maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 49 tahun
1973 membentuk KADIN. “KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan
bergerak dalam bidang perekonomiaan”
.
Pada saat sekarang ini organisasi pengusaha yang kita kenal adalah:
1. Kamar Dagang Indonesia (KADIN)
17
APINDO merupakan organisasi pengusaha yang khusus mengurus
masalah-masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. APINDO lahir didasari atas peran dan
tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam rangka turut serta mawujudkan
masyarakat adil dan makmur. APINDO wakil pengusaha dalam Lembaga Kerjasama
Tripartit yaitu wadah antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh yang bertujuan
memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi terutama dalam hal ketenagakerjaan.
Dalam menjalankan tugasnya APINDO merupakan mandataris KADIN, dimana
KADIN dan APINDO menjalin kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan. KADIN
dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya urusan-urusan yang berkaitan dengan .
2. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)
16
. Maimun, 2003, Op.Cit, h.21-22.
17
ketenagakerjaan dan hubungan industrial kepada APINDO. Hal ini kemudian diatur
melalui Surat Keputusan MENAKERTRANS No.22243/MEN/1975 yang mengatur
bahwa APINDO merupakan wakil pengusaha dalam lembaga tripartit.
Kegiatan-kegiatan APINDO antara lain memberikan advokasi kepada anggota,
pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia, khususnya dibidang
ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Dalam menjalankan aktivitasnya, APINDO
juga menjalin kerjasama dengan mitranya baik dari dalam maupun luar negeri.
3. Asosiasi Pengusaha yang bersifat sektoral
Asosiasi pengusaha yang bersifat sektoral ini berkonsenterasi pada bidang usaha
masing-masing sesuai sektornya dan bukan mengurusi sumber daya manusia dan
hubungan industrial, sebagaimana APINDO. Organisasi sektoral ini antara lain:
1. Sektor kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan , dibawah naungan
Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI), yaitu:
a. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI);
b. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO);
c. Indonesia Sawmill and WoodWorking Association (ISWA);
d. Asosiasi Pengerajin Mebel Indonesia (ASMINDO);
e. dan lain-lain.
2. Sektor pertanian dan perkebunan, yaitu:
a. Asosiasi Gula Indonesia (AGI);
b. Asosiasi The Indonesia (ATI);
c. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia;
3. Sektor peternakan dan perikanan, yaitu:
a. Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO);
b. Himpunan Pengusaha Peternakan Indonesia (HIPERRINDO);
c. Himpunan Pengusaha Perikanan Indonesia (HPPI);
d. dan lain-lain.
4. Sektor pertambangan dan energi, yaitu:
a. Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi
(HISWANAMIGAS);
b. Asosiasi Pemboran Minyak dan Gas Bumi;
c. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia;
d. dan lain-lain.
5. Sektor Pariwisata, yaitu:
a. Association of The Indonesian Tour and Travel Agencies (ASITA);
b. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI);
c. dan lain-lain.
6. Sektor jasa perhubungan, yaitu:
a. Organisasi Angkutan Darat (ORGANDA);
b. Indonesia National Shipowners Association (INSA);
c. dan lain-lain.
7. Sektor jasa konstruksi dan pengembangan (real estate), yaitu:
a. Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI);
b. Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (GAPENSI);
c. Persatuan Real Estate Indonesia (REI);
8. Sektor Industri Logam Dasar dan Mesin, yaitu:
a. Asosiasi Industri Karoseri Indonesia (AIKI);
b. Gabungan Pabrik Besi Baja Indonesia (GAPBESI);
c. Ikatan Perusahaan Industri Kapal Nasional Indonesia (IPRINDO);
d. dan lain-lain18.
Pemerintah selaku penguasa negara berkepentingan untuk ikut campur tangan
dalam hukum ketenagakerjaan. Di negeri Belanda, orang mengatakan bahwa karena
campur tangan negara, “Arbeidsrecht” menjadi hukum perburuhan yang adil
5. Pemerintah
19
Pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap unsur-unsur dan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dan
secara terkoordinasi dengan mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat
pekerja/buruh dan organisasi profesi yang terkait, baik melalui kerjasama nasional
maupun internasional. Pembinaan dimaksud dilakukan pemerintah melalui kebijakan-. Hal ini
dikarenakan jika hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha yang sangat berbeda
secara sosial ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk
mencapai keadilan dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan akan sulit untuk
tercapai, karena para pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah.
Atas dasar itulah pemerintah harus turut campur tangan.
Dalam bidang ketenagakerjaan, pemerintah melalui DEPNAKERTRANS
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1. Pembinaan
18
. Abdul Khakim, 2003, Op.Cit, h.139-141.
19
kebijakan sesuai wewenang yang telah diberikan undang-undang sehingga tujuan
pembangunan ketenagakerjaan dapat tercapai.
2. Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan pemerintah melalui DEPNAKERTRANS
dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Dalam prakteknya, pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang telah ditetapkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pegawai
ketenagakerjaan dalam menjalankan tugasnya wajib untuk:
a. Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya wajib dirahasiakan;
b. Tidak menyalagunakan wewenangnya20
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan memuat ketentuan pidana bagi
setiap yang melanggarnya. Guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran pidana di
bidang ketenagakerjaan maka ditunjuk pegawai atau badan yang berwenang dan
kompeten melakukan penyidikan. Pasal 182 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan memberikan wewenang kepada Pejabat Polisi Negara .
Pengawasan biasanya dilakukan ditempat kerja dengan melihat dan memeriksa
langsung syarat-syarat kerja, waktu kerja, waktu kerja lembur, pekerja/buruh wanita dan
anak, serta aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Bagi pekerja/buruh,
pengawasan ini menjamin terlaksananya hak-hak pekerja atau buruh yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan bagi pengusaha, pengawasan merupakan
sarana untuk memperoleh penjelasan dari pihak yang berwenang dan kompeten tentang
kewajibannya menurut aturan yang berlaku.
3. Penyidikan
20
Republik Indonesia dan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selaku Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS)21
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja
dapat terjadi setelah diadakan perjanjian antara pengusaha dan pekerja, dimana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha tersebut dengan menerima
upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja .
B. SYARAT-SYARAT KERJA
Dalam hal penerimaan tenaga kerja sebuah industri akan menerapkan pola
seleksi apabila ternyata tenaga kerja yang tersedia lebih banyak dari yang dibutuhkan
oleh industri tersebut. Dengan pola seleksi juga dapat dipilih tenaga-tenaga yang
mempunyai keunggulan, seperti lebih berpengalaman, lebih ahli dan
kelebihan-kelebihan lain yang memang dibutuhkan oleh industri tersebut. Menyadari bahwa untuk
dapat diterima menjadi tenaga kerja dalam sebuah industri memerlukan beberapa
keahlian, maka sudah selayaknya para calon pekerja akan berusaha meningkatkan
kemampuannya sesuai dengan kriteria atau syarat-syarat yang dikehendaki oleh sebuah
industri.
1. Perjanjian Kerja Sebagai Awal Hubungan Kerja
Sebuah proses industri akan berjalan apabila telah terdapat unsur-unsur yang
memungkinkan terlaksanakan kegiatan industri, seperti adanya pengusaha sebagai
pemilik modal dan pekerja yang akan melaksanakan apa yang menjadi bidang garapan
industri tersebut. Dalam kaitan ini pengusaha dan pekerja akan saling bekerja sama
untuk mewujudkan terlaksananya kegiatan industri melalui hubungan kerja.
21
dengan membayar upah. Perjanjian yang demikian disebut Perjanjian Kerja22
Yang dimaksud dengan di bawah perintah orang lain adalah bahwa pekerja
dalam melakukan kegiatannya di bawah perintah pengusaha, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1603 (b) KUH perdata yang menyatakan bahwa pekerja wajib menaati aturan . Dan
menurut Pasal 1601 (a) KUH Perdata, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah
sebagai berikut:
Perjanjian Kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh
(pekerja) mengikat diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan
(pengusaha), dengan upah selama waktu tertentu.
Dari batasan tentang perjanjian kerja dan isi Pasal 1601 (a) KUH Perdata
tersebut diatas, ada beberapa hal yang terkandung dalam perjanjian kerja yang dapat
disebut sebagai unsur-unsur dalam perjanjian kerja, yaitu;
1. Melakukan pekerjaan tertentu.
Suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang
membuat perjanjian kerja merupakan unsur penting dalam perjanjian kerja. Pasal 1601
(a) KUH Perdata menyatakan bahwa pekerja dalam melakukan pekerjaan wajib
melakukan sendiri pekerjaannya, kecuali mendapat ijin dari pengusaha dimana ia dapat
menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya. Dengan demikian pekerjaan itu
dilakukan sendiri oleh si pekerja (bersifat pribadi) dan tidak boleh digantikan oleh orang
lain.
2. Di bawah perintah atau pimpinan orang lain.
22
mengenai hal melakukan pekerjaan dan aturan yang ditujukan pada peningkatan tata
tertib dalam perusahaan pengusaha yang diberikan kepadanya oleh dan atau atas nama
pengusaha dalam batas aturan perundang-undangan atau perjanjian atau peraturan
perusahaan , atau jika tidak ada, menurut kebiasaan.
3. Adanya Upah
Unsur adanya upah merupakan hal yang penting dan menentukan dalam setiap
perjanjian kerja dan diberikan dalam bentuk-bentuk yang telah ditetapkan sesuai
perjanjian kerja. Apabila seseorang bekerja dengan tujuan bukan mencari upah maka
tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan perjanjian kerja. Dan menurut Pasal 1601 (p)
KUH Perdata, kalau upah yang dibayarkan oleh pengusaha diberikan dalam bentuk lain
yang telah ditetapkan dianggap tidak memberi upah. Sedangkan bentuk-bentuk upah
yang dapat dibayarkan oleh pengusaha antara lain:
a. Uang;
b. Makanan yang harus dimakan;
c. Pakaian kerja;
d. Jumlah tertentu dari hasil perusahaan;
e. Hak pakai sebidang tanah;
f. Pekerjaan/jasa tertentu yang dilakukan oleh pengusaha;
g. Hak pakai rumah atau sebagian rumah tertentu;
4. Untuk waktu tertentu
Bahwa dalam perjanjian kerja akan disepakati tentang berapa lama pekerja akan
mengikatkan diri dengan pengusaha dalam melakukan hubungan kerja. Oleh karena itu
pekerja tidak boleh melakukan pekerjaannya sekehendak hati, begitu pula pengusaha
tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup. Hal ini untuk memberikan
jaminan bahwa hak pribadi manusia tetap diperhatikan. KUH Perdata tidak mengatur
lebih jauh pengertian “waktu tertentu“. KUH Perdata hanya mengatur tentang
keadaan-keadaan dimana suatu hubungan kerja dapat berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal
1603(e) ayat 1, Pasal 1603(j) dan Pasal 1603(k) KUH Perdata yaitu sebagai berikut:
a. Jika habis waktunya seperti yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam
peraturan undang-undang atau jika semua itu tidak ada,menurut kebiasaan.
b. Jika pekerja telah meninggal dunia
c. Jika pekerja telah meninggal dunia, kecuali jika dari perjanjian dapat
disimpulkan sebaliknya23
Dengan uraian peristiwa itu diatas timbullah suatu hubungan antara dua pihak
yang dinamakan perikatan dan pada hakekatnya perjanjian itu adalah suatu rangkaian
perkataan yang mengandung hak dan kewajiban yang diucapkan atau ditulis. Dengan
demikian perjanjian ini dapat dilakukan secara lisan atau dengan surat pengangkatan
oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu dengan membuat surat perjanjian yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dan bila perjanjian tersebut dibuat secara
tertulis, maka biaya akte dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh pengusaha .
24
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa dalam pembuatan perjanjian kerja pada
dasarnya tidak disyaratkan bentuk tertentu apakah dalam bentuk tertulis atau tidak .
23
. Soedharyo Soimin, SH, KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 401 dan 403.
24
tertulis. Jadi seperti perjanjian lainnya, bentuk perjanjian kerja adalah bebas. Akan
tetapi lebih bermanfaat apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis karena dapat
dinyatakan rumusan tertentu dengan tegas dan jelas. Sehingga dengan makin tegas dan
jelasnya rumusan pernyataan kedua pihak akan timbul kepastian dan terhindar dari
keragu-raguan. Begitu pula perjanjian kerja tertulis akan sangat bermanfaat sebagai
tanda bukti tertulis bila terjadi perselisihan.
Dalam perjanjian kerja yang bertindak sebagai atau mewakili pengusaha sangat
tergantung kepada bentuk/badan hukum perusahaannya serta ketentuan peraturan yang
berlaku di lingkungan perusahaan bersangkutan sedangkan pihak pekerja biasanya
sebagai pihak yang berdiri sendiri. Sehingga dalam perjanjian kerja tertulis,
penandatanganan perjanjian kerja dilakukan oleh setiap pekerja atau seorang pekerja
atau setiap pribadi pekerja sebagai subjek hukum.
Karena suatu perjanjian kerja bersifat perorangan atau individual, maka sering dipakai istilah “Perjanjian Kerja Perorangan (PKP)“ atau dalam bahasa Belanda disebut Individuele Arbeids Overeencomst (IAO) atau dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah Individual Labour Agreement (ILA). Istilah yang terakhir ini sudah dikenal dalam setiap sistem hubungan kerja atau hubungan industrial25
Setelah terjadi hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja dengan dibuatnya
perjanjian kerja, maka pihak pengusaha akan membuat peraturan-peraturan yang disebut
peraturan pengusaha atau peraturan perusahaan yang dibuat secara sepihak oleh
pengusaha. Karena dibuat secara sepihak oleh pengusaha maka peraturan perusahaan
biasanya mencantumkan kewajiban pekerja yang maksimal dengan hak yang minimal
dan sebaliknya mencantumkan kewajiban pengusaha yang minimal dengan hak yang
maksimal. Dan sekali pun peraturan perusahaan tidak mensyaratkan adanya persetujuan .
2. Peraturan-Peraturan Tentang Hubungan Kerja
25
kerja, tetapi dalam membuat peraturan perusahan, pengusaha harus memperhatikan
saran dan pertimbangan dari wakil pekerja perusahaan bersangkutan dan tidak boleh
melanggar undang-undang tentang ketertiban umum, tata susila dan ketentuan
perundang-undang yang sifatnya memaksa.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa selain perjanjian kerja KUH Perdata
mengatur pula ketentuan-ketentuan tentang suatu bentuk peraturan yang memuat
syarat-syarat kerja bagi kelompok/para pekerja yang disebut Peraturan Perusahaan. Peraturan
perusahaan ini dimaksudkan sebagai perpanjangan (verlengstruk) dari semua perjanjian
kerja yang terpisah, yang berlaku untuk semua pekerja yang melakukan hubungan kerja
dengan seorang pengusaha. Akan tetapi peraturan perusahaan bukan untuk
menggantikan adanya perjanjian kerja, sehingga apabila serikat pekerja menginginkan
adanya perjanjian kerja, maka pengusaha wajib melayani. Dan menurut Levenbach
kedudukan peraturan perusahaan lebih tinggi daripada perjanjian kerja individual,
karena sifatnya sebagai hukum bersama, sekalipun perjanjian kerja individual tersebut
dibuat secara tertulis26
26
. Koko Kosidin, SH. DR, Op.Cit, hlm 89
.
Dalam KUH Pedata peraturan perusahaan diatur dlam Pasal 1601 (j), (k), (l) dan
(m), tetapi KUH Perdata tidak secara khusus memberikan batasan tentang peraturan
perusahaan. Sebagai contoh pada Pasal 1601(j) KUH Perdata hanya memuat bahwa
suatu peraturan yang ditetapkan oleh pengusaha hanya mengikat pekerja jika ia secara
tertulis telah menyatakan menyetujui peraturan tersebut dan selain itu telah dipenuhi
syarat-syarat formal sebagai berikut:
1. Bahwa selembar lengkap peraturan perusahaan dengan cuma-cuma oleh dan