• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda

Disusun Oleh

Dr. Heny Syahrini

NIP 132 316 964

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

R.S.U.P. ADAM MALIK MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TUBERKULOSIS PARU RESISTENSI GANDA

Heny Syahrini, Zuhrial Zubir, E.N.Keliat, Alwinsyah Abidin Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU / RSUP H.Adam Malik/RSU Dr. Pirngadi Medan

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan

basil Mycobacterium tuberculosis dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini1,2. Pada tahun 1992 World Health

Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai ‘Global Emergency’. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi

di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila

dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk2. Di Indonesia, TB menduduki peringkat ke-3 dengan prevalensi tertinggi di

dunia setelah Cina dan India. Kematian oleh karena TB ini terutama

terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia TB menduduki

peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian3.

Di Amerika Serikat (AS) sejak ditemukan dan kemudian

berkembangnya obat anti tuberkulosis (OAT) yang cukup efektif, TB dapat

ditekan jumlahnya. Akan tetapi sejak tahun 1989-1992 timbul kembali

peningkatan penyakit ini, yang dikaitkan dengan peningkatan epidemi

HIV/AIDS, urbanisasi dan migrasi akibat resesi melanda dunia.

Bersamaan dengan peningkatan penyakit ini timbul masalah baru yaitu TB

dengan resistensi ganda (Multidrug Resistant Tuberculosis / MDR TB)4. “WHO Report on Tuberculosis Epidemic 1995” menyatakan bahwa resistensi ganda kini menyebar dengan sangat cepat di berbagai belahan

dunia5. Pada gambar 1 menunjukkan prevalensi TB resistensi ganda di berbagai belahan dunia6. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi

oleh kuman tuberkulosis khususnya Rifampisin dan isoniazid (INH), serta

(3)

Gambar 1. Atas (A) : Prevalensi TB resistensi ganda pada kasus-kasus baru dari 1994-2002. Bawah (B) : Prevalensi TB resistensi ganda pada kasus yang telah diberikan obat sebelumnya dari 1994-2002 (dikutip dari 6).

dengan resistensi ganda ternyata memerlukan perawatan rumah sakit

cukup lama, OAT yang lebih toksik, resiko mendapatkan tindakan operasi

serta biaya pengobatan cukup tinggi yang diperkirakan sampai 180.000

(4)

Rumah Sakit Dr.Rotinsulu Bandung tahun 2005, terdapat 28,2% resisten

rifampycin dan isonoazid;17,8% resisten rifampycicn-isoniazid-ethambutol

H-E); 13,8% resisten ryfampicin-isoniazid-ethambuol-pyrazinamid

(R-H-E-Z); 10,3% resisten

ryfampicin-isoniazid-ethambutol-pyrazinamid-streptomycin (R-H-E-Z-S)7. Sementara di Medan, Tanjung A dan Keliat E.N melaporkan (1994) pola resistensi primer terhadap gabungan 2

macam obat H-E (10,34%), S-E (3,45%), E-R (17,2%); dan gabungan 3

macam obat yaitu masing-masing S-H-E dan S-E-R berkisar 3,45%.

Sedangkan gabungan 2 macam obat (S-H, S-R, R-H), 3 macam obat

(H-E-R dan S-H-R) serta 4 macam obat lainnya (R-H-E-S) masih sensitif8. Pada makalah ini selanjutnya akan dibahas mengenai apa itu TB

paru dengan resistensi ganda, mekanisme resistensi, diagnosis, hingga

penatalaksanaannya.

DEFINISI

TB dengan resistensi ganda dimana basil M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya2,9,10,11.

TB resistensi ganda dapat berupa resistensi primer dan resistensi

sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang

tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai

khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi

sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang

sebelumnya sesnsitif obat1,12.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESISTENSI OAT

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran TB

resistensi ganda digambarkan pada gambar 2. Basil mengalami mutasi

resisten terhadap satu jenis obat dan mendapatkan terapi OAT tertentu

yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh

konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi

obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut

(5)

Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan resistensi

obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB

dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana

orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi

difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih

cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan

terlambatnya penegakkan diagnostik. Resistensi obat yang primer dan

sekunder dapat diimpor, khususnya dari negara dengan prevalensi yang

tinggi dimana program kontrol tidak adekuat. Resistensi obat primer,

seperti halnya resistensi sekunder, dapat ditransmisikan ke orang lain jadi

dapat menyebarkan penyakit resistensi obat di dalam komunitas13.

Koloni M.tuberculosis

1 Mutasi alamiah

Mutan resisten

Strain resisten akibat terapi yang tidak adekuat

Transmisi secara droplet

Resistensi obat TB sekunder (multipel)

Resistensi obat TB primer (multipel)

2

Infeksi HIV

Kontrol infeksi yang tidak adekuat Diagnostik yang terlambat

3a

3b

Transmisi yang lebih jauh

Resistensi obat TB primer yang lebih banyak

(multipel)

(6)

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT

yaitu2,5:

• Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi

yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan

rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap

kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.

• Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian

bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan

lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.

• Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu

terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama,

maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.

• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.

MEKANISME RESISTENSI OAT

Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul

yang larut air shingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja

obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur

bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur

(7)

isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen

katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase14.

Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces

mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler12,14. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat

atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.

Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,

biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1:

107 atau lebih 12.

Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya

permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung

DNA. Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari

mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi

rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin

berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi

dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen

untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya

perubahan pada tempat ikatan obat tersebut12.

Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide

Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan

penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14.

Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek

(8)

memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana

asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah

oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat14.

Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya

aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah

menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini

berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase14,15.

Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol

Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air

dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai

bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan

menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai

polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam

dinding sel14.

Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406

pada sekitar 90% kasus14.

Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin

Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi

dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal14.

Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari

dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan

(9)

streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi

pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang

terhadap capreomysin maupun amikasin14.

DIAGNOSIS

Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda dicurigai kuat jika kultur

basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur

kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran

demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB

paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi,

terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2) Kontak

dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4)

Inveksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB12.

Diagnosis TB resistensi ganda tergantung pada pengumpulan dan

proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi

diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi

sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitiviats

terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium

rujukan yang memadai12.

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat

pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan

metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama

untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi

baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan

genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah

mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini

(10)

suasana dengan prevalensi TB resistensi ganda yang tinggi. Sementara

metode fenotipik , di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana

dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi

klinik secara rutin15.

Tabel 1. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT(dikutip dari 15) Metode fenotipik konvensional Metode fenotipik baru Metode genotipik

Metode proporsional

The nitrate reductase assay

The microscopic observation

broth-drug susceptibility

assay

Metode agar thin-layer

Rangkaian DNA

Teknik hybridisasi fase Agar

Teknik real-time Polymerase

Chain Reaction (PCR)

Microarrays

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan TB resistensi ganda ini memerlukan seorang

spesialis yang ahli dibidangnya6,16. Tiga hal penting dan perlu diperhatikan pada penatalaksanaan TB resistensi ganda adalah teknik diagnostik,

pemberian obat, dan kepatuhan16. Dengan pemilihan panduan obat yang tepat maka diharapkan separuh penderita TB resistensi ganda ini akan

sembuh dan bisa diselamatkan kemungkinan terjadinya kompilkasi dan

kematian. Untuk dapat menyusun panduan yang tepat bagi setiap

penderita diperlukan beberapa informasi mengenai hasil tes resistensi

kuman tuberkulosis, riwayat pengobatan dan pola resistensi kuman di

lingkungan masyarakat penderita menetap. Bila data resistensi baru tidak

ada maka data resistensi lama dapat dipakai apabila belum ada OAT yang

dipakai penderita setelah tes resistensi dilakukan atau OAT yang dipakai

setelah tes resistensi tersebut memang terbukti terdiri dari paduan obat

yang masif sensitif. Bila tidak didapat tiga obat yang sensitif maka OAT

yang dipilih adalah yang belum pernah dipakai penderita dan menurut

(11)

Pengobatan berbasis rumah sakit dianjurkan setidaknya hingga

konversi sputum, kemudian setelah keluar rumah sakit, program DOT

dijalankan terutama pada kasus resistensi didapat dan sebelumnya

terbukti tidak patuh16. Konsep DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menanggualngi masalah tuberkulosis

khususnya resistensi ganda ini5,12,16. Program DOTS-plus untuk TB resistensi ganda memerlukan modifikasi pada lima komponen strategi

DOTS6 (tabel 2). Dalam pengawasan hasil terapi, harus dipahami bahwa

perbaikan terjadi lebih lambat bila dibandingkan tanpa TB resistensi

ganda, namun pada beberapa serial kasus didapatkan kultur sputum

konversi negatif setelah 2-3 bulan terapi16.

Strategi DOTS Strategi DOTS-plus

Komitmen adminstratif dan politik (pemerintah)

Komitmen adminstratif dan politik (pemerintah) yang lebih lama Diagnosis dengan kualitas baik

menggunakan pemeriksaan sputum mkroskopis

Diagnosis yang akurat dengan

pemeriksaan kultur dan uji resistensi obat yang terjamin

Pengobatan yang berkesinambungan terhadap obat lini pertama untuk pasien rawat jalan

Pengobatan yang berkesinambungan terhadap obat lini pertama dan kedua, pemberian obat lini kedua dilakukan dibawah pengawasan yang ketat Pengawasan obat secara langsung

(Directly Observed Therapy)

Pengawasan obat secara langsung (Directly Observed Therapy) Pencatatan yang sistematik dan

bertanggung jawab

Sistem pelaporan dan perekaman data yang memungkinkan untuk pencatatan dan evaluasi terhadap hasil akhir

Tabel 2. Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dasar dgn DOTS-plus*(dikuti dari 6)

* DOTS-plus merupakan komponen yang utuh dari program kontrol tuberkulosis nasional yang telah

ada yang dimplementasikan melalui program infrastuktur

Ketika hendak memulai terapi, yang perlu dingat adalah jangan

pernah menambahkan satu jenis obat ke regimen yang sudah gagal,

karena hal ini yang mempermudah terjadinya resistensi obat. Minimal 3

obat, dan yang lebih dianjurkan 4 sampai 6 obat diberikan pada kasus TB

resistensi ganda yang belum pernah digunakan sebelumnya dan aktivitas

(12)

(evidence-based medicine) pada penderita TB resistensi ganda belum ada yang pasti. Pemberian OAT telah disebutkan menurut panduan

internasional yang didasarkan pada studi-studi yang telah dijalankan18 (tabel 3).

Selain itu literatur lain ada juga yang menyarankan pemberian

regimen obat TB pada pasien dengan berbagai bentuk resistensi (tabel 4).

Pilihan obat yang dianjurkan adalah dengan memberikan obat lini pertama

yang masih aktif, seperti pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol.

Resistensi pada salah satu obat golongan aminoglikosida, yang paling

sering adalah streptomycin, secara umum masih dapat digunakan jenis

yang lain obat dari golongan ini. Obat-obatan parenteral seperti amikacin,

capreomycin, kanamycin termasuk dalam obat-obatan lini kedua

(fluoroquinolone, ethionamide, PAS, cycloserine, clarythromycin,

co-amoxiclav, linezolid) yang dapat diberikan. Beberapa jenis obat yang

dapat digunakan pada terapi TB resistensi ganda dan dosisnya (tabel 5)16.

Fase inisial Fase lanjutan

Obat resisten

H+R+E+S 3-6 Z+Pth+Amk+Fqn+Cyc 18 Pth+Fqn+Cyc

H+R+Z+E+S 3-6 Pth+Amk+Fqn+Cyc+Pas 18 Pth+Fqn+Cyc

(dikutip dari 18) Tabel 3. Pengobatan TB resistensi obat : rekomendasi WHO*

H: isoniazid; R: rifampicin; Z: pyrazinamide; E: ethambutol; S: streptomycin;

Pth: protionamide/ethionamide; Pas: p-aminosalicylic acid; Amk : Amikacin; Fqn : Fluoroquinolon; Cyc : Cycloserine

(13)

Tabel 4. Regimen yang potensial untuk penderita TB dengan berbagai bentuk resistensi(dikutip dari 16)

Bentuk resistensi Regimen yang dianjurkan

Durasi minimum (bulan)b

Keterangan

R + H (± S) Z+ E+Fqn+Amk 18 Pada penyakit yang luas, dapat

ditambahkan regimen tambahan.

R + H + E (± S) Z+Fqn+Amk+ 2a 18 Pertimbangkan operatif

R + H + Z (± S) E+Fqn+Amk+2a 18-24 Pertimbangkan operatif

R + H + Z + E (± S) Fqn+Amk+3a 18-24 Pertimbangkan operatif

R : Rifampycin; H : Isoniazid; Z : Pyrazinamide; E : Ethambutol; S : Streptomycin

Fqn : Fluoroquinolone (Ofloxacin,ciprofloxacin, atau levofloxacin)

Amk : Amikacin (capreomycin sebagai alternatif pada kasus yang resisten)

a

Regimen tambahan : ethionamide, Para Amino Salycilic acid (PAS), cycloserine, -lactam, clarythromycin, linezolid, clofazimine. bSetelah konversi sputum

(14)

Untuk pemilihan obat lini kedua disarankan berdasarkan aktivitas

intrinsik obat terhadap M.tuberculosis dan efikasinya terhadap klinis (tabel 6). Durasi terapi ditentukan berdasarkan setiap individu, tetapi secara

umum, sebaiknya diberikan minimal 18 bulan setelah konversi sputum.

Menurut kerentanan obat-obat M.tuberclosis pada saat awal, penarikan obat satu atau lebih bisa saja dilakukan selama terapi tanpa

memperkirakan akibatnya nanti, tetapi obat bakteriostatik dan yang tidak

mempunyai efek bakterisid sebaiknya diperpanjang, jika efek samping

tidak dapat ditolerir yang menjadi alasan mengapa regimen tersebut

direvisi (contoh : aminoglikosida, cycloserine) 16.

Jenis Obat Urutan

Levofloxacin I Aminoglycoside/capreomycin

Ethionamide/prothionamide Ofloxacin/ciprofloxacin

II

PAS III Cycloserine IV

-Lactam V

Clarythromycin, linezolid, clofazimine VI

Tabel 6. Urutan obat lini kedua yang diusulkan berdasarkan aktivitas antimikrobial intrinsik dan efikasi klinisnya(dikutip dari 16)

Hasil mengenai keberhasilan terapi TB resistensi ganda dengan

menggunakan OAT lini kedua pernah dilaporkan pada empat studi. Dari

keempat studi ini, hasil sputum yang mengalami konversi negatif berkisar

51-95% dan yang mengalami keberhasilan terapi berkisar 44-77%

sementara yang mengalami mortalitas berkisar 0-37%(tabel 7) 18.

(15)

Dari data National Jewish Centre for Immunology and Respiratory Medicine pada tahun 1983-1990, berdasarkan operasi pada 57 penderita TB resistensi ganda ternyata 45 penderita dinyatakan sembuh.

Berdasarkan laporan tersebut jelas bahwa tindakan operasi mempunyai

peran yang besar dalam penanganan TB resistensi ganda4. Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB paru resistensi

ganda, mulai dari reseksi segmental sampai pleuro-pneumonectomy.

Berdasarkan pengalaman yang ada, tindakan operasi pada penderita TB

paru resistensi ganda dengan resiko mortalitas rendah (< 3%). Tetapi

angka komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural

dan empiema yang menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen

pasien pemeriksaan sputumnya menjadi negatif setelah dilakukan

tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini direkomendasikan

pada penderita TB paru resistensi ganda yang terapi dengan obat-obatan

cukup jelek. Indikasi pembedahan yaitu (1) Kultur sputum positif yang

menetap meskipun sudah diterapi dengan obat yang cukup banyak; dan

atau (2) adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan

kegagalan terapi atau bertambahnya resistensi; dan atau (3) adanya

kavitasi lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru

yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi

respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang berat. Hal tersebut dilakukan

setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen obat-obatan,

dimana diharapkan status sputum menjadi negatif jika memungkinkan.

Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat

diperbaiki daripada dengan meneruskan terapi obat-obatan saja.

Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap dilanjutkan setelah

operasi dilakukan, kemungkinan dalam waktu setahun lebih, sebaliknya

ketahanan hidup yang jelek mungkin saja terjadi19.

Penderita TB resistensi ganda sering mengalami kakeksia,

terutama pada penderita dengan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Mekanisme hilangnya berat badan tersebut dikaitkan dengan

(16)

dan kerusakan jaringan sehingga mempengaruhi respon katabolik. Selain

itu obat-obatan seperti pyrazinamide dan golongan fluoroquinolon

menyebabkan anoreksia, nausea, vomiting, dan diare yang menganggu

masukan makanan yang selanjutnya akan memperparah keadaan

katabolik. Peranan nutrisi menjadi faktor yang penting dalam penanganan

pasien dengan TB resistensi ganda, khususnya pada pasien-pasien yang

hendak menjalani operasi paru. Walaupun belum ada bukti yang jelas,

tetapi malnutrisi diperkirakan menjadi faktor resiko yang besar untuk

mengalami komplikasi pasca operasi19.

Modifikasi sistem imun pada pasien tuberkulosis dapat

memfasilitasi kesembuhan. Oleh karena itu ada beberapa penelitian yang

mencari tahu agen-agen yang berpotensial sebagai imunoterapi, di

anataranya vaksinasi Mycobacterium vaccae. Hasil sementara yang diamati ketika imunitas membaik dengan memberikan vaksinasi M.vaccae

sebagai terapi penderita TB yang gagal dengan obat-obatan. Hal tersebut

didalilkan bahwa M.vaccae kembali merespon imun seluler secara langsung dari jalur dominan Th-2 ke Th-1 yang menyebabkan sedikitnya

destruksi jaringan dan lebih efektif menginhibisi replikasi mikobakterial.

Walaupun begitu, kelanjutan hasil ini belum dikonfirmasi dari penelitian

lanjutan. Selain itu terapi sitokin juga telah dicoba sebagai terapi TB

dengan resistensi ganda. Data belakangan ini menunjukkan bahwa

pemberian interferon gamma (IFN- ) dan interferon alfa (IFN- ) cukup

bermanfaat. IFN- disekresikan sel Th CD4+ yang memiliki efek

antituberkulosis. Sebagai tambahan, IFN- dapat menginduksi IFN-

yang disekresi oleh sel Th CD4+, dan kedua tipe IFN tersebut dapat

menstimulasi aktivitas makrofag. IFN- aerosol (500 g, tiga kali sehari)

secara klinis memberikan respon pada penderita TB dengan resistensi

ganda. Keuntungan yang didapat termasuk konversi sputum menjadi

negatif tidak memakan waktu yang lama, menghambat pertumbuhan

kuman pada kultur, dan mengurangi kavitas. Sementara pemberian IFN-

aerosol (3 MU, tiga kali seminggu) untuk dua bulan sebagai terapi

(17)

telah diobati selama 6 bulan, memberikan hasil sementara yaitu

penurunan jumlah koloni kuman per kultur. Data sebelumnya juga

mendukung bahwa IFN- aerosol merupakan terapi tambahan yang

menjanjikan terhadap penderita TB dengan resistensi ganda. Penelitian

lanjutan diperlukan untuk mengetahui persis dosis yang optimal dan

jadwal pemberian. Selain itu sitokin lainnya, interleukin 2 (IL-2), diyakini

aktivitasnya terhadap meningkatnya produksi IFN- . Pemberian

recombinant human IL-2 (rhu IL-2) sebagai terapi tambahan setiap hari dikatakan dapat menurunkan atau membersihkan jumlah kuman pada

sputum sekitar 62 persen penderita dan sekitar 58 penderita mengalami

perbaikan gambaran foto thoraks setelah enam minggu pengobatan19.

PROGNOSIS

Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui

prognosis pada penderita TB resistensi ganda. Dari beberapa studi yang

ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua,

malnutrisi, infeksi HIV, riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang

cukup banyak sebelumnnya, terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat

yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita

tersebut6.

Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu

klinisi untuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki

hal yang menjadi penyebab seperti malnutrisi6.

KESIMPULAN

TB resistensi ganda dimana terjadi resistensi minimal terhadap obat

rifampicin dan isoniazid kini menyebar dengan sangat cepat di berbagai

belahan dunia. Teknik diagnostik, pemberian obat dan kepatuhan

penderita sangat penting dalam tatalaksana TB dengan resistensi ganda

(18)

Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam

obat. Pilihan obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih

sensitif disertai obat lini kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap

kuman M.tuberculosis. Pembedahan perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif sputum. Pemberian nutrisi

yang baik dan modifikasi sistem imun (dengan vaksin M.vaccae dan sitokin) dapat membantu keberhasilan terapi, tetapi hal ini diperlukan

penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al

(eds), Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston, 2003.

2. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.

3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo AW, dkk

(eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, edisi IV. Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006.

4. Tanjung A. Pengelolaan MDR TB dalam Workshop Pengelolaan

Tuberkulosis Paru dengan Penyulit dan Keadaan Khusus.2001.

5. Aditama TY. Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya,

edisi V. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.2005.

6. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis : A

Menace That Threatens To Destabilize Tuberculosis Control.

CHEST 2006; 130:261–272.

7. Andra. Kupas Tuntas Tuberculosis dalam Simposia Update on

Tuberculosis and Respiratory Disorder. Juni 2007.

8. Tanjung A, Keliat EN. Resistensi primer kuman tuberkulosis

terhadap beberapa obat yang sering dipakai pada penderita

(19)

9. Blanc AT, et al. Management of Chronic and Multi Drug

resistance cases in Treatment of Tuberculosis : Guidelines for

national programmes, 3rd ed,.WHO. Geneva.2003.

10. Iseman MD. Mycobacterial Diseases of the Lungs in Hanley M,

Welsh CH (eds), Current Diagnosis and Treatment in Pulmonary

Medicine. Mc Graw Hill. New York. 2003.

11. Iseman MD. Tuberculosis in Goldman L, Ausiello D (eds), Cecil

Textbook Medicine.

12. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future

dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja

Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI. Bandung. 2006.

13. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) ,

Crofton and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.2000.

14. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL,

Braunwald E (eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th

ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.

15. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance

detection in Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic

science to patient care, 1st ed. www.textbookcom. 2007.

16. Perri GD, Bonora S. Which Agents Should We Use For The

Treatment of Multi Drug Resistant Mycobacterium

Tuberculosis?. Journal of Antimicrobial chemoteraphy (2004) 54,

593-602.

17. Gerberding JL, et al. Treatment of Tuberculosis. Department of

Health and Human services Centers for Disease Control and

Prevention. MMWR. Atlanta. 2003.

18. Loddenkemper R, Sagebiel D.,Brendel A. Strategies against

multidrug-resistant tuberculosis. Eur Respir J 2002; 20: Suppl.

36, 66s–77s.

19. Sharma SK, Mohan A. Multidrug resistant Tuberculosis. Indian J

Gambar

Gambar 1. Atas (A) : Prevalensi TB resistensi ganda pada kasus-kasus baru dari 1994-2002
Gambar 2.  Tiga tahap perkembangan dan penyebaran  MDR TB. Keempat masalah tersebut  berasal dari pasien yang resisten primer dan sekunder pindah ke daerah kontrol  (dikutip dari 13)
Tabel 1. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT(dikutip dari 15)
Tabel 2. Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dasar dgn DOTS- plus*(dikuti dari 6)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Comparison of Processes Comparison of Processes Process Focus Process Focus (Low volume, (Low volume, high variety) high variety) Repetitive Repetitive Focus Focus

Penelitian untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional, cara meramu, cara pengobatan, khasiatnya, dan upaya masyarakat

 Guru mengamati kegiatan praktik siswa dalam mengerjakan Job Latihan, dari proses awal hingga pembuatan gambar dengan pola dasar lingkaran yang saling bersinggungan..

Perbedaannya, penelitian tersebut meneliti karya sastra dalam bentuk LKS dan dengan menggunakan metode penyelidikan kelompok dan menggunakan pendekatan analisis sedangkan

Diagram blok top_module (yang menggambarkan port masukan dan keluaran) untuk semua fungsi/desain sama , sehingga bisa disalin untuk menghemat waktu praktikum. Perilaku tiap

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang Nomor : 600/10/POKJABRG2-DKP/AL/2015 tanggal 5 Maret 2015 perihal Penetapan Pemenang Pekerjaan Belanja Alat Listrik dan Elektronik

Begitu halnya pada pelaksaan pembelajaran di SMP Negeri 1 Kota Bima dapat di simpulkan, bahwa strategi yang dilakukan guru PAI yaitu merupakan suatu transformasi nilai

Program e-learning sangat membantu di dalam memberikan pendidikan terkait dengan implementasi yang tepat di dalam memberikan Asuhan Keperawatan dilayanan kesehatan, dimana