• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan Pada Lansia Muslim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan Pada Lansia Muslim"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN

KEBAHAGIAAN PADA LANSIA MUSLIM

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

PUTRI AULIA RAHMAN

061301079

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan Pada Lansia Muslim

Putri Aulia Rahman dan Rodiatul Hasanah Siregar

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan positif antara religiusitas dengan kebahagiaan pada lansia muslim. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik incidental dengan jumlah subjek sebanyak 100 orang. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala kebahagiaan dengan menggunakan Satisfaction With Life Scale yang dikemukakan oleh Diener (1985) yang telah diadaptasi dan skala religiusitas yang disusun berdasarkan dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2005) dimana masing-masing skala memiliki reliabilitas sebesar 0.772 untuk skala kebahagiaan, 0.930 untuk skala religiusitas I dan 0,898 untuk skala religiusitas II.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa (1) terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan kebahagiaan p (0,000)<α(0,05), (2) Nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,396.

Kata kunci: religiusitas, kebahagiaan, lansia

ABSTRACT

The goal of this research is to find if there is a positive relation between religiusitas with happiness at moslem late adulthood. The sampling technique used in this research is incidental sampling with involved 100 subject. The instrument in this research are happiness scale by using Satisfaction With Life Scale by Diener (1985) which adaptation have and religiusitas scale based on dimension of religiusitas by Glock and Stark (in Ancok dan Suroso, 2005), where each scale own the reliabilitas 0.772 for happiness scale, 0.930 for religiusitas scale I and 0,898 for religiusitas scale II.

The research result indicated that (1) there is a positive relation between religiusitas with happiness p(0.000)<α(0.05), (2) corelation coefisien (R) is 0.396.

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allahu Rabbi, yang tak pernah jemu melimpahkan bilangan cinta-Nya yang tak berbalas, belaian kasih sayang-Nya, atas semua karunia, kenikmatan, keistiqomahan, kesehatan, waktu dan kesempatan yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan Pada Lansia Muslim. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, semoga kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan dalam perjalanan skripsi ini dan kerja-kerja selanjutnya.

(4)

hormat dan kasih sayang kehadapan Nenek Nurbaiti, Makcik Aziarti Tanjung, Makcik Anibarti Tanjung, Abangda Agus Syahputra, S.T., dan Kakanda Sylvani Pujianti, S.Kom., Abangda Firmansyah dan Kakanda Reni yang telah memberikan begitu banyak pengorbanannya baik secara materil dan moril kepada saya dan keluarga, semoga Allah membalas segala kebaikan kalian dengan jannah-Nya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada adik-adik bimbingan penulis: Karina, Nur Afni, Alya, Rianty, Dandi, Wawan, Najah, Nanda, Nisa, Balqis yang telah juga menjadi semangat dan penghibur dikala keletihan melanda ditengah-tengah kesibukan saat pengerjaan skripsi ini. Semoga kalian menjadi anak-anak yang cerdas dan berguna bagi Orang Tua, Agama dan Bangsa.. Aamiin.

Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

a. Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

b. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si, psikolog, sebagai dosen pembimbing akademik, pembimbing skripsi, dan dosen penguji. Terima Kasih atas masukan, nasehat, dan ide-ide kreatif yang ibu berikan selama ini. Semoga Allah melimpahkan bilangan cinta-Nya dan membalas segala kebaikan ibu selama ini dengan jannah-Nya. Maaf jika ada kata dan sikap saya yang salah dan menjengkelkan hati Ibu.

(5)

d. Kepada Kak Juliana Saragih, M.Si selaku dosen penguji II yang telah bersedia menjadi penguji tugas ini, terima kasih banyak atas masukan yang kakak berikan.

e. Kepada Mine Support Cholic n The Best Friend, Fitri Andriani, S.Psi Plus D’8, Helvira Rosalia, S.Psi, Nella Rizka Zahara, S.Psi, Paidi, Irma Auliah, S.Psi, M.Aslam Syahruddin S.Psi, M.Ikhsan Taufik, Hans Erawan, Novami Lestari Rahayu, Moyang Dwimerdeka, Naya Sukma, Sofia Mawaddah, Nurul Mukhlisah, Arif Tri Prabowo, Novika Susi Lestari, Siti Habibah, Nahriyah M Hasyimi (uhibukifillah, keep hamasah ya Allahu Akbar!!!!). Terima kasih untuk dukungan moril serta semangat juang terindahnya, yang selalu setia menemani, dan mendengarkan segala kesuh kesah, semoga Allah selalu menyatukan hati-hati kita di jalan-Nya hingga akhirnya mempertemukan kita di jannah-Nya.

f. Kepada adik-adik Formasi Al-Qalb USU yang selalu semangat dalam dakwah (Sri Rahmi Wahyuningsih, Mifta Aulia, Yuni Asmidar, Ratna Juwita, Jelita, Fadilah Azwani, Imam Setiawan, Bobby Kurniawan, Imam Damara, Sheila, Fitri Dian Adlina, Lili, Dealova, Febri, Ikhsan Syah Lubis, Rini Khalis, Putra, Fauzi dan yang lainya serta adik-adik mentoring 2009 dan 2011, Jazakumullah khairon katsiron atas masukan, dan semangatnya. Semoga Allah selalu menyatukan hati-hati kita di jalan dakwah ini, keep hamasah.

(6)

sayangnya disaat peneliti merasa sedih, pesimis. Jazakumullah khairon katsiron untuk semuanya. Semoga Allah mempertemukan kita dalam Jannah-Nya. h. Kepada Teman-Teman BSMI Medan yang telah memberikan semangat dan

pengertiannya untuk menyediakan waktu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skrispi ini.

i. Buat Kepala Sekolah dan teman-teman Guru di PAUD GENERASI RABBANI (Ibunda Suryani, Winda Rizky Suciani, Nur Aisyah) yang telah memberikan semangat, dukungan dan pengertiannya kepada penulis dan menyediakan waktu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. j. Seluruh lansia yang menjadi sampel penelitian peneliti, terima kasih banyak

untuk kesediaannya, semoga Allah selalu melimpahkan keberkahanya, melimpahkan rezki dan kesehatan buat kakek dan nenek.

k. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara atas segala ilmu dan bantuannya selama masa perkuliahan.

l. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis sehingga proposal skripsi ini dapat terselesaikan.

(7)

Medan, Juni 2012

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Kebahagiaan ... 12

1. Pengertian Kebahagiaan ... 12

2. Komponen-komponen Kebahagiaan ... 13

3.Faktor-faktor Yang Berkontribusi Terhadap Kebahagiaan 3.a. Faktor External ... 16

3.b. Faktor Internal ... 20

4. Pengukuran Kebahagiaan ... 22

B. Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas ... 24

2. Dimensi Religiusitas ... 25

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas ... 30

(9)

C. Lansia Muslim

1. Definisi Lanjut Usia ... 32

2. Tugas Perkembangan Lanjut Usia ... 32

3. Minat Lansia Terhadap Keagamaan ... 34

4. Beberapa Kondisi Penting Yang Menunjang Kebahagiaan Pada Masa Lansia ... 35

D. Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan Pada Lansia Muslim ... 36

E. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III METODE PENELITIAN... 40

A. Identifikasi variabel ... 41

B. Definisi operasional variabel 1. Kebahagiaan ... 41

2. Religiusitas ... 42

C. Populasi, Sampel dan Taknik Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel ... 44

2. Metode pengambilan sampel ... 45

D. Lokasi Penelitian ... 46

E. Metode Pengumpulan Data... 47

1. Skala Religiusitas ... 48

2. Skala Kebahagiaan ... 50

F. Uji Coba Alat Ukur ... 51

1. Validitas Alat Ukur ... 51

(10)

3. Reliabilitas Alat Ukur... 53

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian ... 54

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 55

3. Tahap Pengolahan Data ... 55

H. Metode Analisa Data ... ………55

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... ... ……58

A. Gambaran Subjek Penelitian 1. Berdasarkan Jenis Kelamin ... 58

2. Berdasarkan Pekerjaan ... 59

3. Berdasarkan Kesehatan ... 59

4. Berdasarkan Usia ... 59

B. Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi ... 60

a. Uji Normalitas ... 60

b. Uji Linieritas ... ... 61

. 2. Hasil Utama Penelitian ... 62

3 Kategorisasi data penelitian ... 63

4. Hasil Tambahan Penelitian ... 64

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 70

B. Diskusi ... 73

C. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(11)

Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan Pada Lansia Muslim

Putri Aulia Rahman dan Rodiatul Hasanah Siregar

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan positif antara religiusitas dengan kebahagiaan pada lansia muslim. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik incidental dengan jumlah subjek sebanyak 100 orang. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala kebahagiaan dengan menggunakan Satisfaction With Life Scale yang dikemukakan oleh Diener (1985) yang telah diadaptasi dan skala religiusitas yang disusun berdasarkan dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2005) dimana masing-masing skala memiliki reliabilitas sebesar 0.772 untuk skala kebahagiaan, 0.930 untuk skala religiusitas I dan 0,898 untuk skala religiusitas II.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa (1) terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan kebahagiaan p (0,000)<α(0,05), (2) Nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,396.

Kata kunci: religiusitas, kebahagiaan, lansia

ABSTRACT

The goal of this research is to find if there is a positive relation between religiusitas with happiness at moslem late adulthood. The sampling technique used in this research is incidental sampling with involved 100 subject. The instrument in this research are happiness scale by using Satisfaction With Life Scale by Diener (1985) which adaptation have and religiusitas scale based on dimension of religiusitas by Glock and Stark (in Ancok dan Suroso, 2005), where each scale own the reliabilitas 0.772 for happiness scale, 0.930 for religiusitas scale I and 0,898 for religiusitas scale II.

The research result indicated that (1) there is a positive relation between religiusitas with happiness p(0.000)<α(0.05), (2) corelation coefisien (R) is 0.396.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Umumnya manusia dalam kehidupannya mencari ketenangan dan kebahagiaan, tetapi apa bahagia itu, dimana tempatnya, bagaimana cara memperolehnya, hampir semua orang mempunyai titik pandang yang berbeda. Myers (dalam Bekhet dkk, 2008) menyatakan bahwa kebahagiaan itu lebih dari sekedar memiliki saat-saat yang menyenangkan atau memiliki sesuatu yang sangat banyak, kebahagiaan meliputi perasaan sejahtera, kebahagiaan memiliki suatu pemenuhan, kebermaknaan, hidup yang menyenangkan. Rakhmat (2004) menambahkan bahwa kebahagiaan adalah perasaan yang menyenangkan, selain itu kebahagiaan juga meliputi penilaian seseorang tentang hidupnya.

Kebahagiaan merupakan pemahaman umum mengenai seberapa senang seseorang akan kehidupannya sendiri atau secara formal merupakan tingkat dimana seseorang menilai keseluruhan kehidupannya secara positif (Veenhoven, 2004). Ditambahkan lagi oleh Veenhoven bahwa elemen dasar dari definisi ini adalah penilaian subjektif atas kesenangan hidup, juga mengacu pada kepuasan hidup.

(13)

oleh individu. Menurut Diener (1997) ketika seseorang individu tidak merasa puas dengan kehidupannya maka individu tersebut juga tidak merasakan kebahagiaan.

Seligman (2002) memberikan delapan faktor eksternal yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang, namun tidak semua memiliki pengaruh yang besar. Delapan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan tersebut antara lain uang, pernikahan, kehidupan sosial, kesehatan, agama, emosi positif, usia, pendidikan, iklim, ras dan jender. Seligman (2002) juga memberikan tiga faktor internal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan yaitu kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang. Ketiga hal tersebut tidak selalu dirasakan secara bersamaan, seseorang bisa saja bangga dan puas dengan masa lalunya namun merasa pesimis terhadap masa sekarang dan yang akan datang. Salah satu yang terlihat dari faktor yang berkontribusi terhadap kebahagiaan adalah kepuasan terhadap masa lalu.

(14)

masa silam dan perasaan bahagia. Yang membuat kelompok pertama (para lansia usia 100 tahun) depresif terutama adalah ketergantungan pada perawat dan sisa hidup yang singkat. Selain itu mereka juga diliputi kecemasan terhadap masa depan dunia. Beban yang dianggap besar oleh kelompok kedua adalah kian meningkatnya kehilangan kontrol diri dan makin minimya kemampuan mereka untuk memecahkan masalah. Yang mengherankan peneliti adalah fakta bahwa kekayaan materi maupun kecerdasan tidak berpengaruh terhadap kebahagiaan atau kesedihan mereka, pada kedua kelompok. (Lansia: kenangan masa lalu membuatnya bahagia, 2011).

Penelitian lainnya dilakukan oleh Budiarti (2011), dimana menunjukkan successful aging pada lansia terjadi karena adanya beberapa faktor, salah satunya adalah faktor psikologis, dimana ditemukannya sikap positif pada lansia seperti menyadari akan segala kekurangan yang ada dalam dirinya, mampu menghadapi serta menyelesaikan permasalahan pada dirinya serta tercapainya tujuan dan memaknai hidup dengan lebih baik akan membuat lansia menjalani usia senjanya dengan perasaan optimis.

(15)

umumnya mengarah pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari (Rahayu, 2009).

Menurut Hakim (2003) secara fisik lanjut usia mengalami penurunan, tetapi pada aktivitas yang berkaitan dengan agama justru mengalami peningkatan, artinya perhatian mereka terhadap agama semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Lanjut usia lebih percaya bahwa agama dapat memberikan jalan bagi pemecahan masalah kehidupan, agama juga berfungsi sebagai pembimbing dalam kehidupannya, dan menentramkan batinnya (Hakim, 2003). Pernyataan tersebut sejalan dengan Hawari (1997) juga menjelaskan bahwa kebutuhan keagamaan dapat memberikan ketenangan batiniah, sehingga penghayatan keagamaan besar pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik maupun kesehatan mental, hal ini ditunjukkan dengan penelitian yang telah dilakukannya, dan didapatkan bahwa:

m. Lanjut usia yang nonreligius angka kematiannya dua kali lebih besar daripada orang yang religius.

n. Lanjut usia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat dibandingkan yang nonreligius.

o. Lanjut usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi.

p. Lanjut usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres daripada yang nonreligius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil.

(16)

lanjut usia, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Koenig, Goerge dan Segler (dalam Hakim, 2003) yang menunjukkan bahwa strategi menghadapi masalah yang tersering dilakukan oleh 100 responden berusia 55 tahun-80 tahun terhadap peristiwa yang paling menimbulkan stres adalah berhubungan dengan agama dan kegiatan religius.

Penelitian-penelitian diatas sejalan dengan Kosasih (2002) yang menyatakan bahwa kebahagiaan dipengaruhi oleh hubungan kita dengan Tuhan Yang Maha Esa, bahkan seringkali merupakan faktor utama untuk kebahagiaan. Carr (2004) juga menyatakan bahwa salah satu hal yang berhubungan dengan kebahagiaan adalah agama. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Myers (dalam Carr, 2004) bahwa suatu Studi di Amerika Utara menemukan adanya hubungan yang moderat antara bahagia dan keterlibatan dalam kegiatan keagamaan.

Dari pernyataan dan hasil-hasil penelitian diatas sejalan dengan Diana (1999) yang menyatakan bahwa keintensifan pada kehidupan agama pada lanjut usia tidak hanya mempunyai sisi nilai positif pada aspek kejiwaannya saja, tetapi memiliki sisi positif pada aspek fisik dan sosialnya.

(17)

Agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelompok agama Islam. Hal ini dipilih karena Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Dalam Islam, kebahagiaan adalah salah satu tujuan utama dalam kehidupan. Dalam kitab suci Al-qur'an kita bisa menemukan banyak ayat yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa dan bagaimana kita merajut setangkai kebahagiaan dari kehidupan kita. Misalnya:

“Wahai orang-orang yang beriman, ruku' dan sujudlah kepada Rabb-mu serta

berbuatlah amal yang baik supaya kamu mendapatkan kebahagiaan” (Q.S. 22:77)

“Barang Siapa Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah & dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya, dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (QS. 2:112)

Sebagai agama, Islam mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat universal dan sempurna yang harus dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh umatnya. Qutb (1987) menyatakan bahwa Islam adalah suatu sistem kehidupan manusia yang praktis dalam berbagai aspeknya. Islam bukan sekedar penuntun ke arah kehidupan yang abadi (syurga), tetapi dalam Islam kita juga menemukan beraneka ragam jalan menuju kesejahteraan duniawi. Hal ini mengandung pengertian bahwa Islam tidak hanya mengatur tentang bagaimana meraih kebahagian akhirat saja melainkan juga mengatur cara bagaimana meraih kesejahteraan di dunia.

(18)

menggambarkan kebahagiaan dalam agama Islam adalah “Aflaha”, Aflaha disini

mengandung banyak arti seperti beruntung, menang, makmur, berhasil, berjaya dan sebagainya. (dalam Rusydi, 2007).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebahagiaan dalam Islam terletak pada kepatuhan manusia kepada Allah. Melalui amal ketaatan, hati yang tidak pernah lalai dari mengingat-Nya, dan berbuat baik kepada sesama manusia dan berserah diri pada-Nya (Rusydi, 2007). Shalat adalah satu amalan yang terdapat dalam Islam. Rahayu (2009) menyebutkan bahwa shalat adalah kegiatan yang menggabungkan antara kegiatan fisik, mental, dan spiritual. Menurut Nursi (dalam Ismanto, 2008) selain shalat sebagai tiang agama, shalat juga berfungsi pada kesehatan si pelaku, misalnya dengan shalat dapat menenangkan jiwa dan pikiran dan baik untuk tubuh. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yg dilakukan oleh Ikhwanisifa (2008) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner di kota Medan. Dan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Nur Hidayah (2008), berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kekhusyukan menjalankan shalat dengan kebahagiaan.

(19)

sedangkan puasa tidak hanya fisik, tapi juga psikis, jasmani dan ruhani. Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mughni (2007) dimana mendapatkan hasil bahwa Puasa Ramadhan 29 hari dapat mengurangi faktor risiko aterosklerosis yakni menurunkan kadar Tg, BB dan TDS. Hal ini dapat membuktikan bahwa dengan puasa benar-benar dapat memberi dampak positif pada kesehatan.

Syaqawi (2010) menambahkan berzikir merupakan rahasia yang sangat tangguh dalam menciptakan lapangnya dada dan nikmatnya hati. Ibnul Qoyim (dalam Syaqawi, 2010) telah menyebutkan beberapa manfaat dari manfaat berzikir di antaranya, zikir dapat mengusir kecemasan dan kesedihan dan mendatangkan kesenangan, kebahagiaan dan kehidupan yang baik. Berdasarkan dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat dikatakan bahwa seorang lansia muslim yang benar-benar dalam melaksanakan kegiatan keagamaanya (shalat, puasa, zikir) dapat meraih kesehatan fisik dan juga psikologisnya.

Dister (dalam Anggarasari, 1997) menyatakan bahwa internalisasi nilai-nilai agama kedalam kehidupan individu disebut juga dengan religiusitas. Diharapkan seorang lansia muslim yang telah menginternalisasikan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupannya dapat memiliki kebahagiaan yang tinggi.

(20)

Krentzman (dalam Sulistyarini, 2010) menyatakan bahwa berdasarkan dari kerangka agama, religiusitas didefenisikan sebagai seluruh tradisi ritual yang diatur oleh institusi agama. Contohnya pada ritual agama yang mencakup aktifitas pelayanan, ibadah, meditasi, atau aktifitas yang berhubungan lainnya. Rohrbaugh & Jessor (dalam Sulistyarini, 2010) menambahkan bahwa religiusitas mengacu kepada pemahaman total terhadap agama dalam kehidupaan sehari-hari, kehidupaan di dunia, seperti kehidupan ritual agama. Berdasarkan pengertian yang lebih umum, religiusitas merupakan kepercayaan terhadap adanya Tuhan serta mempercayai agama.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan pada lansia muslim.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada hubungan yang positif antara religiusitas lansia muslim dangan kebahagiaan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Ingin mengetahui hubungan yang positif antara religiusitas dengan kebahagiaan pada lansia yang beragama Islam.

D. MANFAAT PENELITIAN

(21)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dibidang psikologi khususnya psikologi klinis terutama yang berkaitan dengan kebahagiaan dan religiusitas pada lansia.

2. Manfaat Praktis

a) Masyarakat umum dapat mengetahui hubungan religiusitas dalam meningkatkan kebahagiaan lansia

b) Pemerintah dapat memfasilitasi dan memotivasi penggunaan pendekatan religiusitas dalam meningkatkan kebahagiaan lansia. c) Lansia sendiri lebih memahami pentingnya religiusitas dalam

meningkatkan kebahagiaan yaitu dengan menggunakan pendekatan religiusitas.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I: Pendahuluan

Berisikan mengenai latar belakang masalah yang hendak dibahas, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II: Landasan Teori

(22)

BAB III: Metode Penelitian

Berisikan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional, subjek penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel dan metode analisis data.

BAB IV: Analisa dan Interpretasi Data

Berisi gambaran subjek penelitian, uji asumsi penelitian, hasil utama penelitian, kategorisasi data penelitian dan hasil tambahan.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kebahagiaan 1. Pengertian Kebahagiaan

Arti kata “bahagia” berbeda dengan kata “senang.” Secara filsafat kata

“bahagia” dapat diartikan dengan kenyamanan dan kenikmatan spiritual dengan

sempurna dan rasa kepuasan, serta tidak adanya cacat dalam pikiran sehingga merasa tenang serta damai. Kebahagiaan bersifat abstrak dan tidak dapat disentuh atau diraba. Kebahagiaan erat berhubungan dengan kejiwaan dari yang bersangkutan (Dalam Kosasih, 2002)

Sumner (dalam Veenhoven, 2006) menggambarkan kebahagiaan sebagai “memiliki sejenis sikap positif terhadap kehidupan, dimana sepenuhnya

merupakan bentuk dari kepemilikan komponen kognitif dan afektif. Aspek kognitif dari kebahagiaan terdiri dari suatu evaluasi positif terhadap kehidupan, yang diukur baik melalui standard atau harapan, dari segi afektif kebahagiaan terdiri dari apa yang kita sebut secara umum sebagai suatu rasa kesejahteraan (sense of well being), menemukan kekayaan hidup atau menguntungkan atau perasaan puas atau dipenuhi oleh hal-hal tersebut.”

(24)

Furnham (2008) juga menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan bagian dari kesejahteraan, contentment, to do your life satisfaction or equally the absence of psychology distress. Ditambahkan pula bahwa konsep kebahagiaan adalah merupakan sinonim dari kepuasan hidup atau satisfaction with life (Veenhoven, 2000). Diener (2007) juga menyatakan bahwa satisfaction with life merupakan bentuk nyata dari happiness atau kebahagiaan dimana kebahagiaan tersebut merupakan sesuatu yang lebih dari suatu pencapaian tujuan dikarenakan pada kenyataannya kebahagiaan selalu dihubungkan dengan kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang lebih tinggi serta tempat kerja yang lebih baik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan berupa perasaan senang, damai dan termasuk juga didalamnya kesejahteraan, kedamaian pikiran, kepuasan hidup serta tidak adanya perasaan tertekan. Semua kondisi ini adalah merupakan kondisi kebahagiaan yang dirasakan seorang individu.

2. Komponen-Komponen Kebahagiaan

Diener (1985) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan mempunyai makna yang sama dengan subjective wellbeing dimana subjective wellbeing terbagi atas dua komponen didalamnya. Kedua komponen tersebut adalah:

(25)

b. Komponen kognitif yaitu kepuasan hidup dan dengan domain kehidupan lainnya.

Komponen diatas didukung oleh Suh (dalam Carr, 2004) yang menyatakan bahwa kegembiraan dalam hidup merupakan komponen afektif dan kepuasan hidup merupakan komponen kognitif. Kemudian Suh juga menambahkan bahwa komponen afektif tersebut terbagi menjadi dua komponen yang saling bebas yaitu afek positif dan afek negatif. Selanjutnya evaluasi kognitif yang saling tergantung pada kepuasan dalam variasi domain seperti keluarga atau aturan kerja dan pengalaman-pengalaman kepuasan lainnya.

Argyle dan Crosland (1987) berpendapat bahwa kebahagiaan terdiri dari tiga komponen, yaitu frekuensi dari afek positif atau kegembiraan; level dari kepuasan pada suatu periode; dan kehadiran dari perasaan negatif seperti depresi dan kecemasan.

Aspek-aspek yang telah disebutkan oleh beberapa tokoh diatas sejalan dengan dua komponen kebahagiaan menurut Rakhmat (2004) dimana komponen kebahagiaan pertama adalah perasaan menyenangkan. Bahagia adalah emosi positif, dan sedih adalah emosi negatif. Sedangkan komponen kebahagiaan yang kedua adalah penilaian seseorang tentang hidupnya. Perasaan kita sebut sebagai unsur afektif dan penilaian unsur kognitif.

(26)

3. Faktor – Faktor yang Berkontribusi Terhadap Kebahagiaan. 3. a. Faktor External

Seligman (2002) memberikan delapan faktor eksternal yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang, namun tidak semuanya memiliki pengaruh yang besar. Selain itu, Carr (2004) juga mengemukakan beberapa hal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan. Berikut ini adalah penjabaran dari faktor-faktor eksternal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan seseorang menurut Seligman (2002) yang didukung oleh Carr (2004):

1. Uang

Keadaan keuangan yang dimiliki seseorang pada saat tertentu menentukan kebahagiaan yang dirasakannya akibat peningkatan kekayaan. Individu yang menempatkan uang di atas tujuan yang lainnya juga akan cenderung menjadi kurang puas dengan pemasukan dan kehidupannya secara keseluruhan (Seligman, 2002).

2. Pernikahan

(27)

3. Kehidupan Sosial

Individu yang memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi umumnya memiliki kehidupaan sosial yang memuaskan dan menghabiskan banyak waktu bersosialisasi. Pertemanan yang terjalin juga sebaiknya terbuka antar satu sama lain sehingga berkontribusi terhadap kebahagiaan, karena pertemanan tersedia dukungan sosial dan terpenuhinya kebutuhan akan affiliasi (Carr, 2004). Mempertahankan beberapa hubungan dekat dipercayai telah ditemukan berkorelasi dengan kebahagiaan dan kesejahteraan subjektif (Argyle, 2001, 2000 dalam Carr, 2004).

4. Kesehatan

Kesehatan yang dapat berpengaruh terhadap kebahagiaan adalah kesehatan yang dipersepsikan oleh individu (kesehatan subjektif), bukan kesehatan yang sebenarnya dimiliki (kesehatan obyektif) (Seligman, 2002; Carr, 2004).

5. Agama

(28)

psikologis dalam kesetiaan perkawinan, perilaku prososial, makan dan minum secara teratur, dan komitmen untuk bekerja keras (dalam Carr, 2004)

6. Emosi Positif

Melalui penelitian yang dilakukan oleh Norman Bradburn (dalam Seligman, 2002) diketahui bahwa individu yang mengalami banyak emosi negatif akan mengalami sedikit emosi positif, dan sebaliknya

Lafreniere (1999) menyatakan bahwa emosi positif merupakan emosi yang dikehendaki seseorang, seperti :

a. Gembira

Kegembiraan, keriangan dan kesenangan timbul akibat rangsangan seperti keadaan fisik yang sehat atau keberhasilan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada berbagai macam ekspresi kegembiraan, dari yang tenang sampai meluap-luap. Seiring dengan bertambahnya usia, lingkungan sosial akan memaksa individu untuk mampu mengendalikan ekspresi kegembiraannya agar dapat dikatakan dewasa atau matang (Lazarus dalam Lafreniere, 1999).

b. Rasa ingin tahu

Rangsangan yang menimbulkan emosi ingin tahu sangat banyak. Contohnya sesuatu hal yang aneh dan baru akan menyebabkan seseorang berusaha mencari tahu hal tersebut (Izard dalam Lafreniere, 1999).

c. Cinta

Perasaan yang melibatkan rasa kasih sayang baik terhadap benda maupun manusia (Lazarus dalam Lafreniere, 1999).

(29)

Suatu perasaan yang dapat meningkatkan identitas ego seseorang misalnya dengan cara berhasil mencapai sesuatu yang bernilai atau dapat mewujudkan keinginan, seperti meraih prestasi (Lewis dalam Lafreniere, 1999).

7. Usia

Sebuah studi mengenai kebahagiaan terhadap 60.000 orang dewasa di 40 negara membagi kebahagiaan ke dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek menyenangkan, dan afek tidak menyenangkan. Kepuasan hidup yang meningkat perlahan seiring dengan usia, afek menyenangkan menurun sedikit, dan afek tidak menyenangkan tidak berubah (Seligman, 2002).

8. Pendidikan, Iklim, Ras dan Jender

Keempat hal ini memiliki pengaruh yang tidak cukup besar terhadap tingkat kebahagiaan seseorang. Pendidikan dapat sedikit meningkatkan kebahagiaan pada mereka yang berpenghasilan rendah karena pendidikan merupakan sarana untuk mencapai pendapatan yang lebih baik. Iklim di daerah dimana seseorang tinggal dan ras juga tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan. Sedangkan jender, antara pria dan wanita tidak terdapat perbedaan pada keadaan emosinya, namun ini karena wanita cenderung lebih bahagia sekaligus lebih sedih dibandingkan pria (Seligman, 2002)

9. Produktivitas Pekerjaan.

(30)

keterampilan, dukungan sosial, serta identitas diri yang didapat dari pekerjaan (Carr, 2004).

3. b. Faktor Internal

Menurut Seligman (2002), terdapat tiga faktor internal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan, yaitu kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang. Ketiga hal tersebut tidak selalu dirasakan secara bersamaan, seseorang bisa saja bangga dan puas dengan masa lalunya namun merasa getir dan pesimis terhadap masa sekarang dan yang akan datang.

a. Kepuasan Terhadap Masa Lalu

Kepuasan terhadap masa lalu dapat dicapai melalui tiga cara:

→ Melepaskan pandangan masa lalu sebagai penentu masa depan

seseorang.

Gratitude (bersyukur) terhadap hal-hal baik dalam hidup akan meningkatkan kenangan-kenangan positif.

Forgiving dan forgetting (memaafkan dan melupakan)

(31)

kelegaan emosi setelahnya. Memaafkan dapat menurunkan stress dan meningkatkan kemungkinan terciptanya kepuasan hidup.

b. Optimisme Terhadap Masa Depan

Optimisme didefinisikan sebagai ekspektasi secara umum bahwa akan terjadi lebih banyak hal baik dibandingkan hal buruk di masa yang akan datang (Carr, 2004).

c. Kebahagiaan Masa Sekarang

Kebahagiaan masa sekarang melibatkan dua hal, yaitu:

Pleasure yaitu kesenangan yang memiliki komponen sensori dan emosional yang kuat, sifatnya sementara dan melibatkan sedikit pemikiran. Pleasure terbagi menjadi dua, yaitu bodily pleasures yang didapat melalui indera dan sensori, dan higher pleasures yang didapat melalui aktivitas yang lebih kompleks. Ada tiga hal yang dapat meningkatkan kebahagiaan sementara, yaitu menghindari habituasi dengan cara memberi selang waktu cukup panjang antar kejadian menyenangkan; savoring (menikmati) yaitu menyadari dan dengan sengaja memperhatikan sebuah kenikmatan; serta mindfulness (kecermatan) yaitu mencermati dan menjalani segala pengalaman dengan tidak terburu–buru dan melalui perspektif yang berbeda.

(32)

keterampilan dan konsentrasi, bertujuan, ada umpan balik langsung, pelaku tenggelam di dalamnya, ada pengendaian, kesadaran diri pupus, dan waktu seolah berhenti.

4. Pengukuran Kebahagiaan

Beragam teknik telah dikembangkan untuk mengukur kebahagiaan, antara lain dengan pertanyaan seperti “seberapa bahagiakah kamu sekarang?” atau

“seberapa puaskah kamu dengan hidupmu?”. Biasanya responden akan

memberikan kemungkinan jawaban dengan pilihan yang beragam pula (Carr, 2004). Fordyce (1988) mengembangkan dua aitem untuk mengukur kebahagiaan. Yang pertama, umumnya bagaimana kebahagiaan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan, yang kedua, rata-rata seberapa sering seseorang merasakan kebahagiaan. Banyak skala kebahagiaan yang mempunyai realibilitas dan validitas yang baik. Salah satunya adalah 5 aitem satisfaction with life scale yang dikemukakan oleh Diener et al (1985). Untuk mengukur kebahagiaan pada lansia ini digunakan satisfaction with life scale. Alat ini telah memiliki realibilitas dan validitas yang baik (Diener, dalam Carr, 2004).

(33)

Diener (1985) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan mempunyai makna yang sama dengan subjective wellbeing dimana subjective wellbeing terbagi atas dua komponen didalamnya. Kedua komponen tersebut adalah:

a. Komponen afektif yaitu menggambarkan pengalaman emosi dari kesenangan, kegembiraan dan emosi. Ditambahkan lagi oleh Diener (1985) bahwa komponen afektif ini terbagi lagi atas afek positif dan afek negatif.

b. Komponen kognitif yaitu kepuasan hidup dan dengan domain kehidupan lainnya.

Dari hasil penelitian tersebut, setelah dilakukan pengolahan data secara statistik ditemukan bahwa hanya pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan kepuasan hidup yang dipakai sedangkan pernyataan yang berhubungan dengan pernyataan-pernyataan afek positif dan afek negative dieliminasi. Terdapat 10 aitem yang berhubungan dengan satisfaction with life, dikarenakan beberapa diantara aitem ini hampir mempunyai makna yang sama sehingga Diener (1985) menghapus lima aitem diantaranya dan selanjutnya memakai lima aitem yang tersisa. Kelima pernyataan aitem tersebut adalah:

a. In most ways my life is close to my ideal

b. The conditions of my life are excellent

c. I am satisfied with my life

d. So far I have got the important things I want in life

e. If I could live my life over I would change almost nothing

(34)

B. RELIGIUSITAS 1. Pengertian Religiusitas

Menurut Driyarka, kata ”religi” berasal dari bahasa Latin ”religio” yang

akar katanya adalah ”religare”, yang berarti mengikat (Astuti, 1999). Anshari

(dalam Diana, 1999) mengatakan bahwa istilah religi (religion, bahasa Inggris) dan diin (al-diin, bahasa Arab), sering disamaartikan dengan agama. Walaupun secara etimologis diartikan sendiri-sendiri, namun secara terminologis dan teknis istilah di atas berinti makna sama. Dengan demikian dapat juga disamakan pengertian keberagamaan dan pengertian religiusitas (religiosity). Agama, dalam pengertian Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2004) adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ancok dan Suroso, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak (dalam Ancok & Suroso, 2004).

Menurut Rakhmat (2004), religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Ini sejalan dengan pernyataan Kibuuka (2005) yang menyatakan bahwa religiusitas merupakan perasaan spiritual yang berkaitan dengan model perilaku sosial dan individual, yang membantu seseorang mengorganisasikan kehidupan sehari-harinya.

(35)

adanya Tuhan, hubungan antara keyakinan dan tindakan personal, usaha religius, dan konsistensi antara keyakinan dan tindakan dalam istilah ”orang religius” pada

umumnya. Individu yang religiusitasnya tinggi cenderung lebih berorientasi internal, melihat tujuan akhir dari kehidupan mereka (dalam Glover, 1997).

Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian religiusitas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah sistem yang berdimensi banyak, perasaan spiritual, dan keyakinan religius yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama, dimana keterkaitan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan dan membantunya mengorganisasikan kehidupan sehari-harinya. 2. Dimensi Religiusitas

Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan akhir, bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Berdasarkan hal tersebut, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi (Ancok & Suroso, 2004).

Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2004) menyatakan bahwa ada lima dimensi religiusitas, yaitu :

(36)

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.

b. Dimensi peribadatan atau praktik agama (ritualistik).

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting, yaitu :

- Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.

- Ketaatan. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi.

c. Dimensi pengalaman atau penghayatan (eksperiensial).

(37)

masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental.

d. Dimensi pengetahuan agama (intelektual).

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi.

e. Dimensi pengamalan (konsekuensial).

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah ”kerja” dalam pengertian teologis digunakan di sini. Walaupun agama banyak

menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama (Ancok & Suroso, 2004).

Ancok dan Suroso (2004) menyatakan bahwa rumusan Glock dan Stark yang membagi religiusitas menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu memiliki kesesuaian dengan Islam, diantaranya :

a. Dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah.

(38)

keberislaman, isi dimensi ini menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar. b. Dimensi peribadatan atau praktik agama disejajarkan dengan syariah.

Dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi praktik agama menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di mesjid di bulan puasa, dan sebagainya.

c. Dimensi pengalaman disejajarkan dengan penghayatan.

Dimensi pengalaman (atau penghayatan) menunjuk pada seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tenteram dan bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat pertolongan atau peringatan dari Allah.

d. Dimensi pengetahuan agama disejajarkan dengan ilmu.

(39)

sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun iman dan rukun Islam), hukum-hukum Islam, sejaran Islam, dan sebagainya.

e. Dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak.

Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerja sama, berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum-minuman yang memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.

Dari penjelasan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa konsep religiusitas versi Glock dan Stark melihat keberagamaan atau religiusitas bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tapi mencoba memperhatikan segala dimensi. Untuk memahami Islam dan umat Islam, konsep yang tepat adalah konsep yang mampu memahami adanya beragam dimensi dalam berislam, sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : (208), yang artinya :

(40)

Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan. Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek atau dimensi. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus didasarkan pada Islam. Berdasarkan pertimbangan itulah, peneliti menggunakan kelima dimensi di atas dalam pengukuran religiusitas.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas.

Thouless (2000), membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu :

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan dari lingkungan social untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.

b. Faktor pengalaman

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu.

c. Faktor kehidupan

(41)

kasih, (c). kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan (d). kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.

d. Faktor intelektual

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi.

f. Efek Agama Pada Kesehatan Fisik dan Mental (Koenig (dalam Rakhmat, 2005))

Secara umum, kesalehan dan seringnya mengikuti kegiatan agama, baik sendirian ataupun bersama, berhubungan dengan kesehatan mental yang lebih baik. Secara lebih spesifik:

a. Sejumlah besar penduduk Amerika (sekitar 20-40%) mengatakan bahwa agama ialah salah satu dari faktor yang membantu mereka mengatasi situasi hidup yaang penuh stress.

b. Penggunaan agama sebagai perilaku koping berkaitan dengan harga diri yang lebih tinggi dan depresi yang lebih rendah, terutama dikalangan orang-orang yang cacat fisik. Agama juga dapat meramalkan siapa yang akan atau tidak akan mengalami depresi.

(42)

d. Kegiatan agama sendirian, seperti sembahyang, membaca alkitab, berkaitan dengan kesehatan yang lebih besar, kepuasan hidup yang lebih tinggi, kecemasan mati yang lebih rendah, dan tingkat alkoholisme serta penggunaan obat yang lebih rendah pula.

e. Intervensi psikoterapis untuk mengatasi depresi dan anxiety disorder yang mengintegrasikan agama dengan psikoterapi mempercepat penyembuhan lebih tinggi dari teknik psikoterapi sekuler saja.

C. LANSIA MUSLIM 1. Definisi Lanjut Usia

Menurut Santrock (2002) lanjut usia disebut sebagai masa dewasa akhir, yang dimulai pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar 120 tahun, memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam perkembangan manusia lima puluh tahun sampai enam puluh tahun. Lansia muslim adalah lansia yang beragama Islam.

Jadi yang dimaksud lansia muslim dalam penelitian ini ialah setiap lansia yang beragama Islam yaitu yang memiliki usia 60 tahun keatas.

2.Tugas Perkembangan Lanjut Usia

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) sebagian tugas perkembangan lanjut usia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Adapun tugas perkembangan tersebut antara lain:

a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.

(43)

mencari kegiatan sebagai pengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagaian besar waktu ketika mereka masih muda.

b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga.

Pada usia ini, lanjut usia sudah memasuki masa pensiun dan tidak bekerja lagi, sehingga pemasukan yang ada hanya berasal dari dana pensiun maupun dari pemberian anak-anak mereka.

c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.

Sebagaian besar orang lanjut usia perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa kematian suami atau istri. Kejadian seperti ini lebih menjadi masalah dengan peristiwa kematian suami atau istri. Dimana kematian suami berarti berkurangnya pendapatan dan timbul bahaya karena hidup sendiri dan melakukan perubahan dalam aturan hidup.

d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sesuai.

Pada lanjut usia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan anak yang tumbuh besar dan masa pensiun.

e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.

Menyadari bahwa menurunnya kesehatan dan fungsi-fungsi fisik, pada masa lanjut usia mereka berusaha untuk mempertahankan dan mengatur kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan, yakni berolahraga maupun mengatur pola makan.

(44)

Pada lanjut usia, individu mengalami perubahan peran. Dimana, para lanjut usia mempunyai pengalaman lebih daripada orang yang lebih muda, sehingga peran lanjut usia biasanya diminta untuk memberi pendapat, masukan ataupun kritikan, dan partisipasi lanjut usia terhadap kehidupan sosial menurun biasanya disebabkan oleh masalah fisik.

3. Minat Lansia Terhadap Keagamaan

Suatu analisis dari studi penelitian yang berhubungan dengan sikap terhadap kegiatan keagamaan dan agama pada usia tua membuktikan bahwa ada fakta-fakta tentang meningkatnya minat terhadap agama sejalan dengan bertambahnya usia dan ada pula fakta-fakta yang menunjukkan menurunnya minat terhadap agama pada usia tersebut. Dalam hal melibatkan diri atau menjauhi bidang keagamaan, pada umumnya orang meneruskan agama atau kepercayaan dan kebiasaan yang dilakukan pada awal kehidupannya. (Hurlock, 1999)

(45)

Sebagai tambahan, agama dapat melepaskan kecemasan tentang kematian dan kehidupan setelah mati. Disamping itu juga ada bukti-bukti, seperti yang diungkapkan oleh Covalt bahwa, “kegiatan keagamaan mempunyai kelompok

rujukan yang memberi dorongan dan rasa aman kepada mereka, sedang orang yang tidak masuk dalam kelompok agama manapun tampaknya kurang mendapat dorongan sosial semacam itu” (dalam Hurlock, 1999)

4. Beberapa Kondisi Penting Yang Menunjang Kebahagiaan Pada Masa Usia Lanjut.

Tanpa membedakan kelompok sosial, jenis kelamin atau variabel lainnya, kondisi tertentu dapat diperhitungkan sebagai penunjang kebahagiaan dimasa usia lanjut, kondisi tersebut antara lain (dalam Hurlock, 1999):

a. Sikap yang menyenangkan terhadap usia lanjut berkembang sebagai akibat dari kontak pada usia sebelumnya dengan orang usia lanjut yang menyenangkan.

b. Kesenangan yang menggembirakan sejak masa anak-anak sampai masa dewasanya.

c. Bebas untuk mencapai gaya hidup yang diinginkan tanpa ada intervensi dari luar.

d. Sikap yang realistis terhadap kenyataan dan mau menerima kenyataan tentang perubahan fisik dan psikis sebagai akibat dari usia lanjut yang tidak dapat dihindari.

(46)

f. Mempunyai kesempatan untuk memantapkan kepuasan dan pola hidup yang diterima oleh kelompok sosial dimana ia sebagai anggotanya.

g. Terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik. h. Diterima oleh dan memperoleh respek dari kelompok sosial.

i. Merasa puas dengan status yang ada sekarang dan prestasi masa lalu. j. Puas dengan status perkawinannya dan kehidupan seksualnya.

k. Kesehatan cukup bagus tanpa mengalami masalah kesehatan yang kronis. l. Menikmati kegiatan rekreasional yang direncanakan khusus bagi orang usia

lanjut.

m. Menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat, keluarga dan teman-teman.

n. Melakukan kegiatan produktif, baik kegiatan dirumah maupun kegiatan yang sukarela dilakukan. Situasi keuangan yang memadai untuk memenuhi seluruh keinginan dan kebutuhannya.

D. Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan Pada Lansia Muslim

(47)

akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari (Rahayu, 2009).

Selain permasalahan di atas, lansia juga memiliki tugas perkembangan yang lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi mereka, Havighurst (dalam Hurlock, 1999) menyebutkan bahwa tugas perkembangan lansia tersebut antara lain harus menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income keluarga, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup dan sebagainya. Kondisi ini tentunya akan sangat mempengaruhi kebahagiaan para lansia, namun tidak semua lansia merasakan hal yang sama terhadap masalah mereka, ada juga lansia yang mampu meminimalisir permasalahan yang mereka rasakan dengan cara memiliki tingkat religiusitas yang tinggi.

(48)

Ikhwanisifa (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner di kota Medan. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Nur Hidayah (2008) berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kekhusyukan menjalankan shalat dengan kebahagiaan.

Selain ibadah shalat, dalam Islam juga terdapat pelaksanaan ibadah puasa. Dyayadi (2005) menyatakan bahwa menjalankan ibadah puasa tidak hanya sekedar melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan tetapi juga membawa implikasi besar bagi sisi kejiwaan pelakunya. Puasa berbeda dengan diet, karena puasa mencakup semua dimensi fisik, psikis, dan ruhani sedangkan diet hanya pada dimensi fisik. Selanjutnya Ibnul Qoyim (dalam Syaqawi, 2010) juga menyebutkan beberapa manfaat dari manfaat berzikir di antaranya, zikir dapat mengusir kecemasan dan kesedihan dan mendatangkan kesenangan, kebahagiaan dan kehidupan yang baik. Berdasarkan dari pernyataan diatas, dapat dikatakan bahwa seorang lansia muslim yang benar-benar dalam melaksanakan kegiatan keagamaanya (shalat, puasa, zikir) dapat meraih kesehatan fisik dan juga psikologisnya.

(49)

agama juga berfungsi sebagai pembimbing dalam kehidupannya, dan menentramkan batinnya.

Hasil penelitian menunjukkan succesfull aging pada lansia terjadi karena adanya beberapa faktor yang saling berkaitan, antara lain: faktor fisik, aktivitas, psikologis, sosial dan religiusitas. Salah satu yang terlihat disini adalah faktor religiusitas, dimana dengan masih rutinnya lansia dalam menjalankan ibadah serta mengikuti kegiatan keagamaan merupakan salah satu bentuk adanya keyakinan yang kuat akan campur tangan Tuhan atas apa yang diperolehnya dalam menjalani hidup. Sebagai tambahan, agama dapat melepaskan kecemasan tentang kematian dan kehidupan setelah mati. Disamping itu juga ada bukti-bukti, seperti yang diungkapkan oleh Covalt bahwa, “kegiatan keagamaan mempunyai kelompok rujukan yang memberi dorongan dan rasa aman kepada mereka, sedang orang yang tidak masuk dalam kelompok agama manapun tampaknya kurang mendapat dorongan sosial semacam itu” (dalam Hurlock, 1999).

Koenig (dalam Rakhmat, 2005) menambahkan mengenai efek agama pada kesehatan fisik dan mental yaitu antara lain penggunaan agama sebagai perilaku koping berkaitan dengan depresi yang lebih rendah, kesejahteraan dan moril yang lebih tinggi, perkawinan yang lebih bahagia, kepuasan hidup yang tinggi, serta kecemasan mati yang lebaih rendah.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa dengan memiliki religiusitas yang baik dapat memberi jalan untuk menuju kebahagiaan. E. Hipotesis Penelitian

(50)

Ho: tidak adanya hubungan yang positif antara religiusitas dengan kebahagiaan pada lansia muslim.

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

(52)

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Variabel-variabel dalam penelitian ini, terdiri dari :

1. Variabel tergantung (Y) : Kebahagiaan

2. Variabel bebas (X) : Religiusitas

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Kebahagiaan

Furnham (2008) menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan bagian dari kesejahteraan, contentment, to do your life satisfaction or equally the absence of psychology distress. Ditambahkan pula bahwa konsep kebahagiaan adalah merupakan sinonim dari kepuasan hidup satisfaction with life (Weiten & Lloyd, 2006). Diener (2007) juga menyatakan bahwa satisfaction with life merupakan bantuk nyata dari happiness atau kebahagiaan.

Dengan demikian, kebahagiaan adalah sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan berupa perasaan senang yang dirasakan, damai dan termasuk juga didalamnya kesejateraan, kedamaian pikiran, kepuasan hidup serta tidak adanya perasaan tertekan.

(53)

total skala satisfaction with life. Semakin tinggi total skor satisfaction with life menunjukkan semakin tinggi kebahagiaan. Sebaliknya, semakin rendah total skor satisfaction with life menunjukkan semakin rendah satisfaction with life.

2. Religiusitas

Religiusitas adalah sistem yang berdimensi banyak, perasaan spiritual, dan keyakinan religius yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama dan membantunya mengorganisasikan kehidupan sehari-harinya. Religiusitas ini diukur dengan menggunakan skala yang disusun peneliti berdasarkan dimensi-dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2004). Skala religiusitas ini terdiri dari dua bagian, dimana pada skala I berisi dimensi keyakinan, pengalaman dan pengamalan; peribadatan atau praktik agama; dan skala II berisi dimensi pengetahuan agama. Setiap bagian dari skala ini terdiri dari beberapa pernyataan. Total skor religiusitas diperoleh dari penjumlahan skor total di setiap bagian. Semakin tinggi total skor religiusitas menunjukkan semakin tinggi religiusitas. Sebaliknya, semakin rendah total skor religiusitas menunjukkan semakin rendah religiusitas.

C. Populasi, Sempel dan Teknik Pengambilan Sempel. 1. Populasi dan Sampel

(54)

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka peneliti hanya meneliti sebahagian dari populasi yang dijadikan sebagai objek penelitian yang lebih dikenal dengan nama sampel. Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Bailey bahwa sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Bailey juga mengemukakan bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, sampel sebesar 100 merupakan jumlah minimum (dalam Prasetyo & Jannah, 2005).

Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Lanjut usia yang berusia 60 tahun keatas. Pemilihan rentang usia ini disesuaikan dengan definisi lansia menurut Santrock (2002) dimana lanjut usia dimulai pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar 120 tahun. 2. Beragama Islam.

3. Bertempat tinggal di kota Medan 2. Metode Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang dapat mewaliki populasi. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang.

(55)

dimana sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian (Hadi, 2000).

Menurut Hadi (2000), teknik incidental sampling memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan teknik ini adalah kemudahan didalam menemukan sampel, menghemat waktu, tenaga, biaya dan adanya keterandalan subjektifitas untuk melihat bahwa subjek yang dipilih sudah sesuai dengan karakteristik subjek penelitian yang telah ditetapkan. Kelemahan teknik ini adalah tidak dapat memberikan taraf keyakinan yang tinggi sehingga sulit untuk menarik kesimpulan atau menggeneralisasikan ke populasi lain. Selain itu keterandalan subjektifitas peneliti juga memiliki resiko kemungkinan terjadinya bias dalam pemilihan sampel.

Pemilihan sampel secara incidental memang memiliki kekurangan. Namun dalam pelaksanaanya hal ini tetap dipilih karena disebabkan kondisi di lapangan yang tidak memungkinkan untuk melakukan proses pengambilan secara random sampling. Hal ini disebabkan karena sampel penelitian yang ingin diteliti adalah lansia yang beragama Islam, dan tidak ada ditemukan lembaga yang mengelola lansia Muslim di Kota Medan dan tidak ada data indentitas pribadi yang lengkap untuk seluruh lansia Muslim yang ada di Kota Medan. Karakteristik sampel dalam penelitian ini antara lain:

(56)

2. Beragama Islam.

3. Bertempat tinggal di kota Medan. D. Lokasi Penelitian

Peneliti mengadakan penelitian di kota Medan. Hal ini dilakukan karena keterbatasan waktu, tenaga, biaya serta untuk memudahkan dalam proses penelitian.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penskalaan model Likert untuk skala religiusitas dan skala kebahagiaan. Prosedur penskalaan model Likert ini didasari oleh dua asumsi (Azwar, 2005): 1. Setiap pernyataan yang ditulis dapat disepakati sebagai pernyataan yang

favorabel atau pernyataan yang unfavorabel.

2. Jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.

Hadi (2000) mengemukakan bahwa skala psikologis mendasarkan diri pada laporan-laporan pribadi. Selain itu skala psikologis memiliki kelebihan dengan asumsi sebagai berikut:

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Apa yang dikatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

(57)

Selain itu metode skala psikologis digunakan dalam penelitian atas dasar pertimbangan:

1. Metode skala psikologis merupakan metode yang praktis.

2. Dalam waktu yang relatif singkat dapat dikumpulkan data yang banyak.

3. Metode skala psikologis merupakan metode yang dapat menghemat tenaga dan ekonomis.

Menurut Hadi skala psikologi juga mempunyai kelemahan yaitu: 1. Unsur-unsur yang tidak disadari tidak dapat ditangkap.

2. Besar kemungkinannya jawaban-jawaban dipengaruhi oleh keinginan-keinginan pribadi.

3. Ada hal-hal yang dirasa tidak perlu dinyatakan, misalnya hal-hal yang memalukan atau yang dipandang tidak penting untuk dikemukakan.

4. Kesukaran menemukan keadaan diri sendiri ke dalam bahasa.

5. Ada kecenderungan untuk mengkonstruksi secara logik unsur-unsur yang dirasa kurang berhubungan logik.

E.1.Skala Religiusitas

Skala disusun mengacu pada dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2005) dan disesuaikan dengan dimensi religiusitas dari pandangan Islam menurut Ancok dan Suroso yaitu: dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman atau penghayatan, pengetahuan agama, serta pengamalan/konsekuensi.

(58)

penghayatan, dan dimensi pengamalan/konsekuensi. Selanjutnya skala ini disebut Skala Religiusitas I. Bagian kedua mengungkap dimensi pengetahuan agama. Selanjutnya disebut Skala Religiusitas II.

Tabel 1

Blue print Skala Religiusitas I sebelum uji coba

o

Dimensi Religiusitas Aitem favorable

Dimensi pengalaman/ penghayatan 5, 6, 18, 24, 31, 55, 57

(59)

Skala Religiusitas I menggunakan model skala likert yang berjumlah 60 aitem yang terdiri dari aitem favorable dan unfavorable, dengan menggunakan lima pilihan jawaban yaitu : Sangat sesuai (SS), Sesuai (S), Ragu-ragu (R), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari 5 sampai 1 untuk item favorable, sedangkan untuk item unfavorable bergerak dari 1 sampai 5.

Tabel 2

Blue print Skala Religiusitas II sebelum uji coba

(60)

Skala Religiusitas II menggunakan skala yang berbentuk tipe pilihan yang terdiri dari 30 aitem. Skala ini berisi pertanyaan-pertanyaan dengan empat alternatif jawaban dan skornya bernilai satu (1) untuk jawaban yang benar dan bernilai nol (0) untuk jawaban yang salah.

Total skor skala religiusitas setiap bagian diperoleh dari penjumlahan skor dari tiap-tiap aitem dalam skala religiusitas. Untuk skala religiusitas I skor dapat langsung dijumlahkan karena memiliki jenis matrik (pengukuran) yang sama. Namun untuk menggabungkan hasil skor skala religiusitas I dengan skala religiusitas II tidak bisa langsung dijumlahkan begitu saja, melainkan harus disamakan terlebih dahulu satuan pengukurannya. Jadi, total skor yang diperoleh skala religiusitas I dan skala religiusitas II dikonversikan terlebih dahulu kedalam bentuk skor Z. Setelah itu, keduanya dapat dijumlahkan. Total skor religiusitas diperoleh dari hasil penjumlahan skor Z skala religiusitas I dengan skor Z skala religiusitas II. Religiusitas yang tinggi ditandai dengan skor yang tinggi pada skala religiusitas.

E.2. Skala Kebahagiaan

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui Satisfaction With Life Scale yang dikemukakan oleh Diener (1985) dan telah diadaptasi yang kemudian diberikan kepada sejumlah responden untuk diisi sesuai dengan keadaan responden.

Isi asli dari kelima pernyataan tersebut adalah: a. In most ways my life is close to my ideal

(61)

c. I am satisfied with my life

d. So far I have got the important things I want in life

e. If I could live my life over I would change almost nothing

Setelah diterjemahkan dan diadaptasi, isi dari kelima pernyataan adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Blue Print Distribusi Aitem Satisfaction with Life Scale

o

Satisfaction with Life Jumlah

Total

Presentas e (%)

Dalam banyak hal, kehidupan saya dekat dengan tujuan saya

1 20 %

Kondisi hidup saya sempurna 1 20%

Saya puas dengan kehidupan saya 1 20%

Sejauh ini saya telah mendapatkan apa-apa yang saya inginkan dalam kehidupan saya

1 20%

Saya puas pada hampir keseluruhan kehidupan saya sehingga saya tidak ingin menukarnya.

1 20%

(62)

F. Uji Coba Alat Ukur 1. Validitas alat ukur

Menurut Azwar (2000), untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas. Instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas tinggi jika mampu memberikan hasil ukur yang tepat sesuai dengan standar pengukuran.

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Peneliti berusaha mengungkap sejauhmana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur dengan mendasarkan pembuatan alat ukur pada dimensi-dimensi religiusitas dan aspek-aspek kebahagiaan yang dinilai oleh profesional judgment (Kerlinger, 2002). Dalam hal ini yang bertindak sebagai profesional judgement adalah dosen pembimbing. 2. Uji daya beda aitem

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3. Blue Print Distribusi Aitem Satisfaction with Life Scale
Tabel 4: Distribusi Aitem-aitem Skala Religiusitas I Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian diharapkan ini akan memberikan pengetahuan baru bagi para lansia untuk menghadapi berbagai permasalahan-permasalahan hidup yang mereka alami dengan melakukan hal

dengan judul “ Kebahagiaan ( Happiness ) pada Lansia Muslim Ditinjau dari Partisipasi dalam Aktivitas Keagamaan ” dapat penulis selesaikan dengan baik dan lancar.. Dalam

Wulandari (2011) melakukan penelitian tentang kejadian tingkat depresi pada lansia dengan 52 responden di panti dan 50 responden di komunitas disimpulkan bahwa berbagai faktor

menggunakan humor sebagai mekanisme coping selama masa dewasa, Oleh karena itu, lansia cenderung menggunakan salah satu aspek sense of humor yaitu coping with humor dalam

Pengaruh Sense of Humor Terhadap Kualitas Hidup pada Lansia Pensiunan di Kota Malang.. Universitas

(2008) menyatakan bahwa kesehatan fisik yang buruk pada lansia merupakan. konsekuensi yang tidak bisa dihindari, hal ini dikarenakan seiring

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya yang tiada terkira, sehingga pada akhirnya penulis dapat

Menurut peneliti dimana demensia akan terjadi seiring bertambahnya usia seseorang dan seluruh organ akan mengalami penurunan salah satunya lansia akan susah untuk