IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN
KAWASAN HUTAN UNTUK PERTAMBANGAN:
Perspektif Hubungan
Principal-Agent
MANIFAS ZUBAYR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
MENGENAI DISERTASI, SUMBER INFORMASI DAN PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ”Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan: Perpektif Hubungan
Principal-Agent” adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya ini kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
RINGKASAN
MANIFAS ZUBAYR. Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan: Perspektif Hubungan Principal-Agent. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Penggunaan kawasan hutan (PKH) adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa merubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut. Kebijakan PKH bertujuan untuk mengatur penggunaan kawasan hutan bagi kegiatan sektor lain yang diharapkan menjadi upaya pemerintah dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Digulirkannya kebijakan PKH ini mengakibatkan permohonan izin penggunaan kawasan hutan melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) berkembang sangat pesat sejalan dengan maraknya kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia.
Penelitian implementasi kebijakan PKH ini dimaksudkan untuk menganalisis dan mengungkap realitas pelaksanaan kebijakan PKH. Pendekatan studi kelembagaan khususnya dalam perspektif hubungan principal-agent (agency
theory) dilakukan untuk mengetahui hubungan pemerintah sebagai prinsipal (P)
dan perusahaan pertambangan pemegang IPPKH sebagai agen (A) yang didukung oleh analisis-analisis lainnya yang relevan seperti analisis peraturan perundang-undangan, analisis kesenjangan kebijakan (analisis asumsi), analisis stakeholder, dan analisis respon.
Penelitian dilakukan di Bogor, Jakarta dan beberapa lokasi observasi yaitu: Samarinda dan Kutai Kartanegara (Provinsi Kalimantan Timur), Banjarbaru dan Tanah Bumbu (Provinsi Kalimantan Selatan), Kendari, Konawe Utara dan Kolaka (Provinsi Sulawesi Tenggara). Data sekunder dan informasi telah dikumpulkan sebelum penelitian, sedangkan penelitian efektif dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Nopember 2013. Metode pendekatan deskriptif kualitatif dilakukan dalam proses penelitian ini. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan pendekatan/teknik: 1) penelusuran dokumen, 2) wawancara dengan informan kunci dan responden, dan 3) observasi lapangan.
Perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan mengikuti model inkrementalis atau model tahap demi tahap (incrementalist model). Pemerintah telah beberapa kali mengganti dan merevisi peraturan-peraturan terkait dengan kebijakan PKH. Kebijakan PKH ini sebenarnya telah dirumuskan dengan tepat. Namun, ketepatan perumusan kebijakan PKH tersebut tidak menjamin mendapatkan respon yang baik dari pemegang IPPKH sebagai subyek utama implementasi kebijakan tersebut. Respon buruk dari pemegang IPPKH terhadap kebijakan PKH menunjukkan bahwa kebijakan PKH gagal mencapai tujuan.
lapangan. Sehingga hampir semua asumsi yang dibangun dalam kebijakan PKH tidak dapat dipenuhi.
Hasil analisis para pihak menunjukkan bahwa Kementerian Kehutanan menjadi pihak kunci sedangkan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) menjadi pihak utama yang berkepentingan dalam implementasi kebijakan PKH. Peranan keduanya menjadi tolok ukur keberhasilan implementasi kebijakan ini. Kemudian dalam analisis peranan terhadap setiap pihak yang berkepentingan, terdapat keseimbangan yang cukup baik antara hak (rights), tanggunjawab (responsibilities) dan manfaat (revenues) untuk masing-masing pihak. Sedangkan hubungan (relationships) antara para pihak terjalin dalam berbagai tingkat, dari bekerjasama sampai dengan adanya konflik. Namun, keseimbangan peranan dan hubungan yang dibangun oleh pemerintah tidak cukup membantu bagi keberhasilan implementasi kebijakan PKH ini.
Dalam hubungan antara pemerintah sebagai P dan perusahaan pertambangan yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) sebagai A, perbedaan kepentingan dan tujuan antara P dan A menjadi permasalahan utama dalam mengkaji hubungan P-A. Hubungan P-A dalam implementasi kebijakan PKH mempunyai kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut adalah: inisiatif untuk menjalin hubungan tersebut berasal dari A, tidak ada seleksi terhadap A, penguasaan informasi terhadap kawasan hutan dimiliki oleh P, perilaku moral hazard dilakukan oleh P dan A, dan belum adanya struktur insentif dalam kebijakan tersebut.
Hubungan keagenan yang teridentifikasi dalam implementasi kebijakan PKH bukan hanya antara P dan A saja, tetapi juga antara prinsipal sektor kehutanan (P-hut) dan prinsipal sektor pertambangan (P-tamb) serta hubungan agen kehutanan (A-hut) dan agen pertambangan (A-tamb). Hubungan tersebut bisa dalam bentuk koorperasi maupun konflik. Dalam implementasi kebijakan PKH terjadi perilaku moral hazard yang dilakukan oleh P-hut akibat penguasaan informasi dan power yang dimilikinya. Perilaku tersebut dalam bentuk kolusi, gratifikasi dan praktek percaloan. Sementara perilaku moral hazard dalam bentuk pemerasan dan land trading dilakukan oleh hut ketika berkonflik dengan A-tamb. A-tamb juga melakukan moral hazard dalam bentuk pengingkaran terhadap kontrak yang telah disepakati dengan P-hut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang dirumuskan dan dilaksanakan dalam waktu yang cukup panjang serta mendapat dukungan yang kuat dari pihak-pihak yang berkepentingan tidak menjamin keberhasilan pelaksanaannya. Kegagalan implementasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perbedaan kepentingan antara P dan A, ketidaksempurnaan kontrak (IPPKH), rendahnya komitmen A, belum adanya struktur insentif yang sesuai, biaya transaksi yang relatif tinggi, lemahnya kontrol dan penegakan hukum serta terjadinya moral hazard yang dilakukan oleh P dan A. Sementara risiko terdegradasinya hutan harus diterima oleh P. Banyaknya ketidaksesuaian dan penyimpangan dalam implementasi kebijakan PKH tersebut serta besarnya risiko yang diterima oleh P, maka dipandang perlu untuk menghentikan sementara (moratorium) implementasi kebijakan PKH untuk memberikan waktu bagi perbaikan kebijakan PKH.
SUMMARY
MANIFAS ZUBAYR. Policy Implementation of The Use of Forest Area for Mining Activity: Principal-Agent Relationship Perspective. Supervised by DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, and DODIK RIDHO NURROCHMAT.
The use of forest area (UFA) is defined as utilization of a portion of forest land for any development purposes outside forestry without changing its function and designation. UFA policy is aimed to regulate the use of forest areas for other sectors of activity which is expected to be the government's efforts in forest management sustainable. This policy resulted in the commencement of UFA forest use permit application through the mechanism of Leasehold Forest Area License (LFAL) is growing very rapidly in line with the rise of mining activities in forest areas throughout Indonesia.
UFA policy implementation research is intended to analyze and reveal the reality of UFA implementation. Institutional study approach, especially in the perspective of principal-agent relationship (agency theory) was conducted to determine the relationship of government as the principal (P) and the holder of LFAL mining company as agent (A) which is supported by other relevant analyzes such as legislation analysis, policy gap analysis (assuming analysis), stakeholder analysis, and response analysis.
This study was conducted in Bogor, Jakarta and several observation locations are: Samarinda and Kutai (East Kalimantan), Banjarbaru and Tanah Bumbu (South Kalimantan), Kendari, North Konawe and Kolaka (Southeast Sulawesi). Secondary data and information was collected before the study, while the effective investigation conducted from June to November 2013. Descriptive qualitative approach method performed in the research process. Data collection and information was done with approaches / techniques: 1) documents searching, 2) interviews with key informants and respondents, and 3) field observations.
UFA policy formulation follows incrementalist model or step by step model. The government has several times replaced and revised regulations related to UFA policy. UFA policy in fact has been formulated accurately. However, the accuracy of those policy formulation does not guarantee getting a good response from LFAL holder as the main subject of policy implementation. Bad response from LFAL holder toward UFA policy shows that its policy failed to achieve the goal.
In UFA implementation, there are some assumptions built by policy makers, namely: implementor understand the problems of forest management, the implementor willing (committed) and able to carry out his duties and responsibilities properly, the mining sector planning activities together with forestry sector, and policies can be implemented by stakeholder in the field. However, the level of implementation of these assumptions it becomes a source of problems for implementation in the field. So that almost all of the assumptions built into UFA policy can not be fulfilled.
measurement of the policy implementation. Later in the analysis of the role of each stakeholder, there is a pretty good balance between the rights (rights), the responsibility of the (responsibilities) and benefits (revenues) for each party. While relationships (relationships) between the stakeholder exists in varying degrees, from collaboration to the conflict. However, the balance of roles and relationships built by the government is not enough help for the successful of UFA policy implementation.
In the relationship between the government as P and mining companies that already have Leasehold of Forest Area License (LFAL) as A, differences in interests and objectives between P and A be a major problem in studying PA relationship. PA relationship in UFA implementation has its own particulars. They are: initiative to establish the relationship comes from A, there is no selection toward A, the control of information to the forest area is owned by P, moral hazard behavior performed by P and A, and the lack of incentive structures in the policy.
Agency relationship identified in UFA implementation is not only the relationship between P and A, but also there is connection between the principal forestry (P-for) and the principal mining sector (P-mine) and the forestry agency relationship (A-for) and mining agents (A-mine). Relationship can be in the form of cooperation or conflict. In UFA implementation occurs moral hazard behavior performed by the P-for due to the mastery of the information and own power. Those behavior in the form of collusion, gratification and brokering practices. While moral hazard behavior in the form of extortion and land trading is done by A-for when in conflict with the A-mine. A-mine also do the moral hazard more dangerous for the survival of sustainable forest management is the denial of the contract agreed with the P-for.
The analysis result of this study indicate that policies which are formulated and implemented in a long time and received strong support from the stakeholder concerned does not guarantee the success of implementation. Implementation failure is caused by several factors, namely: the difference of interest between P and A, imperfections contract (LFAL), a lack of commitment, lack of appropriate incentive structures, high transaction costs, lack of control and enforcement as well as moral hazard is conducted by P and A. While the risk of forest degradation must be received by P. the number of discrepancies and irregularities in UFA implementation and the amount of risk accepted by P, it is necessary to pause (moratorium) UFA policy implementation to allow time for UFA policy repair .
©
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN
KAWASAN HUTAN UNTUK PERTAMBANGAN:
Perspektif Hubungan
Principal-Agent
MANIFAS ZUBAYR
Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc
Judul Penelitian : Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan: Perspektif Hubungan Principal-Agent
Nama : Manifas Zubayr
NRP : E161090051
Mayor : Ilmu Pengelolaan Hutan
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A Ketua
Prof Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S Anggota
Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Anggota
Diketahui :
Ketua Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan,
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
P
P
R
R
A
AKATA
Alhamdulillaahirabbil aalamiin, puji syukur atas segala karunia dan
nikmat yang diberikan Allah SWT hingga tersusun disertasi yang berjudul ‘Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan: Perspektif Hubungan Principal-Agent” ini. Penulisan disertasi ini dilandasi oleh rasa penasaran akan banyaknya keluhan dari para pengusaha pertambangan terkait dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) dalam rentang waktu tahun 2006-2009. Melalui proses bimbingan dan arahan dari komisi pembimbing, akhirnya penulis memutuskan untuk mengkaji permasalahan kebijakan PKH tersebut khusus untuk pertambangan dengan fokus kajian pada studi ilmu kelembagaan dalam perspektif teori principal-agent.
Penelitian dilakukan di Bogor, Jakarta dan beberapa lokasi observasi yaitu di Samarinda dan Kutai Kartanegara (Provinsi Kalimantan Timur), Banjarbaru dan Tanah Bumbu (Provinsi Kalimantan Selatan), Kendari, Konawe Utara dan Kolaka (Provinsi Sulawesi Tenggara). Penelitian dilakukan selama 6 bulan, terhitung mulai bulan Juni 2013 sampai dengan Nopember 2013, meskipun banyak data-data sekunder dan informasi lainnya telah dikumpulkan sebelumnya. Adapun biaya penelitian ini diperoleh dari anggaran Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan-Kementerian Kehutanan.
Melalui disertasi ini penulis berharap dapat menyumbangkan pikiran, pendapat maupun gambaran tentang kebijakan PKH, memperkaya khasanah ilmu kelembagaan terutama dalam perspektif hubungan principal-agent, serta memberikan masukan atau pertimbangan bagi perbaikan kebijakan PKH di masa yang akan datang.
Atas tersusunnya disertasi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A, Prof. Dr. Ir Bramasto Nugroho, M.S dan
Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc selaku pembimbing atas ilmu, bimbingan, nasehat dan teladan yang telah diberikan.
2. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S dan Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc selaku penguji luar pada ujian terbuka serta Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc, dan Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc selaku penguji luar dalam ujian tertutup.
3. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan dan seluruh staf pengajar dan pegawai Program Studi IPH atas bantuan dan pelayanannya.
4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf pegawai atas segala pelayanan yang telah diberikan.
5. Dekan Fakultas Kehutanan IPB beserta staf pegawai atas segala bantuan dan perhatiannya.
6. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Direktur Penggunaan Kawasan Hutan beserta staf serta Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan beserta staf.
8. Istriku Elfita Nurrahma Agustami, SP, anak-anakku: Muhammad Elfaza Faishal Musyaffa, Zuyyina Elshafna Rifda Nurrahma, Alifia Elnaifa Rizkia
Nurrahma, Ummi Hj. Siti Ruchayah dan kedua mertua Agustami dan Erdaneti
atas doa dan dukungannya.
9. Persembahan khusus kepada Abah H. Alif Fatichin (Alm) yang selalu menjadi inspirasi dalam hidup penulis, semoga Allah SWT memberikan tempat yang terbaik.
10.Rekan-rekan seangkatan : Mas Eno Suwarno, Mas Gamin Ganesa, Mas Samsuri, Mpok Emi Roslinda, Mas Sudarmalik, Kang Dani Kusnandar, Kang Dian Lazuardi, Mbak Sinok Sukadaryati dan Bu Yelin Adelina serta seluruh Mahasiswa IPH.
11.Semua pihak yang telah membantu
Teriring doa semoga Allah SWT membalaskan budi baik semuanya. Disadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu diharapkan ritik dan saran bagi perbaikan disertasi saya ini.
Bogor, Agustus 2014
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 4
Rumusan Masalah 9
Tujuan Penelitian 10
Manfaat Penelitian 10
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 10
Kebaruan 12
Metode Umum Penelitian 14
Pendekatan Penelitian 14
Metode Pengumpulan Data 16
Metode Pengambilan Contoh 19
Verifikasi dan Validasi 20
Jenis dan Sumber Data 24
Insturment Penelitian 25
PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 26
Pendahuluan 26
Tujuan 27
Metode Analisis 27
Analisis Sejarah Kebijakan 27
Analisis Perumusan Kebijakan 29
Hasil dan Pembahasan 30
Sejarah Kebijakan Penggunaan Kawasan Huitan 30 Proses Perumusan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan 33
1. Tonggak Kunci Penetapan Kabijakan 33
2. Konteks Politik dan Pemerintahan 46
3. Isu-isu Kunci Kebijakan 51
4. Proses Pembentukan Kebijakan 56
5. Proses Implementasi Kebijakan 60
6. Arah Kebijakan yang akan Datang 60
Simpulan 60
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 62
Pendahuluan 62
Tujuan 63
Metode Analisis 63
Analisis Implemetasi Kebijakan 63
Analisis Respon 66
ii
Hasil dan Pembahasan 70
Ketepatan Kebijakan dan Implementasinya 70
1. Ketepatan Kebijakan 70
2. Ketepatan Pelaksanaan 73
3. Ketepatan Target 73
4. Ketepatan Lingkungan 75
5. Ketepatan Proses 77
6. Dukungan Faktor Lain 77
Respon Perusahaan Tambang 80
1. Pemeliharaan dan Pengamanan Batas Kawasan Hutan 82 2. Pengamanan dan Perlindungan Kawasan Hutan 83
3. Pembayaran PNBP 84
4. Reklamasi dan Revegetasi 88
5. Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai 91
6. Penyerahan Laporan Periodik 93
Asumsi Kebijakan 94
Analisis Asumsi (Gap Analysis) 97
Isu-isu dalam Implementasi Kebijakan dan Arah Kebijakan PKH 98
Simpulan 104
PERANAN STAKEHOLDERS DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 105
Pendahuluan 105
Tujuan 106
Metode Analisis 106
Identifikasi Para Pihak 107
Peranan Para Pihak 109
Hubungan antar Pihak 111
Hasil dan Pembahasan 111
Identifikasi Para Pihak 111
Peranan Para Pihak 116
Hubungan antar Pihak 121
Simpulan 123
HUBUNGAN PRINCIPAL-AGENT DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 125
Pendahuluan 125
Tujuan 127
Hasil dan Pembahasan 127
Tinjauan Agency Theory (Teori Keagenan) dalam Kebijakan PKH 127 Isu-isu hubungan Principal-Agent dalam Implementasi Kebijakan
PKH 130
1. Seleksi Terhadap Agen 131
2. Hubungan Kontraktual 133
3. Asymmetric Information (Ketidaksepadanan Informasi) 137
4. Insentif 139
5. Risk Preference 141
iii
7. Kontrol 149
Masalah Hubungan Prinsipal-Agen dalam Implementasi Kebijakan
PKH 151
1. Masalah Hubungan Prinsipal-Agen 152
2. Masalah Hubungan Prinsipal-Prinsipal 152
3. Masalah Hubungan Agen-Agen 155
4. Perubahan Hubungan Prinsipal-Agen menjadi Agen-Agen 158
Biaya Transaksi 160
Biaya Lainnya 161
Arah Perbaikan Kebijakan PKH 162
Simpulan 164
SINTESIS HASIL PENELITIAN 167
Simpulan 172
DAFTAR PUSTAKA 173
LAMPIRAN 185
iv
DAFTAR TABEL
1. Perkembangan izin penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan
pertambangan 3
2. Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat 5 3. Beberapa penelitian terkait dengan kebijakan dan pengelolaan
pertambangan di dalam kawasan hutan 13
4. Landasan teori, metode, jenis data, sumber data dan output yang
diharapkan berdasarkan tujuan penelitian 23
5. Jumlah dan penyebaran informan/responden 24
6. Data izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan 42 7. Matriks perkembangan isu, tindak lanjut dan produk kebijakan
penggunaan kawasan hutan 54
8. Matriks indikator-indikator respon perilaku perusahaan 67 9. Penentuan tingkat responsifitas perusahaan dalam implementasi
kebijakan PKH 68
10. Matriks perbedaan motivasi dan nilai sektor pertambangan dan
kehutanan 71
11. Hasil analisis ketepatan implementasi kebijakan PKH 78 12. Respon perusahaan pemegang IPPKH dalam memenuhi kewajiban
PKH 81
13. Target dan realisasi penerimaan negara bukan pajak 85 14. Rata-rata besarnya PNBP per hektar per tahun yang dibayarkan
pemegang IPPKH berdasarkan rencana kerja PKH 87
15. Data perkembangan kegiatan reklamasi hutan pemegang IPPKH sd
tahun 2013 89
16. Penilaian Keberhasilan Revegetasi Pemegang IPPKH 90 17. Data perkembangan pemenuhan kewajiban rehabilitasi DAS di tiga
provinsi 92
18. Matriks hasil analisis asumsi (gap analysis) yang digunakan dalam
implementasi kebijakan PKH 97
19. Matriks isu-isu dalam implementasi kebijakan PKH dan arah
kebijakan yang akan datang 103
20. Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh pemangku
kepentingan 108
21. Bobot nilai (skor) dan verifier untuk mengetahui hak, tanggungjawab dan manfaat yang diterima para pihak dalam implementasi kebijakan
PKH 110
22. Bobot nilai (skor) dan verifier untuk mengetahui hubungan
(relationship) yang diharapkan/didapatkan oleh para pihak dalam
implementasi kebijakan PKH 111
23. Nilai rataan skor dan tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder
dalam implementasi kebijakan PKH. 113
24. Peranan para pihak berdasaskan hak, tanggung jawab dan manfaat
yang diperoleh dalam implementasi PKH 117
25. Matriks keterlibatan para pihak dalam kegiatan implementasi
v 26. Matriks hubungan (relationship) antara pihak dalam implementasi
kebijakan PKH 121
27. Pendapat beberapa peneliti tentang penggunaan hubungan P-A dalam
kebijakan publik 126
28. Aliran/rantai panjang hubungan P-A dalam kebijakan PKH 130 29. Matrik perbandingan karakteristik kontrak berdasarkan perilaku dan
hasil akhir 135
30. Matriks pembagian risiko dan konsekuensi pelaksanaan kontrak
IPPKH. 142
31. Perbandingan permasalahan hubungan P-A pada umumnya dengan
hubungan P-A dalam implementasi kebijakan PKH 152 32. Beberapa kasus konflik kepentingan antara A-hut dan A-tamb 156 33. Besarnya biaya transaksi dan biaya lainnya yang dikeluarkan A-tamb 162 34. Isu-isu dalam teori keagenan dan saran-saran implementasinya dalam
vi
DAFTAR GAMBAR
1. Perumusan masalah penggunaan kawasan hutan dengan menggunakan pendekatan Situation-Structure-Behavior-Performance (Kartodihardjo
2006b modifikasi dari Scaffer 1980)) 8
2. Bagan alir posisi dan ruang lingkup implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan pertambangan 12 3. Tahapan kajian implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan 22 4. Sejarah dan tonggak kunci dalam kebijakan penggunaan kawasan
hutan 44
5. Kerangka analisis implementasi kebijakan PKH 64
6. Posisi kebijakan PKH dalam matriks ambiguitas-konflik (Matland
1995) 76
7. Matriks pengaruh dan kepentingan hasil analisis para pihak(Reed et
al. 2009) 108
8. Posisi para pihak dalam matriks kepentingan dan pengaruh 113 9. Asumsi dalam agency theory (teori keagenan) dan permasalahan
dalam kebijakan PKH 129
10. Isu-isu dalam teori keagenan (Ackere 1993 dalam Murphy 2007) 131 11. Ketidaksepadanan informasi terkait dengan perbedaan tujuan antara P
dan A (diadopsi dari Waterman dan Meier 1998) 137 12. Tahapan penyusunan kontrak dan interaksi antara prinsipal dan agen 149 13. Area kontrol prinsipal (behavior based control dan outcome based
control) dalam proses implementasi kebijakan PKH. 150
14. Multiple and Collective Principals (Diadaptasi dari Nielson dan
Tierney 2003) 155
15. Perbedaan hubungan P-A pada institusi pemanenan hutan (Nugroho
2003) dan PKH 157
16. Hubungan multi P-A dan jenis-jenis kontrak (perizinan) di dalam
kawasan hutan 158
17. Perubahan hubungan prinsipal-agen menjadi agen-agen dalam
implementasi kebijakan PKH 159
18. Kuadran variasi hubungan P-A dan identifikasi permasalahannya. 159 19. Hubungan beberapa faktor dalam perbaikan kinerja implementasi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan hutan dan tambang dalam perspektif pengelolaan sumber daya alam, telah mengalami pergulatan kepentingan akibat begitu kuatnya tuntutan semua pihak terhadap pemenuhan kebutuhan bahan baku kedua sumberdaya tersebut. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan isu lingkungan dan ekonomi yang kemudian mengarah kepada perbedaan cara pandang ketika negara memperbolehkan beberapa izin/konsesi pertambangan beroperasi di dalam kawasan hutan (Nurrochmat et al. 2012).
Di satu sisi, telah diketahui bersama bahwa pemanfaatan sumber daya alam hanya akan menguntungkan segelintir orang (pengusaha), sementara kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat terabaikan (Marwa et al 2010, Nurrochmat 2005). Di sisi lain sumber daya hutan dan mineral di bawahnya merupakan karunia Tuhan yang diciptakan untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan ini dalam konteks persepsional kemudian menimbulkan konflik antara masyarakat lokal dan pengusaha-pemerintah.
Masalah kehutanan yang paling nyata adalah deforestasi dan degradasi akibat kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), perambahan hutan dan konversi lahan, sementara pertambangan umumnya berkisar pada isu degradasi lahan dan lingkungan. Khan et al (2010) menyebutkan bahwa deforestasi dalam berbagai simulasi model yang dilakukannya menegaskan bahwa pendorong dominan dari deforestasi adalah kegiatan-kegiatan pembalakan dan pertambangan (skala besar), dan juga secara potensial berbagai kegiatan ilegal.
Kegiatan pengelolaan pada kedua sektor ini secara kumulatif dapat berdampak pada lingkungan dan kehidupan sosial, ekonomi, serta budaya masyarakat lokal jika tidak dikelola dengan hati-hati dan bijaksana. Meskipun kedua sektor tersebut mempunyai akar persoalan berbeda namun mempunyai dampak yang relatif sama.
Pengelolaan hutan lestari mengakui nilai-nilai ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan. Dalam pengelolaan hutan lestari, pengambil keputusan atau pemangku kepentingan lainnya banyak terlibat. Hal ini termasuk pemilik atau pengelola hutan, masyarakat lokal, masyarakat yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan rekreasi, lembaga atau pejabat yang bersangkutan dengan manajemen sumber daya alam dan konservasi alam, dan perusahaan kehutanan. Masing-masing dapat memiliki tujuan yang berbeda tentang penggunaan hutan atau sumber daya alam lainnya. Tujuan sering bertentangan, tetapi apapun perbedaannya mereka harus bekerjasama untuk menemukan solusi terbaik. Dalam perencanaan partisipatif atau pengambilan keputusan kelompok, kelompok kepentingan atau warga negara harus terlibat dalam proses perencanaan dan pengelolaan hutan secara aktif (Kangas et al. 2006).
2
pemerintah dan para pemilik modal. Namun, yang menjadi korban dari kebijakan pengelolaan hutan yang bercorak eksploitatif, sentralistik, represif dan sektoral adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan (Reppeto dan Gillis 1988).
Kerusakan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bukan hanya mendatangkan kemunduran kegiatan ekonomi, namun dan bahkan telah menghilangkan kehidupan suatu komunitas masyarakat, suku dan bangsa tertentu. Diamond (2005) menelaah kegagalan dan keberhasilan kehidupan suku, bangsa, perusahaan, dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam di beberapa negara. Salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari telaah Diamond (2005) tersebut adalah pentingnya mengubah arah kebijakan secara mendasar dari bangsa-bangsa di dunia untuk menghindari masalah-masalah besar yang dihadapi, khususnya akibat kerusakan sumberdaya alam.
Sudah banyak masalah yang diungkap sebagai penyebab kerusakan hutan. Sintesis hasil sejumlah diskusi oleh alumni Fakultas Kehutanan IPB, menunjukkan beberapa penyebab kerusakan hutan, yaitu; (1) belum sinkronnya peraturan perundang-undangan, (2) lemahnya kapasitas dan peran instansi pemerintah (pusat maupun daerah) yang menyebabkan lemahnya kebijakan maupun implementasinya, serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi transaksi atau hubungan struktural antara pemerintah dengan masyarakat (termasuk dunia usaha), (3) kedua hal tersebut menyebabkan tidak tertanganinya konflik sosial dan mudahnya kawasan hutan negara menjadi sumber daya yang memiliki akses terbuka (open access resources), serta (4) besarnya hambatan untuk melakukan sinkronisasi kebijakan-meskipun sudah banyak sekali rekomendasi untuk itu-akibat perbedaan persepsi dan tingginya konflik kepentingan (Kartodihardjo dan Sudomo 2008).
Kartodihardjo (2006a) menyatakan bahwa perubahan orientasi kebijakan dapat dilakukan hanya apabila suatu fenomena tertentu yang dihadapi oleh suatu negara dapat dipahami dari berbagai sudut pandang secara komprehensif. Disamping itu, perubahan nilai-nilai (values) yang digunakan juga mempunyai peran penting. Seringkali upaya perubahan kelembagaan – dalam hal ini adalah aturan main dan instrumennya – tidak diikuti oleh pembaruan landasan filosofi dan kerangka pikir yang digunakan. Akibatnya peraturan bertambah, lembaga bertambah, nama lembaga seringkali diubah, tetapi tipe kebijakan yang dijalankan tidak berubah, sehingga tidak pula mengubah kinerja di lapangan.
Di lain pihak, paradigma pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya mineral (bahan tambang) yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state
base resources management) menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat
powerfull untuk menggunakannya dengan dalih mengejar target pertumbuhan
ekonomi (economic growth), demi peningkatan pendapatan dan devisa negara
(state revenue). Konsekuensi paradigma semacam itu, dalam tiga dekade terakhir
ini adalah; pertama, daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral justru menjadi daerah pengurasan (massive backwash effect) oleh pemerintah pusat, sehingga kekayaan sumberdaya mineral justru telah memiskinkan sebuah wilayah. Kedua, hampir semua lokasi industri pertambangan di dunia merupakan tempat tinggal masyarakat adat/komunal/lokal (Malanuang 2002).
3
Demikian pula dengan konsistensi kebijakan pemerintah yang selama ini telah berjalan di sektor pertambangan. Pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan konsistensi kebijakan pemerintah yang selama ini telah berjalan di sektor pertambangan.
Mencermati kehatian-hatian pemerhati lingkungan dan upaya pemerintah membangun kesejahteraan, maka sudah semestinya semua pihak duduk bersama untuk memikirkan dan merumuskan kebijakan pengelolaan SDA. Dalam kaitan
ini, perbedaan pandangan justru harus menciptakan ―keterpaduan‖ untuk
mengelola SDA secara bijaksana dan terukur sebagaimana prinsip ekosistem. Untuk mengakomodir konflik kepentingan terhadap pengelolaan SDA, khususnya antara kepentingan pengelolaan sumber daya hutan dan pemanfaatan hasil pertambangan, pemerintah telah menyusun kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) yang pada intinya mengizinkan adanya kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah juga merumuskan kebijakan-kebijakan baru atau mengubah dan/atau menyesuaikan kebijakan lama untuk mengakomodir berbagai tuntutan dan perkembangan kebijakan lain di sektor kehutanan.
Kebijakan PKH tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, baik undang-undang, peraturan presiden, instruksi presiden, peraturan pemerintah hingga peraturan menteri sebagai peraturan teknis pelaksanaan. Pada intinya, peraturan perundang-undangan tersebut mengatur operasionalisasi kegiatan di luar sektor kehutanan di dalam kawasan hutan dalam mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Sampai saat ini, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sebanyak 1.262 unit, dengan luasan 3.392.898,87 hektar dengan rincian sebagaimana tabel berikut ini:
Tabel 1 Perkembangan izin penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan pertambangan1
Tahapan Kegiatan Unit Luas (Ha) Jenis Komoditi
Izin kegiatan penyelidikan umum/survei dan eksplorasi
586 3.109.550,72 Migas, logam mulia, mineral logam lain, batu mulia, batubara, bahan galian C, panas bumi, jalan pertambangan Pinjam pakai kawasan hutan untuk
kegiatan eksploitasi
487 432.193,10
Jumlah 1.073 3.541.743,82
Kebijakan PKH telah berumur 36 tahun2, namun hingga saat ini belum ada kajian tentang kebijakan tersebut baik perumusan maupun implementasinya. Penelitian ini dimaksudkan untuk membedah proses perkembangan, perumusan dan implementasinya dalam perspektif hubungan antara pemerintah sebagai
1
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan. 2014. Data dan informasi izin pinjam pakai kawasan hutan Maret 2014. diakses di http://ppkh.dephut.go.id/index.php/pages/post_publikasi/post/24
pada tanggal23 Juni 2014
2
4
pemberi kewenangan pengelolaan hutan dan perusahaan pertambangan sebagai penerima kewenangan pengelolaan hutan dan permasalahn-permasalahan lainnya. Penelitian ini sangat penting mengingat saat ini kebijakan PKH merupakan salah satu kebijakan yang strategis dalam pengelolaan hutan. Keberhasilan implementasi kebijakan ini akan meningkatkan fungsi hutan, sebaliknya kegagalan implementasinya akan menyebabkan deforestasi dan degradasi kawasan hutan. Keluaran dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan penting bagi pemerintah dalam memperbaiki kinerja kebijakan PKH di masa yang akan datang.
Kerangka Pemikiran
Praktik pengurusan dan pengelolaan hutan antara lain ditentukan oleh kebijakan pemerintah maupun pemerintah daerah serta implementasinya di lapangan. Dengan penurunan kinerja pembangunan kehutanan yang telah terjadi, implementasi kebijakan tersebut terbukti belum efektif (Kartodihardjo 2008a). Efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan dirumuskan atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan menjalankan solusinya di lapangan (Dunn 2003).
Sumberdaya bersama (common pool goods) merupakan sumberdaya alam atau sumberdaya buatan yang bilamana seseorang menggunakan sumberdaya bersama akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, tetapi sulit memisahkan akses pengguna. Berdasarkan sifat rivalitas (persaingan) common
pool goods (misalnya danau, sungai dll) termasuk barang dan jasa yang apabila
dimanfaatkan seseorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Selain itu, penggunanya tidak dapat dikalahkan satu dengan yang lainnya (Kartodihardjo 2006b).
Hardin (1968) menjelaskan bahwa sumberdaya alam bersama yang aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua (tragedy of the commons). Lebih lanjut dikemukakan oleh Hardin (1968) bahwa untuk mencegah sumberdaya berkembang menjadi sumberdaya bersama
(commons) dalam artian bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial
secara memaksa, yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa (coercion) yang dimaksudkan adalah mutual coercion, yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumberdaya tersebut.
5
dapat dilindungi secara efektif tanpa disain institusi/kelembagaan yang didasarkan pada masalah yang fundamental.
Institusi atau kelembagaan menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi dan/atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan. Institusi adalah inovasi manusia untuk mengatur dan mengendalikan sumber hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap sesuatu (Kartodihardjo et al. 2004). Lebih lanjut dikemukakan oleh Kartodihardjo et al. (2004) dan Kartodihardjo (2008) unsur-unsur institusi dicirikan oleh batas yurisdiksi atau batas wilayah kewenangan (jurisdictional
boundary), hak pemilikan (property rights) dan aturan representasi/keterwakilan
(rule of representation).
Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya bersama yang apabila dimanfaatkan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, namun sulit mengecualikan para pengguna sumberdaya hutan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya hutan tanpa didukung oleh institusi yang kuat akan mengakibatkan open acces terhadap sumberdaya hutan yang akan berakibat pada kerusakan sumberdaya hutan tersebut, maka untuk menghindari hal tersebut kewenangan pengelolaan hutan berada di tangan pemerintah, atau berdasarkan undang-undang dikuasai oleh negara.
Sementara itu, keberadaan sumberdaya tambang dan mineral di dalam kawasan hutan menjadi permasalahan sendiri mengingat kewenangan pengelolaan sumberdaya tersebut berada pada sektor yang berbeda dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Oleh karena itu diperlukan pengaturan pengelolaan/ pemanfaatan yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak dalam sebuah instrumen kelembagaan. Pemerintah telah menggulirkan kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) sebagai upaya untuk mengatur pengelolaan sumberdaya tambang dan energi di dalam kawasan hutan. Kebijakan tersebut mengharuskan setiap orang/organisasi/badan usaha yang akan menggunakan hutan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan untuk mengajukan permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada Menteri Kehutanan.
Pemegang IPPKH untuk kegiatan pertambangan mempunyai hak untuk menggunakan kawasan hutan bagi kepentingan eksplorasi maupun eksploitasi bahan galian tambang dan mineral yang terkandung di dalam kawasan hutan. Hubungan antara hak-hak terikat dengan kelompok masyarakat maupun perusahaan oleh Schlager dan Ostrom (1992) dijelaskan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat
Tipe Hak Pemilik
(owner)
Pemilik Terikat (Proprietor)
Penyewa (Authorized
claimant)
Pengguna (Autorized
User)
Akses dan pemanfaatan X X X X
Pengelolaan X X X
Eksklusi X X
Pengalihan X
6
Pemegang IPPKH juga dibebani oleh kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh negara (cq. Kementerian Kehutanan) terkait dengan pengelolaan hutan dan pengendalian kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, pemegang IPPKH harus mematuhi kewajiban atas izin pinjam pakai kawasan hutan yang notabene dikuasai oleh negara (state property). Hal itu sejalan dengan pendapat Arifin (2001) dalam Sutrisno (2011) bahwa para individu atau badan usaha/perusahaan mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya itu, dalam hal ini sumberdaya hutan. Demikian pula, departemen yang bersangkutan mempunyai hakuntuk memutuskan aturan main penggunaanya.
IPPKH pada prinsipnya adalah bentuk hubungan principal-agent atau prinsipal-agen (P-A), dimana pemerintah, dalam hal ini bertindak sebagai prinsipal (P), memberikan kewenangan kepada perusahaan pertambangan yang telah memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dalam hal ini bertindak sebagai agen (A), untuk menggunakan dan memanfaatkan (penyelidikan umum, survey, eksplorasi dan eksploitasi) sumber daya energi, tambang dan mineral di dalam kawasan hutan.
Menurut Eisenhardt (1980), hubungan P-A atau dikenal dengan teori keagenan (agency theory) dilandasi oleh tiga buah asumsi, yaitu:
1. Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan untuk menentukan keputusan yang rasional (bounded rationality) dan tidak menyukai resiko (risk aversion).
2. Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisien sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information antara prinsipal dan agen.
3. Asumsi tentang informasi
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang diperjual belikan.
Sedangkan menurut Petrie (2002), teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi, dimana agen mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuan, yang berpotensi menciptakan moral hazard
dan adverse selection. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs)
untuk memonitor kinerja agen dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien.
Hubungan P-A akan efisien apabila tingkat harapan keuntungan (reward) kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak-kontrak atau kesepakatan-kesepakatan dapat diminimalkan (Rodgers 1994 dalam Nugroho 2003)
Selanjutnya Nugroho (2003) menjelaskan hubungan P-A yang efisien menjadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan. Besarnya biaya transaksi sangat dipengaruhi oleh derajat ketidaksepadanan informasi (information
assymetry), kekuasaan, kepemilikan asset (endowment) yang dimiliki oleh pihak
7
oleh prinsipal umumnya sangat terbatas. Pada kondisi demikian, maka prinsipal menghadapi dua risiko yaitu risiko salah memilih agen yang sesuai dengan keinginan (adverse selection of risk) pada ex ante (sebelum kontrak dibuat) dan resiko agen ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kontrak disepakati). Semakin tidak sepadan informasi, kekuasaan dan endowment yang dimiliki oleh para pihak yang mengadakan pertukaran, biaya transaksi ini akan semakin besar.
Sementara itu menurut Ostrom et al (1993), teori dan konsep biaya transaksi menyatakan bahwa pada prinsipnya situasi biaya transaksi tinggi yang terjadi akan menyebabkan perilaku moral hazard dari para pihak yang terlibat. Perilaku moral hazard dalam pengelolaan hutan yaitu bentuk perilaku opurtunistis atau free riding, antara lain terdiri dari perilaku sub optimal, melalaikan/malas
(shirking) dan pencarian rente (rent seeking) dan korupsi (corruption).
8
Gambar 1 Perumusan masalah penggunaan kawasan hutan dengan menggunakan pendekatan Situation-Structure-Behavior-Performance (Shaffer 1980 dan Kartodihardjo 2006b)
LEMBAGA PEMERINTAH
UU Nomor 4 Tahun 2009 UU Nomor 41
Tahun 1999 KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN Kawasan Hutan Wilayah Pertambangan Tumpang Tindih UUD 1945 PASAL 33 AYAT 3
PRINCIPAL AGENT
REHABILITASI DAS, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PEMULIHAN : REKLAMASI, REVEGETASI, PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAU LAHAN KOMPENSASI PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN DAN LAIN-LAIN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN STRUKTUR PARA PIHAK POTENSI SUMBER DAYA TAMBANG PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN EGOSEKTORAL OPEN ACCESS SITUASI MORAL HAZARD BERPIKIR JANGKA PENDEK, SELF INTEREST RENDAHNYA KOMITMEN LEMAHNYA KONTROL DAN PENEGAKAN HUKUM PERILAKU ANALISIS BIAYA TRANSAKSI ANALISIS KEAGENAN ANALISIS RESPON ANALISIS GAP (ANALISIS ASUMSI) ANALISIS IMPLEMENTASI ANALISIS PARA
9
Rumusan Masalah
Qomariah (2003) menyebutkan kerusakan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman bahan tambang, misalnya pada penambangan batubara yang dilakukan dengan sistem tambang terbuka yakni sistem dumping.
Kebijakan PKH telah dirumuskan dan dilaksanakan sebagai salah satu upaya pemerintah dalam pengelolaan hutan terkait dengan keberadaan pertambangan di dalam kawasan hutan. Sebagai akibat dari pemberlakuan kebijakan PKH, mengakibatkan permohonan izin penggunaan kawasan hutan melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) berkembang sangat pesat terutama dari sektor pertambangan sejalan dengan maraknya operasionalisasi pertambangan di daerah.
Dalam peraturan tersebut termaktub banyak kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan baik dalam proses pengajuan izin, pemenuhan kewajiban untuk mendapatkan izin pinjam pakai maupun kewajiban selama melaksanakan izin pinjam pakai tersebut. Disinyalir dari banyaknya kewajiban tersebut akan mengakibatkan biaya transaksi yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan kinerja perusahaan selama masa penggunaan kawasan hutan.
Di lain pihak, meningkatnya permohonan izin tersebut tidak disertai dengan pengawasan dan pengendalian kinerja perusahaan pemegang izin atas operasionalisasi tambang di dalam kawasan hutan. Minimnya data yang tersedia menjadi salah satu tanda lemahnya monitoring dan evaluasi pemerintah terhadap pelaksanaan kebijakan PKH tersebut. Sampai dengan tahun 2011 kegiatan monitoring dan evaluasi yang telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) baru dilakukan di beberapa provinsi dengan biaya yang ditanggung oleh pihak perusahaan pemegang IPPKH3. Data dan informasi mengenai perusahaan-perusahaan pemegang IPPKH yang telah mengembalikan lahan tambangnya yang dipinjam pakai ke pemerintah (cq. Kementerian Kehutanan) juga sangat minim, demikian juga dengan dokumen-dokumen laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Kondisi tersebut membersitkan pertanyaan tentang efektifitas pelaksanaan kebijakan PKH yang telah ada sejak tahun 1978.
Pendekatan analisis implementasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian dimaksudkan untuk menganalisis dan mengungkap situasi dan kondisi pelaksanaan kebijakan PKH terutama terkait dengan hubungan pemerintah dan
3
10
perusahaan pertambangan sebagai hubungan principal-agen melalui analisis-analisis pendukung seperti analisis-analisis peraturan perundang-undangan untuk mengkaji isi dan substansi peraturan tersebut, analisis para pihak, analisis respon (perusahaan), analisis kesenjangan kebijakan (analisis asumsi), dan analisis konflik.
Pertanyaan penelitian yang dapat dirangkum dari kerangka pikir dan rumusan permasalahan kebijakan PKH dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan PKH diimplementasikan?
2. Apa hambatan-hambatan dalam implementasi kebijakan PKH?
3. Adakah kesenjangan antara teks kebijakan dan implementasi kebijakan PKH? 4. Bagaimana hubungan antara pemerintah dan pemegang IPPKH dalam proses
implementasi kebijakan PKH?
Kajian kebijakan ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas serta untuk memahami bagaimana kebijakan PKH diimplementasikan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi semua pihak terkait dengan kebijakan PKH.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan saran dan masukan dalam perumusan/perbaikan kebijakan PKH. Sedangkan tujuan antaranya adalah: 1. Mengetahui implementasi kebijakan PKH.
2. Mengidentifikasi hambatan-hambatan, aktor dan para pihak serta peranannya dalam implementasi kebijakan PKH.
3. Memahami hubungan antara pemerintah (prinsipal) dengan pemegang IPPKH (agen) dan permasalahn-permasalahannya
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian kebijakan, khususnya dalam aspek proses implementasi kebijakan dan penerapan teori P-A dalam studi kelembagaan. Sedangkan manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah sebagai refleksi praktik penggunaan kawasan hutan bagi operasionalisasi kegiatan pertambangan sekaligus memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah dalam pelaksanaan kebijakan PKH.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
11
ini, istilah penggunaan kawasan dipersempit hanya mencakup penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor pertambangan saja.
Kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernyataan yang termaktub dalam Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang secara tegas mengatur hal tersebut, terutama pada pasal 38 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Pengertian PKH merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2010 jo PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang PKH, yaitu sebagai penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Sementara itu dalam Pasal 38 Ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa:
1. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
12
Kebaruan
Ada tiga kriteria suatu penelitian dapat disebut memiliki novelty (kebaruan) yaitu: fokus (focus), terdepan dibidangnya (advance) dan ilmiah
(scholar). Penelitian ini dibangun berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Pertama,
fokus penelitian ini ialah mengenai implementasi kebijakan dengan materi kajian khusus pada kebijakan PKH untuk kegiatan pertambangan. Implementasi kebijakan PKH ini akan menggunakan pendekatan konsep hubungan P-A sebagai basis analisisnya. Konsep tersebut juga merupakan konsep baru dalam ranah kebijakan kehutanan.
[image:30.595.42.522.66.661.2]Kedua, sampai saat ini belum ada penelitian tentang kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dalam skala nasional maupun internasional. Beberapa penelitian (tesis, disertasi maupun jurnal nasional) yang berhubungan dengan pertambangan dan kehutanan yang berhasil ditelusuri saat ini merupakan Gambar 2 Bagan alir posisi dan ruang lingkup implementasi kebijakan penggunaan
kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan pertambangan Proses Kebijakan Lengkap (Nugroho 2009)
Perubahan/ perbaikan Kebijakan Kinerja Kbijakan Pelaksanaan Kebijakan Perumusan Kebijakan Agenda Kebijakan Penyusunan Agenda Isu-isu Kebijakan Penerimaan dan Adopsi Kebijakan Analisis Kebijaka n Kontrol Kebijakan Monitoring Kebijakan Evaluasi Kebijakan Persiapan Kebijakan: Penyiapan Strategi Perbaikan Kebijakan Fokus Kajian PENGGANTIAN, PERUBAHAN/ PERBAIKAN PERTAHANKAN, TINGKATKAN KINERJA EVALUASI KEBIJAKAN PKH TEKS KEBIJAKAN PKH
13
[image:31.595.113.514.168.517.2]penelitian dalam tataran teknis, baik teknis pertambangan dan pasca tambang, keruangan, maupun dampak sosial dan ekonomi.
Tabel 3 Beberapa penelitian terkait dengan kebijakan dan pengelolaan pertambangan di dalam kawasan hutan
No Peneliti/Penulis Tahun Judul dan Penerbit/Jurnal
1 Lukman Malanuang 2002 Analisis Dampak Ekonomi dan Sosial Tambang Emas dan Tembaga bagi masyarakat komunal dan pembangunan wilayah Provinsi NTB (Studi kasus proyek batu hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa) [thesis]. Bogor (ID); Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
2 Muhammad Marzuki 2005 Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pengembangan Tambang Tembaga dan Emas di Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Timur) [tesis]. Bogor (ID); Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 3 Hasnawati Hamzah 2005 Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan
Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
4 Abdul Wahab Hasyim 2007 Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat, Tanpa Tambang Nikel. (Studi di Pulau Gebe Provinsi Maluku Utara) [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
5 Hariadi Kartodihardjo 2008 Diskursus dan aktor dalam pembuatan dan implementasi kebijakan kehutanan: masalah kerangka pendekatan rasional. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 14(1); 19-27. 6 Nurita Sinaga 2010 Disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca
tambang batubara berkelanjutan (studi kasus Kabupaten Kutai Kartanegara) [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sedangkan pencarian materi dan fokus penelitian yang sama pada jurnal internasional berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di Global Policy, Journal of Analysis Policy and Management, Forest Policy and Economics, Policy Studies Journal, Policy and Society, Environmental Policy and Governance, Global Environment Change, Land Use Policy, Forest Ecology and
Management, Journal of Forest Economic, Forest Ecosystem, penelusuran online
pada website ScienceDirect4, ProQuest5, Wiley Online Library6serta perpustakaan IPB, belum ditemukan riset mengenai analisis kebijakan PKH untuk kegiatan pertambangan, dengan pendekatan ilmu kelembagaan khususnya teori P-A.
Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode deskriptif kualitatif dipilih sesuai dengan tujuan penelitian yaitu
4
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
http://www.sciencedirect.com/ pada tanggal 24 April 2013
5
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
http://search.proquest.com/sessionexpired/ pada tanggal 27 April 2013
6
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
14
memahami fenomena sosial dengan mengambil studi kasus kebijakan PKH yang khusus pada kegiatan di sektor pertambangan.
Penelitian ini merupakan kajian dalam ranah ilmu-ilmu sosial dengan teori kelembagaan (institutional theory) sebagai landasan ilmu utamanya. Dalam konteks kelimuan tersebut, kebaruan dalam kajian ini adalah menambah variasi dan melengkapi perspektif hubungan P-A dalam institutional study.
Metode Umum Penelitian
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif adalah proses penelitian atau penyelidikan untuk memahami masalah-masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan/responden secara terperinci, dan disusun dalam sebuah situasi yang alamiah (Creswell 2002). Bogdan dan Taylor diacu dalam Moleong (2007) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Satori dan Komariah (2009) menambahkan penjelasan bahwa penelitian kualitatif dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu langkah kerja, formula suatu resep, pengertian-pengertian tentang suatu konsep yang beragam, karakteristik suatu barang dan jasa, gambar-gambar, gaya-gaya, tata cara suatu budaya, model fisik suatu artifak dan lain sebagainya. Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan atau eksplorasi. Sedangkan penelitian kualitatif deskriptif merupakan langkah kerja utuk mendiskripsikan suatu obyek, fenomena, atau setting sosial yang kemudian diwujudkan dalam suatu tulisan yang bersifat naratif. Artinya, data dan fakta yang dihimpun berbentuk kata atau gambar daripada angka-angka. mendeskripsikan sesuatu berarti menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu kejadian terjadi.
Salah satu jenis penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (case Study). Creswell (2002), menyadur pendapat Merriam (1988) dan Yin (1989), menjelaskan bahwa dalam penelitian studi kasus peneliti menggali kesatuan atau fenomena tunggal (kasus) yang dibatasi oleh waktu dan aktifitas (program, kejadian, proses, institusi atau kelompok sosial) dan mengumpulan informasi rinci dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode waktu yang lama.
Penelitian case study atau penelitian lapangan (field study) dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah, keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given). Subyek penelitian dapat berupa individu, kelompok, institusi atau masyarakat.
15
memahami sebuah kasus tertentu. Jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem tertentu, namun karena dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaannya, kasus itu sendiri menarik minat. Untuk sementara waktu seorang peneliti dalam melakukan penelitian jenis ini mengabaikan rasa keingintahuan terhadap hal-hal lain agar kasusnya dapat memunculkan kisah uniknya sendiri (Stake 2009)
Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya bilamana hanya dipusatkan pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum memperoleh gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus akan kehilangan artinya kalau hanya ditujukan sekedar untuk memperoleh gambaran umum namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek khusus yang perlu dipelajari secara intensif dan mendalam. Disamping itu, studi kasus yang baik harus dilakukan secara langsung dalam kehidupan sebenarnya dari kasus yang diselidiki. Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari kasus yang diteliti, tetapi juga dapat diperoleh dari semua pihak yang mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data dalam studi kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam kasus yang akan diteliti tersebut
Penelitian ini merupakan eksplorasi dalam ranah telaah kebijakan (policy
analysis) terkait penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan. Salah satu
esensi analisis kebijakan menurut Dunn (2003) adalah menggali dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Sedangkan untuk memahami isi kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kepentingan kegiatan pertambangan, dilakukan analisis terhadap sejumlah peraturan-perundangan. Ketepatan isi kebijakan ditentukan oleh masalah kebijakan yang telah didefinisikan (Dunn 2003).
Kebijakan tidak dapat dipahami hanya dari isi teks peraturan perundang-undangan semata, melainkan juga dari aksi dan reaksi hubungan antara pembuat dan pihak-pihak yang melaksanakan kebijakan tersebut. Berdasarkan pandangan ini, kebijakan yang tertuang dalam isi peraturan perundang-undangan adalah norma dan kehendak sah dan legal yang harus dilaksanakan. Kebijakan tersebut dapat atau tidak dapat dijalankan tergantung oleh kesamaan atau perbedaan interpretasi isi kebijakan tersebut oleh pembuat dan pelaksana kebijakan.
Fokus penelitian ini adalah kajian proses implementasi kebijakan PKH dalam bentuk peraturan perundang-undangan PKH khusus untuk kegiatan pertambangan, yaitu;
1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Selanjutnya, dalam penelitian ini juga akan dikaji kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan erat dengan implementeasi kebijakan PKH, yaitu;
16
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang
4. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah.
5. Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang;
6. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Penentuan Luas Areal Terganggu dan Areal Reklamasi dan Revegetasi untuk Perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan. 7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman
Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan;
9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan;
10.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.59/Menhut-II/2011 tentang Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi;
11.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai;
12.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Peneliti menyadari, bahwa agar pembenahan kebijakan PKH lebih mampu mengarusutama kepada pengelolaan hutan lestari diperlukan upaya yang lebih dari sekedar sebuah penelitian ini. Namun demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi satu upaya dalam menyusun strategi kebijakan yang menyeluruh dalam upaya memikirkan pengarusutamaan dalam agenda pembaruan kebijakan pengelolaan kehutanan berikutnya.
Metode Pengumpulan Data
1. Studi Dokumen (Document Review)
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain.
17
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Metode atau studi dokumen, meski pada mulanya jarang diperhatikan dalam metodologi penelitian kualitatif, pada masa kini menjadi salah satu bagian yang penting dan tak terpisahkan dalam metodologi penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran dan pemahaman baru yang berkembang di para peneliti, bahwa banyak sekali data yang tersimpan dalam bentuk dokumen dan artefak. Sehingga penggalian sumber data lewat studi dokumen menjadi pelengkap bagi proses penelitian kualitatif.
2. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara memiliki bentuk dan kegunaan yang sangat beragam. Tipe paling umum adalah wawancara perorangan ketika berbincang dan bertatap muka, namun juga bisa mengambil bentuk lain, seperti wawancara langsung tatap muka
(face to face) dengan kelompok (face group interview), baik melalui
angket/kuesioner (questionnaire) yang dikirim (mailed questionnaire) atau diberikan sendiri (self administration), dan juga dengan survey telepon. Teknik wawancara mempunyai tiga bentuk, yaitu; terstruktur (structured), semi terstruktur (semi-structured) dan tak terstruktur (unstructured). Wawancara bisa digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, menghimpun opini, terapi dan memproduksi data. Wawancara juga dapat digunakan sebagai alat ukur, sedangkan hasil wawancara mencerminkan perspektif individu atau kelompok. Wawancara boleh dilakukan meskipun hanya satu kali, perbincangan singkat secara langsung atau melalui telepon, berdurasi 5 menit, atau dilakukan dalam durasi yang lama (Fontana dan Frey 2009).
Wawancara mendalam merupakan salah satu metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin 2009).
Bungin (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara
(interviewer), tujuan wawancara, peran informan (interviewee) dan cara
melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya. Sesuatu yang amat berbeda dengan metode wawancara yang lainnya adalah bahwa wawancara mendalam dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian, hal yang tidak dilakukan pada metode wawancara yang lain.
18
baku, tetapi dimodifikasi pada saat wawancara berdasarkan situasinya. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dan mendalam, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Satori dan Komariah 2009).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang pewawancara saat mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan non verbal. Beberapa tips saat melakukan wawancara adalah mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building report, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif.
3. Survei Pakar
Survei pakar dilakukan dengan tujuan untuk memahami pengetahuan yang dimiliki oleh pakar terhadap aspek-aspek penggunaan kawasan hutan yang penting dalam rangka mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Penetapan pakar sebagai sumber pengetahuan atau responden didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: 1). keberadaan, kemudahan dan kesediaan untuk diwawancarai, 2). reputasi, kedudukan, dan memiliki kredibilitas sebagai pakar, 3). pengalaman pakar yang menunj