• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

METODE SEDERHANA DAN PRAKTIS PENGUJIAN KEBERADAAN PROTEIN A Staphylococcus aurerds ISOLAT ASAL MANUSIA

DAN SAP1 PERAH SERTA APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN PERANGKAT DIAENOSTIIC

TITIEK DJANNATUN

(2)

ABSTRAK

TITIEK DJANNATUN. Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik. Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN, MASDUKI PARTADIREDJA (Alm), FACI-IRIYAN I-IASMI PASARIBU, dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.

Protein A merupakan komponen permukaan sebagian besar bakteri StaphyZococcus a w e u s (S. aureus), berperan sebagai faktor virulensi pada ii~feksi S.

aureus. Protein A mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan fraksi Fc hampir semua subklas imunogiobulin G (IgG) berbagai spesies, kecuali IgG3 (manusia); IgGl (mencit); IgG1,IgGl,, IgGzb (tikus); dan tidak berikatan dengan fraksi Fc Ig ayam. Karena kemampuannya tersebut, protein A dimanfaatkan dalarn berbagai teknik imunologi seperti pada uji imunokimia dan teknik diagnostik laboratorium.

Keberadaan protein A pada permukaan sel bakteri S. aureus telah diuji dengan teknik Serum So# Agar (SSA). Dari 33 isolat asal manusia, 22 isolat menunjukkan perubahan bentuk koloni difus menjadi kompak dengan penambahan serum kelinci normal ke dalam media soft agar. Sebagai pembanding juga ditunjukkan pada 5 isolat dari 7 isolat S. aureus asal sapi. Perubahan koloni tidak dijumpai pada semua isolat yang ditumbuhkan pada SSA dengan serum normal ayam.

Protein A S. aureus telah dipurifikasi menggunakan teknik afinitas kromatografi dan dikarakterisasi dengan menggunakan Sodium Dodecyl Sulphatc Gel Electrophoresis (SDS-PAGE). Hasil purifikasi menunjukkan satu pita protein dengan berat molekul 42 kDa.

Matriks protein A yang telah diawetkan dengan menggunakan formaldehida

0,5% dalam PBS selarna 3 j a m pada suhu kamar, diikuti dengan pemanasan pada 80°C selama 1 jam, baik yang diaktivasi dengan antibodi spesifik kelinci terkadap Strptococcus grup C 5.60 maupun yang tidak diaktivasi masih memiliki aktivitas protein A setelah disimpan selarna 1 tahun pada suhu 4 O C .

(3)

A B S T R A C T

TlTIEK DJANNATUN. A Simple and Practice Method for Detection of the Occurrence of Protein A in Stnphyococczrs azrrez4s Isolated from Human and Dairy Cattle and Its Application for Diagnostic Kit. Under supervision of I WAYAN TEGUH WBAWAN, MASDUKI PARTADIREDJA, FACHRIYAN H A S M PASARIBU, and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.

Protein A is a cell wall constituent of most StaphyIococcz~s aureus (S. aurezrs) strains, it has been postulated as a virulence factor in S. aureus infection, and it has an ability to bind to the Fc fraction of all IgG subclasses of various species except human IgG3, mice IgGl and rat IgGl, IgGz,, IgGzb; but not binds to the Fc fraction of chicken IgY. Because of this property, protein A is useful in a variety of immunological techniques as well as applications in immunochemical assay and diagnostics.

The presence of protein A on the cell surface of S. aureus was examined with Serum Soft Agar (SSA) technique. From 33 human isolates, 22 isolates expressed the change of colony morphology fi-om diffuse t o compact in the presence of rabbit serum. Comparable results were also shown in 5 isolates out of 7 isolates derived from bovine. N o colony morphological changes were detected in all isolates in the presence of chicken serum.

Protein A of S. aurezis was purified using aff~nity chromatography technique and characterized with Sodium Dodecyl Sulphate Gel Electrophoresis (SDS-PAGE). The purified protein A consists of one protein band with molecular weight of 42 kDa.

Protein A matrix which previously preserved with 0,5% formaldehyde in PBS for 3 hours at room temperature, consequently with heat treatment at 80°C for 1 hour and activated with specific rabbit antibodies against group C Streptococcus 5.60 as well as without activation remained stable for at least 1 year when stored at 4°C.

(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul :

Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylucoccrrs aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 3 Desember 200 1 Yang memberi pernyataan,

(5)

METODE SEDERHANA DAN PRAKTIS PENGUJIAN KEBERADAAN PROTEIN A Stap/zylococct~s nureus ISOLAT ASAL MANUSIA

DAN SAP1 PERAH SERTA APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN PERANGKAT DIAGNOSTIK.

TITIEK DJANNATUN SVT 985142

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

-tasi : Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik

Nama : Titiek Djannatun

NRP : 985142

Program Studi : Sains Veteriner

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. Ketua

Prof. Drh. Masduki Partadiredia. MSc., PhD. (Alrn.1 Anggota

Anggota Anggota

2. Ketua Program Studi Sains Veteriner

Drh. ~ambUang P.

Fries

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 8 Mei 1963 dari orangtua H. M. Thamrin (Alrn.) dan Hj. Muchtadjah (Alm.) sebagai anak keempat dari sembilan bersaudara.

Pada tahun 1975 penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Blok R Pagi 111, Jakarta, tahun 1979 lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri XIII, Jakarta dan pada tahun

1982 lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 70, Jakarta.

Pada tahun 1986 meraih gelar Sarjana Kedokteran IIewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan tahun 1987 mendapatkan gelar profesi Dokter Hewan dari Fakultas yang sama.

Sejak tahun 1987 sampai sekarang bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta.

Penulis menikah dengan Dr. Drh. Heru Setijanto, putra dari Drs. H. H. Soedjaja dan Hj. Budiharti pada tahun 1988 di Jakarta.

(8)

UCAPAN TEFUMA KASIH

Alhzlmdulillah, atas berkat rahrnat dan karunia Allah S.W.T. disertasi ini dapat tersusun dan tidak terlepas pula dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu sepantasnyalah penulis menyampaikan pcnghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS., Prof. Drh. Masduki Partadiredja, MSc., PhD. (Alm.), Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan Drh. Barnbang Pontjo Priosoeryanto, MS. PhD., selaku komisi pembimbing yang telah mewarnai dan mengarahkan pola pikir penulis selama penelitian dan penulisan disertasi ini. 2. Rektor Universitas YARSI, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas YARSI,

KepaIa d m staf Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI atas ijin dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. 3. Badan Pelaksana Harian Yayasan YARSI yang telah rnen~bantu biaya pendidikan,

penelitian dan penulisan disertasi.

4. Seluruh keluarga besar H.M. Thamrin (Alrn.) dan Drs. H. H. Soedjaja atas doa dan dukungannya serta yang tersayang dan terhormat Suamiku Dr. Drh. Heru Setijanto sebagai pendukung, pendorong dan penasehat selama ini.

5 . Direktur Program Pascasarjana IPB beserta seluruh staf dan pegawai serta Ketua Program Studi Sains Veteriner dan staf atas layanannya selama penulis menempuh pendidikan.

(9)

bantuannya selama penulis menyelesaikan penelitian di Unit Pengujian Mutu Serum PT. Bio Farma (persero) Bandung.

7. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB beserta sivitas akademika atas pelayanan dan keramah-tamahannya yang rnemberikan suasana akademis yang kondusif bagi perjalanan pendidikan, penelitian sampai penulisan disertasi ini.

8 . Mbak Wahyuni, mbak Sri Estuningsih, mbak Eva Harlina, mbak Dini, pak Mahdi Abrar, I Nyoman Suartha, pak Fadrial Karmil, Hera Maheshwari dan adik-adiic Suhartila, Rik-Rik, siska, Nunu serta para teknisi di Laboratorium Diagnostik Bakteriologi, Agus Somantri, Taufik, atas segala bantuan dan dukungannya selama ini. Khusus kepada Udin, Denny dan Ratih atas bantuannya dalam persiapan presentasi penelitian ini.

9. Semua pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuan kepada penulis.

Akhirnya disertasi ini kupersembahkan kepada Umi tercinta, Hj. Muchtadjah Thamrin (Alm.) yang semasa hidupnya tak henti-hentinya memberikan dorongan semangat d m doa restunya.

(10)

PRAKATA

Protein A merupakan reagen penting dalarn imunologi dan teknik diagnostik laboratorium. Secara biologis protein A berperan sebagai faktor virulensi bakteri, yaitu mampu berikatan kuat pada bagian Fc dari hampir semua subklas imunoglobulin G (IgG).

Untuk mendeteksi keberadaan protein A selama ini digunakan beberapa

metode yang sangat rumit, memerlukan peralatan dan reagen khusus yang mahal serta tidak praktis. Dengan demikian perlu dicari cara alternatif untuk mendeteksi keberadaan protein A yang sederhana dan praktis serta pengawetan protein A yang tepat, sehingga dapat disimpan untuk kurun waktu tertentu dan dimanfaatkan pada waktu diperlukan.

Serangkaian percobaan telah dilakukan d m hasil serta pembahasannya dipaparkan dalam disertasi ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan diagnostik dalarn uji serologis terhadap berbagai antigen (Ag).

nisadari dengan sepenuh hati, bahwa penyajian disertasi ini masih banyak kelemahan-kelemahan. Untuk itu kritik dan saran pembaca senantiasa diharapkan. Akhirnya dengan segala keterbatasan, semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat.

(11)

DAFTAR lS1

Halaman

DAFTAR IS1 . . . xi

...

DAFTAR TABEL . . . X I I I DAFTAR GAMBAR . . . xiv

Latar Belakang . . . I Rumusan Masalah . . . 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian . . .

. .

3

Hipotesis Penellt~an . . .

.

.

.

. . . 3

Analisa Data . . . 4

TINJAUAN PUSTAKA . . . 5

Morfologi dan Identifikasi Stnphykococcus nureus . . . 5

Faktor Virulensi . . . 8

. . . Protein A Staphylucocc~r.~ nftrrzrs . . . .. 13

Penggunaan Protein A dalam Diagnostik . . . 18

Interaksi Shphylococc~rs nzrretrs denyan cairan tubuh . . . 21

Uji keberadaan protein A S

.

czrlrerrs . . . 24 Teknik Sofi Agar dan Ser~rnl Sofi Apt. (SA dan SSA) . . . 2 5

BAHAN DAN METODE . . .

Tempat dan Waktu Penelitian . . .

.

.

Bahan Penelltlan . . .

. . . Isolat Bakteri

Hewan Percobaan . . .

.

.

Media Brakan . . . .. . . . Bahan Reidentifikasi

. . . Bahan-bahan lain

. .

. . .

.

.

. . . ..

Alat Penelltlan . . . . . . Metode Penelitian

A . Reidentifikasi bakteri . . . B . Penentuan Kandidat . . .

Salt Aggregation Test ( S A T ) . . . Dot Blot . . . C . Purifikasi dan Karakterisasi Protein A . . .

1 . Afinitas kromatografi . . . .... . . . . . . . . . . .

.

(12)

...

3

.

Presipitasi arnoniurn sulfat

...

4

.

Isolasi Protein A dengan matriks nitroselulose aktif

...

5

. EIektroforesis SDS-PAGE

...

D

.

Penentuan awal keberadaan Protein A

...

1

.

Pernumian Ig Kelinci

...

Pemumian serum dengan amonium suIfat

Pernumian dengan Ion Exchange Chromatography DEAE Sephacel

...

.

.

.

...

Pengujian dengan menggunakan Spektrofotometer

...

...

2

.

Melihat pertwnbuhan bakteri pada soft agar (SA)

...

3

.

Pertumbuhan bakteri pada serum soft agar (SSA)

4

.

Pertumbuhan bakteri pada soft agar yang diberi Ig

...

...

E

.

Screening keberadaan protein A dengan SA dan SSA

F

.

Metode Pengawetan

...

1

.

Pengawetan dengan pemanasan 80°C selama 1 jam

...

2

.

Pengawetan dengan formaldehida 0, 5%

3

.

Pengawetan dengan formaldehida 0, 5% dan pemanasan 80°C

...

selarna 1 jam

...

G

.

Aplikasi protein A untuk pengembangan kit diagnostik

1

.

Preparasi Ag vaksin SGC 5.60

...

2

.

Produksi Ab terhadap SGC 5.60

...

3

.

Pembuatan ekstrak autoclave antigen

...

4

.

Pengujian Ab dengan teknik Agar Gel Precipifation Test (AGPT)

. .

...

.

5 Metode koaglutinasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

...

Reidentifikasi Bakteri

Penentuan Kandidat

...

...

Salt Aggregation Test (SAT)

...

Uji Dot Blot

Purifikasi. Karakterisasi dan Penentuan Keberadaan Protein A

...

Pelacakan protein A pada isolat lapang menggunakan teknik SA dan SSA

...

...

Sensitifitas dan Spesifisitas

...

Metode Pengawetan

Aplikasi protein A untuk pengembangan kit diagnostik

...

ICESIMPULAN DAN SARAN

...

Kesimpulan

...

Saran

...

(13)

DAFTAR TABEL

[image:13.528.46.460.50.536.2]

Tabel 1. Tabel 2.

Tabel 8.

Tabel 9.

Tabel 10.

Tabel 1 1.

Tabel 12.

Tabel 14. Tabel 15.

[image:13.528.44.467.72.583.2]

Faktor virulensi potensial S. aureus

...

1 1 Komposisi asam amino protein A mumi dari strain S. aureus Cowan

...

1 dan strain metisilin resisten S. aureus 14 Kemampuan pengikatan protein A terhadap imunoglobulin dari

...

beberapa spesies 16

Uji biokimia terhadap isolat Staphylococcus sp. asal manusia dan 47 sapi

...

Uji SAT terhadap isolat S. aureus asal manusia dan sapi

...

48 Uji keberadaan protein A S. aureus asal manusia dan sapi dengan

Dot Blot

...

5 1 Uji keberadaan protein A terhadap isolat kandidat S. aureus asal

manusia dan sapi dengan Dot Blot

...

5 3 Uji keberadaan protein A terhadap isolat kandidat S. aureus asal

manusia dan sapi dengan SA dan SSA

...

5 5

Hasil Pemeriksaan Imunoglobulin G dan Penentuan Kandungan

Protein dengan Menggunakan Spektrofotometer

...

5 6 Pertumbuhan bakteri S. aureus protein A positif pada Soft Agar

dengan berbagai konsentrasi imunoglobulin kelinci

...

5 6 Uji keberadaan protein A S . aureus isolat asal manusia dan sapi

dengan SA dan SSA

...

58 Perbandingan uji SSA dan Dot Blot terhadap keberadaan protein A

S. aureus asal manusia dan sapi

...

59 Resultan klasifikasi silang 40 isolat S. aureus menurut status

keberadaan protein A dengan uji Dot Blot dan hasil screening

keberadaan protein A menurut uji SSA

...

63 Hasil pengawetan terhadap matriks protein A

...

64 Penggunaan kandidat S. aureus sebagai pembeban antibodi untuk

...

(14)

DAFTAR GAMBAR

[image:14.526.46.465.90.585.2]

Halaman Gambar 1.

Gambar 2. Garnbar 3.

Gambar 4. Garnbar 5.

Gambar 6.

Gambar 7.

Garnbar 8.

Gambar 9. Garnbar 10.

...

Struktur StaphyIococcus antigenik 9

Ikatan antara Protein A dan reseptor Fc suatu antibodi

...

1 9

Morfologi koloni bakteri S. aureus yang diisolasi dari manusia

...

pada media agar darah 45

Hasil Salt Aggregation Test (SAT)

...

4 9 Metode Dot Blot dapat digunakan untuk diskriminasi bakteri yang memiliki protein A (A dan B) dan yang tidak melniliki protein A

(C dan D)

...

5 1 Afirmasi protein A pada bakteri kandidat (Sa53 dan Sa2P1) dari

...

berbagai jenis preparasi 52

Uji keberadaan protein A pada isolat Sa53 dan Sa2P1 dari

...

berbagai preparasi menggunakan SDS-PAGE 54 Uji kemurnian protein Ig kelinci yang telah diisolasi dengan

presipitasi amonium sulfat dan DEAE-SephaceI, menggunakan scanning spektrofotometer, terlihat dengan pembentukan puncak

b e a k ) fraksi 1 ( A ) dan fraksi 2 (B) pada

x

280 nm

...

5 7 Uji Serum Soft Agar

...

60

Uji koaglutinasi dengan menggunakan matriks protein A Sa53 yang telah diikat dengan serum spesifik terhadap SGC 5.60,

(15)

DAPTAR SINGKATAN

Ab : Antibodi Ag : Antigen

AGPT : Agar Gelt Precipitation Test Asn : Arsenin

Asp : Asarn aspartat BHI : Brain Heart Infusion BM : Berat MolekuI BrCN : Bromsian

CFT : Complement Fixation Test DEAE : Dietilaminoetil

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay Fab : Fragment antigen binding

Fc : Fragmen crystallizable FITC : Fluoresceinisothiocyanate

Fn : Fibronectin

FnBP : Fibronectin bindingprotein Glu : Glutamat

Gly : Glisin lg : Imunoglobulin IL : Interleukin kDa : kilo Dalton Lys : Lisin M : Molar

MRSA : Methicillin resistant Staphylococcus aureus MS A : Manitol Salt Agar

N : Normal

PBS : Phosphate Bufler Saline PEG : Polyethylene Glycol PMN : Polymorphoneclear

PMSF : Fenil metil sulfonil fluorida Pro : Prolin

SA : Soft Agar

SAT : Salt Agregation Test

SDS-PAGE : Sodium dodesil sulfat poliakrilamida gel elektroforesis SGB : Streptococcus grup B

SGC : Streptococcus grup C SSA : Serum Soft Agar

TEMED : Tetra metil etilendiamin THB : Todd Hewitt Broth

TSS : Toxic Shock Syndrome

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Protein A diketahui rnerupakan komponen permukaan yang umumnya ditemukan pada Staphylococcus aureus (S. aureus) (Sherris et al., 1984; Kusunoki et al., 1992). Protein A merupakan polipeptida dengan berat molekul 13-45 kDa (kilo Dalton), yang terikat secara kovalen pada lapisan dinding sel S. aureus (120rsgren,

1970; Boyle dan Reis, 1987; Kusunoki et al., 1992; Takeuchi rf a l . , 1995). Menurut Yoshida e t al. (1963) protein A memiliki kandungan nitrogen 16,2 % dan koefisien sedimentasi 1,6 S.

Secara biologis protein A berperan sebagai faktor virulensi bakteri, yaitu mampu berikatan kuat pada bagian Fc Cfragrnent crysfallizahle) dari llampir sernua subklas imunoglobulin G (IgG) berbagai spesies, kecuali IgG3 (manusia); IgGl (mencit); IgGI, IgG2,, IgG2b (tikus); dan tidak berikatan pada Fc Ig ayam (IgY) dan kambing (Boyle e f al., 1985; Harlow dan Lane, 1988). Protein A juga dapat herikatan dengan bagian Fc IgA dan IgM pada beberapa spesies (Arbuthnott et u l . , 1983). Bagian Fab Wagment antigen binding) pada IgG yang terikat pada protein A menghadap keluar dan bebas berikatan dengan Ag spesifik (Praseno, 1995; Jawetz et

a[.,

1996).
(17)

Pasaribu ( 1 9 9 3 ) , uji koaglutinasi dengan menggunakan protein A merupakan metode yang sangat mudah untuk dilakukan, cepat (30 detik), hasil yang akurat serta murah.

Banyak kegunaan imunologis protein A , antara lain (1) untuk pemurnian imunoglobulin berdasarkan teknik afinitas kromatografi dan imunopresipitasi, (2) sebagai konyugat untuk Western Blotting (berdasarkan daya ikatnya yang luas pada beberapa molekul imunogIobulin dari berbagai spesies) dan ( 3 ) berperan sebagai koaglutinator reaksi serologis.

Berdasarkan kemarnpuan protein A mengikat fraksi Fc berbagai IgG mamalia, untuk mendeteksi keberadaan protein A selama ini digunakan beberapa metode antara lain : metode double gel irnmunodiffusion, metode imunofluoresensi, metode indirect hemagglutination. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), slide hemagglutination test, microplate hemagglutination test (Cox et a l . , 1986; Takeuchi et al., 1988), single radial irnmunodz~fusion, solid-phase radioirnmunoassay (Cheung et al., 1987).

Metode di atas sangat rumit, memerlukan peralatan dan reagen khusus yang mahal serta tidak praktis. Metode immunoJluoresensi sangat sensitif sehingga mudah terjadi reaksi silang dan dapat menimbulkan hasil positif palsu dan negatif palsu.

Rumusan Masalah

(18)

Mengingat manfaat imunologis dari protein A dan kemampuannya sebagai penanda untuk mendeteksi berbagai reaksi imunologis, perlu dilakukan upaya pengembangan pemanfaatan protein A sebagai bahan untuk tindakan diagnosa (diagnostic kit). Sampai saat ini penentuan keberadaan protein A pada permukaan S. aureus dilakukan dengan metode yang rumit seperti tersebut di atas. Untuk itu perlu pengetahuan mengenai cara alternatif mendeteksi keberadaan protein A yang sederhana dan praktis serta pengawetan protein A yang tepat, sehingga dapat tlisimpan untuk kurun waktu tertentu dan dimanfaatkan pada waktu diperlukan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) mencari cara sederhana dan praktis pengujian keberadaan protein A pada permukaan S. aureus ; ( 2 ) mengidentifikasi S. aureus asal hewan dan rnanusia yang banyak menganduny protein A, dengan menggunakan ,S. aureus Cowan I sebagai pembanding ; (3) mengetahui metode pengawetan protein A secara utuh (whole cell) maupun dalam bentuk terikat dengan imunoglobulin.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan diagnostik dalam uji serologis terhadap berbagai antigen (Ag).

Hipotesis Penelitian

(19)

4

2. Teknik sederhana Serum Soft Agar (SSA) dapat digunakan untuk mendeteksi protein A pada permukaan S. aureus.

Analisa Data

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Identifikasi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk bulat dengan diameter 0,5-1.5

p111, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak teratur seperti anggur, tidak bergerak dan

tidak membentuk spora. Biakan muda bersifat Gram positif kuat, sedangkan pada biakan yang lebih tua, banyak sel menjadi Gram negatif (Kloos dan Jorgensen, 1985).

Bakteri ini mudah tumbuh pada berbagai perbenihan, baik dalam keadaan aerobik atau mikroaerofilik. Tumbuh paling cepat pada temperatur 37OC, tetapi pembentukan pigmen paling baik pada suhu kanlar (20"-25°C). Menurut Smith (1980), S. aureus dapat tumbuh baik pada suhu 25"-35"C, tetapi dapat tumbuh juga pada suhu dibawah 8°C dan di atas 48°C. Koloni pada perbenihan padat berbentuk bundar, halus, menonjol dan berkilau dengan pigmen berwarna abu-abu sampai kuning emas tua. Pada perbenihan agar darah dihasilkan berbagai tingkat hemolisis (Jawetz

et al., 1996).

(21)

StaphyZococcus aureus termasuk ke dalam famili Micrococcaceae, yang bersifat non host speczyc dan dapat menyebabkan penyakit pada manusia maupun hewan. Dalarn dunia kedokteran, secara klinis S. aureus merupakan salah satu spesies yang penting dan merupakan patogen utama bagi manusia.

Hampir setiap orang sepanjang hidupnya pernah mengalami beberapa tipe infeksi S. aureus yang bervariasi dalam beratnya, mulai dari keracunan makanan, infeksi kulit ringan sampai infeksi berat yang mengancarn jiwa.

Menurut Cunningham et a!. (1996) dan Tarkowski dan Wagner (1998), S.

aureus merupakan penyebab infeksi tulang dan persendian yang penting seperti, septic arthritis dan osteomyelitis yang sulit untuk diobati. Hal ini dikaitkan dengan sejumlah faktor virulensi, baik komponen ekstraseluler maupun dinding sel bakteri.

WHO (Isbandrio dan Wahyono, 1995) membagi mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial dalarn 3 kelompok dan S. aureus merupakan saIah satu bakteri dalam kelompok patogen konvensional yang menyebabkan penyakit pada orarlg sehat, karena tidak adanya kekebalan spesifik terhadap bakteri tersebut.

(22)

Multiresisten Staphylococcus merupakan masalah yang muncul di tahun 1990- an. Pada kurun waktu itu insiden infeksi Staphylococcus, begitu pula insiden infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus yang resisten terhadap antibiotika telah meningkat. Bakteri ini dapat bersumber dari penderita, personel Rumah Sakit dan lingkungan sekitarnya (Weinstein, 1995; Karnpf et a L , 1998).

Selanjutnya meni~rut Weinstein (1995) dan Vandenbroucke-GrauIs (1398), S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSAIMethicilZin Resistant S. aureus) pertama kali muncul di benua Eropa lebih dari 20 tahun yang lalu, tapi setelah itu dapat diisolasi di seluruh dunia. Sekali MRSA ditemukan di suatu Rumah Sakit, bakteri ini akan tetap ada selama bertahun-tahun. Sangat sedikit obat antimikroba yang aktif melawan MRSA. Diantara antibiotika yang lebih baru, telah terjadi peningkatan resistensi MRSA terhadap kuinolon dan saat ini vankomisin adalah satu-satunya antibiotika yang aktif membunuh semua strain MRSA.

Strain MRSA banyak menginfeksi pasien dalam terapi immunosuppressed (pasien transplantasi), pasien luka bakar (trauma) atau penderita imunodefisiensi. Penyebaran bakteri ini 65% terjadi melalui seragam perawat yang terkontaminasi. Selain itu bakteri ini mampu hidup pada permukaan gelas, aluminium foil, polyvinyl chloride, countertops dan stetoskop (Neely dan Maley, 2000).

(23)

terjadi pula pada anak-anak atau pria yang mengaIarni infeksi luka oleh bakteri ini (Cunningham et ab., 1996; Jawetz et al., 1996 ).

Faktor Virulensi

Staphylococcus aurezts mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigen dan merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel. Dinding sel

bakteri terletak di sebelah luar membran sel, membentuk suatu kulit kaku berpori dan membungkus sel. Dinding ini memberikan perlindungan fisik bagi membran sel yang lunak dan bagi sitoplasma di dalarn sel, terdiri dari kerangka struktural berikatan kovalen yang rnengelilingi sel secara sempurna. Struktur ini tersusun atas rantai polisakarida panjang, paralel, dan saling berhubungan silang terhadap sesamanya pada selnng tertcntu, oleh suatu rantai polipeptida pendek. Rantai polisakarida tersebut terdiri dari unit N-asetil-D-glukosamir? dan asam N-asefil muramaf secara berganti- ganti. Pada S. aureus residu asam N-asetil muralnat pada rantai polisakarida yang berdekatan saling dihubungkan satu-sama lain oleh pentapeptida yang terdiri clari lima residu glisin. Keseluruhan struktur bersilang yang mengelilingi sel disebut murein

(dinding) atau suatu peptidoglikan (Lehninger, 1995).

(24)

aktifitas mirip endotoksin, menghasilkan fenomena Schwartzman lokal, dan mengaktifkan komplemen (Cunningham e t al., 1996; Jawetz et al., 1996 ).

,

Anllgen prolein dinding sel (b) Sirnpal (beberapa slraln) [image:24.526.40.463.21.585.2]

TDx:

1 0pepthdo~14kan (a) salaput (sell slloplasma

Gambar 1. Struktur Staphylococcus antigenik. (a) Tempat perlekatan baktcriofaga. Terdapat antigen spesies (penentu antigen berupa N-asetilglukosamin yang dikaitkan dengan poliribitol fosfat). (b) Antigen ganda; sebagian didistribusikan secara luas (Jawetz et al., 1996).

Asam teikoat, merupakan polimer gliserol atau ribitol fosfat, berikatan dengan peptidoglikan dan menjadi bersifat antigenik. Keduanya, asam teikoat d m peptidoglikan, dapat mengaktifkan jalur alternatif komplemen, menyebabkan agregasi

platelet pada pemunculan protein A, dan menstimulasi pelepasan IL-1 dari sel monosit manusia. Kesemuanya itu merupakan penyebab signifikan dari pembentukan

septic shock (Cunningham et al., 1996).

Selanjutnya Cunningham et al. (1996) menyatakan, lebih dari 90% S. aureus

(25)

PMN, kecuali jika ada antibodi spesifik. Selain itu kebanyakan strain 5. aureus mempunyai koagulase (Prasad et a / . , 1988 ; Lee, 1996) dan faktor penggumpal (clumping factor) pada permukaan dinding, yang terikat secara nonenzimatik dengan fibrinogen sehingga bakteri beragregasi (Kloos dan Jorgensen, 1985; Llmmler, 1988).

Koagulase merupakan protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang telah diheri oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat dalarn banyak serum. Faktor serum bereaksi dengan koagulase untuk rnenghasilkan esterase dan menyebabkan aktiitas pembekuan dengan cara yang mirip dengan pengaktifan protrombin nlenjadi trombin; dapat mengendapkan fibrin pada permukaan bakteri sehingga bakteri tidak dapat difagositosis dan dapat invasif (Cunningham et a [ . , 1996; Jawetz et a l . , 1996 ). Ada 2 macam koagulase yang dihasilkan S. aureus, yaitu koagulase yang terikat pada sel atau clumpingfactor dan koagulase ekstraseluler atau p e e koagulase (Johnson dan Wadstrom, 1993). Hampir semua S. uureus koagulase positif membentuk clumping factor yang bereaksi secara l a n g s ~ ~ n g dengan fibrinogen tanpa faktor plasma dan berperan dalam penggumpalan plasma (Bisming dan Amstberg, 1993).

Reaksi penggumpalan fibrinogen-staphylococcus antare lain dapat dilakukan secara sederhana di atas gelas obyek (uji aglutinasi), uji hemaglutinasi terhadap e~itrosit domba, uji mikrotiter dan pada SSA (Liimmler, 1988).

(26)

Tabel 1. Faktor virulensi potensial S. aureus (Lee, 1996)

Enzim katalase akan rnengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan O2 dan

enzim ini dapat meinbedakan Staphylococcus dari Srreprococcus. 90%) dari S. rrureus

memproduksi a-hemolisin, yaitu eksotoksin yang menyebabkan lisis pada eritrosit

berbagai spesies termasuk kuda dan kelinci, kecuali eritrosit manusia relatif resisten.

Selain itu bersifat hidrofilik dengan berat molekul (BM) 34 kDa, dapat terikat pada

membran sel dari berbagai tipe sel, termasuk eritrosit, platelets, monosit dan sel-sel

endotel (Cunningham et al., 1996). Diduga toksin ini identik dengan faktor letal dan

faktor dermonekrotik eksotoksin (Jawetz et al., 1996), juga disebut pore forming

hemolytic toxins yang menyebabkan kerusakkan membran sel mamalia dan berperan

dalam patogenesis septic arthritis (Nilsson et a[., 1999).

Komponen terikat pada sel

Eksoensim

Eksotoksin

EpidemoIitik toksin

Protein A

KapsuI polisakarida Peptidoglikan

Adhesin : jibronecrin-binding protein A and B,

fibrinogen-bindingprotein and collagen-binding protein Koagulase

Lipase Hyaluronidase Nuclease Staphylokinase Protease

Enterotoksin (A-E)

Leukocidin

Toxic-shock syndron~e toxin I

a toksin

p toksin

y toksin

[image:26.526.39.468.34.577.2]
(27)

Menurut Nilsson et al. (1999) lima toksin perusak membran yaitu 4 toksin hemolisin (a-hemolisin, P-hemolisin, gamma dan delta) dan leukosidin berperan pada osteomyelitis, endokarditis invasif, septic arthritis dan septisemia pada manusia.

Toksin P-hemolisin adalah suatu sphingomielinase (Wibawan, 1993), M ~ ~ + - dependent sphyngomyelinase (Nilsson et al., 1999) yang merusak sphingomielin dan bersifat racun terhadap berbagai jenis sel, termasuk sel darah manusia (Jawetz er al., 1996) dan sphingomielin pada lapisan luar fosfolipid membran eritrosit (NiIsson et al., 1999). Degradasi yang terjadi tidak menyebabkan sel lisis tetapi meninggalkan tempat

yang peka terhadap bahan yang bersifat litik (Nilsson et al., 1999).

Selain itu juga dihasilkan toksin gamma dan delta (Lee, 1996). Gamma toksin dihasilkan oleh 99% strain S. aureus. Toksin ini mengekspresikan 3 protein dan 2 komponen S (HigA dan HigC) dan 1 komponen F(HigB). Lokus Hig dapat mengekspresikan 2 pasangan protein yang fungsional (HigA+HigB dan HigC+HigB) yang mempuilyai efek proinflammatory bila disuntikkan pada cairan vitreus mata. Toksin ini berperan dalam patogenesis Toxic Schock Syndrome (TSS) bersama dengan TSST-I (Nilsson et al., 1999).

Leukosidin merupakan toksin yang dapat mematikan sel darah putih dari hewan-hewan yang terinfeksi S. aureus. Sedangkan toksin eksfoliatif (epidermolytic toxins) meliputi sekurang-kurangnya 2 protein yang mengakibatkan deskuamasi menyeluruh pada sindroma lepuh kulit Staphylococcus (Jawetz et al., 1996; Lee,

(28)

Toxic-shock syndrome toxin-1 (TSST-1) disebut juga superantigen, merupakan protein dengan BM 22 kDa, merangsang proliferasi sel T secara tidak spesifik melalui interaksi langsung dengan major histocompatibility complex tipe I1 (Tarkowski dan Wagner, 1998).

Enterotoksin S. aureus sekurang-kurangnya terdapat 7 protein yang dapat larut

(A, B, C I , C 2 , Cj, D, E) dengan BM antara 26-30 kDa dan dihasilkan oleh hampir 50%

strain S. aureus, tahan terhadap pendidihan selama 30 menit dan tahan terhadap kerja enzim-enzim usus. Toksin ini merupakan penyebab penting pada keracunan makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Cunningham et al., 1996; Jawetz et a!.,

1996).

Protein A Staplzylococcus nureus

Protein A diketahui merupakan komponen permukaan yang umurnnya ditemukan pada S. aureus (Sherris et a / . , 1984; Kusunoki et a l . , 1992). Protein A merupakan polipeptida dengan BM 13-45 kDA, yang terikat secara kovalen pada lapisan dinding sel S. aureus (Forsgren, 1970; Boyle dan Reis, 1987; Kusunoki et a [ . ,

1992; Takeuchi er al., 1995).

[image:28.528.42.474.13.590.2]
(29)

Tabel 2. Komposisi asam amino protein A murni dari strain S. aureus Cowan 1 dan strain metisilin resisten S. aureus (diringkas dari UhIen et a/., 1984)

Asam amino Cowan l a Cowan l b A676'

Lysine 5 2 53 48

Histidine 4 4 3

Arginine 5 4 4

Aspartic acid 82 83 82

Threonine 5 6 4

Serine 17 16 16

Glutamic acid 65 70 64

Proline 27 26 27

Glycine 3 0 30 22

Alanine 34 36 3 1

Valine 5 8 7

Methionine 2 3 3

lsoleucina 9 12 1 1

Leucine 27 28 27

Tyrocine 5 4 4

Phenylalanine 12 12 13

Total 381 395 366

a Diisolasi dari S. aureus Cowan 1 yang didigestasi dengan enzim lisostapin. b Diisolasi dari S, aureus Cowan 1 yang didigestasi dengan enzim lisostapin. c Protein A ekstraseluler yang dihasilkan oleh strain MRSA.

Terminal (ujung) COOH protein A terikat pada dinding sel S. aureus mengandung asam amino berulang dari ocfapeptide; yaitu asam glutamat (Glu), asarn aspartat (Asp), glisin (Gly), arsenin (Asn), lisin (Lys), prolin (Pro), glisin (Gly) dan lisin (Lys). Sedangkan ujung basa (NH2) terikat pada IgG. Pada bagian ini terdapat 4-5 daerah (region E, D, A, B dan C) homolog yang terdiri dari 58 asam amino, dalarn ha1 ini 11 asam amino yang terletak pada bagian a helical mempunyai kemarnpuan berikatan dengan fraksi Fc Ig (Uhlen et aZ., 1984).

[image:29.526.41.463.33.584.2]
(30)

konsentrasinya bervariasi tergantung pada strain dan teknik deteksi yang digunakan (Harlow dan Lane, 1988; Takeuchi et al., 1995; Cunningham el al., 1996).

Protein A populer dihasilkan oleh S. aureus galur Cowan I (Takeuchi et al., 1995) dan harnpir 98,9% genus Staphylococcus yang bersifat koagulase positif menghasilkannya (Forsgren, 1970), antara lain isolat S. aureus asal sapi dan kambing yang terkena mastitis (Jarp, 1990), isolat S. interrnedius asal anjing dan kucing (Cox et al., 1986), isolat S. hyicus subsp. hyicus asal babi muda, ayam dan sapi (Takeuchi er al., 1988; Takeuchi et a l . , 1995).

Prasad e t a l . (1988) melaporkan adanya korelasi yang sangat kuat antara produksi protein A dari S. aureus asal manusia dan hewan dengan karakteristik biokimiawi seperti koagulase, nuklease termostabil, DNase, produksi fosfatase, aktifitas hemolitik, tellurit dan reduksi nitrat. Forsgren (1970) menambahkan adanya korelasi protein A dari S. aureus dengan aktifitas deoksiribonuklease dan koagulase.

Secara biologis protein A berperan sebagai faktor virulensi bakteri, yaitu marnpu berikatan kuat pada bagian Fc dari harnpir semua subklas imunoglobulin G (IgG), kecuali IgG3 (manusia); 1gG1 (mencit); IgG,, IgGz,, IgGzb (tikus); dan tidak berikatan pada Fc Ig ayam dan kambing (Boyle et al., 1985; Harlow dan Lane, 1988; Takeuchi et aL, 1990). Protein A juga dapat berikatan dengan bagian Fc IgA dan IgM pada beberapa spesies (Arbuthnott et al., 1983). Bagian Fab pada IgG ysng terikat pada protein A menghadap keluar dan bebas berikatan dengan antigen spesifik (Praseno, 1995; Jawetz, et a l . , 1996).

(31)

1996). Dengan terharnbatnya proses fagositosis, memberikan kesempatan pada mikroba untuk berbiak dan menginvasi inang (Mims, 1982).

Reaksi protein A dengan fraksi Fc dari imunoglobulin dikenal dengan reaksi pseudoimun, sebab secara imunodifusi, reaksi antara protein A dan rantai H Fc imunoglobuli~l memperlihatkan endapan (Forsgren dart Sjoquist, 1966; Forsgren dan Sjbquist, 1967). Hal yang sama juga dijumpai pada antibodi (Ab) yang berasal dari kelinci dan marmot. Narnpaknya Fc merupakan bagian yang praktis konstan dari hewan ke hewan (Forsgren, 1968). Kemampuan pengikatan protein A terhadap Ig dari beberapa spesies dapat dilihat pada Tabel 3 .

Tabel 3. Kemampuan pengikatan protein A terhadap imunoglobulin dari beberapa spesies (disarikan dari Bjorck dan Kronvall, 1984)

Keterangan :

++ mengikat kuat + mengikat kurang kuat

- tidak rnengikat

*

diambil dari Kronvall et al. (1970)

dan Richman et al. (1 982) dalanz

Harlow dan Lane (1988). Imunoglobulin

Cjenis dan asal spesies) Manusia IgG1

IgG2 IgG3 IgG4 Mencit I g G l IgG2a IgGZb IgG3 Tikus IgG I

IgG2a lgG2b IgGZc Kelinci IgG Sapi IgG 1

IgG2 Domba IgGl IgG2 Kambing l g G l IgG2 Kuda IgG (Fab)

IgG (Fc) IgG (lisostapin)

Ayam *

Protein A asal S . aureus

[image:31.526.46.458.16.585.2]
(32)

Selain itu protein A dapat mengaktifkan komplemen serum, menyebabkan kemotaksis dan reaksi hipersensitifitas (Gustafo et al., 1968; Dosset et al., 1969; Sjoquist dan Stalenhein, 1969; Kronvall et al., 1970; Takeuchi et a l . , 1988 dan Takeuchi et ai., 1995), bersifat aglutinogenik terhadap serum yang berasal dari orang sehat maupun terinfeksi (Leinhart ei al., 1963 d m KronvalI ei al., 1970). Hal ini menunjukkan suatu peristiwa telah terjadi dengan komponen serum tanpa memperhatikan ada atau tidaknya antibodi spesifik terhadap protein ini. Ekspresi protein A pada S. aureus diatur oleh gen regulator asesoris ( a g r ) (Cunningham et al., 1996).

Protein A menyebabkan fenomena immediate hypersensitivity bila disuntikkan pada rnarmut, ini rnembuktikan terjadi pembentukkan kompleks Ag-Ab tanpa melibatkan bagian Fab Ig, dalarn ha1 ini kompleks imun yang terjadi akibat ikatan protein A bakteri dengan fraksi Fc Ig. Penyuntikkan suspensi bakteri S. aureus yang memiliki protein A dalam jumlah sedikit sebabkan fenomena anafilaksis, sedangkan penyuntikkan suspensi bakteri S. aureus yang memiliki protein A dalam ju~nlah banyak menyebabkan hemorrhagic Arthus-like reaction (Gustafo e t al., 1968; Dosset ei al., 1969). Menurut Martin dan White dalam Dosset el al. 1969 protein A dapat menyebabkan dilepaskannya histamin oleh Ieukosit PMN.

(33)

Protein A merupakan reagen penting dalam imunologi dan teknik diagnostik laboratorium. Menurut Wibawan dan Pasaribu (1993), uji koaglutinasi dengan menggunakan protein A merupakan metode yang sangat mudah untuk dilakukan, akurat (hasil menandirlgi imunodifusi), cepat (waktu uji hanya berlangsung 30 detik), serta murah.

Banyak kegunaan imunologis protein A, antara lain (1) untuk pemurnian imunoglobulin berdasarkan teknik afinitas kromatografi dan imunopresipitasi, (2) sebagai konyugat untuk Western Blotting (berdasarkan daya ikatnya yang luas pada beberapa molekul imunoglobulin dari berbagai spesies), (3) berperan sebagai koaglutinator reaksi serologis seperti penentuan grup streptokokus menurut Lancefeld.

Penggunaan Protein A dalam Diagnostik

Atas dasar aktifitas ikatan yang spesifik, protein A berperan penting dalam proses serologi, terutama pada identifikasi serologis dari bakteri penyebab penyakit dan pada diagnosa penyakit infeksi (Lammler, 1988). Wibawan dan Pasaribu (1993) melaporkan bahwa protein A berperan sebagai koaglutinator reaksi serologis seperti penentuan grup streptokokus menurut Lancefeld. Sebagai contoh pada protein A yang berikatan dengan molekul IgG yang diarahkan terhadap Ag bakteri tertentu akan mengaglutinasi bakteri yang mempunyai A g itu (koaglutinasi) (Jawetz el ol., 1996) Ikatan antara protein A dan reseptor F c suatu Ab dapat dilihat pada Gambar 2

(34)

tinggi, ikatan Ag-Ab dapat dipatahkan secara efektif pada pH rendah. Berdasarkan karakteristik tersebut protein A dapat dimanfaatkan untuk mempelajari Ab dan interaksi Ag-Ab (Harold dan Lane, 1988).

Protein A dapat digunakan pada berbagai aplikasi uji imunokimia. Jika diikatkan dengan radioaktif, enzim, fluoresens dapat menjadi reagen yang baik untuk melokalisir Ab yang mempunyai afinitas tinggi terhadap protein A. Interaksi protein A dan Ab sangat spesifik dan tergantung pH, sehingga dapat dibuat kolom protein A untuk purifikasi Ab. Bakteri yang mempunyai protein A tinggi pada permukaan selnya, dapat dimanfaatkan untuk mengoleksi kompleks Ag-Ab (Harold dan Lane,

[image:34.526.39.488.22.527.2]

1988).

(35)

Sementara itu, pemurnian imunoglobulin pada bebek berdasarkan teknik afinitas kromatografi telah dilaporkan oleh Higgins et al. (1995). DaIam ha1 ini IgY mengikat protein A secara efisien dan protein G secara lemah, sedangkan IgM mengikat protein A dan G secara lemah. Selanjutnya pemurnian imunoglobulin ini telah dilakukan pula pada hewan-hewan lainnya antara lain pernumian IgGj dan IgGz dari kambing (Rantarnaki dan Miiller, 1995); pemurnian IgG,, IgGb, IgG, dan IgG<Tl dari kuda (Sheoran dan Holmes, 1996); pemurnian IgGl dan IgGz dari serum dan kolostrum kerbau (Kakker dan Goel, 1993).

Praseno (1 995) mendapatkan cara alternatif pemeriksaan S. aureus dengan cara koaglutinasi kaolin dan memanfaatkan keberadaan protein A pada bakteri. Metode ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi, yaitu 98OA-100% dibandingkan uji koagulase dan uji Manitol Salt Agar ( M S A ) dan lebih ekonomis dibandingkan koaglutinasi lateks. Kaolin digunakan sebagai bahan aglutinasi, digabungkan dengan IgG manusia yang diisolasi dengan menggunakan protein A S. aureus. Ikatan prorein

A dengan IgG dilepas dengan menggunakan asam.

(36)

dari Aspergillus niger dengan protein A S. aureus sandwich ELISA dan virus staphylococcal coagglutination. Cara ini juga dipakai oleh Hughes dan Thomas (1988) dalam mendeteksi Tobacco mosaic virus. Sernentara itu Furui (1986) memodifikasi metode imunoelektronmikroskop dengan menggunakan serum yang mengandung protein A dalam serum Agar pada deteksi dan identifikasi virus polio dan rotavirus pada sapi. Terbukti modifikasi metode ini memiliki sensitifitas yang lebih tinggi.

Studi menggunakan imunoglobulin anti protein A menunjukkan kemarnpuan protein ini mengikat baik Fc maupun Fab dari antibodinya, sehingga imunisasi pasif terhadap protein A dipertanyakan efektifitasnya. Meskipun demikian banyak yang optimis terhadap vaksinasi menggunakan S. aureus (Cunningham et al., 1996), terutama penggunaan komponen luar permukaan sel (kapsul, peptidoglikan) dan metabolit ekstraseluler seperti enzim-enzim (Lee, 1996). Hal ini terbukti dari penggunaan outer surface protein A untuk penyakit Lyme yang disebabkan oleh Borrelia b u r g d o r - i aman dan imunogenik (Schoen el al., 1995).

Protein A sebagai konyugat telah banyak dikomersilkan dan digunakan seperti: konyugat protein A dan protein G berlabel emas, horseradish-peroksidase, alkalis fosfatase ( ~ i o r a d ? , biotin, ferritin, peroksidase, danJuoresceinisothiocyanate (FITC) (sigmam).

Xnteraksi S. nureus dengan cairan tubuh

(37)

sisi yang berinteraksi dengan jaringan induk semang dan efektor-efektor imun

(Cunningham r t al., 1996).

Kapsul S. artreus berpotensi pada proses pelekatan dengan permukaan sel

induk semang, modulasi interaksi dengan efektor-efektor imun termasuk Ab dan sel

fagosit dan merangsang pelepasan sitokin dari lifosit T, sel epitel, sel endotel dan sel

monosit. Efek pelepasan sitokin ini dihambat oleh serum (Cunningham el a / . , 1996).

Menurut Foster dan McDevitt (1994) dalm Cunningham (1996) komponen

perrnukaan bakteri yang berperan dalam proses infeksi dan berinteraksi dengan cairan

tubuh induk semang adalah protein A, ,fibro?zectirr (Fn) binding protein (FnBP),

fibrinogen binding protein, collagen binding proleiti, vitronectin, koagulase dan

clzmzping. factor .

Fibronectin ditemukan pada bahan buangan pada saat preparasi fibrinogen

(Momson e f aL. 1948 dalam Schmitt, 19901, sebagai plasma protein (Morrison dan

Umfleet, 1970 daiam Schmitt, 1990), karena struktur fibril dan kemampuan adhesinya

diberi nama fibronectin (Kesski dan Oja, 1976 &lam Schmitt, 1990).

Fzbronecfin binding protein ditemukan pada permukaan hampir semua

S. aureus. Fibronectin adalah protein yang cepat melapisi benda asing yang terdapat pada induk semang, terdapat pada matriks yang berhubungan dengan kerusakan sel

endotei dan ditemukan juga pada gumpalan darah, selain itu berperan dalam infeksi

tulang dan sendi (Cunningham et al., 1996).

Fibronectin merupakan glikoprotein yang dapat dijumpai dalam bentuk larutan

pada cairan tubuh atau pada matriks ekstraseluler. Fungsi utama Fn adalah sebagai

(38)

Adhesi ini diperantarai oleh reseptor yang dapat melekat pada tempat spesifik pada Fn. Tempat perlekatan utama Fn pada bakteri Gram positif adalah pada terminal NH2 domain dari Fn (Fattom dan Naso, 1996; Casolini et al., 1998) yang tersusun ole11 45 asam anlino (Fattom et a]., 1996) dan mempunyai BM 210 kDa (Schmitt, 1990).

Menurut Schrnitt (1990) Fn berfungsi sebagai adhesin, glikoprotein dari Fn mempunyai afinitas terhadap permukaan sel dan berperan sebagai substansi matriks seperti fibrin, heparin atau kollagen, dapat juga bertindak sebagai mediator ikatan S. aureus pada granulosit netrofil. Reseptor Fn pada permukaan sel bakteri memungkinkan mikroorganisme berikatan dengan Fn sel, ikatan ini dapat terganggu dengan pemberian tripsin. FnBP berperan dalarn patogenesa endokarditis dan mastitis pada sapi (Moreillon er al., 1995; Hienz et al., 1996).

Molekul glikoprotein Fn ditemukan pada daerah periseluler dari fibroblas dan sel adheren lainnya, seperti pada sel endotel, chondrocyte, mioblas, sel hati, sel Glia dan sel epitel (Schrnitt, 1990). Sel hati disanlping fibroblas merupakan penghasil Fn utama. Fn selain terikat pada sel ditemukan juga pada plasma, cairan serebrospinal, saliva dan eksudat radang (Procton, 1987 dalam Schmitt, 1990). Konsentrasinya dalam plasma kira-kira 300 pg/ml (Mosher, 1980 dan Hormann, 1982 dalam Schmitt,

1990).

(39)

Vitronectin merupakan glikoprotein yang bersifat sebagai adhesin, mempunyai afinitas terhadap gelas, menghambat sistim komplemen, berikatan dengan heparin dan mengaktifkan trombin melalui antitrombin 111. Lebih jauh lagi selain sebagai adhesin, vitronectin juga berperan dalam penyebaran, migrasi, proliferasi dan diferensiasi sel (Schmitt, 1990). Sarna dengan vitronectin, koagulase j uga dapat mengaktifkan protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dapat rnengubah fibrinogen menjadi fibrin yang akan melapisi bakteri sehingga terhindar dari proses fagositosis . karena sel-sel granulosit sulit menembus gumpalan fibrin (Schmitt, 1990).

Collagen binding protein berperan penting pada patogenesis osteomyelitis dan septic arthritis. Protein permukaan sel ini dapat menjadi media pelekatan S. aureus pada tulang rawan. Strain yang diisolasi dari penderita osteomyelitis atau septic arthritis mempunyai reseptor kolagen dan strain ini dapat memicu produksi IgG dengan level yang tinggi dan interleukin-6 (IL-6) (Cunningham et al., 1996). Sedangkan interaksi fibrinogen dengan reseptor memblokir fiksasi komplemen pada permukaan bakteri (Schrnitt, 1990).

Uji keberadaan protein A S. aureus.

(40)

Metode-metode di atas tidak dapat mendeteksi protein A pada permukaan S. aureus secara langsung, sehingga bakteri harus di digestasi dengan enzim lysostapin untuk mendapatkan ekstrak protein A.

Metode immunofluoresensi selain rumit, memerlukan reagen dan peralatan khusus seperti mikroskop elektron yang mahal. Pada uji ini diperlukan konyugat yang berlabel fluoresceinisothiocyanate/FITC dan buffer gliserol. Metode

immunofluoresensi sangat sensitif sehingga mudah terjadi reaksi silang dan dapat menimbulkan hasil positif palsu dan negatif palsu.

Metode indirect hernagglufination, slide hemagglutination test dan rnicroplate hemagglutination test rumit karena perlu preparasi eritrosit domba yang disensitisasi oleh protein A dan antiserum kelinci terhadap eritrosit domba yang dititrasi. Sedangkan rnicrop,plaie hemagglutinafion test menggunakan bovine serum albumin

yang mahal. Uji immunodifusi selain rumit dan mahal memerlukan waktu yang lama (2 hari). Sedangkan Takeuchi et al. (1 990) menguji keberadaan dan kuantitas protein

A isolat S. hyicus subsp. hyicus dengan metode immunoelektron mikroskop, pada uji ini digunakan konyugat goat antimouse ZgG yang berlabel partikel emas koloidal.

Teknik Soff Agar dan Serum Soff Agar (SA dan SSA)

Permukaan bakteri adalah sisi yang berinteraksi dengan jaringan induk semang dan efektor-efektor imun sehingga berperan kunci pada proses penyakit (Cunningham

(41)

Teknik So@ Agar (SA) digunakan untuk mernbedakan tipe antigen polisakarida Streptococcus grup B dan untuk membedakan komponen antigen protein c a dan

cp

Streptococcus grup B (Wibawan dan Liimmler, 1990). Selain itu sifat hidrofobisitas bakteri, dalarn ha1 ini bakteri dengan derajat hidrofobitas tinggi memiliki koloni berbentuk kompak pada SA, sedangkan bakteri dengan sifat hidrofil memiliki koloni difus pada SA (Wibawan dan Larnmler, 1992).

Teknik Serum Sofr Agar (SSA) dapat digunakan untuk menentukan serotipe Streptococcus grup B (SGB). Penentuan serotipe SGB didasarkan pula atas perubahan koloni dari difus menjadi kompak. Kehadiran antibodi homolog pada SSA menyebabkan perubahan bentuk koIoni difus menjadi kompak pada bakteri yang

mempunyai antigen homolog, tetapi perubahan ini tidak dijumpai pada SGB yang memiliki antigen heterolog (Wibawan dan Limmler, 1990). SSA adalah metode sederhana yang dapat dipakai untuk menunjukkan pengaruh Ab spesifik dalam mengharnbat pembentukkan kapsul SGB (Wibawan, 1998).

(42)

dinding sel bakteri. Anderson (1984) dan Rather et al. (1986) dalam Mathews et aI. ,

(1991) berpendapat bahwa koloni difus S. auveus pada SSA tidak mengindikasikan

adanya kapsul melainkan karena bakteri tersebut menghasilkan slime.

Sutra et al. (1990) menggunakan teknik SSA untuk mempelajari karakter pemukaan S. aureus yang diisolasi dari susu sapi yang terkena mastitis. Isolat bakteri bila ditanam pada media yang ditarnbah susu selanjutnya ditanam pada media SSA akan membentuk koloni d i h s . Isolat yang ditanam pada media susu menjadi lebih hidrofilik daripada isolat yang dikultur pada media konvensional. Selain itu isolat yang hidrofilik ini tahan terhadap fagosit sel Ieukosit PMN.

(43)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratoriurn Terpadu Faku!tas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Unit Pengujian Mutu Serum PT. Bio Farma (persero), Bandung selarna kurang lebih 2 tahun.

Bahan Penelitian Isolat Bakteri

Penelitian ini menggunakan 43 isolat lapang S. aureus yang diisolasi dari sapi terkena mastitis subklinis (1 1 isolat), dari manusia yang terinfeksi S. aureus ( 3 2

isolat: 4 isolat dari penderita infeksi saluran nafas atas yang diperiksa di Bagian mkrobiologi FKUI dan 28 isolat dari penderita infeksi nosokomial di Rumah Sakit Husada, Jakarta), 4 isolat Kronvall A,B,C,D dan S. aureus Cowan I (sebagai kontrol positif sekaligus pembanding). Sedangkan untuk kontrol negatif digunakan isolat S. epidermidis. Untuk Ag vaksin digunakan Streptococcus Grup C 5.60

(SGC 5.60).

Hewan Percobaan

Sebagai sumber darah untuk media, digunakan 2 (dua) ekor domba dan untuk pengujian serologis digunakan 3 ekor kelinci dan 2 ekor ayam.

Media Biakan

Bakteri ditumbuhkan pada agar darah (Blood agar base, ~ i f c o ~ , U S A ) ,

(44)

dibiakkan dalam media cair (Todd Hewitf BrothITHB, ~ i f c o ~ , USA) atau Brain Heart Infusion/BHI ( ~ i f c o ~ , USA).

Bahan Reidentifikasi

Nutrient agar, manitol, NaCl fisiologis, larutan H202, brom cresol purple,

akuades, alkohol70% dan 96%, pewarna Gram. Bahan-bahan lain

Bahan yang dipakai meliputi bahan-bahan untuk identifikasi bakteri, DEAE (dietilaminoetil) Sephacel, SDS PAGE (sodium dodesil sulfat poliakrilarnida gel elektroforesis), Soft Agar, Dot Blot, afinitas kromatografi, ekstraksi protein dan pengawetan. Larutan bufer PBS (Phosphate Buffer Saline), methanol, ethanol, a-

chloronaphtol, Hexadecane, bromsian (BrCN), NaOH 1 N, amonium sulfat, glisin, acrylamide, bisacryIamide, TRIS-HCl, SDS 20%, sodium dodecylsulphate, TEMED (Tetra metil etilendiarnin), comassie-blue (R250, Serva, Germany), phenol-red, kertas nitroselulose, bromtymol blue, forrnaldehyda.

Alat Penelitian

(45)

(sigmam, USA), kaki tiga dan kasa untuk memanaskan, autoklaf, kandang hewan percobaan, pipet otomatis 5-50 p1 dan 200-1000 pl saluran tunggal (Finnpipette, Labsystem, Finland) dan pipet otomatis 4 saluran (Titertek, Finland) beserta tip dan asesoris lainnya, tabung sentrihs (Corning, USA) dan adaptomya, mikrotiter plate (Nunc), spektrofotometer (Spectronic 20, USA).

Metode Penelitian

A. Reidentifikasi Bakteri

Bakteri ditumbuhkan pada perbenihan agar darah selama 18 jam pada 37OC, bentuk koloni dan pola hemolitik yang dihasilkan diamati secara makroskopik. Susunan dan bentuk scl diamati secara mikroskopik dengan pewarnaan Gram (Carter, 1 986). Selanjutnya penentuan spesies bakteri, dilakukan dengan cara : uji glukosa, manitol, katalase dan koagulase.

Uji glukosa dilihat dengan menumbuhkan bakteri pada perbenihan cair gula- gula gIukosa (mengandung indikator brom cresol purple), diinkubasi pada 37OC selama 18-24 jam. Hasil positif akan ditunjukkan dengan adanya kekeruhan dan perubahan warna media dari ungu menjadi kuning, pembentukan gas dapat dilihat pada tabung Durham.

(46)

Uji I~atalase dilakukan dengan menuangkan larutan Hz02 di atas bakteri yang tumbuh subur pada perbenihan agar miring. Pembentukan gelembung udara (pelepasan Oz) menunjukkan hasil uj i positif.

Koagulase dilakukan dengan cara tabung (tube coagulation test). Kultur bakteri ditumbuhkan dalam 0.1 ml kaldu BHI pada 37°C selama 18-24 jam. Kemudian ditarnbahkan 0.5 ml plasma kelinci dan dicampur, diinkubasi kembali pada 37°C dalam penangas air (water-bath) selama 4 jam. Terjadinya pembekuan menunjukkan hasil positif.

B. Penentuan kandidat

Penentuan kandidat dari sampel yang akan diteruskan adalah satu isolat S.

aureus asal manusia, satu isolat S. aureus asal hewan dan satu isolat S. aureus Cowan I sebagai pembanding dengan melalui Salt Agregation Test (uji agregasi dengan larutan amonium sulfat1SAT) dan Dot Blot.

Salt Agregation Tesf (SAT)

Uji ini bertujuan untuk mengamati keberadaan protein di permukaan sel bakteri. Sel bakteri dengan permukaan yang didominasi oleh protein akan mudah diendapkan dengan larutan amonium sulfat konsentrasi rendah (hidrofob), sebaliknya sel bakteri yang memiliki kapsul polisakarida sulit diagregasi dengan larutan amonium sulfat yang hidrofil (Wibawan dan Lammler, 1990). Prosedur uji ini adalah sebagai berikut. Bakteri dibiakkan pada 50 ml THB, lalu diinkubasi pada 37OC selama 18-24 jam. Suspensi bakteri disentrifus pada 3000 rpm selama

(47)

disuspensikan dalam PBS dan ditentukan secara fotometrik (A / 600, 0,9), ini setara dengan kandungan sel sebesar 101° per ml (WadstrBm e f al.. 1984). Sebanyak 25 pl suspensi bakteri dicampurkan di atas gelas obyek dengm 25 pl larutan amonium sulfat dengan konsentrasi masing-masing 0.2, 0.4, 0.8, 1.6 dan

3.2 M (Molar). Campuran dihomogenkan dengan cara menggoyang-goyang gelas obyek selama 2 menit, kemudian dilakukan pembacaan h a d . Ilasil positif ditandai dengan adanya agregasi se1 bakteri. Sedangkan reaksi negatif apabila suspensi tetap jernih (Lindahl et al., 1981). Sebagai kontrol positif, bakteri berasal dari S.

aureus Cowan I sekaligus sebagai pembanding dan untuk kontrol negatif, bakteri berasal dari S. epidermidis.

Dot Blot

(48)

hitam (reaksi positif). Konyugat yang dipakai adalah serum tikus yang mengandung anti antibodi kelinci dan diberi penanda peroksidase (Wibawan,

1993).

C. Purifikasi d a n Karakterisasi Protein A.

1. Aiinitas kromatografi. Untuk keperluan isolasi protein A perlu dibuat matriks afinitas kromatografi. Matriks aktif dibuat dengan mengaktifkan nitroselulose dengan bromsian (Br-CN) sebagai berikut : Potongan kertas nitroselulose (8x8 cm) dimasukkan dengan pinset ke dalam beaker glass berisi larutan bufer (PBS 10 ml) pada suhu 4°C. Ditambahkan bromsian (Br-CN) sebanyak kurang lebih 2-

3 gram, sehingga pHnya sekitar 11-15. Kestabilan pH dijaga selama 45-60 menit (dengan pemberian NaOH pekat) sambil digoyang-goyang. Kemudian cairan dibuang, kertas nitroselulose dicuci dengan akuades atau larutan PBS dengan ulangan 6-8 kali. Permukaan kertas nitroselulose (matriks) ditetesi larutan PBS (k 5 ml), selanjutnya ditambahkan serum kelinci sebanyak 2 ml dan diinkubasi pada suhu 25"-27°C selama 24 jam. Matriks aktif dicuci dengan akuades atau larutan PBS untuk menghilangkan imunoglobulin yang tidak terikat oleh bromsian.

(49)

selama 2-24 jam dan dinetralisasi dengan phenol red dan 0.1 N (Normal) NaOH (pH 7-7.5), dilanjutkan dengan sentrifus (1000 rpm) selama 5-10 menit, supernatan (ekstrak protein A) disimpan dalam tabung Eppendorf.

3. Presipitasi amonium sulfat. Supernatan yang dihasilkan pada C.2. diambil dan diendapkan dengan amonium sulfat, (NH4)2S04. 472 g r a d l i t e r selama 18-24 jam dengan stirrer. Endapan disuspensi dengan 5 ml larutan PBS dan didialisa selama

18 jam terhadap akuades pada suhu 4°C.

4. Isolasi Protein A dengan matriks nitroselulose aktif. Ekstrak yang mengandung protein A diinkubasikan dengan matriks nitroselulose aktif selama 45-60 menit, kemudian dibasuh dengan PBS untuk menghilangkan material yang melekat pada matriks. Ikatan spesifik antara protein A dan matriks dielusi dengan 2 mI 0,l M glisin-HC1 pada pH 2.5, kemudian dinetralisasi dengan larutan NaOH 0,l N hingga mencapai pH 7.5. Hal yang sama dilakukan pula terhadap presipitat protein yang dihasilkan dari pengendapan amonium sulfat. Karakterisasi protein A dilakukan dengan Dot Blot dan elektroforesis SDS-PAGE.

5. Eiektroforesis SDS-PAGE. Untuk mengetahui pola protein permukaan sel bakteri S. aureus dilakukan elektroforesis SDS-PAGE terhadap ekstrak protein A. Pembuatan gel pemisahlrunning gel (1 1%) terdiri dari : (1) 3,7 ml akrilamid yang terdiri dari 30% akrilamid dan O,8% bisakrilamid (Sigma, Deisenhafen, Germany), ( 2 ) 3,7 ml akuades, (3) 2,5 ml Tris-HC1 2 M pH 8.8, (4) 25 p1 larutan SDS 20%

(50)

dicetak. Setelah gel pemisah membeku, disiapkan gel penyumpul (stacking g e / )

yang terdiri dari : (1) 0,65 ml akrilamid dengan komposisi seperti untuk

pembuatan gel pemisah, (2) 3 ml akuades, (3) 1,25 ml Tris-HCI 0.625 M pH 6.8,

(4) 25 pl larutan SDS 20%, (5) 5 pl T E E D , (6) 25 pl larutan amonium persulfat

(100 mg/ml akuades), yang diberikan terakhir sebelum gel dicetak. Preparasi gel

pengumpul dicetak dengan bantuan 'sisir' (comb) untuk membuat sumur-sumur

tempat memasukkan sampel yang akan dipisahkan. Setelah gel membeku, sisir

diangkat. Preparasi sampel menggunakan bufer sampel yang terdiri dari 2,5 ml

SDS 20%, 1 ml gliserin, 1 ml Tris-HC1 0.625 M pH 6 . 8 , 2,s ml PMSF (fenil metil

sulfonil fluorida) 40 mM, 1,8 gram urea dan 50 p1 biru brom timol. Sebanyak 50

pl sampel dicampur dengan 25 p1 bufer sampel yang terdiri dari 80 mg Tris, 5 mI

gliserin, 500 mg SDS dan 1,25 ml merkaptoetanol Cjika perlu dipanaskan pada

suhu 80°C selama 5 menit untuk denaturasi contoh). Sebanyak 10 p1 sampel

dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang telah tersedia pada gel. Proses pemisahan

protein menggunakan bufer pemisah (running bufer) yang terdiri dari Tris-HCI

0,025 M, glisin 0,192 M dan SDS 0 , l % (pH 8.3). Pemisahan dilakukan pada

tegangan 200 V dan suhu kamar selama 60 menit atau jika zat warna sampel telah

hampir sampai (jangan sampai melewati) ujung bawah gel pemisah. Sebagai

penanda molekui (molecuiar marker) digunakan chymostrypsinogen A (25 m a ) ,

albumin ayam (45 m a ) , albumin serum sapi (68 kDa), aldolase (158 kDa),

katalase (240 kda) dan ferritin (450 m a ) . Setelah elektroforesis selesai, gel

(51)

yang dilarutkan dalam 5% metanol dan 73% asam cuka dalam 1 Iiter akuades. Pewarnaan dilakukan selama 2 jam (minimal), setelah itu, gel dipucatkan dengan larutan yang terdiri dari campuran metanol, asam cuka, dan akuades dengan perbandingan 5 : 4 : 1 sambil digoyang-goyang selama 3 jam.

D. Penentuan awal keberadaan Protein A

1. Pemurnian Ig kelinci. Pemurnian dilakukan dengan presipitasi O\IH4)2S04 dan Ion Exchange Chromatography D E A E Sephacel (Harlow dan Lane, 1988). Konsentrasi imunoglobulin diukur dengan Spektrofotometer

(A

280 nm).

Pemurnian serum dengan amonium sulfat

(52)

Penamballan amonium sulfat tersebut, mengakibatkan larutan dalam konsentrasi garam yang tinggi. Pada saat melewati jumlah maksimum residu protein, sebagian enzim juga dapat terendapkan. Untuk memindahkan garam dari larutan dilakukan dengan teknik dialisa menggunakan selektif membran permeabel dalam larutan PBS pH 8 selama 2 malam pada suhu 4°C.

Pemurnian dengan Ion Exchange Chromatograplty D E A E SephaceL

Pemurnian dengan ammonium sulfat biasanya dikombinasikan dengan menggunakan kromatografi. Ion-exchange chromatography merupakan alat yang dapat digunakan untuk memisahkan hampir semua bentuk molekul protein besar hingga nukleotida kecil dan asam amino. Alat ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian utarna yang mengatur pola penampungan fraksinasi. Bagian kedua adalah monitor absorban yang berfbngsi mendeteksi adanya protein yang dihubungkan pada bagian ketiga yaitu monitor grafik.

Sejumlah gel filtrasi, DEAE-cellulose/Sephadex G-25, yang diperlukan dimasukan ke dala

Gambar

Tabel 1. Tabel 2.
Gambar 1. Struktur StaphyIococcus antigenik
Gambar 1. Struktur Staphylococcus antigenik. (a) Tempat perlekatan baktcriofaga. Terdapat antigen spesies (penentu antigen berupa N-asetilglukosamin
Tabel 1. Faktor virulensi potensial S. aureus (Lee, 1996)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan hutan tropis dataran rendah yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi, dimana di dalamnya terdapat fauna seperti badak bercula

Khoirunisa, Nanda. PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATERI PERUBAHAN IKLIM PADA EKSTRAKURIKULER SEKOLAH SIAGA BENCANA DI SMP NEGERI 1 WEDI. Skripsi, Fakultas Keguruan dan

Kondisi Tempat Tinggal Lansia Di Pondok Ma’arif Muslimin..

yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang. bergelut dalam bidang bahtsul masail , informan pertama

Microstress level was estimated in iron-based alloys with precipitates of coherent intermetallides Ni3Ti (type 16Cr-15Ni-3Mo-Ti and 36Ni-3Ti steels) and coherent carbides

lf Efficacy sedang, dan tidak ada lkan bahwa rata-rata mahasiswa (71%) dan rata-rata mahasiswa ng (25,8%). Pengujian hipotesis dengan signifikansi 0,227. Oleh erbedaan yang

Peranan yang dimainkan oleh Arab Hadhrami di Johor pada awal abad ke 20M dikaitkan mempunyai sejarah yang tersendiri apabila mereka menyumbang dalam membina hubungan