• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gangguan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2005.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka. Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.

Ba‟dulu, Abdul Muis dan Herman. 2005. Morfosintaksis. Jakarta: RinekaCipta.

Chaer, Abdul. 1994. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Bhratara. Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: KajianTeoretik. Jakarta: RinekaCipta. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: RinekaCipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.

Gustianingsih. 2009. “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia

pada Penyandang Autism Spectrum Disorder.” (Disertasi). Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Gustianingsih. 2012. “Structure Information Declarative Speech Indonesian Autistic

Child: Semantic Study of Focus”. Procedings International Seminar on

Language, Literature, Culture, and Education in South East Asia II/. Bangkok. USU: Graduate School of Linguistic

Haron, Mohammed. 1997. “Kendala Komunikasi Manusia: Aspek Kecacatan

Artikulasi. ”Jurnal Dewan Bahasa, edisi April 1997. Kuala Lumpur:

University Malaya.

(2)

Ritonga, Parlaungan, dkk. 2008. Bahasa Indonesia Praktis. Medan: Bartong Jaya. Simanjuntak, Mangantar. 2009. Pengantar Neuropsikolinguistik. Medan:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sugono, Dendy. 1999. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara. SKRIPSI

Rajagukguk, Adrina M. 2012. “Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia

Broca.”(Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Rastika, Aswira. 1992.”Kemampuan Berbahasa Lisan Siswa-Siswi Tunarungu di

SLB Bagian B YPPLB.”(Skripsi). Medan: Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

Sinaga, Masda. 1986. “Suatu Tinjauan Fungsi dan Struktur Kalimat Minor Bahasa

(3)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Yayasan Tali Kasih, Jalan Sei Alas No. 18 Medan dan penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 25 Juli sampai dengan 25 Agustus 2013.

3.2 Sumber Data

Sumber data adalah subjek data itu diperoleh (KBBI, 2003:94). Data penelitian ini bersumber dari tuturan penyandang spektrum autisme. Dalam penelitian ini, peneliti menyadap pembicaraan penderita dengan guru pengajar /terapinya. Subjek penelitian terdiri atas tiga orang penyandang spektrum autisme, yakni dua orang laki-laki dan satu orang perempuan, yaitu:

1. Nama : Michael Ardian

Umur : sembilan (9) tahun Kategori autisme : autisme murni

2. Nama : Rizky

Umur : tujuh (7) tahun Kategori autisme : autisme murni

3. Nama : Nicolas

(4)

Kategori autisme : autisme murni

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, teknik adalah cara untuk melaksanakan metode. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak. Metode simak adalah pengambilan data yang dilakukan peneliti dengan cara menyimak penggunaan bahasa dari informan (Sudaryanto, 1993:133). Maksudnya di sini adalah peneliti menyimak kalimat dasar yang diucapkan oleh penderita spektrum autisme.

Data dikumpulkan melalui pengamatan dan observasi. Observasi merupakan tinjauan secara cermat. Penelitian observasi merupakan studi yang mendalam suatu unit selama kurun waktu tertentu.

(5)

reseptif karena peneliti juga berperan sebagai pendengar dan menyadap pembicaraan subjek ketika subjek penelitian berdialog dengan para terapis dan gurunya.

Adapun teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini ialah teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam digunakan untuk mendapatkan data yang akurat melalui kalimat yang diucapkan penyandang spektrum autisme. Teknik catat adalah pengambilan data yang dilakukan peneliti dengan cara mencatat pada kartu data (Sudaryanto 1999:135). Teknik catat dilakukan dengan mencatat hal-hal yang penting dari hasil penelitian saat menyimak percakapan.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah sebuah metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto 1993:13). Metode padan digunakan untuk menyeleksi bahasa lisan yang diucapkan penderita spektrum autisme. Teknik dasar yang digunakan untuk menganalisis data tersebut adalah teknik pilah unsur penentu yang memiliki suatu daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti (Sudaryanto, 1993:21).

(6)

dalam hal ini jawaban subjek menyimpang dari jawaban yang diinginkan peneliti. Hal ini dapat kita lihat pada contoh di bawah ini:

Peneliti : Adik mempunyai saudara? (1) Penyandang : Punya kuu..ciii..

P Pel

Peneliti : Siapa nama papa ? (2) Penyandang : Pak To..us..

P

Beberapa dari kalimat dasar yang diucapkan subjek penelitian tersebut tidak mempunyai maksud atau pengertian yang sama dengan yang diinginkan oleh peneliti. Pada data (1) Penyandang spektrum autisme menjawab pertanyaan dengan pu..nya ku..u.ci yang berpola (S Pel). Seharusnya Ia menjawab saya mempunya saudara (S P Pel). Pada data (1) ini telah terjadi penghilangan unsur saya pada awal kalimat yang berfungsi sebagai Subjek. Pada data ini dianggap terjadi ganguan berbahasa, yaitu adanya substitiussion/penggantian unsur bahasa yaitu mengganti kata saudara dengan kata kucing yang diucapkan secara terputus-putus dan omission/ penghilangan unsur bahasa yaitu subjek karena penderita tidak menjawab sesuai dengan jawaban orang normal.

(7)

ayah saya. Kemudian, seharusnya Ia menjawab dengan nama asli sang ayah, misalnya Amir. To..us yang berarti Sitorus bukanlah nama dari sang ayah melainkan salah satu marga yang ada pada suku batak. Pada data ini terjadi gangguan berbahasa, yaitu distortion/penggantian unsur bahasa. Subjek mengganti nama sang ayah dengan marga sang ayah tersebut.

Dari hasil percakapan tersebut dapat dilihat bahwa bahasa yang diucapkan penyandang spektrum autisme cenderung terputus-putus. Selain itu, bahasa yang dikeluarkan juga mengalami gangguan berbahasa secara umum, yaitu substitiussion (penggantian unsur bahasa), distortion (perubahan bentuk unsur bahasa), omission (penghilangan unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur kalimat dasar bahasa Indonesia).

(8)

artikulasi yang ditunjukkan oleh subjek penelitian yaitu berbicara dengan terputus-putus dan kalimat yang diucapkan tidak tuntas. Gangguan berbahasa pada Medan Wernicke ditunjukkan dengan perbedaan pemahaman antara keinginan peneliti dengan jawaban yang diberikan oleh subjek penelitian.

(9)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Gangguan Penggunaan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme

Para ahli mengatakan bahwa penyandang Spektrum Autisme mengalami gangguan berbahasa yang spesifik. Mereka tidak berhasil menguasai bahasa. Mereka hanya mampu menguasai bahasa orang lain dan mengulang-ulangnya. Hal semacam ini disebut dengan ekolalia. Ekolalia ialah penyakit bertutur dimana penderita cenderung mengulang-ulang kata-kata atau frase-frase yang sering didengarnya atau baru saja didengarnya (Simanjuntak, 2009: 257).

Sejalan dengan hal yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, peneliti juga menjumpai hal yang sama pada penelitian yang telah dilakukan. Para penyandang Spektrum Autisme cenderung menggunakan kata-kata yang diajarkan oleh guru terapi. Mereka tidak mampu menjawab dengan kata-kata baru yang baru saja didengarnya.

(10)

gurunya. Hal ini terjadi karena adanya gangguan pada Medan Broca dan Medan Wernicke pada penyandang Spektrum Autisme. Pada subjek penelitian yang telah diteliti, ditemukan bahwa kerusakan yang terjadi lebih parah pada Medan Wernicke dibandingkan dengan Medan Broca. Medan Wernicke berperan penting untuk memahami kalimat-kalimat yang didengar dari telinga kanan. Medan Broca berperan penting dalam pengucapan atau artikulasi pengujaran. Kerusakan pada Medan Wernicke menyebabkan kurangnya pemahaman anak akan kalimat-kalimat yang didengarnya, sedangkan kerusakan pada Medan Broca menyebabkan terganggunya produksi ujaran berupa kalimat pada penyandang Spektrum Autisme.

Data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti di lapangan menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi pada subjek penelitian lebih cenderung terhadap pemahaman makna. Ada beberapa data yang dimiliki oleh peneliti yang menunjukkan bahwa subjek penelitian tidak mampu memahami pernyataan yang diajukan peneliti. Subjek penelitian tidak konsisten dengan jawaban yang dimilikinya. Pada jenis pertanyaan yang berupa pilihan, subjek penelitian selalu menjawab dengan pilihan yang terakhir. Untuk lebih jelasnya, berikut ini data yang diperoleh peneliti.

Peneliti : Apa cita-cita adik? Guru, Dokter, Pilot, atau polisi? (3) Rizky (RZ) : Poli..ci (Polisi)

Peneliti : Ayo, kakak Tanya lagi cita-citanya apa? Polisi, Guru, atau dokter?

(4) Rizky (RZ) : Dokte.. (Dokter)

(11)

Rizky (RZ) : (menggeleng ke kanan dan kiri sambil bergumam tanpa memperdulikan peneliti)

Ibu guru : Ayo Rizky, siapa yang paling baik ibu gurunya? Ibu cici, ibu endang, ibu eni?

(5) Rizky (RZ) : Ibu eni..

Peneliti : Ibu eni, ibu cici, atau ibu Endang? (6) Rizky (RZ) : Ibu nda.. (Ibu Endang)

Tidak hanya pada RZ, subjek penelitian lain juga melakukan hal yang sama. Peneliti : Kamu suka binatang apa? Gajah, Kucing, atau Anjing? (7) Nicolas (NC) : Anjing

Peneliti : suka yang mana? kucing, anjing, atau gajah? (8) Nicolas (NC) : Gajah

Bila dibandingkan dengan anak normal, reaksi tersebut sangat jauh berbeda. Rizky dan Nicolas adalah anak yang berusia 9 dan 11 tahun. Apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada anak yang berusia serupa, mereka mampu konsisten dengan hal-hal yang sudah menjadi kegemarannya. seperti pada data (7) yang muncul adalah kata terakhir yaitu anjing dan ditanya kembali dijawab dengan gajah data (8).

(12)

penyandang spektrum autisme. Dapat dikatakan bahwa spektrum autisme ini dapat diobati dengan cara sering mengajak mereka berkomunikasi dan mencoba memahami setiap kalimat yang mereka sebutkan, bukan sebaliknya.

Gangguan berbahasa disebabkan oleh adanya gangguan yang terdapat pada otak manusia. Tanpa memperhatikan bagian-bagian lain, secara garis besar otak manusia terbagi atas dua bagian atau daerah. Kedua daerah tersebut masing-masing diberi nama Medan Wernicke dan Medan Broca sesuai dengan nama penemunya.

Haron (1997) mengelompokkan gangguan berbahasa (kecacatan berbahasa) yang dihasilkan oleh para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni substitiussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa). Berikut ini deskripsi gangguan berbahasa pada penyandang Spektrum Autisme.

4.1.1 Substitussion (Pertukaran Unsur Bahasa) Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme

Berikut percakapan peneliti dengan penyandang Spektrum Autisme di lapangan. Percakapan ini dilakukan di ruang terapi anak penyandang Spektrum Autisme Yayasan Tali Kasih Medan.

Michael Ardian (MA)

(13)

(9) MA : Kakak P

(Dibantu oleh ibu guru karena anak tidak menjawab dengan benar) Ibu Guru : Nama Kamu siapa?

MA : Mika Dian (Michael Ardian) P

Peneliti : Siapa nama adik Kamu?

(10) MA : Adik… adik… Pesisi (Ibu Cici -> Guru Terapi si Anak) S Pel

Peneliti : Tadi, makan siangnya pakai lauk apa?

(11) MA : Tas

O

(Ibu gurunya menjelaskan bahwa makanan si anak ada di dalam tas) Peneliti : Adik suka makan jeruk?

(12) MA : Mangga

Pel

(14)

Saat itu, sebelum dilangsungkan tanya jawab ibu guru terapi Subjek penelitian memperkenalkan peneliti kepada (MA) dengan kalimat Ini Kakak. Setelah dibantu oleh ibu guru, (MA) dapat menjawab pertanyaan peneliti dengan benar. Disini dapat dikatakan adanya pertukaran bahasa yang dilakukan oleh (MA) yaitu menukar kata Michael Ardian dengan kata Kakak.

Pada data (10) Subjek penelitian yaitu (MA) juga tidak menjawab sesuai dengan jawaban yang diinginkan oleh peneliti. (MA) menjawab pertanyaan peneliti dengan mengucapkan kata adik…adik… yang diucapkan secara terputus-putus kemudian diakhiri dengan Pesisi, yang artinya Ibu Cici (guru terapi (MA) di Yayasan Tali Kasih). Seharusnya (MA) menjawab pertanyaan peneliti dengan nama dari adik (MA) tersebut, tetapi (MA) menukar nama si adik dengan nama guru terapinya, dapat dikatakan bahwa telah terjadi pertukaran bahasa pada data ini.

Setelah (MA) menjawab pertanyaan peneliti dengan kalimat adik…adik… pesisi, peneliti menanyakan ke guru terapi apakah (MA) memiliki adik. Ibu guru tersebut mengatakan bahwa anak tersebut memiliki adik dan kakak. Itu berarti, (MA) sering bertemu dengan adiknya dan seharusnya mampu mengucapkan nama adiknya dengan benar.

(15)

unsur bahasa, yaitu menukar nama salah satu jenis makanan dengan kata tas. Itu artinya anak penyandang spektrum autisme ini juga tidak sama bahasanya dengan anak normal. Apa yang ada pada pikiran anak normal tidak dimiliki anak penyandang spektrum autisme, begitu juga sebaliknya apa yang ada dalam pikiran anak penyandang spektrum autisme, tidak ada dalam pikiran anak normal. Jika kita logikakan anak makan tas sangat riskan manusia makan tas, padahal makanan si anak yang ada di dalam tas. Dalam kasus ini anak juga tidak memahami dan tidak mampu membedakan antara makanan dengan makan.

Lalu pada data (12), jawaban (MA) menyimpang dari jawaban yang diinginkan peneliti. Jawaban dari pertanyaan adik suka makan jeruk? harusnya dijawab dengan persetujuan atau pengingkaran. Misalnya, suka atau ya, saya suka bila (MA) setuju dengan apa yang ditanyakan peneliti dan dapat pula berupa pengingkaran apabila (MA) tidak menyukainya. Yaitu tidak, atau saya tidak suka. Tetapi pada data tersebut, (MA) menukar unsur suka atau tidak suka dengan unsur mangga.

Peneliti juga menemukan kasus yang sama dengan kasus di atas pada sumber data yang kedua. Berikut ini hasil percakapan yang telah dilakukan peneliti di lapangan.

Nicolas (NC)

(16)

(13) NC : Lagi terapi (Ibu guru sedang duduk mengawasi si anak) P

Peneliti : Apa pekerjaan Ibu?

(14) NC : Ke kembit (Ke Cambridge) K

Peneliti : Setiap pagi adik pergi kemana? (15) NC : Pergi ke kem

P K

Peneliti : di mana kamu membeli baju itu? (menunjuk kepada baju yang sedang digunakan si anak)

(16) NC : Beli mi pangsit ke kembit P O K

(17)

dengan jawaban tersebut, ibu guru menjawab „mungkin karena sedang berada di ruangan terapi tempat (NC) dan ibu guru biasanya melakukan terapi‟.

Data (14) juga menunjukkan kasus yang sama dengan data sebelumnya. (NC) menjawab pertanyaan peneliti dengan ke kembit yang berarti Cambridge, yaitu salah satu pusat perbelanjaan yang ada di kota Medan. Disini, (NC) telah menukar unsur bahasa yang seharusnya salah satu dari profesi pekerjaan seorang ibu, misalnya Guru, dosen, dokter, wiraswasta, ibu rumah tangga menjadi ke kembit. penulis melakukan perbincangan kepada guru terapi Nicolas mengenai pekerjaan ibu Nicolas. Ibu guru tersebut mengatakan bahwa ibu Nicolas adalah seorang ibu rumah tangga. Jawaban yang diutarakan (NC) jauh berbeda dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Ke Cambridge bukan merupakan sebuah pekerjaan atau profesi yang dijalani oleh ibu Nicolas.

(18)

memahami apa yang dilakukan mereka pada pagi hari, tetapi hal demikian tidak terjadi pada (NC).

Pada data (16), terlihat juga kasus yang sama. Ketika peneliti bertanya dimana kamu membeli baju itu, (NC) menjawab pertanyaan peneliti dengan kalimat beli mi pangsit ke kembit. (NC) menukar kata baju dengan kata pangsit. Informasi yang didapat peneliti dari guru terapi yang mengawas (NC) ialah bahwa (NC) sering diajak oleh ibunya ke salah satu pusat perbelanjaan di kota Medan, yaitu Cambridge. Subjek penelitian pada data ini ialah seoarang anak yang bertubuh gemuk dan sangat suka makan. Si ibu, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga selalu membelikan mie pangsit setiap kali mereka pergi ke Cambridge. Karena kebiasaan inilah, si anak senantiasa mengingat Cambridge jika dihubungkan dengan kegiatan bepergian dan berbelanja.

Percakapan yang dilakukan oleh peneliti dengan subjek penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa Penyandang Spektrum Autisme ini juga mengalami gangguan bahasa substitussion, yaitu pertukaran unsur bahasa. Berikut data yang diperoleh peneliti yang menunjukkan bahwa adanya pertukaran unsur bahasa yang terjadi.

Rizky (RZ)

Peneliti : Siapa nama adik?

(17) RZ : Ayu

P

(19)

keras)

RZ : Ihiii… (Rizky) P

Peneliti : Berapa umur kamu?

(18) RZ : Ihi tuju tahu.. (Sembilan tahun) S P

Peneliti : Dimana adik membeli pensil itu?

(menunjuk kepada pensil yang dipegang oleh si anak) (19) RZ : Pegii makalah (beli di sekolah)

P K

Peneliti : Apakah ibu guru disini baik?

(20) RZ : enak

P

(20)

mengulang kembali pertanyaan yang diajukan peneliti, barulah si anak menjawabnya dengan namanya sendiri yang diucapkan dengan artikulasi yang kurang jelas, yaitu Ihi... Jawaban ini juga diutarakan dengan mengikuti atau mencontoh kata-kata yang diucapkan oleh ibu guru.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pertukaran bahasa pada data (17), yaitu pertukaran unsur Rizky dengan kata Ayu.

Kemudian pada data (18), anak penyandang spektrum autisme menjawab pertanyaan peneliti dengan Ihi.. tuju.. tahu.‟ yang diucapkan dengan cara

terputus-putus. Rizky adalah seorang anak yang berjenis kelamin laki-laki berusia Sembilan tahun. Pada dasarnya, anak normal sudah mampu menghitung usianya atau mengingat usianya jika sudah berada pada usia sembilan tahun atau sederajat dengan kelas 3 atau 4 SD. Tetapi data ini menunjukkan bahwa Rizky tidak mampu menjawab pertanyaan dengan tepat. Terjadi pertukaran unsur bahasa dari yang seharusnya sembilan tahun menjadi tujuh tahun.

Tidak jauh berbeda dari data sebelumnya, data (19) dan (20) juga menunjukkan adanya pertukaran unsur bahasa, pada data (19) yang terjadi yaitu pertukaran unsur kalimat saya membelinya di sekolah dengan kalimat pegii

makala…. Pertanyaan peneliti membutuhkan jawaban berupa letak atau lokasi sebuah

(21)

pertanyaan peneliti dengan pegii makala... yang berarti pergi ke sekolah. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pemahaman yang terjadi pada subjek penelitian.

Pada data (20) terjadi pertukaran unsur kalimat senang atau tidak senang dengan unsur kalimat enak. Kata senang atau tidak senang biasanya ditujukan untuk menunjukkan sebuah ungkapan perasaan terhadap suatu keadaan atau peristiwa, sedangkan kata enak ditujukan untuk mengungkapkan rasa dari sebuah masakan ataupun makanan.

Dari data-data yang telah dikumpulkan di atas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi gangguan pemahaman pada subjek penelitian. Subjek penelitian sering sekali memberikan jawaban-jawaban yang tidak sesuai dengan yang diinginkan penulis, atau yang diutarakan anak normal pada umumnya. Sejalan dengan teori neurolinguistik yang digunakan dalam penelitian ini, gangguan pemahaman pada seseorang disebabkan adanya gangguan pada Medan Wernicke .

4.1.2 Distortion (Salah Urut Unsur Bahasa) Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme

Selain gangguan pertukaran unsur kalimat dasar bahasa Indonesia, terjadi pula gangguan salah urut unsur kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang Spektrum Autisme. Berikut ini data-data penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di lapangan. Penelitian ini dilakukan di ruang terapi sumber data.

Michael Ardian (MA)

(22)

(21) MA : Umah… main..nokia (dirumah bermain nokia) K P Pel

Peneliti : Dian sayang Ibu Cici? (22) MA : Sayang tidak

P

Peneliti : Siapa nama mama kamu? (23) MA : Mama nama Ibu Sicapa

S P

Berdasarkan data 21, dapat disimpulkan bahwa gangguan berbahasa lainnya yang terjadi pada Subjek Penelitian adalah salah urut. (MA) menjawab pertanyaan penulis dengan kalimat umah.. main nokia yang berarti di rumah bermain game yang ada diaplikasi nokia. Kalimat ini berpola K P Pel. Pola seperti ini tidak terdapat dalam kedelapan pola kalimat dasar bahasa Indonesia yang disebutkan oleh Sugono. Seharusnya (MA) menjawab pertanyaan penulis dengan jawaban saya bermain nokia di rumah dengan pola S P Pel K. pola kalimat dasar dalam bahasa Indonesia selalu diawali dengan Subjek. Apabila Subjek tidak lagi terletak di awal, kalimat tersebut bukan lagi disebut kalimat dasar. Salah satu syarat kalimat dasar ialah belum mengalami pertukaran.

(23)

Jawaban dari pertanyaan yang diajukan peneliti pada data (23) tidak sesuai dengan jawaban yang diucapkan anak normal. Pada data tersebut, subjek penelitian menjawab dengan mama nama ibu sicapa. Seharusnya subjek penelitian menjawab pertanyaan peneliti dengan nama mama Ibu Sijabat. Hukum frasa yang digunakan dalam bahasa Indonesia ialah hukum DM, yaitu diterangkan menerangkan dimana D berperan sebagai inti, dan M berperan sebagai atribut. Nama mama terdiri dari unsur DM dimana kata mama menerangkan atau menjelaskan kata nama. Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi gangguan salah urut unsur bahasa yaitu unsur nama mama menjadi mama nama terhadap kalimat yang diucapkan subjek penelitian.

Berikut ini data lain yang ditemukan peneliti pada subjek penelitian yang kedua yang menandakan adanya salah urut unsur bahasa

Rizky (RZ)

Peneliti : Siapa yang menjemput adik? (24) RZ : Joput om Ihi.. (Jemput om Rizky)

P O S

Peneliti : Adik sekolah dimana?

(25) RZ : Tali kai.. setola. (Tali kasih sekolah) K S

Peneliti : Adik suka main apa?

(26) RZ : Ihii sawat main. (Rizky pesawat bermain) S Pel P

(24)

Peneliti : Apa yang sedang kamu kerjakan? (27) NC : Nico PR tulis-tulis

S O P

(NC sedang mengerjakan tugas yang diberikan guru terapi yaitu menyusun kata)

Joput om ihi memiliki pola P Pel S. Tidak terdapat pola tersebut dalam kedelapan pola kalimat dasar bahasa Indonesia yang disebutkan oleh Sugono. Subjek penelitian menukar urutan unsur bahasa pada kalimat tersebut. Agar kalimat tersebut menjadi tepat, urutan unsur kalimat harus diganti dengan Rizky dijemput Om. Om adalah panggilan kekerabatan yang ditujukan kepada adik atau kakak laki-laki dari orangtua kita. Data (24) ini menunjukkan adanya salah urut unsur bahasa yang disebutkan oleh (RZ). Seharusnya (RZ) menjawab dengan menyebutkan subjek di awal kalimat, yaitu kata Ihi... karena pola kalimat dasar dalam bahasa Indonesia selalu diawali dengan subjek .

(25)

Ihiii sawat main sebagai jawaban yang disebutkan subjek penelitian pada data (26) terhadap pertanyaan adik suka bermain apa? oleh peneliti menunjukkan adanya salah urut unsur kebahasaan pada subjek penelitian. Ihiii sawat main memiliki pola S Pel P. Sesuai dengan pola dari teori sintaksis mengenai kalimat dasar yang disebutkan oleh Sugono tidak terdapat pola S Pel P. Urutan yang benar dari pola kalimat tersebut seharusnya Rizky bermain pesawat. Jika pola S Pel P tersebut diutarakan kepada orang lain, kemungkinan besar orang-orang yang belum mengenal dengan baik subjek penelitian pasti tidak mengerti akan kalimat yang diucapkan oleh subjek penelitian. Untuk itu, pada data ini telah terjadi salah urut unsur bahasa. Subjek penelitian menukar letak jabatan pelengkap dan predikat pada pola kalimat data (26) di atas.

(26)

ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa subjek penelitian tidak memahami pengertian tugas dengan PR. Subjek penelitian beranggapan bahwa semua tugas merupakan PR.

Hal yang dilakukan (NC) pada data (27) juga hamper sama seperti apa yang dilakukan (RA) (seorang anak penyandang spektrum autisme yang berumur 7 tahun) dalam penelitian Gustianingsih (2012:272). Jawaban (RA) oya.. poto.. i..bo.. ‘ular pukul ibu’. Secara logika ular adalah seekor binatany yang tidak mungkin melakukan pukulan pada manusia. Seharusnya yang terjadi adalah manusia memukul ular sebagai jawaban dari pertanyaan gambar apakah ini? (menunjuk kepada sebuah gambar yangh berisi gambar orang, pukulan yang terbuat dari kayu, dan gambar ular). (RA) mengalami gangguan pada dua medan bahasa yaitu Medan Wernicke dan Medan Broca. Hal tersebut dapat dilihat pada jawaban yang diberikan (RA) serta artiklulasi produksi ujaran bahasa yang diucapkannya secara terputus-putus.

Dari data-data yang telah dikumpulkan di atas, dapat dikatakan bahwa selain pertukaran unsur bahasa, terdapat pula salah urut unsur bahasa pada penyandang spektrum autisme.

4.1.3 Ommission (Pelesapan atau Penghilangan Unsur Bahasa) Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme

(27)

mengalami perubahan. Perubahan itu dapat berupa penambahan unsur Subjek, Predikat, Objek, ataupun Pelengkap. Perubahan itu dapat juga berupa penukaran unsur (S-P ->P-S); atau berupa perubahan bentuk dari aktif ke pasif. Di samping itu, perubahan yang dimaksud itu termasuk peniadaan unsur tertentu, seperti kalimat yang terdiri atas subjek saja, predikat saja, atau objek saja, bahkan keterangan saja. Dari keterangan di atas, dapat dilihat adanya pelesapan unsur bahasa yang terdapat pada data di bawah ini yang dihasilkan oleh anak Penyandang Spektrum Autisme.

Michael Ardian (MA)

Peneliti : Mangga rasanya apa?

(28) MA : Mangga..enis (mangga manis) S P

Nicholas (NC)

Peneliti : Apa pekerjaan ayah kamu?

(29) NC : Ke..ja sakit (Bekerja di Rumah Sakit) P K

Sugono membagi pola kalimat dasar bahasa Indonesia ke dalam empat tipe, yaitu

1. S P O K : Diana mengirimkan makalah kepada panitia. 2. S P O Pel : Ratna meminjami saya sepeda.

(28)

4. S P Pel : Negara kita berdasarkan pancasila. 5. S P K : Dia berasal dari Malang.

6. S P (Verba) : Bumi berputar. 7. S P (Nomina) : Kami seniman. 8. S P (Adjektiva) : Bumi ini bulat.

Struktur kalimat pada data (28) menunjukkan bahwa adanya pelesapan salah satu unsur bahasa pada kalimat yang diucapkan (MA). (MA) Menjawab pertanyaan peneliti dengan jawaban mangga enis yang berarti mangga manis. Terjadi pelesapan unsur bahasa yaitu kata rasanya. Harusnya (MA) menjawab pertanyaan peneliti dengan jawaban mangga rasanya manis. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada data ini telah dianggap terjadinya gangguan berbahasa, yaitu pelesapan unsur kata rasanya.

(29)

dengan salah satu profesi pekerjaan, misalnya, dokter, guru, perawat bidan, dan lain sebagainya.

Terdapat pula data lain yang menunjukkan kesamaan dengan data di atas. Contoh dari data tersebut adalah sebagai berikut

Michael Ardian (MA)

Peneliti : Siapa yang menjemput kamu?

(30) MA : Dian.. dian.. tante ia (Dian dijemput tante Nina) S O

Nicholas (NC)

Peneliti : Setiap pagi Adik pergi kemana? (31) NC : Pe..gi ke kem (Pergi ke Cambridge)

P K

Peneliti : Tadi makan siangnya pake apa Nico? (32) NC : Makan sayu.. bayam (makan sayur bayam)

P O

(30)

dengan Subjek. Sementara pada data di atas, dapat dilihat bahwa kalimat-kalimat yang diutarakan dimulai dengan Predikat.

Pada data (30) (MA) menjawab pertanyaan yang diajukan penulis dengan

dian… dian.. tante ia yang berpola S O. Sesuai dengan pola kalimat dasar yang

dikemukakan oleh Sugono, kalimat tersebut harusnya berbentuk Dian dijemput oleh tante Nina. Tidak ada pola S O dalam delapan pola sintaksis. (MA) juga tidak dapat menyebutkan nama tantenya (panggilan kekerabatan yang ditujukan untuk adik peremppuan dari ayah dan ibu kita)dengan baik.

Selanjutnya pada data (31) (NC) menjawab pertanyaan peneliti dengan pergi ke kem yang berpola P K. dianggap terjadi pelesapan unsur kalimat yaitu unsur S. Jawaban dari pertanyaan tersebut harusnya Saya pergi ke kem yang berpola S P K.

Struktur kalimat pada data (32) mengalami pelesapan salah satu unsur kalimat yaitu unsur subjek. (NC) melesapkan kata saya yang berperan sebagai Subjek pada jawaban yang diberikannya atas pertanyaan yang diajukan peneliti. Kemudian, bayam bukan merupakan lauk yang disantap oleh (NC) pada siang hari tersebut. (NC) selalu mengucapkan kata bayam untuk menu makan siangnya meskipun saat itu (NC) tidak memakan sayur bayam. Hal ini terjadi karena pengenalan si anak akan hal-hal yang sering dilihat dan ditemuinya sehingga sulit untuk memberikan perubahan yang signifikan seperti yang dapat dilakukan terhadap anak normal.

Nicolas (NC)

Peneliti : Kapan kamu lahir?

(31)

P

Peneliti : Dimana rumah kamu?

(34) NC : Jalan Butu.. (Jalan Sei Berutu) P

Mikael Ardian (MA)

Peneliti : Bapak itu sedang apa? (menunjuk guru terapi yang sedang mempersiapkan latihan fisik untuk kekuatan otot bagi subjek penelitian)

(35) MA : Bapak eman bola (bapak Herman mengangkat bola) S O

Peneliti : Siapa yang beli baju kamu? (36) MA : Baju.. Mama

S O Rizky (RZ)

Peneliti : Siapa yang menulis buku ini?

(37) RZ : tulis.. tulis… baba (yang menulis buku Rizky) P Pel

(32)

Kapan kamu lahir? dengan jawaban Tanggal oktobe.. dua ibu satu oktober merupakan bulan dan bukan tanggal. Pada kalimat tersebut, subjek penelitian menghilangkan unsur tanggal pada kalimatnya yang berperan penting menunjukkan waktu yang tepat kelahiran subjek penelitian tersebut. Seharusnya (NC) menyebutkan salah satu tanggal yang ada di bulan oktober, misalnya satu, dua, tiga, dan seterusnya. Kemudian (NC) juga tidak dapat menyebutkan tahun kelahirannya dengan benar. Perlu diketahui bahwa (NC) pada dasarnya sudah dapat mengucapkan artikulasi dengan benar. Tetapi (NC) tidak menjawab pertanyaan peneliti dengan artikulasi dan jawaban yang benar.

Data (34) juga hampir sama dengan data (33) di atas. (NC) menghilangkan salah satu unsur kata yang terdapat pada nama alamat rumahnya. (NC) juga tidak dapat mengucapkan alamatnya dengan benar. Bila dihadapkan pada realitas, kesalahan penyebutan nama dan penghilangan salah satu unsur kata pada alamat akan menyebabkan kesalahan pada tujuan. Untuk itu, alamat harus dapat disebutkan dengan lengkap dan benar. Tetapi pada data ini, (NC) tidak dapat menjawab dengan benar. Anak normal yang sudah berusia sebelas tahun tentu dapat menyebutkan nama alamat jalan yang sering dilewati atau sudah diketahui dengan tepat dan benar. Berbeda dengan anak normal, anak penyandang spektrum autisme tidak dapat melakukan hal tersebut dengan baik.

(33)

disebutkan oleh (MA). Orang normal dapat saja memaknai kalimat tersebut dengan bapak eman berbentuk bola, atau bapak eman bermain bola. Maksud dari subjek penelitian adalah Bapak Herman mengangkat bola. Hal ini sangat jauh berbeda dengan tanggapan yang akan diutarakan oleh orang normal. Dapat dikatakan bahwa pada data (35) telah terjadi pelesapan unsur kebahasaan, yaitu kata mengangkat.

Kemudian pada data (36) subjek penelitian menjawab pertanyaan peneliti dengan baju..Mama.. Subjek penelitian melesapkan unsur predikat yang sangat berperan penting untuk membentuk makna utuh dari kalimat tersebut. Seharusnya subjek penelitian menjawab pertanyaan pada data (36) tersebut dengan baju dibeli oleh mama. Bila data tersebut hanya berbentuk seperti data (36), manusia normal dapat beranggapan bahwa „baju yang dipakai (MA) adalah baju mama‟. Pelesapan

predikat yaitu kata dibeli dapat mengubah makna dari kalimat serta maksud yang ingin diutarakan subjek penelitian.

Selanjutnya pada data (37) subjek juga menghilangkan salah satu unsur kalimat pada kalimat yang diutarakan subjek penelitian. (RZ) menjawab pertanyaan peneliti dengan tulis.. tulis… baba. Seharusnya (RZ) menjawab pertanyaan peneliti dengan yang menulis buku ini Rizky atau saya yang menulis buku ini.

Hal yang dilakukan (RZ) hamper sama dengan penelitian Gustianingsih (2012: 268) yaiut pada data atu pita I banana ‘aku pisang’. Penghilangan unsur P „makan‟ dapat menimbulkan salah pengertian pada orang secara umum. Jika ada

(34)

tidak logis. Padahal maksud sesungguhnya dari si anak adalah aku makan pisang tetapi si anak hanya mengatakan atu pita „aku pisang‟.

4.2 Pola Kalimat Dasar Bahasa Indonesia Penyandang Spektrum Autisme

Dalam teori sintaksis, Sugono membagi kalimat dasar ke dalam delapan pola, yaitu

1. S P O K :Diana mengirimkan makalah kepada panitia. 2. S P O Pel : Ratna meminjami saya sepeda.

3. S P O : Manusia mengenal kebudayaan. 4. S P Pel : Negara kita berdasarkan pancasila. 5. S P K : Dia berasal dari Malang.

6. S P (Verba) : Bumi berputar. 7. S P (Nomina) : Kami seniman. 8. S P (Adjektiva) : Bumi ini bulat. a) Keterangan:

S = Subjek P = Predikat O = Objek Pel = Pelengkap K = Keterangan

(35)

Seseorang yang mengalami gangguan berbahasa tidak mampu mengujarkan pola kalimat dasar sesuai dengan orang normal. Demikian pula hal yang terjadi pada penyandang spektrum autisme. Kalimat-kalimat yang mereka miliki cenderung terpola. Berikut ini disajikan deskripsi pola kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme.

4.2.1 Pola P - K (Predikat - Keterangan)

Penyandang Spektrum Autisme yang menjadi sumber data pada penelitian ini cenderung mengalami kesulitan dalam pemahaman makna serta ucapan lisan yang didengarnya. Kerusakan yang terjadi lebih banyak terdapat pada Medan Wernicke. Hal ini dapat dilihat dari setiap tuturan maupun ujaran yang dihasilkan oleh penyandang Spektrum Autisme. Setiap kalimat yang mereka ucapkan cenderung terpola pada hal-hal yang sering didengarnya dari ibu guru para terapisnya. Berikut ini beberapa pola kalimat dasar bahasa Indonesia yang telah didapat oleh penulis melalui penelitian yang telah dilakukan, yaitu pola P – K.

Nicholas (NC)

Peneliti : Setiap pagi Adik pergi kemana? (15) NC : Pergi ke kem (Pergi ke Cambridge)

P K

Peneliti : Siapa nama Mama?

(36)

P K

Peneliti : Apa pekerjaan ayah Kamu?

(33) NC : Kerja sakit (bekerja di rumah sakit) P K

Rizky (RZ)

Peneliti : Dimana Adik membeli pensil itu? (menunjuk kepada pensil yang sedang dipegang si anak)

(35) RZ : Pegi makalah (Pergi ke sekolah) P K

Selain pola P – K, ada pula pola P saja yang disebutkan oleh sumber data. Kalimat dengan pola P diucapkan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis. Para anak Penyandang Spektrum Autisme menggunakan bahasa dalam situasi informal. Sama seperti manusia normal, dalam situasi informal juga menggunakan kalimat-kalimat yang berbentuk jawaban singkat dan tidak sesuai dengan pola kalimat dasar yang disebutkan oleh Sugono. Berikut data-data yang diperoleh penulis berkenaan dengan tipe kalimat dasar bahasa Indonesia dengan pola P

Rizky (RZ)

Peneliti : Kakak itu sedang apa? (menunjuk kepada seseorang yang duduk di ruang tunggu)

(37)

Ibu guru : Ngapain kakak itu ky? Berdiri atau duduk?

(36) RZ : Duduk

P

Peneliti : Apa cita-cita adik?

RZ : (Menoleh ke kanan kiri tanpa peduli dengan pertanyaan peneliti)

Ibu guru : Mau jadi apa Rizky kalau sudah besar? RZ : ….. (diam)

Ibu guru : Dokter, Polisi, Tentara, Guru?

(37) RZ : Guru

P

Peneliti : Apa yang sedang adik kerjakan?

RZ : (Menghentak-hentakkan pena yang sedang dipegang) Ibu guru : Ayo jawab, Rizky lagi ngapain?

(38) RZ : Tulis (menulis) P

Michael Ardian (MA)

Peneliti : Adik senang sekolah disini?

(39) MA : Suka

(38)

4.2.2 Pola P - Pel (Predikat - Pelengkap)

Selain dari pola yang terdapat pada data di atas, ada pula pola lain yang terdapat dalam kalimat-kalimat yang diujarkan oleh penyandang spektrum autisme. Berikut ini tertera data yang telah didapat penulis dari data penelitian yang telah dilakukan.

Nicholas (NC)

Peneliti : Kamu suka bermain apa? (40) NC : Main pipi (Bermain Game)

P Pel

Peneliti : Kalau sudah besar, adik bercita-cita menjadi apa? (41) NC : Jadi pintar

P Pel

Peneliti : Kamu suka makan apa?

(42) MA : Suka oti.. keyapa.. (Roti Kelapa) P Pel

4.2.3 Pola S - O (Subjek - Objek)

Pola lain yang terdapat pada ujaran-ujaran kalimat yang diucapkan oleh Penyandang Spektrum Autisme yang menjadi sumber data penelitian ini adalah pola S – O seperti yang terlihat pada data di bawah ini.

Michael Ardian (MA)

(39)

(43) MA : Dian.. Dian.. Tante ia (Tante Nina) S O

Peneliti : Apa yang sedang kamu lakukan?

(44) MA : Dian..buku dua (Dian menghitung buku dua) S O

(35) MA : Bapak eman bola (bapak Herman mengangkat bola) S O

Peneliti : Siapa yang beli baju kamu? (36) MA : Baju.. Mama

(40)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai Gangguan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme di lapangan, peneliti menyimpulkan bahwa kalimat dasar yang diucapkan oleh penyandang spektrum autisme berbeda dengan kalimat dasar yang diucapkan oleh manusia normal. Kalimat yang diucapkan para penyandang Spektrum Autisme cenderung terpola dan mengikuti kata-kata yang sering didengarnya.

Adapun gangguan berbahasa yang terjadi pada anak penyandang Spektrum Autisme yang menjadi sumber data penelitian ini ada tiga, yaitu substitussion (pertukaran unsur bahasa), distorssion (salah urut unsur bahasa), dan omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa).

Pola kalimat dasar bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme ada tiga, yaitu P K, P Pel, dan S O.

5.2 SARAN

(41)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI 2003:588).

2.1.1 Gangguan Berbahasa

Gangguan berbahasa digunakan sebagai istilah umum yang luas untuk melukiskan perilaku berbahasa tertentu yang tidak normal dan digunakan juga sebagai sebuah deskripsi untuk merujuk kepada sebuah entitas diagnostik yang dapat menerangkan hakikat perilaku berbahasa itu. Istilah ini juga digunakan oleh orang-orang yang menemukan si anak dalam berbagai situasi yang memerlukan kemahiran berbahasa dalam beragam interkasi dan situasi, seperti berbicara dan memahami pembicaraan, mengikuti instruksi, menyampaikan pesan-pesan kepada orang lain, dan sebagainya (Simanjutak 2009: 248).

2.1.1 Kalimat

(42)

subjek dinyatakan dengan nomina, kejadian dinyatakan dengan verba, dan abstraksi dinyatakan dengan adjektiva, adverbia, atau verba tertentu, (b) ungkapan yang paling kecil keambiguannya dalam segala hubungan, dan (c) bentuk eksplisit mencakup semua informasi (Kridalaksana 1984:83).

2.1.2 Spektrum Autisme

Kasus penyakit spektrum autisme atau sering disebut autisme saja mula-mula ditemukan oleh Dr. Hans Asperger, seorang psikiater Austria pada tahun 1944 dan beliau sebagai ahli penyakit kejiwaan menyebut pola penyakit itu sebagai “autistic

psychopathy”. Kemudian istilah ini diubah menjadi sindrom Asperger untuk menghormati penemunya dan juga untuk mencegah kesalahpahaman karena orang cenderung menyamakan istilah psychopathy ini dengan sociopathic behavior (perilaku penyakit sosial). Pada tahun 1943, Dr. Leo Kanner, seorang dokter Austria yang lain menulis artikel mengenai kasus yang sama dan beliau memakai istilah infantile autism (autisme anak-anak). Dr. Kanner menulis artikel ini di Amerika, karena beliau telah hijrah ke sana pada tahun 1942 dan menjadi warga negara Amerika.

(43)

penyakit ini merupakan sekumpulan kelainan bahasa dan agar jelas, bahwa penyakit ini memiliki banyak jenis bergantung pada keparahan penyakit ini, namun semuanya memiliki beberapa simtom bersama, dan simtom bersama yang paling menonjol ialah penarikan diri dari interaksi sosial (Simanjuntak 2009: 249). Selanjutnya (Simanjuntak 2009: 249) juga mengemukakan ciri-ciri spektrum autisme itu sebagai berikut:

1. Tidak ada kontak mata dengan orang di sekelilingnya.

2. Anak akan mengelakkan pandangan mata seseorang, sekalipun seseorang itu berusaha melihat matanya.

3. Anak akan mengguncang badannya ke kiri ataupun ke kanan atau anak akan membenturkan kepalanya ke tembok kalau sedang marah.

4. Terdapat kerusakan bahasa, penyimpangan-penyimpangan ujaran. 5. Anak tidak memiliki empati terhadap orang lain.

6. Anak tidak peduli pada interaksi sosial dan inilah ciri bersama yang paling menonjol.

7. Anak susah meniru apapun.

8. Anak kehilangan komponen pragmatik bahasa, yaitu anak mengalami kesukaran memahami metafora, sering menafsirkannya secara literal (Simanjuntak, 2009).

(44)

Neurolinguistik adalah sebuah ilmu dari hasil kerjasama di antara neurologi dan linguistik. Neurologi merupakan ilmu yang mengkaji fungsi dan kerusakan saraf-saraf otak dan linguistik ilmu yang mengkaji struktur bahasa. Kerjasama ini muncul, karena ternyata pemerolehan bahasa dan kerusakan bahasa (penyakit bertutur), seperti afasia, gagap, autisme, stroke, dan sebagainya, termasuk bidang kedua disiplin ini. Jadi, neurolinguistik adalah ilmu baru yang mengkaji struktur bahasa, kelahiran bahasa, pemerolehan bahasa, pengajaran bahasa, kerusakan bahasa dan mekanisme sereberum (struktur otak) yang mendasari bahasa.

Tugas utama neurolinguistik adalah untuk menerapkan data-data klinis penyakit bertutur (afasia) untuk memaparkan mekanisme fisiologi dan neurofisiologi yang mendasari penyakit bertutur itu, agar dapat merumuskan sebuah pandangan yang menyeluruh mengenai patologi bahasa dan ucapan. Pada umumnya, neurolinguistik dianggap sebagai penerapan metode dan model linguistik kepada pengkajian kerusakan bahasa dan ucapan sebagai akibat dari kerusakan korteks otak.

Otak sangat berperan penting dalam proses berbahasa. Pusat bahasa terdapat dalam hemisfer kiri otak. Hemisfer kiri terbagi atas Medan Broca dan Medan Wernicke. Kedua medan ini memiliki peran yang sangat penting. Jika daerah hemisfer kiri ini mengalami gangguan, akan terjadi kerusakan bahasa, baik secara artikulasi atau produksi ujaran, maupun pemahaman makna.

(45)

ujaran, tetapi ujarannya tidak mengandung arti atau tidak mengandung informasi, dan juga tidak dapat memahami kalimat-kalimat yang didengarnya.

Jadi, apabila terjadi kerusakan pada Medan Broca, penderita tidak sempurna atau tidak dapat sama sekali memproduksi kalmat-kalimat, sedangkan kerusakan yang terjadi pada Medan Wernicke menyebabkan penderita tidak dapat memahami kalimat-kalimat yang didengarnya (Simanjuntak 2009:258).

2.2.2 Sintaksis

Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu „sun‟ yang berarti „dengan‟

dan kata „tattein‟ yang berarti „menempatkan‟. Jadi, secara etimologi sintaksis berarti

menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat (Chaer 2007:206).

Dalam pembahasan sintaksis yang biasa dibicarakan adalah 1) Struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis; serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur itu, 2) Satuan-satuan sintaksis yang berupa kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana, 3) Hal-hal lain yang berkenaan dengan sintaksis, seperti masalah modus, aspek, dan sebagainya.

2.2.3 Kalimat

(46)

kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda Tanya (?), dan tanda seru (!) (Chaer 2007: 240).

Kalimat terbagi dalam beberapa bentuk dan salah satunya adalah kalimat dasar. Kalimat dasar ialah kalimat yang memenuhi syarat gramatikal (mempunyai subjek, predikat, atau dan objek serta pelengkap) dan kalimat itu belum mengalami perubahan. Perubahan itu dapat berupa penambahan unsur seperti penambahan keterangan kalimat ataupun keterangan subjek, predikat, objek, ataupun pelengkap. Perubahan itu dapat juga berupa penukaran unsur (S-P  P-S); atau berupa perubahan bentuk dari aktif ke pasif. Di samping itu, perubahan yang dimaksud itu termasuk peniadaan unsur tertentu, seperti kalimat yang terdiri atas subjek saja, predikat saja, atau objek saja, bahkan keterangan saja (Sugono 1983: 97). Berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya, kalimat dasar dapat dibedakan ke dalam delapan pola, yaitu

1. S P O K

Subjek Predikat Objek Keterangan

(47)

dwitransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan keterangan berupa frase berpreposisi.

2. S P O Pel

Subjek Predikat Objek Pelengkap

(5) Ratna dwitransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan pelengkap berupa nomina atau frasa nominal. objek. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba transitif, dan objek berupa nomina atau frasa nomina.

4. S P Pel

Subjek Predikat Pelengkap

(48)

(14) Mereka pelengkap. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba semitransitif atau verba transitif, dan pelengkap berupa nomina atau adjektiva pola 4 ini sebenarnya kurang memiliki ciri sintaksis yang mantap seperti sebelumnya. Namun, contoh-contoh pola 4 itu kurang terbuka. Dengan kata lain, predikat tipe ini terbatas, sedikit ditemukan verba pengisi predikat kalimat dasar pola 4 itu dalam

N/FN Verba dwiintransitif Fprep

(49)

6. S P (P: Verba) ada objek, pelengkap, ataupun keterangan yang wajib.

(50)

(29) Harimau itu buas.

N/FN Adjektiva

Pola 8 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek dan predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal dan predikat berupa adjektiva. Unsur predikat itulah yang membedakan pola 8 dari pola 7 dan pola 6. Jadi, pola 6, pola 7, dan pola 8 sebenarnya mempunyai kesamaan, yaitu terdiri atas subjek dan predikat (tidak ada objek ataupun pelengkap). Perbedaan ketiga pola itu terletak pada unsur pengisi predikat. Pengisi predikat kalimat dasar pola 6 adalah verba intransitif, pengisi predikat kalimat dasar pola 7 adalah nomina, dan pengisi predikat kalimat dasar pola 8 adalah adjektiva.

2.2.4 Gangguan Berbahasa

Haron (1997) mengelompokkan gangguan berbahasa (kecacatan artikulasi) yang dihasilkan oleh para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni substitiussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa).

2.3 Tinjauan Pustaka

(51)

Rajagukguk (2012), dalam skripsinya yang berjudul “Kalimat Inti Bahasa

Indonesia pada Penderita Afasia Broca”, menyimpulkan bahwa kalimat inti bahasa

Indonesia penderita Afasia Broca berbeda dengan kalimat inti bahasa Indonesia pada manusia normal. Kalimat inti yang diucapkan oleh penderita tidak sempurna. Penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat inti dengan mengucapkan hanya bagian yang paling “inti” dari sebuah kalimat yang hendak diucapkan, sehingga apabila

kalimat yang diucapkan adalah kalimat yang lebih dari dua kata, penderita akan memilih untuk mengucapkan kata pada bagian tengah kalimat yang biasanya merupakan inti dengan menghilangkan kata pada bagian awal dan akhir kalimat.

Gustianingsih (2009) dalam judul disertasi “Produksi dan Komprehensi Bunyi

Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum Disorder” menyimpulkan bahwa anak autistik sering melakukan penyimpangan pada awal dan akhir kata, mengindikasikan bahwa anak autistik mengalami gangguan inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Anak autistik ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirnya tidak tuntas.

Rastika (1992), dalam skripsinya yang berjudul “Kemampuan Berbahasa Lisan Siswa-Siswi Tunarunggu di SLB Bagian B YPPLB” menyimpulkan bahwa

(52)

ketidaksempurnaan. Namun bukan berarti mereka yang menderita gangguan khusus tertutup kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa lisannya.

(53)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Gangguan berbahasa terjadi pada seseorang, baik dewasa maupun anak-anak, yang tadinya dapat bercakap dengan baik menjadi tidak baik dan dapat pula terjadi pada seorang anak sejak kelahiran anak tersebut. Gangguan berbahasa bisa menyerang siapa saja, suku apa saja, di mana saja, tanpa memandang usia dan status sosial. Gangguan berbahasa ini pada dasarnya disebabkan keretakan atau kelainan medan-medan bahasa di korteks yang mendasari bahasa (Simanjuntak 2009: 143).

Gangguan berbahasa dapat terjadi pada gangguan fonologi, morfologi, sintaksis, bahkan dapat terjadi pada bentuk leksikal. Gangguan fonologi berkaitan dengan gangguan bunyi ujaran vokal, konsonan, diftong, atau pada gangguan artikulasi. Gangguan morfologi adalah gangguan pada bentuk-bentuk afiksasi, reduplikasi, atau sistem pemajemukan. Gangguan sintaksis adalah gangguan pada kata, frasa, klausa, atau kalimat.

(54)

pengertian dari neurologi dan linguistik. Neurologi sebagai ilmu yang mengkaji saraf-saraf otak berkaitan dengan linguistik ilmu yangmempelajari tentang pemerolehan bahasa karena pusat bahasa berdomisili di otak manusia. Jadi neurolinguistik sebagai ilmu baru mengkaji struktur bahasa, kelahiran bahasa, pemerolehan bahasa, pengajaran bahasa, kerusakan bahasa dan mekanisme sereberum (struktur otak) yang mendasari bahasa, baik dalam bentuk ujaran maupun kalimat (Simanjuntak 2009: 189).

Kalimat ialah kesatuan ujaran yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan. Kalimat dapat diklasifikasikan berdasarkan atas beberapa kategori, yaitu kalimat dasar dan kalimat turunan. Menurut Sugono (1999:97) kalimat dasar ialah kalimat yang berisi informasi pokok dalam struktur inti, belum mengalami perubahan.

(55)

Berbahasa juga merupakan proses mengirim berita dan proses menerima berita. Kegiatan menghasilkan berita, pesan, dan amanat disebut proses produktif, sedangkan proses menerima berita, pesan atau amanat disebut proses reseptif. Kedua kegiatan ini, proses produktif dan reseptif merupakan satu proses yang berkesinambungan, mulai dari proses perancangan pesan sampai pada proses penerimaan dan pemahaman pesan itu. Kemampuan berbahasa produktif dan proses reseptif harus dikuasai dengan sama baiknya agar tujuan berbahasa dapat terwujud.

Proses produktif dimulai dengan tahap pemunculan ide, gagasan, perasaan, atau apa saja yang ada dalam pemikiran seorang pembicara. Tahap awal ini disebut tahap idealisasi, yang selanjutnya disambung dengan tahap perancangan, yakni tahap pemilihan bentuk-bentuk bahasa untuk mewadahi gagasan, ide, atau perasaan yang akan disampaikan. Perancangan ini meliputi komponen bahasa sintaksis, semantik, dan fonologi. Berikutnya adalah tahap pelaksanaan atau pengejawantahan. Pada tahap ini secara psikologi orang melahirkan kode verbal atau secara linguistik orang melahirkan arus ujaran.

(56)

Proses berbahasa atau berkomunikasi merupakan kegiatan yang sangat melekat pada kehidupan manusia. Berkomunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan media bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa lambang bunyi, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Ritonga 2009:1).

Bahasa mempunyai fungsi sebagai alat informasi dan komunikasi. Fungsi bahasa ini akan tercapai apabila pendengar atau pembaca dapat memahami informasi yang disampaikan penulis atau pembicara. Fungsi informatif dan komunikatif dilangsungkan dalam bentuk kalimat. Bagaimanapun pendeknya sebuah bentuk bahasa jika ia sudah mencapai dan memenuhi fungsi informatif dan komunikatif, ia adalah kalimat. Jadi, manusia berinformasi dan berkomunikasi dalam kalimat yang diproduksi manusia baik secara lisan atau tulisan.

Otak memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam memproduksi bicara bahasa; serta dalam menerima dan memahami masukan bahasa melalui telinga, dan yang selanjutnya diolah dalam otak. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan bahasanya terganggu (Chaer 2003:115).

(57)

dominan bagi bahasa. Hemisfer kiri juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat verbal. Sebaliknya, hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture), baik yang emosional maupun verbal.

Pusat ucapan berdomisili di hemisfer kiri otak. Daerah hemisfer kiri terbagi menjadi dua medan, yaitu Medan Broca dan Medan Wernicke. Medan Broca mempunyai spesialisasi untuk komponen ekspresi (motor) bahasa, terutama ucapan dan parameter artikulasi, juga mempunyai tanggug jawab utama untuk menukar bahasa kepada ujaran-ujaran artikulasi. Medan Wernicke mengandung kata-kata ucapan, yaitu rumus-rumus yang berfungsi untuk membagi aliran ucapan yang berkesinambungan kepada pola-pola yang terpisah. Medan Wernicke lebih berperan terhadap pemahaman makna.

Hubungan Medan Wernicke dengan Medan Broca di dalam proses berbahasa sangat erat. Proses berbahasa itu dapat disederhanakan sebagai berikut, mula-mula bunyi direseptif melalui telinga kanan untuk kemudian dikirim ke Medan Wernicke untuk dipahami, kemudian dari Medan Wernicke di kirim bunyi ujaran ke Medan Broca melalui saluran yang disebut arcute fasiculus, kemudian sebuah isyarat tanggapan ujaran itu dikirim ke dalam motor suplemen (alat-alat ucap) untuk menghasilkan ujaran secara fisik (Simanjuntak 2009: 144).

(58)

memiliki pendengaran yang utuh semenjak kelahirannya, (2) memiliki susunan saraf otak yang utuh, (3) memiliki struktur fisik serta pengendalian fisiologik yang memungkinkan terjadinya motorik yang cepat, terintegrasikan dan rumit, dan (4) mempunyai lingkungan yang selalu memberikan dorongan kepadanya untuk mengembangkan keterampilan verbal. Banyak anak yang mengalami gangguan berbahasa karena tidak memiliki beberapa persyaratan di atas, artinya anak tersebut tidak mampu memproduksi menurut konteks arah normal, sehingga komunikasi terganggu atau penyimpangan unsur ujaran terjadi seperti pada anak penyandang autisme.

Autisme adalah gangguan pada usia dini kanak-kanak yang ditandai dengan satu atau lebih karakteristik yang diikuti kurang respons terhadap orang lain dan gangguan dalam bentuk komunikasi atau keterampilan berbahasa. Autisme dapat terjadi pada semua anak, tidak ada perbedaan ras, tingkat pendidikan, dan status sosial. Bahasa penyandang autisme ini sangat terbatas, aneh, begitu juga suaranya agak mengganggu telinga, parau, seperti berbisik, dan sebagainya. Sering juga terjadi pengulangan kata-kata secara berlebihan atau berhenti tiba-tiba di tengah-tengah percakapan seperti kehilangan sesuatu pengertian yang susah ditemukan kembali.

(59)

jenis autistik yang parah, sulit diajak berkomunikasi, dan mengalami kerusakan bahasa yang spesifik. autistik jenis ASD (autistic spectrum disorder) merupakan jenis autis yang tidak parah dan masih dapat diajak berkomunikasi, tetapi isi ujarannya tidak normal. Kadang-kadang ujarannya mengandung frase-frase atau kata-kata yang sama secara berulang-ulang. Jenis autisme yang diteliti dalam penelitian ini ialah spektrum autisme.

(60)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah gangguan penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme?

2. Bagaimanakah pola kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme?

1.3 Tujuan Penelitan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan gangguan penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme?

2. Mendeskripsikan pola kalimat dasar bahasa Indonesia pada penyandang spektrum autisme

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

(61)

2. Bagi peneliti selanjutnya, dapat menambah keingintahuan bagi para peneliti untuk dapat meneliti kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan berbahasa.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi keluarga penyandang spektrum autisme, diharapkan dapat lebih mampu mengerti dan memahami bahasa yang disampaikan penyandang spektrum autisme.

(62)

GANGGUAN PENGGUNAAN KALIMAT DASAR BAHASA INDONESIA Penyandang Spektrum Autisme” . Penyandang spektrum autisme mengalami gangguan dalam mengujarkan kalimat dasar bahasa Indonesia. Gangguan bahasa tersebut disebabkan adanya gangguan pada bagian otak tepatnya pada hemisfer kiri otak di bagian Medan Broca dan Medan Wernicke yang mengakibatkan penyandang spektrum autisme mengalami kesulitan dalam memahami kalimat yang didengarnya dan mengalami kesulitan dalam memproduksi ujaran berupa kalimat. Penyandang spektrum autisme memiliki karakteristik seperti sulit memahami kalimat yang didengarnya, suka mengulang-ulang ucapan (ekolalia), sulit mengingat kalimat yang baru didengarnya, tidak memiliki interaksi sosial, dan suka membalik-balikkan badan ke kanan dan ke kiri. Subjek penelitian ini terdiri dari tiga orang. Metode penelitian menggunaan ancangan Sudaryanto. Metode dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak dengan teknik simak libat cakap yang dilanjutkan dengan teknik catat. Metode dan teknik analisis data digunakan dengan metode padan dan teknik dasar teknik pilah unsur penentu dan dilanjutkan dengan teknik hubung banding memperbedakan bahasa penyandang spektrum autisme dengan anak normal. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gangguan kalimat dasar bahasa Indonesia penyandang spektrum autisme dan mendeskripsikan pola kalimat dasar bahasa Indonesia penyandang spektrum autisme dengan menggunakan teori sintaksis Sugono dan neurolinguistik. Disimpulkan bahwa penyandang spektrum autisme mengalami gangguan berbahasa seperti substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), dan omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa). Pola kalimat dasar yang mereka ucapkan ada tiga, yaitu “P - K, P - Pel, dan S - O”

(63)

GANGGUAN PENGGUNAAN KALIMAT DASAR

BAHASA INDONESIA

PADA PENYANDANG SPEKTRUM AUTISME

SKRIPSI

OLEH

JENNI RUKIA GIRSANG

090701043

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(64)

GANGGUAN PENGGUNAAN KALIMAT DASAR BAHASA INDONESIA PADA PENYANDANG SPEKTRUM AUTISME

SKRIPSI

OLEH

JENNI RUKIA GIRSANG 090701043

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Gustianingsih, M.Hum. Dra.Sugihana Br. Sembiring, M.Hum.

NIP19640828 198903 NIP19600307 198601

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

(65)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juli 2013 Penulis,

(66)

GANGGUAN PENGGUNAAN KALIMAT DASAR BAHASA INDONESIA

Penyandang Spektrum Autisme” . Penyandang spektrum autisme mengalami

gangguan dalam mengujarkan kalimat dasar bahasa Indonesia. Gangguan bahasa tersebut disebabkan adanya gangguan pada bagian otak tepatnya pada hemisfer kiri otak di bagian Medan Broca dan Medan Wernicke yang mengakibatkan penyandang spektrum autisme mengalami kesulitan dalam memahami kalimat yang didengarnya dan mengalami kesulitan dalam memproduksi ujaran berupa kalimat. Penyandang spektrum autisme memiliki karakteristik seperti sulit memahami kalimat yang didengarnya, suka mengulang-ulang ucapan (ekolalia), sulit mengingat kalimat yang baru didengarnya, tidak memiliki interaksi sosial, dan suka membalik-balikkan badan ke kanan dan ke kiri. Subjek penelitian ini terdiri dari tiga orang. Metode penelitian menggunaan ancangan Sudaryanto. Metode dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak dengan teknik simak libat cakap yang dilanjutkan dengan teknik catat. Metode dan teknik analisis data digunakan dengan metode padan dan teknik dasar teknik pilah unsur penentu dan dilanjutkan dengan teknik hubung banding memperbedakan bahasa penyandang spektrum autisme dengan anak normal. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gangguan kalimat dasar bahasa Indonesia penyandang spektrum autisme dan mendeskripsikan pola kalimat dasar bahasa Indonesia penyandang spektrum autisme dengan menggunakan teori sintaksis Sugono dan neurolinguistik. Disimpulkan bahwa penyandang spektrum autisme mengalami gangguan berbahasa seperti substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), dan omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa). Pola kalimat dasar yang mereka ucapkan ada tiga, yaitu

“P - K, P - Pel, dan S - O”

(67)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan segala kelimpahanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Penggunaan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme”

ini dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak di bawah ini:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, Msi., selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis M.S.P., selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Gustianingsih, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dan Dra. Sugihana Br. Sembiring, M.Hum., selaku Dosen pembimbing II yang telah banyak memberi masukan dan saran serta begitu sabar memberikan bimbingan, dorongan, dan dukungan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

4. Drs. Abizar selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasehat kepada penulis selama perkuliahan.

(68)

6. Kak Tika yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Ayah penulis, yaitu N. Girsang sebagai lawan berdebat terbaik dan teman berdiskusi terhebat. Sosok yang selalu mendukung penulis dan slalu ada untuk penulis. Dan untuk ibu tercinta P. Malau yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih dan yang membuat segalanya ini terjadi.

8. Abang, kakak, dan adik tercinta yaitu bang Hen, Kak Mar, serta Aldo si pudan. Terimakasih untuk dukungan hebat serta kritikan yang membangun yang diberikan pada penulis.

9. Nantulang pasundan yang sudah penulis anggap seperti ibu penulis. Melihat penulis tumbuh dan berdoa bersama penulis. Serta saudara terdekat, Reni, Bang Pabo, Bang Kocu, Bang Aden, dan Bang Niel.

10.Melyndrach Egree Hounest beserta mantan pacarnya yang telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi penulis sehingga penulis bisa menginjakkan kaki di FIB.

11.Seseorang yang menyemangati penulis ketika penulis berjuang masuk ke FIB. 12.Orang yang pertama kali menjadi teman penulis di FIB yaitu iska simamora

Referensi

Dokumen terkait

 Spectral features: In this study colour features and gray level co-occurrence matrix (GLCM) based texture features are considered to measure the pixel similarity

BERITA ACARA PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Pada hari ini ……..…………. Tanggal ….……….. Bulan …………...…..

Adding a high resolution visible light camera (VIS) with a high quality lens very close to the TIR camera, in the same stabilized rig, allows us to do accurate geoprocessing

M ent eri Pendidikan dan Kebudayaan Kepala Biro selaku. Ket ua

Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket

No Unit Kerja Jabatan Kualifikasi Pendidikan No Ujian Nama DAFTAR PESERTA YANG M EM ENUHI PERSYARATAN (M P) TES KOM PETENSI DASAR.. CPNS TAHUN 2013 DI LINGKUNGAN KEM ENTERIAN

7.2 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik dengan bahasa yang khas dalam interaksi kegiatan/permainan yang mendidik yang terbangun secara siklikal

M ent eri Pendidikan dan Kebudayaan Kepala Biro selaku. Ket ua