commit to user
PELAKSA NO PEM Disu ANAAN PEOMOR 3 TA
MBENTUKA
usun dan Dia
Derajat Sarj U RIA UN ERATURAN AHUN 2008 AN DINAS Penu ajukan untuk
ana dalam I
Universitas S
A BONUS C
NIM
FAKU
NIVERSITA
SU
N DAERAH
8 DALAM K
DAERAH D ulisan Huku (Skripsi) k Melengkap lmu Hukum Sebelas Mare Oleh : CAHYANIN
M : E110512
ULTAS HUK AS SEBELA URAKARTA 2010 H KABUPAT KAITANNY DAN TATA um pi Persyarata
m pada Fakult
et Surakarta NG UTOMO 22 KUM AS MARET A TEN SUKO YA DENGA A KERJANY
an Guna Mer
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO
NOMOR 3 TAHUN 2008 DALAM KAITANNYA DENGAN
PEMBENTUKAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA
Disusun oleh :
RIA BONUS CAHYANING UTOMO
NIM : E1105122
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing
Suranto, SH. MH
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO
NOMOR 3 TAHUN 2008 DALAM KAITANNYA DENGAN
PEMBENTUKAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA
Disusun oleh :
RIA BONUS CAHYANING UTOMO
NIM : E1105122
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Senin
Tanggal : 28 Februari 2011
DEWAN PENGUJI
1. Sugeng Praptono, S.H.,M.H. ( ... ) NIP. 195608121986011001
2. Aminah, S.H,M.H. ( ...) NIP. 195105131981032001
3. Suranto, S.H.,M.H. ( ... ) NIP. 195608121986011001
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Ria Bonus Cahyaning Utomo
NIM : E 1105122
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi)
berjudul: Pelaksanaan Perda Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2008
Dalam Kaitannya Dengan Pembentukan Dinas Daerah adalah betul-betul
karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum
(skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
Penulis yang membuat pernyataan
Ria Bonus Cahyaning Utomo
commit to user
v
ABSTRAK
RIA BONUS CAHYANING UTOMO. E 1105122. PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMO 3 TAHUN 2008 DALAM KAITANNYA DENGAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum Desember 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2008 dalam dalam kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya serta untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam pembentukan Dinas Daerah tersebut.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Data yang digunakan berupa data primer yang bersumber dari para pejabat dan staf terkait serta data sekunder yang bersumber dati literatur, dokumen dan peraturan perundang-undangan dari perpustakaan.
commit to user
vi
ABSTRACT
Ria Bonus Cahyaning Utomo. E 1105122. The implementation of local regulation of Sukoharjo Regency Number 3 of 2008 in relation to the Local Agencies and Work Procedure. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. Law Writing of December 2010.
This research aims to find out the implementation of local regulation of Sukoharjo Regency Number 3 of 2008 in relation to the establishment of Local Agencies and Work Procedure as well as to find out the inhibiting factors in the establishment such Local Agencies.
This study belongs to a descriptive research. The data employed were primary data originating from the officials and related staffs and secondary data originating from literature, document and legislation from library.
commit to user
vii
MOTTO
Bersyukurlah terhadap nikmat apa yang kamu dapat walaupun
sekecil apapun nikmat itu
Setiap cobaan yang kita dapat pasti akan menimbulkan kekuatan
baru dalam diri kita
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul:
”PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO
NOMOR 3 TAHUN 2008 DALAM KAITANNYA DENGAN
PEMBENTUKAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA”. Penulisan
skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau
skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis
dapat menjalani penulisan skripsi dengan baik.
2. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS
yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk
melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi.
3. Bapak Suranto, S.H, M.H, selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan, dan pendampingan secara sabar kepada penulis
selama menjalani penulisan skripsi.
4. Ibu Aminah, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah
memberikan izin untuk mengambil penulisan hukum skripsi bagian Hukum
Tata Negara.
5. Bapak Harjono, S.H, M.H selaku Ketua Program yang setia membimbing dan
mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan hukum skripsi
commit to user
ix
6. Bapak Suyono, S.H, M.H selaku Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan
Kabupaten Sukoharjo yang telah memberikan izin penelitian atau survey di
lingkup wilayah kerja dinas Kabupaten Sukoharjo.
7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta atas kerja samanya yang sangat baik dengan penulis selama ini
sehingga penulis dapat menyelesaikan Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta dengan baik
8. Seluruh keluarga di rumah Sragen, PapahKu dr.H.Tjahjo Utomo yang selalu
mendukung, mendoakan, memberi semangat tiada henti – hentinya tanpa
putus asa atas semua langkah penulis baik di bidang moril dan materiil,
KakakKu Rikho Wahyu Prasetyo Utomo, S.H. yang sering ngomel dan
memarahi penulis hingga membuat penulis sering jengkel dan sebal walaupun
demikian ujung – ujungnya tetap akur, Simbah Kakung dan Simbah Putri di
Klaten yang mendoakanku selalu dan menanti kehadiranKu setiap saat,
Keluarga PapahKu Semarang dan Keluarga besar (Almarhumah) MamahKu
Sri Suparti, B.A. yang mendukung dan memberi semangat hidup yang lebih
dan tiada hentinya kepada penulis.Dan something spesial for my mother
Almarhumah Sri Suparti, B.A yang telah mengandung,melahirkan penulis
sehingga penulis dapat menimba dan memperoleh ilmu yang setinggi –
tingginya sampai dengan detik ini,semoga beliau tenang dan bahagia di
sisiNya,Amien ya robb.
9. Seluruh Keluarga AKBP Suharyanto, S.H, M.H terima kasih atas
kesediaannya memberikan tempat,fasilitas dan sebagainya kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan hukum skripsi
selesai dengan baik.
10.Buat terkasih dan tersayang just especially to Iptu Pol Weldi Rozika, S.H, Iptu
Pol Muhammad Luthfi Armanza, Iptu Pol Indra Bima Agung Perdana Putra,
Ipda Pol Arjuna Wijaya, Ipda Pol Imam Mustolih, Nuruz Zaman Hakim, S.H
from me mengucapkan banyak terima kasih atas saran, kritik, inspirasi dan
commit to user
x
dimana sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan penulisan
hukum skripsi.
11.Teman – Teman Fakultas Hukum yang selalu memberi masukkan, saran,
kritik dan semangatnya tidak henti – hentinya baik suka maupun duka.Livia
Ekayani Sukamdi, S.H, Vany na arip, abang”Putri”, S.H, Bonus Tri
Kurniadi,S.H, Dayu Wijanarko, S.H, Yanur, S.H. alias simbah.
12.Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Penulis sehingga
dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat Penulis
amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.
13.Teman – teman Rumah Sragen dan Klaten yang selalu memberi saran,
semangat, kesegaran dan warna tersendiri dalam hidup penulis. Hanifah
Louhan,Spd.A, Ita itux Naruto,Spd, Linda Klaten bini na Agus,Mas Hery Lia
dan Mas Heru.
14.Semua pihak yang secara langsung atau tidak telah membantu dan mendukung
penulis dalam menjalani hari-harinya selama penulisan skripsi berlangsung.
15.Dan terakhir kepada sebuah pengharapan entah nyata atau fana yang selalu
membuatku bertahan hidup dan melangkah lebih baik lagi dari hari ke hari.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak
kekurangan, untuk itu Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya
tulis ini mampu memberikan manfaat bagi Penulis maupun para pembaca.
Surakarta, Desember 2010
Penulis
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
MOTTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian ... 5
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Kerangka Teori ... 11
1. Tinjauan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 11 2. Asas-Asas Pemerintahan Daerah ... 19
3. Otonomi Daerah ... 21
4. Organisasi Pemerintah Daerah ... 29
5. Tinjauan tentang Kelembagaan Daerah ... 34
6. Tinjauan tentang Teori Pelaksanaan Hukum (Peraturan Daerah ... 36
commit to user
xii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44
A. Kondisi Daerah Kabupaten Sukoharjo ... 44
B. Ketentuan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya menurut Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ... 47
C. Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 dalam Kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya di Kabupaten Sukoharjo ... 51
D. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pembentukan Dinas Daerah di Kabupaten Sukoharjo ... 58
BAB IV PENUTUP ... 59
A. Simpulan ... 59
B. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara filosofis ideologis, otonomi dapat dipandang sebagai suatu
mekanisme yang memungkinkan tumbuhnya partisipasi yang luas bagi masyarakat
dan mendorong agar daerah mampu membuat keputusan secara mandiri tanpa
harus bergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Secara prinsip, “tujuan utama
otonomi daerah adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang
dilayaninya, sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol
masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata (Alim Muhammad,
2000 : 1).
Para pakar baik dari bidang hukum maupun dan bidang Administrasi
Negara menengarai bahwa kebijaksanaan Otonomi Daerah terkesan tidak lebih dari
nuansa politis yang melatar belakangi kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.
Secara, sekilas gejala tersebut dapat dilihat dari kebijaksanaan desentralisasi yang
ditempakan di Indonesia pada jaman kolonial sampai jaman pemerintahan Orde
Baru. Kesan ini terus membayangi serial produk serta kebijakan yang lahir.
Sebagai gambaran sejak merdekanya bangsa kita pada tahun 1945 sudah
lebih enam buah Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ditambah dengan
sebuah Penetapan Presiden (Penpres) telah ditetapkan. Masing-masing mempunyai
substansi dan pendekatan yang berbeda satu dengan lainnya. Akan tetapi
pengalaman menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu dijalankan, serntia
perairan tersebut harus diganti dengan dasar ketidakpuasan terhadap
peraturan-peraturan tersebut, serta anggapan substansi dari peraturan-peraturan-peraturan-peraturan tersebut
sudah tidak mampu mengakomodasikan perkembangan zaman. (Ahi Suyudi,
1999:1)
Perubahan undang-undang Pemerintahan Daerah yang telah lebih enam
kali dilakukan tersebut dapat dilihat sebagai kondisi ketidakstabilan politik
perundang-undangan di bidang otonomi daerah. Namun demikian, hal ini bukan
commit to user
sudut keberlakuannya. Berkaitan dengan hal ini, Harun Alrasid mengatakan bahwa,
Undang-undang sebagai suatu produk hukum adalah “subject to change”. Artirya,
apabila dirasakan setelah tidak sesuai dan tidak lagi mampu untuk
mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan riil yang hidup di masyarakat, maka
suatu Undang-undang dapat segera diamandemenkan, bahkan kalau perlu
amandemen tersebut dapat dilakukan sesering mungkin. Hal ini secara positif dapat
dilihat sebagai pencerminan adanya lembaga Legislatif yang responsive terhadap
perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. (Harun Alrasid, 1999:1)
Frekuensi perubahan Undang-undang ini memang cukup tinggi, bahkan
dapat dikatakan memegang “rekor” dalam hal kuantitas perubahan. Perkembangan
ini jika ditinjau dan sisi positif mungkin menandakan bahwa diskusus mengenai
Otomotif Daerah terus berkembang dan berusaha memenuhi perkembangan yang
terjadi. Akan tetapi apabila substansi perubahan tersebut dikaji lebih lanjut maka
akan timbul pertanyaan, “apakah nilai-nilai normatif dan empiris yang ada selama
ini tidak cukup memberikan pedoman yang jelas bagi kebijakan Otonomi Daerah.
Sehingga nuansa politis selalu dapat memegang peranan penting dibandingkan
dengan nuansa teoritis nonnative, dan menimbulkan efek bahwa Indonesia tenis
berada dalam pencarian bentuk ideal dalam rangka hubungan pusat dan Daerah.
(Moh.Mahfud MD, 1999:1971).
Seiring dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar
yang menjadi Urusan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningakatan kesejahteraan rakyat.
Dalam kontek ini, penyelenggaraan desentralisasi, mensyaratkan
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah. Pembagian urusan Pemerintahan tersebut diadakan pada pemikiran bahwa
bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/ tetap
menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan Pemerintahan tersebut menyangkut
terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.
Secara eksplisit, dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004
disebutkan bahwa, “Pemerintahan daerah menyelenggarakon urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan Pemerintahan yang
oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah”. Dalam pasal
yang sama ayat (3) dinyatakan “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat : (1) meliputi : a. polilik luar negeri;
b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. Moneter dan fiscal nasional, f agama”.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kewenangan
Pemerintah Daerah adalah sisa kewenangan Pemerintah Pusat atau recidual power
(Hanif Nurcholis, 2005: 88). Secara konkret Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan sebagai mana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004,
sedangkan dalam Pasal yang sama ayat (2) dinyatakan, “Urusan pemerintahan
kabupaten kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara
nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa urusan yang menjadi
kewenangan Daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
pemerintahan wajib adalah suatu urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup
minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang
bersifat pilihan berkaitan dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Agar Pemerintah Daerah dapat menjalankan tugas dan kewenangannya
dengan baik maka dibutuhkan penataan lembaga daerah terutama dinas daerah
sebagai tangan penyangga. Pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah
secara luas, nyata dan bertanggung jawab.
Berdasarkan konsekuensi kewenangan yang dimiliki oleh daerah tersebut,
commit to user
daerah yang merupakan lembaga daerah yang efisien dan rnempunyai kewenangan
yang tepat. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya
mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang
meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas,
luaswilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potellsi
daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana. dan. prasarana
penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat dacrah bagi
masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam (Penjelasan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo yang merupakan salah
satu daerah otonom di Indonesia. Dengan mengambil judul “Pelaksanaan Perda
Kabupaten Sukoharjo No. 3 Tahun 2006 dalam kaitannya dengan Pembentukan
Dinas Daerah dan Tata Kerjanya”.
B. Perumusan Masalah
Masalah dapat diartikan sebagai suatu informasi yang mengandung
pertanyaan atau yang dapat dipertanyakan, mengandung kejelasan atau
ketidakpastian (Taliziduhu Ndraha, 199T 30-31). Setiap penelitian yang akan
dilakukan selalu berangkat dari masalah (Sugiyono, 2004: 25). Rumusan masalah
dimaksudkan untuk penegasan, masalah-masalah yang akan diteliti sehingga
memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sasaran, Adapun beberapa
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Penataan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 3
Tahun 2008 dalam kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata
Kerjanya?
2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat Pemerintah Kabupaten Sukoharjo
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh gambaran tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah
Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2008 dalam kaitannya dengan
Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam
pembentukan dinas daerah di Kabupaten Sukoharjo.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Dalam hal ini penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan dan rekomendasi bagi aparatur pemerintah daerah dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam melakukan proses legislasi daerah dalam
pembentukan Organisasi Perangkat Daerah.
2. Manfaat Teoritis
Dalam hal ini manfaat teoritis dari penelitlan ini diharapkan mencapai
hasil sebagai berikut:
a. Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan hukum pemerintahan daerah pada khususnya.
b. Semakin memperkaya konsep-konsep dan teori-teori tentang pelaksanaan
otonomi daerah.
c. Dapat dipakai sebagai respon terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk
tahap berikutnya.
E. Metode Penelitian
Suatu penelitian dapat dikatakan mencapai hasil yang diharapkan atau
tidak sangat tergantung pada metode penelitian yang digunakan. Metode penelitian
ini dapat mengemukakan teknis, tata kerja dari sebuah penelitian. Dalam penelitian
commit to user
1. Jenis PenelitianPenelitian penulisan hukum ini termasuk jenis penelitian yuridis empiris,
yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti data sekunder pada awalnya
untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan
atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986: 52).
2. Sifat Penelitian
Ditinjau dari sifatnya, penelitian hukum ini termasuk dalam penditian
diskriptif evaluatif Menurut Soerjono Soekanto penelitian diskriptif adalah
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya. Maksud dari penelitian diskriptif
ini adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka
menyusun teori-teori baru. Sedangkan penelitian evaluatif pada umumnya
dilakukan, apabila seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan
(Soerjono Soekanto, 1986: 10).
3. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Bagian Hukum dan
Pertanahan Kabupaten Sukoharjo Lokasi tersebut dipilih berdasarkan hasil pra
penelitian bahwa di Kabupaten Sukoharjo sudah dilakukan evaluasi produk
hukum daerah Sukoharjo.
4. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks kbusus yang alamiah dan dengan
memanfhatkan berbagai metode alamiah (Lexy J. Moleong, 2007:6). Menurut
yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan responden secara
tertulis atau lisan dan perilaku nyata.
5. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini terdiri dari
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber
pertama, atau melalui penelitian di lapangan. Data primer diperoleh dari
para pejabat dan staf pada bagian hukum, Bagian pemerintahan dan bagian
Organisasi Sekretariat Pemerintah Kabupaten Sukoharjo berkompeten
untuk memberikan keterangan yang berhubungan dengan penggunaan
metode dalam evaluasi produk hukum daerah.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang penulis peroleh dari studi kepustakaan.
Data sekunder diperoleh dari kepustakaan berupa bahan hukum primer,
sekunder, tersier, bahan-bahan kepustakaan dan beberapa buku-buku
referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitan ilmiah,
dokumen, internet, peraturan perundang-undangan meliputi UUD 1945,
UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41 Tahun 2007, bahan-bahan
kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendukung, penelitian ini
adalah:
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
tersebut dilakukan dengan dua orang pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J.
Moleong. 2007: 186). Wawancara sangat diperlukan untuk memperoleh
commit to user
terkait dengan penelitian. Wawancara yang dimaksud diatas dilakukan
penulis dengan para pejabat dan staf dari Bagian Hukum, Bagian
Pemerintahan dan Bagian Organisasi Sekretagriat Pemerintahan Kabupaten
Sukoharjo.
b. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data dengan
mencari data-data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan pustaka berupa
buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan maupun
dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikannya
kemudian menghubung-hubungkannya dengan teori yang berhubungan dengan
masalahnya dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasilnya.
Dalam proses analisis terdapat tiga komponen utama yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang
merupakan proses seleksi pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data
dari fieldnote. Proses ini berlangsung tetus sepanjang pelaksanaan
penelitian (HB Sutopo, 1988:34).
b. Sajian Data
Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi deskriptif
dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat
dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat
meliputi berbagai jenis matriks, gambar/ skema, jaringan kerja kaitan
kegiatan dan juga tabel sebagai pendukung narasinya.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses
pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut perlu diverifikasi agar
Berdasarkan uraian di atas dalam penelittan ini penulis
menggunakan model analisis interaktif, yang dapat digambarkan sebagai
berikut.
Model analisis interaktif ini menunjukkan, reduksi dan sajian data
yang disusun pada waktu peneliti sudah memperoleh unit data dari sejumlah
unit yang diperlukan dalam penelitian pada waktu pengurnpulan data sudah
berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan
verifikasinya berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam reduksi
maupun sajian datanya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap karena
kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti
dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus
untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman
data (HB. Sutopo, 2002:96).
Pengumpulan Data
Sajian Data Reduksi
Data
commit to user
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika
penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan yang baru dalam penulisan karya
ilmiah maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) bab yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan dan penutup, ditambah dengan lampiran-lampiran dan daftar
pustaka, apabila, disusun dengan sistematis adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab I Penulisan Hukum berisi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan hukum untuk memberikan pemahaman terhadap
isi penelitian secara garis besar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II Penulisan Hukum berisi tinjauan pustaka, yang berisi kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Kerangka, teori berisi tinjauan tentang
Pemerintahan Daerah, tinjauan tentang produk hukum daerah, tinjauan
tentang evaluasi kebijakan publik.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab III menguraikan tentang deskripsi lokasi penelitian, implementasi
serta, faktor pendukung dan penghambat Pelaksanaan Perda, No. 3 tahun
2008 dalam Kaitannya, dengan Pembentukan Dinas Daerah di
Kabupaten Sukoharjo.
BAB IV PENUTUP
Penutup berisi simpulan dan saran. Simpulan merupakan jawaban
singkat dan jelas dari permasalahan yang diteliti, serta saran yang
diajukan dari masalah yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pemerintah daerah adalah hal yang universal karena dapat ditemukan
baik pada negara yang berbentuk federal maupun negara kesatuan (Rod Hague
dan Martin Harrop, 2001: 211). Keterkaitan bentuk negara federal dan negara
kesatuan dengan pemerintah daerah adalah sehubungan dengan adanya
pembagian kekuasaan negara yang bersifat vertikal (Soehino). Menurut
Juanda (2005:43), penerapan pembagian, kekuasaan di dalam negara yang
berbentuk federal dimulai dari pembagian kekuasaan antara pemerintah
negara, federal (nasional) dengan pemerintah negara bagian. Pembagian
kekuasaan itu diatur di dalam konstitusi.
Sementara itu, dalam negara, kesatuan pembagian semacam itu tidak
dijumpai karena pada asasnya seluruh kekuasaan dalam negara berada
ditangan pemerintah pusat. Walaupun demikian hal itu tidak berarti bahwa
seluruh kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat, karena ada
kemungkinan mengadakan dekonsentrasi kekuasaan ke daerah lain dan hal ini
tidak diatur di dalam konstitusi. Lain halnya dengan negara kesatuan yang
bersistem desentralisasi. Dalam konstitusinya terdapat suatu ketentuan
mengenai pemencaran, kekuasaan tersebut (Sri Soemantri, 1987:65).
Pembentukan organisasi pemerintah di daerah atau pemerintah tidak
sama dengan pembentukan negara, bagian seperti dalam negara federal.
Kedudukan pemerintah daerah dalam sistem negara Kesatuan adalah subdivisi
pemerintahan nasional. Pemerintah daerah tidak memiliki kedaulatan sendiri
sebagaimana negara bagian dalam negara federal. Hubungan pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat adalah dependent dan subordinat sedangkan
hubungan negara bagian dengan negara federal/ pusat dalam negara, federal
adalah independent dan koordinatif (Hanif Nurcholis, 2005: 6). Sehubungan
commit to user
beberapa negara terkandung di dalamnya ciri-ciri sebagai berikut (S.H.
Sarudanjang, 1999:27) :
a. Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah
dijadikan urusan-urusan rumah tangga sendiri sehingga urusan-urusannya
perlu ditegaskan secara rinci;
b. Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh alat-alat perlengkapan
yang seluruhnya bukan terdiri dan para pejabat pusat akan tetapi pegawai
pemerintah daerah;
c. Penanganan segala urusan itu seluruhnya, diselenggarakan atas dasar
inisiatif atau kebijaksanaan sendiri;
d. Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menguras rumah
tangga sendiri adalah hubungan pengawasan;
e. Seluruh penyelenggaraannya pada dasarnya dibiayai dari sumber keuangan
sendiri.
Menurut Bhenyamin Hossein (2001:3), keseluruhan prinsip di atas
menunjukkan pengertian pemerintah daerah sebagai suatu daerah otonom.
Lebih lanjut Nurcholis Hanif (2005: 19-20) menguraikan bahwa dalam
pengertian ini, pemerintah daerah berkedudukan sebagai subdivisi politik
nasional yang diatur oleh hukum dan secara substansi mempunyai kontrol atas
urusan-urusan lokal. Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau
ditunjuk secara lokal. Dalam pengertian ini, pemerintah daerah mempunyai
Otonomi lokal yaitu mempunyai kewenangan mengajar (rules making) dan
mengurus (rules aplication) kepentingan masyarak.at menurut prakarsa
sendiri.
Pernyataan selanjutnya seberapa besar batas kepentingan masyarakat
yang dapat diatur dan diurus oleh pemerintah daerah? Dalam hal ini berarti
mendiskusikan tentang cara penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan tersebut dapat
dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu Ultra vires doctrine dan general
Cara ultra vires doctrine menunjukkan cara di mana pemerintah pusat
menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dengan cara
merinci satu per satu. Daerah Otonom hanya boleh menyelenggarakan
wewenang yang diserahkan tersebut. Sisa wewenang dan wewenang yang
diserahkan kepada daerah Otonom secara terperinci, tersebut tetap menjadi
wewenang pusat.
Dalam general competence, daerah Otonom boleh menyelengarakan
semua urusan di luar yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya, pusat
menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah otonom untuk
menyelenggarakan berdasarkan kebutuhan dan misalnya sendiri di luar
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Di sini pusat tidak
menjelaskan secara spesifik kewenangan apa saja yang diserahkan kepada
daerah.
Adanya pemerintah daerah dimulai dan kebijakan desentralisasi.
Dengan mengutip pendapat Henry Maddick, Hanif Nurcholis (2005: 9)
menjelaskan desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara hukum untuk
menangani bidang-bidang atau fungsi-fungsi tertentu kepada daerah otonom.
Selanjutnya, Bhenyamin Hossem dengan mengubah pendapat Rondinelli,
Nellis, dan Chema menegaskan bahwa desentralisasi merupakan penciptaan
atau penguatan kerangan maupun hukum pada unit-unit pemerintahan
subnasional yang penyelenggarannya secara substansial di luar kontrol
langsung pemerintah pusat (Bhenyamin Hossein, 2000: 10). Secara umum,
desentralisasi mencakup kepada (empat) bentuk, yaitu dekonsentrasi, devousi,
pelimpahan pada lembaga semi otonom, dan privatisasi. (Hanif Nurcholis,
2005: 9-11) Dekonsentrasi merupakan penyerahan beban kerja dari
kementerian pusat kepada pejabat-pejabatnya yang berada di wilayah.
Penyerahan ini tidak diikuti oleh kewenangan membuat keputusan dan
diskresi untuk melaksanakannya. Selanjutnya, devolusi merupakan pelepasan
fungsi tertentu dari pemerintah pusat untuk membuat satuan pemerintahan
baru yang tidak dikontrol secara langsung. Tujuan devoklusi adalah untuk
commit to user
mendelegasikan kewenangan dan fungsi.Selain dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi, desentralisasi juga
dilakukan dengan cara pendelegasian pembuatan keputusan dan kewenangan
administratif kepada organisasi-organisasi yang masuk di fungsi-fungsi
tertentu yang tidak di bawah pengawasan kementerian pusat. Pendelegasian
tersebut menyebabkan pernindahan atau penciptaan kewenangan, yang lebih
luas kepada suatu organisasi yang secara teknis dan administratif mampu
menanganinya, baik dalam merencanakan maupun melaksanakan.
Sementara itu, privatisasi menunjuk kepada penyerahan fungsi-fungsi
tertentu dari pemerintah pusat kepada lembaga non-pemerintah atau lembaga
swadaya masyarakat.
Menurut, Bhenyamin Hoessein (2000:10) bahwa dalam rangka
desentralisasi, daerah otonom berada di luar hirarki organisasi pemerintah
pusat. Sedangkan dalam rangka dekonsentrasi wilayah administrasi (field
administration) dalam hirarki organisasi pemerintah pusat desentralisasi
menunjukkan hubungan kekuasaan antar organisasi. Sedangkan dekonsetrasi
menunjukkan model hubungan kekuasaan intra organisasi.
Dalam praktik di Indonesia selama ini, di samping desentralisasi dan
dekonsentrasi, juga dikenal adanya tugas pembantuan (medebewind). Di
Belanda medebewind diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan
kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya.
lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah. Menurut Bagir Manan
(1994:85), tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah
lebih atas kepada pemerintah daerah di bawahnya berdasarkan
undang-undang. Oleh karena itu, medebewind sering disebut sebagai tantra/
tugas, pembantuan. Karena tugas pembantuan pada dasarnya adalah
melaksanakan kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah di atasnya,
maka sumber biaya dari pemerintah yang memberikan penugasan. Sumber
biaya bisa berasal dari APBN atau APBD pemerintah daerah yang lebih
Menurut Moh. Mahfud M.D. (1998:93-95), dalam konteks hubungan
antara pemerintah pusat dengan daerah maka ketiga asas tersebut yaitu asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas-asas pembantuan, secara
bersama-sama menjadi asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia. Ditambahkan bahwa pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pusat
dan daerah melahirkan adanya 2 (dua) macam organ, yaitu pemerintah daerah
dan pemerintah wilayah Pemerintah daerah adalah organ daerah Otonom yang
berhak mengurusi rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi,
sedangkan pemerintah wilayah adalah organ pemerintah pusat di
wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi yang
terwujud dalam bentuk propinsi dan ibukota negara, kabupaten, kotamadya,
kota administratif, dan Kecamatan.
Berbicara tentang hukum sebagai instrument untuk melaksanakan
kebijakan publik maka pengkajian tentang penyelenggaraan pemerintahan
daerah di Indonesia dewasa ini harus diawali dari ketentuan, yang terdapat di
dalam UUD 1945. Ketentuan dimaksud terdapat di dalam Pasal 18, 18A, dan
Pasal 188 Perubahan Kedua UUD 1945 (2000). Perubahan tersebut
berimplikasi kepada Penjelasannya, karena selama ini Penjelasan dianggap
sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan batang tubuh dan
seringkali dijadikan acuan dan dasar dalam mengkaji sistem pemerintahan
daerah (Djuanda, 2005: 237). Di dalam Pasal 18 yang baru tersebut
terkandung paradigma baru. dan arah politik pemerintahan daerah, yaitu
(Bagir Manan, 2001: 7-17):
a. Pasal 1-8 ayat (2) mengandung prinsip daerah mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pasal 18 lama tidak menegaskan pemerintahan daerah sebagai satuan
pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya;
b. Pasal 18 ayat (5) mengandung prinsip menjalankan otonomi seluas
luasnya Prinsip ini sebenarnya sewaktu BPUPKI menyusun rancangan
UUD hal itu telah nampak dan pidato Ratulangi yang menyebutkan supaya
commit to user
Kehendak ini juga ditegaskan dalam UUDS 1950 Pasal 131 ayat (2);
c. Pasal 18A ayat (1) mengandung prinsip kekhususan dan keberagantan
daerah;
d. Pasal 18B ayat (2) mengandung prinsip mengakui dan menghormati
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya,
e. Pasal 18B ayat (1) mengandung prinsip mengakui dan menghormati
pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa;
f. Pasal 18 ayat (3) mengandung prinsip badan perwakilan dipilih langsung
dalam suatu pemilihan umum;
g. Pasal 18 A ayat (2) mengandung prinsip hubungan pusat dan daerah harus
dilaksanakan secara selaras dan adil.
Selain prinsip-prinsip tersebut, yang tidak kalah pentingnya juga
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah isi Pasal 18 ayat (4) yang
mengandung prinsip demokrasi di dalam menetapkan seorang pemimpin
daerah. Dalam UUD 1945, sengaja menggunakan kata “Gubernur, Bupati, dan
Walikota dipilih secara demokratis” di dalam pasal tersebut untuk
memberikan alternatif ke depan bahwa pemilihan Kepala Daerah lain dapat
dilakukan melalui DPRD juga dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung.
Perumusan yang demikian dapat dipahami karena, secara historis Pasal 18
ayat (4) tersebut dibuat sebelum adanya perubahan terhadap Pasal 6
khususnya penambahan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 tentang “Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dipilili dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat (Djuanda, 2005: 239).
Kemudian berkaitan dengan pembagian kekuasaan secara vertical maka
UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan tetap dilandasi dengan
bentuk negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan Indonesia mengenal 2 (dua)
tingkat pemerintahan yaitu pemerintah nasional (pusat) dan pemerintahan
daerah (Juanda,2005: 46). Implikasi dari ketentuan tersebut maka berdasarkan
UUD 1945 sebelum perubahan Indonesia membagi negaranya ke dalam
daerah-daerah otonom dan wilayah administrative. Konsekuensi dari adanya
pemerintah wilayah administratif, Kedua pemerintah tersebut sebelumnya
merupakan pengejawantahan dari pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan
yang digariskan oleh pemerintah pusat. Adanya pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah hal itu diatur di
dalam konstitusi, tetapi karena masalah itu adalah merupakan hakikat dari
negara kesatuan (Sri Soemantri, 1998: 53).
Ketentuan lebih lanjut dalam rangka penyelenggamn pemerintahan
daerah diatur melalui undang-undang. Dewasa ini Undang-undang yang
berlaku adalah UU.No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Ada 4
(empat) prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam undang-undang
tersebut, yaitu:
a. Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Asas
otonomi menunjuk kepada hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sementara itu tugas pembantuan merupakan
penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/ atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/ kota dan/ atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu;
b. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat, sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan,
dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antara
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan
commit to user
dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi; dan
d. Pemerintahan daerah dilaksanakan dengan asas desentralisasi dan asas
dekonsentrasi dengan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan, pemerintahan negara.
Cara penyerahan kewenangan dilaksanakan menurut general
competence. Dalam undang-undang ditentukan bahwa Kewenangan
Pemerintah pusat mencakup urusan-urusan: politik luar negeri, pertahanan,
Keamanan, yustisi, mononter dan fiskal nasional, dan agama. Sedangkan
urusan pemerintahan yang kewenangan provinsi dan kabupaten kota adalah di
luar yang ditentukan untuk pemerintah pusat mencakup:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. Perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan di bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan bidang pendidikan dan alokasi sumber daya manusia;
g. Pepanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha, kecil, dan menengah;
i. Pengendalian lingkungan hidup;
j. Pelayanan pertanahan;
k. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
l. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
m. Pelayanan administrasi penanaman modal;
n. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya,
o. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa pemerintah provinsi
menganut asas dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. Berdasarkan asas
goverment).
Keberadaan wilayah administrasi merupakan implikasi logis dan
penerapan asas dekonsentrasi. Dalam hal ini dekonsentrasi merupakan
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubenur
sebagai, wakil pemerintah dan/ atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu. Karena yang diserahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah
pusat hanya kewenangan administrasi maka terjadi hubungan hirarki antara
pemerintah pusat dengan wilayah administrasi. Dengan demikian, wilayah
administrasi profinsi adalah bawahan subordinat dan pemerintah pusat dan
posisinya tergantung dari pemerintahan pusat. Provinsi di samping menganut
asas dekonsentrasi juga menganut asas desentralisasi sehingga ia juga
merupakan daerah otonom (local seff government) Sebagai daerah otonom,
provinsi mempunyai wewenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan aspirasinya.
Sebagai wilayah administrasi, provinsi dikepalai oleh kepala wilayah
administrasi sebagai wakil pemerintah pusat. Oleh karena itu ia bertanggung
jawab kepada pemerintah pusat. Sementara itu, sebagai daerah otonom,
provinsi dikepalai oleh kepala daerah otonom yang bertanggung jawab kepada
DPRD, Dalam hal ini, gubernur memangku kedua fungsi tersebut.
2. Asas-asas Pemerintahan Daerah
Dalam pelaksanaan pemerintah daerah harus berdasarkan asas-asas
penyelenggaraan pemerintah, yaitu:
a. Asas desentralisasi
Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan
sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah
daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih
rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Dengan
demikian, prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai
urusan-urusan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik
commit to user
maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya
adalah perangkat daerah sendiri (CST. Kansil, 2001: 3). Asas
desentralisasi menurut Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Asas dekonsentrusi
Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi
vertikal yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Baik
perencanaan dan pelaksanaannya maupup pembiayaannya tetap, menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur pelaksanaannya dikoordinasikan
oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat.
Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah bahwa tidak semua
urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah
menurut asas disentralisasi (CST. Kansil, 2oOl:, 4). Asas dekonsentrasi
menurut Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/ atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
c. Asas Tugas pembantuan
Asas tugas pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut
serta dalam pelaksanaan urusan wajib pemerintah yang ditugaskan kepada
pemerintah daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya
kepada yang memberi tugas. Misalnya, kotamadya menarik pajak-pajak
tertentu seperti pajak kendaraan, yang sebenarnya menjadi hak dan urusan
pemerintah pusat (CST. Kansil, 2001: 4). Asas tugas pembantuan menurut
Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/ atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan
3. Otonomi Daerah
Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintahan sendiri
(zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving
(membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri),
zelfrechtspraak (mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri). Namun
demikian, walaupun otonomi itu sebagai self government, self sufficiency dan
actual independency, keotonomian tersebut tetap berada pada batas yang tidak
melampaui wewenang pemerintah pusat yang menyerahkan urusan kepada
daerah. Secara etimologis, otonomi daerah berasal dari bahasa latin autos
artinya sendiri dan nomos artinya aturan. Pendapat lain memberi arti otonomi
sebagai zel welgeving atau pengundangan sendiri, mengatur dan memerintah
sendiri.
S. Pamudji menyebutkan bahwa otonomi daerah dalam pengertiannya
lebih cenderung pada pendekatan politik, yaitu keterbatasan luas wilayah,
pengelompokan etnis, jumlah penduduk dan lebih potensi sumber daya pada
daerah kabupaten/kota telah menempatkannya sebagai suatu lingkungan
pemerintahan yang secara mutlak tidak memiliki potensi separatis dan tidak
membuka peluang bagi berkembangnya federalisme.
Perkembangan otonomi yang secara bertahap, mengarah pada
kemandirian dan peningkatan kualitas partisipasi politik masyarakat, akan
dapat tetap terkendali di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, sehingga masalah otonomi mempunyai makna kebebasan dan
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan.
Pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
commit to user
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa daerah berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memberikan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada
daerah. Hal tersebut diperkuat dengan Ketetapan MPR RI Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa dasar pembentukan dan pengakuan bagi
daerah otonom, yaitu satuan pemerintahan territorial lebih rendah dari negara
mempunyai hak mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu sebagai
urusan rumah tangganya (straatrehtelijke decentralisatie). Berdasarkan Pasal
18 beserta paham yang terkandung di dalamnya, maka penjelasan yang
memuat keterangan atau bersifat daerah administratif belaka, merupakan
sesuatu yang berlebihan. Menyadari makna dan maksud dari Pasal 18, maka
semua Undang-Undang tentang atau berkaitan dengan pemerintahan daerah
hanya mengatur mengenai pemerintahan otonomi/daerah otonom.
Mengacu ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan
yang dalam penyelenggaraan pemerintah menganut asas desentralisasi dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan daerah menyelenggarakan otonomi
landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan kewenangan yang
luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah.
Sebagai realisasi Pasal 18 UUD 1945, maka dalam Sidang Umum
Majelis Permusyaratan Rakyat pada tanggal 7 Mei 1999 telah membentuk
Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
Yang Berkeadilan Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam
Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketetapan MPR Nomor
XV/MPR/1998 sebagaimana dimaksud lebih lanjut dalam Undang-Undang
Nomor 22Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan lembaran Negara Nomor 3839) juncto
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan
dasar hukum dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 38, Tambahan lembaran Negara Nomor 3037) yang tidak sesuai
lagi dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah dan perkembangan
keadaan.
Sebagaimana diketahui prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan
otonomi daerah adalah dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan
yang tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam membina kestabilan politik
serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara pemerintahan pusat
dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan
otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab yang dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersarna-sama
dengan asas dekonsentrasi.
Memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada
masa lampau yang meganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban dari
commit to user
Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemberian otonomi kepada daerah kabupaten dan
daerah kota berdasarkan kepada asas desentralisasi dalam wujud otonomi
yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Kewenangan otonomi luas dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah keleluasaan
daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan
semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang
utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Makna otonomi nyata
seperti tersebut dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara
nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab
dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam tugas dan
kewajiban yang harus di pikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi daerah, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta dalam rangka menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagir Manan menyebutkan bahwa penyelenggaraan negara
mempunyai peranan penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa,
Tahun 1995 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam
pemerintahan dan hidupnya negara adalah semangat penyelenggaraan negara
tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal sehingga
penyelenggaraan negara tidak dapat berjalan semestinya. Hal ini terjadi
selama hampir 33 (tiga puluh tiga) tahun yaitu adanya pemusatan kekuasaan,
wewenang Presiden sebagai mandataris MPR dalam pemerintahan Orde Baru
yang non demokratis. Pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab
tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang
otonomi dan moneter yaitu telah terjadinya penyelenggaraan negara yang
menguntungkan kelompok tertentu yang memberi peluang tumbuhnya
korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi, kolusi dan nepotisme itu tidak hanya
dilakukan oleh penyelenggara negara saja, tetapi antar penyelenggara negara
dengan pihak lain, seperti keluarga kroni-kroninya dan para penguasa
sehingga merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang
akhirnya akan membahayakan negara.
Dari tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, misi dan persepsi
dari seluruh penyelenggaraan negara. Kesamaan visi, misi dan persepsi
tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki
terwujudnya penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan fungsi
dengan penuh tanggung jawab yang dilaksanakan secara efektif dan efisien
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam
Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan otonomi Daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk terselenggaranya negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan
nepotisme sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan MPR Republik
Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan otonomi Daerah,
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang
Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka
commit to user
langsung dengan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, kolusi dan
nepotisme terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
pejabat lain yang memiliki fungsi strategis. Dalam kaitannya dengan tujuan
tersebut, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara Yang Bersih dan bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme pada tanggal 18 Mei 1999 (Lembaran negara Tahun 1999 Nomor
75 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851). Adapun sasaran pokok dalam
Undang-Undang tersebut adalah para penyelenggara negara yang meliputi
pejabat negara dan/atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis.
Undang-Undang tersebut mengatur pula kewajiban para penyelenggara
negara antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaan sebelum
dan setelah menjabat. Sedangkan ketentuan sanksi dalam Undang-Undang
tersebut berlaku bagi penyelenggara negara, masyarakat dan komisi pemeriksa
sebagai upaya preventif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas
diatasinya asas-asas umum penyelenggaraan negara, hak dan kewajiban
penyelenggara negara dan ketentuan lain, sehingga dapat ditentukan
memperkuat kelembagaan, moralitas, individu dan sosial.
Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan. Asas desentralisasi
secara utuh dan bulat dilaksanakan di kabupaten dan kota. Ketentuan asas
desentralisasi di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat dilaksanakan
sesuai dengan Pasal 1 huruf d dan e Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Daerah adalah penyelenggara
pemerintahan daerah otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut
asas desentralisasi, sedangkan asas desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintah oleh pemerintah daerah kepada daerah otonom dalam
Dapat dilihat bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan
di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pada
masyarakat, serta untuk meningkatkan stabilitas politik tampak adanya
keserasian antara kepentingan-kepentingan teknis administratif dengan
kepentingan-kepentingan politik yang melekat pada otonomi daerah. Otonomi
daerah memberi wewenang daerah untuk mengatur daerahnya berdasarkan
prakarsa sendiri yang ditetapkan atas dasar aspirasi masyarakat daerah yang
bersangkutan.
Atas dasar pemikiran tentang otonomi yang luas, nyata dan
bertanggungjawab, maka prinsip-prinsip otonomi daerah yang terdapat dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah
terdapat 8 (delapan) yaitu :
a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah;
b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggungjawab;
c) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan
otonomi terbatas;
d) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara,
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah;
e) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah otonom, dan karenanya daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi
wilayah administratif. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang
dibuat oleh pihak pemerintah atau pihak lain seperti badan otorita kawasan
pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industrri, kawasan perkebunan,
kawasan pertambangan, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku
commit to user
f) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan
maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan;
g) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur;
h) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari
pemerintahan dan kepala daerah, tetapi juga pemerintah dan daerah kepada
desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Prinsip otonomi yang seluas-luasnya memberikan arti bahwa daerah
diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat yaitu politik luar
negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta
agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab berarti identik
dengan adanya suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan,
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya
yang telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya
harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi
daerah yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dan tujuan
nasional.
Sebagai bagian dari salah satu penyelenggaraan pemerintahan daerah,
Pemerintah Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat dalam penyelenggaraan
dengan menerbitkan Keputusan Bupati Kuningan Nomor:
430/KPTS.213-DISPARBUD/209 tanggal 7 Juli 2009 tentang Penunjukkan Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan sebagai Pengelola Objek dan Daya
Tarik Wisata (OTDW) Talagaremis, Paniis, Bumi Perkemahan dan Jalur
Pendakian Palutungan, Bumi Perkemahan dan Jalur Pendakian Cibunar,
Balongdalem, dan Bumi Perkemahan Cibeureum Dalam Kabupaten
Kuningan.
4. Organisasi Pemerintah Daerah
Mengingat negara adalah suatu organisasi raksasa yang juga harus
tunduk pada falsafah dan mekanisme organisasi, maka merupakan
konsekuensi logis apabila penataan organisasi negara dibagi dalam
tingkatan-tingkatan sesuai dengan besar kecilnya organisasi tersebut. (BN.
Marbun, 1991 : 6). Dengan meninjau pada Undang-Undang Dasar 1945 dan
sistem ketatanegaraan Indonesia, digambarkan struktur pola organisasi
pemerintah daerah yang dalam banyak hal merupakan penjabaran dari struktur
organisasi negara Republik Indonesia. Pemerintah daerah adalah suatu
keharusan dalam struktur negara Republik Indonesia.
Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Secara umum perangkat
daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan
koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat; unsur pendukung tugas
kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah; serta unsur
pelaksana, daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah. Dasar utama
penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah urusan
pemerintahan yang perlu ditangani.
Besaran organisasi perangkat dacrah sekurang-kurangnya
mempertimbangkan faktor kemampuan, keuangan; kebutuhan daerah; cakupan
tugas meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dari banyaknya
commit to user
penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani;
sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan
organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama
atau seragam.
a. Kepala daerah
Kedudukan dan peran kepala daerah sangat strategis dalam sistem
pemerintahan sehingga dengan kepemimpinan yang efektif kepala daerah
diharapkan dapat menerapkan dan menyesuaikan dengan paradigma baru
otonomi daerah. Paradigma baru otonomi daerah harus diterjemahkan
kepala daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan
sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat, karena
otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan suatu instrumen untuk
mencapai tujuan (J. Kaloh, 2003: 15). Unwk mewujudkan tujuan tersebut,
tugas dan fungsi kepala daerah, yang apabila diidentifikasi terdapat 2 (dua)
kriteria tugas yaitu tugas administrasi manajerial dan tugas manajer publik.
Tugas administrasi managerial yaitu menggerakkan, mengarahkan,
mengendalikan, dan mengawasi jalannya organisasi ke arah pencapaian
tujuan, sedangkan tugas manajer publik yaitu menggerakkan partisipasi
masyarakat, membimbing, dan membina kehidupan masyarakat sehingga
masyarakat ikut serta secara aktif dalam pembangunan. Di samping itu,
juga sebagai pelindung warga masyarakat, menjaga keselarasan dan
keseimbangan kepentingan seluruh lapisan masyarakat (J. Kaloh, 2003 ;
47 - 48).
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:
1) memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD,
2) mengajukan rancangan Perda;
3) menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
4) menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada
5) men