• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Lebak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Lebak"

Copied!
578
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di

Kabupaten Lebak

Arief Rahman Susila

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

ARIEF RAHMAN SUSILA. Poverty Distribution Analysis and The Factors Causing Poverty in Lebak Regency. Under direction of ERNAN RUSTIADI and BABA BARUS

The problem of this study comes from the current issues related to the poverty, unemployment, inadequate quality of public services and the gap between regions due to the implementation of decentralization and regional autonomy. Structural imbalance is one of the major factors which influence the gap between the province and the new districts due to the economic activity which rely on specific areas such as the primary sector and the traditional agriculture; the effect of resource limitations on the rates of unemployment and poverty; the impact of minimum access to health facilities and education on human development index; the impact of insufficient infrastructure due to insufficient budgetary allocation on the quality of infrastructure. Some important efforts are undertaken to raise the economic growth rate which in turn to improve the welfare and the economy. The study aims to ( 1) analyze the pattern of spatial distribution of poverty in Lebak, (2) analyze the causes of poverty in Lebak, and (3) analyze the local government policies for poverty alleviation. Spatial Autocorrelation (Moran and Geary Indexs), descriptive of visual-spatial analysis, visual-spatial regression, and descriptive analysis are undertaken. The results shows that the population poverty distribution and the poverty density tend to form clustered patterns (poverty pockets); and the poverty in village, number of productive couples, distance to population concentrations, number of farmers, distance to vocational education facilities, distance to the market, distance to the industry areas as well as the distance to the areas of concentration and topography. Based from the visual spatial analysis, that shows the government program to decreased of the pockets of poverty to the local communities not to through the regional policies, with the priority of the government policy are the second ones (J3 K3, J3 K4, J4 K3). While for the population poverty distribution and the poverty density has been to priority of the government in Lebak Regency.

(3)

RINGKASAN

ARIEF RAHMAN SUSILA. Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Lebak. Dibawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan BABA BARUS.

Pada saat ini salah satu permasalahan utama yang harus dihadapi oleh Kabupaten Lebak adalah mengenai isu kemiskinan. Persebaran kepadatan penduduk miskin wilayah di Lebak didominasi oleh Lebak bagian Utara. Persebaran kemiskinan ini sering mengelompok membentuk suatu kantong kemiskinan. Persebaran dari kantong kemiskinan yang terjadi di desa-desa di Kabupaten Lebak disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang bisa menjadi pemicu munculnya kantong kemiskinan adalah rendahnya ketersediaan aset dan ketersediaan sarana prasarana pendukung, serta kualitas SDM yang buruk.

Terdapat beberapa hal yang cukup menarik dalam pembangunan sumber daya manusia di tingkat Kabupaten Lebak. Pertama, Kabupaten Lebak ini adalah suatu daerah yang masih terbelakang dengan segala permasalahannya, kedua, potensi yang ada berasal dari sektor pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan hingga industri yang belum dimanfaatkan secara masksimal. Selain itu, jarak kabupaten yang tidak terlalu jauh dengan pusat pemerintahan negara, Jakarta. Selain itu, masalah yang muncul adalah kualitas sumber daya manusia Kabupaten Lebak tertinggal jika dibandingkan dengan angka IPM antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Masalah lainnya adalah terjadinya disparitas pembangunan modal manusia antar wilayah di Kabupaten Lebak. Disparitas terlihat dari rendahnya implementasi pelayanan publik dari infrastruktur. Kurangnya pelayanan publik baik berupa infrastruktur serta tenaga pengajar dan kesehatan tersebut menyebabkan proses pembangunan human capital pun berjalan lambat. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dalam hal prioritas kebijakan yang akan diambil.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis pola spasial sebaran kemiskinan di Kabupaten Lebak, (2) Menganalisis faktor penyebab kemiskinan di Kabupaten Lebak, (3) Menganalisis kebijakan pemerintah daerah untuk pengentasan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan beberapa metode, yaitu: Analisis Visual Spasial Deskriptif dengan menggunakan GIS (Geographic Information System), Spatial Autocorrelation Analysis (Moran dan Geary Index), regresi spasial, dan analisis deskriptif.

(4)

sebab mengapa belum tersentuh oleh pembangunan bisa karena letak geografis yang menyulitkan, atau karena belum ditemui potensi ekonomi yang bisa dikembangkan sehingga kurang menarik bagi investasi. Selain itu, pada tahun 2003 ini juga muncul Daerah Pinggiran Kota (Sub-urban Area). Ini disebabkan karena kemunculan desa miskin tersebut masih dekat dengan pusat kegiatan, yaitu Rangkasbitung. Pada tahun 2006 ini muncul 2 tipe kantong kemiskinan.

Pertama, kantong kemiskinan dengan sifat Daerah Kumuh Perkotaan (Urban Slum), yaitu kantong kemiskinan yang terbentuk karena kaum migran. Tipologi kemiskinan daerah perkotaan, golongan miskin biasanya menunjuk pada rumah tangga yang mengandalkan pendapatan dari buruh dan sektor informal. Kedua, Daerah Perdesaan (Rural Area), yaitu daerah yang secara relatif daerah perdesaan lebih miskin dari daerah perkotaan. Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan daerah perdesaan di sini adalah daerah yang basis perekonomiannya dari sektor pertanian. Kemudian dari hasil analisis regresi spasial menunjukkan faktor yang berpengaruh sebagai penyebab kemiskinan adalah jarak, pasangan usia subur, kedekatan dengan konsentrasi penduduk, jumlah petani, jarak SMK, kedekatan dengan konsentrasi jarak pasar, kedekatan dengan konsentrasi jumlah industri, kedekatan dengan konsentrasi wilayah luas, dan topografi.

Berdasarkan klasifikasi mengenai prioritas kebijakan dapat diketahui bahwa mayoritas desa di wilayah Kabupaten Lebak masuk dalam prioritas 4 dalam usaha penanggulangan kemiskinan, yaitu kelompok J1 K2, J1 K3, J1 K4, J2 K1, J3 K1, J4 K1. Kemudian disusul oleh prioritas 3 dalam usaha penanggulangan kemiskinan, yaitu kelompok J2 K2, J2 K3, J2 K4, J3 K2, J4 K2. Klasifikasi prioritas selanjutnya adalah desa yang masuk dalam kelompok prioritas 2, yaitu kelompok J3 K3, J3 K4, J4 K3. Prioritas yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah prioritas 2. Akan tetapi dalam kenyatannya, kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah belum mempertimbangkan unsur kewilayahan dalam usaha penanganan masalah kemiskinan. Sedangkan untuk faktor yang menjadi penyebab nyata bagi munculnya kemiskinan di Kabupaten Lebak sudah menjadi prioritas dari pemerintah Kabupaten Lebak.

Dengan terlihatnya kantong kemiskinan dan faktor yang menjadi penyebab nyata dari terbentuknya kantong kemiskinan tersebut, maka diharapkan pemerintah mampu membuat suatu kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat lokal. Dengan didasarkan pada hasil analisis visual spasial deskriptif dan autokorelasi spasial, maka jenis kebijakan yang dianggap tepat adalah kebijakan bersifat kewilayahan, yaitu dengan memberlakukan penanganan kemiskinan secara kewilayahan berdasarkan sebaran spasial tingkat kemiskinan yang terjadi di masing-masing daerah.

(5)

Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di

Kabupaten Lebak

Arief Rahman Susila

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Lebak

Nama : Arief Rahman Susila

NRP : H152080121

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr

(7)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Lebak adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,

(8)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang – undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi pemikiran dan perenungan intelektual penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul: “Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Lebak”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan yang indah ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik selama proses studi maupun dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. Kepada Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah menyediakan waktu, memberi arahan dan bimbingan sejak proses penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini.

Penghargaan dan terima kasih penulis tidak lupa penulis sampaikan kepada: a. Rektor Universitas Terbuka, Prof. Ir. Tian Belawati, M.Ed.,Ph.D atas

kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB).

b. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka, Drs. Yun Iswanto, M.Si atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB).

c. Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Terbuka, Drs. Suhartono, M.Si dan Ake Wihadanto, SE., MT (Ketua Jurusan EP waktu penulis mendapat tugas mengikuti Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB).

(10)

e. Kepada Dekan SPs IPB, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr serta para dosen yang pernah mengasuh mata kuliah selama penulis menempuh studi di PWD-IPB yakni Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda. MS, Prof. Dr. Hermanto Siregar, M. Sc, Prof. Dr. Akhmad Fauzi, M.Sc, Dr. Setia Hadi, MS, Dr. D. S. Priyarsono, M. Sc, Dr. Yusman H. Syaukat, M. Sc, Dr. Lala M. Kolopaking, MS, Dr. Arya Hadi Darmawan, M. Sc, Dr. Sunsun Saefulhakim, M. Agr, Dr. Deddy Budiman Hakim, M. Sc, Ir. Sahat Simanjuntak, M. Sc, penulis berterima kasih atas bekal ilmu yang telah Anda berikan.

f. Kepada rekan di Fakultas Ekonomi, khususnya jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas TerbuKa atas segala dukungannya.

g. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa S2 (Adrianus, Michael, Sutia Budi, Arafat, Said Mala, Eka, dan Isnina) serta rekan S3 (Pak Adit, Pak Rudi, Kang Asep, Bu Andi, Pak Hanan, Pak Steve, Bu Rika) dan alumni PWD atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini.

h. Terakhir ucapan terima kasih disampaikan kepada Mbak Agi, Mbak Emma, dan Mbak Dian atas segala bantuan yang telah diberikan.

Akhirnya rasa syukur dan kebanggaan yang tidak terhingga penulis persembahkan kepada kedua orang tua, Bapak Chabibul Wadud dan Ibu Istichanah dan kepada papa mama, Sudibyo Soetomo dan Zulaimah atas doa, pengorbanan dan cinta kasih. Kepada istri tercinta Vika Ariyani yang telah bekerja keras membantu penulis dengan segala perhatian dan cintanya, saudaraku (Desi dan Sari), saudara ipar (Dhani dan Ice) yang memberi dukungan doa. Dengan kerendahan hati, penulis memohon saran dan kritik dari semua pihak demi perbaikan dan kemanfaatan karya ilmiah ini.

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 13 Februari 1982 dari pasangan Bapak. Chabibul Wadud dan Ibu Istichanah. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara, dan telah menikah dengan Vika Ariyani.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Kegunaan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Konsep Otonomi Daerah ... 13

2.2. Pengertian Kemiskinan ... 14

2.3. Kemiskinan Komunitas dan Wilayah ... 17

2.4. Faktor Penyebab Kemiskinan ... 18

2.5. Jenis-Jenis Kemiskinan ... 20

2.6. Konsep-Konsep Kemiskinan ... 22

2.7. Pembentukan Daerah Tertinggal ... 23

2.8. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan ... 26

2.9. Penyebaran Kantong-Kantong Kemiskinan ... 28

2.10. Kebijakan Pengembangan Wilayah ... 32

2.11. Konsep-Konsep Statistika Dasar ... 34

III. METODE PENELITIAN ... 39

3.1. Lokasi Penelitian ... 39

3.2. Data dan Sumber Data ... 40

3.3. Batasan Penelitian ... 40

3.4. Definisi Operasional Variabel ... 41

3.5. Kerangka Pemikiran ... 42

3.6. Hipotesis Penelitian ... 46

(13)

a. Analisis Pola Spasial Sebaran Kemiskinan ... 47

1. Indeks Moran ... 47

2. Indeks Geary ... 48

b. Analisis Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan ... 50

1. Regresi Spasial ... 50

2. Uji Multikolinearitas ... 51

c. Sistem Informasi Geografis ... 52

d. Analisis Deskriptif Kebijakan Pemerintah untuk Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Lebak ... 55

IV. GAMBARAN UMUM ... 57

4.1. Kondisi Geografi dan Iklim ... 57

4.2. Kondisi Demografi ... 61

4.3. Infrastruktur Umum ... 63

4.3. Potret Kemiskinan Lebak ... 71

4.4. Karakteristik Ekonomi ... 72

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75

5.1. Analisis Pola Spasial Sebaran Kemiskinan ... 75

5.1.1. Indeks Moran ... 75

5.1.2. Indeks Geary ... 76

5.1.3. Analisis Visual Spasial Deskriptif ... 77

5.2. Faktor Faktor Penyebab Kemiskinan ... 92

5.2.1. Analisis Regresi Spasial ... 92

5.2.2. Uji Multikolinearitas ... 93

5.2.3. Interpretasi Model: Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan ... 94

5.3. Kebijakan Pemerintah untuk Pengentasan Kemiskinan ... 100

5.3.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Wilayah………. 104

5.3.2. Kendala yang Dihadapi……….. . 111

(14)

VI. PENUTUP

6.1. Kesimpulan ……… ... 115

6.2. Saran……….. 115

DAFTAR PUSTAKA……… . 117

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1.1 1.2 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10

Perkembangan Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Lamanya Sekolah Kabupaten Lebak dan Rata-Rata Propinsi Banten Tahun 1999/2008………. Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas menurut Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten/Kota di Banten Tahun 2008…………

Definisi Operasional Variabel………. Matriks Analisis Penelitian ... Pembagian Kelas Variabel……….. Komposisi Pembagian Warna Prioritas Kebijakan………... Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Lebak Tahun 2008 ... Jarak Ibu Kota Kecamatan ke Kota Rangkasbitung ... Jumlah Penduduk Kabupaten Lebak Dirinci Menurut Kecamatan Tahun 2004-2008 ... Jumlah Penduduk Kabupaten Lebak Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio Tahun 2004-2009 ... Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Lebak Menurut Kecamatan Tahun 2004-2008……….

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) ... Jumlah Ruas Jalan, Panjang, dan Kondisi Jalan Kabupaten di Kabupaten Lebak Tahun 2004-2008………. Jumlah Ruas Jalan, Panjang, dan Kondisi Jalan Propinsi di Kabupaten Lebak Tahun 2004-2008………. Jumlah Ruas Jalan, Panjang, dan Kondisi Jalan Nasional di Kabupaten Lebak Tahun 2004-2008………. Jumlah Penanganan Jalan Poros Desa (HMD) di Kabupaten Lebak Tahun 2007-2009……….

(16)

4.11 4.12 4.13 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12

Cakupan Air Bersih Per Kecamatan di Kabupaten Lebak Tahun 2008………. Rasio Elektrifikasi Per Kecamatan di Kabupaten Lebak Tahun 2008………. PDRB Atas Dasar Harga Konstan di Kabupaten Lebak Tahun 2004/2008 ... Hasil Perhitungan Indeks Moran Tahun 2000, 2003, dan 2006 ... Hasil Perhitungan Indeks Geary Tahun 2000, 2003, dan 2006 ... Pembagian Kelas Variabel ... Klasifikasi Desa di Kabupaten Lebak Berdasarkan Klasifikasi Kelas Tahun 2000 ... Klasifikasi Desa di Kabupaten Lebak Berdasarkan Klasifikasi Kelas Tahun 2003 ... Klasifikasi Desa di Kabupaten Lebak Berdasarkan Klasifikasi Kelas Tahun 2006 ... Hasil Koefisien Determinasi ... Hasil Uji Signifikasi Simultan (Uji Statistik F) ... Hasil Estimasi Peranan Variabel ... Sistem Perwilayahan Kabupaten Lebak ... Kendala Pengembangan Kabupaten Lebak ... Pencapaian Pembangunan Sarana Prasarana ...

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 4.1 4.2 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7

Jumlah Penduduk Miskin Per Kabupaten/Kota Tahun 2002-2008

Laju Pertumbuhan Ekonomi Lebak 2001-2008 ... Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 1008………

Proses Kebijakan Publik dan Proses Analisis Kebijakan Publik ... Hubungan Linear Permasalahan ... Hubungan Spasial Antar Lokasi Pengamatan………... Peta Administrasi Kabupaten Lebak ... Kerangka Pemikiran Operasional ... Matriks Pembagian Kelas Kemiskinan Desa Berdasarkan Persentase Jumlah KK Miskin dan Kepadatan Penduduk KK Miskin……….

Sektor Penyumbang Jumlah Tenaga Kerja Terbesar Kabupaten Lebak ... Potret Kemiskinan Lebak ... Peta Jumlah KK Miskin (jiwa)………...

Peta Sebaran Persentase Jumlah KK Miskin (%) ... Peta Sebaran Kepadatan Penduduk KKMiskin (jiwa/km2) ... Matriks Hasil Pembagian Kelas Kemiskinan Desa Berdasarkan Persentase Jumlah KK Miskin dan Kepadatan Penduduk KK Miskin……….. Peta Klasifikasi Sebaran Persentase Jumlah KK Miskin dan Kepadatan Penduduk KK Miskin ... Peta Klasifikasi Prioritas Kebijakan………. Jarak Desa ke Pusat Pemerintahan ...

(18)

5.8 5.9 5.10

Topografi Kabupaten Lebak ... Sebaran Jumlah Industri ... Luas Wilayah Desa ...

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lampiran 1. Uji Normalitas Variabel ……… 121

a. Gambar 1. Variabel Jumlah KK Miskin Tahun 2000 121

b. Gambar 2. Variabel Jumlah KK Miskin Tahun 2003 121

c. Gambar 3. Variabel Jumlah KK Miskin Tahun 2006 122

d. Gambar 7. Variabel Persentase Jumlah KK Miskin Tahun 2000……… 122

e. Gambar 8. Variabel Persentase Jumlah KK Miskin Tahun 2003……… 123

f. Gambar 9. Variabel Persentase Jumlah KK Miskin Tahun 2006……… 123

g. Gambar 4. Variabel Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin Tahun 2000……… 124

h. Gambar 5. Variabel Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin Tahun 2003……… 124

i. Gambar 6. Variabel Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin Tahun 2006……… 125

2. Lampiran 2. Tabel Klasifikasi Kelas Kebijakan……… 126

a. Tahun 2000………. 126

b. Tahun 2003………. 134

c. Tahun 2006……… 142

3. Lampiran 3. Olahan Data Regresi Spasial……… 150

4. Lampiran 4. Contoh Olahan Indeks Geary……… 153

5. Lampiran 5. Analisis Visual Spasial dengan Metode Defined Interval 156

a. Gambar 10. Persentase Jumlah KK Miskin... 156

b. Gambar 11. Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin……. 157

c. Gambar 12. Klasifikasi Persentase Jumlah KK Miskin dan Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin…… 158

6. Lampiran 6. Analisis Visual Spasial dengan Metode Equal Interval 159

(20)

b. Gambar 14. Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin……. 160

c. Gambar 15. Klasifikasi Persentase Jumlah KK Miskin dan Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin……… 161

7. Lampiran 7. Analisis Visual Spasial dengan Metode Geometrical Interval……… 162

a. Gambar 16. Persentase Jumlah KK Miskin….. 162

b. Gambar 17. Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin……. 163

c. Gambar 18. Klasifikasi Persentase Jumlah KK Miskin dan Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin………… 164

8. Lampiran 8. Analisis Visual Spasial dengan Metode Quantille 165

a. Gambar 19. Persentase Jumlah KK Miskin….. 165

b. Gambar 20. Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin……. 166

c. Gambar 21. Klasifikasi Persentase Jumlah KK Miskin dan Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin……… 167

9. Lampiran 9. Analisis Visual Spasial dengan Metode Standard Deviation……….. 168

a. Gambar 22. Persentase Jumlah KK Miskin……… 168

b. Gambar 23. Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin……. 169

c. Gambar 24. Klasifikasi Persentase Jumlah KK Miskin dan Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin………… 170

10.Lampiran 10. Analisis Visual Spasial dengan Metode Natural Break……….. 171

a. Gambar 22. Persentase Jumlah KK Miskin….. 171

b. Gambar 23. Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin……. 172

(21)

1.1. Latar Belakang

Pada saat ini bangsa Indonesia harus menghadapi perubahan internal dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dengan berbagai masalah yang belum tuntas terpecahkan seperti kemiskinan, pengangguran, rendahnya mutu pelayanan publik dan kesenjangan antardaerah. Karakteristik dari pelaksanaan otonomi daerah adalah (1) pembagian kewenangan dan sumber daya yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, (2) partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi semakin besar, (3) keputusan yang diambil didasarkan pada kesepakatan (konformitas), dan (4) keanekaragaman daerah akan semakin menonjol (local-specific)(Rusdiyanto, dkk. 2007).

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Namun, adanya latar belakang demografi, geografi, infrastruktur dan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, maka salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah keberagaman daerah dalam hal kinerja pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan antardaerah, timbulnya konflik dan kemungkinan disintegrasi bangsa.

(22)

penduduk. Semua jenis program pembangunan tentunya diintegrasikan dan akan dibawa ke dalam suatu tujuan pembangunan, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk. Oleh karena itu informasi kependudukan, dengan berbagai karakteristik, kecenderungan dan diferensiasinya menjadi semakin penting. Menurut BPS (2007) bahwa penduduk miskin di Banten Selatan relatif tinggi dibandingkan dengan Banten Utara sehingga mengindikasikan bahwa pendapatan yang rendah di Banten Selatan dan berakibat daya beli masyarakat yang cukup rendah. Dalam Gambar 1.1. disajikan data persentase penduduk miskin antar kabupaten dan kota di Provinsi Banten.

Gambar 1.1. Jumlah Penduduk Miskin Per Kabupaten/Kota Tahun 2002-2008 (%) Sumber : Susenas, Tahun 2008

Jika dilihat dari Gambar 1.1. akan terlihat bahwa mulai dari tahun 2002 sampai tahun 2008 Kabupaten Lebak masih berada di golongan tinggi dalam hal jumlah penduduk miskin. Penurunan jumlah penduduk miskin paling signifikan terjadi antara tahun 2002 ke tahun 2004. Kemudian pada tahun 2005 sampai tahun 2007 terjadi kenaikan dalam hal jumlah penduduk miskin dengan loncatan yang sangat sifnifikan. Pada tahun 2008, tingkat kemiskinan penduduk miskin di Kabupaten Lebak berada pada posisi kedua di bawah Kabupaten Tangerang.

(23)

tersebut sesuai dengan kepedulian pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Menurut RPJMN Banten 2004-2009, sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2009 adalah menekan pertumbuhan penduduk dan jumlah pengangguran terbuka. Kondisi ini dirasakan sangat kontradiktif mengingat banyaknya perusahaan yang ada di kawasan Cilegon-Serang-Tangerang. Arah Kebijakan dalam RPJMD adalah a) menekan angka kemiskinan, (b) menciptakan kesempatan kerja, (c) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (d) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan (e) meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta (f) meningkatkan stabilitas keamanan daerah (RPJMN Banten 2004-2009).

Dalam RPJM Provinsi Banten tahun 2007-2012 salah satu program prioritas yaitu penanggulangan kemiskinan, untuk wilayah yang ada di Banten Selatan (Lebak dan Pandeglang) lebih besar persentase kemiskinan dari total persentase kemiskinan Provinsi Banten. Kabupaten Lebak semenjak awal krisis ekonomi sampai dengan tahun 2001 yang merupakan awal terbentuknya provinsi Banten memiliki persentase kemiskinan yang tinggi di antara kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Begitu juga dengan Kabupaten Pandeglang semenjak krisis sampai otonomi daerah tingkat kemiskinan cenderung perubahan tiap tahun tidak terlalu banyak berubah, sehingga dapat dikatakan berlakunya otonomi daerah belum menunjukkan arah yang semakin membaik bagi Banten Selatan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Banten Utara (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon) persentase kemiskinan berada di bawah rata-rata persentase penduduk miskin di Provinsi Banten kecuali Kabupaten Serang masih berada di atas rata-rata provinsi Banten, sedangkan yang perkembangannya relatif lebih maju, persentase penduduk miskin relatif lebih rendah terutama bagi Kota Cilegon.

(24)

ditimbulkan oleh krisis global pada pertengahan tahun 2008. Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Lebak masih mampu mempertahankan perekonomian di Kabupaten Lebak secara positif. Dalam Gambar 1.2. disajikan data mengenai LPE di Kabupaten Lebak:

Gambar 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Lebak (2001-2008) Sumber : Lebak dalam Angka, Tahun 2008

Dari Gambar 1.1 terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Lebak mengalami fase yang fluktuatif dari tahun 2001 sampai 2008. Penurunan tingkat LPE terparah terjadi pada tahun 2001-2002. Hal ini mungkin dikarenakan masih terjadi proses transisi dari pembentukan Propinsi Banten. Kemudian kenaikan yang cukup signifikan terjadi pada periode 2006-2007, dengan sektor pertanian masih menjadi penyumbang terbesar. Data penduduk sebagaimana data lainnya, sangat diperlukan dalam berbagai perencanaan dan evaluasi pembangunan, terutama setelah adanya pergeseran paradigma pembangunan yang tidak hanya bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata tetapi upaya meningkatkan kualitas SDM telah menjadi tumpuan dan tujuan pembangunan itu sendiri.

(25)

Khusus untuk Kabupaten Lebak, permasalahan demografi yang dihadapi yaitu berkaitan dengan jumlah penduduk miskin yang masih menunjukkan angka tinggi. Pada tahun 2005 tercatat proporsi penduduk miskin dari total keluarga di Kabupaten Lebak sebesar 25% dengan jumlah keluarga miskin tahun 2005 sebanyak 146.490 KK, dengan kecenderungan meningkat pada tahun 2006. Permasalahan yang lain adalah kepadatan penduduk yang tidak merata akibat dari persebaran penduduk yang tidak merata di semua wilayah. Kepadatan penduduk tinggi terdapat di Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon serta di Kawasan Pariwisata Pantai Carita. Sementara di wilayah lain, kepadatan penduduk relatif rendah. Jumlah penduduk Propinsi Banten pada tahun 2001 berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2001 adalah 8.258.055 jiwa. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat menyebabkan permasalahan kemiskinan di Kabupaten Lebak menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Masalah kemiskinan bersifat multidimensi, bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan tetapi kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin.

Oleh karena itu, masalah kemiskinan menyangkut kegagalan dalam pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Suatu daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi sangat rentan terhadap guncangan ekonomi yang sedang terjadi. Kabupaten Lebak adalah daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Banten. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tujuan penting yang akan dicapai untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan antar daerah adalah bukan untuk memeratakan pembangunan fisik di setiap daerah, tetapi yang paling utama adalah pengurangan kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat serta kemiskinan antar daerah.

(26)

maupun non ekonomi. Sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia, besaran keluarga miskin tersebut dirasa wajar jika dibandingkan dengan data akhir tahun 2003 masih terdapat 190 desa tertinggal dari 300 desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Lebak, atau 63,33% dari desa/kelurahan di Kabupaten Lebak adalah desa tertinggal. Sedangkan untuk sebaran kepadatan penduduk miskin wilayah di Lebak Utara mendominasi persebarannya. Persebaran kemiskinan ini mengelompok membentuk suatu kantong kemiskinan. Persebaran dari kantong kemiskinan yang terjadi di desa-desa di Kabupaten Lebak disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang bisa menjadi pemicu munculnya kantong kemiskinan adalah ketersediaan aset dan ketersediaan sarana prasarana pendukung, serta kualitas SDM yang buruk.

Terdapat beberapa hal yang cukup menarik dalam pembangunan sumber daya manusia di tingkat Kabupaten Lebak. Pertama, secara geografis Kabupaten Lebak ini berada dalam zona strategis, baik dalam sektor pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan hingga industri. Selain itu, Jarak kabupaten hanya 70 km dengan pusat pemerintahan negara, Jakarta. Namun yang terjadi justru kualitas sumber daya manusia Kabupaten Lebak tertinggal jauh jika dibandingkan dengan angka IPM antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Rendahnya IPM tersebut mencerminkan rendahnya kualitas sumber daya manusia Kabupaten Lebak. Secara umum, terjadi disparitas kualitas sumber daya manusia antar kabupaten di Provinsi Banten, hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.3.

Gambar 1.3. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2008

Sumber: Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2009

(27)

ada di Propinsi Banten. Tingkat IPM Kabupaten Lebak hanya sebesar 67,10. Masih jauh jika dibandingkan dengan IPM Kabupaten Tangerang sebesar 70,73. Walaupun Kabupaten Tangerang adalah kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbesar yang ada di Propinsi Banten. Kabupaten yang mempunyai nilai IPM mendekati nilai Kabupaten Lebak adalah Kabupaten Pandeglang disusul Kabupaten Serang. Pada tahun 2008, Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kabupaten Lebak adalah 63,11 tahun. Angka tersebut masih di bawah rata-rata Provinsi Banten yang telah mencapai 64,45 tahun (Dinkes Kab. Lebak, 2009). Dengan kata lain, kualitas hidup sumber daya manusia di Kabupaten Lebak masih di bawah kabupaten/kota lain di Provinsi Banten.

Berdasarkan hasil pendataan SUSENAS (2009), persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis di Kabupaten Lebak adalah 94,20 persen, sedangkan rata-rata provinsi Banten sebesar 95,68 (Bappeda Kab. Lebak, 2009). Pada indikator rata-rata lama sekolah, Kabupaten Lebak masih tergolong rendah yakni hanya 6,3 tahun pada tahun 2008, atau setara dengan lulus SD. Pada tingkat Provinsi Banten, rata-rata lama sekolah telah mencapai 8,2 tahun atau hampir setara dengan kelas dua SLTP. Tingginya rata-rata lama sekolah di tingkat provinsi ini disumbangkan oleh daerah lain yang jauh lebih maju, khususnya daerah perkotaan seperti Kota Cilegon dan Kab/Kota Tangerang. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1 yang menerangkan informasi perbandingan lama sekolah antara Lebak dengan Banten.

Tabel.1.1. Perkembangan Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lamanya Sekolah Kabupaten Lebak dan Rata-rata Provinsi Banten Tahun 1999-2008 Tahun Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama Sekolah (tahun)

Kab. Lebak Prov. Banten Kab. Lebak Prov. Banten 1999 90.80 91.50 5.50 6.60 2000 91.03 92.14 5.94 6.80 2001 91.30 92.47 6.22 7.10 2002 90.19 93.84 5.30 7.90 2003 91.40 94.20 5.50 8.10 2004 93.90 94.70 6.10 8.50 2005 94.10 95.60 6.20 8.00 2006 94.10 95.60 6.20 8.10 2007

2008

94.10 94.20

95.60 95.68

6.20 6.30

(28)

Selain itu pada tahun 2007 jika melihat dari jumlah anak usia sekolah usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Lebak, jika dibandingkan dengan Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Banten, maka dapat diketahui bahwa Kabupaten Lebak masih berada pada posisi yang rendah.

Tabel 1.2. Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas menurut Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten/Kota di Banten

Kab/Kota Pendidikan yang Ditamatkan

< SD SD/Sederajat SLTP SLTA D I/II D III/Univ Total

Kab

Pandeglang 268. 891 (31,99%) 365. 212 (43,45%) 118. 806 (14,13%) 69. 146 (8,22 %) 5.485 (0,65 %) 13. 020 (1,55%) 840. 560 (100%) Lebak 402. 986

(43,28%) 386. 138 (41,47%) 91.532 (9,83 %) 41. 067 (4,41%) 5. 003 (0,54 %) 4. 258 (0,46 %) 930. 966 (100%) Tangerang 663. 337

(23,51%) 766.461 (27,16%) 545.884 (19,34%) 638. 976 (22,64 %) 18. 970 (0,67 %) 188. 324 (6,67%) 2.821.952 (100%) Serang 456. 150

(31,50%) 538.493 (37,19%) 248. 910 (17,19%) 170. 274 (11,76 %) 9. 508 (0,66%) 24. 826 (1,71 %) 1.448.161 (100%) Kota

Tangerang 178. 821 (14,44%) 242. 875 (19,62%) 277. 305 (22,40%) 423. 480 (34,20 %) 6. 625 (0,53%) 109. 061 (8,81 %) 1.238.167 (100%) Cilegon 51. 253

(18,63%) 68. 799 (25,01%) 64. 109 (23,31 %) 77. 097 (28,03%) 1.518 (0,55 %) 12.284 (4,47 %) 275. 060 (100%) Sumber: Banten dalam Angka, Tahun 2008

Berdasarkan data pada Tabel 1.2. diketetahui bahwa jika dibandingkan dengan wilayah lain yang ada di Propinsi Banten, Kabupaten Lebak masih dikategorikan sebagai daerah yang masih kurang dalam hal meluluskan pendidikan masyarakatnya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Kasus pendidikan yang ditamatkan dengan komposisi paling besar hanya sebatas lulusan < SD yaitu sebesar 43,28% dari total kelulusan dan SD Sederajat yaitu sebesar 41,47% dari total kelulusan. Faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa tingkat IPM Kabupaten Lebak jika dibandingkan dengan wilayah lain di Propinsi Banten masih rendah.

(29)

Kab. Lebak, 2009). Sebagian besar infrastruktur yang rusak berada di daerah Lebak bagian selatan dan tengah. Faktor lain yang menjadi penyebabnya kemiskinan di Kabupaten Lebak adalah aksesibilitas jalan kabupaten yang sangat buruk sehingga menyebabkan sulitnya akses ekonomi. Menurut penuturan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lebak (2009), dari keseluruhan jalan Kabupaten, hanya 20 persen saja yang layak pakai selebihnya rusak ringan hingga berat.

Untuk bisa meraih wilayah Lebak bagian selatan, masyarakat harus menempuh jarak sepanjang 150 km, karena harus melalui jalan putar jalur Kabupaten Pandeglang. Padahal jarak tempuh terjauh apabila melalui jalan Kabupaten Lebak adalah sepanjang 70 km. Besarnya ongkos perjalanan ekonomi ini secara tidak langsung menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Kurangnya pelayanan publik baik berupa infrastruktur serta tenaga pengajar dan kesehatan tersebut menyebabkan proses pembangunan human capital pun berjalan lambat. Terbukti bahwa sebagian besar penduduk usia sekolah di wilayah Lebak bagian selatan dan tengah adalah lulusan sekolah dasar yakni berkisar 80 persen. Penduduk usia sekolah yang berhasil menamatkan sekolah menengah hanya 5 persen. Jumlah penduduk yang berpendidikan sarjana pun masih bisa dihitung dengan jari. Selain itu juga ditambah dengan banyaknya kasus gizi buruk di wilayah Lebak Selatan dan Tengah, di tahun 2008 ditemukan sekitar 5.000 kasus gizi buruk. Fakta-fakta yang menunjukkan faktor pembentuk kantong kemiskinan ini dilatarbelakangi oleh dua faktor yang sangat menentukan, yakni rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat buruknya pelayanan publik. Lingkaran setan berupa buruknya pelayanan publik terhadap pembangunan sumber daya manusia atau human capital menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan akhirnya memunculkan atau meningkatkan kondisi kemiskinan di Kabupaten Lebak .

1.2. Perumusan Masalah

(30)

yang terjadi bisa didasarkan pada ketersediaan sarana dan prasarana pendukung, seperti akses jalan dan jembatan. Dimana jalan di Kabupaten Lebak dari tahun 2004-2008 kecenderungan yang terjadi adalah semakin panjang km yang mengalami kerusakan. Selain sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia yang ditunjukkan lewat nilai IPM, Kabupaten Lebak juga menempati urutan paling bawah. Sedangkan dari sisi kepemilikan aset, yaitu lahan pertanian belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Menurut Bappeda Kabupaten Lebak 2008, potensi potensi sawah tadah hujan baik yang bisa dikembangkan dan yang tidak bias dikembangkan adalah seluas 14.132 Ha dengan rincian : a) sawah yang bisa dikembangkan seluas 4.386 Ha, dan b) sawah yang tidak bisa dikembangkan seluas 9.746 Ha. Akibatnya adalah hasil yang diperoleh petani tidak maksimal.

Kawasan perdesaan sebagai basis utama dan bagian terbesar dalam wilayah Kabupaten Lebak, sangat membutuhkan percepatan pembangunan secara bertahap, proporsional dan berkelanjutan. Berbagai keterbatasan kapasitas dan ketertinggalan kondisi wilayah yang terdapat di perdesaan, senantiasa dihadapkan pada isu disparitas regional yang bersifat makro bahwa Kabupaten Lebak adalah salah satu dari 199 Daerah Tertinggal di Indonesia, yang sekaligus merupakan daerah terluas dalam wilayah Propinsi Banten. Hal ini tentu berimplikasi terhadap kebutuhan mendasar atas ketersediaan suatu sistem perencanaan pembangunan daerah yang dapat menjamin keseimbangan antar sektor dan regional, yang berorientasi kepada pembangunan perdesaan.

(31)

penanggulangannya menjadi suatu prioritas dalam pembangunan merupakan suatu hal yang sangat tepat.

Masalah terbesar yang sekarang dihadapi oleh Kabupaten Lebak adalah mengenai kemiskinan masyarakatnya. Banyak pendapat yang di keluarkan oleh paa tokoh ekonomi alas an mengukur kemiskinan. Justifikasi yang paling kuat adalah yang diberikan oleh Ravallion dalam Tono (2009) yang mengatakan bahwa “ a credible measure of poverty can be a powefull instrument for focusing the attention of policy makers on the living conditions of the poor (pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrumen yang tangguh bagi penitikberatan perhatian pengambil kebijakan pada kondisi hidup orang miskin)”.

(32)

Lebak tidak sama antar satu daerah dengan daerah lainnya maka dalam usaha penanggulangan kemiskinan perlu digali lebih dahulu untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi penyebab kemiskinan di daerah tersebut. Berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sejumlah program selama ini telah dilakukan pemerintah terutama didasari oleh prospektif ekonomi masyarakat setempat.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pola spasial sebaran kemiskinan di Kabupaten Lebak?

b. Faktor apa sajakah yang menjadi penyebab kemiskinan di Kabupaten Lebak?

c. Apakah kebijakan pemerintah daerah untuk pengentasan kemiskinan sudah melihat aspek kewilayahan dan faktor penyebab kemiskinan menjadi prioritas kebijakan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk :

a. Menganalisis pola spasial sebaran kemiskinan di Kabupaten Lebak. b. Menganalisis faktor penyebab kemiskinan di Kabupaten Lebak.

c. Menganalisis kebijakan pemerintah daerah untuk pengentasan kemiskinan sudah melihat aspek kewilayahan dan faktor penyebab kemiskinan menjadi prioritas kebijakan.

1.4. Kegunaan Penelitian

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Otonomi Daerah

Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka setiap daerah di Indonesia baik provinsi, maupun kabupaten dan kota diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pemerintahannya sehingga memberi peluang kepada daerah untuk lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan ini pada dasarnya merupakan upaya untuk membatasi kewenangan pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, karena pemerintah dan provinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas kegiatan tertentu. Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. Pemerintah kewenangannya antara lain adalah dalam menyelenggarakan politik luar negeri, pertahanan keamanan, berkeadilan, moneter dan fiskal serta agama.

(34)

kepada masyarakat. Kebijakan otonomi daerah ini juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada munculnya sentra-sentra ekonomi baru di daerahnya, sehingga pemerataan hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.

2.2. Pengertian Kemiskinan

Ada banyak definisi dan konsep tentang kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World Bank (2002) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok, yaitu lack of opportunity, low capabilities, low level security, dan low capacity. Kemiskinan dikaitkan juga dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan. Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi (Nanga, 2006).

Menurut BPS (2009), bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia naik 4,5 %, namun jika dilihat secara agregat jumlah penduduk miskin, baik itu kemiskinan di perdesaan maupun perkotaan masih tinggi. Selain masalah kemiskinan, selama ini juga masih terjadi masalah kesenjangan pembangunan. Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Pada tahun 2004, di Propinsi Banten jumlah penduduk miskin di perdesaan sebesar 499.3000 (11,99 %) dan di perkotaan sebesar 279.900 (5, 69%). Kemudian pada tahun 2007 menjadi 486.800 (12,52%) di perdesaan dan 399.400 (6,79 %) di perkotaan.

(35)

pemberdayaan masyarakat miskin, atau bahkan program pemerintah banyak yang tidak tepat sasaran.

Menyadari tingginya tingkat kemiskinan dan berbagai dampak yang ditimbulkan, maka masalah kemiskinan dijadikan sebagai prioritas utama dalam rencana kinerja pembangunan pada tahun 2007 (Yudhoyono, 2006). Hal ini didasari pada beberapa alasan filosofis penanggulangan kemiskinan, yaitu alasan kemanusiaan, ekonomi, sosial politik, dan keamanan (KPK, 2003).

Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi dipublikasikan BPS pada tahun 1984 yang mencakup data kemiskinan periode 1976-1981. Semenjak itu setiap tiga tahun sekali BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin, yaitu pada saat modul konsumsi tersedia. Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut batas miskin atau garis kemiskinan. Berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2100 kalori per hari. Mengacu pada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan energinya sebesar 2100 kalori per hari. Agar seseorang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya.

(36)

anggota keluarga maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi.

Selanjutnya adalah variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai per kapita dan kepemilikan aset seperti lahan, khususnya untuk pertanian. Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, rumah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisik terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempunyai alternatif untuk berusaha sendiri. Komponen selanjutnya adalah status pekerjaan, di mana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan rumah tangga.

World Bank (2002) mengategorikan karakteristik penduduk miskin menurut komunitas, wilayah, rumah tangga, dan individu. Pada faktor komunitas, infrastruktur merupakan determinan utama kemiskinan. Keadaan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan. Indikator pembangunan infrastruktur yang penting adalah saluran irigasi, akses listrik, dan kondisi jalan utama transportasi. Indikator lain dari karakteristik faktor komunitas adalah akses yang sama terhadap usaha atau pekerjaan seperti keberadaan lembaga keuangan dan industri.

(37)

Pembangunan tiga sektor tersebut akan semakin mudah dengan didukung oleh kemauan untuk merubah individu yang bersangkutan. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan perbaikan kualitas SDM. Dengan semakin baiknya kualitas SDM individu maka akan menambah daya saing antara individu satu dengan lainnya. Sehingga perekonomian akan semakin baik sejalan dengan membaiknya kualitas individu.

Banyak penelitian yang sudah membahas mengenai faktor penyebab kemiskinan. Salah satunya dilakukan oleh Rokhana dan Sutikno (2010). Rokhana dan Sutikno meneliti mengenai permodelan spasial pada hubungan antara aset kehidupan masyarakat Jawa Timur dalam memenuhi kebutuhan pangan terhadap kemiskinan. Dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa salah satu faktor dominan yang berpengaruh pada kemiskinan perdesaan adalah kepemilikan aset. Kemudian Rumiati dkk (2005) melakukan penelitian penyusunan indikator kemiskinan untuk wilayah perkotaan dengan metode analisis faktor, kluster, dan diskriminan. Variabel-variabel pembentuk indikator tersebut di antaranya rata-rata pengeluaran per kapita/bulan, rata-rata pengeluaran non makanan per kapita/bulan, sewa kontrak perumahan/kapita/tahun, aneka barang dan jasa/kapita/bulan, pakaian, alas kaki, dan tutup kepala/kapita/tahun, pengeluaran untuk nilai listrik/bulan, pengeluaran untuk listrik/telepon/air/BBM untuk memasak dll/bulan, luas lantai, pengeluaran untuk konsumsi daging/kapita, pengeluaran untuk ikan/kapita. Kriteria penentuan penduduk miskin yang berbeda maka mempengaruhi kebijakan yang diberikan kepada daerah masing-masing. Suatu analisis permodelan regresi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi angka kemiskinan yang dipengaruhi oleh karakteristik wilayah adalah sangat penting. Permodelan tersebut adalah model spasial. Pengamatan di wilayah tertentu dipengaruhi oleh pengamatan di lokasi lain.

2.3. Kemiskinan Komunitas dan Wilayah

(38)

pengambilan kebijakan, serta keamanan individu yang sangat kurang. Selain itu, profil kemiskinan juga dapat ditelaah dari tipologi kemiskinan di tingkat komunitas atau wilayah .

Kajian kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama menggunakan pemetaan kemiskinan (poverty mapping) melalui sensus lengkap secara langsung, atau model regresi untuk estimasi angka kemiskinan di setiap wilayah (misalnya desa atau kecamatan) berdasarkan gabungan beberapa sumber data sekunder, seperti sensus penduduk dan survei-survei rumah tangga (Idrus, 2009). Ini memungkinkan kita untuk memperoleh jumlah dan persentase penduduk miskin sampai dengan tingkat wilayah desa/kelurahan. Kedua, mengidentifikasi kemiskinan atau ketertinggalan wilayah adalah berdasarkan data sekunder tentang potensi desa. Dari hasil PODES, misalnya, informasi yang diperoleh antara lain jumlah dan nama desa/kelurahan yang tergolong miskin karena sebagian besar penduduknya miskin, atau kumuh dari aspek lingkungan pemukiman penduduknya, atau tertinggal dari aspek pembangunan infrastruktur dasar di suatu wilayah. Sementara kemiskinan wilayah bermanfaat untuk melihat profil kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi di tingkat desa/kelurahan. Lebih penting lagi, hasil kajian ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi desa-desa miskin dan tertinggal menurut tipologinya.

Dengan mempertimbangkan tipologi kemiskinan wilayah yang berbeda, maka akan diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dapat tepat sasaran. Kajian tentang kemiskinan wilayah hendaknya juga ditinjau dari berbagai aspek kewilayahan lainnya, seperti letak geografis, status daerah (perkotaan dan perdesaan).

2.4. Faktor Penyebab Kemiskinan

(39)

penyebab dari sudut pandang ekonomi, kondisi ekonomi masyarakat mempunyai keterbatasan modal, sarana – prasarana dalam menjalankan profesinya.

Untuk faktor pertanian, umumnya disebabkan karena rendahnya modal sumber daya manusia, sumber daya alam, keuangan, infrastruktur dan sosial. Modal sumber daya manusia meliputi keterampilan, ilmu pengetahuan, kemampuan untuk bekerja keras dan kesehatan. Modal sumber daya akan mencakup tingkat kepemilikan dan kesuburan tanah serta sumber daya alam lainnya. Modal keuangan berkaitan dengan kesulitan memperoleh bantuan dana dari lembaga- lembaga keuangan. Modal infrastruktur terutama menyangkut keterbatasan penyediaan fisik, seperti : jaringan irigasi, serta sarana prasarana lainnya yang memakai untuk memasarkan hasil-hasil produksi pertanian.

Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di Kabupaten Lebak pada umumnya ditandai dengan rendahnya akses terhadap sumber daya. Padahal akses tersebut merupakan peluang untuk menggunakan sarana–prasarana dalam melakukan proses produksi. Keterbatasan akses tersebut mencakup akses terhadap penggunaan teknologi, informasi, kredit, pelayanan kesehatan,sumber energi dan telekomunikasi. Berikut ini adalah beberapa faktor yang menyebabkan adanya kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006):

a. Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha

Kesempatan kerja di sektor modern setelah mengalami kontraksi pada tahun 1998. Lambatnya pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh pada pertumbuhan sektor usaha. Di sisi yang lain pertumbuhan jumlah tenaga kerja terjadi dengan sangat cepat, akibat yang terjadi adalah jumlah pengangguran yang semakin tinggi. Lambatnya pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh berbagai kebijakan yang menyebabkan meningkatnya biaya transaksi, sehingga tidak kondusif terhadap peningkatan investasi. Selain itu pertumbuhan sarana dan prasarana pendukung kegiatan usaha juga bergerak dengan sangat lambat.

b. Terbatasnya Akses terhadap Faktor Produksi

(40)

modal usaha. Berarti bahwa semakin tinggi persentase, semakin buruk kondisi akses pada kota (Karim, 2007).

Faktor-faktor tersebut antara lain:

• Aset tidak didapat dengan cepat menjadi capital terutama tanah. • Tingkat pendidikan dan keterampilan

New comer dan daya survive yang kuat

• Kelemahan dan kepedulian untuk memperkuat institusi/ lembaga.

c. Rendahnya Kepemilikan Aset

Keterbatasan kepemilikan aset akan menyebabkan terbatasnya kesempatan bagi masyarakat miskin untuk dapat melakukan kegiatan usaha atau produksi. Suspenas tahun 2002 menunjukkan bahwa jenis aset yang umumnya dimiliki masyarakat miskin hanya berupa sebidang tanah. Khusus untuk masyarakat yang ada di Kabupaten Lebak, mayoritas kehidupan petani adalah sebagai petani garap bukan sebagai pemilik lahan. Sehingga keuntungan yang diperoleh tidak bisa maksimal.

2.5. Jenis-Jenis Kemiskinan

(41)

Kedua, kemiskinan relatif; apabila seseorang yang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif memandang kemiskinan berdasarkan kondisi riil tingkat kemakmuran masyarakat. Garis kemiskinan ditetapkan sebesar 20% dari rata-rata pendapatan penduduk di suatu daerah dan ketertinggalan pendidikan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas.

Standar ini dapat berubah antarwaktu dan antartempat, sehingga seolah-olah kemiskinan akan selalu ada sepanjang waktu. Kemiskinan relatif dianggap sebagai alat penting untuk melihat isu ketimpangan yang sering mendapat sorotan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemiskinan absolut dapat dihapuskan, isu kemiskinan akan tetap disoroti jika standar hidup layak suatu masyarakat meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat. Ketiga, kemiskinan kultural; mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar yang membantu. Keempat, kemiskinan kronis; disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumber daya, taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan yang rendah, lapangan pekerjaan yang terbatas dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kelima, kemiskinan sementara; terjadi akibat adanya perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana alam, atau dampak lain dari kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

(42)

rendah, (11) partisipasi rendah, (12) beban kependudukan tinggi yang disebabkan oleh tanggungan keluarga yang besar, (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, korupsi dan jaminan sosial terhadap masyarakat rendah.

2.6. Konsep-Konsep Kemiskinan

Dalam penjabaran mengenai konsep-konsep kemiskinan yang ada, Gapri (2003) membaginya dalam tiga konsep, yaitu:

a. Ketimpangan (Inequality)

Suatu kemiskinan dan ketimpangan biasanya selalu berjalan bersamaan. Banyak kasus kemiskinan yang disebabkan oleh adanya ketimpangan. Ketimpangan disini bisa dalam hal pendapatan, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup, dan sarana prasarana.

Mencermati suatu keadaan ketimpangan pada gilirannya dapat memotret seberapa besar kondisi gap antara satu kelompok, wilayah, gender dengan kelompok lainnya. Hasil yang diperoleh dari analisis keduanya adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Dengan diketahuinya tingkat kedalaman kemiskinan suatu wilayah dapat dijadikan dasar bagi penentuan kebijakan dari pemerintah pusat. Sehingga kebijakan yang diambil akan berpihak pada kondisi masyarakat lokal. Akibatnya adalah kebijakan tersebut tepat sasaran.

b. Kerentanan (Vulnerability)

Suatu keadaan masyarakat yang miskin, dengan segala permasalahan yang ada sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan di sini bisa dari pemerintah, seperti kebijakan penghapusan subsidi BBM, atau dari kondisi pasar. Perubahan yang terjadi walaupun kecil akan membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat miskin.

(43)

makro yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja atau naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok; dan gangguan keamanan atau gejolak politik yang mengganggu kestabilan aktivitas kerja; serta kematian atau sakitnya anggota keluarga.

Kerentanan juga dapat disebabkan oleh faktor internal berupa kondisi kesehatan, pendidikan dan keterampilan yang kurang memadai, ataupun perilaku dan kebiasaan yang cenderung mengakibatkan terjadinya kemiskinan seperti kebiasaan berjudi atau pola hidup yang terlalu konsumtif dan tidak adanya kebiasaan menabung.

Pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan dan sebagai stabilisator harus mampu membaca kondisi kerentanan yang ada di masyarakat. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan potensi suatu wilayah, baik dari sisi produksi dan dari sisi nilai tambah.

c. Ketersisihan (Exclusion)

Konsep ketersisihan sosial mengacu pada berbagai norma dan proses yang menghalangi (tidak mengikutsertakan) seseorang atau sekelompok orang untuk berpartisipasi secara efektif dan sederajat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, kultural dan politik di masyarakat. Ketersingkiran seseorang atau sekelompok orang atau setidaknya adanya perasaan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak diikutsertakan dalam berbagai aspek kehidupan sosial menyebabkan terjadinya kondisi ketersisihan sosial. Ketersisihan dapat terjadi di sektor tenaga kerja, sistem pendidikan, dan berbagai macam pelayanan publik atau partisipasi politik.

2.7. Pembentukan Daerah Tertinggal

(44)

dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal ini berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan. Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan program pembangunan daerah tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis terisolir dan terpencil seperti daerah perbatasan antarnegara, daerah pulau-pulau kecil, daerah pedalaman, serta daerah rawan bencana. Di samping itu, perlu perhatian khusus pada daerah yang secara ekonomi mempunyai potensi untuk maju namun mengalami ketertinggalan sebagai akibat terjadinya konflik sosial maupun politik.

Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain (BPS, 2004):

Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.

Sumber daya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumber daya alam, daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan.

Sumber daya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.

(45)

lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.

Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.

Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan

Strategi pembangunan daerah tertinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah. Strategi dimaksud meliputi (Bappenas, 2004) :

Pengembangan ekonomi lokal, strategi ini diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah tertinggal dengan didasarkan pada pendayagunaan potensi sumber daya lokal (sumber daya manusia, sumber daya kelembagaan, serta sumber daya fisik) yang dimiliki masing-masing daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada. Pemberdayaan masyarakat, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik

Perluasan kesempatan, strategi ini diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju.

Peningkatan kapasitas, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah tertinggal.

(46)

2.8. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka (Suporahardjo, 2005). Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses terus menerus, proses partisipatif di mana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama.

Mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang makin langka. Program-program pemerintah yang berbasis pemberdayaan telah memberi banyak pengalaman dalam menekan biaya untuk suatu pekerjaan dengan kualitas yang sama yang dikerjakan program non pemberdayaan. Pendekatan ini akan meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan pelanggan atas pelayanan pemerintah (Suporahardjo, 2005).

(47)

a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.

b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di Daerah, dan pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

c. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Pemberdayaan masyarakat tidak membuat masyarakat bergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.

(48)

Kedua, akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola sumber daya publik termasuk dalam pelayanan publik. Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan.

Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya, kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat diharapkan mampu membangun tanggung jawab sosial, komitmen dan kompetensi warga terhadap segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.

2.9. Penyebaran Kantong-Kantong Kemiskinan

Dalam suatu pembangunan fenomena umum yang sering dijumpai adalah semakin jauh suatu tempat dari titik pertumbuhan (growth centre) akan semakin tingkat kemiskinan penghuninya. Titik pertumbuhan itu sendiri biasanya berlokasi di perkotaan yang merupakan pusat administrasi pemerintahan, pusat perdagangan, serta pusat dari berbagai fasilitas sosial dan ekonomi. Penyebaran kantong kemiskinan bisa diklasifikasi secara umum menjadi (Sawitri dkk, 2005):

1. Daerah Terpencil (Remote Area).

(49)

belum ditemui potensi ekonomi yang bisa dikembangkan sehingga kurang menarik bagi investasi.

2. Daerah Perdesaan (Rural Area)

Secara relatif daerah perdesaan lebih miskin dari daerah perkotaan. Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan daerah perdesaan di sini adalah daerah yang basis perekonomiannya dari sektor pertanian. Hampir pasti kemiskinan dapat dijumpai pada kalangan petani berlahan sempit, pekerja tani atau petani tak berlahan, dan sejumlah pedagang-pedagang kecil di perdesaan.

3. Daerah Pinggiran Kota (Sub-urban Area).

Daerah pinggiran kota mempunyai posisi yang unik. Biasanya basis perekonomiannya merupakan campuran antara pertanian berskala kecil, industri berskala kecil atau industri rumah tangga, perdagangan berskala kecil, pekerja atau buruh industri. Masyarakatnya dapat dikategorikan berpenghasilan menengah ke bawah yang rentan perekonomiannya dan potensial untuk menjadi miskin.

4. Daerah Kumuh Perkotaan (Urban Slum).

Daerah kumuh perkotaan ini bahkan masih dijumpai pada kota-kota besar seperti Jakarta. Kerap kali tingkat kemiskinannya tidak kalah parah dibandingkan dengan daerah terpencil, daerah perdesaan, ataupun daerah pinggiran kota. Penghuni daerah kumuh perkotaan ini biasanya kaum migran.

(50)

mendasar atas ketersediaan suatu sistem perencanaan pembangunan daerah yang dapat menjamin keseimbangan antar sektor dan regional, yang berorientasi kepada pembangunan perdesaan.

Bertitik tolak dari pola pikir integrasi perencanaan pembangunan daerah dalam suatu kerangka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), maka pemerintah Kabupaten Lebak telah berupaya untuk mempedomani Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, beserta RTRW dan Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Banten yang kemudian diwujudkan dalam dokumen RTRW dan RPJPD Kabupaten Lebak, sebagaimana telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 (RTRW Lebak, 2008-2028).

Selanjutnya dengan berlandaskan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sebagaimana telah dijabarkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 5 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, serta mencermati amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, maka Pemerintah Kabupaten Lebak siap mengimplementasikannya melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Dokumen RPJMD termaksud merupakan penjabaran dari Visi–Misi dan Program Kerja Bupati / Wakil Bupati Lebak terpilih, yang kemudian dituangkan ke dalam Strategi Pembangunan Daerah, Kebijakan Umum, Program Prioritas Kepala Daerah dan Arah Kebijakan Keuangan Daerah. Proses penyusunan Dokumen RPJMD Kabupaten Lebak Tahun 2009–2014 dilaksanakan secara terpadu dengan metode teknokratik dan partisipatif, serta senantiasa mengacu kepada RPJM Nasional dan RPJMD Propinsi Banten (RPJPD Lebak, 2008 – 2028).

(51)

dituangkan dalam jangka waktu lima tahunan yang disesuaikan dengan periode dan masa jabatan kepala daerah tahun 2008–2013 untuk kemudian memperhitungkan waktu transisi kepemimpinan, sehingga RPJMD memiliki periode tahun 2009– 2014.

Substansi dokumen RPJMD ini, diarahkan untuk dapat mengukur capaian kinerja Pemerintah Kabupaten Lebak beserta aparat pemerintahnya sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. Kemudian dokumen RPJMD dapat digunakan sebagai rujukan dalam penyusunan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah), KUA (Kebijakan Umum Anggaran), PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) hingga RAPBD serta penyusunan LKPJ kepala daerah dan tolok ukur kinerja kepala daerah.

Oleh karena itu, di dalam RPJMD akan memuat arah kebijakan, program dan kegiatan indikatif yang akan dilaksanakan di Kabupaten Lebak, dengan menguraikan berbagai program yang diusulkan rencana indikatif pendanaannya melalui APBD Kabupaten Lebak dan/atau sumber–sumber dana lainnya.

Secara umum, kondisi Kabupaten Lebak memiliki posisi strategis dalam jalur mobilisasi dan distribusi barang/jasa yang didukung Sumber Daya Alam yang cukup potensial. Hal ini berimplikasi terhadap keperluan daya dukung kebijakan dan upaya nyata yang cukup signifikan (Political Will) yang bersumber dari Pemerintah beserta multi–stakeholders untuk melaksanakan percepatan pembangunan Kabupaten Lebak.

(52)

2.10. Kebijakan Pengembangan Wilayah.

Perumusan kebijaksanaan termasuk salah satu bentuk kegiatan manajemen perencanaan (Harmadi, 2008). Kebijaksanaan publik (public policy) yang dikeluarkan oleh pembuat kebijaksanaan harus selalu berorientasi pada tuj

Gambar

Gambar 3.1. Peta administrasi Kabupaten Lebak
Gambar 3.2. Kerangka Pemikiran
Tabel 3.2. Matriks Analisis Penelitian
Tabel 4.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kab. Lebak Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

laggeya miskin sebesd l.l94 kali dibedingtm kepala lman ulgga ydg. SlaiN pek6j@ kepala Mah tanssa juga signifitd rerhadap

4.2 Faktor yang Dipertimbangkan dalam Menentukan Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Jember Beserta Nilai Bobotnya

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “ Analisis Faktor Penyebab Kemiskinan di Desa Prasi Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo”

Sebaran dan habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus) di lahan pertanian (hutan rakyat) wilayah Kabupaten Lebak (Banten) dan Gunung Salak (Jawa Barat).. Survei keberadaan

kerusakan sedang ditandai dengan terjadinya retakan ringan (kurang dari 1 mm), garis halus pada beton, dan tidak terjadi lendutan hingga rusak berat pada beberapa

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam pelaksanaan program gerakan masyarakat hidup sehat di Kabupaten Lebak, adanya dukungan kebijakan

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan Na -dd di lahan sawah lebak Kabupaten Banjar tiga kecamatan yang diambil sampel tergolong kriteria Rendah

Event kepariwisataan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Lebak Banten merupakan promosi yang paling efektif dalam meningkatkan kunjungan