• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effectiveness of fruitflies pest management components on chili.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effectiveness of fruitflies pest management components on chili."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

H

HAMA L

ALAT BU

UAH PAD

IN

HE

SEKOLA

NSTITUT

DA TANA

AMAN C

ABAI

ERMA AM

MALIA

AH PASC

T PERTA

CASARJA

BOGO

ANIAN BO

ANA

OGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Keefektifan Beberapa Komponen Pengendalian Hama Lalat Buah pada Tanaman Cabai” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Herma Amalia

NRP A351090011

(3)

HERMA AMALIA. Effectiveness of Fruitflies Pest Management Components on Chili. Supervised by DADANG and DJOKO PRIJONO.

The objectives of this research were to evaluate the resistance of five chili genotypes, the effectiveness of botanical insecticides, the effectiveness of mulches, and the effectiveness of trap crop, repellent crop, and fruitfly trap against the fruitfly (Bactrocera spp., Diptera: Tephritidae) on chili in the farmer field at Megamendung and Katulampa, Bogor, West Java. This research was done during three planting seasons since June 2010 until December 2011. In the first experiment, five chili genotypes were evaluated. In the second experiment, resistance and susceptible chili genotypes and the efficacy of insecticides were tested. In the third experiment, the treatments included the use of resistance chili genotype as a production crop, susceptible chili genotype as a trap crop, citronella grass (Cymbopogon nardus) as a repellent crop, insecticides application as in the second experiment, mulches, and the use of fruitfly trap with methyl eugenol attractant. In the laboratory, repellency of Piper retrofractum and Annona squamosa extract mixture, Cymbopogon nardus extract, spinosad (Tracer 120 SC), and imidacloprid (Confidor 5 WP) were tested using a Y-tube olfactometer. The results of this research showed that chili variety of Keriting 09 was resistant and SP Hot 77 was susceptible to fruitfly attack. Application of P. retrofractum

and A. squamosa extract mixture, C. nardus extract, spinosad, and imidacloprid did not significantly affect fruitfly infestation. The use of rice straw and plastic mulch did not significantly affect fruitfly infestation. The use of trap crop, repellent crop, and fruitfly trap could decrease fruitfly attack on the main crop. Citronella grass was potential to be used as a repellent crop. The use of fruitfly trap caught two species of fruitflies, i.e. Bactrocera (B.) dorsalis complex and

B.(B.) umbrosa. Based on identification in the laboratory, fruitflies that attacked chili in the field were B. (B.) carambolae and B. (B.) papayae, both belong to B. (B.) dorsalis complex. Natural enemy that attacked the fruitflies was a parasitoid wasp Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae). Integrated pest management components that can be applied to control fruitflies on chili are the use of resistance chili genotype as a production crop, susceptible chili genotype as a trap crop, citronella grass as a repellent crop, fruitfly trap with methyl eugenol attractant, and natural enemy conservation.

(4)

RINGKASAN

HERMA AMALIA. Keefektifan Beberapa Komponen Pengendalian Hama Lalat Buah pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan DJOKO PRIJONO.

Lalat buah (Bactrocera spp., Diptera: Tephritidae) merupakan salah satu hama penting pada tanaman cabai (Capsicum sp.). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan lalat buah, akan tetapi sampai saat ini serangan lalat buah masih menjadi faktor pembatas yang menimbulkan kerugian dalam budidaya tanaman cabai. Pada prinsipnya pengendalian lalat buah akan memberikan hasil penekanan lebih baik bila dilaksanakan secara terpadu. Keberhasilan pengendalian secara terpadu sangat ditentukan oleh keefektifan masing-masing komponen pengendalian. Untuk itu diperlukan serangkaian percobaan untuk mengetahui keefektifan beberapa komponen pengendalian yang diperlukan untuk penyusunan program pengendalian hama terpadu (PHT) lalat buah pada tanaman cabai. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi ketahanan beberapa genotipe cabai, pengaruh insektisida botani, pengaruh penggunaan mulsa jerami dan mulsa plastik perak hitam, serta penggunaan tanaman perangkap, tanaman penolak, dan perangkap terhadap serangan lalat buah pada tanaman cabai di lapangan.

(5)

 

di laboratorium untuk menentukan pengaruh penolakan (repelen) insektisida terhadap lalat buah dengan olfaktometer tabung Y. Peubah yang diamati adalah jumlah lalat buah yang tertarik terhadap salah satu insektisida. Data jumlah lalat buah yang tertarik dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Data jumlah lalat buah yang tertarik pada perlakuan dan kontrol pada setiap pengujian dibandingkan menggunakan

uji-t.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cabai keriting 09 tahan terhadap serangan lalat buah, sedangkan cabai besar SP Hot 77 rentan terhadap serangan lalat buah. Penggunaan insektisida campuran ekstrak cabai jawa dan srikaya, ekstrak serai wangi, spinosad dan imidakloprid dengan aplikasi penyemprotan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat serangan lalat buah. Pada penelitian ini mulsa jerami dapat meningkatkan hasil panen, tapi penggunaan mulsa plastik perak hitam dan jerami tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat serangan lalat buah. Tingkat serangan lalat buah pada tanaman produksi sangat kecil bahkan mendekati 0, berbeda pada tanaman perangkap yang tingkat serangannya mencapai rata-rata 51,12% dan 50,41% pada 11 dan 12 MST. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tanaman perangkap dapat menekan tingkat serangan lalat buah. Hasil dari perangkap lalat buah dengan atraktan metil eugenol ditemukan dua jenis lalat buah yaitu B. (B.) dorsalis kompleks dan B. (B.) umbrosa. Berdasarkan hasil identifikasi di laboratorium, lalat buah yang menyerang cabai adalah B. (B) carambolae dan B. (B) papayae yang termasuk dalam B. (B.) dorsalis kompleks. Musuh alami yang ditemukan menyerang lalat buah adalah Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae). Hasil pengujian pengaruh penolakan insektisida terhadap lalat buah menunjukkan bahwa serai wangi berpotensi sebagai repelen. Penggunaan tanaman perangkap, tanaman penolak, dan perangkap beratraktan dapat menekan serangan lalat buah pada tanaman produksi.

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disusun pengendalian hama terpadu (PHT) untuk pengendalian lalat buah pada tanaman cabai dengan komponen pengendalian sebagai berikut, penggunaan tanaman cabai yang tahan sebagai tanaman produksi, tanaman cabai yang rentan sebagai tanaman perangkap, serai wangi sebagai tanaman penolak (repelen), perangkap beratraktan untuk pemantauan hama dan pengendalian mekanis, serta konservasi musuh alami yaitu parasitoid Opius sp.

(6)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

HAMA LALAT BUAH PADA TANAMAN CABAI

HERMA AMALIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Keefektifan Beberapa Komponen Pengendalian Hama Lalat Buah pada Tanaman Cabai

Nama Mahasiswa : Herma Amalia

NRP : A351090011

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. Ketua

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, MSi.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(11)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Keefektifan Beberapa Komponen Pengendalian Hama Lalat Buah pada Tanaman Cabai”.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. sebagai ketua komisi pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga selesainya penelitian ini

2. Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan keteladanan mendalam, bimbingan dan masukan yang bermanfaat bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini

3. Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi. Sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan saran dalam perbaikan penulisan tesis

4. Bakrie Center Foundation yang telah memberikan beasiswa Bakrie Graduate Fellowship

5. Program penelitian I-MHERE B2C IPB yang telah mendukung pelaksanaan kegiatan penelitian ini

6. Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT), Jatisari, Karawang, Jawa Barat yang telah memberikan pelatihan tentang pemeliharaan lalat buah

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selama masa hidupnya telah memberikan kasih sayang, doa, semangat, nasihat, dan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi penulis. Terima kasih juga untuk adik-adikku tersayang, keluarga besar di Sukabumi, Bapak Supri di Rancamaya, dan Radi Ihlas Albani yang selalu memberikan doa dan dukungan bagi penulis

8. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc. sebagai tim peneliti, Bapak Agus Sudrajat sebagai teknisi, Bapak Karto dan Ibu Dewi sebagai pustakawan, Lia Nurulalia, Rizki Arfiansyah, Anik Larasati, Bapak Amran sebagai petani di Megamendung, dan Bapak Abdul Hamid sebagai petani di Katulampa, yang telah membantu dalam kegiatan penelitian ini

9. Teman-teman di Program Studi Entomologi dan Fitopatologi atas dukungan dan kebersamaannya

10. Rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga IPB yang berjuang bersama meraih kesuksesan dalam penyelesaian studi di IPB.

Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kata sempurna, tetapi penulis berharap semoga persembahan kecil ini bisa memberikan manfaat bagi banyak orang.

Bogor, Februari 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 10 September 1985 dari pasangan H. Ahmad Solihin dan Hj. Kobtiah Halimah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMUN 3 Sukabumi pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), melalui jalur USMI. Penulis lulus pendidikan sarjana pada tahun 2008.

Sejak tahun 2008 hingga sekarang penulis bekerja sebagai asisten dosen di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Penulis juga bekerja paruh waktu sebagai konsultan pertanian di Kebon Sari Rancamaya, Bogor. Pada tahun 2009 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister Sains pada Program Studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana IPB.

Selama kuliah penulis aktif menjadi penyaji makalah pada kegiatan Seminar Nasional Perlindungan Tanaman di Bogor-Indonesia (2009), Seminar Nasional dan Simposium Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) di Yogyakarta-Indonesia (2010), The 17th Tri-University International Joint Seminar and Symposium di Thailand (2010), The 2nd Annual Indonesia Scholars Conference di Taiwan (2011), dan The ISSAAS International Symposium and Congress di Bogor- Indonesia (2011). Dari kegiatan ini beberapa tulisannya telah dipublikasi dalam bentuk prosiding maupun jurnal.

Penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Morfologi dan Fisiologi Serangga serta Hubungan Serangga Tanaman untuk mahasiswa Pascasarjana pada tahun ajaran 2011/2012. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan acara Family Gathering yang diselenggarakan oleh Forum Wacana Pascasarjana IPB, English Fun yang diselenggarakan oleh penerima beasiswa Bakrie Graduate Felloswhip IPB, Seminar Nasional Perlindungan Tanaman dan kegiatan The ISSAAS International Symposium and Congress.

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Tahapan Kegiatan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Tanaman Cabai ... 5

Taksonomi dan Morfologi Cabai ... 5

Syarat tumbuh ... 5

Kegunaan Buah Cabai ... 6

Lalat buah ... 7

Taksonomi Lalat Buah ... 7

Gejala Serangan Lalat Buah ... 7

Siklus Hidup Lalat Buah ... 8

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) ... 9

Konsep dan Pengertian PHT ... 9

Implementasi PHT Lalat Buah ... 10

BAHAN DAN METODE ... 13

Tempat dan Waktu ... 13

Ekstraksi Bahan Tanaman ... 13

Pemeliharaan Lalat Buah ... 13

Budi Daya Cabai ... 15

Persiapan Lahan ... 15

Penyemaian Benih dan Pembibitan ... 15

Pemupukan ... 16

Pemeliharaan Tanaman ... 16

Panen ... 16

Percobaan Lapangan ... 16

Evaluasi Ketahanan Lima Genotipe Cabai terhadap Serangan Lalat Buah ... 16

Pengaruh Genotipe Cabai yang Tahan dan Rentan, serta Perlakuan Insektisida terhadap Serangan Lalat Buah ... 17

Pengaruh Mulsa, Insektisida, Tanaman Perangkap, Tanaman Penolak, dan Perangkap Lalat Buah terhadap Serangan Lalat Buah ... 17

Pengamatan ... 19

Percobaan Laboratorium ... 20

Pengujian Pengaruh Penolakan (Repelen) ... 20

(14)

Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Percobaan Lapangan ... 23

Ketahanan Lima Genotipe Cabai terhadap Serangan Lalat Buah ... 23

Pengaruh Genotipe Cabai yang Tahan dan Rentan, serta Perlakuan Insektisida terhadap Serangan Lalat Buah ... 24

Pengaruh Mulsa, Insektisida, Tanaman Perangkap, Tanaman Penolak, dan Perangkap Lalat Buah terhadap Serangan Lalat Buah ... 27

Percobaan Laboratorium ... 33

Pembahasan Umum ... 35

SIMPULAN DAN SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(15)

Halaman

1 Evaluasi lima genotipe cabai terhadap serangan lalat buah ... 23 2 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida

terhadap serangan lalat buah di Katulampa, Percobaan II-2011 ... 25 3 Tingkat serangan lalat buah pada dua genotipe cabai di Katulampa,

Percobaan II-2011 ... 25 4 Pengaruh perlakuan insektisida terhadap tingkat serangan lalat buah

di Katulampa, Percobaan II-2011 ... 26 5 Pengaruh perlakuan insektisida pada hasil panen cabai di Katulampa,

Percobaan II-2011 ... 26 6 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa, Percobaan III-2011 ... 28 7 Perkembangan serangan lalat buah pada pertanaman cabai

keriting dengan perlakuan mulsa di Katulampa, Percobaan III-2011 28 8 Perkembangan populasi trips (Thrips sp.) pada pertanaman cabai

keriting dengan perlakuan mulsa di Katulampa, Percobaan III-2011 28 9 Perkembangan serangan lalat buah pada pertanaman cabai

keriting dengan perlakuan insektisida di Katulampa

Percobaan III-2011 ... 29 10 Hasil panen cabai pada petak perlakuan mulsa di Katulampa,

Percobaan III-2011 ... 29 11 Rata-rata jumlah lalat buah betina B. (B.) carambolae yang

mendatangi bahan uji dalam pengujian dengan olfaktometer

tabung Y ... 34 12 Ringkasan hasil uji-t dalam pengujian olfaktometer beberapa

jenis insektisida terhadap rata-rata jumlah lalat buah betina

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pemeliharaan lalat buah, pengumpulan telur (a), pemeliharaan larva dalam pakan buatan (b), penyaringan pupa (c), dan pemeliharaan

imago (d) ... 14

2 Denah petak percobaan di Katulampa pada percobaan ketiga, 2011 18

3 Olfaktometer tabung Y ... 20

4 Bentuk umum buah cabai F3 (12x10), F3 (10x14), Hot Pepper Tornado, Keriting 09, dan SP Hot 77 ... 24

5 Kondisi petak percobaan di Katulampa percobaan pada II-2011 .... 25

6 Kondisi petak percobaan di Katulampa pada percobaan III-2011 Cabai keriting 09 (a), cabai SP Hot 77 (b), dan serai ... wangi (c ) ... 27

7 Perbedaan tinggi tanaman cabai dengan perlakuan mulsa plastik perak-hitam, mulsa jerami, dan tanpa mulsa ... 29

8 Pengaruh penggunaan mulsa terhadap tinggi tanaman cabai di Katulampa, Percobaan III-2011 ... 30

9 Jenis dan populasi lalat buah yang masuk ke dalam perangkap lalat buah di Katulampa, Percobaan III-2011 ... 31

10 Lalat buah B. (B.) carambolae ... 32

11 Lalat buah B. (B.) papayae ... 32

(17)

Halaman

1 Diagram alir penelitian ... 48 2 Komposisi bahan pakan buatan lalat buah ... 49 3 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa pada 7 MST ... 49 4 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa pada 8 MST ... 49 5 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa pada 9 MST ... 50 6 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa pada 10 MST ... 50 7 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa pada 11 MST ... 50 8 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa pada 12 MST ... 51 9 Hasil sidik ragam pengaruh mulsa dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa pada 10 MST ... 51 10 Hasil sidik ragam pengaruh mulsa dan insektisida terhadap

serangan lalat buah di Katulampa pada 11 MST ... 51 11 Hasil sidik ragam pengaruh mulsa dan insektisida terhadap

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Indonesia. Ada tiga tipe cabai yang dibedakan berdasarkan bentuk buah, yaitu cabai besar, cabai keriting, dan cabai rawit. Tanaman cabai tergolong tanaman yang cukup toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan, sehingga dapat dibudidayakan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi (Vos & Duriat 1995). Walaupun demikian, produktivitas cabai di Indonesia masih tergolong rendah. Menurut BPS (2011) musim hujan yang berkepanjangan pada tahun 2010 mengakibatkan produksi cabai turun drastis, contohnya produktivitas cabai merah di Brebes tahun 2010 sebesar 2,83 ton/ha, turun 55,94% dari tahun sebelumnya, bahkan produksi cabai rawit turun lebih tajam sebesar 65,46%. Selain cuaca ekstrim, kegagalan panen cabai juga dapat disebabkan oleh serangan hama dan penyakit.

Hama yang paling sering menjadi permasalahan utama pada budi daya cabai adalah lalat buah (Bactrocera spp.; Diptera: Tephritidae).  Lalat buah betina menyerang buah cabai dengan memasukkan telur melalui ovipositornya ke dalam buah (Agarwal & Kapoor 1984). Pemasukan ovipositor ke dalam buah menyebabkan adanya gejala tusukan pada buah berupa tanda titik berwarna gelap cokelat kehitaman. Jumlah telur yang diletakkan bervariasi yaitu 2-15 butir (Siwi

et al. 2006). Telur kemudian menetas menjadi larva yang hidup, makan dan berkembang di dalam buah sehingga buah menjadi busuk berisi larva atau dikenal dengan bilatung (Kalshoven 1981). Buah yang terserang lalat buah dan busuk, akhirnya jatuh ke tanah. Larva instar akhir akan meninggalkan buah untuk berpupa di bawah permukaan tanah. Selanjutnya pupa akan berkembang menjadi imago lalat buah.

(19)

Petani telah berupaya untuk mengendalikan lalat buah dengan berbagai cara, akan tetapi hasil dari pengendalian masih belum maksimum. Untuk meningkatkan keberhasilan upaya pengendalian, sebaiknya pengendalian dilakukan dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Pengendalian hama secara terpadu merupakan cara yang ideal untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh hama dalam rangka menyelamatkan produksi pertanian sehingga dapat mendukung program ketahanan dan keamanan pangan. PHT merupakan suatu usaha pengelolaan agroekosistem yang bertujuan untuk mempertahankan populasi hama di bawah ambang yang merugikan dengan memadukan dan memanfaatkan berbagai metode pengendalian hama (Untung 1993). Dalam PHT dua atau lebih cara pengendalian hama dapat diterapkan untuk mengurangi permasalahan hama (Levins 1986).

Komponen PHT yang dapat diterapkan mencakup (1) pengendalian secara kultur teknis, (2) pengendalian hayati, (3) pengendalian secara mekanis atau fisik, (4) pemantauan hama, dan (5) pengendalian secara kimiawi. Menurut Duriat dan Sastrosiwojo (1994), pengendalian secara kultur teknis pada cabai dapat dilakukan dengan pengelolaan tanah dan air, sanitasi, penggunaan benih/bibit sehat, pemupukan berimbang, drainase/ guludan, tumpang sari, tanaman perangkap, dan penggunaan varietas tahan. Pada penelitian ini digunakan beberapa komponen pengendalian secara kultur teknis, seperti penggunaan varietas tahan, tanaman perangkap, dan tanaman penolak. Menurut Oka (1995), penggunaan varietas tahan hama merupakan salah satu taktik pengendalian yang hendaknya memperoleh perhatian, sebab tidak mencemari lingkungan, kompatibel dengan taktik pengendalian yang lain, dan dapat digabungkan dengan persyaratan agronomi.

Komponen pengendalian lain yang digunakan pada penelitian ini ialah pengendalian hayati dengan pemanfaatan musuh alami di alam. Menurut White dan Harris (1992), larva dan pupa lalat buah dapat diserang oleh berbagai jenis parasitoid Hymenoptera, pada umumnya oleh spesies Opiinae (Braconidae), tapi Chalcidoidea dan famili lain juga penting.

(20)

3

ditentukan oleh jenis bahan mulsa. Bahan yang dapat digunakan sebagai mulsa di antaranya sisa-sisa tanaman (serasah atau jerami) dan bahan plastik.

Pengendalian secara kimiawi menjadi alternatif terakhir dalam PHT. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan aplikasi insektisida botani dan sintetik. Insektisida yang diizinkan oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia untuk mengendalikan lalat buah antara lain insektisida yang mengandung bahan aktif imidakloprid, sipermetrin, alfa sipermetrin, dan spinosad (Deptan 2008).Beberapa famili tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber insektisida botani adalah famili Meliaceae, Annonaceae, Piperaceae, Asteraceae, Zingiberaceae, dan Solanaceae (Dadang 1999). Penggunaan ekstrak tumbuhan sebagai salah satu sumber insektisida botani didasarkan atas pemikiran adanya mekanisme pertahanan dari tumbuhan akibat interaksinya dengan serangga pemakan tumbuhan, salah satunya adalah senyawa sekunder tumbuhan yang bersifat sebagai penolak (repelen) yang dapat melindungi tanaman dari serangan hama (Frazier & Chyb 1995). Hasil penelitian Mardiasih (2010) serai wangi berpotensi sebagai repelen bagi lalat buah. Menurut Dadang dan Prijono (2008) ekstrak Azadirachta indica juga dapat menghambat aktivitas peneluran lalat buah B. dorsalis (Diptera: Tephritidae).

Keberhasilan pengendalian secara terpadu sangat ditentukan oleh keefektifan masing-masing komponen pengendalian. Untuk itu diperlukan serangkaian percobaan untuk mengetahui keefektifan beberapa komponen pengendalian yang diperlukan untuk menyusun program pengendalian lalat buah secara terpadu pada tanaman cabai.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan

a. mengevaluasi ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap lalat buah di lapangan;

b. menguji pengaruh campuran ekstrak cabai jawa (Piper retrofractum) dan srikaya (Annona squamosa), serta ekstrak serai wangi (Cymbopogon nardus)

terhadap serangan lalat buah di lapangan;

(21)

d. mengevaluasi penggunaan tanaman perangkap, tanaman penolak, dan perangkap beratraktan terhadap serangan lalat buah di lapangan;

e. menguji efek penolakan (repelen) campuran ekstrak cabai jawa dan srikaya,

sertaekstrak serai wangi terhadap lalat buah di laboratorium.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya suatu model pengendalian hama terpadu lalat buah pada tanaman cabai yang dapat diterapkan oleh petani.

Tahapan Kegiatan Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, tahapan kegiatan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Percobaan lapangan

a) evaluasi ketahanan lima genotipe cabai terhadap serangan lalat buah; b) pengaruh genotipe cabai yang tahan dan rentan terhadap serangan lalat

buah dan perlakuan insektisida terhadap lalat buah;

c) pengaruh penggunaan mulsa, insektisida, tanaman perangkap, tanaman penolak, dan perangkap dengan atraktan terhadap serangan lalat buah. 2. Percobaan laboratorium

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cabai

Taksonomi dan Morfologi Cabai

Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Famili tumbuhan ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar 2000 spesies yang terdiri atas tumbuhan herba, semak, dan tumbuhan kerdil lainnya. Genus cabai (Capsicum) mencakup sekitar 20 spesies yang sebagian besarnya tumbuh di tempat asalnya, yaitu Amerika. Beberapa spesies yang sudah umum antara lain cabai besar (C. annuum), cabai rawit (C. frustescens), C. baccatum, C. pubescens,

dan C. chinense (Siemonsma & Piluek 1994).

Ciri-ciri umum cabai adalah memiliki batang yang tegak dengan batang berkayu dan jumlah cabang banyak. Daun cabai umumnya berwarna hijau muda sampai hijau gelap bergantung pada varietasnya. Bentuk daun cabai umumnya bulat telur, lonjong, dan oval dengan ujung meruncing, tergantung jenis dan varietasnya. Bunga cabai berbentuk seperti terompet, terdiri atas kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari, dan putik. Posisi bunga menggantung dengan warna mahkota putih. Bunga cabai merupakan bunga berkelamin dua karena benang sari dan putik terdapat dalam satu tangkai. Buah cabai memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung jenis dan varietasnya (Wiryanta 2002).

Syarat Tumbuh

(23)

Tanah yang cocok untuk tanaman cabai agar tumbuh dengan subur adalah tanah yang gembur dengan pH 5,5-6,8, kandungan unsur hara seimbang, dan kaya bahan organik (Widodo 2002). Suhu rata-rata yang baik untuk pertumbuhan cabai adalah 18-28 ˚C. Meskipun demikian suhu yang benar-benar optimum adalah 21-28 ˚C. Khusus cabai besar, suhu rata-rata yang optimum adalah 21-25 ˚C, untuk fase pembungaan dibutuhkan suhu udara antara 18,3 dan 26,7 ˚C. Suhu rata-rata yang terlalu tinggi dapat menurunkan jumlah buah. Suhu rata-rata di atas 32 ˚C dapat mengakibatkan tepung sari menjadi tidak berfungsi. Suhu rata-rata yang tinggi pada malam hari juga dapat berpengaruh kurang baik terhadap produksi cabai (Widodo 2002).

Kegunaan Buah Cabai

Buah cabai pada umumnya digunakan sebagai bahan makanan yang digunakan sebagai bumbu masak. Akan tetapi buah cabai juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain, seperti untuk terapi kesehatan dan bahan ramuan tradisional. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat membantu menyembuhkan kejang otot, rematik, sakit tenggorokan, dan alergi. Cabai juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dalam jantung. Selain itu, cabai dapat digunakan sebagai obat oles kulit untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat rematik dan encok karena bersifat analgesik (Wiryanta 2002). Berbagai khasiat cabai tersebut disebabkan oleh senyawa kapsaisin (C18H27NO3). Buah

cabai mengandung lima senyawa kapsaisinoid, yaitu nordihidrokapsaisin, kapsaisin, dihidrokapsaisin, homokapsaisin, dan homodihidrokapsaisin (Wiryanta

et al. 2010). Senyawa-senyawa tersebut bisa dijadikan obat untuk pengobatan sirkulasi darah yang tidak lancar di kaki, tangan, dan jantung.

(24)

7

Lalat Buah

Taksonomi Lalat Buah

Lalat buah termasuk dalam ordo Diptera, famili Tephritidae, subfamili Dacinae, dan tribe Dacinae. Secara morfologi tribe Dacinae dibagi menjadi tiga genus, yaitu Bactrocera, Dacus, dan Monacrostichus (White & Harris 1992). Di Indonesia bagian barat terdapat 90 spesies lalat buah yang termasuk jenis lokal, tetapi hanya delapan spesies yang termasuk hama penting, yaitu Bactrocera (Bactrocera) albistrigata (de Meijere), B. (B.) carambolae (Drew dan Hancock),

B. (B.) papayae (Drew dan Hancock), B. (B.) umbrosa (Fabricius), B. (Z.) cucurbitae (Coquilett), B. (Z.) tau (Walker), dan Dacus (Callantra) longicornis

(Wiedeman). Lalat buah yang umum menyerang cabai adalah B. (B.) carambolae

dan B. (B.) papayae (Siwi et al. 2006). Kedua jenis lalat buah tersebut termasuk

B. (B.) dorsalis kompleks yang sulit dibedakan satu dengan yang lain tanpa menggunakan alat bantu mikroskop (Muryati et al. 2007).

Gejala Serangan Lalat Buah

Lalat buah betina menyerang buah cabai dengan memasukkan telur melalui ovipositornya ke dalam buah (Agarwal 1984). Pemasukan ovipositor ke dalam buah menyebabkan adanya gejala tusukan pada buah berupa tanda titik berwarna gelap cokelat kehitaman.

Telur kemudian menetas menjadi larva yang hidup, makan dan berkembang di dalam buah sehingga buah menjadi busuk berisi larva atau dikenal dengan bilatung (Kalshoven 1981). Sesudah telur menetas, larva membuat lubang di dalam buah sehingga mempermudah masuknya bakteri dan cendawan (Siwi et al.

(25)

ovari, tembolok, dan ileum lalat (Hill 1983; Ria 1994). Buah yang terserang lalat buah dan busuk, akhirnya jatuh ke tanah.

Siklus Hidup Lalat Buah

Lalat buah termasuk serangga yang bermetamorfosis sempurna, yaitu melewati empat fase perkembangan: telur, larva, pupa, dan imago. Lalat buah betina dapat meletakkan telur 1-40 butir per hari. Seekor lalat buah betina mampu memproduksi telur sampai 800 butir selama hidupnya (Metcalf & Flint 1951).

Telur berwarna putih berbentuk bulat panjang, dan diletakkan berkelompok 2-15 butir. Telur akan menetas menjadi larva 2 hari setelah telur diletakkan di dalam buah. Larva berbentuk ramping atau bulat panjang, memiliki 8 ruas abdomen, berwarna putih keruh atau putih kekuningan dengan ujung belakang tumpul. Larva Diptera dapat dikenali dari kemampuannya untuk meloncat. Fase larva terdiri atas tiga instar. Instar I sangat kecil, berwarna jernih dan bening dengan permukaan seperti bentuk pahatan. Larva instar II dan III berwarna putih keruh dan hampir sama, hanya bentuk larva instar III lebih besar (Siwi et al.

2006). Larva membuat saluran-saluran di dalam buah dan mengisap cairan buah. Larva hidup dan berkembang dalam daging buah selama 6-9 hari. Larva instar III biasanya menjatuhkan diri ke tanah sebelum berubah menjadi pupa. Keberadaan larva di dalam buah juga dapat memicu pertumbuhan dan kehidupan organisme pembusuk lainnya (Harris 1994).

Puparium berbentuk oval, berwarna kecokelatan, dan panjang mencapai 5 mm. Masa pupa 4-10 hari dan setelah itu pupa menjadi imago. Periode larva dan pupa berlangsung selama 2-4 minggu (Harris 1994). Rata-rata daur hidup lalat buah dari telur sampai imago di daerah tropis sekitar 25 hari. Setelah menjadi imago, lalat membutuhkan sumber protein untuk makanannya dan reproduksi (Drew 1994).

(26)

9

lateral (lateral postsutural vitae), postpronotal berwarna kuning atau oranye,

apisternum sisi lateral mempunyai bercak berwarna kuning, terdapat spot berwarna hitam pada bagian apical femur tungkai depan lalat buah betina, dan abdomen berwarna oranye dengan pola-pola yang jelas. B. (B.) papayae memiliki spot hitam pada muka di masing-masing lekukan antena, toraks berwarna hitam pada skutum dan mempunyai rambut supra alar di sisi anterior, skutum dengan pita berwarna kuning/oranye di sisi lateral, sayap mempunyai pita hitam pada garis costa dan garis anal dengan sel bc sangat jelas, abdomen dengan ruas-ruas jelas, tergit 3 pada jantan dengan pecten (sisir bulu) di masing-masing sisinya, dan tidak terdapat spot berwarna hitam pada bagian apical femur tungkai depan lalat buah betina (Siwi et al. 2006).

Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Konsep dan Pengertian PHT

Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan strategi mengombinasikan berbagai metode pengelolaan agroekosistem secara optimum dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial (Untung 1993). Menurut Norris et al. (2003), PHT adalah sistem pendukung keputusan untuk pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama secara tunggal atau harmonis yang dikoordinasikan ke dalam strategi manajemen, berdasarkan analisis biaya-manfaat yang mempertimbangkan kepentingan dan dampak pada produsen, masyarakat, dan lingkungan.

Prinsip-prinsip PHT antara lain (1) prinsip budi daya tanaman, meliputi persiapan, penanaman, pemeliharaan tanaman supaya sehat, panen, dan penyimpanan; (2) prinsip sosial-ekonomi, terkait dengan kebutuhan manusia; (3) prinsip ekologi, terkait dengan interaksi dan kelimpahan organisme; (4) genetika populasi, terkait dengan ketahanan tanaman terhadap hama; (5) prinsip pengendalian, meliputi pengendalian secara kimia, fisik, dan biologi (Dent 2000).

(27)

tidak lagi menyebabkan kerugian yang tidak dapat diterima. Pada pendekatan kedua, digunakan taktik yang dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap serangan hama atau mengubah tanaman sehingga hama tidak lagi menyerang. Pada penedekatan ketiga, taktik yang digunakan memengaruhi populasi hama secara tidak langsung melalui sumber makanan; Taktik ini mengubah lingkungan sehingga populasi hama tidak meningkat ke tingkat yang lebih merusak. Lingkungan dibuat kurang cocok untuk hama, lebih cocok untuk inang, atau lebih menguntungkan bagi musuh alami.

Implementasi PHT Lalat Buah

Lalat buah merupakan salah satu hama penting pada cabai. Pengendalian lalat buah dapat dilaksanakan dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Menurut Duriat dan Sastrosiswojo (1994), komponen PHT cabai adalah sebagai berikut: (1) Pengendalian secara kultur teknis, antara lain pengelolaan tanah dan air, sanitasi, rotasi tanaman, pengaturan jadwal tanam, penggunaan benih/bibit sehat, pemupukan berimbang, drainase/guludan, tumpang sari, tanaman perangkap, dan penggunaan varietas tahan; (2) Pengendalian hayati, pemanfaatan musuh alami termasuk parasitoid, predator, dan patogen hama; (3) Pengendalian secara mekanis/fisik, meliputi pengumpulan telur dan larva dengan tangan, isolasi, mulsa jerami atau plastik, penggantian dengan tanaman sehat, pemotongan daun dan pucuk; (4) Pemantauan hama, pengamatan mingguan komponen-komponen biotik dan abiotik untuk menganalisis agroekosistem dan pengambilan keputusan; (5) Pengendalian secara kimia, menggunakan pestisida sebagai alternatif terakhir, bila diperlukan secara selektif, efektif, dan aman.

Beberapa pengendalian lalat buah yang dapat diterapkan antara lain pencegahan serangan lalat buah, sanitasi kebun, penggunaan perangkap dan atraktan, pemanfaatan musuh alami, penggunaan teknik serangga mandul, dan penggunaan insektisida (White & Harris 1992).

(28)

11

No. 37 Tahun 2006 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan dan atau Sayuran Segar ke dalam Wilayah Republik Indonesia (Ditlinhor 2006).

Sanitasi kebun dilakukan dengan cara membersihkan area sekitar kebun, buah yang rontok dan jatuh karena lalat buah dikumpulkan lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik, kemudian dibakar agar larva lalat buah mati. Sanitasi kebun juga dapat dilakukan dengan membersihkan gulma di sekitar areal pertanaman karena dapat digunakan sebagai inang alternatif terutama saat tidak musim berbuah (Ditlinhor 2006). Untuk menekan pertumbuhan gulma dan serangan lalat buah dapat juga menggunakan mulsa plastik atau jerami (Vos et al.

1995). Menurut Komar (2012) mulsa yang dipasang di bawah tanaman akan menghalangi larva instar terakhir lalat buah untuk berpupa di dalam tanah.

Penggunaan perangkap dilakukan dengan menggunakan perangkap beratraktan yang dapat mengeluarkan bau atau aroma makanan lalat buah seperti aroma buah atau feromon seks. Contoh atraktan yang dapat digunakan adalah metil eugenol dan cue lure (Muryati et al. 2008). Zat pemikat lain yang dipadukan dengan penggunaan perangkap adalah ragi autolisis. Perangkap yang digunakan sebaiknya terbuat dari bahan yang ringan dan mudah diperoleh. Perangkap berumpan dipasang atau digantungkan pada ranting atau cabang pohon dengan ketinggian 2-3 m di atas permukaan tanah (Kardinan 2007; Prihandoyo 2004).

Musuh alami lalat buah yang telah diidentifikasi adalah parasitoid Fopius arisanus Sonan (Hymenoptera: Braconidae), Dichasmimorpha longicaudata

Ashmead (Hymenoptera: Pteromalidae), dan Tetrastichus difardii Walker (Hymenoptera: Eulophidae). Predator yang terbukti efektif menurunkan populasi lalat buah adalah semut Odontoponera denticulate Smith (Hymenoptera: Formicidae) dan Oecophyla smaragdina F. (Hymenoptera: Formicidae) (Suputa 2006). Menurut White dan Harris (1992), larva dan pupa lalat buah dapat diserang oleh berbagai jenis parasitoid Hymenoptera, pada umumnya oleh spesies Opiinae (Braconidae), tapi Chalcidoidea dan famili lain juga penting. Pupa lalat buah di tanah dapat diserang oleh berbagai jenis predator.

(29)

normal. Hanya perkawinan antara sesama lalat normal (fertile) saja yang menghasilkan keturunan, sedangkan antara jantan normal dan betina mandul atau sebaliknya tidak menghasilkan keturunan sehingga akhirnya akan terjadi pengurangan jumlah keturunan (Kuswadi 2000). Penerapan TSM di Indonesia telah digunakan pada pengendalian lalat buah B. (B.) carambolae. Jutaan kepompong yang dihasilkan dapat dimandulkan dengan iradiasi gama untuk kemudian dilepas di lapangan sebagai agen pengendali.

Penggunaan insektisida untuk mengendalikan lalat buah dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain penyemprotan, pengabutan (fogging), pencampuran dengan zat penarik yaitu atraktan seks atau atraktan makan,

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di pertanaman cabai milik petani di Megamendung dan Katulampa Bogor, serta di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai bulan Juni 2010 hingga Desember 2011.

Ekstraksi Bahan Tanaman

Biji srikaya, buah cabai jawa, dan batang serai wangi dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil lalu dikeringudarakan. Setiap bahan tumbuhan dihaluskan dengan blender dan diayak dengan pengayak bermata 0,5 mm sehingga dihasilkan serbuk. Serbuk setiap bahan tanaman sebanyak 200 gram direndam dalam pelarut metanol dengan perbandingan 1:10 (w/v) selama 24 jam. Selanjutnya cairan rendaman tersebut disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring dan ditampung menggunakan labu erlenmeyer. Hasil penyaringan diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50 ˚C dan tekanan 335 mbar. Pelarut yang diperoleh kembali pada proses penguapan tersebut digunakan untuk merendam ulang ampas bahan tanaman hingga hasil penyaringan agak bening atau tidak berwarna. Hasil ekstrak kasar bahan tanaman yang diperoleh ditimbang kemudian disimpan di dalam lemari es pada suhu ±4˚C sampai digunakan untuk pengujian.

Pemeliharaan Lalat Buah

Lalat buah yang berasal dari lapangan sulit untuk dikembangbiakkan karena memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi di laboratorium. Karena itu, untuk keperluan pemeliharaan (rearing) serangga uji di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga IPB, induk lalat buah diperoleh dari Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan, Jatisari, Karawang, Jawa Barat.

(31)

Sebelum dipasang, botol diolesi jus buah mangga untuk menarik lalat buah dan untuk mempertahankan kelembapan di dalam botol, agar telur yang diletakkan tidak mengalami kekeringan. Telur diletakkan oleh lalat dewasa dengan ovipositornya ke dalam lubang-lubang di dinding botol, sehingga massa telur akan terkumpul pada lubang-lubang tersebut. Panen telur dilakukan pada pagi hari dan diambil pada pagi hari berikutnya. Telur dikumpulkan dengan cara membasuh permukaan dalam botol, dan disaring menggunakan kain kassa hitam dan saringan kawat (Gambar 1a). Selanjutnya telur yang terkumpul diukur dengan gelas ukur. Massa telur yang dihasilkan dapat diukur secara volumetrik, 1 ml telur berisi ±18.000 butir (Kuswadi 2000).

(a)

(d) (c)

[image:31.595.55.500.56.779.2]

(b)

(32)

15

Telur lalat buah sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam pakan buatan dengan komposisi bahan seperti tercantum pada Lampiran 2. Pakan buatan dimasukkan ke dalam wadah plastik berukuran 20 cm x 14 cm x 10 cm, selanjutnya telur disebarkan pada pakan buatan tersebut dan diinkubasi selama 5 hari (Gambar 1b).

Setelah 5 hari, wadah pakan buatan dimasukkan ke dalam wadah plastik yang berisi serbuk gergaji steril. Larva yang telah siap menjadi pupa akan meloncat ke dalam serbuk gergaji. Proses pupasi akan berlangsung selama 12 hari. Selanjutnya pupa yang terbentuk disaring dan dikumpulkan (Gambar 1c).

Pupa yang telah terkumpul disimpan dalam cawan petri dan dimasukkan ke dalam kurungan kasa berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm (Gambar 1d). Setiap kurungan berisi 1000 pupa. Imago lalat buah yang baru keluar dari pupa diberi air yang disimpan dalam botol berisi kapas, setelah 2 hari diberi pakan protein (yeast extract) dan gula pasir dengan perbandingan 1:4. Pakan ditambahkan setiap dua hari sekali.

Budi Daya Cabai

Persiapan Lahan

Lahan yang akan ditanami cabai dibersihkan dari berbagai jenis gulma yang dilakukan secara manual menggunakan cangkul dan sabit. Lahan kemudian diolah hingga tanah menjadi gembur agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Tahap selanjutnya adalah pembuatan bedengan dengan ukuran 5 m x 1 m x 0,5 m, dengan jarak antarbaris 1 m. Jarak tanam dalam bedengan adalah 50 cm x 50 cm.

Penyemaian Benih dan Pembibitan

Benih cabai direndam dalam sediaan Actigrowth (Bacillus polymyxa dan

Pseudomonas flourescens) dengan konsentrasi 10 ml/l selama 6 jam. Selanjutnya benih disemai dalam nampan plastik (30 cm x 15 cm x 5 cm) yang telah berisi tanah dan pupuk kandang (1:1). Setelah 14 hari, bibit cabai dipindahkan ke dalam

(33)

Pemupukan

Dosis pupuk kandang yang digunakan adalah 20 ton/ha (Wiryanta 2002, Berke et al. 1999). Jenis pupuk kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kotoran kambing. Pemberian pupuk kandang dilakukan pada 4 minggu sebelum tanam. Pemupukan dilakukan dengan cara menyebarkan pupuk secara merata di atas bedengan, kemudian tanah dicangkul lagi supaya pupuk dapat menyebar secara merata sampai ke dalam tanah.

Pada 4 minggu setelah tanam (MST), tanaman cabai diberi pupuk sebanyak 250 kg urea/ha, 500 kg TSP/ha, dan 400 kg KCl/ha (Wiryanta 2002). Pemberian pupuk kimia dibagi menjadi dua sampai tiga kali pemupukan. Pupuk tersebut dicampur terlebih dahulu, kemudian ditaburkan secara melingkar ± 5 cm dari tanaman cabai dan ditutup dengan tanah. Pada 6 MST tanaman cabai juga diberi pupuk cair berupa Actigrowth dengan konsentrasi 10 ml/l. Pada 8 MST dilakukan pemberian pupuk cair tambahan.

Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman cabai meliputi penyiraman dan penyiangan gulma. Selama kegiatan pemeliharaan juga dilakukan perompesan tunas air untuk mengurangi risiko serangan penyakit, memperkokoh tanaman, dan mengoptimumkan penangkapan sinar matahari. Pemasangan ajir dilakukan pada 6 MST.

Panen

Pemanenan dilakukan mulai 10 MST. Pemanenan dilakukan terhadap buah cabai yang sudah merah atau masak penuh dan terhadap buah cabai yang masak 90%.

Percobaan Lapangan

Evaluasi Ketahanan Lima Genotipe Cabai tehadap Serangan Lalat Buah

(34)

17

yaitu genotipe F3 (12x10) dan F3 (10x14), serta tiga varietas cabai yang umum digunakan oleh masyarakat yaitu cabai Hot Pepper Tornado, Keriting 09, dan SP Hot 77.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Pada penelitian ini diamati tingkat serangan lalat buah. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Pengaruh Genotipe Cabai yang Tahan dan Rentan, serta Perlakuan Insektisida terhadap Serangan Lalat Buah

Percobaan lapangan dilaksanakan di Katulampa sejak November 2010 hingga April 2011. Percobaan ini merupakan lanjutan dari pengujian sebelumnya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah petak terbagi (split plot), genotipe cabai sebagai petak utama dan perlakuan insektisida sebagai anak petak. Cabai yang digunakan adalah cabai keriting 09 dan cabai besar SP Hot 77, sementara perlakuan insektisida yang diuji ialah campuran ekstrak cabai jawa (Piper retrofractum) dan srikaya (Annona squamosa) 0,2%, ekstrak serai wangi

(Cymbopogon nardus) 0,2%, spinosad (Tracer 120 SC) 0,8 ml/l (konsentrasi formulasi), imidakloprid (Confidor 5 WP) 0,8 g/l (konsentrasi formulasi), dan kontrol.

Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Peubah yang diamati ialah tingkat serangan lalat buah dan hasil panen. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Pengaruh Mulsa, Insektisida, Tanaman Perangkap, Tanaman Penolak, dan Perangkap Lalat Buah terhadap Serangan Lalat Buah

(35)

serangan lalat buah dan hasil panen. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Tanaman produksi. Tanaman produksi yang digunakan adalah cabai

keriting 09 sebagai genotipe cabai yang tahan terhadap lalat buah. Bibit cabai keriting 09 yang sudah berumur 1 bulan dipindahtanamkan ke lapangan, dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm.

Tanaman perangkap. Tanaman perangkap yang digunakan adalah cabai

merah besar SP Hot 77 yang telah diketahui rentan terhadap serangan lalat buah berdasarkan penelitian sebelumnya. Umur cabai merah besar sama dengan umur cabai keriting yang ditanam. Cabai merah besar ditanam dalam polybag

berkapasitas 5 L yang telah berisi tanah dan pupuk kandang (1:1) (v/v). Jarak antartanaman cabai merah besar adalah ±1 m. Tanaman perangkap diletakkan di antara tanaman penolak (serai wangi) dan tanaman produksi (Gambar 2).

Tanaman penolak. Tanaman penolak (repelen) yang digunakan adalah

serai wangi (Cymbopogon nardus). Serai wangi ditanam pada saat persiapan lahan atau satu bulan sebelum tanaman cabai dipindahtanamkan ke lapangan. Serai wangi diletakkan di sekeliling petak lahan pada bagian terluar, dengan jarak antartanaman ±2 m (Gambar 2).

Keterangan:

= serai wangi

= cabai besar

= tanpa mulsa

= mulsa plastik

= mulsa jerami

= perangkap lalat buah = serai wangi

= cabai besar

= tanpa mulsa

= mulsa plastik

= mulsa jerami

= perangkap lalat buah

[image:35.595.72.495.8.817.2]

 

(36)

19

Perangkap lalat buah. Perangkap lalat buah terbuat dari wadah plastik

yang dilubangi pada salah satu sisi sebagai lubang masuk lalat buah. Kapas yang telah ditetesi atraktan metil eugenol(Petrogenol 800 L) dengan dosis anjuran 0,25 ml/perangkap, diletakkan pada bagian tengah wadah yang digantung dengan kawat. Selanjutnya perangkap lalat buah diisi dengan air sabun 2% sebanyak 60 ml. Perangkap lalat buah tersebut diletakkan pada empat sudut lahan percobaan yang berjarak ±10 m dari tanaman produksi. Perangkap lalat buah digantung pada pohon pisang dengan ketinggian 2 m dari permukaan tanah. Jarak antar perangkap lalat buah adalah ±40 m. Pengamatan lalat buah yang terperangkap dilakukan setiap minggu dengan mengamati jenis lalat buah dan jumlahnya.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan mulai 4 MST hingga 12 MST. Pada setiap petak perlakuan diamati 10% tanaman contoh dari jumlah tanaman pada petak perlakuan. Pada percobaan ini diamati musuh alami lalat buah, hasil panen cabai merah, dan tingkat serangan hama lalat buah yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah buah terserang

Tingkat serangan = x 100%

Jumlah buah yang diamati

(37)

Identifikasi lalat buah menggunakan kunci identifikasi yang dikemukakan oleh Drew (1994), sedangkan identifikasi parasitoid menggunakan panduan kunci identifikasi parasitoid pada Tephritidae (Wharton 2011).

Percobaan Laboratorium

Pengujian Pengaruh Penolakan (Repelen)

Pengujian respons serangga terhadap repelen dilakukan dengan menggunakan olfaktometer berbentuk huruf Y yang terbuat dari kaca. Ujung tangkai olfaktometer ditutup dengan kasa kemudian tangkai olfaktometer tersebut dihubungkan dengan selang ke pompa pengisap. Di antara olfaktometer dan pompa pengisap dipasang flowmeter untuk memantau laju aliran udara (Gambar 3).

[image:37.595.46.485.32.841.2]

Gambar 3 Olfaktometer tabung Y

Pada pengujian pengaruh penolakan digunakan insektisida yang sama dengan yang digunakan pada pengujian di lapangan yaitu:

a) campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikayadengan konsentrasi 0,2% (A1); b) ekstrak serai wangi (dengan konsentrasi 0,2% (A2);

(38)

21

Setiap pengujian menggunakan kombinasi dua insektisida yang berbeda, sehingga ada 10 kombinasi yaitu A1 x A5, A2 x A5, A3 x A5, A4 x A5, A1 x A2, A1 x A3, A1 x A4, A2 x A3, A2 x A4, dan A4 x A5.

(39)

Percobaan Lapangan

Ketahanan Lima Genotipe Cabai tehadap Serangan Lalat Buah

Percobaan pertama dilaksanakan di pertanaman cabai milik petani Megamendung. Pada percobaan ini digunakan lima genotipe cabai, yaitu F3 (12x10), F3 (10x14), Hot Pepper Tornado, Keriting 09, dan SP Hot 77. Hasil percobaan menunjukkan bahwa lalat buah paling banyak menyerang cabai SP Hot 77 dengan tingkat serangan mencapai 33% pada 10 minggu setelah tanam (MST) (Tabel 1). Serangan lalat buah pada cabai SP Hot 77 pada 10-12 MST paling tinggi dibandingkan dengan genotipe lain. Hal ini menunjukkan bahwa SP Hot 77 rentan terhadap serangan lalat buah. Cabai genotipe F3 (12 x 10), F3 (10 x 14), dan Keriting 09 cenderung lebih tahan terhadap serangan lalat buah, karena tingkat serangan lalat buah lebih rendah dibandingkan dengan pada Hot Pepper Tornado dan SP Hot 77.

Tabel 1 Evaluasi lima genotipe cabai terhadap serangan lalat buah

Genotipe Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MST

a

10 11 12

F3 (12x10) 2,53b 1,25b 0,65b

F3 (10x14) 5,44b 2,28b 5,79b

Hot PepperTornado 4,88b 1,11b 14,53a

Keriting 09 4,93b 3,76b 3,02b

SP Hot 77 33,16a 16,54a 14,78a

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

(40)

24

rawit seper umum cabai

t; Hot Pepp rti cabai ke mnya yaitu i merah bes

per Tornad eriting; Ke panjang, ra sar yang me

do memilik eriting 09 m

amping, dan emiliki bentu

i bentuk bu memiliki be n berkerut; s uk buah pan

uah yang p entuk buah sedangkan S njang dan b

panjang dan h cabai ker

SP Hot 77 m esar (Gamb n ramping riting pada merupakan bar 4). Gam Peng Insek (Gam renta terha masy masi diper sanga pada berga nyata peng

mbar 4 Bent Torn

garuh Gen ktisida teha

Percobaan mbar 5). Pa an terhadap adap serang yarakat, ber h berupa g roleh.

Tingkat se at nyata (P

a 7 dan 10 anda Dunca a lebih tin gamatan (Ta

tuk umum nado, Keriti

notipe Cab adap Seran

n kedua dila ada penelitia p lalat buah gan lalat bu

rbeda denga galur pemu

erangan lala

P < 0,001) p MST (Tab an diketahui ggi diband abel 3).

buah cab ing 09, dan

bai yang ngan Lalat

aksanakan d an ini digun h dan caba uah. Kedua an cabai gen uliaan tana

at buah pad pada 8, 9, d bel 2). Berd i bahwa sera dingkan den

ai F3 (12x SP Hot 77

Tahan d Buah di pertanam nakan caba ai keriting jenis cabai notipe F3 ( aman cabai

da cabai SP dan 12 MS dasarkan ha

angan lalat ngan pada

x10), F3 ((10x14), HHot Pepper

an Rentann, serta PPerlakuan

man cabai m ai SP Hot 7 09 yang ce i ini juga u (12 x 10) da

sehingga

milik petani K 77 sebagai c

enderung le umum digun an F3 (10 x benih-beni

Katulampa cabai yang ebih tahan nakan oleh x 14) yang ihnya sulit

Hot 77 dan T dan berb asil uji lanj buah pada c

cabai keri

n keriting 0 beda nyata ( jut dengan cabai besar iting 09 pa

(41)
[image:41.595.149.473.90.329.2]

 

Gambar 5 Kondisi petak percobaan di Katulampa pada percobaan II-2011

Tabel 2 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap serangan lalat buah di Katulampa, Percobaan II-2011

Perlakuan Tingkat serangan lalat buah pada n MST

a

7 8 9 10 11 12

Blok TN * TN TN ** *

Varieats (Var) * ** ** * TN **

Insekstisida (Ins) TN * TN TN TN TN

Var*Blok TN TN TN TN TN TN

Var*Ins TN TN TN TN TN TN

a

*: nyata (5%), **: sangat nyata (1%), TN: tidak nyata.

Tabel 3 Tingkat serangan lalat buah pada dua genotipe cabai di Katulampa, Percobaan II-2011

Genotipe Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MST

a)

7 8 9 10 11 12

Keriting 09 0,17b 0,94b 1,10b 1,25b 3,22a 1,71b

SP Hot 77 2,73a 5,53a 9,09a 4,59a 4,67a 9,85a

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

(42)

26

Perlakuan insektisida berpengaruh nyata terhadap tingkat serangan lalat buah hanya pada 8 MST (Tabel 2 dan 4). Secara umum, tingkat serangan lalat buah pada perlakuan ekstrak serai wangi pada 8-12 MST lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain (Tabel 4). Walaupun demikian, hasil panen pada tanaman kontrol lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang diberi perlakuan insektisida (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan insektisida botani maupun sintetik dapat menekan kehilangan hasil panen.

Tabel 4 Pengaruh perlakuan insektisida terhadap tingkat serangan lalat buah di Katulampa, Percobaan II-2011

Perlakuan insektisida Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MST

a)

7 8 9 10 11 12

Campuran ekstrak cabai

jawa dan biji srikaya 0,2% 0,00a 3,09b 6,16a 2,45a 3,08b 3,71a Ekstrak serai wangi 0,2% 0,56a 7,26a 7,54a 4,10a 7,26a 7,69a

Spinosad 0,8 ml/l 2,65a 3,10b 4,05a 2,55a 3,09b 6,09a

Imidakloprid 0,8 g/l 0,75a 1,65b 5,25a 1,53a 1,65b 5,13a

Kontrol 3,25a 1,10b 2,48a 3,96a 1,10b 6,28a

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Tabel 5 Pengaruh perlakuan insektisida pada hasil panen cabai pada di Katulampa, Percobaan II-2011

Perlakuan insektisida Hasil panen (g/15 m

2

) ± SDa

Hasil panen (kg/ha)

Campuran ekstrak cabai jawa

dan biji srikaya 0,2% 1027,5 ± 591,9a 685,00

Ekstrak serai wangi 0,2% 947,5 ± 544,5a 631,67

Spinosad 0,8 ml/l 1070,0 ± 477,1a 713,33

Imidakloprid 0,8 g/l 1016,7 ± 495,5a 677,80

Kontrol 834,2 ± 436,2a 556,13

a

[image:42.595.66.482.22.822.2]
(43)

 

Pengaruh Mulsa, Insektisida, Tanaman Perangkap, Tanaman Penolak, dan Perangkap Lalat Buah terhadap Serangan Lalat Buah

Percobaan ketiga dilaksanakan di pertanaman cabai milik petani di Katulampa sama seperti percobaan kedua. Pada percobaan ketiga ini dilakukan implementasi beberapa komponen pengendalian hama lalat buah berdasarkan percobaan sebelumnya. Beberapa komponen pengendalian yang diterapkan yaitu cabai keriting 09 sebagai salah satu tanaman tahan terhadap serangan lalat buah dijadikan sebagai tanaman produksi, cabai besar SP Hot 77 sebagai tanaman yang rentan terhadap serangan lalat buah dijadikan sebagai tanaman perangkap, dan penggunaan serai wangi sebagai tanaman penolak (Gambar 6).

a

c

b

Gambar 6 Kondisi petak percobaan di Katulampa pada percobaan III-2011, cabai keriting 09 (a), cabai besar SP Hot 77 (b), dan serai wangi (c)

[image:43.595.108.498.91.809.2]
(44)

28

mulsa plastik perak-hitam dan jerami dapat menekan perkembangan hama trips (Tabel 8). Menurut Vos et al. (1995) pengaruh penggunaan mulsa plastik dan jerami terhadap lalat buah menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik dapat menekan kehadiran hama trips dan penyakit virus.

Tabel 6 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap serangan lalat buah di Katulampa, Percobaan III-2011

Perlakuan Tingkat serangan lalat buah pada n MST

a

10 11 12

Blok TN TN *

Mulsa TN TN TN

Insektisida (Ins) TN TN TN

Mulsa*Blok TN TN TN

Mulsa*Ins TN TN TN

a

*: nyata (5%), **: sangat nyata (1%), TN: tidak nyata.

Tabel 7 Perkembangan serangan lalat buah pada pertanaman cabai keriting dengan perlakuan mulsa di Katulampa, Percobaan III-2011

Mulsa Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MST

a

10 11 12

Plastik 0,13a 0,00a 0,03a

Jerami 0,06a 0,28a 0,08a

Kontrol 0,13a 0,36a 0,05a

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Tabel 8 Perkembangan populasi trips (Thrips sp.) pada pertanaman cabai keriting dengan perlakuan mulsa di Katulampa, Percobaan III-2011

Mulsa Rata-rata populasi trips pada n MST

a

4 5 6 7 8 9 10 11 12

Plastik 0,4 a 0,4 a 0,1 b 0,4 a 0,3 a 0,2 a 0,1 a 0,0 a 0,0 a Jerami 0,6 a 0,4 a 0,2 ab 0,5 a 0,8 a 0,5 a 0,1 a 0,1 a 0,0 a Kontrol 0,8 a 0,4 a 0,5 a 0,5 a 0,8 a 1,2 a 0,3 a 0,1 a 0,1 a

(45)

 

Tabel 9 Perkembangan serangan lalat buah pada pada pertanaman cabai keriting dengan perlakuan insektisida di Katulampa, Percobaan III-2011

Perlakuan Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MSTa

10 11 12 Campuran ekstrak cabai jawa

dan biji srikaya 0,2% 0,22a 0,00a 0,00a

Ekstrak serai wangi 0,2% 0,00a 0,00a 0,08a

Spinosad 0,8 ml/l 0,00a 0,06a 0,05a

Imidakloprid 0,8 g/l 0,32a 0,29a 0,00a

Kontrol 0,00a 0,72a 0,12a

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Tabel 10 Hasil panen cabai pada petak perlakuan mulsa di Katulampa, Percobaan III-2011

Mulsa Hasil panena (g/15 m2) Hasil panen (kg/ha)

Plastik 188,41b 125,61

Jerami 544,09a 362,73

Kontrol 383,19a 255,46

a

[image:45.595.118.511.126.258.2]

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

[image:45.595.142.483.343.415.2] [image:45.595.153.460.475.663.2]
(46)

30

0 10 20 30 40 50

Plastik Jerami Tanpa mulsa

T

inggi tanam

an

(cm

)

Jenis mulsa

Gambar 8 Pengaruh penggunaan mulsa terhadap tinggi tanaman cabai di Katulampa, Percobaan III-2011

Hasil panen cabai pada petak perlakuan yang diberi mulsa jerami lebih tinggi dibandingkan perlakuan mulsa plastik perak-hitam (Tabel 10). Hal ini dapat terjadi karena pada saat percobaan dilakukan sedang musim kemarau dengan kondisi sinar matahari terik dan panas. Tanaman yang menggunakan mulsa plastik perak-hitam mengalami kekeringan, sehingga pertumbuhannya terhambat (Gambar 7). Tinggi tanaman cabai yang menggunakan mulsa plastik rata-rata 30 cm, sedangkan yang menggunakan mulsa jerami dan tanpa mulsa rata-rata 40 cm (Gambar 8).

Menurut Hamdani (2009), efek aplikasi mulsa bergantung pada jenis bahan mulsa. Bahan yang dapat digunakan sebagai mulsa di antaranya sisa-sisa tanaman (serasah atau jerami) dan bahan plastik. Mulsa memberikan berbagai keuntungan baik dari segi fisik maupun kimia tanah. Secara fisik mulsa dapat menjaga suhu tanah lebih stabil dan dapat mempertahankan kelembapan di sekitar perakaran tanaman. Penggunaan mulsa akan memengaruhi suhu tanah dan mencegah radiasi langsung matahari. Penggunaan mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma, pemadatan tanah, dan erosi (Alviana & Susila 2009). Menurut Mahmood et al.

(2002), mulsa jerami atau mulsa yang berasal dari sisa tanaman mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke permukaan tanah akan lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa mulsa atau mulsa plastik yang memiliki konduktivitas lebih tinggi.

(47)

 

cabai besar sebagai tanaman perangkap, yang menunjukkan serangan lalat buah yang tinggi yaitu rata-rata 51,1% dan 50,41% pada 11 dan 12 MST. Menurut Hokkanen (1991), pengendalian hama dengan tanaman perangkap dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain (a) menggunakan spesies atau kultivar yang paling disukai oleh hama sasaran, (b) menggunakan spesies tanaman yang sama dengan tanaman utama yang diatur waktu tanamnya.

Dalam upaya memaksimumkan upaya pengendalian lalat buah, dalam penelitian ini juga digunakan perangkap lalat buah dengan atraktan metil eugenol (Petrogenol 800 L). Hasil pemerangkapan diperoleh dua jenis lalat buah yaitu B. (B.) dorsalis kompleks dan B. (B.) umbrosa. B. (B.) dorsalis kompleks umum ditemukan pada cabai (White & Harris 1992), berbeda dengan B. (B.) umbrosa

yang umum ditemukan pada pada kluwih dan nangka (White & Harris 1992; Siwi

et al. 2006). Populasi lalat buah B. (B.) dorsalis kompleks jauh lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan B. (B.) umbrosa (Gambar 9). Hal ini dapat terjadi karena di lapangan inang B. (B.) dorsalis kompleks lebih banyak dibandingkan dengan B. (B.) umbrosa. Selain cabai juga ditemukan jambu air, petai, dan pepaya yang menjadi inang B. (B.) dorsalis kompleks (Siwi et al. 2006).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

7 8 9 10 11 12

Populasi (ekor)

Minggu setelah tanam (MST)

B. (B.) dorsalis kompleks B. (B.) umbrosa

(48)

32

Buah cabai yang menunjukkan gejala terserang lalat buah di lapangan dibawa ke laboratorium untuk mengetahui jenis lalat buah dan musuh alaminya. Berdasarkan hasil identifikasi di laboratorium diketahui bahwa lalat buah yang menyerang tanaman cabai adalah B. (B.) carambolae (Gambar 10) dan B. (B.) papayae (Gambar 11). Kedua jenis lalat buah tersebut termasuk B. (B.) dorsalis

[image:48.595.67.486.30.840.2]

kompleks yang sulit dibedakan satu dengan yang lain tanpa menggunakan alat bantu mikroskop. Sementara itu B. (B.) tau, B. (B.) umbrosa, B. (B.) cucurbitae, dan B. (B.) albistrigata mudah dikenali dari bentuk garis pita atau bercak cokelat atau hitam yang ada di bagian sayapnya (Muryati et al. 2007). Menurut (White & Harris 1992), metil eugenol dapat menarik lalat buah jantan Bactrocera spp., tetapi tidak untuk subgenus B. (Zeugodacus), dan beberapa kadang menarik subgenus Ceratitis (Pardalaspis).

Gambar 10 Lalat buah B. (B.) carambolae

(49)
[image:49.595.192.411.87.271.2]

 

Gambar 12 Parasitoid lalat buah Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae)

Berdasarkan hasil pemeliharaan buah cabai yang bergejala juga ditemukan parasitoid dari lalat buah. Hasil identifikasi di laboratorium menunjukkan bahwa parasitoid tersebut adalah Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) yang merupakan endoparasitoid larva-pupa (Gambar 12). Menurut White dan Harris (1992), larva dan pupa lalat buah dapat diserang oleh berbagai jenis parasitoid Hymenoptera, pada umumnya oleh spesies Opiinae (Braconidae), tetapi Chalcidoidea dan famili lain juga penting.

Keberadaan parasitoid tersebut perlu dilestarikan sebagai bagian dari pengendalian hayati dalam PHT. Menurut Van Driesche dan Bellows (1996), parasitoid dari famili Braconidae umum digunakan sebagai agens hayati, khususnya untuk mengendalikan kutu daun dan berbagai hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera.

Percobaan Laboratorium

(50)

34

menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan perlakuan lain tidak berbeda nyata (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak serai wangi berpotensi sebagai repelen.

Mardiasih (2010) juga melaporkan bahwa serai wangi berpotensi sebagai senyawa deteren (penghambat peneluran). Pada perlakuan ekstrak serai wangi 0,25% jumlah imago lalat buah yang berkunjung hanya 7% dibandingkan perlakuan kontrol yang jauh lebih banyak yaitu sebanyak 18%. Hasil penelitian Wahyuningtyas (2004) menunjukkan bahwa minyak serai wangi pada konsentrasi 2,5% dapat menolak nyamuk Aedes aegypti Linnaeus. Menurut Barnard (2000) aplikasi serai wangi dapat dilakukan secara tunggal atau dikombinasikan dengan minyak lavender, cengkih, dan bawang putih.

Minyak serai mengandung senyawa golongan aldehida yaitu sitronelal dan senyawa golongan alkohol yaitu geraniol. Minyak serai wangi jawa mengandung geraniol, d-sitronelal, dan sitronelal hingga 36%, sitral 0,2%, dan sisanya adalah senyawa isovaleraldehida, metil neptenon, d-sitronelal, isoamil alkohol, nerol, borneol, eugenol, geranil asetat, sitronelil asetat, sitronelil butirat, metil eugenol, disitroneloksida, alkohol-alkohol sekuiterpena, dipentena, dan l-limonena, serta seskuisitronelal (Ketaren 1986).

Tabel 11 Rata-rata jumlah lalat buah betina B. (B.) carambolae yang mendatangi bahan uji dalam pengujian dengan olfaktometer tabung-Y

Perlakuan Jumlah lalat

Campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikaya 0,2% 15,6c

Ekstrak serai wangi 0,2% 17,3bc

Spinosad 0,8 ml/l 23,7a

Imidakloprid 0,8 g/l 20,7abc

Kontrol 23,0ab

a

[image:50.595.70.486.54.818.2]
(51)
[image:51.595.107.516.118.517.2]

 

Tabel 12 Ringkasan hasil uji-t dalam pengujian olfaktometer beberapa jenis insektisida terhadap rata-rata jumlah lalat buah betina B. (B.) carambolae yang datang

Pembandingan N Rataan Nilai t P > | t |a

A1 x A5 30 A = 3,33

K = 6,67

-2,67 0,056

A2 x A5  30  B = 3,33

K = 6,67

-3,54 0,024

A3 x A5  30  C = 5,00

K = 5,00

0,00 1,000

A4 x A5  30  D = 5,33

K = 4,67

1,41 0,230

A1 x A2 30  A = 5,67

B = 4,33

0,78 0,477

A1 x A3  30  A = 3,00

C = 7,00

-2,45 0,071

A1 x A4  30  A = 3,67

D = 6,33

-2,14 0,099

A2 x A3 30  B = 5,00

C = 5,33

-0,50 0,643

A2 x A4 30  B = 4,67

D = 5,33

-0,25 0,812

A3 x A4 30  C = 6,33

D = 3,67

1,57 0,192

a

Untuk H0: ragam sama

Jika nilai P > | t | lebih besar dari 0,05 (5%) maka tidak berbeda nyata.

A1: campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikaya 0,2%, A2: ekstrak serai wangi 0,2%, A3: spinosad 0,8 ml/l, A4: imidakloprid 0,8 g/l, dan A5: kontrol.

Pembahasan Umum

Lalat buah yang menyerang cabai di pertanaman cabai petani di Megamendung dan Katulampa, Bogor adalah B. (B.) carambolae dan B. (B.) papayae. Menurut Muryati et al. (2007), kedua jenis lalat buah tersebut termasuk

B. (B.) dorsalis kompleks yang sulit dibedakan satu dengan yang lain tanpa menggunakan alat bantu mikroskop.

(52)

36

Kapoor (1984) lalat buah sering menggunakan stimuli visual untuk mendeteksi tanaman inang baik dari segi ukuran tanaman, permukaan, pola, dan warna. Proses penentuan inang melibatkan indera penglihatan, mekanik, olfaktori, dan gustatori (Honda 1995). Betina lalat buah mencari tempat peletakan telur dengan reseptor pada tarsi, probosis, antena, dan ovipositor yang memiliki peranan penting dalam penentuan inang. Permukaan, ukuran, warna, dan zat kimia alami dari tempat peneluran menjadi pertimbangan lalat buah sebelum meletakkan telurnya. Rambut taktil pada ovipositor membantu lalat buah untuk membedakan permukaan yang keras atau lunak untuk peletakan telur (oviposisi). Kesesuaian inang pada akhirnya ditentukan oleh kemoreseptor yang terletak pada ovipositor. Lalat buah betina juga mendeteksi kehadiran larva lalat buah pada inang dengan kemoreseptor pada ovipositor. Lalat buah memiliki feromon penanda oviposisi (oviposition marking), sehingga buah yang sudah ada telurnya tidak akan diteluri lagi (Agarwal & Kapoor 1984).

Faktor kimiawi juga memiliki peranan penting dalam ketahanan tanaman terhadap serangga. Menurut Dadang dan Prijono (2008), senyawa-senyawa sekunder tanaman memiliki peran penting bagi serangga dalam proses penemuan inang. Bau dari senyawa volatil beberapa tanaman dapat menjadi atraktan bagi lalat buah, seperti bau dari senyawa volatil yang dihasilkan pada saat bunga mekar akan menarik lalat buah jantan (Agarwal dan Kapoor 1984). Selain faktor morfologi, genetika, dan kimiawi, ketahanan tanaman juga dipengaruhi oleh suhu, panjang hari, kimia tanah, kandungan air dalam tanah, dan metabolisme tanaman secara internal (Smith 1989).

(53)

 

fase dalam proses pemilihan inang yaitu (1) penemuan habitat inang, (2) penemuan inang, (3) pengenalan inang, (4) penerimaan inang, dan (5) kesesuaian inang. Inang menjadi tempat hidup, bertelur, makan, dan berkembang bagi lalat buah. Karena itu inang yang dipilih harus memenuhi kebutuhan lalat buah untuk hidup dan berkembang di dalam buah.

Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa parasitoid yang menyerang lalat buah di pertanaman cabai Megamendung dan Katulampa, Bogor adalah Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) yang merupakan endoparasitoid larva-pupa (Flint & Dreistatd 1998). Menurut Van Driesche dan Bellows (1996), parasitoid dari famili Braconidae umum digunakan sebagai agens hayati, khususnya untuk mengendalikan kutu daun dan berbagai hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera. Karena itu keberadaan parasitoid ini harus dilestarikan sebagai bagian dari pengendalian hayati.

Penggunaan mulsa menjadi salah satu teknik pengendalian secar

Gambar

Gambar 1 Pemeliharaan lalat buah: pengumpulan telur (a), pemeliharaan larva
Gambar 2  Denah  petak  percobaan di Katulampa pada percobaan ketiga, 2011
Gambar 3  Olfaktometer tabung Y
Gambar 5  Kondisi petak percobaan di Katulampa pada percobaan II-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi ChiVMV cenderung lebih tinggi pada kejadian infeksi ganda, terutama terjadi pada tanaman cabai yang diinokulasi ChiVMV terlebih dahulu dibandingkan dengan tanaman cabai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan aplikasi biochar, pupuk kandang dan campuran keduanya terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai

Pupuk organik berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati, yang memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik bagi tanaman cabai merah adalah pupuk

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa semua perlakuan pola tanam bawang merah varietas lembah di antara tanaman pagar cabai yaitu monokultur, strip 2:1, zig-zag dan

Perlakuan pupuk NPK menunjukkan produksi tanaman cabai merah terbesar pada pemangkasan tunas pucuk saat semai (N1) dan pemangkasan tunas ketiak dengan menyisakan 2 cabang

Bacillus subtilis , Metarhizium sp., and Glio- cladium sp., and tobacco extract were also used as biological control agents and botanical insecticide was used

Virus ChiMV (Chilli Veinal Mottle Virus) adalah salah satu penyakit tanaman yang dapat menurunkan hasil cabai merah. Perakitan hibrida cabai merah yang hasil tinggi

Korelasi antara peubah morfologi, fisiologi dan Silika jaringan pada tanaman cabai Keterangan: * signifikan pada taraf 5% KESIMPULAN Interaksi antara perlakuan dosis silika dengan